Sony Stop Jual Kamera DSLR

Eksistensi kamera mirrorless macam Sony A1 membuat kategori DSLR semakin tidak relevan di tahun 2021 ini. Saya tidak bilang DSLR sudah mati begitu saja, tapi arahnya sepertinya bakal ke sana jika melihat tren yang sedang berlangsung di industri kamera.

Baru-baru ini, situs Sony Alpha Rumors melaporkan bahwa Sony diam-diam sudah berhenti memasarkan lini kamera DSLR-nya yang menggunakan dudukan lensa A-mount. Kamera-kamera DSLR (DSLT kalau menurut kamus Sony) seperti Sony A68, Sony A77 II, maupun Sony A99 II semuanya sudah tidak bisa lagi ditemukan di situs resmi Sony maupun di peritel kenamaan macam B&H Photo Video.

Sejauh ini memang belum ada konfirmasi resmi dari Sony mengenai hal ini, tapi kabar ini sebenarnya sudah bisa kita tebak dari jauh-jauh hari. Pasalnya, terakhir kali Sony meluncurkan kamera DSLR adalah di bulan September 2016, yakni Sony A99 II yang membanggakan teknologi 4D Focus.

Kala itu, Sony bilang bahwa 4D Focus belum bisa diaplikasikan ke lini kamera mirrorless A7 karena keterbatasan ruang. Sekarang, 4D Focus bahkan sudah ada di kamera mirrorless sekelas A6100 sekalipun. Sony bisa dibilang sudah tidak punya alasan lagi untuk melanjutkan kiprahnya di kategori DSLR.

Lineup kamera mirrorless Sony sekarang sudah bisa memenuhi kebutuhan banyak kalangan sekaligus, dari yang baru memulai hobi fotografi, sampai yang sudah berkarir secara profesional di bidang fotografi maupun videografi selama bertahun-tahun. Sony merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap popularitas kamera mirrorless sekarang, jadi tidak mengherankan apabila mereka merasa sudah waktunya untuk meninggalkan segmen DSLR sepenuhnya.

Sebagai informasi, Sony merilis DSLR perdananya, Sony A100, di tahun 2006 setelah sebelumnya lebih dulu mengakuisisi divisi kamera milik Konica Minolta. Sekitar empat tahun setelahnya, Sony merilis kamera mirrorless pertamanya, yakni Sony NEX-3 dan Sony NEX-5 yang sama-sama mengusung sensor APS-C. Barulah di tahun 2013, Sony merilis A7, kamera mirrorless pertama di dunia yang mengemas sensor full-frame.

Sumber: Engadget.

Software Cascable Pro Webcam Siap Ubah Lebih dari 100 Model Kamera Menjadi Webcam

Tren menggunakan kamera biasa sebagai webcam sedang naik daun belakangan ini, apalagi mengingat satu per satu pabrikan – mulai dari Canon, Fujifilm, Panasonic, Olympus, sampai GoPro sekalipun – telah merilis software pendukung supaya masing-masing konsumennya bisa mengikuti tren tersebut tanpa perlu mengandalkan hardware tambahan macam Elgato Cam Link.

Sayangnya inisiatif dari tiap-tiap pabrikan itu masih belum bisa mengakomodasi semua pengguna, terutama mereka yang masih memakai model kamera yang sudah berumur. Saya adalah salah satu yang kurang beruntung. Kamera Fujifilm X-E2 milik saya yang sudah berusia hampir tujuh tahun rupanya sama sekali tidak didukung oleh software webcam yang ditawarkan Fujifilm.

Beruntung ada developer pihak ketiga yang mengembangkan solusi serupa macam Cascable. Mereka baru saja merilis software anyar bernama Cascable Pro Webcam. Fungsinya? Mengubah banyak kamera menjadi webcam tanpa bantuan capture card maupun hardware tambahan lainnya.

Kuncinya ada di kata “banyak” itu tadi. Tercatat ada lebih dari 100 kamera yang kompatibel dengan software ini (dan kamera saya pun termasuk). Entah itu kamera buatan Canon, Nikon, Fujifilm, Sony, Panasonic atau Olympus, asalkan ada tanda centang pada kolom “Control & Automation” di tabel kompatibilitasnya, berarti kamera tersebut bisa dialihfungsikan menjadi webcam menggunakan Cascable Pro Webcam.

Cascable Pro Webcam

Seperti yang bisa kita lihat dari begitu banyaknya kamera yang kompatibel, kelebihan Cascable Pro Webcam terletak pada fleksibilitasnya. Selain via kabel USB, pengguna juga dapat menyambungkan kameranya via Wi-Fi. Pada sejumlah kamera, pengaturan exposure-nya bahkan bisa disesuaikan selagi sesi video call atau streaming sedang berlangsung.

Aplikasi video call maupun streaming yang bisa menerima input gambar dari Cascable juga banyak, mulai dari Google Chrome, Microsoft Edge, Skype (minimal versi 8.59), Zoom (minimal versi 5.0.5), Microsoft Teams, OBS Studio, sampai Twitch Studio. Kekurangannya? Cascable Pro Webcam cuma tersedia di macOS saja.

Lebih menyebalkan lagi, software ini hanya bisa berjalan di macOS versi 10.14.4 (Catalina), sedangkan MacBook Air tua saya masih nyaman menjalankan OS X Yosemite dan saya sama sekali tidak punya niat untuk meng-update-nya demi menghindari absennya dukungan aplikasi 32-bit. Kamera dan software-nya sudah cocok, tapi sekarang giliran laptop-nya yang kelewat jadul.

Bagi yang tertarik mencoba, Cascable Pro Webcam juga menawarkan versi free trial dengan fitur-fitur yang dibatasi. Versi penuhnya bisa dibeli seharga $40, atau $30 kalau membelinya sebelum 24 Juli.

Sumber: DPReview.

Canon Dirumorkan Sudah Menyetop Pengembangan Seri DSLR EOS 5D

Oktober tahun lalu, beredar kabar bahwa Canon sedang mengerjakan penerus dari EOS 5D Mark IV. Sekarang, situs yang sama (Canon Rumors) malah memberitakan bahwa seri EOS 5D bakal menyusul jejak seri EOS 7D, alias sudah di-discontinue.

Singkat cerita, kita tidak akan melihat EOS 5D Mark V dan seterusnya. Kalau merujuk pada kejadian yang menimpa seri EOS 7D sebelumnya, penyebabnya tidak lain dari tren kamera mirrorless. Kala itu, Canon lebih memilih untuk berfokus pada seri kamera mirrorless EOS R ketimbang mengerjakan penerus EOS 7D Mark II.

Seperti yang kita tahu, Canon baru saja meluncurkan EOS R5 dan R6. R5 sendiri sebenarnya bisa dibilang pantas menggantikan 5D Mark IV yang sudah berusia hampir empat tahun, apalagi mengingat R5 banyak mewarisi kemampuan fotografi EOS 1D X Mark III. Terkait videografi, R5 juga merupakan salah satu model yang paling superior di luar lini kamera sinema Canon (EOS C) saat ini.

Juga perlu diingat adalah, rumor tentang EOS 5D Mark V itu pertama muncul di bulan Oktober 2019, jauh sebelum pandemi COVID-19 melanda. Jadi selain karena tren mirrorless yang memang semakin naik, kemungkinan besar pandemi dan imbasnya terhadap industri turut menjadi salah satu faktor pertimbangan di balik keputusan Canon memberhentikan seri EOS 5D ini.

Dengan segala kelebihannya, EOS R5 sudah pantas dianggap sebagai suksesor 5D Mark IV / Canon
Dengan segala kelebihannya, EOS R5 sudah pantas dianggap sebagai suksesor 5D Mark IV / Canon

Satu catatan penting, diberhentikannya seri EOS 5D bukan berarti Canon sudah menyerah mengembangkan DSLR dan sepenuhnya beralih ke mirrorless. Canon mungkin masih akan mengerjakan DSLR baru ke depannya, tapi kemungkinan besar bukan dari seri 5D.

Konsumen DSLR boleh terus menurun setiap tahunnya, akan tetapi saya yakin di luar sana masih banyak yang lebih nyaman menggunakan DSLR ketimbang mirrorless, apalagi yang koleksi lensanya sudah begitu banyak. Baru-baru ini, Pentax bahkan mengumumkan visinya bahwa mereka masih akan terus mengembangkan kamera DSLR ke depannya, dengan optical viewfinder sebagai salah satu nilai jual utamanya.

Di industri kamera, seri EOS 5D sendiri bisa dilihat sebagai salah satu DSLR yang paling berpengaruh sejak generasi pertamanya dirilis 15 tahun lalu sebagai kamera full-frame pertama dengan ukuran bodi standar, bukan yang ekstra bongsor (double-grip) seperti seri EOS 1D. Tiga tahun setelahnya, EOS 5D Mark II datang membawa kapabilitas perekaman video, menjadikannya populer di kalangan videografer.

Lanjut ke tahun 2012, EOS 5D Mark III hadir mengemas upgrade yang sangat signifikan terhadap kinerja autofocus-nya dengan meminjam sistem autofocus milik EOS 1D X. Terakhir, EOS 5D Mark IV yang dirilis di tahun 2016 tentu saja menjadi yang paling modern dengan fitur-fitur seperti touchscreen maupun Dual Pixel CMOS AF.

Sumber: Canon Rumors dan PetaPixel. Gambar header: ShareGrid via Unsplash.

Kaleidoskop Industri Kamera Tahun 2018

Pergantian tahun sudah hampir di depan mata. Namun sebelum kita menyambut tahun yang baru lagi, ada baiknya kita meninjau kembali apa saja yang terjadi di industri kamera pada tahun ini.

2018 sejatinya merupakan tahun yang menarik buat industri kamera. Utamanya karena tahun ini resmi tercatat sebagai tahun dimulainya ‘peperangan’ di kancah mirrorless full-frame. Namun tentu saja itu baru sebagian dari cerita utuhnya.

Nikon, Canon, dan Panasonic umumkan kamera mirrorless full-frame

Canon EOS R / Canon
Canon EOS R / Canon

Seperti yang kita tahu, Sony lewat lini a7-nya telah mendominasi segmen mirrorless full-frame sejak tahun 2013. Selang lima tahun dan tiga generasi Sony a7, barulah datang rival yang sepadan dari Nikon, Canon, dan Panasonic.

Adalah Nikon yang memulai semuanya. Setelah gagal dengan Nikon 1 hingga akhirnya lini tersebut dipensiunkan, pada bulan Agustus lalu Nikon resmi menyingkap Nikon Z 7 dan Z 6. Dua-duanya sama-sama mengusung sensor full-frame, dan perbedaan di antaranya kurang lebih mirip seperti Sony a7R dan a7.

Panasonic Lumix S1R / Panasonic
Panasonic Lumix S1R / Panasonic

Tidak lama setelahnya, giliran Canon yang mengungkap Canon EOS R, melanjutkan rivalitas abadi antaranya dan Nikon ke segmen mirrorless full-frame. Debut Canon di ranah ini memang cuma diwakili satu kamera saja, akan tetapi mereka menegaskan bahwa EOS R baru yang pertama.

Akan tetapi berita yang paling mengejutkan datang bersamaan dengan event Photokina di bulan September, yakni pengumuman kamera mirrorless full-frame dari Panasonic: Lumix S1R dan S1. Mengejutkan karena Panasonic adalah pencetus platform Micro Four Thirds, namun ternyata mereka tergiur juga untuk ikut menginvasi lahan kekuasaan Sony.

Kamera mirrorless full-frame pertama Zeiss dan bangkitnya kembali brand Zenit

Zeiss ZX1 / Zeiss
Zeiss ZX1 / Zeiss

Masih seputar Photokina 2018, Zeiss rupanya juga sempat mengumumkan kamera mirrorless full-frame pertamanya: Zeiss ZX1. Keistimewaannya terletak pada integrasi software Adobe Lightroom CC, dimaksudkan agar pengguna bisa langsung menyunting hasil tangkapannya di kamera.

Photokina 2018 juga tercatat sebagai era kebangkitan dedengkot kamera asal Rusia, Zenit. Upaya mereka melahirkan kamera mirrorless full-frame bernama Zenit M, saudara kandung Leica M (Typ 240) yang memang merupakan hasil kolaborasi langsung antara Zenit dan Leica.

Fujifilm umumkan dua kamera mirrorless medium format

Lineup Fujifilm GFX / Fujifilm
Lineup Fujifilm GFX / Fujifilm

Tidak seperti tiga brand Jepang di atas, Fujifilm rupanya tidak tertarik mengembangkan kamera mirrorless full-frame – dan ini sudah dikonfirmasi langsung oleh petinggi senior Fujfilm kepada DPReview. Mereka justru memilih untuk mengumumkan dua kamera mirrorless medium format baru: GFX 50R dan GFX 100 yang masih berupa prototipe.

Kamera mirrorless lain yang diluncurkan tahun ini

Fujifilm X-T3 / Fujifilm
Fujifilm X-T3 / Fujifilm

Masih seputar Fujifilm, tahun ini mereka resmi memperkenalkan Fujifilm X-T3, kamera mirrorless flagship terbarunya yang mengusung sensor X-Trans generasi keempat, yang kini mengadopsi desain backside illuminated, serta jauh lebih kapabel untuk urusan mengambil video.

Sebelum itu, Fujifilm sebenarnya sudah sukses membuktikan bahwa mereka tak lagi payah soal videografi lewat Fujifilm X-H1. Untuk kalangan konsumen yang lebih casual, penawaran mereka tahun ini mencakup Fujifilm X-A5 dan Fujifilm X-T100.

Panasonic Lumix GH5S / Panasonic
Panasonic Lumix GH5S / Panasonic

Bicara soal video, tentunya kita tidak bisa mengesampingkan Panasonic, apalagi mengingat di awal tahun ini mereka sempat mengumumkan Lumix GH5S. Selain itu, Panasonic juga sempat meluncurkan Lumix GX9, suksesor Lumix GX8 yang kini dibekali sensor tanpa low-pass filter dan sistem image stabilization 5-axis.

Beralih ke sepupu Panasonic, yakni Olympus, tahun ini mereka memperkenalkan Olympus PEN E-PL9. Memang bukan model flagship, akan tetapi jeroannya rupanya nyaris identik dengan Olympus OM-D E-M1 Mark III yang merupakan kamera termahalnya, dengan pengecualian pada sistem image stabilization-nya.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 4K / Blackmagic
Blackmagic Pocket Cinema Camera 4K / Blackmagic

Kembali mengulas Canon, EOS R bukanlah satu-satunya kamera mirrorless yang mereka rilis tahun ini. Jauh sebelumnya sudah ada EOS M50, yang menurut rekan saya Lukman dideskripsikan sebagai kamera mirrorless basic tapi berfitur komplet.

Di luar brandbrand populer, ada Blackmagic yang memperkenalkan Pocket Cinema Camera 4K. Kamera ini punya spesifikasi yang cukup mirip dengan Panasonic Lumix GH5S, akan tetapi harganya hanya berkisar separuhnya saja, dan ia juga sangat cocok buat konsumen yang terbiasa memotret dengan smartphone berkat layar sentuh masif yang mendominasi panel belakangnya.

Kamera DSLR dan kamera pocket yang layak disorot tahun ini

Pentax K1 Mark II / Pentax
Pentax K1 Mark II / Pentax

DSLR? Ya, DSLR masih belum mati, dan Pentax membuktikannya dengan sebuah kamera yang sanggup memotret dalam kondisi gelap gulita: Pentax K-1 Mark II. Kelebihan utama kamera ini terletak pada sensor full-frame dengan tingkat ISO maksimum 819200, lengkap dengan penyempurnaan sistem image stabilization 5-axis sehingga mode resolusi tingginya bisa dijalankan tanpa tripod.

Untuk kamera pocket, sulit mencari yang lebih menarik dari lini Sony RX100, dan setelah sempat vakum di tahun 2017, tahun ini hadir Sony RX100 VI. Untuk edisi keenamnya, Sony telah membekalinya dengan lensa dengan kemampuan zoom yang jauh, selagi masih mempertahankan kualitas gambarnya melalui sensor berukuran lebih besar dari biasanya.

Sony RX100 VI / Sony
Sony RX100 VI / Sony

Sensor 1 inci RX100 VI masih kurang besar? Alternatifnya tahun ini adalah Panasonic Lumix LX100 II, yang datang membawa sensor Four Thirds dengan resolusi 17 megapixel, lebih tinggi dari pendahulunya yang selisih usianya berjarak hampir empat tahun.

Sensor Four Thirds masih saja kurang besar? Coba Anda lirik Fujifilm XF10, yang mengusung sensor APS-C dalam bodi sekelas kamera saku. Kekurangannya, kamera ini kurang bisa diandalkan untuk pengambilan video, sebab opsi resolusi 4K-nya cuma terbatas di 15 fps saja.

GoPro dan action cam lain yang hadir tahun ini

Lineup GoPro Hero 7 / GoPro
Lineup GoPro Hero 7 / GoPro

Tentu saja kita tidak boleh melewatkan segmen yang satu ini, sebab action cam boleh dianggap sebagai alternatif yang lebih fleksibel dari kamera pocket. Tahun ini, bintangnya tentu saja adalah trio GoPro Hero 7, dan untuk model unggulannya, GoPro telah menyiapkan teknologi image stabilization internal yang luar biasa efektif sampai-sampai bisa menandingi kombinasi action cam plus gimbal.

Bicara soal fleksibilitas, ada Insta360 One X yang merupakan action cam 360 derajat. Seperti GoPro Hero 7 Black, ia juga mampu merekam dengan sangat stabil, tapi malah dalam format 360 derajat dan resolusi 5,7K. Fleksibilitasnya semakin terjamin berkat kemampuan untuk ‘mengekstrak’ hasil rekaman 360 derajat menjadi video 1080p normal.

DJI Osmo Pocket / DJI
DJI Osmo Pocket / DJI

Terakhir ada DJI Osmo Pocket yang bisa dibilang paling unik sendiri. Ia merupakan kamera plus gimbal dalam satu kemasan, akan tetapi ukurannya kurang lebih setara dengan mayoritas smartphone. Meski tidak head-to-head dengan GoPro, ia tetap merupakan alternatif yang sangat menarik buat konsumen.

Prediksi tren kamera tahun depan

Sony a9 / Sony
Sony a9 / Sony

Seperti yang saya bilang tadi, topik bahasan utama mengenai kamera tahun ini adalah full-frame, dan itu semestinya masih akan terus berlanjut hingga tahun depan. Canon misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa EOS R barulah kamera pertama dari lini mirrorless full-frame-nya.

Saya yakin Sony tidak akan tinggal diam begitu saja menghadapi rival-rival barunya. Di luar lini Sony a7, mereka sebenarnya punya ‘senjata’ lain yang lebih mematikan, yaitu Sony a9 yang memiliki performa melampaui DSLR. Sayang penerusnya tidak hadir tahun ini, sehingga kemungkinan besar Sony bakal menyingkapnya tahun depan.

Hal lain yang kerap dianggap sepele namun berperan krusial adalah dukungan firmware update. Adalah Fujifilm yang memulai tren ini sejak lama, dan tahun ini sepertinya Sony sudah mulai menyusul. Semoga saja tahun depan semakin banyak lagi produsen kamera yang menyadari betapa pentingnya firmware update di mata konsumen.

 

Leica S3 Sapa Penggemar DSLR Medium Format Tahun Depan

Photokina 2018 dimanfaatkan Leica untuk merayakan ulang tahun ke-10 DSLR medium format-nya, Leica S2. Pabrikan asal Jerman itu juga mengumumkan suksesornya, Leica S3, yang membawa sejumlah penyempurnaan dalam wujud yang tidak jauh berbeda.

Peningkatan yang paling signifikan, seperti yang sudah bisa kita duga, adalah di sektor resolusi. Sensor ProFormat (45 x 30 mm) yang digunakan S3 menawarkan resolusi 64 megapixel, naik hampir dua kali lipat dibanding sensor tipe CCD yang tertanam pada Leica S2.

S3 tidak lupa menjanjikan kemampuan merekam video 4K, dengan jaminan hasil yang berkualitas berkat pemanfaatan seluruh penampang sensor, serta tampilan khas medium format. Urusan continuous shooting, Leica S3 sanggup menjepret dalam kecepatan 3 fps.

Leica S3

Selebihnya, detail mengenai S3 masih minim. Leica cuma bilang bahwa sistem autofocus-nya dipastikan cepat sekaligus akurat, dan kamera akan dibekali viewfinder optik yang besar dan terang – S3 termasuk kategori DSLR, sehingga wajar apabila yang digunakan bukanlah viewfinder elektronik.

Rencananya, Leica S3 akan dipasarkan mulai musim semi tahun 2019. Harganya belum diungkap, tapi sudah pasti mahal. Buktinya, Leica S (Typ 007) (yang menggantikan sensor tipe CCD milik S2 dengan sensor CMOS di tahun 2014) masih bisa dibeli seharga $20.000.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Nikon D3500 Unggulkan Kepraktisan dan Harga Terjangkau di Segmen DSLR Entry-Level

Lewat Nikon Z 7 dan Z 6, Nikon resmi memulai babak baru di kancah mirrorless. Kendati demikian, sang rival abadi Canon tersebut tentu tidak lupa dengan segmen yang berhasil membangun reputasinya hingga ke titik ini. Lagipula, kamera mirrorless anyar Nikon itu masuk kategori high-end, sehingga masih ada celah di kelas bawah yang bisa diisi oleh DSLR terbarunya.

Nikon D3500, sesuai namanya, merupakan suksesor dari Nikon D3400 yang dirilis dua tahun silam. Lagi-lagi Nikon tidak menghadirkan peningkatan kualitas gambar, sebab target pasar yang dituju di kelas ini adalah mereka yang belum pernah memiliki kamera sama sekali, dan spesifikasi pendahulunya saja memang sudah lebih dari cukup.

Spesifikasi tersebut mencakup sensor APS-C 24 megapixel dan prosesor Expeed 4. Tingkat ISO-nya berada di kisaran 100 – 25600, sedangkan autofocus-nya mengandalkan sistem 11 titik. Satu-satunya hal yang paling mengecewakan adalah kemampuan merekam videonya, yang masih saja terbatas di resolusi 1080p 60 fps, padahal kita sudah hidup di era smartphone berkemampuan 4K.

Nikon D3500

Kinerjanya sama persis, tapi yang berubah adalah kepraktisannya. D3500 rupanya memiliki dimensi yang lebih ringkas lagi ketimbang D3400, dengan bobot hanya 365 gram, sudah termasuk baterai. Baterainya ini juga amat istimewa, sanggup bertahan hingga 1.550 jepretan dalam satu kali charge, naik sekitar 30% dari baterai D3400 yang sudah tergolong sangat awet.

Desain D3500 pun juga telah disempurnakan agar lebih mudah dioperasikan. Satu yang paling saya suka adalah, semua tombol di panel belakangnya kini diposisikan di samping kanan layar (kecuali tombol pop-up flash). Dengan begitu, pengguna dapat meraih semuanya menggunakan jempol kanan tanpa harus melepas matanya dari viewfinder.

Nikon D3500

Wi-Fi lagi-lagi absen di kamera ini. Namun jangan khawatir, D3500 tetap dibekali Bluetooth dan kompatibel dengan sistem SnapBridge. Pada versi terbarunya, SnapBridge tak hanya berguna untuk memudahkan proses transfer gambar ke perangkat mobile saja, tapi juga memungkinkan fungsi remote control via Bluetooth.

Perubahan lain yang bakal membuat konsumen tersenyum adalah harga jualnya yang turun drastis jika dibandingkan D3400. Nikon mematok harga $500 saja untuk D3500 bersama lensa 18–55mm f/3.5–5.6G VR, sedangkan bundel dengan dua lensa (lensa yang tadi plus 70–300mm f/4.5–6.3G ED) dihargai $850. Pemasarannya akan dimulai pada bulan September ini juga.

Sumber: DPReview.

DSLR Full-Frame Pentax K-1 Mark II Tidak Kesulitan Memotret dalam Kondisi Gelap Gulita

Persis dua tahun yang lalu, Pentax memulai debutnya di segmen DSLR full-frame lewat Pentax K-1. Sekarang, sekuelnya sudah siap meluncur dengan sejumlah pembaruan. Label “Mark II” pada namanya mengindikasikan pembaruan yang tergolong minor, akan tetapi pengaruhnya tetap cukup signifikan.

Pentax K-1 Mark II masih mengemas sensor yang sama seperti pendahulunya: full-frame 36,4 megapixel, tanpa filter anti-aliasing guna mempertajam hasil tangkapannya. Yang baru adalah sebuah komponen accelerator, yang memungkinkan sensitivitasnya terhadap cahaya naik drastis sampai ke ISO 819200, sehingga kamera pada dasarnya mampu melihat dalam kegelapan.

Pentax K-1 Mark II

Juga baru adalah sistem image stabilization 5-axis yang lebih sempurna. Begitu efektifnya kinerja sistem ini, mode pemotretan Pixel Shift pun bisa digunakan tanpa memerlukan tripod. Pixel Shift sendiri merupakan mode khusus di mana kamera akan mengambil empat gambar selagi menggeser posisi sensornya, sebelum akhirnya dijadikan satu gambar dengan tingkat detail yang luar biasa.

Mode Pixel Shift di K-1 Mark II juga ikut dibenahi, di mana kamera kini dapat menyimpan data warna RGB di tiap-tiap pixel, sehingga pada akhirnya hasil tangkapannya bisa mengemas detail yang lebih baik lagi, serta warna yang lebih realistis. Singkat cerita, Pentax pada dasarnya tidak mau menyia-nyiakan potensi sensor full-frame pada kamera ini.

Selebihnya, K-1 Mark II masih sama seperti generasi pertamanya. Ini bisa berarti baik, tapi bisa juga tidak. Yang mungkin sangat mengecewakan adalah, K-1 Mark II masih saja belum bisa merekam video 4K. Satu-satunya cara menghasilkan video 4K menggunakan kamera ini adalah dengan memanfaatkan mode time lapse.

Positifnya, K-1 Mark II masih mempertahankan desain ergonomis dan konstruksi kokoh pendahulunya yang tahan terhadap cuaca ekstrem. LCD 3,2 inci yang sangat fleksibel dan bisa diputar-putar ke hampir segala arah pun juga masih ada di sini.

Pentax berencana melepas K-1 Mark II ke pasaran mulai bulan April, dengan banderol $2.000 (body only). Bundel bersama lensa 28-105mm f/3.5-5.6 juga bakal tersedia seharga $2.400.

Pentax K-1 Mark II

Sumber: DPReview.

Nikon D850 Hadir Mengusung Sensor Full-Frame 45,7 Megapixel dan Performa Sekelas Nikon D5

Tepat satu bulan sejak berulang tahun yang ke–100, Nikon akhirnya mengungkap secara resmi DSLR kelas atas terbarunya, D850. Sesuai teaser yang diberikan sebelumnya, Nikon D850 datang membawa sederet teknologi mutakhir dan pembaruan yang amat signifikan dibandingkan pendahulunya.

Yang paling utama adalah sensor full-frame baru beresolusi 45,7 megapixel, tanpa dibekali low pass filter guna semakin mempertajam detail. Perpaduannya dengan prosesor EXPEED 5 sanggup memberikan rentang ISO seluas 64 – 25600, bahkan bisa ditingkatkan lagi menjadi 32 – 102400 jika perlu.

Nikon juga mengklaim peningkatan drastis terkait performa low-light. Sedrastis apa? Hasil pengujian Nikon sendiri menunjukkan kalau D850 mampu menghasilkan kualitas gambar yang sama di ISO 25600 dibanding D810 di ISO 12800. Dynamic range-nya juga diyakini sama atau bahkan lebih baik ketimbang pendahulunya meskipun mengemas resolusi yang jauh lebih tinggi.

Nikon D850

Urusan performa, Nikon akhirnya mengabulkan permintaan banyak konsumen, yaitu sistem autofocus 153 titik seperti pada Nikon D5. D850 juga sanggup memotret tanpa henti dalam kecepatan 7 fps dan dalam resolusi penuh, bahkan bisa naik lagi menjadi 9 fps ketika dipasangi aksesori battery grip – yang juga akan meningkatkan daya tahan baterainya dari 1.840 jepretan menjadi 5.140 jepretan.

Nikon rupanya juga tidak lupa dengan kalangan videografer, sebab D850 dibekali kemampuan merekam video 4K 30 fps. Fitur pemanis seperti slow-motion 120 fps dan focus peaking turut hadir, tapi hanya untuk resolusi 1080p, tidak ketinggalan juga 8K time-lapse dan output HDMI.

Nikon D850

Sebagai DSLR kelas pro, konstruksi tahan banting tentunya sudah menjadi fitur standar pada D850. Sasis berbahan magnesiumnya dirancang supaya bisa tahan terhadap cuaca yang tidak bersahabat, dan yang tak kalah menarik, deretan tombol milik D850 bisa menyala ketika berada di tempat gelap.

Di belakang, selain viewfinder dengan tingkat perbesaran 0,75x, pengguna juga akan disambut oleh layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,36 juta dot yang bisa di-tilt ke atas atau bawah. D850 juga datang mengusung sepasang slot memory card, satu untuk SD card standar dan satu lagi untuk XQD yang berkecepatan tinggi.

Seperti yang bisa ditebak, konektivitas SnapBridge berbasis Bluetooth LE turut hadir sebagai fitur andalan D850. Kamera ini rencananya bakal masuk ke pasaran mulai September mendatang, dengan banderol harga $3.300 untuk bodinya saja.

Sumber: DPReview.

Ulang Tahun ke-100, Nikon Garap DSLR Kelas Atas D850

Pada tanggal 25 Juli 2017 ini, Nikon resmi menginjak usianya yang ke–100. Sama seperti Canon, Nikon bisa dibilang terbelakang di kancah mirrorless, tapi masih memimpin jauh di segmen DSLR. Bersamaan dengan perayaan hari jadinya yang ke–100 ini, Nikon mengumumkan bahwa mereka tengah menyiapkan DSLR kelas atas baru, yaitu Nikon D850.

D850 adalah penerus langsung D810 yang mengusung sensor full-frame 36,3 megapixel. Nikon tidak menyingkap banyak detail mengenai D850, tapi mereka memastikan bahwa suksesor D810 ini bakal dirancang dengan sederet teknologi baru, mengemas fitur dan performa yang merupakan perwujudan atas masukan dari konsumen dalam beberapa tahun terakhir.

Nikon tidak lupa menyinggung bahwa D850 bakal menjadi kamera yang bisa diandalkan oleh fotografer profesional dari berbagai kategori: landscape, sport, fashion sampai wedding sekaligus. Kalau Nikon benar-benar mendengarkan permintaan konsumen, pastinya kekurangan-kekurangan D810 bakal dibenahi di D850.

Apa saja itu? Resolusi yang sedikit lebih tinggi bisa menjadi salah satu pembaruan yang pasti, tidak ketinggalan juga performa low-light yang lebih baik lagi. Konsumen pastinya juga bakal sangat gembira seandainya sistem autofocus 153 titik milik Nikon D5 bisa diimplementasikan di D850.

Perekaman video 4K juga merupakan pembaruan yang signifikan – video teaser-nya di bawah menyebutkan 8K time-lapse sebagai salah satu fitur andalan D850, plus kita bisa mendapat gambaran terkait kapabilitas D850 untuk astrophotography. Fitur baru lain yang bisa melengkapi mungkin mencakup sistem konektivitas SnapBridge dan layar sentuh yang bisa dilipat dan diputar.

Sumber: DPReview dan Engadget.

Canon EOS 200D Teruskan Jejak EOS 100D Sebagai DSLR Terkecil dan Teringan

Selain Canon EOS 6D Mark II, Canon belum lama ini juga memperkenalkan EOS 200D. EOS 200D merupakan penerus langsung dari EOS 100D yang sempat mencuri perhatian publik sekitar empat tahun silam sebagai DSLR terkecil sekaligus teringan.

Sama seperti pendahulunya, kamera ini masih duduk manis di kelas entry. Misi yang diembannya tidak lain dari menjadi DSLR pertama konsumen yang baru mulai menekuni hobi fotografi, terutama mereka yang ingin ‘naik kelas’ dari kamera ponsel atau kamera saku.

Canon EOS 200D

200D mempertahankan desain compact yang dibanggakan pendahulunya. Seperti halnya 6D Mark II, pembaruannya tidak kelihatan dari luar. Yang pertama tentu saja adalah sensor APS-C baru beresolusi 24,2 megapixel, ditemani oleh prosesor DIGIC 7.

ISO maksimumnya berada di angka 25600, sedangkan video bisa ia rekam dalam resolusi 1080p 60 fps. Menjepret tanpa henti bisa ia lakukan dalam kecepatan 5 fps, atau 3,5 fps dengan Continuous AF. Sistem autofocus-nya sendiri kini mengandalkan teknologi Dual Pixel CMOS AF 9 titik, sama persis seperti yang terdapat pada EOS 700D.

Canon EOS 200D

Yang mungkin paling menarik menurut saya adalah LCD-nya. Di sini Canon telah menanamkan layar sentuh 3 inci yang bisa dilipat sekaligus diputar, memberikan kemudahan memotret ala smartphone, sekaligus memudahkan hobi mengambil selfie – ini juga yang menjadi fitur unggulan baru 6D Mark II.

Konektivitas wireless macam Wi-Fi, NFC dan Bluetooth turut hadir, demikian pula dengan pop-up LED flash. Konsumen yang tertarik bisa meminang Canon EOS 200D seharga $550 (body only) atau $700 bersama lensa EF-S 18–55mm f/4–5.6 IS STM mulai akhir Juli mendatang.

Sumber: DPReview.