I’m Back Hidupkan Kembali Kamera Analog Menjadi Kamera Digital

Dalam rangka membangkitkan kembali semangat fotografi analog, Yashica belum lama ini memperkenalkan sebuah kamera digital unik yang memiliki cara kerja seperti kamera analog. Di tempat lain, ada startup asal Itali yang mencoba menghidupkan kembali kamera analog lewat jalur lain.

Jalur lain itu adalah mengubah kamera analog sepenuhnya menjadi kamera digital. Buah pemikirannya adalah I’m Back, sebuah aksesori yang bertindak sebagai dudukan kamera, dengan sebuah sensor gambar digital pada bagian dimana rol film sebelumnya berada.

I’m Back dapat digunakan bersama sejumlah kamera analog, seperti Nikon F, Minolta Maxxum 7000, Olympus om10, Praktica B200 maupun sejumlah kamera besutan Pentax. Pada dasarnya, apabila kamera analog Anda memiliki lubang tripod, opsi Bulb pada pengaturan shutter speed, kompatibilitas dengan sync flash dan kemampuan beroperasi selagi panel belakangnya terbuka; maka kamera itu kompatibel dengan I’m Back.

I'm Back

Sensor yang digunakan adalah sensor 16 megapixel buatan Panasonic. Detail mengenai ukuran sensornya tidak diberikan, tapi saya duga Micro Four Thirds kalau melibatkan Panasonic. Video dapat direkam dalam resolusi 1080p 60 fps, atau 2880 x 2160 pixel di kecepatan 24 fps.

Bagian belakangnya dihuni layar 2 inci, akan tetapi pengguna juga dapat memanfaatkan ponsel atau tablet-nya sebagai jendela bidik. Foto dan video akan disimpan ke kartu microSD, lalu ketika pengguna hendak menggunakan film kembali, cukup lepas modul I’m Back begitu saja.

I’m Back saat ini sedang ditawarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga €175, atau kurang lebih sekitar Rp 2,8 juta.

Sumber: PetaPixel.

Yashica digiFilm Y35 Adalah Kamera Digital dengan Cara Kerja Sangat Mirip Seperti Kamera Analog

Comeback Polaroid bulan lalu mendapat respon yang cukup positif dari publik. Hal ini tampaknya menginspirasi produsen kamera lawas lain untuk mengambil langkah serupa, salah satunya adalah Yashica. Pabrikan asal Jepang yang merupakan pionir teknologi shutter berbasis elektronik itu baru saja memperkenalkan kamera yang super-unik.

Namanya Yashica digiFilm Y35. Desainnya sengaja dibuat semirip mungkin dengan Yashica Electro 35 yang populer di tahun 60-an. Secara mendasar ia merupakan sebuah kamera digital, akan tetapi embel-embel “digiFilm” mengindikasikan keunikan tersendiri daripadanya.

Desain Yashica digiFilm Y35 terinspirasi Yashica Electro 35 / @wikupedia (Instagram)
Desain Yashica digiFilm Y35 terinspirasi Yashica Electro 35 / @wikupedia (Instagram)

Y35 mengemas sensor CMOS 1/3,2 inci beresolusi 14 megapixel, plus lensa fixed 35mm f/2.8. Dengan sensor sekecil itu, kualitas gambar jelas bukan aspek yang diunggulkannya. Pada kenyataannya, Y35 memang tidak mengincar titel kamera dengan hasil foto terbaik.

Yang ingin disuguhkannya justru adalah pengalaman memotret menggunakan kamera analog, tapi dengan kepraktisan teknologi digital. Jadi, dengan kata lain, cara menggunakan Y35 sebenarnya sangat mirip seperti kamera analog, tapi semua hasil jepretannya merupakan foto digital.

Yashica digiFilm Y35

Kalau kamera analog membutuhkan rol film untuk beroperasi, Y35 membutuhkan digiFilm, yang pada dasarnya merupakan rol film palsu. Namun sebelum Anda menggaruk-garuk kepala, ketahuilah bahwa digiFilm merupakan bagian terpenting dari keseluruhan kamera ini.

digiFilm sederhananya berfungsi untuk menyetel pengaturan kamera, spesifiknya tingkat ISO, aspect ratio dan mode warna. Jadi ketimbang mengakses menu via layar seperti pada kamera digital biasa, pengguna Y35 harus menukar satu digiFilm dengan yang lain secara fisik untuk mengubah pengaturan-pengaturan tersebut – Anda juga tak akan menemukan layar di belakang Y35.

Yashica digiFilm Y35

Seperti kasusnya di kamera analog, mengganti tingkat ISO di Y35 hanya bisa dilakukan dengan mengganti digiFilm yang terpasang. Total ada 4 jenis digiFilm yang menemani Y35 pada awal debutnya ini: ISO 1600 High Speed, ISO 400 Black & White, ISO 200 Ultra Fine, dan 120 Format (ISO 200, tapi dengan aspect ratio kotak yang dioptimalkan untuk Instagram).

Satu-satunya parameter yang dapat diatur pengguna secara langsung adalah shutter speed; bisa 1 detik, 1/30, 1/60, 1/250 atau 1/500 detik lewat sebuah kenop di panel atasnya – atau pengguna bisa juga mengaktifkan mode otomatis kalau perlu. Juga seperti kamera analog, Y35 beroperasi menggunakan sepasang baterai AA biasa.

Yashica digiFilm Y35

Agar pengalaman fotografi analog yang disuguhkan jadi lebih autentik lagi, Y35 bahkan juga dilengkapi film winder di sebelah tombol shutter-nya. Jadi setiap kali selesai menjepret, pengguna harus menggeser tuas ini secara manual terlebih dulu agar dapat memotret kembali, sama persis seperti di kebanyakan kamera analog.

Tidak cuma itu, pengguna Y35 bahkan tidak memiliki opsi untuk menghapus foto yang diambilnya. Satu-satunya cara adalah memindah hasil jepretannya terlebih dulu dari SD card yang terpasang, atau bisa juga dengan menancapkan kabel micro USB dan menyambungkannya ke komputer.

Yashica digiFilm Y35

Yashica digiFilm Y35 pastinya tidak akan bisa menggantikan kamera analog sejati, tapi menurut saya ini merupakan cara cerdas untuk mengenang atau setidaknya mengenali fotografi analog, tanpa harus meluangkan waktu ekstra yang diperlukan untuk proses pencucian film.

Hal lain yang perlu dicatat, pengembang digiFilm mungkin sudah bukan lagi Yashica yang dunia kenal dulunya, sebab Yashica sebagai perusahaan telah beberapa kali berpindah tuan (dijual) dalam beberapa dekade terakhir. Terlepas dari itu, Anda yang tertarik dapat memesannya lewat situs crowdfunding Kickstarter seharga HK$1.168 (± Rp 2 jutaan), sudah termasuk 4 jenis digiFilm itu tadi.

Sumber: PetaPixel.

Kodak Hidupkan Kembali Kamera Legendaris Kodak Super 8

Meski popularitasnya sudah tidak setenar dulu, generasi saya tahu betul kebesaran nama Kodak di era pra-kamera digital. Lebih jauh ke belakang lagi, generasi orang tua saya pun paham bagaimana Kodak sempat merevolusi industri perfilman lewat kamera Super 8 yang legendaris.

Kini digital sudah mengambil alih, tapi itu bukan berarti analog dan film sudah ditinggalkan begitu saja. Buktinya, film-film blockbuster macam Star Wars: The Force Awakens maupun Interstellar masih direkam menggunakan film besutan Kodak. Ya, Kodak memang belum menyerah memproduksi film, dan mereka justru bermisi untuk ‘menghidupkannya’ kembali.

Caranya adalah dengan mendatangkan kembali kamera Kodak Super 8. Sudah 50 tahun berselang sejak Super 8 orisinil diperkenalkan pertama kalinya, dan Kodak sekarang tengah bersiap untuk meluncurkan versi baru Super 8 dengan teknologi yang disesuaikan untuk generasi modern.

Menurut Kodak, kalau tren di industri musik ternyata mengacu pada kembalinya popularitas vinyl, mengapa di industri film tidak bisa demikian? Digital memang punya kelebihan tersendiri, begitu juga dengan analog. Jadi, kenapa tidak menyatukan keduanya saja?

Kodak Super 8

Itulah ide mendasar yang melahirkan Kodak Super 8 baru ini. Wujudnya masih serupa dengan yang lawas, ada grip berlapis kulit di atas, tapi ada juga grip di bawah untuk digenggam layaknya sebuah pistol. Kamera ini pun juga masih menggunakan cartridge film Super 8 seperti yang dulu.

Kendati demikian, Kodak Super 8 baru ini telah dibentuk menggunakan material-material berkualitas tinggi. Kodak tak mau main-main, mereka menunjuk desainer kenamaan Yves Behar guna menciptakan sebuah produk yang di satu sisi tampak retro, tapi di saat yang sama juga terasa amat modern.

Lalu apa wujud digitalisasi Kodak Super 8 yang bisa kita lihat? Yang pertama adalah sebuah viewfinder 3,5 inci yang bisa dimiring-miringkan untuk membantu pengguna mengatur komposisi. Kemudian pada bagian atasnya tertanam sebuah mikrofon yang menghadap ke depan seperti lensa Ricoh 6 mm miliknya – atau lensa zoom 6-48 mm yang opsional.

Kodak Super 8

Konektivitas digital pun turut mendapat perhatian penting bagi Kodak. Di belakang Super 8, Anda akan menjumpai slot SD card, port HDMI maupun USB. Super 8 generasi modern ini bisa Anda charge menggunakan kabel USB dan adapter seperti smartphone atau tablet.

Namun yang tak kalah menarik adalah bagaimana Kodak menginginkan seluruh kalangan, baik kaum profesional maupun konsumen secara umum, bisa sama-sama berkreasi menggunakan Super 8. Setiap kali pengguna selesai merekam, mereka bisa mengirimkan cartridge filmnya kembali ke Kodak. Selanjutnya, Kodak akan mengolahnya menjadi sebuah kopi digital beserta rol film 8 mm standar, dan mengirimkannya kembali kepada pengguna.

Inkarnasi terbaru Kodak Super 8 ini rencananya akan mulai dipasarkan pada musim gugur tahun ini juga. Belum ada kepastian soal harganya, kemungkinan berkisar antara $400 sampai $750, sedangkan proses digitalisasi cartridge filmnya dihargai sekitar $50 sampai $75.

Sumber: PetaPixel. Sumber gambar: Kodak.