Dibanderol $3.999, Fujifilm GFX 50S II Adalah Kamera Mirrorless Medium Format Termurah Fujifilm Sejauh Ini

Dengan ukuran sensor yang lebih besar dari kamera mirrorless full-frame, wajar apabila kamera mirrorless medium format seperti Fujifilm GFX 100S dijual dengan harga selangit. Namun tidak selamanya harus seperti itu, sebab seiring waktu ongkos pengembangan suatu teknologi pasti akan terus menurun, sehingga pada akhirnya pabrikan bisa menjual produk dengan harga yang lebih murah.

Kira-kira begitulah sentimen yang saya dapat setelah mendengar kabar tentang perilisan Fujifilm GFX 50S II. Dibanderol $3.999, atau kurang lebih sekitar 57 jutaan rupiah, ia merupakan kamera medium format paling terjangkau yang pernah Fujifilm luncurkan. Memang belum bisa dikatakan murah, tapi setidaknya bisa membantu konsumen mengalokasikan sisa dana yang ada ke lensa.

GFX 50S II mengemas sensor medium format beresolusi 51,4 megapixel, sementara kemampuan merekam videonya terbatas di resolusi 1080p. Tidak seperti GFX 100S yang dibekali sistem phase-detect autofocus, GFX 50S II masih mengandalkan sistem contras-detect. Meski demikian, Fujifilm mengklaim GFX 50S II punya kemampuan Face / Eye Detection AF yang lebih akurat daripada generasi pertamanya.

Ini dimungkinkan berkat penggunaan chip X-Processor 4 seperti yang terdapat pada GFX 100S. Singkat cerita, bila dibandingkan dengan pendahulunya, GFX 50S II punya sensor yang sama, tapi prosesornya lebih baru.

Yang cukup istimewa dari GFX 50S II adalah sistem IBIS (in-body image stabilization) lima porosnya, yang diklaim mampu mengompensasi guncangan hingga 6,5 stop, paling baik di antara semua kamera dari lini Fujifilm GFX. Berkat sistem IBIS yang efektif, GFX 50S II jadi bisa menawarkan Pixel Shift Multi-Shot, yakni fitur untuk menghasilkan foto beresolusi 200 megapixel dengan cara menjepret dan menggabungkan 16 gambar dalam format RAW.

Dari segi fisik, GFX 50S II mengemas bodi yang identik dengan GFX 100S, bahkan bobotnya pun sama-sama 900 gram. Pengguna dapat menjumpai layar kecil (1,8 inci) di pelat atasnya yang berfungsi sebagai indikator parameter exposure, sementara sisi belakangnya dihuni oleh LCD 3,2 inci yang dapat dimiringkan ke tiga arah yang berbeda, plus viewfinder elektronik dengan panel OLED beresolusi 3,69 juta dot.

Seperti yang sudah disebutkan, Fujifilm GFX 50S II akan dijual dengan harga $3.999 (body only), jauh lebih murah daripada GFX 50S orisinal yang dihargai $6.499 ketika pertama diluncurkan di tahun 2017.

Fujifilm juga akan menjual GFX 50S II bersama lensa baru GF 35-70mm f/4.5-5.6 WR dengan harga $4.499. Di Amerika Serikat, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai akhir bulan Oktober 2021.

Sumber: DPReview.

Fujifilm GFX100 IR Dirancang untuk Keperluan Forensik Maupun Pelestarian Budaya

Dengan sensor medium format 100 megapixel dan banderol harga nyaris 160 juta rupiah, Fujifilm GFX100 jelas bukan untuk semua orang. Kendati demikian, Fujifilm rupanya masih punya cara untuk menyulap kamera mirrorless tersebut menjadi lebih spesial lagi.

Mereka baru saja memperkenalkan Fujifilm GFX100 IR, versi khusus GFX100 yang didedikasikan untuk keperluan fotografi inframerah. Bukan cuma 100 megapixel, kamera ini juga dapat menghasilkan gambar inframerah dalam resolusi 400 megapixel dengan memanfaatkan fitur pixel shifting – yang juga tersedia pada GFX100 standar lewat sebuah firmware update.

Menurut Fujifilm, gambar inframerah yang dihasilkan oleh GFX100 IR memungkinkan kita untuk melihat detail yang tidak tampak dengan mata telanjang. Kemampuan semacam ini tentunya dapat membantu para profesional yang bekerja di bidang forensik, semisal untuk mengidentifikasi dokumen yang dipalsukan.

Contoh lainnya adalah di bidang pelestarian budaya, di mana gambar inframerah yang dijepret oleh kamera ini dapat dipakai untuk menganalisis pigmen warna pada sejumlah karya seni maupun artefak bersejarah. Singkat cerita, kamera ini punya skenario penggunaan yang lebih spesifik lagi dibanding GFX100 standar. Berikut adalah dua contoh gambar normal beserta versi inframerahnya.

Fujifilm tidak lupa menambahkan bahwa beragam filter inframerah yang terletak di sisi depan lensa dapat dipakai untuk mengambil gambar di panjang gelombang yang berbeda guna menyingkap detail yang berbeda pula pada sebuah subjek foto. Tentu saja kamera ini juga dapat berfungsi secara normal layaknya GFX100 standar ketika dibutuhkan.

Tidak mengejutkan dari sebuah kamera profesional, GFX100 IR dapat ditempatkan di posisi yang semi-permanen, lalu disambungkan ke laptop atau komputer sehingga pengguna dapat mengambil beberapa gambar yang berbeda dari angle yang sama persis secara efisien.

Melihat sifat dasar GFX100 IR yang bisa dibilang sangat terspesialisasi, tidak heran apabila pada akhirnya kamera ini tidak akan dijual secara umum begitu saja, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang memesannya buat keperluan forensik, pelestarian budaya maupun penelitian-penelitian ilmiah.

Fujifilm juga tidak merincikan berapa harganya, tapi bisa kita tebak pasti di atas 160 juta rupiah. Penjualannya sendiri diprediksi bakal berlangsung mulai kuartal pertama 2021.

Sumber: PetaPixel.

Hasselblad Luncurkan Penerus Kamera Mirrorless Medium Format-nya, X1D II 50C

Tiga tahun lalu, Hasselblad menyingkap X1D, kamera mirrorless pertama di dunia yang mengemas sensor medium format, yang ukuran penampangnya jauh lebih besar ketimbang sensor full-frame. Kini giliran penerusnya yang unjuk gigi; X1D II 50C menghadirkan sejumlah penyempurnaan dari segi performa maupun pengoperasian.

X1D II masih menggunakan sensor medium format beresolusi 50 megapixel yang sama seperti pendahulunya. Namun kelemahan X1D generasi pertama bukanlah kualitas gambar, melainkan performanya. Itulah mengapa Hasselblad menyematkan prosesor baru pada X1D II, yang pada akhirnya sanggup memangkas waktu booting kamera hingga 46%, serta meningkatkan performanya secara keseluruhan.

Kemampuan burst shooting-nya naik sedikit menjadi 2,7 fps. Di samping itu, kehadiran prosesor baru ini juga berhasil mendongkrak refresh rate dari viewfinder elektronik (EVF) milik X1D II, yang kini berada di angka 60 fps. Tidak ketinggalan juga adalah peningkatan resolusi EVF menjadi 3,69 juta dot, serta tingkat perbesaran yang naik menjadi 0,87x.

Hasselblad X1D II 50C

Terkait pengoperasian, X1D II mengandalkan layar sentuh yang berukuran lebih besar, tepatnya 3,6 inci, dengan resolusi yang lebih tinggi pula di angka 2,36 juta dot. Tak hanya itu, tampilan menunya juga sudah disempurnakan agar lebih mudah dikuasai, dan menu-menunya pun kini juga dapat diakses lewat EVF.

Perubahan lain yang sepele namun tetap menarik adalah mode pemotretan JPEG-only. Sebelum ini, X1D orisinal hanya bisa memotret dalam format RAW atau JPEG+RAW saja. Juga menarik adalah bagaimana baterai 24,7 Wh miliknya kini dapat di-charge menggunakan adaptor atau langsung via colokan USB kamera, yang berarti X1D II dapat menerima suplai daya dari power bank di saat darurat.

Hasselblad X1D II 50C

Masih seputar USB, Hasselblad juga telah meng-update aplikasi pendamping X1D II yang bernama Phocus Mobile 2 agar dapat menyambung langsung ke iPad Pro generasi ketiga via kabel USB-C. Terakhir, X1D II juga telah mengemas GPS terintegrasi, tidak seperti pendahulunya yang memerlukan aksesori terpisah.

Bagian terbaiknya, Hasselblad X1D II juga dibanderol jauh lebih terjangkau daripada pendahulunya – meski tetap saja mahal – di angka $5.750 (body only), lebih mendekati harga Fujifilm GFX 50R yang bermain di segmen yang sama. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai bulan Juli mendatang.

Sumber: DPReview.

Fujifilm GFX100 Resmi Diluncurkan, Mirrorless dengan Sensor Medium Format Beresolusi 102 Megapixel

Resmi sudah, Fujifilm akhirnya meluncurkan kamera monster yang mereka pamerkan prototipenya pada ajang Photokina tahun lalu, yaitu GFX 100. Kamera ini bisa dianggap sebagai pembuktian terhadap anggapan Fujifilm bahwa kamera mirrorless bersensor full-frame terkesan tanggung.

Hal paling utama yang harus disoroti dari GFX 100 tentu saja adalah sensornya. Kamera ini mengemas sensor medium format yang sama seperti milik GFX 50S maupun GFX 50R, tapi di sini resolusinya telah dilipatgandakan menjadi 102 megapixel. Secara otomatis ini menjadikannya sebagai kamera mirrorless dengan resolusi tertinggi yang ada saat ini.

Fujifilm GFX100

Namun GFX 100 bukan sebatas mengunggulkan resolusi begitu saja. Kecanggihannya juga meliputi sistem image stabilization internal 5-axis, serta sistem phase-detection autofocus (PDAF) yang cakupannya hampir menutupi seluruh penampang sensor, dengan total 3,76 juta pixel phase-detection yang tersebar.

Sistem autofocus-nya ini merupakan peningkatan pesat dibanding yang terdapat pada GFX 50S maupun GFX 50R. Fuji mengklaim GFX100 mampu mengunci fokus 210% lebih cepat ketimbang GFX 50R yang masih ditenagai oleh sistem contrast-detection autofocus konvensional. Jadi untuk fotografer olahraga atau fotografer satwa liar, mereka jelas akan lebih memilih GFX 100.

Juga patut diapresiasi adalah kemampuan GFX100 merekam video 4K 30 fps, pertama kalinya bagi kamera mirrorless dengan sensor sebesar ini. Lebih lanjut, jika bicara dalam konteks profesional, GFX 100 juga menyediakan opsi perekaman berformat uncompressed 4:2:2 10-bit via port HDMI miliknya.

Fujifilm GFX100

Semua itu berhasil dikemas dalam bodi yang dimensinya tidak lebih besar dari kamera DSLR full-frame kelas flagship, macam Canon 1D X Mark II, misalnya. Bobotnya pun hanya berkisar 1,36 kilogram, dan itu sudah mencakup sepasang baterai, sebuah memory card (slot-nya sendiri ada dua), serta viewfinder elektronik (EVF).

Apa hubungan EVF dengan bobot perangkat? Well, rupanya GFX100 mempunyai EVF yang dapat dilepas-pasang. Untuk apa harus dilepas? Supaya pengguna dapat menggantinya dengan aksesori opsional berupa EVF yang dapat diputar (swivel) sekaligus dinaik-turunkan sudutnya (tilt) demi fleksibilitas ekstra selagi memotret.

Fujifilm GFX100

Di samping jendela bidik, tentunya pengguna juga bisa memanfaatkan layar sentuh 3,2 inci miliknya. Layar beresolusi 2,36 juta dot ini juga bisa di-tilt, malahan secara total ke 3 arah, sehingga tetap terasa ideal dalam orientasi landscape maupun portrait.

Tertarik? Siapkan saja dana sebesar $10.000 untuk meminang Fujifilm GFX100 (body only tentu saja) saat mulai dipasarkan pada 27 Juni mendatang.

Sumber: PetaPixel.

Leica S3 Sapa Penggemar DSLR Medium Format Tahun Depan

Photokina 2018 dimanfaatkan Leica untuk merayakan ulang tahun ke-10 DSLR medium format-nya, Leica S2. Pabrikan asal Jerman itu juga mengumumkan suksesornya, Leica S3, yang membawa sejumlah penyempurnaan dalam wujud yang tidak jauh berbeda.

Peningkatan yang paling signifikan, seperti yang sudah bisa kita duga, adalah di sektor resolusi. Sensor ProFormat (45 x 30 mm) yang digunakan S3 menawarkan resolusi 64 megapixel, naik hampir dua kali lipat dibanding sensor tipe CCD yang tertanam pada Leica S2.

S3 tidak lupa menjanjikan kemampuan merekam video 4K, dengan jaminan hasil yang berkualitas berkat pemanfaatan seluruh penampang sensor, serta tampilan khas medium format. Urusan continuous shooting, Leica S3 sanggup menjepret dalam kecepatan 3 fps.

Leica S3

Selebihnya, detail mengenai S3 masih minim. Leica cuma bilang bahwa sistem autofocus-nya dipastikan cepat sekaligus akurat, dan kamera akan dibekali viewfinder optik yang besar dan terang – S3 termasuk kategori DSLR, sehingga wajar apabila yang digunakan bukanlah viewfinder elektronik.

Rencananya, Leica S3 akan dipasarkan mulai musim semi tahun 2019. Harganya belum diungkap, tapi sudah pasti mahal. Buktinya, Leica S (Typ 007) (yang menggantikan sensor tipe CCD milik S2 dengan sensor CMOS di tahun 2014) masih bisa dibeli seharga $20.000.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Fujifilm Siapkan Kamera Mirrorless Medium Format Ketiga dengan Resolusi 102 Megapixel

Fujifilm GFX 50R bukan satu-satunya kamera mirrorless medium format yang diumumkan Fuji di ajang Photokina 2018. Mereka rupanya juga tengah menyiapkan kamera GFX yang ketiga. Kamera ini belum bernama, tapi saya yakin nantinya bakal ada label angka “100” pada namanya sebagai penanda resolusi sensornya yang mencapai 102 megapixel (dengan dimensi fisik sensor yang sama: 43,8 x 32,9 mm).

Resolusi setinggi itu sebenarnya bukanlah hal baru di industri fotografi digital. Hasselblad H6D yang dirilis di tahun 2016 juga mengemas sensor medium format semasif itu, akan tetapi ia tidak masuk kategori mirrorless. Fujifilm GFX 100 (sementara kita juluki itu dulu supaya gampang) di sisi lain merupakan kamera mirrorless.

Dimensinya memang lebih besar daripada GFX 50S yang sudah termasuk bongsor. Ini dikarenakan ada battery grip yang tertanam langsung ke bodi GFX 100. Kalau dilihat sepintas, wujudnya memang mirip GFX 50S yang sedang dipasangi aksesori battery grip.

Fujifilm GFX lineup

Namun resolusi tinggi rupanya belum menceritakan kapabilitas GFX 100 selengkapnya. Kamera ini turut membawa sejumlah peningkatan signifikan dibanding dua pendahulunya. Utamanya adalah sistem phase-detection autofocus (PDAF), dengan PDAF pixel yang tersebar di seluruh penampang sensor, menjadikannya lebih cekatan mengunci fokus pada subjek bergerak, sekaligus lebih akurat dalam mode continuous autofocus.

GFX 100 juga bakal menjadi kamera medium format pertama yang dilengkapi sistem image stabilization internal, sehingga penggunanya nanti tidak harus selalu bergantung pada tripod. Juga baru pada GFX 100 adalah kemampuan merekam video dalam resolusi 4K 30 fps – baik GFX 50S maupun GFX 50R hanya bisa 1080p 30 fps.

Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm
Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm

Fuji bilang bahwa kemampuan 4K ini dimungkinkan berkat penggunaan chip quad-core X Processor 4, seperti yang ada pada Fujifilm X-T3. Selain itu, chip yang sama rupanya juga berjasa menghadirkan fitur Film Simulation pada GFX 100, yang sudah menjadi ciri khas lini X-Series sejak lama.

Kamera ini baru akan diresmikan dan dipasarkan tahun depan. Pastinya kapan tidak diketahui, akan tetapi harganya diestimasikan berada di kisaran $10.000. Kalau saya boleh menyimpulkan, pengumuman kamera GFX yang ketiga ini semakin memperkuat anggapan bahwa Fuji memang tidak tertarik dengan mirrorless full-frame.

Sumber: PetaPixel.

Kamera Mirrorless Medium Format Kedua Fujifilm Punya Dimensi Jauh Lebih Ringkas

Satu per satu produsen kamera bergantian menantang Sony di pasar kamera mirrorless full-frame. Setelah Nikon dan Canon, tidak lama lagi datang giliran Panasonic. Bagaimana dengan Fujifilm? Rupanya mereka tidak latah dan masih teguh pada pendiriannya. Daripada full-frame, Fujifilm lebih memilih lompat lebih jauh ke medium format.

Prototipe Fujifilm GFX 50S yang dipamerkan di tahun 2016 pada akhirnya menjadi kamera mirrorless medium format kedua setelah Hasselblad X1D. Tahun ini, Fuji rupanya telah menyiapkan model lain untuk lini medium format mereka, yakni Fujifilm GFX 50R.

Fujifilm GFX 50R

GFX 50R pada dasarnya merupakan versi lebih ringkas dari GFX 50S. Spesifikasinya nyaris identik dengan GFX 50S, dan yang sangat berbeda cuma desainnya saja. Sepintas, GFX 50R dengan desain ala rangefinder-nya kelihatan seperti Fujifilm X-E3 sehabis fitness selama setahun.

Karena lebih kecil, bobotnya jelas lebih ringan, tepatnya 145 gram lebih enteng ketimbang GFX 50S. Bodinya pun juga lebih tipis 25 mm. Kendati demikian, GFX 50R rupanya masih mempertahankan sasis weather-resistant seperti milik kakaknya. Dimensi viewfinder elektroniknya juga lebih kecil, tapi masih tinggi resolusi (3,69 juta dot) dan tingkat perbesarannya (0,77x).

Fujifilm GFX 50R

Di bawah jendela bidik tersebut, ada LCD 3,2 inci yang dilengkapi panel sentuh, yang menggantikan peran tombol empat arah pada GFX 50S. Sayang sekali layarnya ini cuma bisa di-tilt ke atas atau bawah, tidak bisa ke samping.

Spesifikasi yang sama itu mencakup sensor medium format (43,8 x 32,9 mm) beresolusi 51,4 megapixel dan chip X Processor Pro. Slot SD card-nya ada dua (keduanya mendukung tipe UHS-II), sedangkan baterainya sama-sama berdaya tahan hingga 400 kali jepret seperti GFX 50S. Yang berbeda, tidak ada aksesori battery grip untuk GFX 50R.

Fujifilm GFX 50R

Juga berbeda adalah kehadiran konektivitas Bluetooth (GFX 50S tidak punya) di samping Wi-Fi untuk memudahkan proses pairing sekaligus transfer gambar ke smartphone. Fuji bakal memasarkannya mulai bulan November seharga $4.499, lebih murah $2.000 daripada GFX 50S.

Sumber: DPReview.

Kamera Medium Format Terbaru Hasselblad Dapat Menjepret Foto Beresolusi 400 Megapixel

Dalam dua tahun terakhir ini, salah satu tren yang cukup marak di industri kamera adalah mode pemotretan beresolusi tinggi, jauh melebihi resolusi milik sensor kameranya sendiri. Salah satu contohnya adalah Olympus OM-D E-M1 Mark II, yang menyimpan mode khusus untuk menghasilkan foto sebesar 50 megapixel, meski sensornya cuma beresolusi 20,4 megapixel.

Rahasianya terletak pada kemampuan kamera untuk menggeser posisi sensornya sedikit demi sedikit selagi mengambil gambar. Gambar-gambar tersebut kemudian disatukan menjadi satu gambar beresolusi tinggi, dengan detail yang amat mengesankan. Melihat cara kerjanya, jelas mode ini lebih ideal untuk foto-foto pemandangan ketimbang foto portrait atau yang lainnya.

50 megapixel mungkin terdengar kecil, apalagi kalau Anda sudah terbiasa membawa kamera medium format seperti Hasselblad X1D, yang dari sananya sudah mengemas sensor beresolusi 50 megapixel. Untuk itu, Hasselblad sudah menyiapkan kamera baru yang secara spesifik dirancang untuk menjepret dalam resolusi masif, semasif 400 megapixel tepatnya.

Hasil foto Hasselblad H6D-400c MS / Hasselblad
Hasil foto Hasselblad H6D-400c MS / Hasselblad

Kamera bernama Hasselblad H6D-400c MS ini secara teknis tidak mengemas sensor beresolusi 400 megapixel, melainkan ‘hanya’ 100 megapixel. Label “MS” pada namanya adalah singkatan dari “Multi Shot”, mengindikasikan metode pengambilan beberapa gambar sekaligus. Pada kenyataannya, kamera ini akan menjepret enam gambar sebelum menyatukannya menjadi satu gambar beresolusi 23.200 x 17.400 pixel.

Kalau itu masih kedengaran kurang besar, coba ini: ukuran satu file yang dihasilkannya berkisar 2,3 GB, disimpan dalam format TIFF 16-bit. Kamera ini jelas bukan untuk semua orang, melainkan untuk mereka yang hasil kerjanya melibatkan baliho berukuran raksasa.

Gambar yang berasal dari penyatuan enam gambar tampak luar biasa tajam meski sudah di-zoom sampai cukup dekat / Hasselblad
Gambar yang berasal dari penyatuan enam gambar (kanan) tampak luar biasa tajam meski sudah di-zoom sampai cukup dekat / Hasselblad

Hasselblad mengklaim sistem yang mereka terapkan lebih presisi ketimbang penawaran Olympus dan lainnya yang memanfaatkan sistem image stabilization bawaan kamera. Saat digunakan dalam mode pemotretan normal, kamera ini identik dengan Hasselblad H6D-100c. Desainnya pun sama persis, hanya saja di bagian dalam H6D-400c ada semacam jalur khusus tempat sensornya bergeser.

Hasselblad berencana memasarkannya mulai bulan Maret mendatang seharga $47.995, nyaris 1,5x lipat harga varian standarnya yang tidak dilengkapi embel-embel “MS”. Skenario yang lebih masuk akal mungkin adalah menyewanya, dan Anda bisa meminjamnya langsung dari Hasselblad seharga $480 per hari.

Sumber: DPReview.

Phase One IQ3 Achromatic Ialah Kamera Medium Format Seharga $50.000 yang Hanya Bisa Memotret Hitam-Putih

Leica M Monochrom merupakan salah satu produk paling kontroversial dalam sejarah perkembangan teknologi kamera digital. Bagaimana tidak, kamera seharga $7.450 itu cuma bisa mengambil gambar hitam-putih saja. Ya, Anda tak mungkin mengambil foto untuk dijadikan iklan produk Crayola dengan kamera ini.

Akan tetapi foto hitam-putih tentunya memiliki kesan artistik tersendiri, dan sekarang M Monochrom bukan satu-satunya pilihan jika Anda ingin benar-benar mendedikasikan waktu dan talenta Anda ke fotografi hitam-putih. Kalau Anda punya modal berlebih, Phase One baru saja meluncurkan kamera medium format yang hanya bisa memotret foto hitam-putih.

Dinamai IQ3 Achromatic, secara teknis ia merupakan modul belakang yang mencakup sensor dan layar, dan yang kompatibel dengan sistem IQ3 XF maupun bodi kamera medium format lain. Layaknya M Monochrom, sensor 100 megapixel milik IQ3 Achromatic tidak dilengkapi filter warna Bayer. Menurut Phase One, absennya filter warna ini memungkinkan sensor untuk berfokus hanya pada detail, nuansa dan pencahayaan.

Modul Phase One IQ3 Achromatic tanpa dipasang ke bodi kamera medium format / Phase One
Modul Phase One IQ3 Achromatic tanpa dipasang ke bodi kamera medium format / Phase One

Sederhananya, gambar yang dihasilkan IQ3 Achromatic bakal terlihat lebih mendetail ketimbang kamera lain yang sama-sama mengemas sensor 100 megapixel dengan lapisan filter warna Bayer. Karena tidak perlu menangkap informasi warna, sensor Achromatic ini juga dapat menerima lebih banyak cahaya – ISO 200 setara dengan ISO 50 pada sensor ber-filter warna standar.

ISO maksimumnya sendiri berada di angka 51200, menjadikannya sebagai yang paling sensitif terhadap cahaya dalam segmen medium format menurut Phase One. Akan tetapi yang tidak kalah istimewa, IQ3 Achromatic bisa digunakan untuk fotografi inframerah tanpa perlu dikalibrasi ulang, dan gambar dalam spektrum cahaya inframerah ini bisa kita lihat langsung lewat layar belakangnya.

Kembali ke soal modal berlebih tadi, Phase One IQ3 Achromatic saat ini telah dipasarkan seharga $50.000 – bukan typo. Berikut sejumlah sampel foto untuk memberikan gambaran terkait kualitas yang dijanjikannya.

Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic / Phase One
Gambar atas di-zoom bagian tengahnya, bisa Anda lihat tingkat detailnya yang mengesankan / Phase One
Gambar atas di-zoom bagian tengahnya, bisa Anda lihat tingkat detailnya yang mengesankan / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic dalam spektrum cahaya inframerah / Phase One
Sampel foto Phase One IQ3 Achromatic dalam spektrum cahaya inframerah / Phase One

Sumber: 1, 2, 3.

DJI dan Hasselblad Ungkap Bundel Drone dan Kamera Medium Format Beresolusi 100 Megapixel

Kerja sama antara DJI dan Hasselblad kembali membuahkan platform fotografi udara kelas dewa. Setelah tahun lalu mereka mengungkap bundel drone plus kamera medium format untuk pertama kalinya, kali ini keduanya kembali mengambil rute yang sama, namun dengan penyempurnaan teknis yang cukup signifikan.

Bundel ini masih terdiri dari tiga komponen utama, yakni drone, gimbal dan kamera. Spesifiknya hexacopter DJI M600 Pro, gimbal Ronin MX dan kamera Hasselblad H6D. H6D inilah yang sejatinya menjadi bintang utama di sini, mengingat ia mengusung sensor medium format (53,4 x 40 mm) dengan resolusi 100 megapixel.

Dipadukan dengan Ronin MX yang sejatinya merupakan gimbal 3-axis, pengguna sejatinya dapat menghasilkan foto udara yang spektakuler, baik dari segi ketajaman maupun dynamic range – dengan sensor sebesar ini, pencahayaan yang minim sejatinya bukan lagi masalah besar.

Drone-nya sendiri juga telah menerima penyempurnaan. Selain sistem transmisi sinyal Lightbridge 2, DJI turut menyematkan sistem navigasi D-RTK GNSS. Jangan pedulikan namanya, namun yang pasti sistem ini sanggup menyajikan penempatan posisi yang akurat sampai level sentimeter.

DJI berencana memasarkan bundel M600/Ronin MX/H6D ini mulai kuartal ketiga tahun ini. Harganya belum dirincikan, namun bisa dipastikan setara harga mobil mengingat kameranya saja dibanderol $33.000 tanpa satu pun lensa.

Sumber: DPReview dan DJI.