Sony a6400 Usung Peningkatan Performa yang Signifikan dan Ideal untuk Vlogger

Setelah hampir tiga tahun, Sony a6300 akhirnya punya penerus. Sony baru saja memperkenalkan a6400 sebagai model flagship pada lini kamera mirrorless APS-C miliknya. Dilihat dari kulit luarnya, kamera ini seakan tidak membawa pembaruan apa-apa, sebab memang hampir semua yang baru tersembunyi di dalam.

Sensor yang digunakan pun masih sama, APS-C 24,2 megapixel, akan tetapi prosesor yang mendampinginya sudah diganti dengan generasi teranyar. Kamera ini pada dasarnya mewarisi sejumlah keunggulan Sony a9, utamanya perpaduan 425 titik autofocus phase-detection dan contrast-detection yang diklaim sanggup mengunci fokus dalam waktu 0,02 detik saja.

Sony a6400

Lebih lanjut, a6400 turut dibekali Real-time Eye-AF dan Real-time Tracking yang diyakini mampu meningkatkan performa secara signifikan. Kemampuan menjepret tanpa hentinya pun juga impresif: hingga 11 fps dalam posisi AF/AE tracking aktif dan menggunakan shutter mekanis.

Selebihnya, a6400 sebenarnya tidak jauh berbeda dari a6300, yang terbukti sudah sangat mumpuni baik untuk urusan fotografi maupun videografi. Namun masih ada satu lagi pembaruan yang sangat menarik, yaitu layar sentuh yang bisa dilipat 180° hingga menghadap ke depan, sangat ideal untuk para vlogger.

Sony a6400

Selisih tiga tahun untuk pembaruan semacam ini memang terkesan kurang gereget. Namun kabar baiknya, Sony a6400 justru dibanderol lebih murah ketimbang a6300 saat pertama dirilis: $900 body only, atau $1.000 bersama lensa 16-50mm f/3.5-5.6, dan $1.300 bersama lensa 18-135mm f/3.5-5.6.

Kendati demikian, kehadiran a6400 ini berpotensi membuat bingung konsumen, sebab jauh sebelumnya sudah ada Sony a6500 yang dirilis hanya beberapa bulan setelah a6300. Dari pengamatan saya, a6500 unggul dalam satu aspek dibanding a6400: image stabilization 5-axis, tapi harganya dipatok $1.400 ketika pertama diluncurkan.

Sumber: DPReview.

Kaleidoskop Industri Kamera Tahun 2018

Pergantian tahun sudah hampir di depan mata. Namun sebelum kita menyambut tahun yang baru lagi, ada baiknya kita meninjau kembali apa saja yang terjadi di industri kamera pada tahun ini.

2018 sejatinya merupakan tahun yang menarik buat industri kamera. Utamanya karena tahun ini resmi tercatat sebagai tahun dimulainya ‘peperangan’ di kancah mirrorless full-frame. Namun tentu saja itu baru sebagian dari cerita utuhnya.

Nikon, Canon, dan Panasonic umumkan kamera mirrorless full-frame

Canon EOS R / Canon
Canon EOS R / Canon

Seperti yang kita tahu, Sony lewat lini a7-nya telah mendominasi segmen mirrorless full-frame sejak tahun 2013. Selang lima tahun dan tiga generasi Sony a7, barulah datang rival yang sepadan dari Nikon, Canon, dan Panasonic.

Adalah Nikon yang memulai semuanya. Setelah gagal dengan Nikon 1 hingga akhirnya lini tersebut dipensiunkan, pada bulan Agustus lalu Nikon resmi menyingkap Nikon Z 7 dan Z 6. Dua-duanya sama-sama mengusung sensor full-frame, dan perbedaan di antaranya kurang lebih mirip seperti Sony a7R dan a7.

Panasonic Lumix S1R / Panasonic
Panasonic Lumix S1R / Panasonic

Tidak lama setelahnya, giliran Canon yang mengungkap Canon EOS R, melanjutkan rivalitas abadi antaranya dan Nikon ke segmen mirrorless full-frame. Debut Canon di ranah ini memang cuma diwakili satu kamera saja, akan tetapi mereka menegaskan bahwa EOS R baru yang pertama.

Akan tetapi berita yang paling mengejutkan datang bersamaan dengan event Photokina di bulan September, yakni pengumuman kamera mirrorless full-frame dari Panasonic: Lumix S1R dan S1. Mengejutkan karena Panasonic adalah pencetus platform Micro Four Thirds, namun ternyata mereka tergiur juga untuk ikut menginvasi lahan kekuasaan Sony.

Kamera mirrorless full-frame pertama Zeiss dan bangkitnya kembali brand Zenit

Zeiss ZX1 / Zeiss
Zeiss ZX1 / Zeiss

Masih seputar Photokina 2018, Zeiss rupanya juga sempat mengumumkan kamera mirrorless full-frame pertamanya: Zeiss ZX1. Keistimewaannya terletak pada integrasi software Adobe Lightroom CC, dimaksudkan agar pengguna bisa langsung menyunting hasil tangkapannya di kamera.

Photokina 2018 juga tercatat sebagai era kebangkitan dedengkot kamera asal Rusia, Zenit. Upaya mereka melahirkan kamera mirrorless full-frame bernama Zenit M, saudara kandung Leica M (Typ 240) yang memang merupakan hasil kolaborasi langsung antara Zenit dan Leica.

Fujifilm umumkan dua kamera mirrorless medium format

Lineup Fujifilm GFX / Fujifilm
Lineup Fujifilm GFX / Fujifilm

Tidak seperti tiga brand Jepang di atas, Fujifilm rupanya tidak tertarik mengembangkan kamera mirrorless full-frame – dan ini sudah dikonfirmasi langsung oleh petinggi senior Fujfilm kepada DPReview. Mereka justru memilih untuk mengumumkan dua kamera mirrorless medium format baru: GFX 50R dan GFX 100 yang masih berupa prototipe.

Kamera mirrorless lain yang diluncurkan tahun ini

Fujifilm X-T3 / Fujifilm
Fujifilm X-T3 / Fujifilm

Masih seputar Fujifilm, tahun ini mereka resmi memperkenalkan Fujifilm X-T3, kamera mirrorless flagship terbarunya yang mengusung sensor X-Trans generasi keempat, yang kini mengadopsi desain backside illuminated, serta jauh lebih kapabel untuk urusan mengambil video.

Sebelum itu, Fujifilm sebenarnya sudah sukses membuktikan bahwa mereka tak lagi payah soal videografi lewat Fujifilm X-H1. Untuk kalangan konsumen yang lebih casual, penawaran mereka tahun ini mencakup Fujifilm X-A5 dan Fujifilm X-T100.

Panasonic Lumix GH5S / Panasonic
Panasonic Lumix GH5S / Panasonic

Bicara soal video, tentunya kita tidak bisa mengesampingkan Panasonic, apalagi mengingat di awal tahun ini mereka sempat mengumumkan Lumix GH5S. Selain itu, Panasonic juga sempat meluncurkan Lumix GX9, suksesor Lumix GX8 yang kini dibekali sensor tanpa low-pass filter dan sistem image stabilization 5-axis.

Beralih ke sepupu Panasonic, yakni Olympus, tahun ini mereka memperkenalkan Olympus PEN E-PL9. Memang bukan model flagship, akan tetapi jeroannya rupanya nyaris identik dengan Olympus OM-D E-M1 Mark III yang merupakan kamera termahalnya, dengan pengecualian pada sistem image stabilization-nya.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 4K / Blackmagic
Blackmagic Pocket Cinema Camera 4K / Blackmagic

Kembali mengulas Canon, EOS R bukanlah satu-satunya kamera mirrorless yang mereka rilis tahun ini. Jauh sebelumnya sudah ada EOS M50, yang menurut rekan saya Lukman dideskripsikan sebagai kamera mirrorless basic tapi berfitur komplet.

Di luar brandbrand populer, ada Blackmagic yang memperkenalkan Pocket Cinema Camera 4K. Kamera ini punya spesifikasi yang cukup mirip dengan Panasonic Lumix GH5S, akan tetapi harganya hanya berkisar separuhnya saja, dan ia juga sangat cocok buat konsumen yang terbiasa memotret dengan smartphone berkat layar sentuh masif yang mendominasi panel belakangnya.

Kamera DSLR dan kamera pocket yang layak disorot tahun ini

Pentax K1 Mark II / Pentax
Pentax K1 Mark II / Pentax

DSLR? Ya, DSLR masih belum mati, dan Pentax membuktikannya dengan sebuah kamera yang sanggup memotret dalam kondisi gelap gulita: Pentax K-1 Mark II. Kelebihan utama kamera ini terletak pada sensor full-frame dengan tingkat ISO maksimum 819200, lengkap dengan penyempurnaan sistem image stabilization 5-axis sehingga mode resolusi tingginya bisa dijalankan tanpa tripod.

Untuk kamera pocket, sulit mencari yang lebih menarik dari lini Sony RX100, dan setelah sempat vakum di tahun 2017, tahun ini hadir Sony RX100 VI. Untuk edisi keenamnya, Sony telah membekalinya dengan lensa dengan kemampuan zoom yang jauh, selagi masih mempertahankan kualitas gambarnya melalui sensor berukuran lebih besar dari biasanya.

Sony RX100 VI / Sony
Sony RX100 VI / Sony

Sensor 1 inci RX100 VI masih kurang besar? Alternatifnya tahun ini adalah Panasonic Lumix LX100 II, yang datang membawa sensor Four Thirds dengan resolusi 17 megapixel, lebih tinggi dari pendahulunya yang selisih usianya berjarak hampir empat tahun.

Sensor Four Thirds masih saja kurang besar? Coba Anda lirik Fujifilm XF10, yang mengusung sensor APS-C dalam bodi sekelas kamera saku. Kekurangannya, kamera ini kurang bisa diandalkan untuk pengambilan video, sebab opsi resolusi 4K-nya cuma terbatas di 15 fps saja.

GoPro dan action cam lain yang hadir tahun ini

Lineup GoPro Hero 7 / GoPro
Lineup GoPro Hero 7 / GoPro

Tentu saja kita tidak boleh melewatkan segmen yang satu ini, sebab action cam boleh dianggap sebagai alternatif yang lebih fleksibel dari kamera pocket. Tahun ini, bintangnya tentu saja adalah trio GoPro Hero 7, dan untuk model unggulannya, GoPro telah menyiapkan teknologi image stabilization internal yang luar biasa efektif sampai-sampai bisa menandingi kombinasi action cam plus gimbal.

Bicara soal fleksibilitas, ada Insta360 One X yang merupakan action cam 360 derajat. Seperti GoPro Hero 7 Black, ia juga mampu merekam dengan sangat stabil, tapi malah dalam format 360 derajat dan resolusi 5,7K. Fleksibilitasnya semakin terjamin berkat kemampuan untuk ‘mengekstrak’ hasil rekaman 360 derajat menjadi video 1080p normal.

DJI Osmo Pocket / DJI
DJI Osmo Pocket / DJI

Terakhir ada DJI Osmo Pocket yang bisa dibilang paling unik sendiri. Ia merupakan kamera plus gimbal dalam satu kemasan, akan tetapi ukurannya kurang lebih setara dengan mayoritas smartphone. Meski tidak head-to-head dengan GoPro, ia tetap merupakan alternatif yang sangat menarik buat konsumen.

Prediksi tren kamera tahun depan

Sony a9 / Sony
Sony a9 / Sony

Seperti yang saya bilang tadi, topik bahasan utama mengenai kamera tahun ini adalah full-frame, dan itu semestinya masih akan terus berlanjut hingga tahun depan. Canon misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa EOS R barulah kamera pertama dari lini mirrorless full-frame-nya.

Saya yakin Sony tidak akan tinggal diam begitu saja menghadapi rival-rival barunya. Di luar lini Sony a7, mereka sebenarnya punya ‘senjata’ lain yang lebih mematikan, yaitu Sony a9 yang memiliki performa melampaui DSLR. Sayang penerusnya tidak hadir tahun ini, sehingga kemungkinan besar Sony bakal menyingkapnya tahun depan.

Hal lain yang kerap dianggap sepele namun berperan krusial adalah dukungan firmware update. Adalah Fujifilm yang memulai tren ini sejak lama, dan tahun ini sepertinya Sony sudah mulai menyusul. Semoga saja tahun depan semakin banyak lagi produsen kamera yang menyadari betapa pentingnya firmware update di mata konsumen.

 

Semua Mode Autofocus Sony a7 III dan a7R III Kini Dapat Digunakan dengan Lensa Non-Native

Salah satu alasan mengapa saya pribadi selalu menjagokan kamera mirrorless besutan Fujifilm adalah betapa rajinnya sang produsen merilis firmware update, termasuk untuk kamera-kamera yang sudah berumur. Update-nya memang sering terkesan minor, tapi terkadang pembaruan yang dibawa juga sangat signifikan.

Sekarang, pabrikan kamera lain juga mulai menunjukkan gelagat yang sama. Lihat saja Sony, yang merilis firmware update versi 2.0 untuk kamera a7 III dan a7R III dua bulan lalu. Berdasarkan pengujian intensif yang dilakukan DPReview, penyempurnaan yang dihadirkan update tersebut rupanya sangat krusial.

Utamanya adalah bagaimana update ini memungkinkan pengguna a7 III dan a7R III untuk lebih memaksimalkan koleksi lensa non-native (yang memerlukan adaptor) yang dimilikinya. Berkat update ini, semua mode autofocus jadi bisa digunakan meski yang terpasang adalah lensa dengan bantuan adaptor.

Menariknya, ini juga berlaku buat lensa merek lain, semisal lensa Canon yang dibantu adaptor besutan Sigma atau Metabones. Mode-mode autofocus-nya sendiri mencakup Lock-on AF dengan kemampuan subject tracking, Zone dan Expand Flexible Spot, serta Eye AF.

Sejatinya masih banyak pembaruan yang dibawa update tersebut, semisal opsi untuk menetapkan AF Track Sensitivity pada salah satu tombol custom, serta fungsi bracketing selagi kamera dalam mode silent. Pun begitu, tetap saja yang menjadi bintangnya adalah dukungan atas lensa non-native yang lebih maksimal itu tadi.

Sumber: DPReview.

Yongnuo YN450 Adalah Kamera Mirrorless dengan Jeroan ala Smartphone dan OS Android

Pernah mendengar tentang Samsung Galaxy NX? Kalau pernah, semestinya Anda sudah tidak asing dengan ide mengenai kamera mirrorless dengan jeroan ala smartphone dan sistem operasi Android. Eksperimen yang dilakukan Samsung lima tahun lalu itu jauh dari kata sukses, tapi bukan berarti pabrikan lain tidak tertarik untuk mengikutinya.

Adalah Yongnuo, produsen aksesori dan lensa kamera asal Tiongkok, yang dikabarkan sedang mengerjakan kamera semacam itu. Untuk sementara dinamai YN450, tampak pada gambar bahwa panel belakangnya didominasi oleh layar sentuh dengan tampilan mirip smartphone – saya bahkan melihat ada kamera selfie yang tertanam.

Tidak seperti Galaxy NX yang mengadopsi desain ala DSLR, Yongnuo YN450 dibuat setipis mungkin, namun di saat yang sama masih ada sedikit tonjolan di sebelah kanan sebagai hand grip. Juga kelihatan pada gambar adalah lensa 14 mm dengan wujud mirip seperti seri lensa Canon EF-L, tapi setelah diamati, tampak ada label “Yongnuo” di atas cincin merahnya.

Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat Yongnuo memang juga memproduksi ‘versi KW’ dari sejumlah lensa Canon dan Nikon. Terlepas dari itu, semestinya kamera ini juga kompatibel dengan lensa asli Canon via bantuan adaptor.

Yongnuo YN450

Berdasarkan informasi yang didapat PhotoRumors, YN450 dapat merekam video 4K 30 fps, tapi tidak ada rincian mengenai sensor yang digunakan beserta resolusinya. Layar sentuhnya berukuran 5 inci dengan resolusi 1080p, sedangkan sistem operasinya mengambil Android 7.1 sebagai basisnya.

Kemiripannya dengan smartphone berlanjut sampai ke konektivitas 4G, RAM 3 GB dan storage internal 32 GB. Kapasitas baterainya cukup besar di angka 4.000 mAh. GPS, dukungan format RAW maupun slot memory card juga tersedia.

Kabarnya perangkat ini bakal diungkap pada CES 2019 di bulan Januari mendatang, bersamaan dengan nama resminya, namun Yongnuo enggan mengonfirmasinya.

Sumber: DPReview.

Leica Kembali Luncurkan Kamera Mirrorless Full-Frame Tanpa LCD, Leica M10-D

Yang namanya kamera digital, sudah pasti ada sebuah layar di bagian belakangnya untuk melihat hasil jepretannya. Namun pakem ini tidak berlaku buat perusahaan sekelas Leica. Dua tahun lalu, mereka mengejutkan industri fotografi dengan meluncurkan kamera mirrorless tanpa LCD bernama Leica M-D.

Bukannya kapok, Leica malah mematangkan ide gilanya ini. Baru-baru ini, maestro kamera asal Jerman itu memperkenalkan Leica M10-D, suksesor M-D yang juga tidak dibekali layar sama sekali.

Leica M10-D

Di saat Leica M10-P menghadirkan layar sentuh pada bodi Leica M10, M10-D malah meniadakannya. Sebagai gantinya, ada satu kenop besar yang menghuni bagian belakangnya. Namun tidak seperti M-D, kenop pada M10-D ini bukan berfungsi untuk mengatur tingkat ISO.

Kenopnya sendiri terbagi menjadi dua: kenop bagian dalam untuk mengatur exposure compensation (+3 sampai -3), sedangkan kenop bagian luarnya untuk mematikan dan menyalakan kamera, serta untuk mengaktifkan koneksi Wi-Fi.

Ya, M10-D setidaknya masih memberikan pengguna opsi untuk mengatur komposisi sekaligus melihat hasil jepretannya via smartphone. Selain fungsi remote control, aplikasi pendampingnya ini juga mendukung fungsi transfer gambar, baik yang diambil dalam format JPEG maupun DNG.

Leica M10-D

Secara teknis, M10-D mengusung spesifikasi yang identik dengan M10 dan M10-P, yang mencakup sensor full-frame 24 megapixel dan prosesor Maestro II. Kamera dilengkapi penyimpanan internal sebesar 2 GB, tapi ada juga slot SD card yang tersembunyi di pelat bawahnya.

Satu hal sepele namun unik adalah kehadiran semacam tuas rol film di pelat atasnya seperti yang terdapat pada kamera analog. Namun fungsi tuas ini ternyata tidak lebih dari sebatas grip tambahan untuk ibu jari.

Leica M10-D saat ini telah dipasarkan seharga $7.995, nyaris $2.000 lebih mahal daripada Leica M-D. Aksesori electronic viewfinder yang bisa dipasangkan ke hotshoe milik M10-D ditawarkan secara terpisah seharga $575.

Sumber: DPReview.

Nano1 Ibarat GoPro untuk Astrofotografi

Tiga tahun lalu, sebuah startup asal Singapura bernama TinyMOS mencoba mewujudkan visinya untuk mendemokratisasi astrofotografi lewat kamera bernama Tiny1. Premis utama yang ditawarkan Tiny1 adalah menyajikan gambar berkualitas superior di kondisi sangat minim cahaya (syarat utama astrofotografi), dalam kemasan yang tidak lebih besar dari kamera saku.

Belum puas dengan pencapaiannya, TinyMOS pun sekarang sibuk mengembangkan produk baru dengan premis serupa. Namanya Nano1, dan yang cukup mengejutkan, ukurannya lebih kecil lagi daripada Tiny1. Tiga kali lebih kecil tepatnya, dengan bobot kurang dari 100 gram.

Komparasi ukuran Nano1 dan Tiny1 / TinyMOS
Komparasi ukuran Nano1 dan Tiny1 / TinyMOS

Alhasil, wujudnya jadi semakin mirip dengan GoPro. Kendati demikian, prinsip mirrorless rupanya masih dianut sekaligus lebih ditekankan lagi. Nano1 sanggup dipasangi dua macam lensa; satu tipe M12 yang diklaim sangat kecil, satu lagi lensa C-mount yang berukuran lebih besar dan mengemas optik yang lebih kapabel.

Fisik yang lebih ringkas bukan berarti performa Nano1 lebih inferior dibanding kakaknya. Sensor BSI (backside-illuminated) buatan Sony yang tertanam siap dipakai memotret dalam resolusi 12 megapixel (naik tiga kali lipat dari Tiny1), dan video pun sanggup direkam dalam resolusi 4K.

Nano1 rencananya bakal hadir bersama aplikasi pendamping sehingga pengguna dapat mengendalikannya dari jauh menggunakan iPhone atau smartphone Android. Transfer gambar secara wireless pun juga dapat dilakukan via aplikasi ini.

Dimensi Nano1 dibandingkan iPhone X / TinyMOS
Dimensi Nano1 dibandingkan iPhone X / TinyMOS

Di samping itu, TinyMOS juga bakal menawarkan aksesori yang tak kalah ringkas dari Nano1 sendiri. Salah satunya adalah mini tripod yang dapat dilipat secara rata ketika sedang tidak digunakan.

Sejauh ini Nano1 masih dalam tahap pengembangan, dan detail lebih lengkapnya baru akan disingkap bersamaan dengan peluncurannya di bulan April 2019. Buat yang penasaran dengan kapabilitasnya, berikut video time-lapse singkat hasil tangkapan Nano1 versi pre-production.

Sumber: DPReview dan TinyMOS.

Zenit Bangkit Kembali dengan Kamera Mirrorless Full-Frame, Zenit M

Penggemar sekaligus pengguna kamera Leica semestinya pernah mendengar pabrikan bernama Zenit. Di era fotografi film, merek asal Rusia tersebut pernah berjaya berkat sejumlah kamera jiplakan produk-produk Leica, sampai akhirnya mereka berhenti memproduksi kamera di tahun 2005.

Namun di tahun 2016, Shvabe Holding selaku pemegang merek Zenit mengumumkan bahwa mereka berniat menghidupkan brand itu kembali. Setahun setelahnya, niat mereka semakin jelas dengan rencana meluncurkan kamera mirrorless full-frame di tahun 2018, dan itu ternyata bukan bualan semata.

Di ajang Photokina 2018, di tengah-tengah pengumuman dari brandbrand besar, Zenit memperkenalkan Zenit M. Kalau sebelumnya mereka banyak mencontek Leica, kali ini Zenit bekerja sama langsung dengan Leica; Zenit M dibuat dengan Leica M (Typ 240) sebagai basisnya.

Leica M (Typ 240) / Leica
Leica M (Typ 240) / Leica

Kendati demikian, Zenit bilang bahwa mereka telah melakukan modifikasi baik pada hardware maupun software guna merealisasikan Zenit M, yang seharusnya berarti ini bukan revisi kosmetik semata. Menemani Zenit M adalah lensa Zenitar 35mm f/1 yang proses desain dan produksinya diklaim 100% berlangsung di Rusia.

Menurut Zenit, lensa ini sanggup menghasilkan gambar dengan efek soft focus dan bokeh yang unik tanpa memerlukan pemrosesan digital tambahan. Secara keseluruhan, penampilan Zenit M memang sengaja dibikin mirip dengan kamera-kamera lawas buatan mereka.

Zenit M

Zenit sejauh ini belum membeberkan spesifikasi M, akan tetapi semestinya identik dengan Leica M (Typ 240), yang mencakup sensor CMOS full-frame 24 megapixel, ISO 6400, continuous shooting 3 fps, perekaman video 1080p, LCD 3 inci beresolusi 920 ribu dot, live view focusing, dan viewfinder dengan tingkat perbesaran 0,68x.

Rencananya, kamera ini akan mulai dipasarkan di Eropa pada bulan Desember mendatang. Harganya belum diungkap, tapi sebagai referensi, Leica M (Typ 240) yang menjadi basisnya sampai sekarang masih bisa dibeli seharga $6.000.

Sumber: PetaPixel dan Shvabe.

Fujifilm Belum Tertarik Mengembangkan Kamera Mirrorless Full-Frame

Hari ini (27/9/2018), Fujifilm Indonesia meresmikan kantor barunya di Surabaya. Sebelumnya menumpang di Sinarmas Land Plaza, kantor Fujifilm di Surabaya sekarang berdiri sendiri di Jalan Tegalsari No. 2D (sangat dekat dengan showroom-nya yang bertempat di Tunjungan Plaza).

Selain tentu saja untuk urusan operasional, kantor baru ini juga dirancang supaya Fujifilm bisa lebih mudah menyapa konsumen secara langsung; di lobi kantornya ada area hands-on kecil, meski untuk urusan penjualan masih diserahkan ke showroom sepenuhnya. Showroom-nya sendiri disebut menerima respon yang bagus dari konsumen, dan terbukti sanggup membantu meningkatkan angka penjualan.

Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor baru di depan area hands-on / Foto pribadi
Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor di depan area hands-on / Foto pribadi

Namun seperti yang bisa Anda lihat di judul, bukan itu yang ingin saya bahas lebih lanjut. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk berbincang dengan sejumlah perwakilan Fujifilm Indonesia mengenai tren kamera mirrorless terkini. Dua sosok yang saya ajak bicara adalah Noriyuki Kawakubo (Presiden Direktur Fujifilm Indonesia) dan Anggiawan Pratama (Marketing Manager Fujifilm Indonesia).

Full-frame itu ‘nanggung’

Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm
Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm

Seperti yang kita tahu, mirrorless full-frame menjadi topik terhangat di industri kamera belakangan ini. Nikon, Canon, bahkan Panasonic semuanya telah memperkenalkan kamera mirrorless full-frame bikinannya untuk bersaing dengan lini Sony a7. Bagaimana dengan Fujifilm?

Fujifilm rupanya belum tertarik mengembangkan kamera mirrorless full-frame, setidaknya untuk saat ini. Ada sejumlah alasan yang dibeberkan, baik oleh Noriyuki maupun Anggiawan. Yang pertama, Fujifilm percaya lini kamera X-Series dengan sensor APS-C sudah cukup mampu bersaing dengan kamera bersensor full-frame.

Sikap Fujifilm ini sejatinya tidak berbeda dari ketika mereka memperkenalkan kamera X-Pro1 di tahun 2012. Kala itu, Fujifilm dengan percaya diri mengatakan bahwa sensor APS-C X-Trans bikinannya bisa disetarakan dengan sejumlah sensor full-frame.

Noriyuki sendiri mengakui bahwa sensor full-frame secara teknis memiliki keunggulan dibanding APS-C, meski perbedaan hasil fotonya mungkin tidak terlalu dramatis. Itulah mengapa Fujifilm punya lini GFX; daripada lompat ke full-frame, lebih baik langsung lompat lebih jauh lagi ke medium format.

Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai "super full-frame" / Foto pribadi
Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai “super full-frame” / Foto pribadi

Lini GFX pada dasarnya merupakan jawaban Fujifilm kepada mereka yang menanyakan “mana mirrorless full-frame dari Fuji?” Noriyuki pun sempat mengutarakan istilah super full-frame sebagai julukan lini GFX, dan Fuji memang menggunakan jargon tersebut untuk menjelaskan sensor medium format ke kalangan konsumen yang lebih awam.

Alasan yang kedua, kalau dikaitkan dengan Indonesia, pangsa pasar kamera mirrorless full-frame tergolong kecil; cuma sekitar 9%. Jadi ketimbang bersusah payah bersaing di pasar yang kecil, Fujifilm lebih memilih berfokus di pasar yang lebih luas, dalam konteks ini mirrorless APS-C – kamera terlaris Fuji di Indonesia sendiri adalah seri X-A yang masuk kelas entry-level.

Bukan tidak mungkin ke depannya Fujifilm bakal merilis kamera mirrorless full-frame, apalagi jika Nikon, Canon dan Panasonic terbukti bisa mencuri pangsa pasar yang selama ini didominasi Sony. Namun kemungkinannya terbilang kecil apabila Fuji tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk menawarkan sesuatu yang berbeda.

Fujifilm kini lebih serius di sektor video

Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm
Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm

Fujifilm X-T3 yang dirilis baru-baru ini adalah kulminasi keseriusan Fuji untuk berbenah di sektor video, setelah sebelumnya lebih dulu dibuktikan melalui Fujifilm X-H1 yang benar-benar video-oriented. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi Fujifilm? Apakah karena tren yang digalakkan kompetitor belakangan ini?

“Bukan karena kompetitor,” jelas Anggiawan. Sejak awal Fuji memang berfokus pada aspek fotografi, tapi semakin lama semakin banyak konsumen yang menginginkan paket lengkap dari kamera mirrorless yang dibelinya – bukan hanya untuk foto, tapi juga video. Masukan dari konsumen inilah yang menjadi dorongan utama bagi Fujifilm.

Bicara soal X-T3, saya pun tergerak untuk menanyakan kabar mengenai seri X-Pro. Sebelumnya, seri X-Pro selalu menjadi yang pertama kebagian sensor X-Trans generasi terbaru – X-Pro2 yang dirilis di bulan Januari 2016 adalah kamera pertama yang membawa sensor X-Trans III, disusul X-T2 di bulan Juli 2016. Namun situasinya berubah tahun ini; X-T3 adalah kamera pertama yang mengusung sensor X-Trans generasi keempat.

Menurut Anggiawan, nasib seri X-Pro masih belum bisa dipastikan. Mereka belum menerima kabar dari Fujifilm pusat apakah seri ini masih akan dilanjutkan atau tidak. Kalau melihat pasar, seri X-T yang juga diposisikan sebagai flagship mendampingi seri X-Pro memang terbukti lebih laris, dan ini sejatinya bisa menjelaskan mengapa X-T3 dirilis lebih dulu ketimbang X-Pro3.

Fujifilm Siapkan Kamera Mirrorless Medium Format Ketiga dengan Resolusi 102 Megapixel

Fujifilm GFX 50R bukan satu-satunya kamera mirrorless medium format yang diumumkan Fuji di ajang Photokina 2018. Mereka rupanya juga tengah menyiapkan kamera GFX yang ketiga. Kamera ini belum bernama, tapi saya yakin nantinya bakal ada label angka “100” pada namanya sebagai penanda resolusi sensornya yang mencapai 102 megapixel (dengan dimensi fisik sensor yang sama: 43,8 x 32,9 mm).

Resolusi setinggi itu sebenarnya bukanlah hal baru di industri fotografi digital. Hasselblad H6D yang dirilis di tahun 2016 juga mengemas sensor medium format semasif itu, akan tetapi ia tidak masuk kategori mirrorless. Fujifilm GFX 100 (sementara kita juluki itu dulu supaya gampang) di sisi lain merupakan kamera mirrorless.

Dimensinya memang lebih besar daripada GFX 50S yang sudah termasuk bongsor. Ini dikarenakan ada battery grip yang tertanam langsung ke bodi GFX 100. Kalau dilihat sepintas, wujudnya memang mirip GFX 50S yang sedang dipasangi aksesori battery grip.

Fujifilm GFX lineup

Namun resolusi tinggi rupanya belum menceritakan kapabilitas GFX 100 selengkapnya. Kamera ini turut membawa sejumlah peningkatan signifikan dibanding dua pendahulunya. Utamanya adalah sistem phase-detection autofocus (PDAF), dengan PDAF pixel yang tersebar di seluruh penampang sensor, menjadikannya lebih cekatan mengunci fokus pada subjek bergerak, sekaligus lebih akurat dalam mode continuous autofocus.

GFX 100 juga bakal menjadi kamera medium format pertama yang dilengkapi sistem image stabilization internal, sehingga penggunanya nanti tidak harus selalu bergantung pada tripod. Juga baru pada GFX 100 adalah kemampuan merekam video dalam resolusi 4K 30 fps – baik GFX 50S maupun GFX 50R hanya bisa 1080p 30 fps.

Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm
Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm

Fuji bilang bahwa kemampuan 4K ini dimungkinkan berkat penggunaan chip quad-core X Processor 4, seperti yang ada pada Fujifilm X-T3. Selain itu, chip yang sama rupanya juga berjasa menghadirkan fitur Film Simulation pada GFX 100, yang sudah menjadi ciri khas lini X-Series sejak lama.

Kamera ini baru akan diresmikan dan dipasarkan tahun depan. Pastinya kapan tidak diketahui, akan tetapi harganya diestimasikan berada di kisaran $10.000. Kalau saya boleh menyimpulkan, pengumuman kamera GFX yang ketiga ini semakin memperkuat anggapan bahwa Fuji memang tidak tertarik dengan mirrorless full-frame.

Sumber: PetaPixel.

Kamera Mirrorless Medium Format Kedua Fujifilm Punya Dimensi Jauh Lebih Ringkas

Satu per satu produsen kamera bergantian menantang Sony di pasar kamera mirrorless full-frame. Setelah Nikon dan Canon, tidak lama lagi datang giliran Panasonic. Bagaimana dengan Fujifilm? Rupanya mereka tidak latah dan masih teguh pada pendiriannya. Daripada full-frame, Fujifilm lebih memilih lompat lebih jauh ke medium format.

Prototipe Fujifilm GFX 50S yang dipamerkan di tahun 2016 pada akhirnya menjadi kamera mirrorless medium format kedua setelah Hasselblad X1D. Tahun ini, Fuji rupanya telah menyiapkan model lain untuk lini medium format mereka, yakni Fujifilm GFX 50R.

Fujifilm GFX 50R

GFX 50R pada dasarnya merupakan versi lebih ringkas dari GFX 50S. Spesifikasinya nyaris identik dengan GFX 50S, dan yang sangat berbeda cuma desainnya saja. Sepintas, GFX 50R dengan desain ala rangefinder-nya kelihatan seperti Fujifilm X-E3 sehabis fitness selama setahun.

Karena lebih kecil, bobotnya jelas lebih ringan, tepatnya 145 gram lebih enteng ketimbang GFX 50S. Bodinya pun juga lebih tipis 25 mm. Kendati demikian, GFX 50R rupanya masih mempertahankan sasis weather-resistant seperti milik kakaknya. Dimensi viewfinder elektroniknya juga lebih kecil, tapi masih tinggi resolusi (3,69 juta dot) dan tingkat perbesarannya (0,77x).

Fujifilm GFX 50R

Di bawah jendela bidik tersebut, ada LCD 3,2 inci yang dilengkapi panel sentuh, yang menggantikan peran tombol empat arah pada GFX 50S. Sayang sekali layarnya ini cuma bisa di-tilt ke atas atau bawah, tidak bisa ke samping.

Spesifikasi yang sama itu mencakup sensor medium format (43,8 x 32,9 mm) beresolusi 51,4 megapixel dan chip X Processor Pro. Slot SD card-nya ada dua (keduanya mendukung tipe UHS-II), sedangkan baterainya sama-sama berdaya tahan hingga 400 kali jepret seperti GFX 50S. Yang berbeda, tidak ada aksesori battery grip untuk GFX 50R.

Fujifilm GFX 50R

Juga berbeda adalah kehadiran konektivitas Bluetooth (GFX 50S tidak punya) di samping Wi-Fi untuk memudahkan proses pairing sekaligus transfer gambar ke smartphone. Fuji bakal memasarkannya mulai bulan November seharga $4.499, lebih murah $2.000 daripada GFX 50S.

Sumber: DPReview.