Sony Xperia Pro-I Diungkap, Unggulkan Kamera dengan Sensor 1 Inci dan Lensa Variable Aperture

Sony punya smartphone flagship baru. Namanya Xperia Pro-I, dan ini merupakan ponsel pertama Sony yang dibekali sensor kamera berukuran 1 inci.

Smartphone dengan sensor kamera sebesar itu sebenarnya bukanlah hal baru. Panasonic bahkan sudah pernah menciptakannya di tahun 2014, dan Mei lalu Sharp juga menyingkap ponsel dengan konsep serupa. Terlepas dari itu, Xperia Pro-I tetap mengundang perhatian karena Sony memang punya lini kamera saku populer RX100 yang selalu mengandalkan sensor 1 inci.

Satu hal yang agak disayangkan adalah, Xperia Pro-I pada praktiknya tidak bisa memanfaatkan seluruh penampang sensor tersebut akibat keterbatasan ruang di antaranya dan lensa. Alhasil, resolusi foto yang dapat dihasilkan cuma 12 megapiksel, bukan 20 megapiksel seperti pada kamera RX100 VII. Ukuran piksel individualnya sendiri berada di angka 2,4 µm, sekitar 20% lebih besar daripada milik kamera utama iPhone 13 Pro dan 13 Pro Max.

Sensor tersebut ditandemkan dengan lensa Zeiss 24mm f/2.0-4.0. Ya, kamera utama Xperia Pro-I punya aperture yang bisa diubah-ubah secara fisik, mirip seperti yang ditawarkan oleh Samsung Galaxy S9 tiga tahun lalu.

Bukan cuma bersensor besar, kamera utama Xperia Pro-I juga istimewa karena dibekali 315 titik phase-detect autofocus (PDAF) yang tersebar di 90% permukaan sensor. Ini memungkinkan perangkat untuk menawarkan fitur real-time eye autofocus, baik pada subjek manusia ataupun hewan. Bukan cuma selagi memotret, fitur ini pun bisa diaktifkan saat sedang merekam video.

Bicara soal video, Xperia Pro-I sanggup merekam video dalam resolusi maksimum 4K 120 fps. Buat yang tertarik menggunakan kamera ini untuk vlogging, Sony juga akan menawarkan aksesori opsional berupa layar 3,5 inci yang dapat dipasangkan ke bagian belakang Xperia Pro-I (sehingga pengguna bisa vlogging memakai kamera belakang ketimbang depan).

Menemani kamera utamanya adalah kamera ultra-wide 12 megapiksel dengan lensa 16mm f/2.2 dan kamera telefoto 12 megapiksel dengan lensa 50mm f/2.4. Xperia Pro-I turut mengemas sensor 3D iTOF untuk membantu meningkatkan akurasi sistem autofocus-nya, dan Sony pun tak lupa membekalinya dengan tombol shutter fisik yang dapat ditekan separuh untuk mengunci fokus.

Selebihnya, Xperia Pro-I tidak jauh berbeda dari Xperia I III yang diluncurkan April lalu. Perangkat mengemas layar OLED 6,5 inci dengan resolusi 4K dan refresh rate 120 Hz, chipset Snapdragon 888, RAM 12 GB, storage 512 GB (plus slot microSD), dan baterai 4.500 mAh yang mendukung fast charging 30 W.

Semuanya dikemas dalam bodi tahan air (IP65/68) setebal 8,9 mm saja. Sesuai tebakan, harganya jauh dari kata murah. Di Amerika Serikat, Sony Xperia Pro-I akan dijual seharga $1.800, atau kurang lebih sekitar 25,5 juta rupiah.

Sumber: GSM Arena.

Samsung Ungkap ISOCELL HP1, Sensor Kamera Smartphone dengan Resolusi 200 Megapiksel

Samsung mengumumkan sensor kamera smartphone baru yang sangat istimewa, yaitu ISOCELL HP1. Istimewa karena ia merupakan sensor beresolusi 200 megapiksel dengan ukuran piksel individual 0,64 µm.

200 megapiksel memang masih jauh dari target 600 megapiksel yang ingin Samsung kejar, tapi tetap saja jauh lebih tinggi daripada resolusi kamera yang tertanam di smartphone kita sekarang. Samsung pun tidak lupa mengembangkan teknologi pixel-binning baru untuk ISOCELL HP1. Setelah TetraCell dan NonaCell, kali ini Samsung memilih nama ChameleonCell.

Kenapa bunglon (chameleon)? Mungkin karena sifat teknologinya yang mampu beradaptasi sesuai kebutuhan. Saat hendak mengambil gambar di kondisi minim cahaya, ChameleonCell bakal menggabungkan 16 piksel (4 x 4) menjadi satu piksel berukuran 2,56 µm.

Sesuai hukum fisika, piksel berukuran besar ini mampu menyerap lebih banyak cahaya, sehingga pada akhirnya foto yang dihasilkan di tempat gelap bisa kelihatan lebih terang sekaligus lebih bersih (minim noise). Dalam skenario ini, resolusi fotonya cuma 12,5 megapiksel. 200 megapiksel adalah resolusi foto yang diambil di lokasi dengan pencahayaan yang melimpah.

Kemudian saat hendak merekam video 8K, yang disatukan jadi cuma 4 piksel (2 x 2) saja, sehingga menghasilkan resolusi 50 megapiksel (8192 x 6144), cukup untuk mengambil video 8K (7680 x 4320) dalam kecepatan 30 fps tanpa crop factor.

Dalam kesempatan yang sama, Samsung turut menyingkap ISOCELL GN5. Ini merupakan sensor pertama yang memadukan teknologi Dual Pixel Pro dengan ukuran piksel individual 1,0 µm. Sepintas ini membuatnya kedengaran seperti versi lebih kecil dari ISOCELL GN2, sensor dengan ukuran piksel 1,4 µm yang digunakan oleh Xiaomi Mi 11 Ultra, yang juga dibekali teknologi Dual Pixel Pro demi menyuguhkan kinerja autofocus yang sangat cepat.

Namun yang unik dari GN5 adalah bagaimana teknologi Dual Pixel tersebut telah dikawinkan dengan teknologi FDTI (Front Deep Trench Isolation), sehingga tiap-tiap fotodiode berukuran mikroskopisnya mampu menyerap dan menyimpan lebih banyak cahaya, dan pada akhirnya dapat semakin mengoptimalkan performa autofocus beserta kualitas gambar.

Sejauh ini belum ada informasi kapan kedua sensor tersebut akan diproduksi secara massal, akan tetapi Samsung sekarang sudah mulai menawarkan sampelnya ke pabrikan-pabrikan smartphone yang tertarik.

Sumber: PetaPixel dan Samsung.

Sharp Aquos R6 Adalah Ponsel Flagship dengan Sensor Kamera 1 Inci dan Layar 240 Hz

Tidak setiap hari Anda mendengar tentang smartphone bikinan Sharp, sebab sebagian besar memang cuma tersedia di Jepang saja. Meski begitu, ponsel bernama Sharp Aquos R6 berikut ini layak mendapat sorotan ekstra. Pasalnya, ia mengemas teknologi kamera beserta display yang selangkah lebih maju daripada yang ditawarkan oleh ponsel-ponsel flagship lainnya.

Kita mulai dari kameranya dulu. Di saat smartphone lain mengusung setidaknya dua kamera belakang, Aquos R6 justru hanya punya satu. Namun satu kamera tersebut benar-benar istimewa; sensor yang digunakan adalah yang berukuran 1 inci, alias sekitar lima kali lebih besar daripada sensor kamera utama kebanyakan smartphone flagship.

Sebagai perbandingan, Xiaomi Mi 11 Ultra — yang diklaim sebagai ponsel dengan sensor kamera berukuran terbesar ketika dirilis pada akhir bulan Maret kemarin — ‘hanya’ mengemas sensor berukuran 1/1,12 inci. 1 inci adalah ukuran yang sama persis seperti sensor yang tertanam di kamera-kamera compact premium macam seri Sony RX100 maupun Canon G7 X. Resolusi foto yang dapat dihasilkan sendiri adalah 20 megapixel.

Sharp tidak merincikan sensornya berasal dari mana, tapi dugaan kuat mengarah ke Sony mengingat mereka memang memproduksi sejumlah sensor 1 inci beresolusi 20 megapixel. Namun yang lebih istimewa lagi, sensor tersebut ditandemkan dengan lensa f/1.9 hasil rancangan Sharp bersama Leica. Ya, hak berkolaborasi dengan Leica sepertinya sudah tidak lagi eksklusif dipegang oleh Huawei.

Di sebelah kamera berukuran masif tersebut, cuma ada satu sensor ToF (Time-of-Flight) untuk membantu menghasilkan efek blur pada foto portrait yang lebih baik, serta sebuah LED flash — tidak ada kamera ultra-wide maupun telephoto. Juga absen di sini adalah OIS, yang artinya kamera Aquos R6 hanya mengandalkan sistem penstabil gambar elektronik. Buat yang penasaran dengan hasil jepretannya, Anda bisa mengikuti tur virtual yang telah disiapkan oleh Sharp sendiri.

Lanjut ke layarnya, di sini Sharp mengawinkan panel OLED dengan teknologi IGZO rancangannya. Hasilnya adalah panel 6,67 inci beresolusi 2730 x 1260 pixel yang dapat mengatur refresh rate secara dinamis dari 1 Hz sampai 240 Hz, serta yang menawarkan tingkat kecerahan maksimum setinggi 2.000 nit. Lubang kecil pada layarnya itu dihuni oleh kamera selfie 12 megapixel.

Di balik layarnya, Sharp tak lupa menjejalkan sensor sidik jari, spesifiknya sensor 3D Sonic Max besutan Qualcomm yang luas penampangnya lebih besar dari biasanya. Saking besarnya, sensor ini bisa membaca dua sidik jari secara bersamaan, memberikan opsi keamanan ekstra bagi pengguna yang membutuhkan.

Selebihnya, Aquos R6 merupakan perangkat flagship dari ujung ke ujung. Spesifikasinya mencakup chipset Qualcomm Snapdragon 888, RAM 8 GB, storage internal 128 GB, dan baterai berkapasitas 5.000 mAh. Harganya belum dirincikan sama sekali, akan tetapi kemungkinan besar smartphone ini memang hanya akan dijual di Jepang saja.

Sharp Aquos R6 bukanlah smartphone pertama yang hadir membawa sensor berukuran 1 inci. Tahun 2014 lalu, sempat ada perangkat bernama Panasonic Lumix CM1 yang mengawinkan sensor kamera 1 inci dengan spesifikasi ala ponsel flagship kala itu — masih zaman Snapdragon 801 dan Android 4.4 KitKat. Teknologi memang sudah berkembang begitu pesat, tapi rupanya kita kembali ke konsep hybrid antara smartphone dan kamera pocket ini lagi.

Sumber: GSM Arena dan Engadget.

Kenapa Pabrikan Smartphone Masih Suka Berlomba Banyak-Banyakan Kamera?

Dewasa ini, istilah quad camera pada suatu smartphone mungkin sudah tidak terdengar semengesankan dua atau tiga tahun yang lalu. Pasalnya, cukup dengan modal kurang dari dua juta rupiah saja, sekarang kita sudah bisa mendapatkan smartphone yang dibekali empat kamera belakang.

Sebagai perbandingan, flagship keluaran tahun 2018 seperti Samsung Galaxy S9+ hanya memiliki dua kamera belakang. Namun saya yakin kita semua tahu bahwa jumlah kamera sama sekali tidak bisa dijadikan patokan kualitas kamera dari suatu smartphone. Lebih banyak belum tentu lebih baik, sama halnya seperti megapixel — lebih besar angkanya juga tidak selamanya berarti lebih baik.

Pertanyaannya, kalau begitu, kenapa hingga sekarang pabrikan smartphone masih seakan berlomba banyak-banyakan kamera? Apakah memang didorong permintaan konsumen, khususnya di segmen entry-level di mana jargon quad camera memang paling sering digunakan belakangan ini?

Terkait hal ini, saya pun langsung menanyakan kepada Aryo Meidianto, PR Manager OPPO Indonesia. Saya penasaran apakah konsumen di segmen entry-level lebih condong menginginkan resolusi kamera utama yang tinggi, atau konfigurasi kamera sekunder yang lengkap, yang mencakup kamera ultra-wide, telephoto, makro, dan lain sebagainya.

“Sesungguhnya untuk entry-level, konsumen hanya menginginkan kamera perangkat yang bisa menghasilkan gambar yang jernih dan terang,” jawab Aryo ketika saya hubungi lewat WhatsApp. “Mindset konsumen Indonesia memang walaupun masih salah dan sulit diubah akhirnya membuat megapixel menempati urutan kedua dari alasan konsumen di entry-level. Mereka berpendapat megapixel besar, hasil kamera akan bagus,” imbuhnya.

Jawaban ini sangat menarik karena sangat relatable bagi saya pribadi. Di sini saya ingin memakai kedua orang tua saya sebagai contoh. Mereka bukanlah orang-orang yang fasih teknologi, dan smartphone pilihan mereka adalah yang masuk di kategori entry-level. Penggunaan mereka tidak lebih dari sebatas chatting, media sosial, dan sesekali memotret maupun merekam video.

Setiap kali mereka mengambil gambar menggunakan smartphone dan mendapati hasil yang bagus, komentarnya selalu “Wah, terang ya.” Bukan “tajam”, bukan “detail”, juga bukan “bokeh-nya bagus”. Kriteria utama hasil foto yang bagus bagi mereka cuma satu: terang.

Saya tahu kedua orang tua saya tidak bisa mewakili semua konsumen entry-level, tapi setidaknya dalam konteks ini apa yang dikatakan Aryo sangat akurat. Buat konsumen entry-level, mereka bahkan tidak terlalu mementingkan megapixel alias resolusi. Lalu kenapa pabrikan smartphone masih ‘menjual’ jargon quad camera kepada mereka?

Menurut Aryo, bagaimanapun juga konfigurasi kamera yang lengkap tetap bakal menjadi nilai tambah bagi konsumen. Di titik ini, sebagian dari kita mungkin berpikir, “Kenapa tidak dikurangi saja jumlah kameranya kalau memang tidak dibutuhkan? Kan seharusnya bisa menjadikan harga ponsel lebih murah lagi karena ongkos produksinya berkurang.”

Betul, tapi saya akan ajak Anda untuk melihat perdebatan ini dari sudut pandang yang berbeda.

Smartphone adalah motor penggerak utama demokratisasi fotografi

Fotografi adalah hobi yang mahal / Depositphotos.com
Fotografi adalah hobi mahal / Depositphotos.com

Yang saya maksud dengan kata demokratisasi di sini adalah bagaimana suatu hal yang dulunya jarang dilakukan, kini menjadi lumrah di kalangan masyarakat luas. Jauh sebelum smartphone eksis, fotografi merupakan hobi atau pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh sebagian orang saja. Sekarang, siapapun bisa mulai mendalami hobi fotografi hanya dengan bermodalkan suatu smartphone.

Fotografi, seperti halnya banyak hobi lain, adalah hobi yang tergolong mahal. Ketika Anda baru memulai, modal awal yang dibutuhkan memang tidak terlalu banyak. Namun ketika sudah mulai ‘terjerumus’, mulailah Anda berbelanja lensa makro, lensa fisheye, lensa tele, dan seterusnya sampai tagihan kartu kredit membengkak.

Yang ingin saya tanyakan adalah, sebagai seorang penggiat hobi fotografi atau bahkan fotografer profesional, apakah Anda butuh lensa-lensa tambahan ini? Butuh. Ok. Apakah Anda menggunakannya setiap hari? Bisa iya, bisa tidak, tergantung kebutuhan. Intinya, semua lensa itu berguna buat Anda walaupun mungkin jarang dipakai.

Prinsip yang sama pun sebenarnya juga bisa kita terapkan di smartphone. Konsumen entry-level mungkin tidak butuh kamera makro atau kamera monokrom, sehingga pada akhirnya mereka jarang sekali menggunakannya. Untuk lebih memastikan kalau kamera makro dan kamera monokrom benar jarang digunakan, saya pun mencoba mengadakan polling kecil-kecilan di media sosial.

Pertanyaan yang pertama adalah, “Seberapa sering menggunakan kamera makro di smartphone?” Dari 117 jawaban, 70 orang menjawab “jarang (kurang dari 5x seminggu)”, dan 47 sisanya menjawab “sering (lebih dari 10x per minggu)”. Seperti yang bisa dilihat, separuh lebih responden rupanya jarang mengutak-atik kamera makro di ponselnya.

Pertanyaan yang kedua adalah, “Untuk menghasilkan foto hitam-putih, biasanya pakai apa?” Pilihan jawabannya sendiri ada dua: A) “Memilih filter B/W di aplikasi kamera bawaan (hasil foto langsung hitam-putih”, atau B) “Memotret seperti biasa (hasil foto berwarna), baru memilih filter B/W waktu mengedit”. 50 orang menjawab B, dan 24 orang menjawab A, selisihnya dua kali lipat.

Dari polling kecil-kecilan yang jauh dari kata ilmiah tadi, setidaknya saya bisa mendapat gambaran bahwa memang benar konsumen jarang menggunakan kamera makro maupun kamera monokrom di smartphone, dan itu bukan sebatas pendapat pribadi saja. Namun jarang dipakai bukan berarti useless, dan mungkin ini yang dimaksud nilai tambah oleh Aryo tadi.

Keberadaan kamera-kamera tambahan di smartphone pada dasarnya memungkinkan konsumen dari semua kalangan untuk bereksperimen dengan cabang-cabang spesifik fotografi. Kehadiran kamera makro misalnya, walaupun mungkin hanya beresolusi 2 megapixel, tetap memberikan peluang bagi konsumen untuk mencicipi hobi fotografi makro.

Demokratisasi, itulah kata kuncinya kalau menurut saya. Kalau menggunakan kamera biasa, Anda butuh modal ekstra yang cukup lumayan untuk mendalami teknik fotografi makro atau landscape dengan menggunakan lensa makro maupun lensa wide-angle. Di smartphone, semua itu sudah menjadi satu paket yang bisa didapatkan dengan modal sekitar dua jutaan rupiah.

Mengenai hasilnya bagus atau tidak, itu bukan masalah, yang penting aksesnya tersedia terlebih dulu. Sama halnya seperti di laptop, kualitas webcam bukanlah prioritas utama, tapi kita mungkin bakal frustasi seandainya tidak ada webcam sama sekali pada laptop tersebut, apalagi di kondisi pandemi seperti sekarang.

Tentu saja, kita juga tidak bisa menepis fakta bahwa quad camera terdengar lebih menjual daripada dual camera atau bahkan triple camera.

Memprediksi tren kamera smartphone ke depannya

Flagship tapi cuma dual camera, kenapa tidak? / Apple
Flagship tapi cuma dual camera, kenapa tidak? / Apple

Sebenarnya berapa jumlah kamera belakang yang ideal untuk smartphone? Ketika saya buat pertanyaan itu menjadi polling di media sosial, 47 orang menjawab “2”, 22 orang menjawab “3”, dan 13 orang menjawab “4”. Dua kamera belakang saja rupanya sudah cukup untuk sebagian besar orang.

Saya harus berasumsi jawaban ini bisa mewakili semua kalangan, termasuk halnya kalangan atas yang mengincar smartphone flagship. Pasalnya, di tahun 2021 ini pun masih ada ponsel flagship yang hanya memiliki dua kamera belakang saja, yakni iPhone 12. Pada kenyataannya, istilah quad camera hingga kini masih belum termasuk dalam kamus Apple, sebab LiDAR di iPhone 12 Pro tidak bisa digunakan secara terpisah sehingga tidak dapat digolongkan sebagai kamera.

Lalu apakah ke depannya Apple bakal menyusul? Atau malah sebaliknya, tren quad camera-lah yang bakal meredup dalam satu atau dua tahun ke depan? Kalau kita belajar dari sejarah, pengaruh iPhone memang sangat besar terhadap munculnya suatu tren baru di industri smartphone (Touch ID, layar berponi, hilangnya headphone jack, dan lain sebagainya). Mereka tidak harus jadi yang pertama, tapi sering kali kompetitor baru akan menempuh jalur yang sama setelah Apple memulainya.

Namun tidak jarang juga kondisinya berbalik menjadi Apple yang mengikuti tren. Kalau sekadar bicara jumlah, sepertinya triple camera atau quad camera masih akan terus bertahan. Kecil kemungkinan jumlahnya akan bertambah lagi. Kalau iya, Nokia 9 PureView semestinya tidak akan jadi ponsel pertama sekaligus terakhir yang menggunakan teknologi multi-kamera besutan Light.

Dari sisi focal length, konfigurasi triple camera seperti di iPhone 12 Pro (wide, ultra-wide, dan telephoto) saja sebenarnya sudah bisa dikatakan cukup buat sebagian besar orang. Namun seperti yang saya bilang tadi, tidak ada salahnya juga menyematkan kamera makro demi semakin mendemokratisasikan fotografi, apalagi kalau kamera makronya seunik yang terdapat pada OPPO Find X3 Pro, yang mampu mengambil gambar dengan tingkat perbesaran hingga 60x.

Tidak menutup kemungkinan juga jumlah kameranya bisa berkurang. Contohnya seperti Xiaomi Mi Mix Fold, yang mencoba menyatukan kamera makro dan telephoto ke dalam satu rumah lensa yang sama. Di luar konteks jumlah, tren lain yang tak kalah menarik adalah bagaimana sejumlah pabrikan mulai memprioritaskan kualitas kamera sekunder pada ponsel bikinannya.

Salah satu contohnya adalah OnePlus. OnePlus 9 Pro yang dirilis belum lama ini mengemas kamera ultra-wide dengan sensor berukuran lebih besar dari biasanya, bahkan hampir menyamai ukuran sensor kamera utamanya. Contoh lainnya lagi-lagi bisa kita lihat dari OPPO, yang menanamkan sensor yang sama persis pada kamera utama sekaligus ultra-wide milik Find X3 Pro.

Pinjam nama harganya $150 juta? / OnePlus
Pinjam nama harganya $150 juta? / OnePlus

Bicara soal OnePlus, tentu kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa mereka baru-baru ini juga ikut meramaikan tren kerja sama antara pabrikan smartphone dan pabrikan kamera. Tidak tanggung-tanggung, guna memaksimalkan kolaborasinya bersama Hasselblad selama tiga tahun ke depan, OnePlus rela menyiapkan dana sebesar $150 juta.

Di tempat lain, ada Vivo yang baru-baru ini meluncurkan X60 Pro dengan fitur unggulan berupa kamera hasil kolaborasinya bersama Zeiss. Tentu saja kita juga tidak boleh lupa dengan Huawei dan Leica, yang telah menjalin kemitraan selama lima tahun, dimulai dari diluncurkannya Huawei P9 di tahun 2016.

Apakah ke depannya kita bakal melihat semakin banyak lagi produsen smartphone yang mengambil jalur serupa? Mungkinkah ke depannya kita melihat produsen smartphone lain menggandeng produsen kamera yang lebih mainstream seperti Canon atau Fujifilm? Atau semua ini hanya sebatas tren sesaat?

Jujur saya tidak punya jawabannya, tapi saya setidaknya punya sedikit gambaran setelah menanyakan hal ini kepada Aryo. Menurutnya, langkah semacam ini terbilang populer karena perspektif konsumen cenderung baik terhadap berbagai produsen kamera atau lensa, sehingga pada akhirnya bisa mengangkat nama brand smartphone itu sendiri.

Saya tidak terkejut seandainya ada sebagian dari kita yang skeptis dan menganggap kolaborasi-kolaborasi seperti ini tidak lebih dari sekadar produsen smartphone meminjam nama produsen kamera, sebab memang tidak ada yang bisa mencegah konsumen menyalahartikannya.

Itulah mengapa pabrikan sebenarnya juga dapat mengambil opsi yang lebih subtle, yang semestinya malah lebih sulit disalahartikan. Opsi yang saya maksud adalah bekerja sama dengan produsen sensor — entah itu Sony ataupun Samsung (dua nama terbesar saat ini) — dalam menciptakan sebuah sensor kamera smartphone yang sifatnya eksklusif.

Satu hal yang pasti, kamera masih akan terus menjadi topik pembicaraan yang paling hangat ketika membahas suatu smartphone. Hal ini sungguh menarik karena kita hampir tidak pernah membahas bagaimana kamera-kamera terbaru bikinan Canon, Nikon, Sony, Fujifilm, maupun pabrikan-pabrikan lainnya jadi semakin canggih layaknya smartphone.

Kita tidak butuh kamera yang mampu menyaingi kecanggihan smartphone, akan tetapi kita butuh smartphone yang semakin hari hasil jepretannya semakin mengejar kualitas yang dihasilkan kamera mirrorless maupun DSLR.

Gambar header: Redmi 9 via Xiaomi Indonesia.

Sony Masih Memimpin Bisnis Sensor Kamera Smartphone, Tapi Samsung Terus Mengejar

Pandemi boleh menggerus penjualan smartphone secara global di tahun 2020 — turun 8,8% dibanding tahun sebelumnya — akan tetapi hal itu rupanya tidak berpengaruh buruk terhadap bisnis sensor kamera smartphone. Berdasarkan laporan terbaru dari Strategy Analytics, bisnis sensor kamera smartphone justru bertumbuh 13% selama tahun 2020, dengan total pemasukan sebesar $15 miliar.

Secara keseluruhan, Sony masih mendominasi bisnis tersebut dengan pangsa pasar sebesar 46%. Duduk di posisi kedua adalah Samsung dengan 29%, diikuti oleh OmniVision dengan 10%. Sisa 15% merupakan akumulasi dari penjualan produsen-produsen sensor kamera lain yang kurang begitu dikenal.

Meskipun Sony masih jauh memimpin, pangsa pasar mereka sebenarnya sudah menurun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Di tahun 2019 misalnya, Sony tercatat memiliki 53,5% pangsa pasar sensor kamera smartphone secara global, dan Samsung kala itu bahkan belum mencapai 20%. Lalu apa yang salah dari Sony?

Huawei Mate 40 Pro, salah satu smartphone yang menggunakan sensor Sony IMX700 / Huawei
Huawei Mate 40 Pro, salah satu smartphone yang menggunakan sensor Sony IMX700 / Huawei

Problemnya rupanya bukan Sony, melainkan Huawei, yang merupakan pelanggan terbesar kedua Sony setelah Apple. Seperti yang kita tahu, penjualan smartphone Huawei benar-benar anjlok sejak mereka tidak lagi diperbolehkan menggunakan Google Mobile Services (GMS), dan ini secara tidak langsung berdampak pada penurunan pangsa pasar Sony. Sebagai informasi, beberapa sensor bikinan Sony, seperti misalnya IMX700, memang hanya bisa ditemui di smartphone Huawei.

Belakangan ini kita juga melihat semakin banyak lagi smartphone yang menggunakan sensor kamera bikinan Samsung. Brand seperti Vivo dan Xiaomi misalnya, sudah beberapa kali menyematkan sensor Samsung pada sejumlah produknya, termasuk halnya pada model flagship seperti Vivo X60 Pro+ dan Xiaomi Mi 11 Ultra. Wajar apabila pada akhirnya selisih pangsa pasar Sony dan Samsung terus menyempit.

Ditambah lagi, Samsung bisa dibilang cukup jago dalam hal mempromosikan teknologi sensor kameranya. Setiap kali ada sensor baru, Samsung selalu memberitakannya ke publik, lengkap dengan penjelasan merinci mengenai inovasi-inovasi yang diusung, seperti ketika mereka memperkenalkan sensor ISOCELL GN2 sebagai sensor kamera smartphone berukuran paling besar sejauh ini.

Sumber: EET Asia via DPReview. Gambar header: Depositphotos.com.

OnePlus Gandeng Hasselblad untuk Sempurnakan Kamera Smartphone-nya Selama Tiga Tahun ke Depan

23 Maret nanti, OnePlus bakal memperkenalkan smartphone flagship terbarunya, OnePlus 9. Terlepas dari sejumlah rumor yang beredar, sejauh ini memang belum banyak yang kita ketahui mengenai smartphone tersebut. Namun OnePlus sendiri rupanya telah menyingkap satu detail yang sangat menarik terkait kameranya.

OnePlus baru saja mengumumkan bahwa mereka telah meneken kontrak kerja sama dengan Hasselblad, produsen kamera medium format asal Swedia yang berjasa atas foto-foto ekspedisi pertama manusia di Bulan. Kedua perusahaan bakal berkolaborasi untuk mengembangkan sistem kamera generasi baru yang akan disematkan ke smartphonesmartphone OnePlus selama tiga tahun ke depan, dimulai dari OnePlus 9.

Buah kolaborasi mereka yang pertama adalah penyempurnaan dari sisi software, utamanya terkait kalibrasi sensor dan color tuning. Dalam beberapa bulan terakhir, OnePlus dan Hasselblad sibuk mengoptimalkan color science dari kamera milik OnePlus 9 dengan tujuan supaya gambar yang dihasilkan memiliki warna yang benar-benar alami.

Penyempurnaan lain yang juga sedang dikerjakan adalah sebuah aplikasi bernama Hasselblad Camera for Mobile, yang bakal menggantikan aplikasi kamera bawaan OnePlus sebelumnya. Aplikasi baru ini nantinya bakal memberikan kontrol yang sangat lengkap bagi pengguna yang menginginkan mode pemotretan secara manual, mulai dari pengaturan titik fokus, shutter speed, ISO, white balance, dan masih banyak lagi.

Di samping kontrol manual, aplikasi ini nantinya juga bakal mengemas fitur bernama Hasselblad Pro Mode, yang memungkinkan pengambilan gambar dalam format RAW 12-bit. Terkait video, OnePlus dan Hasselblad menargetkan perekaman HDR yang lebih baik lagi, serta opsi resolusi 4K 120 fps dan 8K 30 fps.

Meski sejauh ini penyempurnaan-penyempurnaannya baru sebatas di level software, bukan tidak mungkin seandainya ke depannya bisa berlanjut ke level hardware, kurang lebih seperti yang dilakukan oleh Huawei dan Leica. Tidak tanggung-tanggung, OnePlus telah menyiapkan dana sebesar $150 juta untuk memfasilitasi kerja samanya dengan Hasselblad ini.

OnePlus bukanlah pabrikan smartphone pertama yang menggandeng Hasselblad untuk menyempurnakan kamera milik produk-produknya. Kalau Anda masih ingat, di tahun 2017 dulu sempat ada Motorola Moto Z yang hadir bersama sejumlah aksesori opsional, salah satunya kamera zoom bikinan Hasselblad yang dapat dilepas-pasang.

Sumber: DPReview dan The Next Web.

Cerita Dua Kreator Profesional Mengenai Pengalamannya Syuting Iklan Menggunakan Samsung Galaxy S21 Series

Hampir semua ulasan yang saya baca dan tonton mengenai Samsung Galaxy S21 Series 5G di internet menunjukkan sentimen yang positif, terutama terhadap kemampuan kameranya. Yang mungkin jadi pertanyaan adalah, bagaimana jika yang dimintai pendapat adalah mereka yang memang bekerja secara profesional di bidang fotografi maupun videografi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Samsung Indonesia pun menggelar workshop online bertajuk “Make Storytelling Epic” pada tanggal 19 Februari kemarin. Dua narasumber sekaligus mereka hadirkan, yakni Muhammad Fenno yang sehari-harinya bekerja sebagai seorang Digital Creator, dan Taba Sanchabachtiar yang sudah malang-melintang sebagai Creative Director.

Kedua narasumber membagikan pengalamannya membuat video menggunakan Galaxy S21 Series 5G. Dari tangan Muhammad Fenno, lahirlah dua video bertajuk “Epic Couple Ride” dan “Epic Duel” berikut ini.


Seperti yang bisa kita lihat, kedua video menampilkan adegan bersepeda, dan Fenno rupanya ditantang untuk mengambil semuanya dalam keadaan bergerak, tanpa mengandalkan bantuan perlengkapan lighting tambahan. Hasilnya bisa dibilang cukup mencengangkan, sekaligus berhasil menunjukkan kapabilitas kamera milik Galaxy S21 Series 5G di kondisi low-light.

Pada video yang pertama misalnya, kita dapat melihat adegan yang menunjukkan para pesepeda mengutak-atik smartwatch-nya, dan di situ ternyata tidak ada efek backlight yang biasanya muncul ketika mengambil gambar benda bercahaya dalam kondisi gelap. Kita juga bisa melihat bagaimana fitur Director’s View bekerja, memungkinkan pergantian antara satu lensa ke yang lain secara seamless selagi perekaman terus berlangsung.

“Ini pertama kalinya saya menggunakan smartphone untuk pengambilan video bersepeda. Saya kagum terutama dengan fitur-fitur seperti Director’s View dan Pro Video Mode yang sangat praktis namun tetap memberikan saya kebebasan untuk berekspresi tanpa perlu repot-repot mengganti lensa pada kamera seperti yang biasa saya lakukan ketika mengambil gambar menggunakan kamera DSLR. Fitur-fitur yang ditampilkan oleh Samsung Galaxy S21 Ultra 5G ini memang bukan fitur main-main yang gimmicky, karena memang terasa sekali fungsinya, bahkan bagi seorang Digital Creator seperti saya sekalipun,” ujar Muhammad Fenno.

Juga menarik adalah kesan Fenno terhadap ketahanan baterai S21 Ultra 5G. Untuk video Epic Couple Ride tadi, smartphone sudah dipakai syuting sejak sekitar jam 5 pagi, dan baru selesai mendekati jam 9 pagi. Selama pengambilan gambar, tiga lensa kameranya juga menyala terus menggunakan fitur Director’s View tadi. Namun ternyata saat semuanya sudah selesai, indikator baterainya masih menunjukkan angka 40%.

Beralih ke Taba Sanchabachtiar, beliau ditugaskan untuk menangkap momen yang terjadi di backstage selama acara launching Galaxy S21 Series 5G berlangsung. Berikut video yang dihasilkan oleh timnya.

Di video tersebut, lagi-lagi kita bisa melihat kemampuan kamera S21 Series di kondisi low-light, spesifiknya di suasana balik panggung dengan lorong-lorong yang sempit dan sumber pencahayaan yang minim. Dalam kondisi yang sangat challenging seperti itu, kamera S21 Series pun tetap dapat mempertahankan kinerja autofocus-nya dengan baik.

“Bagi saya, fitur Director’s View merupakan salah satu fitur yang patut diacungi jempol. Dengan mengaktifkan semua kamera, sehingga pengguna dapat mengganti lensa yang diinginkan secara seamless pada saat merekam. Bagi Creative Director seperti saya, hal ini sangat memudahkan untuk menyampaikan story dengan perubahan berbagai angle, bikin story tambah epic dan juga sangat memudahkan tanpa harus repot-repot mengganti lensa. Fitur ini tidak hanya menunjukkan Samsung memiliki performa kamera yang mumpuni, tetapi juga prosesor yang powerful,” ucap Taba.

Taba juga sempat bercerita mengenai kepraktisan fitur Single Take untuk pengguna yang tergolong awam. Beliau mencontohkan Pevita Pearce, yang sempat mengaktifkan fitur tersebut untuk mengabadikan aksi para dancer di panggung. Jadi supaya tidak ada satu pun momen yang terlewatkan, Pevita hanya perlu mengarahkan kamera selama beberapa detik, dan perangkat yang akan bekerja sendiri mengambil foto maupun video dengan berbagai efek yang relevan.

Kedua narasumber sejatinya ingin membuktikan bahwa untuk kebutuhan profesional pun kamera S21 Series 5G sudah bisa diandalkan dengan baik. Yang mereka lakukan pada dasarnya tidak lain dari syuting iklan, dan itu merupakan pencapaian yang cukup mengesankan untuk sebuah smartphone.

5 Fitur Kamera yang Diharapkan Tersedia di Smartphone 2021

Bagi yang menekuni hobi fotografi dan kerap memotret maupun merekam video pakai kamera smartphone, fitur kamera dan peningkatan apa saja yang diharapkan hadir di smartphone yang dirilis tahun 2021 ini? Harus diakui, kualitas bidikan kamera smartphone semakin mumpuni dan memiliki rangkaian fitur yang membuatnya dapat diandalkan di berbagai kondisi.

Tahun lalu saja, terdapat beberapa smartphone yang dibekali dengan sensor kamera beresolusi mencapai 108MP dan dapat merekam video hingga 8K. Serta, dilengkapi lebih banyak kamera dengan lensa berbeda terutama telephoto untuk menghadirkan kemampuan memperbesar gambar atau zoom. Langsung saja, berikut beberapa fitur kamera yang diharapkan tersedia di smartphone 2021.

1. Ukuran Sensor Lebih Besar

Ukuran-Sensor-Lebih-Besar

Untuk smartphone terkini, Huawei P40 series dan Mate 40 series ialah smartphone dengan sensor kamera paling besar yakni 1/1.28 inci. Dengan resolusi 50MP dan teknologi 4-in-1 pixel binning atau quad bayer, perangkat tersebut menghasilkan bidikan beresolusi 12,5MP dengan ukuran per piksel besar 2,44um.

Diikuti oleh vivo X50 Pro+ dengan sensor kamera 1/1.31 inci beresolusi 50MP, serta Samsung Galaxy S20 Ultra dan Galaxy Note20 Ultra dengan sensor 1/1.33 inci beresolusi 108MP. Secara teori, semakin besar ukuran sensor maka lebih banyak cahaya yang bisa diserap sehingga turut meningkatkan kualitas gambar akhir yang dihasilkan.

Semoga tahun ini akan ada smartphone dengan sensor gambar yang mendekati 1 inci. Bagaimana pun penggunaan sensor yang lebih besar berarti membutuhkan ruang lebih, di sisi lain pabrikan smartphone harus tetap mempertahankan ketebalan smartphone, lagi pula keterbatasan sensor kecil dapat diatasi dengan kecanggihan pemrosesan gambar yang kini lebih cerdas berkat adopsi AI.

2. Format ProRAW di Android

Pengguna iPhone 12 Pro dan Pro Max sangat beruntung, karena dua smartphone terbaru Apple tersebut memiliki fitur kamera baru eksklusif yang bahkan tidak tersedia pada iPhone 12 original dan versi mininya. Fitur ini bernama ProRAW, format Raw baru yang menggabungkan kecanggihan pemrosesan gambar dengan fleksibilitas post-processing file RAW.

Bidikan foto dalam format ProRAW hasilnya seperti memotret dengan format JPEG atau HEIC, namun kita bisa leluasa mengedit pengaturan seperti pencahayaan, warna, dan detail lainnya lebih jauh lagi. Harapan saya, tim Google pengembang Android dan juga pabrikan smartphone Android bisa menciptakan fitur serupa format ProRAW di iOS di perangkat Android tahun ini.

3. Peningkatan Kualitas Kamera Sekunder

Peningkatan-Kualitas-Kamera-Sekunder
Photo by Thai Nguyen on Unsplash

Tahun 2020 lalu, ada banyak sekali smartphone Android dengan ‘quad camera‘ abal-abal alis cuma sekedar ‘gimmick‘. Sebagai contoh di segmen menengah, kebanyakan kamera utama yang digunakan memang cukup berkualitas dengan resolusi 48MP atau 64MP.

Kemudian kamera sekunder dengan lensa ultrawide bisa dibilang kualitasnya standar saja. Sisanya biasanya hanya sebatas 2MP menggunakan lensa macro, mono, atau depth sensor hanya untuk meningkatkan jumlah kameranya. Bahkan di segmen entry-level, banyak yang membanggakan pakai triple camera sebatas 2MP tanpa lensa ultrawide.

Alih-alih memperbanyak jumlah kamera, saya berharap produsen bisa lebih fokus meningkatkan kualitas kamera utama dan ultrawide di segmen menengah ke bawah. Sementara untuk segmen atas, kehadiran kamera dengan lensa telephoto bisa dibilang menjadi wajib, bahkan dua bila perlu agar menghasilkan foto yang lebih tahan di seluruh rentang zoom.

4. Bukan Video 8K, Tapi Peningkatkan Video 4K

Tahun ini, fitur perekaman video 8K mungkin akan tersedia lebih banyak di smartphone flagship. Saya percaya kebutuhan video 8K akan semakin meningkat seiring waktu, tetapi tidak untuk tahun 2021.

Untuk apa kita merekam video 8K? Yang pasti mengolah data sebesar itu akan membuat smartphone bekerja ekstra keras dan berujung overheat. Untuk mengedit video 8K juga membutuhkan komputer dengan spesifikasi yang tinggi dan belum lagi masalah penyimpanan yang dibutuhkan.

Lupakan kemampuan video 8K, kenapa tidak fokus pada fitur lain yang saat ini dibutuhkan oleh banyak pengguna terutama para content creator yang mengandalkan smartphone untuk bikin konten. Ya, peningkatakan kualitas perekaman video 4K.

Chipset yang kencang kenapa tidak digunakan untuk memberi opsi bitrate dan frame rate lebih tinggi seperti 120Hz di mode video dan bukan hanya di mode slow motion. Serta, memberikan dukungan penuh seperti stabilisasi, sistem autofocus lebih baik, efek video, dan lainnya.

5. Autofokus Kamera Depan 

Autofokus Kamera Depan 
Photo by Lukman Azis on TrikInet

Setelah selfie terbitlah tren vlogging, kamera depan smartphone saat ini banyak digunakan untuk membuat konten video. Fitur macam autofocus yang cepan nan akurat dan stabilisasi yang mulus diharapkan lebih banyak tersedia di smartphone 2021.

Selain itu, diharapkan kualitas mikrofon juga turut ditingkatkan dan disediakan opsi untuk fokus mengambil suara dari depan atau dari belakang ketika menggunakan kamera utama. Serta, mode video Pro di kamera depan dan kemampuan untuk menggunakan perangkat TWS sebagai mikrofon eksternal.

Gambar header: Photo by TheRegisti on Unsplash

Xiaomi Kembangkan Kamera Zoom Ala Teleskop untuk Smartphone

Pada tanggal 5 November lalu, Xiaomi secara resmi memulai ajang tahunan Mi Developer Conference (MIDC) di Beijing. Seperti biasa, ada sejumlah inovasi menarik yang Xiaomi umumkan di acara tersebut. Namun salah satu yang paling mencuri perhatian adalah teknologi kamera zoom dengan lensa yang bisa memanjang ala sebuah teleskop.

Lensa retractable semacam ini tentu sudah sejak lama digunakan oleh produsen kamera digital, dan manfaatnya pun sudah sangat jelas, yakni untuk menghemat ruang. Efeknya mungkin bakal jauh lebih terasa lagi ketika teknologi serupa diterapkan di smartphone, yang memang mempunyai ruang jauh lebih terbatas untuk menyimpan komponen optik – yang menjelaskan mengapa sebagian besar ponsel punya tonjolan kamera.

Xiaomi tidak bilang kamera teleskop bikinannya ini bisa memperbesar gambar hingga sejauh apa, tapi yang pasti bukaan lensanya (aperture) cukup besar sehingga dapat menyerap 300% lebih banyak cahaya daripada kamera telephoto milik ponsel pada umumnya. Kalau boleh menebak, jangkauan zoom-nya semestinya lebih jauh lagi daripada Mi 10 Ultra, yang sendirinya sudah sangat impresif karena menawarkan 5x optical zoom.

Kemampuan untuk menyerap lebih banyak cahaya ini penting karena ‘penyakit’ umum kamera telephoto milik smartphone baru terlihat ketika dipakai untuk memotret di malam hari. Karena aperture-nya kecil, cahaya yang diterima sensor pun jadi terbatas, dan pada akhirnya kelihatan cukup banyak noise di hasil fotonya.

Selain aperture yang besar, kamera teleskop Xiaomi ini turut dibekali sistem penstabil yang lebih efektif daripada biasanya, yang diyakini mampu meningkatkan ketajaman gambar hingga 20%. Sebagai bonus, kamera ini juga mampu mengunci fokus pada objek dari jarak yang sangat dekat layaknya sebuah kamera macro.

Dari sini bisa kita lihat bahwa manfaat yang dibawa teknologi ini bukan sekadar memastikan agar bodi smartphone bisa tetap ramping, melainkan juga menyederhanakan pengalaman pengguna. Jadi ketimbang harus mengemas empat kamera yang berbeda, ponsel mungkin hanya memerlukan dua modul kamera saja berkat teknologi ini: modul utama dengan sensor unggulan dan lensa retractable yang merangkap peran kamera telephoto dan kamera macro sekaligus, plus modul kamera ultra-wide.

Konsekuensinya mungkin smartphone harus mengorbankan sebagian ketahanannya terhadap air dan debu, tapi ini baru sebatas spekulasi saja mengingat Xiaomi memang belum menyinggung sama sekali soal ini. Kabar baiknya, kita sepertinya tidak perlu menunggu lama sebelum teknologi ini bisa direalisasikan, sebab proses pengembangannya dikabarkan sudah mencapai tahap pengujian terakhir.

Sumber: DPReview dan GSM Arena.

Vivo Sedang Kembangkan Sensor Kameranya Sendiri, Diklaim Bisa Menyerap Cahaya Lebih Banyak

Saat bicara mengenai sensor kamera smartphone, sebagian besar dari kita pasti langsung teringat akan dua nama, yaitu Sony dan Samsung. Hampir semua smartphone yang ada di pasaran memang ditenagai oleh sensor kamera bikinan kedua perusahaan tersebut, tapi tahun depan mungkin keadaannya bisa berubah.

Vivo baru-baru ini mengumumkan bahwa setidaknya dalam setahun terakhir, mereka telah sibuk mengembangkan sensor kameranya sendiri. Bukan sembarang sensor, melainkan yang memakai susunan filter warna RGBW (Red, Green, Blue, White), ketimbang yang lebih konvensional, yakni RGB (Red, Green, Blue).

Buat apa penambahan pixel warna putih tersebut? Supaya sensitivitasnya terhadap cahaya meningkat, dan hasil fotonya di kondisi minim cahaya bisa lebih bagus lagi. Dibandingkan sensor konvensional, Vivo percaya sensor bikinannya ini mampu menyerap 160% lebih banyak cahaya.

Vivo RGBW camera sensor

Vivo bukanlah yang pertama menerapkan konsep ini, sebab di tahun 2012, Sony pernah mengumumkan sensor kamera smartphone dengan teknologi serupa, dan Huawei pun juga pernah menggunakannya pada Huawei P8 di tahun 2015.

Problem yang dialami dengan sensor RGBW kala itu adalah resolusi yang tergolong kecil. Namun seperti yang kita tahu, resolusi sama sekali bukan masalah dalam dua tahun terakhir ini berkat semakin canggihnya algoritma image processing yang diterapkan.

Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan sensor lain yang juga tidak umum, semisal sensor kamera yang dipakai Huawei yang memakai susunan filter warna RYYB? Menurut Vivo, sensor RGBW rancangan mereka bisa menyerap 15% lebih banyak cahaya, selagi di saat yang sama terhindar dari problem color casting yang umum didapati pada sensor RYYB.

Vivo bilang perangkat yang ditenagai sensor kamera RGBW ini masih dalam tahap pengembangan dan baru akan tersedia di pasaran tahun depan. Vivo selama ini memang cukup rajin bereksperimen dengan teknologi-teknologi kamera smartphone yang tidak umum. Contoh terbarunya apalagi kalau bukan Vivo X50 Pro yang mengemas gimbal mini.

Sumber: GSM Arena dan Sparrows News. Gambar header: Depositphotos.com.