Ditolak NCAA, Riot Games Akan Dirikan Badan Regulasi Esports Universitas Sendiri

Kompetisi tingkat mahasiswa dan universitas adalah bagian penting dari olahraga di Amerika Serikat. Selain sebagai lahan pencarian bakat menuju dunia olahraga profesional, liga-liga level universitas ini juga memiliki daya tarik tersendiri bagi penonton. Banyak organisasi juga menawarkan beasiswa untuk mahasiswa yang berprestasi di bidang olahraga, dan di sana terdapat asosiasi khusus bernama NCAA (National Collegiate Athletic Association) yang menangani regulasi untuk pertandingan olahraga level mahasiswa.

Kompetisi tingkat mahasiswa belakangan ini juga menjadi wacana hangat di industri esports. Banyak penerbit game sudah mulai bergerak ke arah sana, contohnya Capcom yang akan meluncurkan liga Street Fighter mahasiswa. Riot Games juga memiliki kejuaraan League of Legends tingkat mahasiswa yang bernama League of Legends College Championship. Untuk tahun 2019, liga tersebut akan mulai berjalan pada tanggal 23 Mei.

Team Liquid
Team Liquid | Sumber: lolesports

Sejalan dengan usaha para pegiat esports untuk membuat industri ini semakin berkembang, kebutuhan untuk regulasi tentu muncul, misalnya untuk melindungi hak-hak atlet di lapangan. NCAA sebagai asosiasi olahraga yang sudah berdiri lama di Amerika diharapkan menjadi badan yang bisa memayungi hal tersebut. Sayangnya, dalam pertemuan NCAA Board of Governors tanggal 30 April lalu, rencana memasukkan esports sebagai bagian dari NCAA gagal.

Para anggota Board of Governors telah melakukan voting tentang pengembangan esports, namun ternyata hasilnya imbang 6 lawan 6 suara. Dari hasil voting tersebut, mereka kemudian sepakat untuk menunda pengembangan esports hingga waktu yang tidak ditentukan.

Memang ada banyak tantangan yang muncul dalam gagasan tentang esports ini. Sebagian suara mempertanyakan kelayakan esports untuk dimasukkan dalam kategori kegiatan olahraga. Sementara para stakeholder dari industri esports tidak setuju dengan aturan NCAA tentang keamatiran, yang membatasi penghasilan para atlet di tingkat universitas dari uang hadiah, pemasukan iklan, atau donasi streaming.

G2 Esports
G2 Esports | Sumber: lolesports

Menurut kabar yang dilaporkan oleh Sports Business Daily, Riot Games akhirnya menanggapi keputusan NCAA ini dengan cara mendirikan badan regulasi sendiri khusus untuk esports League of Legends tingkat universitas. Secara kepemilikan, badan regulasi tersebut memang akan berada di bawah Riot Games. Tapi secara struktur, mereka akan bergerak secara independen sebagai divisi terpisah, sama seperti badan-badan yang membawahi 13 liga League of Legends profesional yang sudah ada termasuk LCS di Amerika dan LEC di Eropa.

Badan regulasi baru ini akan menangani koordinasi dan birokrasi antara para stakeholder esports dengan pihak kampus, dan akan menghadapi tantangan-tantangan yang berbeda dari liga esports profesional. Salah satu tantangan itu adalah tidak adanya organisasi esports yang berdiri sebagai perusahaan independen, yang memiliki kendali penuh atas aset-aset serta modal milik mereka. Liga mahasiswa juga membutuhkan dewan penasihat eksternal yang terdiri dari para pakar olahraga serta pakar pendidikan tingkat universitas.

Invictus Gaming
Invictus Gaming | Sumber: lolesports

Sebagai industri yang masih berada di tahap perkembangan, keuntungan finansial merupakan faktor yang tidak hanya penting bagi para investor, namun juga para calon atlet esports. Karena itu wajar bila peraturan tentang keamatiran menjadi isu yang cukup panas. Atlet berprestasi dalam usia belia sudah banyak bermunculan di dunia esports, dan mereka telah membuktikan bahwa mereka mampu bertanding melawan pemain-pemain yang jauh lebih senior. Pembatasan terhadap imbalan finansial dapat dipandang sebagai perlakuan tak adil terhadap bakat mereka.

Di Amerika sendiri aturan keamatiran yang diterapkan NCAA sudah sering menjadi kontroversi. Mungkin atlet-atlet mahasiswa tidak bisa diperlakukan 100% seperti seorang profesional, karena mereka memang belum sepenuhnya menjadikan olahraga sebagai pekerjaan. Akan tetapi ketika muncul talenta hebat yang berpotensi meraih prestasi serta menggerakkan revenue dalam jumlah besar, tentu kompensasi yang diberikan pun harus setara. Mengatur hal ini adalah salah satu tanggung jawab terbesar badan regulasi baru yang didirikan Riot Games.

Sumber: Sports Business Daily via Esports Insider

Menelaah Kondisi League of Legends di Tahun 2019 Lewat Data dan Fakta

Bagaimana kabar League of Legends di tahun 2019? Di kalangan penggemar esports, game PC, maupun MOBA, pertanyaan demikian kerap kali dilontarkan. Maklum, dewasa ini memang League of Legends semakin banyak punya saingan. Mulai game satu genre seperti Arena of Valor atau Mobile Legends, hingga pembawa tren baru seperti Fortnite dan PUBG, sementara jumlah pasar gamer dunia jelas ada batasnya.

Riot Games sendiri belakangan juga terkesan enggan membuka data. Terakhir kali mereka menyatakan bahwa League of Legends memiliki 100 juta pengguna aktif bulanan (monthly active users), tapi itu sudah lama sekali, yaitu tahun 2016. Data Statista di tahun 2017 menunjukkan bahwa game ini dimainkan oleh 100 juta orang, meskipun ada juga yang menyebutkan angka 111 juta pemain dari Tiongkok saja. Selepas itu kita belum melihat adanya data resmi terbaru.

Marc Merrill dan Brandon Beck, para co-founder Riot Games, dalam wawancara bersama Polygon memang pernah mengatakan bahwa mereka benci berbicara tentang angka. “Sulit untuk dijelaskan, tapi pada akhirnya, angka-angka itu bahkan tidak terasa nyata,” kata Beck. “Hal yang paling keren adalah ketika kita berada di acara live dan dapat bertemu dengan penggemar secara langsung. Saat itulah baru terasa nyata. Selain itu, semuanya hanya angka-angka di atas layar di berbagai penjuru dunia.”

Tapi sebagai orang-orang yang berada di posisi konsumen, sikap seperti ini mungkin kurang memuaskan. Kita tentu ingin tahu juga seperti apa kondisi pasar game ini sebenarnya, terutama bila kita memang merupakan penggemar setia. Beruntung, banyak data lain selain angka active users yang bisa kita telaah untuk mengukur sesehat apa kondisi League of Legends saat ini, dan apakah game tersebut masih sedang tumbuh, stagnan, atau justru sedang mengalami penurunan.

Viewership

Data pertama dan paling dekat adalah data resmi dari Riot Games tentang League of Legends World Championship 2018, alias Worlds 2018. Dalam artikel yang diterbitkan bulan Desember 2018, Riot Games menyatakan bahwa babak final Worlds 2018 berhasil mendatangkan 99,6 juta unique viewers, dengan puncak concurrent viewers sebesar 44 juta pemirsa. Concurrent viewers di sini adalah jumlah penonton yang menyaksikan acara secara bersamaan.

Worlds 2018 - Viewership
Sumber: Riot Games

Jumlah tersebut sangat fantastis, bukan hanya karena angkanya yang besar tapi juga karena pertumbuhannya yang sangat tinggi dari tahun sebelumnya. Data Worlds 2016 menunjukkan bahwa babak final ditonton oleh sebanyak 43 juta orang, sementara final Worlds 2017 disaksikan 58 juta orang. Artinya jumlah penonton Worlds 2018 naik sekitar 85% dari tahun sebelumnya, dan peak concurrent viewers Worlds 2018 lebih tinggi daripada total unique viewers Worlds 2016.

Tidak hanya turnamen Worlds yang punya angka viewership tinggi, namun juga tayangan-tayangan lain yang lebih kecil. Menurut laporan dari The Esports Observer, tayangan esports League of Legends sempat merajai Twitch di awal tahun 2019, dengan total waktu menonton hingga 3,46 juta jam dalam seminggu. Sejak saat itu peringkat Twitch ini sempat mengalami pergeseran, contohnya ketika Apex Legends dirilis. Tapi League of Legends konsisten terus menempati peringkat tinggi, bahkan ketika artikel ini ditulis, sedang bertengger di peringkat satu.

Angka tersebut memang tidak menggambarkan secara langsung berapa jumlah orang yang memainkan League of Legends saat ini. Tapi ada dua hal yang bisa kita simpulkan dari sana. Pertama, bahwa jumlah penggemar League of Legends itu sendiri masih sangat banyak, dan kedua, bahwa minat masyarakat terhadap esports League of Legends dalam dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan drastis.

Prize Pool Turnamen

Berbeda dari angka viewership yang terus melesat, prize pool dari turnamen Worlds itu sendiri justru sempat menurun. Total hadiah Worlds 2016 berhasil mencapai US$5.070.000, dengan US$2.130.000 di alamnya berasal dari Riot Games dan sisanya dari kontribusi penggemar. Sementara di Worlds 2017 total hadiahnya justru mengecil, yaitu US$4.946.970. Padahal di tahun tersebut Riot Games sudah menaikkan hadiah awalnya menjadi US$2.250.000.

Untungnya, prize pool ini meningkat lagi sangat jauh di tahun berikutnya. Worlds 2018 menawarkan total hadiah hingga kurang lebih US$6.450.000. Hadiah awal dari Riot sendiri sama dengan tahun lalu yaitu US$2.250.000, namun kontribusi penggemar ternyata sangat besar, sekitar US$4.200.000. Itu artinya terjadi peningkatan kontribusi penggemar sebesar kurang lebih 55%.

Terlepas dari jumlahnya sendiri, yang lebih menarik adalah Riot Games mengambil langkah baru dalam distribusi hadiah itu. Kontribusi penggemar di prize pool turnamen Worlds biasanya mengambil 25% dari penjualan skin eksklusif yang telah ditentukan. Namun di tahun 2018, hanya 12,5% hasil penjualan itu yang jadi hadiah berdasarkan performa tim di Worlds. Sisa 12,5% lainnya dibagikan secara merata kepada seluruh tim yang lolos kualifikasi ke Worlds. Sistem distribusi ini dilakukan untuk memberi apresiasi lebih tinggi pada para tim yang lolos.

Worlds 2018 - Prize Pool Distribution
Sumber: Riot Games

Revenue

Riot Games boleh bangga dengan tingginya angka viewership dan prize pool di turnamen, akan tetapi ada satu pertimbangan yang tak kalah krusial, yaitu revenue secara keseluruhan. Dalam laporan yang diterbitkan oleh SuperData (Nielsen), revenue League of Legends di 2018 rupanya hanya mencapai angka US$1,4 miliar. Turun drastis dari tahun 2017 yang mencapai US$2,1 miliar, bahkan lebih rendah dari pencapaian tahun 2016 yaitu US$1,7 miliar.

Mungkin inilah penyebab utama yang memunculkan kekhawatiran seolah-olah League of Legends sedang sekarat. Mengacu pada data yang diterbitkan Statista, revenue tahun 2018 ini adalah revenue terendah League of Legends sejak tahun 2014. Setelah tiga tahun terus mengalami kenaikan, akhirnya di tahun 2018 League of Legends harus “tumbang”.

Mengapa revenue League of Legends turun sedemikian drastis? Ada beberapa pendapat. Sebagian orang menganggap penyebabnya adalah hubungan yang kurang baik antara Riot Games dengan Tencent yang merupakan pemilik saham terbesar Riot.

Konflik ini salah satunya berakar dari keengganan Riot Games untuk mengembangkan League of Legends versi mobile, padahal Tencent tahu bahwa ada potensi besar di ranah itu. Hasilnya, Tencent pun merilis game mobile mereka sendiri yang menyerupai League of Legends, yaitu Arena of Valor. Kini Arena of Valor justru menjadi saingan League of Legends, padahal keduanya berada di bawah induk yang sama yaitu Tencent.

Arena of Valor

Ongkos Penyelenggaraan Event

Penyebab lain yang turut berkontribusi terhadap revenue adalah ongkos untuk menggelar acara turnamen esports yang semakin lama semakin tinggi. Riot Games sempat menerima banyak kritik di tahun 2018 karena beberapa turnamen yang mereka gelar terkesan kurang anggaran. Tapi kemudian mereka menjawab dalam sebuah forum Reddit bahwa sebetulnya mereka tidak serta-merta memangkas ongkos, namun menyesuaikan anggaran dengan potensi pemasukan.

Hingga pertangahan 2018, Riot telah menginvestasikan kurang lebih US$100.000.000 per tahun untuk menggelar turnamen esports. Hasilnya memang mereka berhasil menciptakan turnamen-turnamen megah, tapi sebetulnya mereka sedang berada dalam fase “startup” dan belum memikirkan sustainability. Dengan kata lain, bisnis esports di Riot Games masih belum balik modal. 2018 menjadi penting karena di tahun inilah mereka mulai mengganti strategi lebih menuju profitability dan sustainability di bidang esports.

Worlds 2018 - Invictus Gaming
Sumber: Riot Games

Benar bahwa Riot sempat memangkas anggaran untuk beberapa turnamen, namun itu sebetulnya merupakan sebuah eksperimen saja tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk menekan anggaran. Daripada menurunkan anggaran, Riot lebih ingin meningkatkan revenue, jadi itulah yang akan mereka fokuskan selama tiga tahun ke depan. Apabila revenue berhasil meningkat dalam jangka waktu tiga tahun, anggaran esports Riot Games tidak akan berubah, bahkan bisa meningkat. Tapi bila tidak berhasil maka anggaran itu akan diturunkan.

Ancaman Persaingan

Meski revenue League of Legends di tahun 2018 adalah yang terendah sejak 2014, bukan berarti angka tersebut jelek. Dalam laporan SuperData, League of Legends masih menempati urutan ketiga dalam peringkat top free-to-play games sepanjang tahun 2018. Mengalami penurunan memang benar, tapi mungkin terlalu berlebihan bila League of Legends dikatakan “sekarat”.

Bila League of Legends peringkat tiga, lalu siapa peringkat satunya? Anda pasti bisa menebaknya dengan mudah. Benar sekali, revenue tertinggi free-to-play 2018 ada di tangan sang raja battle royale, Fortnite. Karya Epic Games tersebut berhasil meraih revenue senilai US$2,4 miliar.

Fortnite

Ancaman dari Fortnite ini bukan main-main. Dalam laporan keuangan yang diterbitkan di bulan Januari 2019, Netflix menyatakan bahwa saingan mereka bukan hanya platform video seperti HBO, Amazon, atau Apple, tapi juga video game. Bahkan sebagaimana dilansir Forbes, ancaman terhadap Netflix datang lebih besar dari Fortnite daripada dari HBO.

Kalau Netflix—yang bukan perusahaan game—saja begitu tergerus oleh Fortnite, dampaknya terhadap League of Legends tentu lebih besar lagi. Ingat, Netflix dan Fortnite pada dasarnya cuma berebut screen time. Sementara League of Legends dan Fortnite bukan hanya berebut screen time tapi juga berebut play time.

Pengeluaran pengguna untuk Netflix sifatnya flat karena menggunakan sistem berlangganan, sementara Fortnite dan League of Legends sama-sama menjual in-game item sehingga jumlah pemasukan per orang bisa berubah-ubah. Setiap gamer tentu memiliki batasan akan berapa jumlah uang yang mau ia keluarkan untuk game free-to-play. Jumlah uang yang ia keluarkan akan proporsional dengan game yang paling sering ia mainkan.

Menunggu Hasil Diversifikasi

League of Legends sudah mencapai kesuksesan yang luar biasa, dan kini mungkin sudah waktunya sang raja menyerahkan takhtanya. Revenue yang turun setelah sekian lama menunjukkan bahwa tampaknya League of Legends sudah menyelesaikan fase pertumbuhan (growth) dan kini berada di fase kedewasaan (maturity). Dari sini, fokus Riot Games harus berubah, bukan lagi mencari pertumbuhan sebanyak-banyaknya, tapi mempertahankan League of Legends menjadi produk yang sustainable sebelum akhirnya masuk ke fase penurunan (decline). Strategi Riot Games dalam mengatur anggaran esports mencerminkan hal itu.

Menengok ke belakang, sebetulnya kondisi League of Legends tahun ini sudah diantisipasi oleh para pendiri Riot Games sejak dua tahun ke belakang. Menjelang akhir tahun 2017 lalu, Marc Merrill dan Brandon Beck menyatakan pengunduran dirinya dari posisi manajemen untuk kembali ke tim developer dan mengembangkan game baru. Seperti apa game baru itu, kita masih belum tahu. Yang jelas, Riot Games telah sadar bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan satu produk selamanya. Tidak hanya Riot, Valve pun beberapa waktu lalu telah melakukan upaya serupa dengan merilis Artifact, meskipun keberhasilannya masih menjadi tanda tanya.

Game baru Riot Games ini sekarang masih berada dalam pengembangan. Riot Games telah membuka lowongan untuk developer di bulan Februari lalu, dan menurut cuitan dari Katie Chironis (Senior Game Designer di Riot Games), tim developer untuk game ini berjumlah kecil tapi sangat beragam. Belum detail yang diungkap oleh Riot mengenai produk baru ini, dan mungkin kita masih harus menunggu lama sebelum melihat hasilnya. Tapi yang jelas, langkah Riot untuk fokus pada sustainability di League of Legends sambil melakukan diversifikasi produk bisa dikatakan sudah tepat.

Rencana ke Depan

Di tahun 2019 ini, Riot Games melakukan beberapa langkah untuk membuat ekosistem esports League of Legends semakin rapi. Salah satunya yaitu pemisahan yang lebih jelas antara esports di Amerika Serikat dengan Eropa. Dulu League of Legends Championship Series (LCS) terbagi menjadi dua, yaitu NA LCS dan EU LCS. Akan tetapi mulai tahun ini Eropa memiliki liga sendiri dengan nama League of Legends European Championship (LEC). Sementara di Amerika, nama LCS tetap digunakan.

Riot juga meluncurkan situs baru yang menjadi pusat akan segala informasi yang berhubungan dengan esports League of Legends. Bila dulu penggemar harus membuka berbagai situs berbeda bila ingin membaca artikel, menonton pertandingan, dan mencari tiket event, kini semua disatukan dalam satu wadah yang disebut Nexus. Riot juga meluncurkan situs khusus untuk membeli merchandise, termasuk jersey tim-tim profesional yang berlaga di LCS.

Riot juga semakin mengembangkan liga mereka di level mahasiswa. Salah satu program yang diluncurkan tahun ini yaitu program College Season Streamer. College Season sendiri merupakan liga League of Legends yang diikuti oleh lebih dari 350 kampus, dan lewat program ini, Riot ingin menggaet para shoutcaster (baik amatir ataupun profesional) untuk menyiarkan pertandingan-pertandingan secara live streaming. Esports level mahasiswa ini sangat penting dalam memunculkan talenta-talenta baru yang memastikan ekosistem bisa berjalan secara berkelanjutan.

LEC 2019 Spring - G2
Sumber: lolesports

Selain itu, sejalan dengan keinginan Riot untuk meningkatkan revenue dari esports, sejak tahun 2018 mereka semakin gencar menjalin partnership dengan berbagai pihak. Beberapa sponsor yang kini terlibat meliputi SK Telecom, Mastercard, Dell/Alienware, SecretLab, hingga Nike. Kerja sama dengan Mastercard yang terjadi pada bulan September 2018 punya posisi yang cukup spesial, karena mereka menempati posisi sebagai Global Partner pertama bagi esports League of legends. Apalagi kerja sama ini diumumkan sebagai kerja sama jangka panjang. Mastercard sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi sponsor dalam industri olahraga maupun hiburan, dan lewat kerja sama ini, Mastercard akan menghadirkan berbagai inovasi untuk membuat pengalaman esports League of Legends semakin unik dan tak terlupakan.

League of Legends sepanjang 2018 telah berhasil menjadi esports paling banyak ditonton di seluruh dunia. Di tahun 2019 ini, Riot tampaknya ingin fokus dalam menghadirkan pengalaman yang secara keseluruhan lebih nyaman kepada para penggemarnya. Esports League of Legends sudah berhasil menjadi yang terbesar. Kini saatnya Riot memastikan bahwa esports League of Legends adalah yang terbaik.

Kesimpulan

Apakah League of Legends sedang sekarat? Jawabannya, jelas tidak. Terjadi penurunan di beberapa aspek memang iya, dan itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi walau dengan penurunan itu pun sebetulnya posisi League of Legends masih sangat kuat. Game ini masih merupakan raksasa dengan viewership tertinggi di dunia dan revenue tertinggi ketiga di dunia, jadi secara gambaran global, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Di beberapa daerah, minat masyarakat terhadap League of Legends bahkan semakin meningkat. Contohnya di Amerika Serikat. Dalam turnamen North America League of Legends Championship Series (NA LCS) Spring Split 2019, jumlah penonton babak final di Twitch dan YouTube mencapai 600.000 orang. Ini meningkat dari NA LCS Spring Split 2018 yang ditonton kurang lebih 520.000 orang. Jumlah penonton yang datang langsung ke venue pun melebih 10.000 orang, dan diprediksi akan meningkat di masa depan.

Jumlah penonton Worlds 2018 yang mencapai 99,6 juta orang itu bahkan lebih tinggi daripada penonton Super Bowl yang “hanya” 98 juta penonton. Padahal Super Bowl merupakan kejuaraan American Football tahunan yang selalu menghebohkan dan digandrungi masyarakat. Perbandingan ini, ditambah dengan prediksi bahwa pangsa pasar esports masih akan terus tumbuh hingga 2021, menunjukkan bahwa di tengah persaingan yang begitu ketat pun League of Legends masih mampu menjaga keberlangsungan ekosistemnya dengan sangat baik.

Di tahun 2009 ini League of Legends akan merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh. Selama sepuluh tahun ini League of Legends telah berhasil menjadi hiburan, tontonan, bahkan mata pencaharian bagi berjuta-juta orang di seluruh dunia. Stakeholder game ini bukan lagi hanya Riot Games, tapi juga para sponsor, atlet, caster, organizer, dan segala pihak lain yang terlibat di dalamnya. Tidak ada yang abadi di dunia ini memang, dan League of Legends suatu hari pun pasti akan mati. Tapi selama seluruh stakeholder di atas mampu bekerja sama menciptakan ekosistem yang sustainable, saya rasa League of Legends masih akan tetap jaya untuk waktu yang lama.

JD Gaming Ungkap Standar Gaji Atlet Esports League of Legends Tiongkok

Seiring industri esports berkembang menjadi besar, atlet esports pun semakin tumbuh menjadi profesi yang menjanjikan. Tidak jarang kita mendengar ada atlet memiliki penghasilan miliaran, seperti atlet-atlet Korea Selatan yang mengikuti liga League of Legends Champions Korea (LCK). Apalagi di wilayah-wilayah yang memang memiliki level kompetisi tinggi dan penggemar dalam jumlah banyak.

Tiongkok juga terkenal sebagai negara dengan perkembangan esports yang pesat, bahkan diakui sebagai salah satu wilayah kompetitif terkuat di kancah esports dunia. Tentu kemudian jadi pertanyaan, berapakah penghasilan atlet di negara tersebut? Baru-baru ini salah satu organisasi esports Tiongkok yaitu JD Gaming membuka lowongan untuk masuk ke dalam roster League of Legends mereka yang bermain di Tencent League of Legends Pro League (LPL). Dalam lowongan tersebut, JD Gaming membeberkan berapa gaji yang ditawarkan beserta syarat-syarat untuk menjadi atlet anggota.

Tencent League of Legends Pro League
LPL adalah liga League of Legends paling prestisius di Tiongkok | Sumber: The Esports Observer

Dilansir dari VPEsports, iklan yang dipasang JD Gaming di situs Weibo itu menawarkan gaji tahunan antara 500.000 – 10.000.000 Yuan (1,05 miliar – 21 miliar rupiah). Sementara untuk tim akademi Joy Dream (JDM), kisaran gajinya adalah antara 250.000 – 1.000.000 Yuan (78,4 juta – 312,1 juta rupiah) per tahun. Ini merupakan angka yang sangat besar, apalagi untuk atlet-atlet yang sudah senior.

Bila kita perhatikan di sini terdapat ketimpangan yang sangat besar antara batas bawah dengan batas atas gaji yang ditawarkan. Hal serupa juga terjadi di negara lain seperti Korea Selatan, tapi tampaknya ketimpangan di Tiongkok punya jurang yang lebih lebar. Dari laporan Inven Global, gaji esports Korea Selatan berkisar antara 20 juta – 500 juta Won (248,6 juta – 6,2 miliar rupiah) per tahun. Selisihnya masih relatif dekat dibandingkan dengan tawaran dari JD Gaming.

Kara Dang Vu
Karier esports atlet muda butuh dukungan dari orang tua | Sumber: CBS

JD Gaming juga membuka rekrutmen untuk Youth Team (usia 15 – 20 tahun) dengan tawaran gaji lebih kecil, sekitar 80.000 – 200.000 Yuan. Tapi atlet Youth Team bisa saja diangkat langsung ke tim Joy Dream hanya dalam waktu satu bulan setelah bergabung, bila ia menunjukkan performa yang luar biasa. Sementara itu untuk naik dari tim Joy Dream ke JD Gaming utama, mereka harus bermain lebih dulu di League of Legends Development League (LDL) setidaknya selama satu musim.

Menariknya, salah satu syarat perekrutan itu JD Gaming adalah adanya dukungan dari pihak keluarga. Sebagai sebuah profesi yang baru di industri yang masih muda, atlet esports memang masih sering dipandang sebelah mata. Mudah-mudahan seiring esports semakin menyebar di masyarakat, dan seiring munculnya kisah-kisah sukses dari industri esports, para orang tua dari generasi sebelumnya akan dapat lebih membuka diri dan menerima bila ada anak mereka yang berkeinginan untuk menjadikan atlet esports sebagai profesi.

Sumber: VPEsports, DBLTAP

Update: Koreksi terhadap konversi nominal ke mata uang rupiah.

Akankah SEA Tour Menjadi Cikal Bakal Kebangkitan Esports LoL di Asia Tenggara?

Baru-baru ini Riot Games, lewat Garena, mengumumkan sebuah format kompetisi League of Legends baru untuk regional Asia Tenggara. Format ini diberi nama League of Legends SEA Tour (LST), yang merupakan usaha Riot Games untuk menyatukan semua kegiatan ekosistem esports di Asia Tenggara.

SEA Tour mengubah format kompetisi dari liga lokal, menjadi format turnamen antar negara dalam satu regional Asia Tenggara. Dalam format turnamen baru ini, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Indonesia akan langsung ditandingkan di dalam satu wadah besar. Alur kompetisi SEA Tour dibagi menjadi empat fase yaitu: Kualifikasi ranked online, kualifikasi nasional, National Minor, SEA Tour Spring/Summer Major.

Nantinya tim yang berhasil jadi juara di SEA Tour Spring/Summer Major, berhak untuk lolos ke fase global, entah itu Mid-Season Invitational 2019 atau Worlds 2019.

Sumber
Sumber: Garena Indonesia

Sebelumnya, ekosistem kompetisi LoL di Asia Tenggara menggunakan sistem liga lokal. Beberapa negara di Asia Tenggara sudah melakukannya lewat program seperti: League of Legends Garuda Series (LGS) Indonesia atau Vietnam Championship Series dan lain sebagainya. Sistem ini sebenarnya mencoba mereplikasi apa yang sudah sukses dilakukan di beberapa regional, contohnya ada liga LoL AS yaitu LCS atau liga LoL Korea yaitu LCK.

Namun selama liga lokal ini diselenggarakan, Asia Tenggara entah kenapa masih kurang bisa berkompetisi dalam program esports LoL Global. Dengan format tersebut, perwakilan SEA kerap terhenti ketika mencapai fase International Wildcard Qualifier atau fase yang kini disebut sebagai Worlds atau MSI play-in.

Walaupun begitu, dua tahun belakangan pencapaian regional SEA di jagat kompetitif LoL internasional meningkat. Hal tersebut tercatat lewat lolosnya Gigabyte Marines (Filipina) ke MSI 2017 dan EVOS (Vietnam) ke MSI 2018. Kendati demikian, keduanya tetap tidak berhasil lolos dari fase grup di MSI, babak belur oleh Korea, Tiongkok, Amerika, dan Eropa; empat regional yang memang adalah powerhouse jagat kompetisi LoL.

Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Melihat perubahan format yang terjadi ini, muncul pertanyaan di kepala saya. Apakah perubahan ini akan membuat tim LoL SEA jadi lebih bersinar di kancah internasional? Bagaimana dampaknya kepada pemain, iklim kompetitif, serta ekosistem esports LoL di Asia Tenggara?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut, saya mewawancara dua sosok yang pegiat esports LoL di Indonesia. Mereka adalah Yota dan Florian “Wofly” George. Yota sendiri sebenarnya sudah cukup lama malang melintang di dunia esports Indonesia, bahkan sebelum program esports LoL Indonesia ada. Namun dalam salah satu portofolio karirnya, ia sempat menjadi bagian dari tim produksi League of Legends Garuda Series (LGS) yang diselenggarakan oleh Garena.

Sementara nama Wolfy selama ini dikenal sebagai sosok shoutcaster di dalam gelaran seri liga LoL lokal Indonesia tersebut. Bukan sekedar shoutcaster, tapi Wolfy juga terkenal sebagai sesosok analis yang brilian yang kerap memperhatikan perkembangan esports LoL baik lokal maupun internasional. Tak berhenti sampai situ, ia juga sempat menjadi pemain, mewakili Indonesia dalam gelaran kompetisi LoL antar universitas dengan membawa nama kampus UPH.

Sumber:
Sumber: Facebook Yota

Kembali ke pembahasan soal SEA Tour, mari kita dengarkan pendapat dari Yota terlebih dahulu. Menurut pendapat dia, sebenarnya perubahan format dari liga lokal menjadi SEA Tour, tidak banyak membantu perkembangan ekosistem esports LoL di Asia Tenggara. “Playerbase League di SEA sekarang masih declining dan rasanya itu sulit dihindari. Salah satunya juga disebabkan karena trend mobile gaming di SEA yang terus meningkat” Tambah Yota.

Wolfy juga memberi pendapat soal dampak perubahan format ini dari sisi iklim kompetitif League di SEA. Menurutnya sistem baru ini memberi satu nilai positif, yaitu memungkinkan tim kuda hitam atau tim baru untuk muncul dan menjadi pemenang.

Mengapa demikian? Penyebabnya karena SEA Tour merupakan kompetisi tanpa kasta, memungkinkan siapapun melawan tim manapun. “Tapi jujur, gue pribadi lebih prefer sistem liga, karena membuat pemain ataupun organisasi jadi lebih terjamin” Wolfy kembali menambahkan.

Yota (kiri) dan Wolfy (kanan) saat jadi shoutcaster untuk PvP Esports
Yota (kiri) dan Wolfy (kanan) saat jadi shoutcaster untuk PvP Esports

Lalu apakah perubahan format ini bisa menghidupkan kembali scene esports di SEA? Terkait topik ini keduanya cukup kompak menjawab tidak.

Wolfy menjelaskan lebih lanjut soal jawabannya, “Jujur sebenarnya sulit untuk menghidupkan kembali scene LoL terutama di Indonesia. Jumlah organisasi yang punya niat terhadap scene LoL sudah sangat sedikit, turnamen League juga sangat terbatas, apalagi ditambah viewership LoL di Indonesia serta Asia Tenggara yang sangat rendah. Gue rasa sih tiga hal itu adalah faktor utama kenapa LoL di SEA jadi sulit berkembang.”

Pada sisi lain jawaban Yota cenderung lebih optimis, walaupun sebenarnya tetap skeptis dengan perkembangan scene LoL di Asia Tenggara. “Butuh lebih dari sekedar SEA Tour untuk bisa menghidupkan kembali scene esports League di SEA” jawab Yota tegas.

“Tapi kehadiran LST menjadi sinyal bahwa LoL di SEA itu belum mati. Ini adalah salah satu langkah positif dari Riot Games menurut gue. Juga, kehadiran LST tentu memberi jalan kepada pemain kompetitif yang punya mimpi bisa bermain MSI atau Worlds” Yota menjelaskan lebih lanjut kepada saya.

Sumber:
Sampai saat ini, pusat kegiatan esports LoL masih terpusat di empat regional. Eropa salah satunya, yang hadir lewat program LoL European Championship (LEC). Sumber: LoL Esports EU

Sebenarnya inisiasi liga lokal diselenggarakan oleh Riot Games melalui Garena merupakan inisatif yang baik untuk mengembangkan ekosistem esports LoL di Asia Tenggara.. Sayang kenyataan pahit yang harus diterima Garena adalah kecenderungan pemain Asia Tenggara memilih Dota 2 dalam hal game MOBA di PC, atau lari ke MOBA yang ada di mobile.

Kendati demikian, saya cukup setuju dengan apa yang dikatakan Yota. Walaupun jagat kompetitif League di SEA bisa dibilang sudah hampir mati suri, kehadiran SEA Tour adalah bukti nyata kepedulian Riot Games.

Kalau boleh jujur, sebenarnya cukup adil jika Riot Games memutuskan lepas tangan, lalu membiarkan jagat kompetitif LoL di Asia Tenggara terombang-ambing. Toh Riot Games juga sudah kesulitan mendapat keuntungan dari LoL di Asia Tenggara bukan?

Semoga saja kehadiran SEA Tour bisa kembali membangkitkan jiwa-jiwa kompetitif dari pemain LoL di Asia Tenggara. Tapi jangan berharap banyak ini bisa menghidupkan kembali scene LoL di SEA. Saya sangat skeptis dengan hal tersebut, apalagi mengingat era MOBA yang sudah selesai, dan pergeseran gaming culture di Asia Tenggara dari PC ke Mobile.

Nike Sponsori Liga League of Legends Tiongkok Selama Empat Tahun

Produk pakaian olahraga ternama, Nike, mengumumkan kerjasama dengan TJ Sports untuk sponsori League of Legends Pro League (LPL). Kerjasama ini berjalan mulai dari 2019 sampai 2022. Dalam perjanjian ini, nantinya semua bagian dari LPL termasuk pemain, pelatih, wasit, dan manajer tim, akan secara eksklusif menggunakan pakaian dan sepatu dari Nike.

Liga LoL Esports regional Tiongkok, LPL, bisa dibilang sebagai salah satu liga kasta utama paling kompetitif, selain dari League of Legends Champions Korea (LCK). Dua regional ini bahkan terkenal selalu menjadi rival dalam jagat kompetitif League of Legends internasional. 

Sumber:
Sumber: Dot Esports

Sampai League of Legends World Championship tahun 2017, rivalitas tersebut masih terjadi cukup sengit, walau tim Tiongkok yang diwakili Royal Never Give Up berakhir gagal masuk babak final.

Bukan cuma dalam soal branding saja, tapi dalam kerjasama ini, Nike juga akan menciptakan program latihan fisik untuk tim dan pemain peserta LPL . Hal ini dilakukan demi meningkatkan kesehatan fisik dan stamina para atlet esports yang bermain di LPL.

Mengutip dari Esports Observer, Nike dan LPL dikabarkan juga akan merancang sebuah lini pakaian bertema “Nike & LPL”. Namun hal ini baru akan tersedia bagi publik setelah gelaran Mid-Season Invitational, yang akan diadakan di Taiwan dan Vietnam pada Mei 2019 mendatang.

Finalis dan juara Worlds 2018, Invictus Gaming, berasal dari liga regional Tiongkok, LPL. Sumber
Finalis dan juara Worlds 2018, Invictus Gaming, berasal dari liga regional Tiongkok, LPL. Sumber: LoL Esports Official Media

Terkait kerjasama ini, Lin “Leo” Song sebagai Co-CEO dari TJ Sports mengatakan “Kerjasama antara Nike dengan LPL ini merupakan kerjasama yang sangat signifikan. Kami sangat tak sabar melihat dukungan Nike kepada atlet esports maupun tim peserta LPL”

Awalnya, kerjasama antara TJ Sports dengan Nike akan berlangsung selama lima tahun dengan nilai sebesar US$144 juta (sekitar Rp2 triliun). Namun hal itu tak terjadi dan perjanjian antara Nike dengan LPL hanya berlangsung untuk 4 tahun. Nilai kerjasama ini ditaksir bernilai US$29 juta (sekitar Rp400 miliar), termasuk investasi uang serta berbagai benefit yang diterima oleh LPL.

TJ Sports merupakan perusahaan joint venture antara Tencent dengan pengembang League of Legends, Riot Games, yang dibuat pada Januari 2019 lalu. Fokus TJ Sports adalah pada sisi bisnis dari jagat kompetitif League of Legends seperti: menggelar turnamen, berkolaborasi dengan esports venue, merekrut serta mengelola para talent.

Kendati Esports jarang menampilkan sang pemain, nyatanya sneakers culture juga melekat di kalangan komunitas gamers terutama para atlet esports. Jadi bukan tidak mungkin kerjasama dengan LPL dengan Nike akan semakin meningkatkan brand imaging mereka di komunitas gamers. Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Kerjasama antara produk pakaian olahraga dengan bagian dari ekosistem esports ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sebelumnya juga ada brand Puma yang jalin kerjasama dengan salah satu organisasi esports terbesar di Amerika Serikat, Cloud9.

Namun ini adalah kali pertama ada brand pakaian olahraga mensponsori badan liga esports. Hal ini jadi terdengar cukup janggal, mengingat proporsi tayangan esports terbilang lebih berat dari sisi in-game, dengan hanya sesekali menampilkan para pemainnya. Tetapi siapa yang tahu, bisa jadi kerjasama Nike dengan LPL ini berhasil meningkatkan brand imaging mereka di kalangan komunitas gamers.

Gaji Rata-Rata Atlet Esports Korea Selatan Tembus Rp2 Miliar Per Tahun

Sebelum dunia esports berkembang jadi seramai sekarang, orang-orang mungkin heran melihat ada yang bisa menjadikan game sebagai mata pencaharian. Apalagi meraih penghasilan miliaran per tahunnya. Namun seiring waktu berjalan hal ini menjadi semakin lumrah. Apalagi di Korea Selatan, salah satu negara yang memiliki perkembangan esports terpesat di dunia. Gaji di atas US$100.000 (Rp1,4 miliar) bukan lagi hal yang aneh bagi atlet-atlet esports di sana.

Industri esports di Korea Selatan telah berkembang sebesar 50% dari tahun 2014 ke tahun 2017. Negara ini memiliki liga bernama League of Legends Champions Korea (LCK), sebuah liga primer yang sekaligus berfungsi sebagai jalur kualifikasi menuju League of Legends World Championships. LCK dikenal sangat populer dan kompetitif, bisa disebut “liga Inggris-nya dunia esports”. Jadi wajar bila liga ini juga diisi oleh tim-tim ternama, dengan atlet-atlet terbaik, dan bayaran-bayaran termahal.

Inven Global mencatat bahwa LCK di tahun 2018 adalah liga termahal, di mana tim-tim esports menggelontorkan 68,2% dana mereka. Dari segi jumlah atlet profesional, LCK kalah dengan PUBG Korea League (PKL) dan Overwatch Contenders, tapi LCK masih merupakan liga tertinggi, sekaligus pusat dari industri esports Korea Selatan.

Distribusi Atlet Esports Korea Selatan
Distribusi atlet esports Korea Selatan | Sumber: Inven Global

Menurut survei yang dilakukan terhadap 82 atlet LCK di tahun 2018, gaji rata-rata pemain di liga ini adalah sekitar 170 juta Won per tahun (sekitar Rp2,1 miliar). Karena ini adalah angka rata-rata, tentu saja distribusinya tidak merata. Sekitar 50% dari pemain-pemain itu memiliki gaji di bawah 100 juta Won, dengan pendapatan terendah menyentuh angka 20 -50 juta Won (37,2%). Sementara itu ada pemain-pemain dengan gaji di atas 500 juta Won, jumlahnya tidak sampai 5% dari keseluruhan.

Perlu diperhatikan bahwa gaji bukanlah satu-satunya sumber pemasukan para gamer profesional. Sebagian besar pemain memiliki pendapatan sampingan dari hadiah turnamen, streaming, broadcasting, dan lain-lain. Ada juga pemain yang mendapatkan sponsorship pribadi, namun jumlahnya cukup kecil (8,9%). Pendapatan sampingan ini bisa berkisar antara 20 juta hingga 200 juta Won tiap tahunnya.

Gaji Rata-Rata Atlet Esports Korea Selatan
Gaji rata-rata atlet esports Korea Selatan | Sumber: Inven Global

Dalam dunia olahraga konvensional, atlet-atlet terkenal biasa mendapat kontrak endorsement dari brand olahraga terkenal dunia, seperti Adidas atau Nike. Sayangnya kesempatan tersebut masih belum banyak ditemukan di dunia esports. Di tahun 2019 ini partisipasi brand olahraga diharapkan bisa meningkat, apalagi kini hubungan antara esports dan liga-liga olahraga konvensional sudah semakin erat.

Menurut data Inven Global, LCK adalah liga yang didominasi oleh pemain-pemain muda. Rata-rata usia pemain di tahun 2017 adalah 20,8 tahun, dengan usia termuda 17 tahun dan usia tertua 26 tahun. Salah satu penyebab tidak ada pemain yang lebih tua adalah karena kepercayaan bahwa kemampuan atlet esports akan menurut ketika usianya memasuki 20an akhir. Hal ini sudah dibantah oleh pemain-pemain profesional negara lain, namun di Korea Selatan dampaknya masih cukup terasa.

Distribusi Usia Atlet Esports Korea Selatan
Distribusi usia atlet esports Korea Selatan | Sumber: Inven Global

Usia yang begitu muda artinya pengalaman para atlet di dunia profesional juga cukup rendah. Lebih dari setengah atlet LCK hanya punya pengalaman di bawah 3 tahun. Jumlah pemain yang berkarier hingga 4 atau 5 tahun sangat rendah, di bawah 4% dari keseluruhan. Itu pun mereka biasanya sudah kesulitan untuk mempertahankan kariernya.

Rentang usia yang terlampau pendek ini merupakan masalah tersendiri yang harus dipikirkan dengan serius oleh para pegiat industri esports. Untuk menunjang ekosistem industri esports yang sustainable, harus ada cara supaya para atlet bisa berkarier dengan jangka waktu lebih panjang. Jangan sampai profesi atlet esports—yang terbilang masih cukup baru—kemudian mendapat stigma negatif tambahan karena risiko kehilangan pekerjaan yang besar.

Sumber: Inven Global, KT Rolster

Tencent Luncurkan Aturan Baru untuk Streaming Konten Seluruh Game Mereka

Sebagai salah satu perusahaan game tersukses dan terpopuler dunia, Tencent Games punya pengaruh yang sangat kuat di industri game. Dengan portofolio mencakup judul-judul raksasa seperti PUBG Mobile, Fortnite, dan League of Legends, Tencent punya kekuatan untuk menjangkau ratusan juta gamer serta anak muda di dunia. Tentu saja, semakin besar suatu kekuatan maka semakin besar pula tanggung jawabnya.

Untuk menjaga agar ekosistem gamer di sekitar produk-produk Tencent tetap sehat, mereka baru saja mengumumkan sejumlah aturan untuk streaming konten yang berkaitan dengan seluruh game mereka. Aturan ini berlaku terhadap platform, produksi, institusi, dan streamer mana pun yang menciptakan konten berbasis produk milik Tencent.

Aturan tersebut diumumkan pada tanggal 14 Februari 2019 lalu, tak lama setelah pemerintah Tiongkok menerapkan aturan baru terkait regulasi konten internet. Beberapa aturan itu antara lain:

  • Larangan melanggar aturan-aturan dasar undang-undang konstitusi, serta topik-topik sensitif seperti politik nasional, kewarganegaraan, agama, serta kedaerahan.
  • Larangan publikasi informasi ilegal, seperti pornografi, perjudian, sekte-sekte, terorisme, dan lain-lain.
  • Larangan perilaku yang merusak user experience ataupun brand Tencent.
  • Larangan menyebarkan informasi palsu ke pengguna lain dengan berpura-pura menjadi perwakilan resmi Tencent.
  • Larangan menyebarkan private server, cheat, hack, atau informasi account boosting (joki).
  • Larangan mempromosikan dan memicu kekerasan di dunia nyata.
  • Larangan melanggar privasi orang lain dan menyebarkan informasi mereka tanpa izin.
  • Larangan melanggar kontrak, memutuskan kontrak sepihak, atau menjalin perjanjian terlarang dengan pihak ketiga, selama masih berada di bawah kontrak suatu platform streaming.
  • Larangan melanggar hak cipta penerbit game atau content creator lain.
  • Larangan akan konten yang memunculkan pengaruh sosial negatif.
Haishi
Haishi (Jiang Haitao) | Sumber: China Daily

Menurut laporan dari Esports Observer, aturan tentang pelanggaran kontrak muncul setelah adanya kasus dari streamer Honor of Kings (Arena of Valor versi Tiongkok) yang bernama Haishi (Jiang Haitao). Ia memiliki kontrak dengan platform streaming Huya, namun kemudian menjalin kontrak lain dengan platform Douyu. Haishi akhirnya mendapat tuntutan pengadilan dari Huya, dan diwajibkan untuk membayar denda sebesar 49 juta Yuan (sekitar Rp102,1 miliar).

“Terdapat hubungan hak cipta yang natural antara konten gaming dan platform live streaming. Tencent, sebagai pemimpin platform gaming streaming dan penerbit game, memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan standardisasi dan otorisasi konten streaming di industri,” demikian pernyataan Tencent yang diumumkan di media sosial Weibo.

Tencent sendiri sebetulnya memiliki modal yang tertanam di kedua platform, Huya maupun Douyu. Tapi mereka tetap berlaku adil dan menjunjung tinggi penghargaan atas kontrak serta hak cipta. Selain itu Tencent juga berinvestasi di platform video Bilibili, dan memiliki platform streaming sendiri bernama Penguin Esports. Dengan pengaruh seluas itu, penerapan aturan baru oleh Tencent ini akan memiliki imbas yang sangat besar pada dunia streaming, khususnya di Tiongkok. Mudah-mudahan saja dampaknya dapat membuat industri streaming tumbuh lebih positif.

Sumber: Esports Observer

Daftar Tayangan Esports Paling Populer di Bulan Januari 2019

Tanpa terasa kita sudah memasuki bulan kedua di tahun 2019. Walau masih awal tahun, namun tak ada salahnya jika kita mencoba merangkum tayangan esports terpopuler bulan Januari, sambil memprediksi tren ke depannya. Mencoba mengamati tayangan esports terpopuler di bulan Januari 2019 kemarin, ternyata MOBA tetap jadi tayangan esports favorit.

Baik League of Legends ataupun Dota 2, keduanya masih saling sikut berusaha mencuri perhatian dari para gamers. Hybrid sudah sempat membahas lebih jelas tentang bagaimana Dota 2 sudah ditonton lebih dari 12 juta jam berkat gelaran Chongqing Major kemarin. Namun bagaimana dengan tayangan esports selain gelaran Chongqing Major? Tayangan esports apa yang banyak ditonton gamers pada Januari 2019 kemarin?

Sumber: Cnet
Dota 2 Chongqing Major. Sumber: Cnet

Ternyata ada tiga jenis kompetisi League of Legends dari tiga regional berbeda yang jadi tayangan esports paling banyak ditonton. Tiga kompetisi tersebut adalah liga LoL Eropa (LEC) yang ditonton 396.265 orang, lalu liga LoL Korea (LCK) yang ditonton 341.304 orang, dan liga LoL Amerika (LCS) yang ditonton 319.017 orang.

Menariknya ada satu event kompetisi yang cukup menarik bertengger di posisi kelima. Event tersebut bernama Awesome Games Done Quick, yang merupakan tayangan speedruning yang ditayangkan secara maraton. Walau program tersebut terbilang anti-mainstream, nyatanya program ini ditonton oleh 250.642 orang.

Semua data penonton tersebut dirangkum oleh situs Esports Watch, yang mengambil data penonton internasional. Menariknya, jika melihat data tanpa menghitung penonton dari Tiongkok, Dota 2 Chongqing Major ternyata adalah tayangan esports paling populer di bulan Januari ini dengan 503.704 penonton.

Sumber: LoL esports via Flickr
Gelaran League of Legends European Championship, liga rutin dari regional eropa. Sumber: LoL esports via Flickr

Namun demikian, pada kenyataannya, bisa dibilang jumlah penonton Chongqing Major sebenarnya tak sebanding dengan liga LoL tersebut. Kenapa? Menurut saya Chongqing Major merupakan salah satu gelaran esports internasional skala besar di kancah kompetitif Dota 2. Sementara kompetisi LoL yang masuk daftar adalah kompetisi regular season yang merupakan liga rutin digelar secara mingguan dan hanya mempertandingkan tim lokal dari regional tertentu.

Sumber: ESC Watch
Sumber: ESC Watch

Kalau mau lebih sebanding, mungkin Chongqing Major harus dibandingkan dengan kompetisi League of Legends yang juga berskala internasional, seperti Mid-Season Invitational. Jadi pada kenyataannya, Chongqing Major di sini tidak bisa dibilang sepenuhya menang jumlah penonton dari kompetisi liga rutin League of Legends tersebut.

Sumber: LoL esports via Flickr
Sumber: LoL esports via Flickr

Apalagi juga kalau dilihat lebih seksama, ada tiga pertandingan League of Legends yang masuk ke dalam daftar. Jadi kalau boleh digabungkan, total penonton esports League of Legends adalah 1.056.586 penonton, dua kali lebih banyak daripada penonton Dota 2 Chongqing Major.

Itu tadi jika melihat data tanpa penonton Tiongkok. Dengan menghitung penonton dari negara Tirai Bambu yang menonton siaran berbahasa Inggris, LoL tampil lebih dominan lagi. Chongqing Major pun merosot jadi posisi empat.

Sumber: ESC Watch
Sumber: ESC Watch

Menariknya, meski Fortnite di luar sana sudah jadi fenomena sosial buat kalangan muda dan remaja, ternyata LoL masih mendominasi dari segi esports-nya. Hal ini sepertinya masih terus bertahan sampai beberapa waktu ke depan jika para publisher / developer lainnya masih menggunakan cara yang sama memromosikan esports-nya masing-masing. 

Dorong Kesadaran Akan Kesehatan Mental, CLG Kerjasama Dengan NAMI

Perkara kesehatan mental memang selalu jadi topik yang susah-susah-gampang untuk dicerna masyarakat umum. Penyebabnya adalah karena kesehatan mental tidak seperti kesehatan fisik yang terlihat. Masalah ini juga sebenarnya bukan cuma terjadi di Indonesia, bahkan Amerika Serikat juga turut mengalami ini. Alhasil, permasalahan ini masih terus disuarakan oleh berbagai pihak agar bisa dimengerti oleh khalayak umum.

Maka dari itu organisasi esports Counter Logic Gaming (CLG) menjalin kerjasama yang unik dengan asosiasi yang bergerak di bidang kesehatan mental bernama NAMI (National Alliance on Mental Illness). Seperti yang sudah Hybrid bahas, perjuangan atlet esports dari sudut pandang psikologi memang sangat keras. Maka rekanan ini dilakukan salah satunya untuk meningkatkan kesadaran akan isu kesehatan mental, dan untuk meningkatkan kondisi kesehatan mental para atlet esports.

1
Counter Logic Gaming, organisasi esports yang dibangung dari sebuah tim League of Legends. Sumber: Twitter @clgaming

Mengutip dari Esports Insider, Nick Allen selaku COO Counter Logic Gaming mengatakan “Yang NAMI lakukan dalam hal meningkatkan kesadaran akan isu kesehatan mental sangat terasa dampaknya dan kami percaya komunitas gaming bisa mendapat keuntungan dari usaha mereka (NAMI) untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang menderita penyakit mental”

Masih dari Esports Insider, Mary Giliberty CEO dari NAMI juga mengatakan “NAMI sangat senang bisa rekanan dengan CLG dan berkomitmen bergabung bersama kami untuk melawan stigma soal penyakit mental melalui edukasi, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan tentunya gerakan sosial”.

Sumber: Rift Herald
Dengan penonton sebanyak ini, kerjasama dengan niat mulia ini tentu diharapkan bisa mempengaruhi banyak orang terutama anak muda gamers. Sumber: Rift Herald

Selama ini kerjasama antar brand dalam esports kebanyakan cenderung adalah bentuk kerjasama bisnis. Melihat kerjasama antara CLG dengan NAMI ini tentu adalah sesuatu yang baru, juga tentunya diharapkan bisa berdampak positif, baik bagi komunitas gamers, juga bagi masyarakat secara keseluruhan.

CLG sejauh ini sudah melakukan rekanan dengan berbagai macam brand baik itu endemik ataupun non-endemik. Beberapa di antaranya seperti OMEN by HP, Squarespace, Spectrum, ataupun MAXNOMIC by NEEDforSEAT. Berbasis di Amerika Serikat, organisasi esports Counter Logic Gaming merupakan salah satu yang terbesar di Industri. Berangkat sebagai tim League of Legends, kini CLG punya beberapa divisi seperti tim CS:GO, Smite, H1Z1, Fortnite, Clash Royale, dan Super Smash Bros.

League of Legends MSI 2019 akan Digelar di Taiwan dan Vietnam

Kalau bicara soal MOBA terpopuler di dunia, tak bisa dipungkiri nama League of Legends masih belum bisa digeser sampai saat ini. Mengapa demikian? Kita bicara data saja, kompetisi internasional mereka saja, Worlds 2018, ditonton oleh 200 juta orang secara bersamaan, angka yang mengagumkan bukan?

Meski begitu selama ini fokus pemasaran mereka adalah pasar game yang memang terbilang sudah matang, seperti pasar barat (Eropa dan Amerika Serikat), Korea Selatan, juga Tiongkok. Namun lewat gelaran MSI (Mid Season Invitational), Riot Games sepertinya ingin buktikan bahwa mereka tidak tutup mata dengan potensi besarnya League of Legends di Asia Tenggara.

2
Sumber: RedBull esports

Senin lalu, 28 Januari 2019, Riot Games lewat laman resminya mengumumkan bahwa MSI 2019 akan diadakan di Vietnam dan juga Taipei. Untuk babak Play-in dan Group Stage kompetisi akan diadakan di dua kota besar Vietnam, Ho Chi Minh City dan Hanoi. Sementara Taipei akan menjadi tuan rumah untuk gelaran Semifinal dan Final.

Mungkin Anda cukup bingung melihat bagaimana kompetisi MSI digelar di dua negara, namun ini bukan kali pertama bagi Riot Games. Riot Games sempat menyelenggarakan gelaran kompetisi internasional dengan konsep serupa, yaitu menggunakan dua negara tuan rumah, tepatnya pada MSI 2018 lalu. Tahun lalu, MSI diselenggarakan di Jerman dan Perancis, yang mana keduanya merupakan negara yang belum pernah dirambah event internasional League of Legends sebelumnya.

Walau masih satu negara, pada Worlds 2018 tahun lalu, event tersebut digelar di dua kota besar yaitu Busan dan Seoul. Gelaran MSI merupakan kompetisi internasional tahunan dari League of Legends. Berbeda dengan Dota 2, kebanyakan kompetisi League of Legends digelar dengan format liga dengan skala lokal atau regional.

Sumber:
Sumber: LoL esports

Seperti namanya, gelaran MSI digelar di tengah musim kompetisi League of Legends, sementara Worlds digelar sebagai penutup musim kompetisi. Di MSI juga, setidaknya di 2 tahun sebelumnya, tim-tim Vietnam berhasil menunjukkan taringnya seperti EVOS Esports di 2018 dan Gigabyte Marines di 2017 yang berhasil meraih posisi 5-6