Empat Alasan Kalangan Millennial Target Pasar Terbaik Startup

Berdasarkan penilaian mentor startup dan advokat untuk inovasi asal Amerika Serikat, Sue McGill, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah generasi millennial terbanyak, setelah India, Tiongkok dan Brazil. Untuk itu menjadi alasan yang masuk akal jika startup Anda menargetkan kalangan millennial yang dinilai bisa memberikan kontribusi besar dan kesuksesan untuk startup jika diterapkan dengan benar.

Dalam artikel berikut ini akan dikupas cara yang tepat untuk startup memberikan layanan sesuai dengan demografi yang menjadi tren saat ini dan ke depannya yaitu generasi millennial.

Startup yang mengincar kalangan millennial disukai investor

Percaya atau tidak, investor memiliki kriteria dan pandangan tersendiri dalam hal penentuan target pasar. Salah satu yang menjadi favorit adalah ketika startup memutuskan untuk memfokuskan kepada kalangan millennial. Hal tersebut dibenarkan oleh mentor startup Sue McGill yang selama ini telah banyak membantu pelaku startup menentukan ide dan target pasar yang ada. Diperkirakan pada tahun 2020 nanti, kalangan millennial akan mendominasi bursa tenaga kerja dan bakal menjadi tenaga yang menentukan untuk perubahan ekonomi secara global.

Indonesia salah satu negara di Asia dengan jumlah generasi millennial terbanyak

Fakta yang satu ini baiknya dicermati oleh pelaku startup yang sedang bersiap meluncurkan startup atau sudah menyediakan layanan namun menargetkan pasar yang tidak sesuai, dalam hal ini bukan kalangan millennial. Saat ini Indonesia merupakan negara ketiga yang memiliki jumlah generasi millennial terbanyak di Asia. Hal tersebut tentunya bisa menjadi alasan yang tepat, agar memfokuskan kalangan millennial sebagai target pasar untuk produk startup yang akan dimiliki.

Pendiri startup dari kalangan millennial memiliki ide dan inovasi cemerlang

Bukan hanya berpotensi untuk dijadikan target pasar, pendiri startup yang berasal dari kalangan millennial juga pada umumnya memiliki ide, inovasi dan wawasan digital yang lebih mendalam dibandingkan dengan generasi X atau baby boomer. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya startup yang dimiliki oleh pendiri dari kalangan millennial yang telah meraih kesuksesan dalam usahanya seperti Evan Spiegel Pendiri Snapchat, Brian Chesky pendiri Airbnb dan tentunya Mark Zuckerberg pendiri Facebook.

Bedakan kalangan millennial dengan generasi sebelumnya

Menjadi hal yang penting untuk startup agar bisa membedakan layanan dan pendekatan yang diberikan ketika pada akhirnya memutuskan untuk melayani berbagai kalangan dan bukan generasi millennial saja. Dengan demikian produk bisa lebih tepat sasaran dan tentunya berfungsi dengan baik untuk semua.

Kesimpulan yang dapat diambil dari pengalaman yang dimiliki oleh Sue McGill selama berkecimpung dalam dunia startup adalah, startup yang menargetkan kalangan millennial bakal menuai lebih banyak keuntungan. Di sisi lain, startup yang masuk dalam sektor kesehatan dan farmasi berbasis teknologi, diprediksi juga bisa memiliki potensi yang cerah.

Developer Jelaskan Mengapa Kita Begitu Kecanduan Smartphone

Dari saat membuka mata di pagi hari hingga merebahkan tubuh di malam nanti, benda kecil bernama smartphone memegang peranan yang sangat besar dalam keseharian kita. Sulit dibayangkan apa jadinya jika kita lupa membawanya. Namun melihat dari perspektif berbeda, muncul satu pertanyaan, apakah manusia modern sudah begitu kecanduan smartphone?

Tak seperti yang kita asumsikan sebelumnya, ternyata rasa ketagihan kita pada mobile device lebih dari sekedar gaya hidup. Berdasarkan penjelasan CEO aplikasi app building Delvv, Raefer Gabriel kepada Digital Trends, dependesi tersebut sudah masuk ke level ‘kimiawi’. Hal itu didorong dari keinginan kita buat mendapatkan informasi baru, bahkan sampai pada tingkat merangsang pusat dopamine di otak.

Dopamine adalah neurotransmitter, salah satu zat kimia yang berfungsi mengirimkan sinyal antara sel saraf di otak. Kata para ahli, ia juga menjadi alasan mengapa kita jatuh cinta, merasakan kepuasan atau bahagia. Lalu apa hubungannya dengan perangkat bergerak? Gabriel bilang, saat manusia haus akan informasi, kita lebih sering mencari jawabannya di smartphone dan di dalam aplikasi mobile.

Ada sebuah perubahan tren di dua sampai tiga tahun ke belakang, di mana jejaring sosial mulai mengadopsi sistem feed pintar yang bisa beradaptasi dengan minat khalayak, menyebabkan konsumen rentan terhadap penggunaan berlebihan. Ia memicu perputaran dopamine, memperkuat pola perilaku ketergantungan kita. Dan mungkin aspek paling mengkhawatirkan ialah, kecanduan ini bersifat biologis.

Gabriel meneruskan pemaparannya, bahwa keranjingan pada smartphone tak sama seperti ketagihan alkohol atau rokok, yang didasari efek zat kimia eksternal. Kita mengajarkan diri sendiri buat menghasilkan dopamine lewat mencari serta mandapatkan informasi. CEO Delvv itu menyampaikan, masalah ini menyerupai kecanduan judi atau seks. Dan karena ketergantungan merupakan pola biologis, ia sangat sulit dihilangkan.

Tentu saja level kecanduan tiap manusia bervariasi, dan tak semua app sosial media memberikan imbas serupa. Generasi Millennial (kelahiran awal 1980-an sampai 2000-an) adalah golongan konsumen yang paling ‘terikat’ dengan smartphone namun mengaku sebagai yang paling sedikit terkena dampak dari gempuran informasi dibanding generasi terdahulu.

Fakta penting selanjutnya, ketergantungan terhadap smartphone tak selamanya membuat konsumen bahagia. Kemudahan akses informasi memang menjadikan kita lebih produktif, akan tetapi kita harus mempertimbangkan waktu yang terbuang buat menjelajahi Facebook atau menggunakan handset untuk mencari kegembiraan.

Raefer Gabriel menekankan, “Ada perbedaan jelas antara kesenangan sesaat dengan kebahagiaan sesungguhnya dalam hidup.”

Gambar header: Shutterstock.