[Profile] Herry Wijaya: Kekurangan Event Esports Indonesia Ada pada Minimnya Pemahaman Fundamental Event

Event esports di Indonesia memang sudah berkembang pesat 2 tahun terakhir — meski saat ini sedang bergeser ke online karena pandemi. Kemilau lampu warna warni, kemegahan panggung bagi para atlet esports beradu kemampuan, layar lebar segede gaban, serta gemuruh teriakan para penggemar esports yang membuat atmosfir event esports terasa begitu unik dan berkesan memang sudah biasa ditemukan di gelaran esports di tanah air belakangan ini.

Sayangnya, di balik itu semua, tidak sedikit juga event esports di tanah air yang masih memiliki begitu banyak kekurangan — seperti jadwal acara yang ngaret sampai berjam-jam, persoalan koneksi internet, dan lain sebagainya. Di sisi lainnya, satu hal yang saya pribadi percayai, kita bisa belajar dari mereka-mereka yang sudah lebih dulu punya pengalaman lebih matang.

Karena itulah, saya sengaja mengajak salah satu kawan saya yang satu ini untuk berbincang-bincang seputar pengalamannya. Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia, adalah salah satu dari segelintir orang yang telah mengantongi segudang pengalaman seputar event esports di Indonesia.

Awal Perjalanan Kariernya

Herry pun bercerita bahwa awal perkenalannya menangani event adalah saat ia masih SMA (SLTA, SMU atau apapun namanya sekarang ini). “Sama seperti kebanyakan anak-anak SMA yang lain, gua juga berangkat dari pensi (pentas seni), termasuk waktu itu juga sudah jualan sponsorship.” Kata Herry mengawali ceritanya.

Herry juga mengaku dulu sempat menjadi anak band namun ia mengurungkan niat tersebut karena merasa karier di musik itu berat modalnya. Zaman dulu, belum ada YouTube jadi setiap anak band yang bercita-cita ingin berkarier jadi musisi harus lewat music label. Ia pun memilih untuk lebih sibuk mengurus event.

Dokumentasi: Mineski Indonesia
Herry Wijaya. Dokumentasi: Mineski Indonesia

Selepas lulus sekolah, Herry sempat belajar servis komputer dan ponsel karena memiliki ketertarikan di sana. Kemudian, ia bercerita mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan IT. Namun, belum sempat menyelesaikan gelarnya, ia berhenti untuk jadi broker Forex dan Index. Kala itu, ia mengaku melihat banyak dinamikanya bekerja di bidang ini karena harus selalu memerhatikan sentimen-sentimen yang ada di pasar.

Berjalan satu tahun, ia mendapatkan tawaran untuk kuliah lagi namun di jurusan manajemen. Ia pun mengambil tawaran tersebut. Tak lama setelahnya, dia juga berkesempatan untuk berbisnis sebagai wedding organizer. “Berangkat dari situ, gua pun jadi keranjingan dengan yang namanya event. Gua belajar dari front-end sampai back-end.” Ujar Herry melalui sambungan Voice Call via Discord.

Masuknya Herry ke industri gaming

Sumber: Mineski Infinity Indonesia
Bagaimana peluang bisnis warnet di tengah geliat esports? Sumber: Mineski Infinity Indonesia.

Herry bercerita bahwa awal mulanya ia masuk ke industri gaming dan seputarnya adalah saat ada satu investor yang menawarinya untuk membuka warnet (warung internet). Herry lalu mengambil kesempatan itu dan membuka warnet yang bernama Velocy.

Saat itu, Herry juga sebenarnya bermain DotA namun ia mengaku selalu kalah saat berhadapan dengan para pemain legendaris dari Indonesia saat itu seperti Ritter ataupun Lakuci. Sembari menjalankan bisnis warnetnya, ia juga mendapatkan tawaran untuk bekerja di salah satu publisher game sebagai Assistant Project Manager. Sayangnya, perjalanannya di publisher game ini tak lama.

Ia pun kembali fokus ke Velocy namun ia mengaku sudah merasa bosan di sana. Kemudian, ada seorang kawannya yang sama-sama berkecimpung di warnet mengajaknnya untuk membantu menangani warnet yang berkapasitas 200 PC. Dari sana, Herry mendapatkan kesempatan baru dari layanan video streaming. Saat itu ia dipercaya oleh HalloStar untuk menjadi agency yang merekrut talent-talent untuk konten gaming seperti Vina Eleast, Kelly Boham, dan yang lainnya.

Beberapa bulan proyek tersebut berjalan, ia juga ditawari untuk menjalankan event untuk HalloStar. Event-event gaming saat itu juga sudah mulai bermunculan. Ia pun bertemu dengan Eddy Lim (pemilik Ligagame dan Ketua IESPA). Meski awalnya hanya ditawari untuk menangani satu proyek event, Herry pun akhirnya bergabung dengan Ligagame. Di sana, Herry bercerita banyak belajar soal broadcasting.

IGC 2017. Sumber: IGC
IGC 2017. Dokumentasi: Indonesia Games Championship

Karena ada beberapa hal yang tidak bisa saya tuliskan di sini (wkawkakwka), Herry pun meninggalkan Ligagame. Namun, setelah meninggalkan Ligagame, kepedulian Herry atas esports Indonesia bertumbuh semakin kuat. Ia pun mencari kendaraan baru yang bisa ia gunakan untuk membangun esports di Indonesia. Kemudian, Herry mengaku mendapatkan tawaran untuk ikut menggarap IGC (Indonesia Games Championship) 2017 sebagai salah satu subcontractor.  Menurutnya, IGC 2017 itu adalah salah satu milestone terbesar sepanjang perjalanan kariernya.

Setelah IGC selesai, ia pun bergabung dengan tim yang menangani proyek tadi yang bernama WOG (yang sebelumnya dikenal dengan nama Kairos). Pasca dari Kairos, Herry pun sempat meninggalkan industri esports. Ia masih berkecimpung di event sebenarnya namun tak lagi di ranah esports. Saat itu, beberapa bentuk proyeknya seperti annual meetingconference, gathering dari berbagai ranah industri.

Herry sebenarnya mengaku sudah asyik dengan proyek ini waktu Agustian Hwang, CEO Mineski Global Indonesia, mengajaknnya untuk menangani proyek MPL ID S3. Di satu sisi, Herry mengaku tidak terlalu tertarik untuk menangani proyek tersebut. Namun di sisi lain, ia takut jika proyek dengan budget besar itu berantakan karena tidak ditangani oleh yang berpengalaman. Karena itulah, awalnya Herry memutuskan untuk mengambil proyek tersebut dan menyelesaikannya sebelum kembali lagi ke event-event sebelumnya. Namun demikian, untungnya Herry ternyata tetap bertahan sampai sekarang dan bahkan naik jabatan jadi Head of Operation sampai sekarang.

Pendapat Herry soal event esports di Indonesia

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim
Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Sebenarnya cerita Herry ke saya seputar perjalanan kariernya masih banyak namun saya takut menjabarkannya semua di sini (kwakwakkwa) dan mungkin akan jadi terlalu panjang juga. Meski begitu, setidaknya cerita tadi bisa menjadi gambaran segudang pengalamannya.

Mengingat Herry juga sudah terjun menangani event-event esports di Indonesia sejak beberapa tahun lalu, saya pun menanyakan pendapatkan tentang perkembangan event esports di Indonesia dan perbedaannya. Ia mengatakan bahwa ada 3 fase perkembangan event esports di Indonesia sampai hari ini.

Fase pertama adalah saat zaman WCG (World Cyber Games). Menurut Herry, di fase ini sebagian besar event bisa dibilang sebagai turnamen liar dan WCG yang menjadi kulminasi dari berbagai turnamen liar tadi. Informasi-informasi turnamen di fase ini hanya ada di forum-forum seperti Ligagame.

Fase kedua adalah saat ia bekerja untuk WOG. Menurutnya, fase ini masih sangat konservatif karena orang-orang masih menunggu. Semua hal yang dibutuhkan, seperti teknologi, sebenarnya sudah ada di fase ini namun orang-orang masih ragu apakah esports akan ramai atau tidak.

Fase ketiga dimulai dengan MSC 2017 dan esports Mobile Legends. Bagi Herry, MSC 2017 adalah sebuah proof of concept bahwa esports memang sudah siap dijalankan di Indonesia. Namun demikian, Herry mengatakan pertumbuhan industri esports pasca MSC 2017 ini terlalu cepat yang bisa jadi berbahaya. Menurutnya, hanya 30% dari total pelaku industri esports sekarang yang nantinya masih bisa bertahan. 2 tahun ke depan ini yang akan jadi fase-fase pengujiannya.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Lalu, jika berbicara soal beberapa kekurangan di event-event esports yang terjadi di Indonesia, sebenarnya apa penyebabnya? Menurut Herry, kekurangannya ada di fundamental pemahaman orang-orangnya terhadap event. “Fundamental event itu apa aja sih, marketing, operation, dan sales; sama kalau di esports ada aspek baru yaitu broadcasting-nya.” Jawab Herry yakin.

Berhubung Herry memang kebetulan sudah menggarap begitu banyak event bahkan di luar ranah esport sekalipun, kemudian apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang event di esports sekarang yang mungkin memang belum punya kesempatan menangani event lain dan langsung terjun ke esports?

“Ya mereka harus nge-track apa yang salah dari mereka, dari aspek-aspek fundamental itu apa yang salah. Lu cek lagi, berkaca lagi. Kalau lu ga bisa ngakuin kesalahan lu, itu lebih fatal lagi sih…” Jelas Herry. Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat ini. Saya kira melakukan kesalahan itu memang sebenarnya bagian dari proses belajar selama memang bisa disadari sebelum bisa dibenahi.

Terakhir, apakah Herry ada saran buat anak-anak muda yang ingin terjun ke event esports? “Tentukan ekspektasinya apa. Atur aksi dan reaksi. Maksudnya, dengan waktu yang lu punya, apakah tujuan itu bakal tercapai? Ada goal yang harus ditentukan sebelumnya.” Tutup Herry.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Penutup

Tentu saja, seperti yang selalu saya katakan saat menuliskan perjalanan karier/hidup seseorang, adalah sebuah penyederhanaan yang keterlaluan saat mencoba memampatkan sekian banyak pengalaman tadi menjadi kata-kata — berapapun itu jumlahnya.

Namun demikian, jika saya boleh menyimpulkan sendiri dari cerita pengalaman Herry ini, salah satu hal yang berhasil membawanya sampai ke titik ini adalah pengalamannya menangani berbagai event bahkan di luar esports sekalipun sampai proyek-proyek lainnya seperti bisnis warnetpublisher gamebroker Forex, ataupun yang lainnya.

Jadi, jangan takut untuk menimba segala macam pengalaman juga meski awalnya tidak terlihat relevan dengan cita-cita Anda. Satu hal yang selalu saya percayai, belajar apapun tidak akan pernah berakhir dengan sia-sia.

Bagaimana Pengaruh Liga PUBG Mobile ke Ekosistem Esports-nya?

Setelah 4 pekan pertandingan babak Regular Season PMPL ID 2020 Season 1 (6-29 Maret 2020) dan babak Grand Final yang digelar pada tanggal 3-5 April 2020, Bigetron RA akhirnya dinobatkan jadi sang juara; berkat performa gemilang mereka yang sangat konsisten sepanjang musim. Berikut adalah hasil akhir perolehan poin 3 tim teratas di hari ketiga babak Grand Final, beserta hadiah yang berhak mereka dapatkan:

Juara 1: Bigetron RA – 233 poin/4 Chicken Dinner/87 Kill – US$20.000 (sekitar Rp330,5 juta) – Berhak melaju ke PMWL 2020 dan PMPL SEA Finals 2020

Juara 2: MORPH Team – 192 poin/2 Chicken Dinner/73 Kill – US$14.000 (sekitar Rp231 juta) – Berhak melaju ke PMPL SEA Finals 2020

Juara 3: ONIC Esports – 173 poin/2 Chicken Dinner/75 Kill – US$7.0000 (sekitar Rp115 juta) – Berhak melaju ke PMPL SEA Finals 2020

PMPL ID 2020 S1 yang menyuguhkan total hadiah sebesar US$150 ribu (sekitar Rp2,2 miliar) ini adalah liga PUBG Mobile pertama yang digelar resmi oleh Tencent di Indonesia. Biasanya, sebelum ada PMPL, format turnamen lebih sering digunakan untuk ajang-ajang kompetitif PUBG Mobile di Indonesia.

Sumber: Instagram @pubgmobile.esports.id
Sumber: Instagram @pubgmobile.esports.id

Karena itulah, mungkin jadi muncul sejumlah pertanyaan tentang sistem liga dan pengaruhnya untuk ekosistem esports PUBG Mobile (PUBGM). Kenapa baru ada sekarang? Negara-negara mana lagi yang punya PMPL selain Indonesia? Apakah ada kulminasi dari liga-liga tadi di tingkat dunia? Bagaimana hubungannya dengan turnamen internasional PUBG Mobile yang sudah lebih dulu ada, seperti PMCO?

Terakhir, yang tak kalah penting, apakah sebenarnya pengaruh dari sistem kompetisi berbentuk liga ini ke ekosistem esports PUBGM?

Agung Chaniago, Indonesia Esports Manager PUBG Mobile, memberikan jawabannya. Ajang kompetitif berbentuk liga sebenarnya sudah ada sejak ekosistem esports PUBG Mobile muncul namun di tingkat Asia Tenggara. Dan saat ini, pertumbuhan esports sudah begitu pesat – khususnya di Indonesia. “Jadi, kami membuat liga di Indonesia karena kami ingin menjaga ekosistem esports dari tingkat paling bawah sampai paling atas. Liga ini juga jadi cara kami untuk menunjukkan bahwa siapapun bisa jadi bintang di PUBG Mobile.”

Selain di Indonesia, PMPL juga ada di Malaysia-Singapura, Thailand, Taiwan, Asia Selatan, dan Amerika. 3 tim teratas dari masing-masing negara di Asia Tenggara akan diundang lagi untuk bertanding kembali di tingkat yang lebih tinggi, yaitu PMPL SEA Finals 2020. 2 tim teratas dari ajang tersebut akan bertanding di tingkat dunia.

Sumber: Twitter PUBG Esports
PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Lalu apa bedanya dengan PMCO? PMCO merupakan turnamen yang dijadikan jalur ke tingkat internasional buat negara-negara yang tidak memiliki PMPL. Saat ini ada PMCO untuk kawasan Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika.

Agung pun menutup perbincangan dengan menjelaskan pengaruh sistem liga ke ekosistem esports secara keseluruhan. Menurutnya, dampak dari liga ini sangat baik karena sistemnya terbuka tidak hanya untuk tim profesional, tapi juga untuk tim semi-profesional.

“Semua pemain PUBG Mobile bisa mengejar mimpinya untuk turut bertarung di PMPL Indonesia 2020 Season 2 karena kami juga membuka kesempatan seadil-adilnya lewat babak kualifikasi. Relevansinya ke tim-tim profesional juga lebih positif lagi karena setiap tim-tim besar jadi memiliki divisi PUBGM agar bisa bergabung dengan liga kami dan menjadi juara di Indonesia ataupun di dunia.” Kata Agung.

Selain perwakilan dari Tencent tadi, Agustian Hwang, CEO Mineski Global Indonesia (yang juga jadi event organizer untuk PMPL ID 2020 Season 1) dan Edwin Chia, CEO Bigetron Esports turut berbagi pandangan mereka tentang ajang kompetitif berbentuk liga.

Dari sisi penonton, jika melihat esports sebagai bentuk entertainment, Agus mengatakan bahwa sistem liga akan lebih memuaskan penonton karena tidak cuma dari segi kompetisinya saja tetapi juga dari banyak cerita dan konten yang bisa dinikmati.

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports
Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Edwin juga mengatakan hal yang serupa. Menurutnya, sistem liga jauh lebih baik karena ada banyak cerita yang terjadi selama masa pertandingan. Misalnya, seperti bentuk rivalry antar tim akan lebih mudah terbangun dengan sendirinya dibanding dengan sistem turnamen yang bisa saja berakhir dalam waktu 2 hari. Dari sisi performa tim, sistem liga juga mampu menjadi indikator yang lebih baik karena ada lebih banyak pertandingan yang harus dijalani dalam durasi yang lebih lama. Sedangkan di format turnamen, sebuah tim bisa saja jadi juara jika beruntung di selama turnamen berjalan.

Itu tadi dari sisi esports sebagai tontonan. Lalu bagaimana dari sisi bisnis? Sistem seperti apakah yang lebih menguntungkan bagi sponsor kompetisi?

“Untuk perspektif bisnis, saya kira sponsor lebih yakin dalam mendukung sistem liga. Dibanding dengan sistem turnamen yang kompetisinya bisa saja berakhir dalam 2 hari, eksposur yang didapat untuk brand tentu tidak akan sebaik yang bisa ditawarkan sistem liga yang bisa berjalan setidaknya dalam waktu 1 bulan. Durasi yang lebih panjang ini juga memudahkan para sponsor untuk merancang campaign yang berjalan beriringan bersama liga tersebut.” Terang Edwin yang merintis Bigetron Esports sejak 2017.

Agus memiliki pendapat yang sedikit berbeda dalam perspektif ini. Menurutnya, perspektif bisnis ini lebih sulit digeneralisir mengingat setiap perusahaan / sponsor punya tujuan dan kondisi yang berbeda. Untuk streaming platform, misalnya, sistem liga akan lebih baik karena dapat menghasilkan jam tayang yang lebih banyak. Sedangkan untuk sponsor yang menggunakan marketing budget, mereka lebih sensitif dengan timeline kompetisi.

Bagaimana jika pengaruhnya dilihat dari sisi tim peserta (untuk Bigetron) dan event organizer (untuk Mineski)? Apakah kekurangan dari sistem liga?

Agus dan Mineski yang sudah menangani berbagai kompetisi, baik di Indonesia ataupun di tingkat internasional, mengatakan bahwa kesulitan dari sistem liga adalah mencari tempat/venue yang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang.

Sedangkan dari sisi peserta, Edwin mengungkap bahwa sistem liga lebih banyak menguras stamina para pemainnya. Para pemain yang bertanding di sistem liga harus memberikan 80% waktunya setiap pekan untuk fokus berkompetisi. Hal ini berarti mereka jadi punya waktu luang yang lebih sedikit. Sumber daya yang harus dikeluarkan oleh manajemen dalam mendukung para pemainnya juga lebih banyak. Walaupun, memang, tim jadi punya lebih banyak konten untuk diproduksi menjadi keuntungan besar dari sistem liga.

Terakhir, bagaimana sebenarnya dampak dari sistem kompetisi ini ke ekosistem esports secara keseluruhan?

Statistik PMPL S1. Sumber: PUBG Mobile Esports Indonesia
Statistik PMPL S1. Sumber: PUBG Mobile Esports Indonesia

Edwin pun berkata, “Tentu sangat positif. Sistem liga akan memperpanjang umur game yang nantinya juga berdampak pada umur ekosistem esports-nya. Tim dan sponsor pun akan lebih yakin dan percaya diri investasi ke game yang punya rencana jangka panjang.”

Di sisi lain, Agus juga menambahkan tentang pentingnya dua sistem kompetisi. “Sistem kompetisi baik liga ataupun turnamen itu sama baiknya. Menurut saya, sistem turnamen lebih terbuka dan memberikan lebih banyak kejutan karena juaranya bisa ditentukan oleh tim mana yang bisa mendapatkan momentum selama kompetisi berjalan. Sedangkan sistem liga lebih membutuhkan konsistensi untuk jadi juara. Bagi saya, baik sistem liga dan turnamen tetap penting untuk dijalankan kedua-duanya. Misalnya di sepak bola dalam satu musim selalu ada liga profesional yang diselingi oleh sistem turnamen. Keduanya memiliki keunggulan dan fungsinya masing-masing dalam memelihara ekosistem secara keseluruhan.” Tutup Agus.

Sumber Feat Image: Riedel Communication

Mineski Siapkan Rp30 Miliar untuk Garap Esports Indonesia

Hari Kamis, 13 Desember 2018 kemarin, Mineski Event Team (unit usaha dari Mineski yang bergerak di bidang event organizer) menggelar peluncuran mereka di Indonesia.

Mineski Event Team sendiri sebenarnya sudah cukup lama punya kantor di Indonesia, menurut cerita Agustian Hwang, Country Manager MET Indonesia pada presentasi di acara yang sama, yakni dari 2017. Namun kala itu, timnya masih belum sebesar sekarang.

Dari kiri ke kanan:Danny Chang - General Manager MET Indonesia. Agustian Hwang - Country Manager MET Indonesia. Ronald Robins - President of Mineski Corporation. Auliya Ilman Fadli - General Manager Games and Apps Telkomsel. Rezaly Surya Afhany - Manager Local Developer Telkomsel. Dokumentasi: MET Indonesia
Dari kiri ke kanan: Danny Chang – General Manager MET Indonesia, Agustian Hwang – Country Manager MET Indonesia, Ronald Robins – President of Mineski Corporation, Auliya Ilman Fadli – General Manager Games and Apps Telkomsel, Rezaly Surya Afhany – Manager Local Developer Telkomsel. Dokumentasi: MET Indonesia

Seiring waktu, Mineski Event Team (MET) berkembang begitu cepat. Saat ini, buat yang tahu dengan orang-orang di belakang layar ekosistem esports Indonesia, MET boleh dibilang berisikan ‘all-star‘ dari para penggiat esports tanah air. Salah satunya adalah Tribekti Nasima yang kami wawancarai beberapa waktu lalu soal event esports.

MET juga mengaku telah menyiapkan investasi sebesar Rp30 miliar untuk menggarap esports Indonesia di tahun 2019.

“Dengan melihat potensi industri esports di Indonesia, kami akan melakukan investasi yang agresif dalam beberapa tahun ke depan untuk mempercepat pertumbuhan esports di tanah air dan mengejar negara-negara lain yang telah mapan. Dengan berbekal pengetahuan dan 14 tahun pengalaman Mineski di ekosistem esports, besar harapan kami dapat meningkatkan standar industri esports di Indonesia,” ujar Agustian Hwang, Country Manager MET Indonesia.

Di tahun 2018 ini, MET Indonesia juga telah menggelar berbagai kompetisi besar berskala besar. Event-event garapan MET Indonesia di 2018 termasuk Grand Final PINC 2018, berbagai liga milik Telkomsel, Tokopedia Garuda Cup 2018, dan yang lainnya. Di tahun 2019 nanti, MET Indonesia juga akan kembali menggelar event esports berskala besar seperti Garuda Cup, Indonesia Professional Gaming League (IPGL), dan Jakarta Masters. Jakarta Masters sendiri akan termasuk dalam serangkaian kompetisi The Masters yang diadopsi dari event Manila Masters di Filipina.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Selain MET, Mineski di Indonesia juga punya unit usaha lain yang berkecimpung di industri warnet alias, bahasa kerennya, cyber cafe. Dalam peluncuran kemarin, Mineski juga memperkenalkan divisi baru mereka yang berkutat soal talent management. Lalu, apakah mereka juga nantinya akan membuat divisi tim profesional juga di Indonesia mengingat Mineski mulai menanjak namanya berkat tim Dota 2 mereka di Filipina?

Agustian menjawab Mineski berencana untuk memiliki tim gamer profesionalnya sendiri di Indonesia nanti, saat kami tanyakan di sesi tanya jawab acara ini.

Mineski mungkin memang boleh dibilang sebagai organisasi esports profesional terbesar di Asia Tenggara. Selain Indonesia, Mineski juga sudah punya kantor di Malaysia, Thailand, dan Filipina. Selain itu, sampai hari ini mereka juga sudah punya partner office di Vietnam, Hongkong, Taiwan, Myanmar, Kamboja, dan India.

Mengupas Tuntas Gelaran Esports bersama Senior EO Esports Indonesia

Jika sebelumnya kita telah mengupas tentang organisasi esports bersama owner BOOM ID, kali ini, kita akan berbicara tentang serba-serbi event organizer untuk esports.

Saya telah menghubungi Tribekti Nasima yang merupakan salah satu dedengkot di lingkup EO esports Indonesia. Bekti adalah orang yang berada di balik megahnya gelaran LGS (League of Legends Garuda Series) dan Glorious Arena saat ia menjadi Garena Esports Manager untuk League of Legends (LoL) di Indonesia.

LGS sendiri merupakan liga LoL paling bergengsi di Indonesia yang digarap langsung oleh Garena. Pemenang dari LGS akan bertanding lagi ke level yang lebih tinggi di tingkat Asia Tenggara. Sayangnya, LGS ini sekarang sudah dihilangkan.

GPL Spring 2018. Sumber: Garena
GPL Spring 2018. Sumber: Garena

Buat yang belum terlalu familiar dengan esports Indonesia, faktanya, LGS merupakan pionir dari gelaran kompetitif yang epik di Indonesia. Meski memang bukan yang pertama di Indonesia, banyak EO esports lainnya menjadikan LGS pada era Bekti sebagai patokan proyek mereka.

Saat ini, ia sudah pindah ke Mineski Event Team (MET) sebagai Head of Operation.

Mari kita langsung masuk ke perbincangan saya bersama Bekti.

Yang paling penting dari sebuah event esports?

Saya pun langsung to-the-point untuk menanyakan pendapatnya tentang hal yang paling krusial dari sebuah gelaran. Menurutnya, “yang paling penting itu bisa diikutin. Jadi ada ceritanya. Jadi tahu siapa saja yang bertanding di sana.”

Maksudnya, event esports yang baik adalah yang punya cerita yang mudah diingat. Tanpa aspek naratif yang kuat, gelaran kompetitif tidak akan menarik sebagai sebuah hiburan/entertainment dan akan mudah terlupakan.

Bekti yang memang menjadikan LoL dan Riot Games (developer dan publisher-nya) sebagai ‘kiblat’nya menggarap event pun memberikan contoh soal aspek cerita tadi.

Gelaran kompetisi League of Legends di dunia itu memang lebih mudah untuk diikuti karena sistemnya. Seperti yang saya tuliskan tadi sebelumnya, pemenang dari liga Indonesia akan bertarung ke liga Asia Tenggara. Kemudian, pemenang dari tingkat Asia Tenggara tadi berhak melangkah lebih lanjut ke tingkat dunia a.k.a World Championship.

Sistem yang sama ini digunakan di banyak kawasan lainnya. Jadi, sistemnya memang mirip dengan yang digunakan FIFA di Piala Dunia. Tim-tim yang ingin beraksi di kancah internasional harus bisa menang di tingkat regional.

Oleh karena itu, tim-tim yang bertarung di World Championship telah memiliki latar belakang ceritanya masing-masing. Bagaimana perjuangan mereka, yang tak jarang dramatis, di tingkat regional, membuat tim-tim peserta memiliki karakteristik yang kuat.

Itu tadi elemen paling penting dari sebuah gelaran kompetitif menurut Bekti dan saya sangat setuju dengannya.

Aspek produksi di gelaran esports

Tribekti Nasima. Dokumentasi: Mutiara Donna Visca
Tribekti Nasima. Dokumentasi: Mutiara Donna Visca

Selain aspek naratif tadi, saya pun bertanya kepada Bekti tentang salah satu aspek penting juga yang tak boleh terlewatkan oleh para penyelenggara event esports; yaitu produksi.

Aspek produksi yang dimaksud di sini adalah soal panggung, pencahayaan, acara dan yang lain-lainnya yang dibutuhkan agar event dapat berlangsung.

Menurut Bekti sendiri aspek produksi sebenarnya sangat bergantung dari budget alias anggaran. “Kalau anggarannya kecil, memang susah untuk buat yang megah.”

“Namun,” lanjut Bekti “tantangan bagi para project manager adalah bagaimana membuat produksi maksimal dengan budget minimal.” Ia pun bercerita bahwa acara esports League of Legends, seperti World Championship, itu memang modalnya besar karena tujuan mereka buat event bukan untuk mencari margin (keutungan) dari event tersebut. Di Indonesia sendiri, menurutnya, kesulitannya memang ada di budget tadi karena marginnya saja memang sudah tipis.

Buat yang belum terlalu paham tentang gelaran esports dari League of Legends, ijinkan saya menjelaskan sedikit. Event esports dari League of Legends memang diselenggarakan dan diorganisir langsung oleh Riot Games, developer-nya, atau publisher game-nya seperti Garena di Indonesia (sebelum diganti sistemnya) ataupun Tencent di Tiongkok.

Sumber: es.me
Sumber: es.me

Jadi, karena memang bukan pihak ketiga yang menyelenggarakan, event tersebut tidak dibuat untuk mencari keuntungan materi. Tujuan mereka mengadakan event tersebut memang sebagai salah satu bentuk marketing dan branding untuk agar para pemain lamanya tetap setia ataupun menarik para pemain baru.

Selain itu, event esports yang dikontrol langsung oleh publisher-nya memang bisa lebih leluasa dalam menentukan kualitas seperti apa yang diinginkan. Namun demikian, sistem ini juga bisa dibilang memiliki kekurangan. Jika semua game membuat acaranya sendiri, para penyelenggara event esports pihak ketiga jadi tidak kebagian proyek.

Itulah perbedaan terbesar antara event esports League of Legends dengan kebanyakan game lainnya, baik di Indonesia ataupun di tingkat internasional. Riot, Tencent, Garena, ataupun para pemegang lisensi League of Legends lainnya memang punya divisi esports-nya masing-masing.

Sumber: LoL Esports
Sumber: LoL Esports

Meski demikian yang paling penting dari aspek produksi, bagi Bekti, adalah bagaimana caranya agar aspek produksi tersebut dapat membuat satu turnamen begitu berkesan.

Hal ini bisa tercapai berkat desain panggung yang megah, pertunjukkan di luar kompetisinya, ataupun yang lainnya. Memang, tak jarang event esports bisa sangat berkesan gara-gara pertandingannya seperti hasil pertandingan yang dramatis ataupun tim kuda hitam yang bisa menjadi juara di turnamen tersebut. Namun seorang project manager yang hebat tetap akan berusaha membuat turnamen tetap memorable tanpa menggantungkan nasib pada orang lain.

Aspek publikasi event esports

Berhubung memang saya cukup lama bermain di industri media dan sebelumnya pernah menangani publikasi untuk beberapa event esports di Indonesia, saya pun melihat masalah minimnya aspek publikasi di banyak event esports di Indonesia.

Bekti pun setuju dengan saya. Namun Bekti mengatakan bahwa memang semua EO (event organizer) di Indonesia masih belum sempurna di semua aspek. “Mereka (EO di Indonesia) punya kekuatan dan kelemahan masing-masing.”

Ia pun melanjutkan bahwa industri esports di Indonesia sendiri memang masih muda. Karena itu, mungkin para penyelenggara gelaran esports di Indonesia masih perlu belajar dari event yang pernah dibuat. “Dari 1-3 event kan jadi bisa dievaluasi. Setelah beberapa waktu, mungkin headcount-nya juga bisa dipenuhi (tambah personil).”

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Karena memang banyak EO yang masih ‘muda’ di Indonesia, Bekti melanjutkan, masuknya ESL ke Indonesia (berkongsi dengan Salim Group) akan berdampak positif buat industri esports tanah air karena para penyelenggara tadi dapat memiliki patokan (benchmark) baru yang dapat dikejar.

Bekti pun menambahkan kadang event esports bahkan tak perlu publikasi tapi bisa populer. Ditambah lagi, beberapa sponsor juga sudah mulai berpikir soal kualitas. Namun demikian, Bekti juga tidak begitu saja menihilkan aspek publikasi itu tadi.

LoL merupakan salah satu game yang punya aspek publikasi hebat karena cerita rangkaian turnamen mereka yang relatif lebih mudah diikuti (karena digarap langsung oleh publisher dan punya jenjang kompetisi yang rapih). Namun demikian, hal ini juga sebenarnya dapat dilakukan di game-game lainnya Bekti pun berargumen.

Ia pun mencontohkan kompetisi Dota 2 yang lebih banyak digarap oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, jurnalis atau medianya yang harus lebih pandai merajut cerita dari berbagai kompetisi tadi.

Masukan untuk para penyelenggara event esports

MPL Indonesia Season 1. Sumber: MLBB
MPL Indonesia Season 1. Sumber: MLBB

Saya pun menanyakan saran apa yang bisa diberikan oleh Bekti sebagai salah seorang yang senior di bidang ini. Menurutnya, ada 2 hal yang bisa dilakukan.

Pertama, menjaga dan memulainya dari komunitasnya masing-masing. Ia pun mencontohkan Advance Guard yang merupakan EO sekaligus komunitas yang spesialis menggarap game-game fighting di Indonesia. Meski memang masih kalah popularitasnya (karena genre game-nya), Advance Guard tidak bisa dibilang EO kecil karena turnamen mereka juga biasa ditunjuk oleh Capcom dan Bandai Namco menjadi turnamen kualifikasi Indonesia untuk Street Fighter ataupun Tekken ke jenjang turnamen yang lebih tinggi alias tingkat internasional.

Di PES (Pro Evolution Soccer) dan FIFA juga mirip seperti itu yang mengandalkan komunitas.

Dengan memperkuat jaringan komunitas, menurut Bekti, mereka-mereka yang ingin mengadakan turnamen untuk game-nya mau tidak mau harus melibatkan komunitas itu tadi.

Sumber: AMD
Sumber: AMD Indonesia

Hal kedua yang bisa dilakukan adalah terus mencari dan berpegang pada kekuatannya masing-masing. Misalnya, EO yang kuat di media bisa terus mengembangkan medianya. Komunitas tadi juga dapat dilihat sebagai kekuatan yang mungkin tak dapat ditawarkan oleh EO lainnya.

Selain itu, contoh lainnya, jika memang belum pernah eksekusi event Dota 2, ya jangan diambil. Pasalnya, meski memang mudah dibayangkan, akan ada hal-hal kecil yang terlupakan jika tidak biasa.

Terakhir, saya pun menanyakan hal ini sebagai penutup.

Menurutnya, hal apa yang biasanya menyebabkan satu gelaran esports jadi kacau? “Antara kebanyakan kaki tangan atau kebanyakan kepala.” Jawabnya.

Maksudnya, kebanyakan kaki tangan di sini adalah soal terlalu banyak menggunakan sub-vendor yang biasanya dilakukan untuk menghemat anggaran. Hal tersebut biasanya akan mengakibatkan koodinasi yang sulit.

Sedangkan kebanyakan kepala artinya terlalu banyak stakeholder yang jadinya terlalu banyak kepentingan sehingga sulit untuk fokus pada 1 tujuan.

Itu tadi secuil perbincangan saya dengan Bekti. Semoga hal ini bermanfaat bagi Anda yang penasaran ikut menggarap esports di dalam negeri.

Untuk Bekti, sukses terus ya bersama Mineski Event Team ataupun di tempat-tempat lainnya! Thanks untuk waktu dan insight-nya!