Eksploitasi Industri Esports Terhadap Para Pekerjanya

Gamer mana yang tidak pernah bermimpi untuk menjadi pemain profesional, menjadikan hobinya sebagai mata pencaharian? Memang, sekarang, menjadi atlet esports tak sekadar mimpi di siang bolong, mengingat pesatnya perkembangan industri esports. Masalahnya, menjadi pemain profesional tidak mudah. Ada berbagai masalah yang harus siap dihadapi. Selain itu, umur karir pemain profesional juga relatif pendek.

Untungnya, ada berbagai lowongan pekerjaan lain di industri esports, mulai dari manager tim, analis, sampai caster. Menurut data dari Hitmarker, jumlah lowongan pekerjaan di indsutri esports pada 2019 naik hingga 87 persen jika dibandingkan dengan pada 2018. Tak berhenti sampai di situ, dalam waktu dua tahun belakangan, total investasi yang telah ditanamkan di industri esports oleh investor dikabarkan mencapai US$6,5 miliar. Sementara Forbes memperkirakan, secara total, 10 organisasi esports terbesar dunia memiliki nilai sampai US$2,4 miliar.

Inilah mengapa banyak generasi muda yang tertarik untuk terjun ke dunia esports. Bekerja di dunia competitive gaming memang terkesan indah. Namun, kenyataannya tidak semanis itu.

Berkarir di dunia esports tidak mudah

Saya pernah bertanya pada Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV tentang apa yang diperlukan untuk memulai karir di dunia esports. Ketika itu, dia mengungkap bahwa untuk bekerja dan bertahan di dunia esports, memiliki passion saja tidak lagi cukup. “Ini bukan lagi masalah passion atau keinginan untuk berkontribusi dalam esports,” katanya. “You need skills and determination to survive here. Nggak ada yang instan di sini dan industrinya masih belum stabil. Jadi, jika mau terjun ke sini, harus komitmen.” (Pst, kami juga pernah membahas soal itu di sini.)

Ada banyak hal yang dipersiapkan untuk menggelar turnamen esports besar. | Sumber: ESL via Inven Global
Ada banyak hal yang dipersiapkan untuk menggelar turnamen esports besar. | Sumber: ESL via Inven Global

Irli bercerita, tidak jarang dia harus bekerja hingga larut malam. Selain harus siap untuk bekerja keras, masuk ke dunia esports juga tidak serta merta membuat Anda mendapatkan gaji tinggi. Tidak semudah itu, Ferguso. Uang yang berputar di dunia esports memang besar. Sayangnya, hanya segelintir orang saja yang bisa mendapatkan uang besar dari industri esports. Orang-orang itu antara lain investor, eksekutif publisher game, dan sejumlah pemain profesional yang bermain di game esports populer.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang di balik layar yang bekerja keras untuk memastikan turnamen esports berjalan lancar? Yah, mereka harus puas dengan gaji pas UMR (Upah Minimum Regional) atau bahkan lebih rendah dari itu.

Ialah Ryan Mejia, pria yang memilih untuk menjadikan penyelenggara turnamen esports sebagai pekerjaan tetapnya sejak 2016. Dia telah turun tangan dalam beberapa acara esports terbesar, seperti Evolution Championship Series. Di acara ini, ribuan orang bertanding di game arcade klasik seperti Street Fighter dan Mortal Kombat. Total hadiah yang ditawarkan mencapai US$200.000. “Saya merasa istimewa karena saya bisa melakukan ini. Dan ketika saya masih menjadi penyelenggara turnamen esports, saya masih tinggal bersama orangtua saya,” katanya, dikutip dari The Nation.

Ketika Mejia bekerja untuk menyelenggarakan Evolution Championship Series, dia mendapatkan bayaran beberapa ratus dollar per hari selama akhir pekan. Oh, itu mungkin terdengar besar, tapi, angka itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan total pemasukan turnamen tersebut. Pada Evolution Championship Series yang digelar tahun lalu, setidaknya ada 9.000 orang yang menjadi peserta. Masing-masing peserta harus membayar uang registrasi sebesar US$90. Artinya, total pemasukan Evolution Championship Series mencapai setidaknya US$810 ribu, tak termasuk uang yang didapatkan dari kerja sama dengan perusahaan seperti Samsung dan PlayStation.

evo vg274
Evolution Championship Series alias EVO. | Sumber: VG274

Selain ikut turun dalam penyelenggaraan Evolution Championship Series dan berbagai turnamen lokal di Miami, Amerika Serikat, Mejia juga pernah bekerja di ESL, salah satu perusahaan esports terbesar di dunia. Ini seharusnya menjadi bukti bahwa karir Mejia sebagai penyelenggara turnamen esports sukses. Namun, uang yang dia dapatkan masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah dia tak lagi tinggal bersama orangtuanya, dia harus menggantungkan diri pada pemasukan kekasihnya untuk membayar biaya sewa rumah. “Pekerjaan saya di esports seperti pekerjaan semiprofesional,” ungkapnya, “karena uang yang saya dapat tidak cukup untuk membayar keperluan saya.”

Eksploitasi pekerja lepas di dunia esports

Data is the new oil. Jika sebuah perusahaan bisa mengumpulkan data dan menganalisanya, mereka bisa memanfaatkan insight yang mereka dapat untuk menekan biaya operasional atau meningkatkan pendapatan perusahaan. Di dunia esports, data bisa dianalisa baik untuk mengetahui kebiasaan musuh atau untuk kepentingan pembuatan konten. Di organisasi esports, analis bisa membantu tim untuk mengetahui pola permainan musuh atau kebiasaan buruk musuh yang bisa dieksploitasi. Ketika dua tim yang sama-sama mumpuni bertemu, maka hal-hal kecil, seperti kebiasaan buruk musuh, menjadi faktor penentu siapa yang keluar sebagai juara. Dan analis bisa membantu sebuah tim esports untuk menemukan detail kecil ini.

Walau memiliki peran penting, gaji seorang analis tim esports bisa sangat tidak manusiawi, hanya ratusan ribu rupiah di Indonesia. Keadaan di Amerika Serikat masih lebih baik. Seorang analis yang menjadi pekerja lepas dari salah satu tim League of Legends mengatakan, dia mendapatkan gaji US$2.000 per bulan. Menurut CNBC, gaji rata-rata seorang pekerja tetap di AS adalah US$3.600 per bulan. Namun, gaji rata-rata juga dipengaruhi oleh umur sang pekerja. Untuk remaja pada rentang umur 16-19 tahun, gaji rata-rata per bulan hanyalah US$1.840. Sementara gaji rata-rata pekerja pada rentang umur 20-24 tahun mencapai US$2.356 per bulan.

Meskipun begitu, analis yang enggan untuk disebutkan namanya ini mengaku bahwa gaji yang dia dapatkan tidak mencukupi kebutuhan hidupnya jika dia tidak tinggal bersama orangtuanya. “Ketika itu, saya pikir bahwa pekerjaan sebagai analis hanyalah batu loncatan untuk mendapatkan karir yang lebih baik di industri esports,” akunya. Pada akhirnya, dia merasa tidak bisa meneruskan pekerjaannya sebagai analis dan memutuskan untuk mencari pekerjaan di bidang lain. Selain gaji yang dianggap kurang memadai, alasan lain dia mencari pekerjaan lain adalah karena bekerja sebagai analis membuatnya merasa terisolasi.

Analis di League of Legends. | Sumber: Dot Esports
Analis di League of Legends. | Sumber: Dot Esports

Tak berhenti sampai di situ, wartawan esports pun mengalami masalah serupa. Taylor Cocke, mantan jurnalis esports, mengatakan bahwa dia telah melihat banyak pekerja lepas yang masuk dan keluar dari industri esports. “Ketika Anda melihat perusahaan esports, kebanyakan wartawan esports, kebanyakan pemain profesional, umur mereka rata-rata sekitar 24-25 tahun,” kata Cocke. “Alasannya karena tidak semua orang bisa bertahan di industri esports dalam jangka waktu lama. Misalnya, setelah bekerja sebagai wartawan esports selama lima tahun, saya sudah dianggap sebagai senior.”

Masalahnya, ketika para pekerja senior hengkang, pelaku industri dituntut untuk melatih kembali para pekerjanya. Saat ini, jika ada pekerja di dunia esports yang pindah dan bekerja di bidang lain, mungkin mudah untuk mencari penggantinya. Tapi, jika budaya eksploitasi pekerja dibiarkan, apa akan ada pekerja yang mau berkarir di esports?

Oke, esports memang bukan satu-satunya industri yang memanfaatkan pekerja lepas, menggaji mereka dengan upah minimum tanpa keuntungan lain seperti asuransi. Namun, saat ini, esports adalah industri yang mendulang untung besar dari eksploitasi pekerja muda yang masih punya idealisme untuk bekerja di bidang yang memang mereka sukai. Selain itu, hanya karena industri lain juga mengeksploitasi para pekerjanya, bukan berarti mengeksploitasi pekerja boleh saja dilakukan.

Eksploitasi pemain profesional

Dulu, pemain profesional menggantungkan diri pada hadiah turnamen untuk menyambung hidup. Namun sekarang, selain hadiah turnamen, pemain profesional juga mendapatkan gaji dari organisasi esports yang merekrutnya. Dan gaji bulanan yang diterima oleh pemain esports tidak kecil, apalagi mereka yang bermain di game yang scene esports-nya yang diatur ketat oleh sang publisher. Misalnya, Activision Blizzard menetapkan bahwa gaji minimal pemain Overwatch League adalah US$50.000 per tahun. Selain itu, tim esports juga harus menyediakan asuransi kesehatan, tempat tinggal, serta uang pensiun bagi pemain.

Contoh pemain esports yang sangat sukses adalah Lee “Faker” Sang-hyeok. Dia tidak hanya bisa mendapatkan gaji besar — dikabarkan, ada tim yang menawarkan cek kosong — tapi dia juga akan mendapatkan saham atas tim esports tempatnya bernaung, T1, setelah dia pensiun.

Faker.
Lee “Faker” Sang-hyeok dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik di dunia.

Sayangnya, tidak semua pemain esports seberuntung itu. Karena, ada juga game esports yang tidak mendapatkan dukungan dari publisher, seperti Super Smash Bros. Untuk mengetahui bagaimana dukungan publisher bisa memengaruhi scene esports sebuah game, Anda bisa membandingkan total hadiah dari turnamen Super Smash Bros. dengan turnamen esports lain. Smash Summit 5, turnamen Smash Bros. dengan total hadiah tertinggi, hanya menawarkan total hadiah sebesar U$83.758. Sementara Fortnite World Cup memiliki total hadiah US$100 juta. Ini menunjukkan bagaimana total hadiah turnamen Super Smash Bros. jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan turnamen esports bergengsi lainnya. Dan ini tentu saja berdampak pada kehidupan para pemain profesional.

Avery “Ginger” Wilson telah menjadi pemain profesional Super Smash Bros. Melee selama dua setengah tahun. Dalam Genesis 6, turnamen Smash Bros. Melee terbesar pada 2019, Wilson duduk di peringkat 7 dan dia hanya mendapatkan US$300. Sebagai perbandingan, tim yang ada di peringkat 7-8 dalam The International mendapatkan US$858.252. Sementara tim yang duduk di peringkat 5-8 dalam League of Legends World Championship 2018 mendapatkan hadiah US$258.000.

Selain itu, ketika Wilson direkrut oleh tim esports, dia tidak dianggap sebagai pekerja tetap. Sebagai gantinya, lama waktu dia bertahan di sebuah organisasi esports tergantung pada kontrak. Paling singkat, kontrak dengan sebuah tim esports hanya berlangsung selama empat bulan. Untuk hidup, Wilson menggantungkan diri pada pendapatan yang dia dapatkan dengan melakukan streaming di Twitch.

“Pendapatan saya dari streaming biasanya lebih besar dari uang yang saya dapatkan dari bermain Smash,” kata Wilson. Karena sumber pendapatannya dari streaming, dia harus membagi perhatiannya antara mengikuti turnamen esports dan membuat konten. “Agak sulit untuk tahu apa yang akan saya lakukan di masa depan karena saya ada di industri yang masih belum stabil,” kata Wilson.

Avery "Ginger" Wilson. | Sumber: Twitter
Avery “Ginger” Wilson. | Sumber: Twitter

Di Indonesia, gaji pemain esports juga tidak bisa dipukul rata. Atlet esports yang bermain di game-game populer seperti Mobile Legends atau Free Fire dan berhasil memenangkan berbagai turnamen mungkin bisa dengan mudah mendapatkan gaji di atas UMR (Upah Minimum Regional). Jika pintar mengelola uang yang didapat, mereka bisa membeli mobil atau rumah. Namun, tidak semua pemain esports seberuntung itu.

Bagi seorang pemain baru yang belum memiliki nama dan prestasi, mereka bisa saja digaji dalam rentang ratusan ribu rupiah. Untungnya, jika pemain berhasil membuktikan diri — membawa timnya menang di sebuah turnamen misalnya — dia bisa mendapatkan kenaikan gaji yang signifikan. Tentu saja, gaji dan insentif yang diterima pemain tergantung pada kontrak yang pemain buat dengan tim.

Kesimpulan

Di balik gemerlap dunia esports, ada sisi gelap yang tidak diketahui banyak orang. Salah satunya adalah eksploitasi para pekerja di dalamnya. Memang, esports bukan satu-satunya industri yang melakukan itu. Namun, hanya karena ada banyak pihak melakukan eksploitasi pekerja, ini tidak membenarkan tindakan eksploitasi itu sendiri. Selain itu, jika masalah ini tidak diselesaikan, cepat atau lambat ini justru akan menghancurkan industri esports, layaknya luka yang tak pernah diobati dan menjadi terinfeksi.

Apa ini berarti esports adalah industri jahat yang tidak seharusnya didukung? Tidak juga. Walau berpotensi besar — Newzoo memperkirakan bahwa nilai industri esports akan mencapai US$1 miliar pada tahun ini — esports adalah industri yang masih relatif muda, jadi tidak heran jika masih ada berbagai masalah yang harus dihadapi oleh para pelakunya. Namun, selama para pelaku industri esports — mulai dari pemain, pemilik organisasi esports, penyelenggara turnamen, bahkan hingga pemerintah — bahu-membahu untuk menyelesaikan masalah yang ada, esports bisa tumbuh menjadi industri yang besar, merealisasikan potensi yang ada.

Sumber header: Inven Global

Observer dan Referee, Pekerjaan Penting yang Tersembunyi di Balik Hingar Bingar Esports

Masih banyak yang salah kaprah bahwa karier di esports hanyalah soal menjadi atlet saja. Sebagai wajah dari esports, tak aneh jika sosok atlet adalah sosok paling disorot. Namun nyatanya, ada ragam karier yang bisa dikerjakan di dalam ekosistem esports. Selain dari pekerjaan caster yang bekerja di depan layar, ada juga banyak pekerjaan lain yang tersembunyi di balik layar. Sosok yang akan kita bahas kali ini punya tanggung jawab yang besar di dalam mempertahankan integritas sebuah event esports.

Sosok tersebut adalah observer dan juga referee. Dua sosok ini bekerja di belakang layar, yang membuat mereka kerap tidak mendapat sorotan, walau peran pekerjaanya sangat penting. Jadi apa sebenarnya tugas dari seorang observer dan referee? Bagaimana peran mereka di dalam sebuah event esports? Bagaimana nasib jenis pekerjaan yang satu ini di dalam ekosistem esports Indonesia? Kali ini Hybrid akan mengupas tuntas seputar dua pekerjaan tersebut.

Apa itu Observer dan Referee di dalam Esports?

Sebelum lebih jauh membahas pekerjaan ini di dalam ekosistem esports Indonesia, mari kita terlebih dahulu mengenal apa tugas-tugas observer dan referee. Mulai dari observer lebih dahulu, sederhananya pekerjaan ini bertugas untuk mengendalikan in-game camera di dalam sebuah tayangan esports.

Lebih lanjut tentang tugas Observer, British Esports Association menjelaskan bahwa tugas mereka termasuk: mengidentifikasi momen-momen penting di dalam permainan, memastikan kamera menyoroti aspek paling menarik di dalam suatu pertandingan, dan menyoroti momen penting untuk dijadikan replay.

Sumber: British Esports Association
Sumber: British Esports Association

Pada sebuah laman perekrutan, Riot Games mendeskripsikan beberapa kualitas diri yang perlu dimiliki dari seorang observer. Ada dua hal yang penting, salah satunya adalah mata Anda harus lihai. Maksudnya lihai adalah Anda harus memiliki tingkat fokus yang tinggi, serta mata yang terlatih supaya dapat menjaga kamera tayangan langsung in-game selalu menyorot momen yang penting, dengan keakuratan yang disebut sebagai pixel perfect accuracy.

Seorang observer juga harus fasih terhadap game yang diawasi: paham luar dalam game yang akan disoroti. Kalau dalam hal MOBA misalnya, seorang observer harus paham macro play dan alasan di balik pergerakan seorang hero. Dalam beberapa hal, sebagai indikator tingkat pemahaman sang observer terhadap game yang mereka soroti, kadang-kadang observer juga perlu memiliki rank yang tinggi terhadap game yang disoroti, 

Lalu bagaimana dengan pekerjaan referee atau wasit? Sebenarnya pekerjaan ini kurang lebih sama dengan wasit di dalam olahraga. Kembali mengutip British Esports Association, tugas dari seorang wasit adalah menjaga jalannya sebuah pertandingan, memastikan para pemain mentaati peraturan, dan berani tegas menindak tim atau oknum yang melanggar peraturan tersebut.

Sumber: British Esports Association
Sumber: British Esports Association

Selain itu, tugas wasit kadang juga termasuk, set-up perlengkapan di atas panggung, test server, merapihkan bracket, dan memastikan semuanya berjalan sesuai dengan jadwal. Referee juga punya tanggung jawab untuk menyelesaikan isu yang terjadi di atas panggung, contohnya seperti, PC yang freeze, keyboard rusak, masalah internet, atau mungkin masalah earphone yang rusak.

Maka dari itu, seorang wasit juga harus paham game yang akan mereka awasi. Mungkin tak harus paham luar dalam seperti Observer, namun setidaknya paham dasar-dasarnya. Seorang wasit juga dituntut harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, bisa menyelesaikan isu dan mengambil keputusan dengan cepat, dan tentunya berani tegas menindak segala pelanggaran.

Observer dan Referee di Ekosistem Esports Indonesia

Oke, setelah kita bicara soal definisi, tugas-tugas, serta kemampuan yang perlu dimiliki dari seorang observer dan referee; pembahasan selanjutnya adalah soal pekerjaan ini di dalam ekosistem esports Indonesia. Saya mencoba membahasnya dari dua sisi, pertama dari sisi event organizer sedangkan kedua dari sisi praktisi pekerjaan observer dan referee itu sendiri.

Untuk perwakilan dari EO, saya mewawancara Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV. Bicara soal pekerjaan ini, pertanyaan pertama yang muncul adalah, seberapa dibutuhkan pekerjaan ini di ekosistem esports Indonesia? Kalau di luar negeri, observer dan referee sudah menjadi standar, dan harus selalu ada di dalam setiap event esports. Kalau di Indonesia bagaimana?

Irliansyah Wijanarko saat presentasi di Press Conference MPL ID S2. Sumber: MLBB
Irliansyah Wijanarko saat presentasi di Press Conference MPL ID S2. Sumber: MLBB

Irli mengatakan bahwa konteks Indonesia sama dengan luar negeri. Peran dua pekerjaan ini sangatlah penting, terutama referee yang tugasnya menjaga integritas sebuah kompetisi. “Peran referee ini sangatlah vital, apalagi untuk kompetisi high level seperti MPL, MSC atau PINC. Kalau di luar negeri, perlu lisensi tertentu untuk menjadi referee esports. Kalau di Indonesia sih masih belum seketat itu, dan kebanyakan referee di Indonesia juga masih bersifat freelance.”

Walau demikian, sebagai salah satu EO besar di ekosistem esports Indonesia, Irli mengaku memiliki divisi tersendiri untuk soal referee ini. Divisi tersebut bernama League Ops Division. Divisi tersebut berisi orang-orang yang berdedikasi untuk mengurus sistem turnamen, berbagai macam hal seputar operasional sebuah kompetisi, dan termasuk mengurusi soal referee. Tetapi walau ada divisi khusus untuk wasit dan admin, Irli mengaku bahwa ia sendiri tetap butuh pekerja referee freelance.

“Salah satu contohnya sih untuk event kaya MPL, biasanya kita hire referee freelance juga. Tapi untuk liga yang sifatnya reguler seperti MPL, biasanya kita pakai sistem kontrak satu musim. Supaya integritas acaranya terjaga, dan referee-nya bisa mengikuti dari awal hingga akhir turnamen.” jawab Irli membahas soal sistem perekrutan referee RevivalTV.

Lalu, apakah mencari freelance referee atau observer itu adalah hal yang sulit? Apalagi mengingat jadwal event esports Indonesia yang sempat tumpang tindih, seperti saat ESL Clash of Nations 2019 dan Piala Presiden Esports 2019 kemarin. “Susah!” jawab Irli.

Menurutnya, mencari referee jadi sulit karena tidak banyak orang yang punya seperangkat kemampuan yang dibutuhkan. “Susahnya adalah mencari orang yang punya nyali untuk tegas, dan berani memegang teguh peraturan, walau ditekan oleh berbagai pihak.” Cerita Irli.

onic win mpl id s3
Untuk event seperti MPL, kehadiran referee ataupun observer kontrak selama satu seri biasanya menjadi penting, demi menjaga integritas acara. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Lalu bagaimana dengan pekerjaan observer? Jawabannya masih cukup senada, yaitu sulit. Irli mengatakan bahwa mencari observer biasa itu mudah, tapi yang sulit adalah mencari observer yang mahir. Menurut Irli, tantangan mencari observer adalah karena sulitnya mencari orang yang paham luar dalam terhadap gamenya, dan dapat bekerja di dalam tim bersama dengan tim produksi. “Basically dia mesti bisa baca game. Makanya menurut gue, seorang observer harus punya rank tinggi pada game yang ia kuasai. Kalau di RevivalTV, observer Mobile Legends minimal harus rank mythical glory bintang 100++.”

Setelah mendengar dari sisi EO, kami juga mewawancara salah satu praktisi observer dan referee di Indonesia. Bicara soal tantangan pekerjaan, Fadhel “ROSESA” Irawan, salah satu observer ternama di Dota 2, cerita tentang tantangan pekerjaan menjadi observer. “Kalau di event, mau itu besar ataupun kecil, tanggung jawab seorang observer itu sangat besar. Kenapa? Karena tugas observer juga menjaga mood penonton. Kalau kita miss moment, pastinya kita yang bakal disalahin. Makanya untuk observer baru biasanya belum bisa pegang event besar. Karena organizer kompetisi besar pasti butuh talenta yang berkualitas, termasuk dalam hal observing.”

Tanggung jawab pekerjaan observer memang sebegitu tinggi, begitu juga dengan referee. Seperti sudah disebutkan pada bagian awal artikel ini, bahwa referee harus menjaga pertandingan berjalan mulus dan menegakkan rules yang berlaku di dalam kompetisi tersebut.

Lebih lanjut, kami menanyakan Daniel Manurung, referee yang sudah cukup lama malang melintang di ekosistem esports Indonesia. Ia menjelaskan bahwa seorang referee harus memahami rules semua game dan tentunya juga harus netral di dalam setiap keadan. Lalu selain itu, ia juga cerita sedikit pengalamannya menjadi referee di ekosistem esports Indonesia. “Jadi referee risikonya cukup besar, dan pasti ditekan dari berbagai pihak. Contohnya kalau game telat, kadang-kadang referee yang disalahin, padahal yang telat adalah player-nya. Kalau bicara tantangan paling besar, hal tersebut adalah saat harus memberi keputusan jika ada sengketa tertentu. Hal tersebut jadi tantangan paling besar karena, kalau kita (referee) salah memberi keputusan, dampaknya sudah pasti bakal sangat fatal.”

Melihat tanggung jawab pekerjaan seorang referee dan observer yang sebenarnya sangat berat, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah bayarannya sepadan? Kalau kita kembali mengutip penjelasan British Esports Association, bayaran seorang observer dan referee sebenarnya cukup lumayan di luar negeri sana.

Sumber: Tilt Report
Pekerjaan observer tentu bukan sesuatu yang mudah. Bayangkan Anda harus terus fokus memperhatikan momen yang terjadi di dalam game, selama sekitar 30 menit untuk game jenis MOBA. Sumber: Tilt Report

Observer dikatakan bisa menerima 250 Pound (Rp4,5 juta) sampai dengan 400 Pound (Rp7,3 juta) dalam satu seri pertandingan. Referee terbilang cenderung lebih kecil, yaitu mulai dari 50 Pound (Rp900 ribu) sampai dengan 100 Pound (Rp1,8 juta) per hari kerja. Namun bayaran seorang referee bisa sangat besar jika sifat pekerjaannya full-time. Dikatakan di sana, full-time referee bisa menerima sampai dengan 20.000 Pound (Rp365 juta) per tahun, atau sekitar 1600 Pound per bulan (Rp29 juta).

Bagaimana kalau di Indonesia? Kami pun mencoba menanyai observer dan referee lain yang tidak bisa kami sebutkan namanya di ekosistem esports Indonesia. Mereka mengakui bahwa bayaran dua pekerjaan tersebut masih terbilang kecil untuk ukuran Indonesia sekalipun. Pekerjaan observer freelance dibayar dengan cukup beragam, mulai dari Rp250-300 ribu sampai Rp500-750 ribu per harinya. Menariknya, bayaran sebesar Rp250-300ribu itu ternyata malah datang dari salah satu event esports tingkat internasional di Indonesia.

Pekerjaan referee malah lebih parah. Menurut pengakuan dari referee yang kami tanyai, ia hanya mengambil pekerjaan referee freelance yang bayarannya minimal Rp300 ribu per hari. Tapi ia juga cerita bahwa dirinya pernah dibayar sebesar Rp750 ribu ketika menjadi wasit kepala, dan mengatakan ada juga event yang membayar wasit sebesar Rp500 ribu per hari. Lalu apakah ada event yang membayar referee lebih kecil dari Rp300 ribu. Sang referee lalu menceritakan salah satu pengalamannya, “paling kecil waktu itu saya pernah dibayar Rp125 ribu lalu dipotong pajak 5%. Jadi saya terima bersih Rp115 ribu per hari, pada salah satu event esports di Indonesia.”

Seiring berkembangnya ekosistem esports di Indonesia, pekerjaan seperti esports referee atau observer kini jadi lebih dibutuhkan. Pekerjaan ini juga seperti pekerjaan shoutcaster yang jadi perangkat wajib dalam sebuah event esports offline.

Namun demikian, cukup miris melihat pengakuan dari observer dan referee soal bayaran yang mereka terima. Memang, perputaran uang di ekosistem esports Indonesia tidak sama besarnya dengan perputaran uang di ekosistem esports luar negeri. Namun, menurut saya, bayaran tersebut harusnya bisa lebih besar lagi; mengingat tanggung jawab besar yang diemban dua pekerjaan tersebut.

Akhirnya, harapannya, dengan artikel ini orang-orang mulai menyadari betapa pentingnya dua pekerjaan ini dan bayaran minimal tak akan membuat banyak orang terpacu untuk menjadi lebih baik ataupun tertarik untuk menggelutinya.

Karena idealnya, sebuah industri dapat memberikan bayaran yang sepadan dengan segala jerih payah yang dikeluarkan dan dapat menyejahterakan semua pihak yang terkait di dalamnya…

Tentang Pekerjaan Shoutcaster: Antara Keberanian dan Personalitas

Dalam sebuah pertandingan esports, pasti ada saja satu sosok yang berteriak di tengah keseruan pertandingan, memberi analisis, memandu penonton menikmati jalannya pertandingan. Sosok tersebut merupakan sosok yang dikenal sebagai seorang shoutcaster. Pada dasarnya, shoutcaster tak beda jauh dengan komentator olahraga. Perbedaan utamanya mungkin hanya dari penyebutannya saja.

Seiring dengan berkembangnya ekosistem esports di Indonesia, kebutuhan akan pekerjaan shoutcaster ini juga semakin tinggi. Semakin banyak kompetisi yang hadir, para penyelenggara tentu akan semakin membutuhkan shoutcaster tersebut untuk memeriahkan acara mereka. Tetapi, apakah pekerjaan shoutcaster merupakan pekerjaan yang menjanjikan di masa depan? Membahas soal ini, Saya berbincang dengan dua orang yang sudah banyak makan asam garam menjadi caster di ekosistem esports Indonesia, Vinzent “Oddi” Indra dan Wibi “8Ken” Irbawanto. Sebelum menuju ke pembahasan, mari kita sedikit berkenalan dengan para narasumber.

Vinzent “Oddie” Indra

Sumber: Facebook Vinzent Putra
Sumber: Facebook Vinzent Putra

Oddie memulai karir sebagai caster pada tahun 2013 di sebuah studio broadcasting esports, bernama Dota 2 TV Indonesia (DTVI). Ketika itu ia menjadi caster karena diajak oleh Indra “Yota” Putra, dan Yudi “Justincase” Anggi. Ia bercerita ketika itu ia menjalani pekerjaan caster hanya sebagai freelance job dan hobi saja. Namun apa yang ia lakukan bersama DTVI terus berlanjut sampai 2015-2016.

Tetapi nyatanya ia keterusan berkecimpung sebagai caster. Berkat kemampuannya, ia sempat mendapat kesempatan menjadi guest panel desk saat gelaran GESC. Ketika itu ia satu meja dengan panel desk Dota 2 seperti Sheever dan Nahaz. Seiring pergeseran tren, Oddie akhirnya mulai mencoba menjadi shoutcaster Mobile Legends.

Ia menjadi shoutcaster dalam gelaran Mobile Legends Professional League (MPL) S2 (bahasa Inggris) dan S3 (bahasa Indonesia)  dan juga Mobile Legends SEA Championship (MSC) 2018 (bahasa Inggris). Ia juga menjadi caster dalam gelaran Grand Final MPL 2019 yang digelar di Britama Arena pada 5 Mei 2019 lalu.

Wibi “8Ken” Irbawanto

Sumber: Facebook Page @8KenCSGO
Sumber: Facebook Page @8KenCSGO

Nama 8Ken (dibaca HachiKen) pertama kali menjajaki karir sebagai shoutcaster pada tahun 2015. Ketika itu ia menjadi shoutcaster untuk gelaran NXL Amateur Cup sambil menjadi manajer tim CS:GO dari Revival Esports. Masuk tahun 2016, ia menjadi caster dalam gelaran League of Legends Garuda Series Season 6, yang berhasil melejitkan namanya.

Selama beberapa saat, nama HachiKen melekat dengan scene League of Legends lokal. Ia menjadi caster untuk beberapa kompetisi League of Legends lokal, seperti LoL National Collegiate Championship, LGS Summer dan Spring Split pada musim selanjutnya.

Namun, ia juga masih menjadi caster untuk game FPS terutama CS:GO. Ia menjadi caster pada beberapa acara seperti Supreme League Arena Tournament, dan ASUS ROG Masters CS:GO. Seperti Oddie, HachiKen juga turut menjadi caster Mobile Legends, seiring dengan pergeseran tren esports Indonesia. Ia menjadi caster bahasa Inggris pada MPL Finals Season 1, MSC 2017, MPL Regular Season 2 dan Finals, MSC 2018. Ia juga sempat menjadi caster Rainbow Six Siege pada gelaran Silver Slam yang diselenggarakan oleh Mogul.gg

Apa Modal Utama Seorang Shoutcaster?

Topik pertama yang saya lemparkan kepada dua narasumber adalah soal modal untuk menjadi seorang shoutcaster. Anda yang ingin mencoba terjun menjajaki karir di bidang ini mungkin penasaran setengah mati, selain harus percaya diri bicara di depan umum atau di depan kamera, sebenarnya modal apalagi yang diperlukan supaya Anda bisa jadi shoutcaster papan atas di ekosistem esports Indonesia?

Masing-masing narasumber punya poin mereka tersendiri terkait modal kemampuan ini. Wibi mengatakan modalnya adalah berani, sementara Oddie bicara soal modal personality. Memang, keduanya bisa dibilang sebagai modal soft skill yang penting di dunia hiburan esports ini.

Lebih lanjut soal modal berani yang dikatakan Wibi bercerita berdasarkan pengalaman dan melihat kawan-kawannya sesama shoutcaster. “Maksud modal berani itu adalah berani tampil, berani salah, berani dikritik, dan berani untuk terus berkembang walau di luar zona nyaman.” Wibi menjawab. “Anda tak perlu khawatir atau minder ketika tampil untuk pertama kalinya, karena nggak ada caster yang baru muncul langsung jago. Kalau yang saya lihat sendiri, yang bertahan sampai sekarang itu minimal punya mental keberanian yang kuat.”

shoutcasters 3
BangPen dan Pasta, dua shoutcasters yang terkenal punya personality yang kuat. Sumber: Facebook Page PUBG Mobile ID

Vinzent Oddie juga turut menjelaskan modal personality yang ia maksud. “Sebetulnya masing-masing caster punya modalnya sendiri-sendiri,” jawab Oddie membuka penjelasan “tapi yang pasti, selain keahlian bicara dan pemahaman game, modal utamanya adalah personality. Kenapa personality? Agar membuat Anda bisa terlihat berbeda dibandingkan dengan para shoutcaster lainnya.”

“Ada beberapa contoh jika bicara personality. Pasta contohnya, dia punya kemampuan mengomentari play-by-play dengan cepat, tapi dia juga punya personality yang asik. Contoh lainnya Oji Ranger Emas, selain pemahaman atas game dan kemampuan bicara, ia juga berhasil memunculkan personality sebagai seorang shoutcaster yang selalu heboh dalam berbagai momen permainan.” kata Oddie memberi contoh soal personality.

Lebih lanjut soal personality, saya juga menanyakan apa yang harus dilakukan shoutcaster pendatang baru agar bisa tampil beda. Apakah harus jadi shoutcaster yang disukai pasar penonton esports pada umumnya? (caster yang hobi melucu contohnya) atau memaksimalkan personality alami dari sang shoutcaster. Menurut Oddie, lebih baik untuk menjadi natural dan tidak memaksakan menjadi orang lain. “Shoutcaster lucu itu cenderung populer, tapi ini mungkin karena shoutcaster yang punya knowledge lebih, belum bisa menyajikan pengetahuan tersebut dengan menarik dan membuat penonton jadi suka.”

Kembali lagi kepada modal berani yang dibicarakan Wibi, pertanyaannya berikutnya tentu adalah, apakah modal berani saja cukup? Wibi lalu menjelaskan lebih lanjut, bahwa setelah berani, Anda harus terus mau belajar. Pada poin berani, ia juga menyematkan poin berani untuk terus berkembang walau di luar zona nyaman.

“Kenapa yang saya point out adalah modal berani? Karena skill public speaking dan pengetahuan atas game yang dikomentari bisa diasah seiring waktu. Terlebih, seberapa keras Anda belajar juga akan mempengaruhi seberapa cepat karir Anda menanjak di bidang shoutcaster. Semakin bagus cara Anda bicara di depan umum, semakin Anda paham terhadap game yang dikomentari, maka pemasukan Anda akan semakin besar juga.” Wibi menjelaskan. “Sedikit saran, awal mula jadi caster tentunya nggak bakal langsung dapat job bukan? Jadi seiring waktu sambil terus pelajari game yang akan dikomentari dan sering-sering latihan bicara sendiri supaya semakin terlatih.”

Bagaimana Cara Tepat Memulai Karir Shoutcaster?

Setelah bicara soal kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi shoutcaster, topik berikutnya yang kami bahas adalah soal cara tepat memulai karir sebagai shoutcaster. Karena pekerjaan ini terbilang masuk ke golongan pekerjaan dunia hiburan, jadi jalur masuknya terbilang tidak sangat jelas seperti karir di dunia profesional. Kalau karir di dunia profesional, jalurnya mungkin sudah jelas. Anda harus memulai jadi karyawan terlebih dahulu, setelah belajar beberapa tahun, Anda lalu jadi manajer, setelah jadi manajer Anda bisa jadi kepala bagian, sampai Anda menjadi bagian teratas dari manajemen perusahaan.

Tapi bagaimana dengan pekerjaan caster? Orang yang baru jadi caster selama beberapa bulan bisa saja mendadak sukses dan populer dalam satu malam karena cara ia mengomentari game sangat disukai khalayak. Karena jalurnya yang cenderung sangat lepas, jadi bagaimana sebenarnya cara yang tepat untuk memulai karir sebagai shoutcaster.

Dua caster berpengalaman ini pun menceritakan berdasarkan dari apa yang ia alami. Keduanya punya jawaban yang kurang lebih senada. Ada dua jalur yang mungkin dijalani, yaitu jalur usaha sendiri, dan jalur pencarian bakat. Keduanya bukan jalur yang terpisah, Anda bisa saja usaha sendiri, lalu mengikuti ajang pencarian bakat caster yang sedang diselenggarakan.

Sumber: Facebook Page Garena AOV Indonesia
Ajang pencarian bakat bisa menjadi salah satu jalan untuk menjajaki karir di dunia shoutcaster. Sumber: Facebook Page Garena AOV Indonesia

Wibi lalu menjelaskan lebih lanjut soal usaha mandiri yang bisa dilakukan. “Salah satu jalur mandiri yang bisa Anda lakukan adalah dengan menawarkan diri untuk menjadi caster di berbagai acara dengan bayaran yang kecil atau bahkan bersedia tidak dibayar. Anda juga perlu mempersiapkan modal untuk mempromosikan diri sendiri dan Anda bisa membangun portfolio lewat jalur ini.” Sementara penjelasan Oddie soal usaha mandiri sedikit berbeda. “Kalau menurut saya, salah satu usaha mandiri yang bisa dilakukan untuk menjadi caster, Anda bisa ambil game sampel, Anda komentari sendiri, merekamnya, lalu disebarkan lewat kanal berbagi video seperti YouTube.”

Bicara soal hal ini, Oddie membahas pentingnya melakukan networking atau memperluas jaringan pertemanan di ekosistem esports Indonesia. Oddie mengatakan hal tersebut lewat cerita pengalamannya yang menjadi caster karena diajak oleh Yota dan Justincase. “Kalau bicara menjadi caster, memang jalur setiap orang beda-beda. Contohnya seperti saya, yang diajak teman-teman sesama shoutcaster untuk menjadi komentator di dalam suatu kompetisi.”

Shoutcaster 6
Atau mungkin coba melamar pada saat ada rekrutmen tertentu. Sumber: Facebook Page ESL Indonesia

Wibi juga bicara soal pentingnya networking ini berdasarkan dari pengalamannya. “Networking matters a lot. Percuma punya kemampuan tapi tidak ada yang tahu tentang Anda. Tapi juga bukan berarti networking saja bakal membuat Anda jadi shoutcaster yang sangat sukses. Enaknya keduanya berjalan secara paralel, sambil terus networking, sambil terus dikembangkan kemampuan bicara di depan umum dan pemahaman atas game yang dikomentari.”

Oddie pun punya pendapat yang serupa. “Networking tanpa kemampuan yang mumpuni, atau bukti bahwa Anda bisa, akan membuat Anda jadi tidak dipercaya oleh orang lain. Sedangkan kalau Anda kerja terus, walaupun dikenal penonton, bisa jadi Anda tidak mendapat job kalau Anda tidak dikenal oleh sang organizer sebuah kompetisi esports.”

Shoutcaster Sebagai Pekerjaan Tetap, Apa Mungkin?

Seperti yang diceritakan Dimas “Dejet” Surya Rizki dalam gelaran Hybrid Day pertama, menjadi shoutcaster itu menyenangkan. Kenapa? Anda bisa kerja karena hobi, mendapat uang dari hobi tersebut, dan menjadi terkenal karena hobi yang Anda jalani tersebut. Namun, di balik hingar bingar pekerjaan caster, pertanyaan yang sesungguhnya adalah, apakah pekerjaan ini dapat menopang kehidupan sehari-hari? Apakah pekerjaan ini akan terus dibutuhkan sampai, anggaplah 5 tahun ke depan?

Bicara soal pendapatan yang bisa didapatkan oleh seorang caster, tanpa basa-basi Wibi mengatakan bahwa pendapatan shoutcaster itu tidak sebesar yang Anda bayangkan. “Kalau kerjaannya cuma terbatas menjadi shoutcaster saja, saya bisa bilang kehidupan kalian akan sangat pas-pasan. Kenapa? Karena bayaran shoutcaster itu tidak segitu besar, walau pada satu titik bisa saja di atas UMR.”

Sumber: Facebook Page MLBB Indonesia
Sumber: Facebook Page MLBB Indonesia

“Tetapi di sisi lain, shoutcaster kerap dianggap sebagai key opinion leader. Maka dari itu sekarang ini banyak shoutcaster yang merangkap jadi influencer, kenapa? Karena pemasukannya cukup besar dari bidang tersebut.” Jelas Wibi. “Maka dari itu, sebagai shoutcaster, sebenarnya Anda bisa branch out ke beberapa pekerjaan sampingan lain. Contohnya seperti live streaming, bikin konten untuk platform yang tersedia, jadi pembicara, jadi influencer, atau bahkan kerja di belakang layar.”

Lebih lanjut soal gaji seorang shoutcaster, tim Hybrid cukup beruntung karena Wibi mau membocorkan bayaran dari para caster walau hanya bersifat perkiraan saja. “Bayaran caster di Indonesia cukup beragam. Caster pendatang baru mungkin bisa saja tidak dibayar. Tapi kalau untuk sekarang, harusnya para caster pemula sudah bisa mengantungi sekitar Rp250 ribu sampai Rp400 ribu per hari ia menjadi caster. Untuk caster kelas kakap, bayarannya bisa lebih dari Rp1,5 juta per hari. Selain dua spektrum paling ekstrim tersebut, ada juga tingkatan di tengahnya, dengan bayaran kisaran Rp500 ribu – Rp1 juta per harinya.” Jawab Wibi.

Oddie juga angkat bicara soal masa depan pekerjaan caster ini. Menurutnya pekerjaan caster sangat mungkin untuk dijadikan pekerjaan utama, tapi Anda sebagai caster juga harus kompetitif. “Seperti para atletnya, para caster juga harus kompetitif dengan para talent lainnya. Kenapa? Karena jumlah caster dalam setiap acara terbatas, yang tentunya tidak akan cukup untuk semua caster yang ada di Indonesia.” Jawab Oddie. Membahas soal apakah pekerjaan ini masih akan dibutuhkan pada 5 tahun ke depan, Oddie menjawab, tergantung. “Kalau untuk masa depan, itu sih tergantung. Tergantung apakah esports yang jadi ladang pekerjaan shoutcasting Anda masih bertahan di Indonesia atau tidak.

Masih membahas soal pekerjaan shoutcaster sebagai karir masa depan, kami lalu mendiskusikan soal kehadiran talent management atau caster management yang kini menjamur di ekosistem esports Indonesia. Hal yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana peran talent management ini di dalam ekosistem esports? Terutama dari sudut pandang sang caster itu sendiri.

Menurut Oddie, ada beberapa keuntungan bagi seorang caster untuk bergabung dengan sebuah talent management. “Satu hal yang pasti, kalau tergabung ke dalam talent management ada gaji bulanan. Jadi sudah jelas bisa menopang kehidupan sehari-hari.” Selain memberikan pendapatan tetap, Wibi juga menceritakan pengalamannya bergabung di dalam talent management milik RevivalTV. Saat ini sendiri Wibi bekerja paruh-waktu sebagai caster, dengan kesibukan utamanya adalah sebagai mahasiswa. Menurutnya talent management sangat membantu bagi caster yang bekerja paruh-waktu seperti dirinya.

Caster management helps you grow while you do the other stuff. Kalau Anda jadi caster yang dikelola oleh talent management, bisa dibilang Anda tinggal ‘terima jadi’, ini cocok apalagi kalau Anda mau terjun ke dunia esports sambil memiliki kesibukan lain.” Kata Wibi. “Kalau dikelola talent management, networking Anda dibantu oleh sang manajer. Jadi, Anda juga tak perlu repot-repot menjual diri sendiri ke berbagai event organizer. Cuma kekurangannya, bayaran Anda terkena potongan manajemen tentunya.”

Entah menjadi caster yang dikelola talent management atau menjadi freelance casters, keduanya tetap mengharuskan Anda untuk terus belajar, terus berkembang, agar bisa bersaing di dunia kerja yang satu ini. Sumber: LoL Garena Indonesia
Entah menjadi caster yang dikelola talent management atau menjadi freelance casters, keduanya tetap mengharuskan Anda untuk terus belajar, terus berkembang, agar bisa bersaing di dunia kerja yang satu ini. Sumber: LoL Garena Indonesia

Lalu dengan banyaknya talent management, apakah ini artinya akan memperkecil kesempatan caster baru, atau freelance caster untuk mendapatkan pekerjaan di berbagai event esports yang ada? Baik Oddie ataupun Wibi punya jawaban yang senada. Keduanya merasa bahwa sebenarnya talent management tidak sebegitunya memakan seluruh pekerjaan caster yang ada di ekosistem esports Indonesia ini. Kesempatan bekerja tetap sama besarnya, baik bagi caster yang dikelola talent management ataupun mereka yang menjadi freelance caster.

“Terlihat dari 2 event terakhir, yaitu Piala Presiden dan MPL, penyelenggara acara masih menggunakan talent freelance dan juga caster dari talent management lain. Salah satu alasannya, karena memang secara jumlah caster dari satu talent management kadang masih kurang untuk bisa mengisi suatu acara.” Jawab Oddie membahas soal ini. “Tetapi memang freelance caster sebagai karir itu punya risiko yang lebih tinggi. Sebab, seperti  kebanyakan pekerjaan freelance, kita tidak bisa tahu kapan bisa dapat kerjaan. Tetapi mengingat banyaknya event esports sekarang, maka bisa dibilang resiko zaman sekarang terbilang lebih rendah dibanding dulu.” Oddie melanjutkan.

Pendapat dari Wibi juga kurang lebih sama, bahwa sebenarnya talent management tidak serta-merta membuat ladang pekerjaan bagi freelance caster jadi lebih sempit. “In-house talent (caster yang berasal dari talent management yang sama dengan sang penyelenggara sebuah event esports) memang bisa dibilang lebih murah dan mudah diakses. Tapi hal tersebut tak serta-merta membuat para caster yang tak tergabung dalam talent management manapun jadi tak punya kesempatan untuk bersinar. Malah kadang dalam rivalitas antar manajemen, mereka mau tak mau jadi harus mempekerjakan talent freelance atau opsi-opsi caster lain yang tidak berasal dari saingan langsung mereka. Pro kontra talent management pasti ada, tinggal kembali ke kita aja soal gimana cara menyikapinya.”

Pekerjaan caster, kendati menarik untuk ditekuni, namun memang punya tantangannya tersendiri untuk bisa sukses di bidang tersebut. Anda harus siap usaha ekstra mengembangkan diri, bahkan di luar dari zona nyaman, jika ingin menjadi caster favorit di ekosistem esports Indonesia. Usaha ekstra tersebut bisa dengan menonjolkan personality yang Anda miliki, lebih pintar dalam membahas analisis sebuah pertandingan, atau lebih mahir memainkan kosakata yang bisa membuat penonton jadi tergelitik.

Pada akhirnya pekerjaan shoutcaster bisa dibilang seperti banyak pekerjaan lain di dunia hiburan, aset terbesar dalam pekerjaan ini adalah citra diri Anda sendiri.