PPh Pasal 22 : Tarif, Cara Hitung dan Lapor SPT Masa PPh 22

Dalam mekanisme pungutan pajak penghasilan di Indonesia ada beberapa jenis dan bentuk sepeti PPh pasal 21, PPh pasal 22 PPh pasal 23 dan berbagai macam lainnya. Artikel ini akan membahasa tentang PPh Pasal 22 yang mengatur tentang pajak ang meibatkan transasksi individu.

PPh Pasal 22 adalah salah satu mekanisme yang digunakan oleh pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, memastikan kepatuhan wajib pajak, serta untuk mengendalikan dan memonitor transaksi ekonomi dalam negeri.

Pengertian

Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur tentang pemungutan pajak penghasilan (PPh) atas impor barang tertentu, penyerahan barang kepada pemerintah, dan penyerahan barang dan jasa oleh pengusaha kepada pembeli atau penerima jasa. Dalam beberapa kasus, PPh Pasal 22 juga bisa berlaku untuk transaksi tertentu yang dianggap memiliki potensi penghindaran pajak.

Pemungutan PPh Pasal 22

Impor Barang: PPh Pasal 22 dapat dipungut oleh importir pada saat impor barang. Jadi, kalo kita impor barang dari luar negeri, kita kena potong pajak Pasal 22.

Pembelian Barang oleh Pemerintah: PPh Pasal 22 juga dipungut oleh badan-badan pemerintah pada saat pembelian barang. Kalo kita jualan barang ke pemerintah, juga ada potongan pajak Pasal 22.

Transaksi dalam Negeri: Dalam beberapa kasus, PPh Pasal 22 bisa dipungut dari transaksi penjualan atau penyerahan barang atau jasa dalam negeri. Ini untuk transaksi jual beli atau serah terima barang atau jasa di dalam negeri yang bisa kena potongan Pasal 22, tergantung kondisinya.

Pelaporan dan Penyetoran

Wajib Pajak yang telah memungut PPh Pasal 22 harus melaporkan dan menyetor pajak yang telah dipungut ke Kantor Pajak setempat, dengan mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

PPh Pasal 22 yang sudah dipungut bisa dihitung sebagai kredit pajak dan dapat dikompensasikan dengan pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak.

Nah, ini tergantung jenis transaksinya dan barang atau jasanya apa. Jadi, lebih baik cek regulasi terbaru atau tanya konsultan pajak untuk detailnya.

Bagi yang sudah potong pajak Pasal 22, uang pajak yang sudah dipotong itu bisa dihitung sebagai kredit pajak. Jadi, bisa buat ngurangin pajak yang lain yang mesti dibayar ke pemerintah.

Intinya, PPh Pasal 22 ini salah satu cara pemerintah buat ngumpulin duit pajak dari berbagai transaksi ekonomi yang ada di Indonesia. Dan selalu baiknya untuk selalu update informasi tentang pajak, karena aturannya bisa aja berubah. Jadi, jangan lupa konsultasikan dengan ahli pajak atau baca aturan terbarunya ya!

Tarif PPh Pasal 22

Tarif PPh Pasal 22 bisa bervariasi, tergantung pada jenis transaksi dan jenis barang atau jasa yang diberikan. Tarif dan ketentuan lebih lanjut dapat dilihat pada peraturan perpajakan yang berlaku.

PPh Pasal 22 memang memiliki beberapa aturan, tarif, dan cara hitung yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai tarif, cara hitung, dan cara melaporkan SPT Masa PPh 22 dengan cara yang lebih sederhana:

Cara Hitung PPh Pasal 22

Biasanya, PPh Pasal 22 dihitung dengan persentase tertentu dari nilai transaksi (harga jual atau penghasilan bruto).

Cari tahu tarif yang berlaku untuk transaksi yang kamu lakukan.

Kalikan tarif pajak dengan nilai transaksi untuk mendapatkan jumlah PPh Pasal 22 yang harus dipungut.

Setelah menghitung PPh Pasal 22, Wajib Pajak harus melaporkannya melalui SPT Masa PPh 22.

SPT Masa PPh 22 biasanya harus dilaporkan setiap bulan atau sesuai periode yang ditentukan oleh peraturan pajak.

Jumlah pajak yang sudah dipungut harus disetor ke rekening kas negara melalui bank persepsi.

Jangan lupa untuk menyimpan bukti potong dan bukti setor pajak sebagai bukti pelaporan dan penyetoran pajak.

Contoh Sederhana:

Misalkan, kamu menjual barang ke pemerintah dengan total penjualan Rp100.000.000 dan tarif PPh Pasal 22 adalah 1,5%.

Misalkan, kamu menjual barang ke pemerintah dengan total penjualan Rp100.000.000 dan tarif PPh Pasal 22 adalah 1,5%.

PPh Pasal 22 yang harus dipungut:

Rp100.000.000×1,5%=Rp1.500.000

Jadi, kamu harus memotong PPh Pasal 22 sebesar Rp1.500.000 dan menyetorkannya ke kantor pajak, serta melaporkannya dalam SPT Masa PPh 22 sesuai dengan jadwal pelaporan yang berlaku.

Jadi, kamu harus memotong PPh Pasal 22 sebesar Rp1.500.000 dan menyetorkannya ke kantor pajak, serta melaporkannya dalam SPT Masa PPh 22 sesuai dengan jadwal pelaporan yang berlaku.

Informasi di atas adalah gambaran umum, untuk detail lebih lanjut dan informasi terbaru, disarankan untuk mengkonsultasikan dengan konsultan pajak atau mengacu kepada regulasi perpajakan terkini dari Direktorat Jenderal Pajak Indonesia, karena regulasi pajak bisa berubah sesuai dengan kebijakan pemerintah yang berlaku.

Apa itu Pajak? Pengertian, Jenis, Fungsi dan Contohnya

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, tanpa mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara.

Pajak itu ibarat uang kas negara yang dikumpulkan dari rakyat. Jadi, pajak itu uang yang harus dibayar oleh orang-orang dan perusahaan kepada pemerintah. Nanti, uang pajak itu dipakai oleh pemerintah untuk membangun jalan, sekolah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas lainnya untuk kebaikan kita semua.

Pengertian Pajak

Pajak merupakan kontribusi wajib yang harus dibayarkan oleh masyarakat kepada negara, yang nantinya akan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Pajak di Indonesia memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam pembangunan dan pengoperasian negara. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang harus dibayarkan oleh warga negara baik perorangan maupun badan usaha, dan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ada beberapa jenis pajak di Indonesia, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PPh adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan perseorangan, badan, dan warisan yang belum terbagi, PPN dikenakan terhadap penyerahan barang jadi dan jasa, sedangkan PBB dikenakan terhadap kepemilikan atau penguasaan bumi dan/atau bangunan.

Pengenaan, penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak semuanya diatur dalam undang-undang ini. Sementara itu, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis pajak seperti PPh, PPN, dan PBB juga diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bertanggung jawab untuk mengumpulkan pajak dan mengawasi kepatuhan wajib pajak terhadap ketentuan pajak yang berlaku.

Semua orang dan perusahaan yang memenuhi syarat harus bayar pajak. Syaratnya bisa berbeda-beda, tergantung jenis pajaknya. Jadi, penting untuk kita tahu dan paham tentang pajak agar kita bisa mematuhi aturan dengan baik dan benar.

Jenis-Jenis Pajak

Ada macam-macam pajak, loh! Ada pajak penghasilan, yaitu pajak yang harus dibayar dari uang yang kita dapatkan, misalnya dari gaji. Lalu ada juga pajak pertambahan nilai yang biasanya sudah termasuk dalam harga barang atau jasa yang kita beli. Ada juga pajak bumi dan bangunan yang harus dibayar oleh orang yang punya tanah atau rumah.

Pajak Langsung: Pajak yang beban ekonominya tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, contohnya Pajak Penghasilan (PPh).

Pajak Tidak Langsung: Pajak yang beban ekonominya dapat dipindahkan kepada orang lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pajak Pusat: Pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, contohnya PPh dan PPN.

Pajak Daerah: Pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, contohnya pajak hotel dan pajak restoran.

Pajak Pusat

Pajak Penghasilan (PPh): Pajak yang dikenakan pada penghasilan perseorangan, badan, dan warisan yang belum terbagi.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pajak yang dikenakan terhadap penyerahan barang jadi dan jasa.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM): Pajak yang dikenakan terhadap barang-barang mewah.

Pajak Daerah

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Pajak yang dikenakan terhadap kepemilikan atau penguasaan bumi dan/atau bangunan.

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB): Pajak yang dikenakan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor.

Pajak Hotel dan Pajak Restoran: Pajak yang dikenakan atas penerimaan usaha dari penyediaan jasa penginapan dan penyediaan jasa boga.

Fungsi Pajak

Fungsi Anggaran (Budgetair): Sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai belanja negara.

Fungsi Pengaturan (Regulerend): Untuk mengatur perekonomian, seperti mengendalikan inflasi dan mengurangi ketimpangan pendapatan.

Fungsi Distribusi: Untuk mendistribusikan pendapatan dan kekayaan secara lebih merata.

Fungsi Stabilisasi: Untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Karakteristik Pajak

Dipungut Berdasarkan Undang-Undang (Legalitas): Pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Memaksa (Dwang): Wajib bayar dengan sanksi tertentu bagi yang tidak mematuhi.

Tidak Mendapatkan Imbalan Langsung: Wajib pajak tidak mendapatkan jasa atau barang tertentu sebagai imbalan langsung dari pembayaran pajak.

Untuk Kepentingan Umum: Hasil pungutan pajak digunakan untuk membiayai kebutuhan dan kepentingan umum.

Dalam praktiknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai bagian dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia bertanggung jawab untuk mengumpulkan pajak-pajak tersebut dan mengawasi penerapan serta kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan yang ada.

Semua Wajib Pajak, baik perorangan maupun badan, wajib mematuhi ketentuan perpajakan yang diatur dalam undang-undang dan peraturan tersebut dan melakukan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk menggunakan penerimaan pajak tersebut untuk keperluan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Di samping itu, terdapat juga pajak daerah seperti pajak hotel dan pajak restoran yang dikenakan atas penerimaan usaha dari penyediaan jasa penginapan dan penyediaan jasa boga. Pengaturan mengenai pajak di Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan lainnya. Sebagai contoh, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah landasan hukum yang mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan di Indonesia, yang telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009.

Manfaat dari Pajak

Manfaat dari pajak sangat luas, mulai dari pendanaan pemerintah, pengurangan ketidaksetaraan, hingga mendorong perilaku positif. Pajak juga memberikan pemerintah sarana untuk mempengaruhi tingkat konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya dapat berdampak pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi negara. Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat dapat mengapresiasi peranan pajak dalam membantu pencapaian kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Pendanaan Pemerintah: Pajak merupakan sumber pendapatan utama bagi pemerintah untuk membiayai kegiatan dan proyek-proyek pembangunan.

Pengurangan Ketidaksetaraan: Melalui sistem pajak progresif, pajak dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan dengan menarik kontribusi yang lebih besar dari mereka yang memiliki kemampuan membayar yang lebih tinggi.

Mendorong Perilaku Positif: Pajak dapat dirancang untuk mendorong atau menghambat perilaku tertentu, misalnya pajak rokok untuk mengurangi konsumsi tembakau.

Stabilitas Ekonomi dan Pertumbuhan: Pajak memberikan pemerintah sarana untuk mempengaruhi tingkat konsumsi dan investasi, yang dapat berdampak pada stabilitas ekonomi dan pertumbuhan.

Contoh Pemakaian Pajak

Pembangunan Infrastruktur: Pajak digunakan untuk membangun jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya.

Pelayanan Kesehatan: Pajak digunakan untuk pembiayaan fasilitas dan pelayanan kesehatan publik.

Pendidikan: Pajak digunakan untuk membiayai pendidikan, dari tingkat dasar hingga tinggi.

Pembangunan Sosial dan Ekonomi: Pajak digunakan untuk berbagai program pembangunan sosial dan ekonomi, termasuk bantuan sosial dan program pengentasan kemiskinan.

Dengan memahami berbagai jenis dan manfaat pajak ini, masyarakat dapat lebih mengapresiasi peranan pajak dalam membiayai pembangunan dan kesejahteraan sosial.

Undang-Undang tentang Pajak

Di Indonesia, ketentuan perpajakan diatur dalam beberapa Undang-Undang (UU) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Berikut adalah beberapa Undang-Undang dan peraturan yang mengatur tentang pajak di Indonesia:

Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP):

Diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009.

Mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang meliputi pengenaan, penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh):

Diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.

Mengatur tentang objek, subjek, tarif, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM):

Diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.

Mengatur mengenai ketentuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:

Mengatur tentang jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah serta tata cara pengenaannya.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB):

Mengatur mengenai objek, subjek, dan tarif Pajak Bumi dan Bangunan.

Di samping undang-undang, terdapat juga berbagai Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PERDJ), dan peraturan lainnya yang mengatur mengenai aspek-aspek tertentu dalam pelaksanaan ketentuan pajak, seperti tarif pajak, penghitungan pajak, dan tata cara pelaporan.

Pajak itu penting karena dengan pajak, pemerintah bisa membiayai kebutuhan rakyat dan membangun negara. Tanpa pajak, pemerintah akan kesulitan membiayai berbagai kebutuhan kita, seperti pendidikan dan kesehatan. Jadi, dengan membayar pajak, kita ikut andil dalam membangun negara dan membantu sesama.

Pajak itu diatur oleh undang-undang dan peraturan-peraturan. Jadi, kita harus mematuhinya. Jika kita tidak bayar pajak, bisa kena sanksi atau denda dari pemerintah. Makanya, ayo kita bayar pajak dengan tepat waktu dan jumlah yang benar!

Pajak Penjualan Rumah: Pengertian, Jenis dan Biayanya

Di Indonesia, membeli atau menjual rumah melibatkan berbagai pertimbangan finansial yang cukup rumit, termasuk pajak yang menjadi tanggungan pembeli dan penjual. Salah satu aspek penting dalam transaksi properti adalah pajak penjualan rumah, yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia.

Ada berbagai jenis pajak yang diberatkan baik kepada penjual rumah, maupun pembeli rumah. Artikel ini akan membahas berbagai jenis pajak yang penjual dan pembeli harus tanggung termasuk perhitungannya. Simak artikel ini hingga akhir, ya!

Pengertian Pajak Penjualan Rumah

Pajak penjualan rumah, yang juga dikenal sebagai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), adalah aspek penting dalam transaksi properti di Indonesia.

Pajak ini adalah pajak yang dikenakan atas penjualan barang mewah, termasuk properti tempat tinggal atau residensial bernilai tinggi. Tujuan dari pajak ini adalah untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah dan mengatur pasar properti tanah serta bangunan.

Perhitungan pajak penjualan rumah di Indonesia didasarkan pada harga jual atau nilai kena pajak properti, sebagaimana ditentukan oleh pemerintah. Tarif pajak ditetapkan sebesar 20% dari harga jual atau nilai kena pajak.

Penting untuk dicatat bahwa nilai kena pajak dapat berbeda dari harga jual sebenarnya, dan ditentukan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu. Oleh karena itu, sangat krusial bagi pembeli dan penjual untuk berkonsultasi dengan otoritas pemerintah untuk menentukan nilai kena pajak properti secara akurat.

Selain itu, ada pajak yang dibebankan, baik kepada pembeli, maupun penjual rumah. Masing-masing pajak tersebut juga memiliki perhitungannya masing-masing.

Biaya yang Harus Penjual Bayar dan Cara Menghitungnya

Pajak penjualan rumah adalah pajak yang dikenakan atas penjualan properti tempat tinggal atau rumah. Pajak penjual rumah merupakan sebuah kewajiban yang harus kamu jalankan, ketika melakukan transaksi jual beli rumah. Ini karena rumah menjadi bagian dari BKP, atau barang kena pajak.

Biaya ini tidak terbatas pada PPN saja, ada banyak biaya lain yang menjadi beban baik pihak penjual, maupun pembeli. Berikut adalah beberapa biaya yang penjual harus persiapkan ketika hendak menjual rumah.

Pajak Penghasilan

Ketika menjual rumah di Indonesia, Pajak Penghasilan (PPH), berlaku atas hasil yang diperoleh dari penjualan. Undang-undang yang relevan yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).. Ketentuan khusus yang terkait dengan penjualan properti adalah Pasal 4 ayat (2) huruf b UU PPh.

Menurut Pasal 4 ayat (2) huruf b UU PPh, penghasilan yang berasal dari penjualan harta bergerak dan/atau harta tak bergerak dalam jangka waktu kurang dari lima tahun sejak saat kepemilikannya dikenai pajak penghasilan. Pajak penghasilan yang dikenakan atas keuntungan dari penjualan properti disebut sebagai PPh Keuntungan Modal.

Saat ini, tarif pajak yang berlaku untuk PPh Keuntungan Modal atas penjualan rumah adalah 5% dari keuntungan bersih. Keuntungan bersih dihitung dengan mengurangkan biaya perolehan dan biaya yang dapat dikurangkan dari harga jual properti.

Misalkan seseorang menjual sebuah rumah dengan harga jual Rp 1 miliar setelah memiliki properti tersebut selama 3 tahun. Harga perolehan rumah tersebut adalah Rp 800 juta, dan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sebesar Rp 50 juta. Keuntungan yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Harga Jual: Rp 1 miliar
Harga Perolehan: Rp 800 juta
Biaya yang Dapat Dikurangkan: Rp 50 juta
Keuntungan Rp 150 juta (Rp 1 miliar – Rp 800 juta – Rp 50 juta)

PPh Keuntungan Modal yang dikenakan adalah 5% dari laba bersih sebesar Rp 150 juta. Dalam hal ini, PPh Keuntungan Modal yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 7,5 juta (Rp 150 juta x 5%).

Biaya Notaris

Biaya notaris adalah biaya profesional yang dibebankan oleh notaris untuk jasa mereka dalam memfasilitasi dan mendokumentasikan proses pengalihan properti. Biaya notaris di Indonesia ditentukan berdasarkan struktur biaya yang diatur oleh pemerintah.

Biaya ini biasanya dihitung sebagai persentase dari nilai transaksi properti. Persentase yang tepat dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk lokasi properti dan rumitnya transaksi.

Sangat penting untuk berkonsultasi dengan notaris yang memiliki reputasi baik untuk memahami berbagai biaya seperti biaya tambahan, hingga biaya layanan yang diberikan selama proses pengalihan properti.

Berikut ini adalah contoh cara menghitung biaya notaris:

Misalnya, kamu ingin menjual sebuah rumah dengan nilai transaksi sebesar Rp 1 miliar di sebuah lokasi tertentu, konsultasikan dengan notaris untuk mengetahui persentase biaya notaris yang berlaku di lokasi di mana properti dijual. Anggap saja persentase biaya notaris adalah 1,5%, maka kalikan nilai transaksi properti dengan persentase biaya notaris yang berlaku untuk menentukan jumlah biaya notaris.

Biaya Notaris = Nilai Transaksi x Persentase Biaya Notaris
Biaya Notaris = Rp 1.000.000.000 x 1,5% = Rp 15.000.000

Dalam contoh ini, biaya notaris untuk menjual rumah adalah Rp 15.000.000.

Pajak Bumi Bangunan

Pajak lain yang perlu kamu bayar adalah Pajak Bumi dan Bangunan, atau PBB. Kamu perlu membayar PBB sebelum menjual rumah, dan dengan jangka waktu satu tahun.PBB mempunyai besaran sejumlah 0,5%, dengan perhitungan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) kamu kalikan dengan NJOP sebagai dasar pengenaan pajak.

Pemerintah telah menetapkan bahwa NJKP senilai 40% untuk rumah dengan harga lebih dari satu miliar rupiah, dan 20% untuk rumah kurang dari satu miliar rupiah.

Besaran PBB adalah 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dikalikan NJOP sebagai dasar pengenaan pajak. NJKP yang ditetapkan pemerintah adalah 40% untuk rumah dengan harga di atas Rp1 miliar, dan 20% jika harga rumah di bawah Rp1 miliar.

Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saat menjual rumah di Indonesia melibatkan berbagai faktor, termasuk nilai properti, tarif pajak, dan peraturan setempat. Berikut adalah contoh perhitungan PBB saat menjual rumah:


Anggap saja harga jual rumah adalah Rp 2 miliar, sebagai contoh, kita asumsikan tarif PBB yang berlaku adalah 0,5% dari nilai taksiran properti. Nilai taksiran properti ditentukan oleh otoritas pajak setempat berdasarkan faktor-faktor seperti lokasi, ukuran, dan kondisi properti. Dalam contoh ini, asumsikan nilai taksirannya adalah Rp 1,5 miliar.


Kalikan nilai taksiran dengan tarif PBB untuk menentukan jumlah PBB.

PBB = Nilai Taksiran x Tarif PBB
PBB = Rp 1.500.000.000 x 0,5% = Rp 7.500.000

Dalam contoh ini, jumlah PBB yang harus dibayarkan saat menjual rumah adalah Rp 7.500.000.

Biaya yang Harus Pembeli Bayar

Selain pajak bagi penjual rumah, juga terdapat pajak untuk pembeli rumah.Berikut adalah beberapa biaya yang pembeli harus persiapkan ketika membeli menjual rumah.

Cek Sertifikat

Terdapat biaya untuk mengecek sertifikat senilai seratus ribu rupiah. Ini perlu kamu lakukan dengan tujuan memahami bahwa sertifikat rumah yang akan kamu beli, terjamin legalitasnya. Biaya cek sertifikat dapat bervariasi tergantung pada lokasi properti, biaya notaris atau pengacara yang digunakan, dan kompleksitas pemeriksaan yang diperlukan.

Biaya untuk memeriksa sertifikat umumnya termasuk biaya untuk administrasi, biaya layanan, dan berbagai biaya lain yang meliputi proses pemeriksaan dokumen, Rincian dari biaya tersebut bervariasi dan tergantung pada kesepakatan dengan pihak yang melakukan pemeriksaan sertifikat.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan tanah dan bangunan di Indonesia. Pajak ini diatur oleh Undang-Undang No. 21 tahun 1997 tentang Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tujuan utama dari BPHTB adalah untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah. BPHTB berlaku untuk pengalihan kepemilikan atau perolehan hak atas tanah dan bangunan, termasuk rumah, apartemen, dan properti komersial. BPHTB biasanya dipungut oleh pemerintah daerah di mana properti tersebut berada.

BPHTB dihitung berdasarkan nilai transaksi atau nilai pasar properti, mana yang lebih tinggi. Tarif pajak yang berlaku bervariasi tergantung pada wilayah dan dapat berkisar dari 1% hingga 5%. Tarif pajak dan cara penghitungannya ditentukan oleh peraturan daerah.

Anggap saja kamu hendak membeli rumah dengan nilai transaksi Rp 1,5 miliar di suatu wilayah, maka Periksa peraturan daerah untuk mengetahui tarif pajak BPHTB yang berlaku. Dalam contoh ini, asumsikan tarifnya adalah 5%.

Kemudian, hitung Nilai Jual Kena Pajak. Nilai Kena Pajak umumnya didasarkan pada nilai transaksi atau nilai pasar properti yang lebih tinggi. Anggap saja nilai pasar rumah tersebut adalah Rp 1,5 miliar.


Kalikan nilai kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku untuk menentukan jumlah BPHTB.

BPHTB = Nilai Jual Kena Pajak x Tarif Pajak
BPHTB = Rp 1.500.000.000 x 5% = Rp 75.000.000

Dalam contoh ini, jumlah BPHTB yang harus dibayarkan untuk pembelian rumah tersebut adalah Rp 75.000.000.

Pembuatan Akta Jual Beli

Pembuatan akta jual beli merupakan sesuatu yang krusial, karena akta tersebut melindungi hak-hak, serta kepentingan baik pihak penjual, maupun pihak pembeli.

Akta jual beli menjadi bukti sah tentang kepemilikan properti dan digunakan dalam proses pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Untuk memastikan proses pembuatan akta jual beli berjalan dengan lancar, disarankan untuk bekerja sama dengan notaris yang berpengalaman dan terpercaya serta memahami seluruh prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Pembeli membayar sejumlah 1% dari transaksi yang pembeli lakukan. Umumnya biaya ini pembeli yang menanggung, kecuali ada kesepakatan lain dengan penjual.

Balik Nama Sertifikat

Balik nama sertifikat, meliputi prosedur administratif yang dilakukan untuk mengubah nama pemilik yang terdaftar pada sertifikat tanah. Proses ini biasanya dilakukan setelah terjadi peralihan kepemilikan properti, seperti dalam transaksi jual-beli atau warisan.

Untuk memulai proses balik nama sertifikat, biasanya diperlukan beberapa persyaratan dan dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tersebut antara lain sertifikat tanah asli, salinan akta jual beli atau akta waris, dokumen identitas pemilik baru, NPWP, dan dokumen pendukung lainnya yang diwajibka instansi terkait.

Umumnya, biaya dari balik nama sertifikat ini mencapat 2 persen dari nilai transaksi yang ada.

PPN

PPN adalah pajak konsumsi yang dikenakan atas penjualan barang dan jasa, termasuk properti tempat tinggal atau residensial. PPN berlaku untuk penjualan rumah dan apartemen yang baru dibangun atau sedang dibangun. Biasanya tidak berlaku untuk pembelian properti bekas.

Tarif PPN untuk penjualan rumah umumnya ditetapkan sebesar 10% dari harga jual properti. Harga jual sudah termasuk harga pokok properti, biaya tambahan yang dikenakan oleh pengembang atau penjual, dan pajak atau bea yang terkait dengan pengalihan properti. Berikut ini adalah salah satu contoh dari perhitungan PPN ketika membeli rumah.

Asumsi bahwa kamu akan membeli rumah seharga 1.000.000.000 dan tarif PPN yang berlaku adalah 10%, maka:

Jumlah PPN = Harga Jual x Tarif PPN
Jumlah PPN = Rp 1.000.000.000 x 10% = Rp 100.000.000

Dalam contoh ini, jumlah PPN yang harus dibayarkan saat membeli rumah adalah Rp 100.000.000

Nah, itulah kewajiban pajak baik bagi penjual, maupun pembeli. Apabila kamu ingin membeli properti, pastikan kamu sudah menyiapkan biaya yang cukup membayar pajaknya, ya!

Cara Menghitung Pph, Terbaru 2023

Pajak penghasilan adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah atas penghasilan yang diperoleh individu dan bisnis.

Pajak ini dihitung sebagai persentase dari penghasilan yang kamu peroleh selama tahun tersebut. Persentase yang harus kamu bayar tergantung pada jumlah pendapatan yang kamu peroleh.

Pemerintah menggunakan uang pajak ini untuk membayar hal-hal seperti sekolah, jalan, dan layanan publik lainnya.

Cara Menghitung Pph

Penting untuk menghitung pajak penghasilan karena membantu pemerintah menghasilkan pendapatan untuk mendanai layanan dan program publik.

Selain itu, menghitung dan membayar pajak penghasilan secara akurat sudah diwajibkan oleh undang-undang. Jika kamu tidak melakukannya, kamu akan mendapat hukuman, denda, dan bahkan konsekuensi hukum.

Berikut ini adalah beberapa cara menghitung Pph kamu:

  • Pph dari gaji = Penghasilan Bruto – PTKP x Tarif Pajak
  • Pph dari Pendapatan Lainnya = Penghasilan Bruto – PTKP x Tarif Pajak
  • Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto x Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)

Kamu dapat memilih cara hitungan sesuai dengan status yang kamu miliki.

Penghasilan Tidak Kena Pajak 2023

Di tahun 2023 ini, PTKP menyesuaikan UU HPP No 7 Tahun 2021, Bab III tentang Pajak Penghasilan angka 3 tentang perubahan Pasal 7 ayat (1) UU PPh.

PTKP per tahun diberikan paling sedikit:

  • Rp54.000.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi
  • Rp4.500.000 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
  • Rp54.000.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
  • Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

Demikianlah cara menghitung Pph di tahun 2023, semoga bermanfaat.

PPh Final dan PPh Non Final, Apa Perbedaannya?

Pajak merupakan salah satu pengeluaran yang harus dibayarkan oleh para wajib pajak. Saat ini mungkin kamu sudah mengenal berbagai macam jenis pajak pada misalnya Pajak Penghasilan  (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh sendiri memiliki banyak sekali jenis sesuai dengan yang diatur oleh pasal yang berlaku. 

PPh adalah salah satu pajak yang melekat pada wajib pajak, baik itu seorang individu maupun badan usaha. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dewasa ini telah memfasilitasi pembayaran pajak mandiri melalui E-billing online. Bagi kamu yang seringkali membayar sendiri pajak baik untuk pajak penghasilan sendiri maupun untuk UMKM, mungkin kamu akan sangat familier dengan PPh final dan PPh tidak final.

Pembayaran pajak atas UMKM sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dikenai pajak PPh final dengan tarif 0,5%. Tarif pajak PPh final ini berlaku per 1 Juli 2018, dihitung dari omzet UMKM dan dibayarkan setiap bulannya. 

Apa sebenarnya PPh final ini? Apakah perbedaan antara PPh final ini dengan PPh tidak final? Apa saja kah objek pajak bagi PPh final dan PPh tidak final? Simak pembahasan terkait dengan PPh final dan PPh tidak final serta perbedaan keduanya berikut ini. 

Apa Itu Pajak Penghasilan (PPh)?

apa itu pph
Ilustrasi Perbedaan PPh final vs PPh non final | Unsplash

PPh adalah singkatan dari Pajak Penghasilan. PPh merupakan pajak yang dibebankan pada wajib pajak (orang perseorangan maupun badan usaha) atas penghasilan yang mereka terima dalam satu tahun pajak. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan usaha yang memiliki kewenangan dalam membayar, memotong, dan memungut pajak.

Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak dari manapun itu asalnya yang mampu digunakan untuk menambah kekayaan sang wajib pajak. PPh memiliki beberapa macam jenis dan diatur dalam berbagai pasal. Untuk mengetahui tarif pajak dari seorang wajib pajak, perlu dilakukan identifikasi dahulu jenis PPh yang berlaku untuk wajib pajak.

Jenis Pajak Penghasilan (PPh)

Jenis dari pajak PPh ada berbagai macam bergantung pada berbagai pasal yang mengaturnya. Berikut ini adalah beberapa jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan penjelasan dari jenis pajak tersebut.

  • PPh Pasal 15; PPh Pasal 15 merupakan pajak penghasilan yang dibebankan pada wajib pajak yang dikenakan pada perusahaan dengan ketentuan khusus. Pajak PPh ini memberikan tarif berbeda bergantung pada industri mana perusahaan bergerak. Kategori wajib pajak yang masuk pada jenis pajak ini di antaranya adalah perusahaan yang berada pada industri penerbangan internasional.
  • PPh Pasal 21; merupakan pajak yang dikenakan pada penghasilan yang mana itu berupa gaji, tunjangan, upah, komisi, honorarium, dan lain-lainnya. 
  • PPh Pasal 22; adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak yang melaksanakan kegiatan ekspor dan impor. 
  • PPh Pasal 23; merupakan pajak yang dibebankan atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, penghargaan (hal lain di luar yang telah tercatat di PPh Pasal 21)
  • PPh Pasal 25; adalah pajak yang pembayarannya dapat diangsur. Pajak ini memiliki tujuan untuk meringankan beban wajib pajak.
  • PPh Pasal 26; adalah pajak penghasilan yang dibebankan atas pendapatan yang sumbernya dari Indonesia dan didapatkan oleh wajib pajak yang berasal dari luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia (BUT). 
  • PPh Pasal 29; merupakan pajak kurang bayar yang mana perlu untuk dibayarkan oleh wajib pajak dan beban pajak tersebut telah tertulis dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). 
  • PPh Pasal 4 ayat (2); PPh Pasal 4 ayat (2) seringkali dikenal dengan PPh final.  Pajak Penghasilan Final merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapat. 

Pengertian PPh Final

pph final
Ilustrasi PPh final vs PPh non final | Pexels

Seperti yang telah dijelaskan dalam jenis-jenis PPh di atas, salah satu jenis dari PPh adalah PPh final. Apa sebenarnya PPh final ini? PPh final adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan yang diperoleh dalam satu periode tahun berjalan dengan tarif serta dasar pengenaan tertentu.

Pemotongan pajak ini bersifat final (hanya sekali dalam satu periode pajak) seperti namanya. Pengenaan PPh final tidak dihitung sebagai pembayaran di muka atas PPh terutang, akan tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang pada penghasilan wajib pajak. PPh final diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).

Penghasilan Apa Saja yang Dikenai PPh Final?

Contoh objek pajak dari PPh Final di antaranya adalah sebagai berikut

  • Penghasilan dari perusahaan modal ventura
  • Pendapatan yang berasal dari transaksi jual saham
  • Penghasilan dari kupon atau bunga obligasi
  • Pendapatan dari usaha jasa konstruksi
  • Penghasilan atas pengalihan hak atas properti seperti bangunan atau tanah dan lain sebagainya

Pengertian PPh Tidak Final

pph final
Ilustrasi Apa perbedaan PPh final dan PPh non final | Pixabay

Kontras dengan PPh final, PPh tidak final atau yang seringkali disebut dengan PPh non final merupakan suatu pajak dari penghasilan yang tidak akan dipotong pada saat itu juga. Wajib pajak dianggap belum lunas menyetor pajak sebelum melaporkan pajaknya. Untuk itu, transaksi baru baru akan dianggap lunas apabila penghitungan dan pelaporan pajak telah selesai (di akhir periode pajak).

Penghasilan Apa Saja yang Dikenai PPh Tidak Final?

Contoh objek pajak dari PPh tidak final yang paling mudah untuk diidentifikasikan adalah PPh selain yang diatur oleh Pasal 4 ayat (2). Contoh dari PPh tidak final di antaranya adalah sebagai berikut

  • PPh Pasal 21: Gaji, tunjangan, upah, honorarium untuk wajib pajak di dalam negeri
  • Pajak Penghasilan Pasal 22: pajak atas impor, Migas, kegiatan lelang
  • PPh Pasal 23: royalti atas karya, pendapatan sewa di luar tanah dan bangunan, pendapatan atas dividen
  • Pajak Penghasilan Pasal 24: penghasilan dari WNI di luar negeri
  • PPh Pasal 25: adanya angsuran PPh oleh wajib pajak
  • Pajak Penghasilan pasal 26: penghasilan dari wajib pajak luar negeri, dan lain sebagainya

Perbedaan PPh Final dan PPh Tidak Final

Ilustrasi Perbedaan PPh final dan PPh tidak final | Unsplash

Pajak penghasilan final atau PPh final dan PPh tidak final memiliki beberapa perbedaan mendasar yang membedakan antara kedua pajak ini. Beberapa perbedaan dari PPh final dan PPh tidak final adalah sebagai berikut

Sistem Penghitungan

Perbedaan pertama dari PPh final dan PPh non final dari sistem penghitungan keduanya. PPh final dihitung secara langsung di mana penghitungan PPh final dijadikan satu kesatuan dan tidak dapat dikaitkan dengan penghitungan dengan penghasilan lain. Sementara itu, PPh non final dihitung secara tidak langsung, di mana PPh non final dapat dihitung dengan penghasilan bruto dan dapat ditambah dengan penghasilan lain.

Kemudian, pada PPh non final, biaya menghasilkan, biaya menagih, dan biaya memelihara penghasilan yang dikenai PPh dapat dikurangkan dalam penghitungan pajak. Akan tetapi, biaya-biaya tersebut tidak dikurangkan dalam penghitungan pajak PPh final. Selain itu, PPh non final dapat memperhitungkan bukti potong sebagai kredit pajak dari wajib pajak. Sedangkan, PPh final tidak dapat melakukan hal demikian.

Tarif Pajak

Pada PPh final, tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak biasanya adalah berupa tarif umum seperti halnya tercantum dalam pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan. Sementara itu, PPh tidak final tarifnya diatur dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri Keuangan. 

Waktu Penyetoran Pajak

Waktu penyetoran juga merupakan salah satu hal yang membedakan antara PPh final dan PPh non final. Penyetoran pajak PPh final dapat dilakukan sendiri atau oleh pihak lain yang bersangkutan dan akan dikreditkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Sementara itu, pelaksanaan kewajiban pajak untuk PPh non final hanya dapat dilakukan dengan melaporkan SPT. PPh non final baru dianggap lunas ketika wajib pajak selesai melakukan penghitungan pajak akhir tahun.

Berikut ini adalah rangkuman dari perbedaan karakteristik PPh final dan non final.

pph final dan pph tidak final
Rangkuman Perbedaan PPh final vs PPh non final | Dailysocial.id

Wah, ternyata kedua pajak penghasilan ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan ya. Kedua pajak ini mungkin sudah cukup familier bagi kamu yang sering melakukan kalkulasi pajak untuk melakukan pembayaran pajak secara online melalui E-billing. Semoga artikel ini dapat membantu pemahaman kamu terkait dengan PPh final dan PPh non final ya.

Sumber gambar header: Pexels

Kenali PPh dan PPN: Pengertian, Perbedaan, Jenis, dan Tarif Penghitungannya

Ketika belanja di suatu restoran cepat saji atau toko di suatu Mall, kamu pasti menemukan baris uraian pajak di struk belanja kamu. Fenomena ini membuktikan bahwa pajak merupakan hal yang ternyata sangat dekat dengan kita. Pajak yang biasa ditemukan ketika berbelanja itu merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jika berbincang mengenai PPN, kurang afdal rasanya apabila tidak dibarengi dengan membahas Pajak Penghasilan (PPh). 

Istilah PPh dan PPN mungkin bukan merupakan hal yang asing bagi kamu. PPh dan PPN tidak hanya istilah yang familiar bagi para wajib pajak saja. Akhir-akhir ini, masyarakat banyak dihebohkan pengenaan PPN pada platform hiburan elektronik seperti Netflix, Spotify, Zoom, hingga Steam melalui peraturan PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik). Apakah sebenarnya PPh dan PPN ini? Apa perbedaan antara PPh dan PPN? Bagaimana tarif perhitungan kedua pajak tersebut? Berikut ini adalah pembahasan mengenai perbedaan PPh dan PPN beserta definisi dan jenis kedua pajak tersebut.

Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah kepanjangan dari Pajak Penghasilan. Dari kepanjangan tersebut, dapat diketahui bahwa PPh merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak (dapat berupa orang perseorangan maupun badan usaha) atas penghasilan yang mereka terima dalam satu tahun pajak. PPh dikenal sebagai pajak subjektif karena pajak ini dibebankan sesuai dengan kondisi subjek yakni si wajib pajak. 

Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan usaha yang memiliki kewenangan dalam membayar, memotong, dan memungut pajak. Wajib pajak pun memiliki seperangkat hak dan kewajiban terkait dengan pajak sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku. Sementara itu, penghasilan menurut Undang-undang Pajak Penghasilan diartikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak dari manapun itu asalnya yang mampu digunakan untuk menambah kekayaan sang wajib pajak. 

PPh memiliki beberapa macam jenis dan diatur dalam berbagai pasal. Tarif dari pajak PPh akan menyesuaikan dengan PPh. Sehingga, untuk mengetahui tarif pajak dari seorang wajib pajak, perlu dilakukan identifikasi dahulu jenis PPh yang berlaku untuk wajib pajak.

Ilustrasi Mengenali Perbedaan PPh dan PPN | Pixabay

Jenis Pajak Penghasilan (PPh)

Berikut ini adalah beberapa jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan penjelasan dari jenis pajak tersebut.

PPh Pasal 15

PPh Pasal 15 merupakan pajak penghasilan yang dibebankan pada wajib pajak yang dikenakan pada perusahaan dengan ketentuan khusus. Kategori wajib pajak yang masuk pada jenis pajak ini di antaranya adalah perusahaan yang berada pada industri penerbangan internasional, pelayaran, perusahaan asuransi asing, wajib pajak dari luar negeri dengan kantor yang ada di dalam negeri, wajib pajak dengan industri yang bergerak di bidang jasa maklon (kegiatan manufaktur untuk memenuhi kebutuhan pihak lain), dan lain sebagainya. Pajak PPh ini memberikan tarif berbeda bergantung pada industri mana perusahaan bergerak.

PPh Pasal 21

Pajak Penghasilan selanjutnya adalah adalah PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan pada penghasilan yang mana itu berupa gaji, honorarium, upah, komisi, tunjangan, dan lain-lainnya. Beberapa kategori yang dibebani pajak PPh 21 di antaranya adalah pegawai, penerima pensiun, anggota dewan komisaris, mantan pekerja, dan lain sebagainya.

Penghitungan Pajak PPh Pasal 21 akan sangat berkaitan dengan tarif pajak, ketentuan biaya jabatan, dan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Biaya jabatan adalah biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan yang mana biaya ini dapat dikurangkan dari penghasilan setiap individu yang bekerja sebagai pegawai tetap. Biaya jabatan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 250/PMK.03/2008 adalah sebesar 5 persen maksimal Rp6 juta setahun atau Rp500.000 sebulan.

PTKP merupakan besaran pendapatan pribadi dari wajib pajak yang dibebaskan dari PPh. Cara untuk menghitung PTKP adalah sebagai berikut.

  • Wajib pajak pribadi dapat membebaskan sejumlah Rp54 juta per tahun untuk tidak dimasukkan dalam perhitungan PPh.
  • Ketika wajib pajak telah menikah, wajib pajak dapat mengurangkan sejumlah Rp4,5 juta per tahun untuk tidak dihitung dalam PPh
  • Untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami, wajib pajak dapat mengurangkan lagi sebanyak Rp54 juta per tahun untuk tidak dihitung dalam PPh
  • Setiap tambahan tanggungan (pada misalnya anak atau anggota keluarga lain) membuat wajib pajak dapat mengurangi pendapatannya yang dihitung PPh sebanyak Rp4,5 juta per tahun.

 Tarif dari pajak PPh 21 adalah berikut ini.

  1. Apabila penghasilan selama satu tahun pajak adalah Rp50 juta, maka tarif pajaknya adalah sebanyak 5%
  2. Jika penghasilan berada di antara Rp50 juta – Rp250 juta, maka tarif pajak yang dibebankan adalah 15%
  3. Ketika penghasilan berkisar di antara Rp250 juga hingga Rp500 juta, maka tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak adalah sebesar 25%
  4. Terakhir, sewaktu penghasilan wajib pajak berada di atas Rp500 juta, tarif pajak yang dibebankan yakni 30%

PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak yang melaksanakan kegiatan ekspor dan impor. Pajak ini biasanya berlaku untuk badan usaha baik itu merupakan badan usaha milik negara atau badan usaha swasta yang melakukan kegiatan perdagangan barang. Tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak PPh Pasal 22 bervariasi berdasarkan objek pajak dan jenis transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak.   

PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dibebankan atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, penghargaan, atau hal lain di luar yang telah tercatat di PPh Pasal 21. Pada dasarnya PPh Pasal 23 dibebankan pada wajib pajak yang sedang melakukan transaksi. Tarif yang dikenakan untuk PPh Pasal 23 berdasar pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau nilai bruto dari penghasilan. 

PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 adalah pajak yang pembayarannya dapat diangsur. Pajak ini memiliki tujuan untuk meringankan beban wajib pajak dalam pembayaran pajak yang biasa dilakukan tahunan. Pembayaran pajak ini harus dibayar sendiri tanpa diwakilkan oleh orang lain. Jika pembayaran atas pajak ini terlambat, wajib pajak akan mendapat sanksi denda sebanyak 2% per bulan. 

PPh Pasal 26

Pajak ini adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas pendapatan yang sumbernya dari Indonesia dan didapatkan oleh wajib pajak yang berasal dari luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia (BUT). 

PPh Pasal 29

Pajak Penghasilan Pasal 29 merupakan pajak kurang bayar yang perlu untuk dibayarkan oleh wajib pajak, dan beban pajak tersebut telah tertulis dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Secara sederhana, pajak penghasilan yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah sisa PPh yang terutang pada tahun pajak tertentu dan dikurangi dengan jumlah kredit PPh.

PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) seringkali dikenal dengan PPh final. Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapat. Pemotongan pajak ini bersifat final (hanya sekali dalam satu periode pajak) seperti namanya jadi pajak ini tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang. 

Ilustrasi Mengenali Perbedaan PPh dan PPN | Pixabay

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Kepanjangan dari PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai. PPN adalah pajak yang dikenakan pada proses produksi serta distribusi suatu produk dan pajak ini dibebankan pada konsumen akhir dari produk. Melalui informasi ini, kita dapat melihat bahwa perbedaan PPh dan PPN pada dasarnya adalah pada pembebanan kedua pajak ini. PPh membebankan pajak pada subjek yakni orang yang menerima penghasilan. Akan tetapi PPN membebankan pajak pada objek di mana pajak ini tidak melihat pada kondisi wajib pajak akan tetapi ia melihat pada sifat objek pajaknya (berupa barang konsumsi).

Pajak Pertambahan Nilai dapat dikenakan pada siapa saja yang membeli suatu barang tertentu. Pada misalnya, kamu membeli paket makanan dan minuman di suatu restoran cepat saji, kamu dapat melihat sebagian dari uang yang kamu keluarkan digunakan untuk membayar pajak ini. 

Objek dari PPN

  1. Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di area pabean tempat pengusaha melakukan proses bisnis
  2. Impor BKP
  3. Pemanfaatan BKP yang tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
  4. Pemanfaat JKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
  5. Ekspor BKP baik berwujud maupun tidak berwujud dan ekspor JKP oleh PKP. PKP merupakan pihak yang diwajibkan 

PPN dikenakan oleh barang dan jasa di antaranya sebagai berikut. 

  • Barang hasil tambang atau barang hasil pengeboran yang ia langsung diambil dari sumbernya
  • Makanan serta minuman yang disajikan di restoran, hotel, rumah makan, dan lain sebagainya
  • Kebutuhan pokok yang banyak menjadi kebutuhan orang
  • Uang, emas batangan serta surat berharga.
  • Produk layanan digital yang berasa dari luar negeri seperti langganan Netflix, Spotify, Game Steam, dan lain sebagainya.

PPN kurang lebih memiliki dua jenis tarif. Tarif PPN 10% dikenakan pada objek PPN, Sementara itu, tarif PPN 0% dikenakan kepada ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP. Dulunya, produk transaksi dengan transaksi online seperti Spotify dan Netflix tidak dikenai pajak PPN, akan tetapi, pemberlakukan PPN kepada produk digital ini ditetapkan mulai Agustus 2020.

Pengenaan pajak ini berdasar pada PMK Nomor 48/PMK.03/2020. Aturan tersebut menyebutkan bahwa Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau dikenal sebagai PMSE dikenai PPN sebesar 10%. Pun objek pajak yang dibebani oleh PPN PMSE di antaranya adalah layanan streaming musik, film, aplikasi, dan game digital.

Perbedaan PPh dan PPN

Dari definisi serta jenis masing-masing pajak yang telah dijelaskan di atas, mungkin kamu telah menemukan perbedaan dari dua jenis pajak yakni PPh dan PPN. Berikut ini adalah perbedaan PPh dan PPN.

  • PPN dan PPh memiliki objek pengenaan pajak yang berbeda. PPN membebankan pajak pada proses produksi maupun distribusi dari suatu barang dan jasa. Sementara itu, PPh dikenakan terhadap penghasilan yang dimiliki oleh wajib pajak.
  • Tarif dari kedua pajak ini berbeda. Tarif PPN atas objek pajak PPN adalah senilai 10% sementara itu perhitungan tarif PPh cenderung lebih kompleks karena menyesuaikan kepada jenis PPh yang cenderung banyak jenisnya.
  • PPh dibebankan kepada wajib pajak yang memiliki penghasilan, sedangkan PPN dibebankan kepada konsumen dari suatu barang dan jasa.
  • Jenis PPh lebih banyak yakni PPh pasal 21, 22, 23, 25 dan lainnya sedangkan pajak PPN memiliki jenis yaitu pajak masukan (pajak atas pembelian barang atau jasa) dan dan keluaran (pajak atas penjualan barang dan jasa yang dikenai pajak). 

Terkadang mungkin kita tidak menyadari seberapa sering kita bertemu dengan pajak pada kehidupan sehari-hari. Pada nyatanya, produk yang biasanya kita pakai saat ini, Spotify dan Netflix, telah dikenai dengan PPN. Nah, sekarang apakah kamu sudah dapat mengidentifikasikan perbedaan dari PPh dan PPN?

Sumber gambar header: Pixabay.

Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Terutang Karyawan

Bagaimana cara menghitung PPh terutang karyawan? Sebagai owner bisnis, terutama bisnis skala menengah, Anda perlu mengetahui cara menghitung pajak penghasilan terutang karyawan.

Pada bisnis besar, perhitungan PPh karyawan ini menjadi tanggung jawab HR. Namun, pada beberapa bisnis skala kecil dan menengah, kewenangan ini masih milik owner.

Sebelum masuk ke cara menghitung pajak penghasilan karyawan, apakah Anda sudah tahu apa itu PPh terutang? Jika belum, simak rangkumannya berikut ini.

Pengertian PPh Terutang

 

cara menghitung pph terutang
Sumber: Pixabay

 

Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan kepada suatu badan atau individu atas penghasilan yang diterima selama satu tahun.

Sedangkan, pajak penghasilan (PPh) terutang adalah pajak yang wajib dibayarkan oleh WP badan atau WP pribadi kepada negara.

Pajak penghasilan terutang ini juga memiliki Undang-Undang yang mendasarinya. Dasar hukum ini juga penting untuk Anda ketahui. Berikut ini adalah Undang-Undang Perpajakan yang mendasari pajak terutang:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Terutang Karyawan

Terdapat dua cara untuk menghitung pajak penghasilan terutang, yakni menghitung PPh orang pribadi atau menggunakan metode nett. Di bawah ini akan disampaikan rumus menghitung PPh terutang untuk masing-masing cara.

Rumus Menghitung Pajak Penghasilan Terutang Orang Pribadi

Perhitungan PPh terutang orang pribadi ini telah diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17. Dalam UU tersebut, persentase pajak tergantung dari penghasilan masing-masing pribadi yang sudah memiliki NPWP dengan ketentuan sebagai berikut:

  • 5% untuk penghasilan kena pajak untuk penghasilan hingga Rp.50.000.000,- per tahun.
  • 15% untuk penghasilan kena pajak Rp.50.000.000,- hingga Rp.250.000.000,- per tahun.
  • 25% untuk penghasilan kena pajak Rp.250.000.000,- hingga Rp.500.000.000,- per tahun.
  • 30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp.500.000.000,- per tahun.

Kemudian, untuk orang pribadi yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan pajak 20% lebih tinggi dari tarif pajak di atas.

Menghitung PPh Terutang dengan Metode Nett

Metode ini digunakan apabila perusahaan menanggung pajak karyawan. Sehingga, gaji yang diterima oleh karyawan merupakan gaji bersih yang telah dipotong pajak.

Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh karyawan dengan gaji bersih sebesar Rp.11.000.000,- per bulan dengan metode nett:

Gaji pokok setahun = Rp.11.000.000 x 12 bulan = Rp.132.000.000

Biaya jabatan setahun = 5% x Rp.11.000.000 x 12 bulan = Rp.6.600.000

Penghasilan neto = Rp.132.000.000 – Rp.6.600.000 = Rp.125.400.000

Penghasilan kena pajak = Penghasilan neto setahun – pendapatan tidak kena pajak (PTKP) TK/0

Penghasilan kena pajak = Rp.125.400.000 – Rp.54.000.000 = Rp.71.400.000

(Jumlah pajak penghasilan > Rp.50.000.000)

PPh terutang setahun = (5% x Rp.50.000.000) + (15% x Rp.21.400.000) = Rp.5.710.000

Potongan pajak karyawan per bulan = Rp.5.710.000 : 12 bulan =  Rp.475.833

Demikian informasi mengenai cara menghitung PPh terutang karyawan. Semoga informasi di atas dapat membantu Anda dalam menghitung pajak penghasilan terutang karyawan dengan mudah.

Header by Pixabay.com

Hadirkan Pelaporan Pajak Melalui Aplikasi, Sleekr Resmikan Kemitraan dengan OnlinePajak

Hari Selasa, (29/8), platform SaaS HR Sleekr meresmikan kolaborasi dengan OnlinePajak. Sebelumnya informasi ini sudah disebutkan Founder dan CEO Sleekr Suwandi Soh di sebuah kesempatan, tapi peresmiannya baru dilakukan saat ini. Dalam acara penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) ini, turut hadir Direktur OnlinePajak Charles Guinot.

Kepada media, Suwandi mengungkapkan fitur terbaru yang bisa dinikmati dalam platform HR dan akunting tersebut memudahkan korporasi dan UMKM melakukan penghitungan pajak karyawan dan pajak lainnya berdasarkan sistem yang tersedia dalam aplikasi Sleekr. Selanjutnya, dengan integrasi secara langsung dengan OnlinePajak, laporan pajak bisa segera dilakukan.

“Fitur pajak dalam Sleekr ini merupakan feedback yang kami dapatkan dari klien kami. Dengan alasan itulah pada akhirnya Sleekr melakukan integrasi data dengan Online Pajak.”

Pelaporan PPh dan PPN

Dengan beberapa langkah mudah, semua proses penghitungan hingga pelaporan pajak PPh 21 dan PPN di perusahaan yang biasanya menyita waktu bisa diselesaikan secara otomatis hanya dalam waktu 5 menit saja menggunakan teknologi Application Programming Interface (API) antara Sleekr dan OnlinePajak. Kemudahan dan fleksibilitas ini memungkinkan bisnis dengan skala yang masih kecil bisa dengan mudah melaporkan kewajiban pajak.

“Hingga kini saya melihat hanya korporasi skala besar saja yang sudah rutin melaporkan pajak karyawan dan perusahaannya, sementara untuk pelaku bisnis UKM dan sejenisnya masih sedikit yang melaporkan pajak,” kata Charles.

Salah alasan mengapa masih sedikit pelaku UKM dan pemilik usaha skala kecil melaporkan pajak, menurut Charles, karena masih belum ada kejelasan serta minimnya edukasi tentang jenis usaha dan tipe pajak yang sesuai. Dengan adanya fitur dari Sleekr yang telah terintegrasi dengan data OnlinePajak, diharapkan kesulitan tersebut bakal terjawab.

Perjanjian kerja sama integrasi API ini memungkinkan para pengguna aplikasi Sleekr melakukan impor data transaksi keuangan dan data karyawan, yang berhubungan langsung dengan perpajakannya, ke aplikasi OnlinePajak agar dapat melakukan hitung, setor, dan lapor pajak online.

Bantu pemerintah tingkatkan kepatuhan pajak

Selama ini Sleekr telah melakukan kemitraan startegis dengan beberapa startup yang bertujuan untuk memberikan layanan lebih kepada kliennya. Peresmian kemitraan Sleekr dengan Online Pajak ini diharapkan merangkul lebih banyak klien baru.

“Sleekr dan OnlinePajak berharap dengan adanya integrasi ini dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dari perusahaan, terutama UKM, di Indonesia. Sleekr tentunya akan terus mengembangkan layanannya guna mendukung perkembangan bisnis UKM di Indonesia agar semakin dapat memberikan nilai-nilai positif di masa yang akan datang,” jelas Suwandi.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Penjelasan Kewajiban Pendirian Bentuk Usaha Tetap bagi Perusahaan Teknologi Asing

Menjelang akhir Februari lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) memastikan bahwa kementeriannya akan mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban pembentukan bentuk usaha tetap bagi para pelaku usaha asing yang menyediakan konten aplikasi internet yang populer (over-the-top atau OTT) dan beroperasi di Indonesia, seperti Facebook, WhatsApp, dan Netflix. Tujuan utama dari peraturan ini adalah penertiban para pengusaha OTT asing yang meraih keuntungan dari kegiatan usahanya di Indonesia, khususnya penertiban di bidang pemasukan pajak dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.

Penjelasan peraturan Pajak Penghasilan (PPh)

Kerangka pajak penghasilan (“PPh”) sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPh”).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang digunakan oleh:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; dan
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia;
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Dalam penjelasan pasal di atas dijelaskan bahwa bentuk usaha tetap menandakan adanya suatu tempat usaha bagi usaha orang atau badan luar negeri tersebut. Tempat usaha ini tidak melulu terpatok pada bangunan, tapi juga berbagai fasilitas terkait yang digunakan dalam menjalankan suatu usaha, seperti peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui Internet sebagaimana relevan dalam pembahasan artikel ini.

Singkat kata, bentuk usaha tetap merujuk pada tempat dan fasilitas usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, objek pajak penghasilan bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh, seperti dividen, royalti, dan imbalan jasa, yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

[Baca juga: Tanpa Badan Usaha Tetap di Indonesia, Layanan OTT Bakal Diblokir]

Sekilas, objek pajak penghasilan yang disebutkan pada huruf b dan c di atas adalah serupa. Namun, contoh berikut diharapkan dapat memudahkan pemahaman atas perbedaan kedua jenis objek pajak penghasilan tersebut.

Contoh untuk penghasilan yang dimaksud dalam huruf (b) adalah:

Sebuah bank asing di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia, namun bank tersebut memberikan pinjaman secara langsung kepada perusahaan di Indonesia, langsung dari banknya yang berdomisili asing, bukan melalui bentuk usaha tetap yang ada di Indonesia, padahal pinjaman tersebut merupakan salah satu produk yang juga disediakan oleh bentuk usaha tetap dari bank asing yang bersangkutan.

Sedangkan untuk contoh penghasilan pada huruf (c) adalah:

Perusahaan asing A mengadakan perjanjian lisensi merek dengan perusahaan asing B dan bentuk usaha tetap dari perusahaan asing A membantu perusahaan asing B dalam memasarkan produk dari merek yang dilisensikan perusahaan A tersebut.

Penjelasan peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Selain pajak penghasilan, pemerintah juga berharap untuk dapat menertibkan pemasukan dari pajak pertambahan nilai terkait pengusaha OTT asing. Kerangka peraturan pajak pertambahan nilai (“PPN”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPN”).

Pada dasarnya, objek pajak pertambahan nilai dari bentuk usaha tetap adalah setiap barang dan/atau jasa kena pajak yang diserahkan ataupun dimanfaatkan oleh bentuk usaha tetap di wilayah Indonesia. Sebagai tambahan informasi, kebocoran pemasukan dari pajak pertambahan nilai inilah yang menjadi salah satu pendorong kuat wacana Menkominfo untuk mewajibkan pengusaha OTT asing sebagai wajib pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap. Pasalnya, nilai usaha iklan digital para pengusaha OTT asing tersebut bisa mencapai nilai ratusan juta Dolar Amerika Serikat dan pemerintah tidak mendapatkan apapun dari jumlah tersebut.

Terkait dengan obyek pajaknya, UU PPN tidak menjelaskan secara khusus untuk setiap barang dan/atau jasa yang dapat dikenai pajak, namun Pasal 4A ayat (2) dan (3) UU PPN justru memberikan patokan barang dan/atau jasa yang tidak dapat dikenai pajak pertambahan nilai.

Barang-barang yang tidak dapat dikenai pajak, meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (termasuk makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, serta makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering) dan barang berupa uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sedangkan jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai meliputi jasa-jasa yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti jasa-jasa di bidang pelayanan kesehatan, sosial, keuangan, asuransi, pengiriman surat dengan perangko, pendidikan, keagamaan, penyiaran yang tidak bersifat iklan, kesenian dan hiburan, jasa penyediaan tempat parkir, dan lainnya.

Selanjutnya mengenai status bentuk usaha tetap, Pasal 2 ayat (2) UU PPh mengatur bahwa perlakuan pajak bagi subjek pajak bentuk usaha tetap dipersamakan dengan perlakuan terhadap wajib pajak badan dan oleh karenanya prosedur perolehan status sebagai bentuk usaha tetap pun dipersamakan dengan prosedur perolehan status sebagai wajib pajak badan, sebagaimana diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah beberapa kali dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Kesimpulan

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa wacana untuk mewajibkan pengusaha OTT asing membuka bentuk usaha tetap di Indonesia memang didasari oleh tujuan yang sangat ideal.

Namun, pemerintah jelas wajib melakukan lebih banyak diskusi yang melibatkan seluruh stakeholder mengenai baik buruknya pemberlakuan kewajiban bentuk usaha tetap ini dalam rangka menghindari dampak negatif berupa turunnya minat para pengusaha OTT asing untuk beroperasi di Indonesia. Selanjutnya, hasil diskusi tersebut juga diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai ketentuan pelaksanaan atas peraturan Menkominfo tersebut kelak, mengingat bidang usaha ini merupakan bidang yang masih baru dan sulit untuk ditentukan standarnya karena cakupannya yang tak terbatas.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.