Review Black Shark 3: Smartphone Investasi Calon Pemain Esports

Rilis secara global pada Maret 2020 lalu, smartphone gaming Xiaomi Black Shark 3 akhirnya resmi hadir di Indonesia pada bulan Mei 2020 lalu. Walaupun memiliki spesifikasi tinggi, segudang fitur, dan aksesori yang ditawarkan, kehadiran smartphone gaming kadang masih dipertanyakan.

Pemasukan industri mobile game memang sudah mencapai Rp540 triliun, tapi apakah smartphone gaming benar dibutuhkan oleh para pengguna? Apakah smartphone flagship saja tidak cukup digunakan untuk gaming? Lalu seberapa jauh smartphone gaming bisa memberikan pengalaman terbaik, dan memuaskan para gamers?

Setelah mengulas laptop dan built-in desktop, kali ini saya berkesempatan melakukan review terhadap smartphone gaming Xiaomi Black Shark 3. Unit yang saya review sendiri adalah varian Black Shark 3 biasa dengan konfigurasi RAM/ROM 8/128. Dibanderol dengan harga Rp9.999.000, apakah smartphone gaming ini benar layak dibeli untuk mobile gamers atau mungkin mereka yang bercita-cita jadi bintang esports?

 

Gaming Experience dan Performa

Seperti sebelum-sebelumnya, saya mencoba untuk lebih to the point dalam melakukan review. Berhubung Black Shark 3 adalah smartphone gaming, mari kita kesampingkan dahulu soal pengalaman penggunaan smartphone ini untuk sehari-hari dan fokus kepada alasan kenapa smartphone ini ada yaitu untuk gaming. Tetapi sebelum memulai review, simak dulu spesifikasi teknis dari Xiaomi Black Shark 3.

  • SOC – Qualcomm Snapdragon 865
  • CPU – Octa-core (1×2.84 GHz Kryo 585 & 3×2.42 GHz Kryo 585 & 4×1.80 GHz Kryo 585)
  • GPU – Adreno 650
  • RAM 8 GB
  • Internal 128 GB GB
  • Layar – AMOLED 6,67″ 2400×1080 90Hz
  • Dimensi – 168.7 x 77.3 x 10.4 mm
  • Bobot  – 222 g
  • Baterai – Li-Po 4720 mAh Fast Charging 65W
  • OS – Android 10 JOYUI 11

Untuk menguji kemampuan gaming dari Black Shark 3, saya menggunakan beberapa game mobile yang mungkin tidak baru, tapi saya rasa masih cukup demanding secara hardware di tahun 2020. Game tersebut adalah PUBG Mobile, Call of Duty Mobile, Fortnite, Asphalt 9, dan Arena of Valor. Dari baterai 100%, saya memainkan game tersebut secara satu per satu, sambil menangkap performa grafis, stabilitas, serta suhu smartphone. Bagaimana hasilnya? Secara singkat, pengalaman bermain game di Black Shark 3 berhasil membuat saya jadi merasa ingin meninggalkan komputer dan terus-terusan main di smartphone saja. Lebih lanjut berikut penjelasannya.

Black Shark 3 dapat menjalankan PUBG Mobile dengan pengaturan grafis Smooth dengan frame rate 90 fps, atau kualitas grafis Ultra HD dengan frame rate Ultra. Keduanya bisa berjalan dengan sangat mulus dan stabil pada Black Shark 3. Pada pengaturan grafis Ultra HD dan frame rate Ultra (40 fps maksimal), game berjalan cukup stabil di sekitaran maksimum Frame Rate yang diperkenankan. Dengan fitur Performance Monitor yang disediakan oleh JOYUI 11, tercatat bahwa penurunan fps paling jauh hanya sampai titik 38 fps saja. Namun memainkan PUBG Mobile membuat smartphone cukup hangat yaitu 38,5 derajat celsius pada suhu baterai.

Berganti ke pengaturan Smooth-90 fps, stabilitas performa Black Shark 3 juga terjaga dengan sangat baik. Kebetulan saya hampir mendapat Chicken Dinner ketika sedang menguji kemampuan Black Shark 3 dengan menggunakan pengaturan Smooth-90 fps. Hasilnya? Dari awal sampai akhir, permainan berjalan dengan sangat lancar dan hampir tanpa stuttering. Suhunya juga cenderung lebih rendah, yaitu 36,1 derajat celisius pada suhu baterai.

Berlanjut ke Call of Duty Mobile, game tersebut bisa berjalan hingga Graphic Quality Very High, Frame Rate Max (maksimum 60 fps), dengan fitur grafis tambahan seperti Depth of Field, Bloom, Real-Time Shadow, Ragdoll, dan Anti-Aliasing menyala. Mungkin Call of Duty Mobile terbilang lebih ringan jika dibanding PUBG Mobile. Saya bermain dua kali Team Deathmatch, hasilnya adalah game berjalan dengan mulus, dan suhu baterai ada di 38,2 derajat celsius.

Mencoba Fortnite, Epic Games sepertinya belum mengoptimasi game tersebut pada smartphone Android secara umum. Hasilnya Fortnite cuma bisa berjalan pada pengaturan 30 fps saja di Black Shark 3; walaupun saya cukup yakin Snapdragon 865 harusnya bisa menjalankan Fortnite dalam 60 fps. Terlepas dari itu, saya masih bisa memaksimalkan Quality Preset menjadi Epic dan 3D Resolution hingga 100%. Berhubung tidak ada server Asia Tenggara, jadi saya bermain dengan sedikit lag jaringan. Terlepas dari itu, Fortnite berjalan dengan stabil walau saya sebenarnya kurang puas dengan frame rate 30 fps saja. Suhu baterai ketika memainkan Fortnite adalah 37,5 derajat celsius, cenderung tidak melenceng terlalu jauh dari suhu rata-rata.

Asphalt 9 juga mampu dijalankan dengan pengaturan grafis maksimal, yaitu Visual Quality High dan 60 fps Enabled. Walau demikian, Asphalt 9 tidak bisa berjalan dengan sepenuhnya stabil. Game balap besutan Gameloft tersebut sempat mengalami frame drop hingga berada di angka 26 fps. Frame rate juga tidak selalu stabil di 60 fps, kecuali dalam kondisi minim efek-efek grafis. Jika Anda menghadapi lompatan atau adu tabrak dengan mobil lain, frame rate kadang-kadang bisa turun jadi sekitar 40an fps. Tapi saya cenderung masih merasa nyaman memainkan Asphalt 9, walau ada frame drop seperti demikian. Suhu baterai ketika memainkan Ashpalt 9 adalah 38,2 derajat celsius, lumayan membuat tangan saya jadi lebih hangat.

Selanjutnya Arena of Valor. Awalnya saya merasa game ini punya grafis yang cukup berat, karena visual megah yang disajikan. Grafis saya atur rata kanan, mulai dari HD Display, Display Quality, sampai Particle Quality. Saya juga tidak lupa menyalakan High Frame Rate Mode, dan Dynamic Cloud Shadow agar kualitas gambar jadi semakin ciamik. Setelah dimainkan, Arena of Valor ternyata tidak berhasil membuat Black Shark 3 kerja terlalu keras. Game berjalan stabil 60 fps, dan hampir tanpa ada frame drop ataupun stuttering. Suhu baterai cenderung rendah, yaitu 36,6 derajat celsius, masih adem di tangan.

Setelah kurang lebih sekitar 2 jam saya mencoba semua game tersebut, baterai Black Shark 3 yang memiliki kapasitas 4720 mAh tersebut berkurang dari awalnya 100% menjadi tinggal 39% saja. Cukup takjub dengan hasil yang diperoleh tersebut. Kalau melakukan skenario yang sama pada Pocophone F1 yang sudah sekitar 2 tahun saya gunakan, baterai mungkin jadi tinggal sisa 20% saja.

Hasil benchmark menggunakan Antutu setelah 3 kali percobaan. Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Hasil benchmark menggunakan Antutu setelah 3 kali percobaan. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Setelah mencobanya untuk bermain game, saya lalu menguji performa Black Shark 3 dengan menggunakan Antutu Benchmark. Total Score tertinggi yang saya dapatkan adalah sebesar 570.168. Merupakan skor yang cukup tinggi, walau masih kalah jika dibandingkan dengan ROG Phone 3 yang memiliki Total Score sebesar 615.289, mengutip dari laman resmi Antutu Benchmark.

 

Shark Space dan Fitur Gaming Lainnya

Selain performa, nilai jual lain dari sebuah smartphone gaming adalah fitur-fiturnya yang fokus kepada gamers. Untuk itu, saya lalu mencoba beberapa fitur-fitur gaming unggulan yang ada di Black Shark 3. JOYUI 11 memiliki beberapa fitur yang fokus kepada segmen gaming. Secara garis besar fitur yang tersedia adalah Gamer Studio dan Shark Space. Di dalam fitur tersebut, masih ada fitur-fitur lain lagi yang akan kita bahas selanjutnya.

Jika Anda adalah pengguna MIUI 11, Anda mungkin tahu fitur Game Turbo. Secara singkat, fitur Gamer Studio dan Shark Space sebenarnya mirip dengan Game Turbo namun dengan lebih banyak opsi pengaturan. Secara default, Gamer Studio dapat diaktifkan dengan menggunakan gesture swipe dari pojok kanan atau kiri atas. Setelahnya akan keluar tampilan seperti Notification Bar yang berisikan berbagai pengaturan untuk kebutuhan gaming Anda.

Gamer Studio berisikan berbagai pengaturan, mulai dari yang paling mendasar seperti mengatur level suara atau brightness, sampai yang lebih advanced seperti Master Touch, Edge Anti-Mistouch, Master Touch, Touch Adjustment, Shark Time, Performance Monitor, bahkan Anda bisa melakukan semacam “mini-overclock” dalam Gamer Studio.

Dari fitur-fitur yang ada di Gamer Studio, yang paling saya gunakan tentunya fitur Performance Monitor (ya iya dong, kan untuk benchmark… Hehe). Tapi selain itu, saya masih merasa belum ada satu fitur pun dalam daftar tersebut yang membuat saya sreg menggunakannya.

Master Touch memungkinkan Anda menekan layar bagian kiri dan/atau kanan, dan membuatnya sebagai tambahan input ketika bermain game. Posisi tambahan input bisa Anda atur sesuka hati, sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan Anda. Selain itu, level tekanan juga diatur, dan ada Vibration Feedback yang akan memberi efek getar jika tekanan ke layar masuk menjadi input.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya mencoba menggunakannya pada PUBG Mobile, namun masih belum menemukan cara penggunaan ternyaman. Master Touch kiri saya atur untuk menembak, sementara Master Touch kanan saya gunakan untuk mengaktifkan ADS atau membidik. Hasilnya saya malah kelimpungan ketika bertemu musuh. Saya jadi kagok, apakah harus tekan layar atau touch ke tombol yang sudah saya set sebelumnya. Kebetulan saya adalah tipe pemain yang menggunakan Gyroscope dan mengaktifkan scope dengan cara Hold.

Mungkin karena itu, saya cenderung kesulitan ketika ingin menembak dengan menggunakan Master Touch. Setelah menekan, saya harus menahan tingkat tekanan tersebut di layar sebelah kanan. Kalau pertempuran sedang panas, saya malah lupa menekan layar, sehingga bidikan scope saya jadi lepas.

Mungkin karena saya terlalu terbiasa menggunakan touch untuk gaming di smartphone, membuat saya merasa fitur Master Touch justru cuma menambah kerepotan saja. Saya merasa bahwa dalam baku tembak tempo cepat, touch cenderung lebih efisien dibandingkan menekan. Tapi juga perlu diingat, saya baru mencoba fitur tersebut dalam skenario bermain PUBG Mobile saja.

Fitur berikutnya, Shark Time, memperkenankan pengguna merekam highlight singkat permainan, sampai dengan durasi 30 detik. Setelah diaktifkan di Gamer Studio, Shark Time akan muncul dalam bentuk tombol kecil yang bisa Anda pindah-pindah, mirip seperti aplikasi Screen Recorder pada tampilan antar-muka MIUI. Secara teori, fitur ini akan membantu Anda menangkap momen-momen penting di dalam permainan, entah itu clutch adu tembak 1 vs 5 dalam game shooter atau momen Penta Kill ketika bermain MOBA.

Masalahnya ketika sudah fokus bermain, kita tidak akan tahu kapan momen itu datang, karena Clutch atau Penta Kill tidak bisa disiapkan. Alhasil, saya yang terlanjur fokus bermain jadi lupa menyentuh tombol Shark Time, sehingga momen penting permainan saya jadi tidak terdokumentasikan. Mungkin akan lebih bagus jika Shark Time bisa merekam dan memilih momen secara otomatis seperti fitur NVIDIA Highlight gitu?

Fitur-fitur lain seperti Anti-Mistouch, Touch Adjustment, atau Performance Adjustment juga terbilang kurang terpakai secara maksimal. Kenapa? Karena dengan pengaturan default dan tanpa ada tweak di sana dan sini, gaming di Black Shark 3 sebenarnya sudah nyaman. Kontrol touch baik-baik saja, walaupun saya tidak mengaktifkan Anti-Mistouch dan Touch Adjustment. Jarang ada momen salah input, walaupun dua fitur tersebut tidak saya gunakan. Tanpa Performance Adjustment, kemampuan gaming Black Shark 3 juga sudah mumpuni, seperti yang saya bahas pada bagian sebelumnya.

Namun demikian, Performance Adjustment sebenarnya bisa jadi berguna, terutama jika Anda ingin bisa bermain game lebih lama lagi. Selain bisa meningkatkan performa, Performance Adjustment juga bisa menurunkan performa. Jadi jika Anda ingin hemat baterai, dan mendapat suhu yang lebih adem, Anda bisa melakukan “underclock” atau menurunkan tingkat utilisasi CPU.

Fitur Shark Space justru menjadi keunikan bagi Black Shark 3. Fitur ini dapat Anda aktifkan dengan cara menjentikkan tombol yang ada di kiri bawah smartphone. Setelahnya Black Shark 3 akan membuka Shark Space, dan hanya menampilkan game yang ter-install saja. Secara umum, tampilan Shark Space mirip-mirip dengan tampilan antar-muka konsol game. Saya merasa fitur ini yang membuat Black Shark 3 benar-benar semakin terasa seperti smartphone gaming.

Shark Space seakan ingin aktivitas produktivitas, dipisah dengan aktivitas gaming. Jadi bila Anda sedang membutuhkan Black Shark untuk kebutuhan produktivitas seperti membalas chat, email, atau pekerjaan lainnya, Anda bisa menikmati tampilan JOYUI 11 yang punya dengan tampilan antar-muka seperti MIUI pada kebanyakan smartphone Xiaomi.

Sementara bila sudah memasuki waktu gaming, jentikkan Shark Button, dan voila! Black Shark 3 akan menjadi mobile gaming console yang akan menyembunyikan notifikasi chat, email, dan aplikasi-aplikasi lainnya untuk sementara waktu.

Shark Space juga memiliki Observer Mode yang akan mematikan fungsi telepon, sehingga Anda tidak akan terganggu selama gaming dengan menggunakan konektivitas mobile data. Observer Mode sepertinya agak sedikit ekstrim, jadi pastikan Anda benar-benar sedang tidak dicari oleh siapapun, baik itu pacar, bos, driver delivery makanan, atau tukang tagih hutang ketika ingin menyalakan fitur tersebut.

 

Desain

Oke, setelah panjang lebar membahas soal kemampuan gaming si Black Shark 3, mari kita beralih ke hal-hal fundamental dari sebuah smartphone. Dari sisi depan, Black Shark 3 mengusung rancangan layar Full Screen Display dengan screen-to-body ratio 82,4%. Rancangan tersebut berarti layar tampil penuh, tanpa ada gangguan notch, waterdrop, atau punchhole. Sebagai pengganti, Black Shark 3 memiliki bezel atas dan bawah yang cenderung lebih tebal dibanding rancangan Full Screen Display lainnya, untuk menempatkan kamera depan.

Berpindah ke bagian belakang, Black Shark 3 yang saya review memiliki warna hitam yang sangat elegan dan khas gaming. Pada bagian atas dan bawah, ada sebuah bump atau tonjolan berbentuk diamond, yang bersifat simetris. Bump atas berisikan 3 kamera, dan bump bagian bawah berisi magnetic charging contacts, yang bisa dipasangkan dengan aksesori charger magnetic. Untuk menambah kesan gaming, Xiaomi tidak lupa menambah RGB lighting dengan logo “S” khas Black Shark, yang secara default mengeluarkan cahaya warna hijau. Selain hal yang saya sebut, tidak ada hal lain lagi di bagian belakang Black Shark 3. Fingerprint scanner sudah diletakkan ke bawah layar di bagian depan, sehingga bagian belakang smartphone jadi lebih rapi.

Beralih ke bagian sisi, Black Shark 3 dibalut oleh alumunium metal frame yang membuat Black Shark 3 terasa sangat kokoh ketika dipegang. Pada bagian kanan ada tombol power dan Shark Button, yang diaktifkan dengan cara dijentik, mirip seperti ring/silent mode button pada Apple iPhone. Sementara itu di bagian kiri ada tombol Volume Up/Down dan sim-card tray.

 

Display

Mengutip dari laman spesifikasi resmi, Black Shark 3 memiliki layar AMOLED sebesar 6,67 inci dengan rasio 20:9, resoulsi 2400 x 1080, refresh rate 90Hz, dan kepadatan pixel sebesar 394 PPI. Sejauh saya menggunakan Xiaomi Black Shark 3, saya merasa reproduksi warna yang dihasilkan sudah cukup. Ketika digunakan untuk gaming, saya pun merasa warna yang dikeluarkan sudah cukup cerah sehingga memudahkan saya untuk menemukan musuh-musuh yang bersembunyi di PUBG Mobile.

Memiliki tingkat kecerahan sebesar 500nit, Black Shark 3 terbilang cukup nyaman digunakan dalam kondisi terik matahari walau kecerhannya agak kalah dengan cahaya matahari. Untungnya JOYUI 11 menyematkan fiitur DSP display Enhancement dan Sun Screen, yang akan meningkatkan kontras warna, sehingga layar tetap jelas walau dalam kondisi terik matahari.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Walaupun Black Shark 3 adalah smartphone gaming, namun Xiaomi masih tidak lupa menyematkan fitur always-on display dalam JOYUI 11. Berkat fitur ini, Black Shark 3 dapat menampilkan waktu, tanggal, serta informasi baterai walaupun sedang dalam keadaan tertidur. Ketika smartphone di angkat, Black Shark 3 secara otomatis menampilkan ikon fingerprint, yang memudahkan Anda untuk unlock smartphone.

Refresh rate 90Hz tak hanya bagus untuk gaming, tetapi juga bagus dalam membuat membuat animasi demi animasi saat smartphone dioperasikan terlihat lebih mulus. Namun demikian, selain untuk sehari-hari, tingkat utilisasi layar 90Hz untuk gaming cenderung sangat rendah. Sampai saat ini belum ada game yang dapat dijalankan lebih dari 60 fps, kecuali PUBG Mobile yang baru saja merilis frame-rate 90 fps. Tambahan lainnya soal refresh rate 90Hz, saya jadi merasa video YouTube 60 fps berjalan lebih mulus. Entah benar atau tidak, mungkin hanya perasaan saya saja.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Fitur lain dari display Black Shark 3 adalah 270Hz touch reporting rate, yang katanya membuat setiap input yang dilakukan jadi lebih minim delay. Tapi jujur saja, saya sendiri tidak merasakan perbedaan yang signifikan dibanding dengan smartphone lain, ketika menggunakan touchscreen display Black Shark untuk gaming.

 

Daya Tahan Baterai

Black Shark 3 memiliki baterai sebesar 4720 mAh Dual Battery. Pada saat pengujian gaming, saya sudah sedikit membahas bagaimana baterai Black Shark berkurang dari 100% ke 39% setelah sekitar 2 jam bermain game secara intensif.

Agar lebih teruji, saya lalu melakukan pengujian daya tahan baterai Black Shark dengan cara menyetel video YouTube HD 1080p yang sudah saya download secara berulang-ulang, dari baterai 100% hingga tersisa 20%. Hasilnya, Black Shark 3 bisa bertahan selama 8 jam lebih (tepatnya 8 jam 16 menit 55 detik screen time on).

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
(dari kiri ke kanan), screen on time, durasi smartphone menyalah setelah di charge, dan hasil baterai setelah 2 jam 59 menit digunakan untuk gaming intensif. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Jika daya tahan baterai Black Shark 3 sudah membuat berhasil membuat kagum, Anda mungkin bisa lebih kagum lagi ketika mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk charging. Laman resmi mengatakan bahwa Black Shark 3 memiliki 65W Hyper Charge dan bisa charging sampai 50% dalam 12 menit, atau 100% dalam 38 menit.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
(dari kiri ke kanan) perkiraan proses charge dari 21% hingga 80  menurut AccuBattery, besar arus listrik yang masuk menurut Ampere, dan catatan proses charging menurut AccuBattery. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Untuk menguji hal tersebut, saya lalu mencoba melakukan charging dari 20% hingga 99% dengan menggunakan charger bawaan. Memulai charging dari 20% pada pukul 17:32, Black Shark 3 sudah terisi penuh 99% pada pukul 18:06 (20 – 99% dalam 36 menit). Selain display dan fitur tambahan yang disajikan, saya juga merasa ketangguhan serta durasi charging baterai, membuat Black Shark 3 pantas mengemban gelar sebagai smartphone gaming. Kenapa? Karena dari catatan waktu tersebut, Anda jadi bisa bermain game dengan lebih lama.

 

Kamera

Black Shark 3 memang dijual dengan titel smartphone gaming, tetapi saya merasa kamera yang disematkan di dalamnya cukup mumpuni. Black Shark 3 mengusung desain triplecamera yang terdiri dari: Kamera utama 16MP dengan bukaan lensa f/1.8, kamera wideangle 13MP dengan bukaan lensa f/2.25, dan kamera ketiga 5MP dengan depthsensor dan bukaan lensa f/2.2.

Dalam kondisi outdoor dan pencahayaan cukup, Black Shark 3 bisa menghasilkan foto yang tajam, walau reproduksi warnanya terbilang agak kurang. Terlepas dari itu, melakukan foto pada keadaan outdoor dengan fitur auto terbilang berjalan sangat mulus. Keluarkan smartphone, buka aplikasi kamera, cekrek! Hasilnya langsung seperti contoh foto-foto outdoor yang saya ambil.

Dalam kondisi indoor dan pencahayaan cukup, pengalaman mengambil foto juga terbilang masih mirip seperti saat berada di dalam kondisi outdoor. Anda bisa lihat sendiri gambar bagian depan outletoutlet mall yang saya ambil, begitu tajam, dengan tingkat exposure foto yang merata.

Namun demikian, pengambilan gambar menjadi masalah jika berada di dalam pencahayaan yang kurang. Saya mencoba mengambil foto bagian depan sebuah restoran pada malam hari. Hasilnya seperti yang Anda lihat, ada over-exposure pada pencahayaan nama restoran yang saya foto. Untungnya masalah tersebut bisa sedikit diobati dengan menggunakan Night Mode sehingga exposure foto jadi lebih merata.

Kamera depan dengan resolusi 20MP, dan bukaan lensa f/2.2, juga terbilang bisa menghasilkan foto yang cukup. Memang ada over-exposure jika Anda melakukan selfie pada kondisi cahaya berlebih. Terlepas dari itu, saya suka sekali dengan fitur Potrait Mode, yang menghasilkan foto bokeh, dengan processing yang sangat rapi.

 

Apakah Xiaomi Black Shark 3 Layak Untuk Dibeli?

Memiliki banderol harga Rp9.999.000 untuk varian RAM/ROM 8/128, saya merasa ada beberapa hal dan kondisi yang membuat Black Shark 3 jadi layak dibeli. Jika Anda punya keinginan untuk menjadi pemain esports game mobile, saya merasa Black Shark 3 dapat menjadi investasi jangka panjang yang layak untuk Anda beli.

Ada beberapa alasan kenapa Black Shark 3 jadi investasi yang bagus bagi calon pemain esports game mobile. Salah satunya adalah refresh-rate 90Hz . Walau saat ini baru PUBG Mobile saja yang bisa menjalankan 90 fps, tidak menutup kemungkinan akan ada lebih banyak game dengan refresh-rate di atas 60 fps untuk mobile platform di masa depan. Performa Xiaomi Black Shark 3 juga patut diacungi jempol dengan stabilitas performa dan suhu yang baik. Terakhir, daya tahan baterai 4720mAh dan kecepatan charge 65W Hyper Charge juga jadi alasan lain yang bisa membuat Anda “berlatih” game dengan durasi yang lebih lama.

Tapi, apakah Black Shark 3 cocok untuk dijadikan sebagai smartphone utama? Walau tidak sepenuhnya saya rekomendasikan, saya merasa tidak ada salahnya, apalagi jika Anda memang suka bermain mobile game di waktu sengang.

AMOLED Display yang diberikan membuat Black Shark 3 jadi enak dipandang. Refresh rate 90Hz juga jadi nilai tambah Black Shark 3 secara umum, karena membuat animasi untuk operasional smartphone sehar-hari menjadi semakin terasa sedap. Apalagi dengan fitur Shark Space, Anda bisa memisahkan antara produktivitas dengan hobi gaming di waktu sengang. Kamera? Dengan banderol harga yang ditawarkan, saya merasa Black Shark 3 punya kamera yang sedikit kurang maksimal walau sudah cukup. Mungkin satu hal yang membuat Black Shark 3 kurang layak beli adalah desainnya secara, yang terlalu mencerminkan gaming dan belum tentu semua orang suka.

Review Lenovo Legion 5: Rancangan Mantap Dengan Jeroan yang Tanggung

Selama situasi pandemi jumlah pemain game di PC memang dikabarkan meningkat lebih pesat dibanding dengan pemain game mobil. Apalagi protokol Physical Distancing dan himbauan untuk di rumah saja mungkin akan membuat Anda bosan setengah mati, jika Anda tidak memiliki sebuah perangkat untuk sarana hiburan atau produktivitas.

Dari sisi desktop, saya sudah sempat mengulas Acer Nitro N50-110, yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk dibeli jika Anda adalah tipe pengguna yang tak mau repot. Lalu bagaimana dari laptop? Mengingat beberapa waktu lalu Lenovo baru meluncurkan lini produk laptop gaming terbaru, mungkin Anda bisa menjadikan produk tersebut sebagai pertimbangan.

Kebetulan beberapa waktu lalu saya dipinjami Lenovo Legion 5 untuk di-review. Jika Anda penasaran apakah laptop ini bisa memenuhi kebutuhan gaming dan produktivitas Anda, simak ulasan berikut dari saya.

 

Tampilan, Desain, dan Lenovo Legion 5 Secara Keseluruhan

Saat membahas desktop saya sengaja menempatkan soal performa di bagian pertama, karena faktor itu yang lebih esensial. Namun berhubung kali ini barang yang saya review adalah laptop, saya merasa bagian soal tampilan dan desain jadi penting karena bisa dibilang sebagai nilai jual utama juga dari sebuah laptop. Jajaran produk laptop “gaming” dari Lenovo ini membawa jargon “Stylish Outside, Savage Inside”. Alhasil, Lenovo Legion 5 dan IdeaPad Gaming 3 yang diluncurkan pada 25 Juni 2020 kemarin tersaji dengan penampilan yang minimalis, elegan, dan profesional.

Desainnya jadi alasan kenapa saya menggunakan tanda kutip saat menyebut laptop gaming. Karena tampilan luarnya membuat laptop ini sebenarnya jadi tidak terlihat seperti kebanyakan laptop gaming lainnya.

Oh iya, sebelum lebih lanjut membahas soal tampilan, saya jelaskan dulu varian Lenovo Legion 5 dan IdeaPad Gaming 3 agar Anda tidak bingung. Lenovo Legion dan IdeaPad Gaming datang dengan dua varian. Lenovo Legion 5i menggunakan prosesor Intel, sementara Lenovo Legion 5 menggunakan prosesor AMD. IdeaPad Gaming juga sama, IdeaPad Gaming 3i menggunakan prosesor Intel, IdeaPad Gaming 3 menggunakan prosesor AMD. Unit yang saya review adalah Lenovo Legion 5, yang menggunakan prosesor AMD.

Secara penampilan, Lenovo Legion 5 tidak beda dari Lenovo Legion 5i, hanya jeroannya saja yang berbeda. Juga supaya Anda tidak bingung, berikut spesifikasi varian Lenovo Legion 5 yang saya review kali ini:

1- lenovo legion 5

Lanjut membahas tampilan, salah satu yang membuat saya merasa Lenovo Legion 5 tidak terlihat sebagai laptop gaming adalah warna hitam doff yang disebut sebagai “Phantom Black”. Seperti yang Anda tahu, laptop yang menggunakan embel-embel “gaming” biasanya tampil mencolok, entah dengan lampu RGB, warna-warna cerah, desain ala racing, atau gimmick tampilan lainnya.

Alih-alih menggunakan tampilan yang terkesan kekanak-kanakan, Lenovo Legion 5 malah tampil dewasa dan elegan. Warna tersebut dipermanis dengan logo Lenovo kecil yang nemplok di pojok kiri layaknya pembatas buku kecil, dan logo Legion di pojok kanan yang agak besar, namun tetap kalem dan minimalis. Dahulu logo ini menyala putih, kini diubah menjadi hanya bersifat iridescent, alias berubah warna saat terkena pantulan cahaya.

Oke, soal tampilan mungkin cukup segitu saja. Soal keyboard, mungkin jadi hal yang ingin saya bahas selanjutnya. Saat peluncuran, Lenovo gembar-gembor soal True Strike keyboard sebagai salah satu fitur unggulan. Hal ini membuat saya jadi penasaran dan bertanya “memangnya sebagus dan seenak apa sih True Strike keyboard?”

Ternyata setelah dicoba, saya bisa bilang bahwa keyboard Lenovo Legion 5 ini adalah yang paling enak dibanding dari kebanyakan keyboard laptop yang ada di pasaran. Saya sengaja bilang “enak” karena memang ini memang adalah pendapat subjektif. Seberapa enak? Ya cukup enak sampai membuat saya meninggalkan keyboard mekanik Anne Pro II yang menggunakan red switch, untuk pekerjaan menulis saya.

Bagaimana feel-nya? Solid, tactile, dan lembut. Setiap tombol yang ditekan terasa kokoh tapi luwes. Tombol yang ditekan akan langsung masuk menjadi input, tanpa ada perasaan goyang atau jiggly terhadap tombol yang ditekan. Setiap tombol dilapisi Anti-oil coating, yang juga memberi feel lembut ketika permukaan tuts keyboard disentuh.

Lalu apakah keyboard True Strike bagus? Untuk urusan produktivitas, keyboard ini bagus, karena punya layout full-size, dengan full-sized NumPad, tombol arrow, dan tombol F-row (F1-F12) yang cukup besar. Beberapa laptop gaming mungkin sudah menyediakan ini, tetapi menurut saya yang perlu diapresiasi adalah ukuran setiap tombolnya yang cukup besar sehingga sangat nyaman digunakan untuk urusan produktivitas kerja.

Untuk gaming juga bagus, karena keyboard ini sudah memiliki fitur N-Key Rollover (NKRO) dan anti-ghosting. Dengan dua fitur tersebut, artinya Anda bisa menekan sebanyak mungkin tuts keyboard dan semuanya akan masuk menjadi input. Untuk urusan gaming, NKRO dan anti-ghosting jadi penting, karena pemain kerap kali menekan keyboard dengan cepat, yang bisa menyebabkan apa yang keluar di game tidak sesuai dengan apa yang ditekan, jika keyboard tidak memiliki dua fitur tersebut.

Tapi apakah “enak” untuk gaming? Saya rasa cukup enak, tapi tingkat responnya masih kalah cepat jika dibandingkan dengan keyboard mekanik yang menggunakan red switch, terutama untuk urusan gaming kompetitif. Namun jika Anda main game secara casual saja, saya merasa keyboard laptop Legion Lenovo 5 ini sudah sangat cukup.

Kekurangan dari keyboard True Strike di Lenovo Legion 5 ini hanyalah tombol-tombol besar, seperti Enter dan Shift, yang cenderung terasa keras. Lagi-lagi, pendapat ini muncul, mungkin karena saya sudah terlalu terbiasa dengan keyboard mekanik red switch, yang memang sangat ringan ketika ditekan. Oh iya, laptop ini juga hanya memiliki backlight warna putih. Untuk saya, ini sih bukan kekurangan tapi mungkin akan jadi dealbreaker jika Anda adalah seorang penggila RGB.

Tampilan sudah, keyboard sudah, sekarang kita beralih ke I/O ports dan monitor. Anda mungkin sudah sempat melihat ulasan dari beberapa YouTuber dan melihat rancangan I/O port Lenovo Legion. Laptop ini meletakkan hampir semua colokan di bagian belakang.

Walau membuat meja jadi kelihatan bersih, namun tetap ada plus-minus terhadap rancangan seperti ini. Minus-nya adalah, Anda mungkin akan sulit setup laptop jika ukuran meja Anda tidak begitu besar. Rancangan ini jadi sulit untuk anak kosan seperti saya, yang harus terima nasib menggunakan meja kecil fasilitas kosan, namun punya banyak gadget tambahan yang dicolok ke laptop… Hehe.

Soal monitor, saya menggunakan varian Lenovo Legion 5 yang memiliki tingkat kecerahan display sebesar 250nits dan Refresh-Rate 120Hz. Jujur, 250 nits sih terasa kurang, apalagi jika Anda adalah seorang gamers FPS kompetitif atau pekerja multimedia.

Anda bisa melihat sendiri pantulan matahari mengalahkan terangnya LCD jika digunakan di luar ruangan. Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Anda bisa melihat sendiri pantulan matahari mengalahkan terangnya LCD jika digunakan di luar ruangan. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Dengan tingkat kecerahan 250nits, monitor laptop masih kalah dengan cerahnya matahari, terutama saat pagi hingga siang hari. Refresh-rate 120Hz terasa sangat enak. Bukan hanya untuk gaming, tetapi juga membuat berbagai animasi Windows 10 jadi terasa lebih halus.

Bagaimana untuk gaming? Berhubung saya adalah reviewer kere-hore, jadi saya belum pernah mencoba monitor dengan Refresh-Rate yang lebih tinggi lagi. So? 120Hz terasa baik-baik saja, sangat enak untuk bermain game FPS yang banyak gerakan seperti Apex Legends. Namun satu hal yang pasti, Refresh Rate tersebut ternyata tidak berhasil membuat saya jadi lebih jago saat main VALORANT, tetap saja saya mengisi posisi Bottom Frag… Haha.

 

Performa Tanggung Dengan Kemampuan Thermal yang Mantap

Unit Lenovo Legion 5 yang saya review ini menggunakan prosesor AMD Ryzen R5-4600H yang dilengkapi dengan GPU GeForce GTX1650Ti 4GB GDDR6. Dari sini, Anda yang geeky soal hardware mungkin sudah punya gambaran atas performa laptop ini. Namun, mari kita lihat hasil pengujian saya terhadap performa Lenovo Legion 5.

Untuk urusan gaming, saya cuma bisa bilang bahwa Lenovo Legion 5 ini “Esports Ready”. Tapi untuk gaming AAA? Sepertinya nanti dulu. Kenapa saya bilang Esports Ready? Karena display 120Hz dari laptop ini sangat menunjang kebutuhan gaming kompetitif. Juga, game multiplayer kompetitif cenderung tidak terlalu demanding dari segi hardware. Jadi saya rasa, AMD Ryzen R5-4600H dan GTX 1650Ti sudah lumayan cukup untuk mencapai 60++ FPS pada beberapa judul game kompetitif.

Seperti sebelumnya, saya menggunakan PUBG (Steam) dan Apex Legends sebagai alat untuk menguji kemampuan laptop dalam menjalankan game multiplayer kompetitif. Kenapa game tersebut yang saya pilih? Karena dua game tersebut bisa dibilang sebagai dua game multiplayer kompetitif paling berat untuk saat ini. Untuk metode, pada pengujian ini saya bermain dengan beberapa preset pengaturan grafis, demi menemukan pengaturan yang paling optimal dengan display Refresh Rate 120Hz.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark PUGB. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Mengingat spesifikasi minimum PUBG yang lebih tinggi daripada Apex Legends, maka tidak heran jika usaha untuk mendapat 100++ average FPS di PUBG jadi lebih sulit ketimbang di Apex Legends. Bahkan PUBG dengan preset Very Low saja, tidak bisa menembus angka 100 Average FPS. Kenapa begitu penting mencapai 100++ FPS? Karena game FPS kompetitif cenderung mengutamakan respon. Visual kerap kali dipinggirkan dalam game kompetitif seperti PUBG. Bahkan hampir kebanyakan pemain CS:GO professional menggunakan pengaturan rendah, demi mendapat FPS sebanyak mungkin.

Tapi jika Anda adalah tipe pemain PUBG yang main santai, dan ingin menikmati indahnya pancaran matahari di map Vikendi ataupun Erangel 2.0, Lenovo Legion 5 masih kuat menjalankan PUBG dengan pengaturan Ultra.

Namun cukup sulit untuk main kompetitif dengan preset grafis Ultra, karena Lenovo Legion 5 cuma bisa dapat 51,1 average FPS, dengan 28,4 min FPS, dan 63,4 max FPS. Dalam keadaan yang umum, seperti masuk ke rumah untuk looting, atau rotasi dengan kendaraan, FPS berada di kisaran 30an. Max FPS sendiri baru bisa didapatkan jika Anda menatap langit.

Pengaturan Medium membuat PUBG lebih playable untuk kompetitif dengan 78 average FPS, 58,5 min FPS, dan 106,4 max FPS. Seperti pengaturan Ultra, pemandangan standar bisa akan mendapatkan angka yang tidak jauh dari min FPS. Sementara angka max FPS baru bisa didapatkan jika Anda menatap langit, atau menatap pemandangan yang minim konten visual.

Pengaturan Very Low baru bisa membuat PUBG jadi lebih “Esports Ready” dengan 93,9 average FPS, 43,8 min FPS, dan 166,4 max FPS. Saya cukup bingung kenapa catatan minimum FPS-nya lebih rendah daripada Medium. Mungkin sempat terjadi stutter ketika saya baru masuk game, atau saat baru terjun payung. Namun angka tersebut terbilang tak perlu terlalu dikhawatirkan, karena sepengalaman saya PUBG bisa berjalan di rata-rata 90++ FPS jika menggunakan preset grafik Very Low.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark Apex Legends. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Apex Legends lebih mudah untuk dapat 100++ average FPS. Bahkan game ini masih bisa dimainkan secara kompetitif pada pengaturan Ultra. Menggunakan preset pengaturan Ultra, Apex Legends bisa mendapatkan 76,3 average FPS, 39,3 min FPS, dan 117,9 max FPS. Saya merasa Apex dengan preset Ultra masih berjalan cukup mulus dalam berbagai skenario baku tembak. Angka min FPS sendiri didapatkan ketika awal terjun, dan pada skenario baku tembak yang penuh kekacauan dengan serangan dari berbagai arah, dan ledakan di mana mana.

Tetapi jika Anda bermain Apex Legends secara lebih kompetitif, preset grafis Medium akan lebih baik. Dengan pengaturan Medium, Apex Legends mendapatkan 101,8 average FPS, 58,6 min FPS, dan 144,8 max FPS. Lagi-lagi, angka min FPS saya dapatkan ketika awal terjun. Mungkin karena kartu grafis harus memproses seluruh bagian map. Namun bisa dipastikan bahwa dalam rata-rata skenario permainan, Apex Legends bisa berjalan di 100++ FPS.

Lalu bagaimana dengan game AAA? Hasil benchmark yang saya dapatkan menjadi alasan kenapa saya bilang, untuk urusan gaming, laptop ini cuma sampai status “Esports Ready” saja. Spesifikasi hardware yang disajikan ternyata masih cukup keteteran untuk menjalankan game AAA dengan preset grafis Ultra.

Kebutuhan grafis game AAA biasanya berbanding terbalik dengan game esports. Para PC Master Race seperti Editor kami, Yabes Elia, biasanya punya keinginan untuk menggunakan preset grafik Ultra demi mendapat kenikmatan visual. Kebutuhan Frame Rate biasanya tidak terlalu tinggi pada game AAA. 60FPS sudah cukup, setidknya agar game berjalan lebih mulus, tidak seperti… Uhuk! PlayStation yang cuma bisa 30 FPS saja.

Untuk game AAA saya menguji laptop ini dengan menggunakan Metro Exodus (2019) dan Assassin Creed: Odyssey (2018). Pengujian untuk Metro Exodus dilakukan dengan menjalankan game menggunakan beberapa pengaturan grafik, dan melihat perolehan FPS yang didapat. Sementara untuk Assassin’s Creed: Odyssey, saya menggunakan in-game benchmark.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark Metro Exodus. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Metro Exodus tidak memiliki preset grafik, jadi untuk grafik Ultra saya ubah semua opsi jadi rata kanan, dan Medium di rata tengah. Dengan pengaturan grafik Ultra, Metro Exodus ternyata jadi tidak playable. Game besutan 4A Games berubah jadi gambar stop motion dengan 19,9 average FPS, 9,3 min FPS, dan 32,1 max FPS.

Cukup menyedihkan memang. Iya sih, pengaturan Ultra membuat game jadi nikmat secara visual. Tapi juga jadi menyebalkan kalau baru mulai game karakter kita sudah mati dimakan mutant, gara-gara Frame Rate rendah membuat kita kesulitan merespon serangan.

Game tersebut baru bisa dimainkan dengan pengaturan Medium, yang berhasil mendapatkan 52,1 average FPS, dengan 41,4 min FPS, dan 68,9 max FPS. Permainan berjalan dengan cukup lancar, dan kini saya berhasil berjalan lebih jauh dibanding saat menggunakan pengaturan Ultra.

Dalam pertarungan, Frame Rate berada di kisaran 45-50 FPS, cukup untuk merespon musuh berupa AI yang sudah diprogram. Sementara itu max FPS didapatkan ketika Anda menghadapi pemandangan yang minim konten visual, contohnya saat Artyom (karakter utama Metro Exodus) dibawa ke markas Metro.

Selanjutnya Assassin’s Creed Odyssey. Game besutan Ubisoft ini sendiri terbilang masih playable dengan menggunakan pengaturan Ultra. Assasin’s Creed Odyssey berhasil mendapatkan 29 average FPS, dengan 17 min FPS, dan 49 max FPS.

Jadi, walau Anda cuma bisa mendapat Frame Rate layaknya bermain di konsol, tapi setidaknya Anda bisa bermain dalam keadaan visual yang ciamik. Namun memang, Assassin’s Creed Odyssey terbilang lebih ringan jika dibanding Metro Exodus. Dengan pengaturan High, Anda masih bisa mendapat 55 average FPS, 28 min FPS, dan 108 max FPS. Sementara preset Medium memberikan Anda 66 average FPS, 28 min FPS, dan 130 max FPS.

Jadi, apakah konfigurasi jeroan Lenovo Legion 5 versi Ryzen 5-4600H ini memang hanya sekadar cukup saja? Untuk mengetahui performanya saya lalu menguji kemampuan laptop dengan menggunakan 3DMark dan PCMark. Jika berdasarkan dua software penguji tersebut, konfigurasi Lenovo Legion 5 dengan CPU Ryzen 5-4600H dan GPU GTX1650Ti ini terbilang cukup tanggung.

Skor 3DMark Time Spy dan Fire Strike laptop ini masing-masing adalah 4032 dan 9377. Kalau menurut kedua software tersebut, semua skor ini lumayan ketinggalan dibanding dengan “Gaming Laptop 2020”. Menurut 3DMark “Gaming Laptop 2020” adalah laptop dengan prosesor Intel Core i7-9750H dengan kartu grafis GeForce RTX 2060. Menurut catatan 3DMark, Gaming Laptop 2020 bisa mendapat skor sebesar 5730 pada Time Spy, dan 13771 pada Fire Strike. Perbedaan yang cukup jauh?

Sementara untuk produktivitas, skor PCMark Lenovo Legion 5 malah bisa menyalip si Gaming Laptop 2020 dengan cukup jauh. Gaming Laptop 2020 hanya mendapatkan skor sebesar 4515 saja, sementara Lenovo Legion 5 bisa mendapatkan skor sebesar 5687. Kontestan Lenovo Legion 5 dalam urusan produktivitas ini malah Gaming PC 2020. Walau saya tahu tidak adil membandingkan laptop dengan desktop, namun menurut PCMark, Gaming PC 2020 dengan CPU AMD Ryzen 7 3700X, GPU AMD Radeon RX 5700 XT mencatatkan skor sebesar 6739, masih beda cukup tipis dibanding Lenovo Legion 5.

Memang kalau melihat dari sisi GPU, GTX1650 Ti tentu akan ngos-ngosan jika dibandingkan dengan RTX 2060. Mungkin hal ini jadi alasan kenapa skor 3DMark unit Lenovo Legion 5 yang saya uji masih kalah saing. Tetapi kalau untuk urusan produktivitas, Ryzen 5 4600H masih bisa diadu dengan dan Intel Core i7-9750H, yang mana keduanya sama sama memiliki 6 core 12 thread.

Oke, gaming sudah, pengujian dengan software juga sudah. Berikutnya kita akan membahas soal suhu. Soal thermal atau suhu juga jadi hal lain yang dibanggakan dari produk Lenovo Legion 5 ini, lewat teknologi yang disebut sebagai ColdFront 2.0.

Tapi, apa benar teknologi ini bisa membuat Lenovo Legion 5 jadi adem? Melihat dari kulit luar, rancangan sirkulasi udara Lenovo Legion 5 memang membuat saya kagum.

Jika Anda melihat ke bawah, Anda bisa melihat hampir setengah bagian Laptop hanya berisikan lubang udara yang dibuat dengan menggunakan rancangan circular atau bulat-bulat. Lalu beralih ke bagian samping dan belakang, Anda bisa melihat empat buah ventilasi udara: satu di kiri, dua di belakang, dan satu di kanan. Ketika berjalan dalam performa tinggi, laptop akan menyedot udara dingin dari bawah, dan mengeluarkan udara panas ke kiri, kanan dan belakang.

Hasilnya? Rancangan ColdFront 2.0 memang cukup baik namun tidak berhasil menahan suhu tertinggi yang mengkhawatirkan saat digunakan untuk memainkan Metro Exodus.

Namun demikian, setidaknya suhu hangat terkumpul di bagian tengah laptop saja. Jadi tak perlu khawatir tangan terasa panas saat sesi gaming, atau bekerja dengan durasi panjang saat menggunakan laptop ini.

Oh saya hampir lupa, baterai! Ini juga jadi aspek yang tidak kalah penting dalam urusan laptop. Saya menguji performa baterai dengan memainkan video HD 1080p mulai dari baterai penuh 100%, dan membiarkannya berjalan berulang-ulang sampai laptop mati sendiri.

Dengan menggunakan metode tersebut Lenovo Legion 5 bisa bertahan selama 2 jam 40 menit (160 menit). Dengan kapasitas 60.000mWh, daya tahan baterai Lenovo Legion 5 terbilang sudah cukup. Walau memang, jika dibandingkan dengan daftar Best Gaming Laptop menurut PCMag angka ini terbilang cukup rendah.

Tapi baterai seharusnya bisa bertahan lebih lama untuk skenario penggunaan sehari-hari, seperti mengirim surel, mengerjakan dokumen, dan lain sebagainya. Tapi tentu akan beda cerita jika Anda menggunakannya untuk tugas yang berat seperti mengedit video atau gambar.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Lenovo Legion 5 juga memiliki fitur Rapid Charge Pro yang cukup signifikan meningkatkan kecepatan charging. Fitur ini sendiri harus dinyalakan terlebih dahulu lewat software Lenovo Vantage. Tanpa Rapid Charge, Lenovo Legion 5 butuh 2 jam 7 menit (127 menit) untuk charging dari 0-100%. Rapid Charge berhasil memangkas 30 menit waktu charging, membuat proses dari 0-100% jadi hanya 1 jam 33 menit saja (93 menit).

Torehan daya tahan baterai dan proses charging saya dapatkan dengan menggunakan Performance Mode. Ini artinya daya tahan baterai seharusnya bisa lebih lama, dan proses charging bisa lebih cepat lagi jika Anda mengaktifkan Quiet Mode dengan menggunakan Lenovo Q Control 3.0 yang akan menurunkan CPU Voltage dan fan speed.

 

Fitur-Fitur Pelengkap Lenovo Legion 5

Dari semua fitur-fitur tambahan, satu lagi yang menarik untuk dibahas mungkin adalah software Lenovo Vantage. Saya akui, pengalaman saya mengulas produk laptop memang belum banyak. Namun saya merasa software ini menjadi nilai tambah yang sangat membantu untuk keseharian. Seperti saya sebut tadi, Lenovo Vantage adalah semacam pusat kendali untuk fitur-fitur tambahan dari Lenovo Legion 5, fitur Rapid Charge salah satunya.

Tetapi selain itu, software ini juga akan membantu Anda untuk melakukan update terhadap driver laptop, mengatur Lenovo Q Control, dan mengaktifkan Hybrid Mode.

Terkait Hybrid Mode, saya ingin sedikit membahas soal dampaknya pada performa. Awalnya saya cukup bingung dengan fungsi Hybrid Mode, bagaimana dampaknya terhadap performa jika saya nyalakan? Lenovo sendiri menjelaskan bahwa dalam mode ini, sistem akan mendeteksi apakah GPU dibutuhkan atau tidak. Jika tidak maka sistem akan secara otomatis dimatikan dan menggunakan Integrated Graphics Processor.

Karena penasaran, saya lalu mencoba melakukan sedikit benchmark untuk mengetahui dampaknya pada performa. Menariknya, Hybrid Mode justru menurunkan skor benchmark jika laptop digunakan sambil dicolok ke listrik. Masih menggunakan 3DMark, skor benchmark menurun jadi 9203 dibanding sebelumnya, yaitu 9377 saat Hybrid Mode tidak digunakan.

Tapi di sisi lain, performa laptop jadi meningkat saat melakukan benchmark dengan menggunakan baterai. Skor 3DMark Hybrid Mode dengan menggunakan baterai adalah 6638, sementara skor benchmark tanpa Hybrid Mode dengan menggunakan baterai hanya 6307 saja.

Hal lain yang patut jadi catatan adalah, Refresh Rate monitor akan bertahan di frekuensi 120Hz meski sedang menggunakan baterai, jika Hybrid Mode dinyalakan. Sementara jika Hybrid Mode dimatikan, Refresh Rate monitor akan otomatis turun ke frekuensi 60Hz ketika menggunakan baterai. Jadi? Hybrid Mode atau tidak? Saya rasa Hybrid Mode akan cocok jika di sekitar Anda tidak ada colokan listrik, namun Anda sedang butuh performa untuk task berat seperti edit video.

Terakhir Lenovo juga memberikan nilai tambah lain berupa Accidental Damage Protection dan Onsite Warranty selama dua tahun. Garansi tersebut bisa digunakan untuk berbagai kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian pengguna. Tak hanya itu, paket penjualan Lenovo Legion 5 juga sudah menyertakan Windows 10, dan juga paket Microsoft Office Home & Student 2019.

 

Kesimpulan

Jadi apakah Lenovo Legion 5 layak beli? Secara price-to-performance, Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen R5-4600H dan GPU GeForce GTX1650Ti ini terbilang tanggung. Apalagi mengingat masih ada laptop gaming lain yang punya spesifikasi hardware serupa, namun memiliki harga yang lebih terjangkau.

Tetapi, saya merasa nilai jual Lenovo Legion 5 ini sebenarnya datang dari desain produk laptop ini secara keseluruhan dan juga fitur-fitur tambahan yang disematkan.

Apakah keyboard yang diberikan bisa solid dan lembut seperti keyboard dengan teknologi True Strike atau tidak? Saya juga penasaran dan ingin bisa menjawab pertanyaan tersebut. Semoga saja nantinya saya mendapat kesempatan untuk melakukan review terhadap laptop dengan spesifikasi serupa, agar bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Selain itu, hal lain yang menurut saya jadi nilai jual dari Lenovo Legion 5 ini adalah rancangan tampak luar yang elegan, sleek, dan minimalis. Jadi jika Anda adalah datang dari kalangan profesional yang suka main game, laptop ini masih bisa digunakan untuk keseharian, karena tetap membuat Anda tampil smart, dan profesional saat digunakan di lingkungan kerja.

Menurut saya, pesaing Laptop Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen R5-4600H dengan GeForce GTX1650Ti ini malah adalah versi Lenovo Legion 5 yang punya konfigurasi hardware lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan harga antar versi Lenovo Legion 5 yang beda-beda tipis.

Versi yang saya review dibanderol dengan harga Rp16.499.000. Sementara di sisi lain, Lenovo Legion 5 versi lain yang menggunakan konfigurasi hardware berupa AMD Ryzen R7-4800H dengan GeForce GTX1660Ti, ditambah dengan Refresh Rate monitor 144Hz, dibanderol dengan harga Rp18.499.000. Lalu jika kita mengintip versi Intel, harga Lenovo Legion 5i versi Core i7-10750H dengan NVIDIA GTX1660Ti juga cuma Rp21.999.000.

Apakah beda performanya signifikan? Saya sendiri belum sempat mencobanya. Tetapi untuk penggunaan jangka panjang, saya rasa tidak ada salahnya untuk lebih sabar, menabung 5,5 juta lagi, demi mendapat konfigurasi hardware tertinggi, agar laptop bisa menjadi investasi masa depan yang future-proof.

Tapi jika dana Anda terbatas, dan butuh segera membeli laptop, tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen 5 4600H dengan GeForce GTX1650Ti.