Louis Vuitton Luncurkan Koleksi LVxLOL, Harga Sampai Rp79 Juta

Louis Vuitton memasuki ranah esports dengan bekerja sama dengan Riot Games pada September 2019. Ketika itu, merek fashion mewah asal Prancis tersebut akan membuat travel case untuk trofi dari League of Legends World Championship, Summoner’s Cup. Selain itu, Louis Vuitton juga mendesain sejumlah skin untuk karakter League of Legends. Sekarang, mereka memamerkan koleksi pakaian terbaru mereka. Riot mengklaim, kerja sama mereka dengan Louis Vuitton merupakan kerja sama pertama antara merek fashion mewah dengan pelaku esports.

Koleksi yang dinamai LVxLOL ini didesain oleh Nicolas Ghesquière, Artistic Director of Women’s Collection dari Louis Vuitton, lapor Business Insider. Harga dari koleksi terbaru Louis Vuitton beragam, mulai dari US$170 (Rp2,4 juta) sampai US$5.600 (Rp78 juta). Sebuah kaos dengan gambar Qiyana pada bagian depan dan belakang dihargai US$670 (Rp9,4 juta). Produk paling mahal dalam koleksi ini adalah jaket kulit seharga US$5.650 (Rp79 juta).

Koleksi LVxLOL ini akan tersedia pada Februari atau Maret 2020. Sama seperti produk Louis Vuitton lainnya, pakaian dalam koleksi terbaru mereka ini memiliki logo Louis Vuitton. Selain itu, banyak pakaian yang menggunakan pola tiger stripe, yang memang tidak ada kaitannya langsung dengan game League of Legends, tapi memberikan kesan gagah pada pemakainya.

Koleksi LVxLOL. | Sumber: Louis Vuitton via Business Insider
Koleksi LVxLOL. | Sumber: Louis Vuitton via Business Insider

Keputusan Louis Vuitton untuk bekerja sama dengan Riot Games sebenarnya tidak aneh. Sekarang, tak hanya merek endemik saja yang mendukung liga dan organisasi esports. Merek non-endemik, termasuk fashion, juga mulai tertarik untuk masuk ke industri esports. Salah satu alasannya adalah untuk memenangkan hati para penonton esports, yang merupakan generasi milenial dan gen Z. Selain itu, ada beberapa alasan lain mengapa kerja sama antara merek fashion pelaku esports akan menguntungkan kedua belah pihak. Meskipun pria muda dianggap sebagai audiens utama esports dan gaming, sebenarnya hampir 40 persen audiens esports merupakan perempuan. Mereka juga cukup peduli pada penampilan mereka.

Sebelum ini, Louis Vuitton juga telah mengadakan kerja sama dengan badan olahraga tradisional, seperti FIFA untuk membuat koleksi aksesori untuk World Cup 2018. Mengingat sekarang esports semakin diakui sebagai olahraga — salah satu buktinya adalah masuknya esports dalam SEA Games — maka tidak heran jika mereka juga memutuskan untuk bekerja sama dengan pelaku industri esports.

Bukan untuk Marketing, Esports Jadi Pilar Bisnis Riot Games

Riot Games mulai mengembangkan esports dari League of Legends pada sembilan tahun lalu. Sejak saat itu, esports scene dari game MOBA itu telah berkembang pesat. League of Legends kini memiliki 13 liga yang tersebar di berbagai kawasan. Dua liga terbaru adalah liga nasional di Belanda dan Belgia. Beberapa liga seperti di Korea Selatan dan Tiongkok tidak hanya sudah balik modal, tapi juga sudah menghasilkan keuntungan. Karena itu, tidak heran jika Riot tidak segan untuk mengeluarkan US$100 juta setiap tahun untuk mengembangkan esports League of Legends.

Faktanya, esports kini menjadi salah satu pilar bisnis utama bagi Riot. “Anda tidak bisa melihat esports sebagai bagian dari marketing,” kata CEO Riot Games, Nicolo Laurent pada The Esports Observer. “Kami melihat esports sebagai bisnis. Kami ingin memastikan setiap orang mendapatkan sesuatu dari ini.”

Esports League of Legends terbukti sukses. Ribuan orang datang untuk menonton babak final dari League of Legends yang diadakan di Paris, Prancis sementara jutaan orang menonton pertandingan tersebut secara online. Meskipun begitu, Laurent mengaku, mereka tidak selalu percaya diri bahwa esports akan berkembang menjadi sebesar sekarang. “Kami tidak yakin esports bisa tumbuh seperti sekarang, pada awalnya,” ujar Laurent. Korea Selatan menjadi negara yang esports scene-nya berkembang. Namun, Riot tak yakin apakah itu merupakan bukti potensi esports ataukah esports hanya dapat diterima di Korea Selatan.

League of Legends World Championship 2017. | Sumber: Dot Esports
League of Legends World Championship 2017. | Sumber: Dot Esports

Riot mengadakan League of Legends World Championship (LWC) pertama kali di DreamHack Summer 2011. Ketika itu, tidak ada satupun tim Korea Selatan yang bertanding. Menariknya, jumlah penonton turnamen tersebut tetap melebihi ekspektasi. “Ini membuat kami percaya bahwa esports tidak hanya menarik untuk warga Korea Selatan saja,” ujarnya. “Sekarang, kami memiliki 13 liga dan 3 turnamen internasional, dan di masa depan, kami mungkin akan menambah beberapa liga baru.”

Salah satu perubahan terbesar yang Riot Games lakukan dalam mengembangkan esports League of Legends adalah mengubah sistem terbuka — membiarkan tim manapun untuk bertanding dalam liga selama mereka memang lolos babak kualifikasi — menjadi sistem tertutup, yang mengharuskan tim yang hendak berlaga untuk membayar sejumlah uang. Slot untuk satu tim bernilai setidaknya US$13 juta, tergantung pada lokasi sebuah tim. Dengan model ini, tim-tim yang ikut bertanding dalam liga juga akan mendapatkan sebagian keuntungan yang didapatkan dari liga.

Di Indonesia, satu-satunya kompetisi esports yang menggunakan sistem franchise atau tertutup adalah Mobile Legends Professional League Season 4. Keputusan Moonton untuk menggunakan model tersebut sempat menuai pro dan kontra. Namun, masih belum diketahui apakah investasi awal yang ditanamkan oleh para organisasi esports untuk ikut dalam MPL Season 4 akan berbuah manis.

Dari segi hadiah, turnamen esports tak kalah dari kompetisi olahraga tradisional. Sebagian liga esports, seperti liga League of Legends, juga sudah menggunakan model franchise, membuatnya semakin menyerupai liga olahraga tradisional. Meskipun begitu, tim esports yang berlaga di dalamnya tidak memiliki saham dari liga itu sendiri, berbeda dengan sistem yang digunakan liga olahraga tradisional. Terkait hal ini, Laurent mengatakan, tak tertutup kemungkinan, mereka akan mengadopsi model serupa di masa depan. “Masalahnya, jika Anda ingin melakukan ini, Anda harus punya rencana yang jelas tentang cara memonetisasi liga itu sendiri, atau melakukan IPO. Jika tidak, Anda hanya akan membuat struktur dengan insentif yang buruk,” ujarnya.

Sumber header: Hotspawn

Riot Gandeng Developer Lain untuk Buat Game League of Legends Baru

Pada Oktober 2019, Riot Games merayakan ulang tahun League of Legends yang ke-10. Ketika itu, mereka mengumumkan sejumlah game adaptasi dari League of Legends, mulai dari card game sampai mobile game. Riot tampaknya masih ingin memperluas dunia League of Legends lagi. Karena itu, mereka meluncurkan publishing label baru bernama Riot Forge.

Riot Forge akan bekerja sama dengan developer pihak ketiga yang ingin mengembangkan game berdasarkan dunia League of Legends. Dengan begitu, cerita League of Legends akan tersedia dalam banyak game dengan berbagai genre dan dapat dimainkan di platform yang beragam. Leanne Loombe, Head of Riot Forge mengatakan, mereka tidak akan fokus pada satu genre. Sebagai gantinya, mereka akan merilis game dengan genre yang berbeda-beda. Satu hal yang pasti, mereka akan meluncurkan game dengan akhir yang jelas.

“Kami selalu mencari cara untuk menyajikan World of Runeterra dan karakter di dalamnya pada gamer di seluruh dunia,” kata Greg Street, Vice President of IP and Entertainment, Riot Games, dikutip dari Polygon. “Ada banyak studio game bertalenta di dunia yang memiliki pengalaman dan kemampuan dalam pengembangan game dan kami tidak sabar untuk bekerja sama dengan mereka untuk membawa IP LoL ke game baru yang menawarkan pengalaman bermain yang berbeda.”

Sumber: Riot Games via Polygon
Sumber: Riot Games via Polygon

Sementara itu, Loombe mengatakan, rekan developer mereka akan memiliki tanggung jawab penuh untuk membuat dan mendesain game yang mereka inginkan. Riot hanya akan turun tangan untuk membantu mereka untuk memahami lore dari League of Legends yang memang kompleks. “Mereka memiliki kebebasan untuk memilih jenis grafik dan gameplay yang mereka inginkan untuk membuat game yang terbaik,” katanya pada The Verge. “Riot akan mendukung dan menjamin bahwa developer kami memahami semua aspek dari dunia League of Legends untuk memastikan game itu tetap otentik.”

Loombe menjelaskan, Riot Forge akan bekerja sama dengan developer yang telah memiliki rekam jejak yang jelas. “Salah satu karakteristik yang kami cari dari sebuah studio adalah mereka pernah membuat game yang hebat,” ujarnya. “Kami sangat tertarik untuk bekerja sama dengan studio yang memiliki ciri khas, baik berupa grafik yang unik, desain atau mekanisme game yang berbeda, atau sesuatu yang lain yang membuat sebuah studio berbeda dan dapat membuat game adaptasi League of Legends yang unik.”

Sayangnya, masih belum diketahui kapan Riot Forge akan merilis game baru. Mereka hanya mengatakan, telah ada beberapa game yang tengah dikembangkan dan akan diluncurkan di bawah nama Riot Forge.

Sumber header: The Verge

Riot Games Siapkan Kompensasi Rp141 Miliar untuk Korban Diskriminasi Gender

Pada November 2018, dua mantan pekerja Riot Games, developer dan publisher League of Legends, mengajukan tuntutan ke pengadilan, mengklaim bahwa Riot membiarkan budaya dikriminasi gender yang penuh dengan pelecehan seksual pada pekerja wanita merajalela. Diskriminasi juga dilakukan oleh para manajer. Misalnya, para manajer pria memiliki daftar pekerja perempuang yang dianggap paling cantik. Seolah itu tidak cukup buruk, ketika ketika karyawan wanita protes akan hal ini, mereka justru mendapatkan hukuman. Tuduhan ini diperkuat dengan artikel yang ditulis oleh Kotaku pada Agustus 2018 setelah mewawancarai puluhan mantan pekerja dan karyawan Riot tentang budaya kerja di perusahaan tersebut.

Skandal ini membuat reputasi Riot tercoreng. Pada April 2019, mereka lalu berusaha untuk menyelesaikan masalah ini secara diam-diam dengan memaksa karyawan untuk melakukan arbitrasi. Dengan kata lain, mereka ingin melarang para karyawan menuntut perusahaan di pengadilan. Sebagai gantinya, Riot ingin masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. Apa yang dilakukan perusahaan justru berujung pada protes. Lebih dari 150 karyawan Riot melakukan walkout untuk menyatakan protes akan keputusan perusahaan.

Sekarang, Riot Games mengatakan bahwa mereka setuju untuk membayar US$10 juta (sekitar Rp141 miliar) atas tuntutan dikriminasi gender ini, lapor LA Times. Dengan ini, sekitar 1.000 pekerja wanita yang pernah bekerja di Riot sejak November 2014 akan mendapatkan uang kompensasi. Jumlah kompensasi yang diterima oleh masing-masing karyawan berbeda-beda, tergantung berapa lama karyawan telah bekerja di perusahaan dan juga status karyawan mereka. Jadi, pekerja tetap mendapatkan kompensasi lebih daripada kontraktor, lapor VP Esports.

Babak seperempat final League of Legends World Championship 2019. (Photo by Colin Young-Wolfl/Riot Games)
Babak seperempat final League of Legends World Championship 2019. (Photo by Colin Young-Wolfl/Riot Games)

Sejak saat itu, Riot Games telah berjanji untuk memperbaiki budaya seksisme mereka. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah mempekerjakan Angela Roseboro sebagai Chief Diversity Officer mereka, menurut laporan The Esports Observer. Selain itu, mereka juga memastikan para atasan mendapatkan latihan yang cukup untuk memastikan mereka juga tidak ikut melakukan diskriminasi.

Kepada LA Times, juru bicara Riot Games, Joe Hixson mengatakan bahwa perusahaan senang karena akhirnya dapat menyelesaikan tuntutan ini. Dia menyebutkan, ini adalah langkah penting untuk menunjukkan komitmen Riot dalam menciptakan lingkungan kerja inklusif tanpa diskriminasi.

Budaya seksisme Riot Games merupakan salah satu skandal paling besar sepanjang 2018-2019. Ironisnya, perusahaan berusaha untuk mendorong para pemain League of Legends untuk berlaku lebih baik pada satu sama lain dan tidak saling mendiskriminasi.

Sumber header: Nexus League of Legends

Bilibili Bayar Rp1,6 Triliun untuk Dapatkan Hak Siar Eksklusif Atas League of Legends World Championship

Perusahaan streaming asal Tiongkok, Bilibili bersedia membayar 800 juta yuan (sekitar Rp1,6 triliun) pada TJ Sport — perusahaan joint venture dari Riot Games dan Tencent — untuk mendapatkan hak siar eksklusif atas League of Legends World Championship di negara asalnya. Kontrak ini berlaku selama tiga tahun, yaitu mulai 2020 sampai 2022.

Menurut laporan The Beijing News, ini adalah pertama kalinya hak siar eksklusif atas turnamen esports dilelang. Bilibili berhasil menang, mengalahkan beberapa perusahaan streaming lainnya, seperti Huya, Douyu, dan Kuaishou. Meskipun begitu, para ahli menganggap, nilai yang dibayarkan oleh Bilibili ini terlalu tinggi. Menurut mereka, harga yang pantas untuk hak siar atas LWC selama tiga tahun adalah 500 juta yuan (sekitar Rp1 triliun).

Walaupun begitu, Bilibli tetap dapat mendapatkan untung. League of Legends World Championship adalah salah satu turnamen esports paling populer dengan jumlah penonton paling banyak. LWC 2019 memecahkan beberapa rekor. Salah satunya adalah pertandingan esports yang paling banyak ditonton. Dalam babak semifinal — yang mempertemukan SK Telecom T1 dan G2 Esports — jumlah penonton sempat mencapai 3,9 juta orang.

League of Legends - Worlds 2018
Tim Tiongkok juga memenangkan LWC 2018.

Tidak hanya itu, ada banyak fans League of Legends di Tiongkok. Hal ini terlihat dari fakta bahwa League of Legends Pro League (LPL), liga LoL di Tiongkok, merupakan liga LoL terbesar dengan jumlah tim peserta terbanyak di dunia. Tak hanya itu, pada tahun depan, LWC akan diadakan di Shanghai, Tiongkok, yang akan meningkatkan jumlah penonton aktif. Tak hanya itu, dua tahun belakangan, tim asal Tiongkok juga sukses memenangkan LWC. Tahun ini, FunPlus Phoenix berhasil membawa pulang Summoner’s Cup meskipun mereka tidak dijagokan sementara pada tahun lalu, Invictus Gaming keluar sebagai juara.

Didirikan pada sembilan tahun lalu, Bilibili telah berkembang menjadi perusahaan streaming yang cukup besar sekarang. Pada 2017, Bilibili dikabarkan telah memiliki 31,6 juta pengguna. Namun, mereka mendapatkan sebagian besar keuntungan dari game mobile. Dikabarkan, game mobile menyumbangkan 80 persen dari total laba pada pertengahan 2018. Ketika esports mulai populer, mereka membuat Bilibili Gaming, organisasi esports yang membawahi dua tim profesional yang berlaga di League of Legends dan Overwatch.

Sumber: The Esports Observer, VP Esports, Dot Esports

Riot Games Gelar Festival dan Kompetisi League of Legends di Arab Saudi dengan Total Hadiah US$2 juta

Riot Games nampaknya kian garang melebarkan sayapnya, melakukan penetrasi ke wilayah-wilayah baru. Akhir pekan ini, Riot akan menggelar turnamen dan festival bertajuk League of Legends di Arab Saudi. Gelaran yang bertajuk Nexus Arabia ini akan hadir di kota Riyadh pada tanggal 5-7 Desember 2019. Acara ini ditujukan untuk menyasar pasar timur tengah dan negara-negara Afrika utara.

Konsep acara Nexus Arabia ini menarik karena ada semacam festival yang bisa digunakan untuk aktivitas bersama keluarga. Ada banyak permainan dalam festival kali ini seperti labirin bertema Teemo ataupun gulat sumo ala Gragas. Anda bisa melihat daftar lengkap aktivitasnya di situs resmi Nexus Arabia.

Sumber: League of Legends
Sumber: League of Legends

Selain berbagai aktivitas bersama keluarga yang semuanya kedengaran menyenangkan, Riot Games juga menyuguhkan konser dari Dj Mako dan Crystal Method. Di hari terakhir (7 Desember 2019), Riot Games akan menyuguhkan konser dari Jason Derulo.

Tentu saja, ada berbagai kompetisi League of Legends dalam rangkaian acara ini. Turnamen utamanya adalah 5v5 Summoner’s Rift yang berhadiah total US$850 ribu. Ada lagi turnamen 1v1 berhadiah US$100 ribu dan juga turnamen Teamfight Tactics (TFT) dengan jumlah hadiah yang sama. Tak ketinggalan ada juga turnamen untuk influencer yang berhadiah US$650 ribu (untuk LoL) dan US$100 ribu (untuk TFT). Plus, ada juga cosplay competition yang berhadiah total US$200 ribu.

Sumber: League of Legends
Sumber: League of Legends

Harga tiket tiga hari untuk ke acara ini berkisar antara US$30 (Rp300 ribu) sampai US$193 (US$2,7 juta). Sedangkan untuk tiket per harinya berkisar antara US$7 (Rp98 ribu) sampai US$123 (Rp1,7 juta). Anda bisa melihat lebih detail soal tiketnya di tautan ini (barangkali ada yang mau jalan-jalan ke Arab Saudi akhir pekan ini).

Riot Games Bersama State Farm dan Fandom Gelar Turnamen Teamfight Tactics

Ketika genre Auto-Battler menjadi fenomena di kalangan gamers, berbagai pengembang gerak cepat membuat iterasi mereka sendiri akan genre tersebut. Bermula dari custom game Dota 2 yang dibuat oleh Drodo Studio, kini Auto-Battler berkembang jadi 4 jenis game. Drodo membuat Auto Chess jadi standalone, Valve membuat Underlord, Tencent punya Chess Rush di mobile, Riot Games juga tak mau kalah membuat Teamfight Tactics.

Ketika rilis, Teamfight Tactics (TFT) juga segera mendapat perhatian banyak pemain, walau mungkin tidak sebegitu booming di Indonesia. September lalu, Teamfight Tactics memiliki total 33 juta pemain pada bulan itu, dan dimainkan selama 1,7 juta jam. Karena ini juga, Riot Games memutuskan berkomitmen akan mengembangkan ekosistem kompetitif TFT di tahun 2020 mendatang.

Bersiap untuk hal tersebut, Riot Games baru-baru ini menjalin kerja sama dengan Fandom (media yang fokus pada topik entertainment), dan State Farms, untuk menyelenggarakan turnamen TFT mingguan. Turnamen bernama Fandom Legends: Teamfight Tactics akan dimulai 1 Desember 2019 mendatang, dengan durasi pertandingan selama empat pekan.

Sumber: Fandom
Fandom, media yang membahas berita entertainment yang kini mulai terjun ke esports. Sumber: Fandom

Setiap pekan, 16 pemain bertanding berebut total hadiah US$2000 (sekitar Rp28 juta), dan mendapatkan kesempatan untuk gelaran State Farm Championship Finals. Puncak kompetisi ini akan diselenggarakan 21 Desember 2019 mendatang dengan total hadiah US$5000 (sekitar Rp70 juta).

“Kami berharap kerja sama ini akan membuat hubungan kami dengan Riot Games jadi makin erat, terutama dalam hal menyediakan komunitas kompetisi mingguan kepada komunitas Teamfight Tactics.” Ucap Sean Kiely, head of gaming and esports sales Fandom, kepada Esports Observer.

“Kami juga berharap kompetisi ini bisa membuka jalan bagi talenta baru yang ingin mencari nama mereka lewat kompetisi online. Kami juga ingin berterima kasih kepada State Farm selaku rekan dan pendukung dari komunitas Teamfight Tactics.” tutup Sean.

Sumber: Esports Insider
State Farm, merupakan salah satu rekan lama Riot Games dalam menyelenggarakan League of Legends Championship Series. Sumber: Esports Insider

Kerja sama State Farm dengan Riot Games bukan merupakan hal baru. State Farm sudah mensponsori League of Legends sejak tahun 2018 lalu. Kini mereka semakin meningkatkan dukungannya dengan cara turut terlibat dalam gelaran Mid-Seasonal Invitational, All-Star event, dan Worlds 2021.

Fandom Legends: Teamfight Tactics bisa jadi adalah cara Riot Games menguji animo pemain menonton pertandingan Auto Battler League of Legends, sebelum 2020 nanti. Terakhir kali jumlah penonton game ini memang cukup besar di Twitch. Mengambil data dari Twitch Tracker, jumlah penonton TFT mencapai 364.836 pada 17 Juli 2019, sekitar 1 bulan setelah perilisan. Akankah esports Auto-Battler bisa menarik minat menonton para gamers?

Mengenal Duan “Candice” Yushuang, Host Turnamen League of Legends Terbesar Dunia

League of Legends Pro League (LPL) adalah liga League of Legends di Tiongkok. Dengan total view mencapai 30 miliar view, LPL merupakan liga LoL terbesar di dunia. Riot Games menggunakan model franchise untuk LPL, yang berarti, tim harus membayar setidaknya 80 juta yuan (sekitar Rp161,1 miliar) untuk dapat berlaga di turnamen bergengsi tersebut. Saat ini, sumber pendapatan terbesar LPL adalah hak siar media, yang dijual pada berbagai perusahaan seperti Huya, DouYu, Penguin Esports, BiliBili, WeChat Live, Weibo, Tencent Video, dan Tencent Sports.

Duan “Candice” Yushuang merupakan host dari LPL. Satu hal yang unik dari Yushuang adalah karena karirnya di esports League of Legends masih sangat pendek. Dia lulus sebagai sarjana English Broadcasting and Anchoring dari Communication University of China pada 2015. Satu tahun setelah itu, dia mulai masuk ke dunia esports. Itu artinya, dia baru memiliki pengalaman sekitar tiga tahun. Sebagai perbandingan, esports host terkenal lainnya, seperti Eefje “sjokz” Depoortere atau Paul “Redeye” Chalone memiliki pengalaman sekitar 6 sampai 20 tahun. Di Indonesia, Gisma Priayudha Assyidiq yang dikenal dengan nama “Melon” mulai terjun ke dunia penyelenggaraan turnamen esports sekitar tahun 2012.

“Pada April 2016, saya melihat lowongan pekerjaan dari Riot Games sebagai esports host di Shanghai, dan saya coba untuk melamar posisi tersebut,” kata Yushuang pada The Esports Observer. “Itu adalah pekerjaan paruh waktu dan saat itu, saya sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai DJ di stasiun radio di Beijing. Setiap akhir pekan, saya harus terbang dari Beijing ke Shanghai pada pukul 6 pagi di hari Jumat dan mengambil penerbangan terakhir untuk kembali ke Beijing pada hari Minggu. Semua biaya transportasi saya tanggung sendiri.” Dia mengaku, dia tidak terlalu memperhitungkan untung-rugi dari keputusannya. Dia rela melakukan semua itu karena dia memang senang dengan game dan komunitas League of Legends.

Yushuang mencium Summoner's Cup. | Sumber: The Esports Observer
Yushuang mencium Summoner’s Cup. | Sumber: The Esports Observer

Pada 2016, League of Legends World Championship diadakan di Amerika Serikat. Turnamen tersebut diadakan di San Francisco, New York, Chicago, dan Los Angeles selama dua bulan. Ini memaksa Yushuang untuk memilih apakah dia akan mempertahankan pekerjaan tetapnya atau berhenti dari pekerjaannya sebagai DJ dan fokus pada esports League of Legends. Dia memilih untuk mengejar karir di esports. Satu tahun kemudian, dia bergabung dengan Shanghai Dominion, perusahaan produksi dan perencanaan esports milik Riot Games. Di tahun yang sama, Riot mengadakan LWC di Tiongkok. Sebagai host, Yushuang diingat berkat pakaiannya yang mencerminkan budaya Tiongkok dan kemampuannya untuk melakukan wawancara dengan Bahasa Inggris yang lancar.

“Saya percaya, jika cukup cakap, Anda akan mendapatkan perhatian,” kata Yushuang. Pada 2018 dan 2019, popularitas LPL terus naik. Jumlah tim yang berpartisipasi dalam LPL bertambah menjadi 16 tim, lebih banyak dari jumlah tim di liga-liga LoL regional lainnya. Tak hanya itu, sponsor LPL juga bertambah menjadi 13, termasuk perusahaan internasional, seperti Nike, KFC, Intel, dan Mercedes-Benz. Salah satu alasan esports League of Legends menjadi populer di Tiongkok adalah karena performa tim lokal yang sangat baik. Pada 2018, Royal Never Give-Up memenangkan Mid-Season Invitation (MSI) sementara Invictus Gaming memenangkan League of Legends World Championship. Pada tahun ini, FunPlus Phoenix memenangkan LWC 2019. Ketiga tim adalah tim asal Tiongkok.

Dengan semakin banyak perusahaan yang menjadi sponsor LPL, pekerjaan Yushuang pun bertambah. Dia tak hanya menjadi host turnamen, tapi juga ikut serta dalam berbagai kegiatan bersama fans, perusahaan sponsor, dan bahkan pemerintah kota di Tiongkok. Salah satu acara yang dia ikuti adalah LPL Go on World, tur international hasil kerja sama Mercedes-Benz dengan LPL. Tur ini mencakup Beijing, Hangzhou, Chongqing, Chendu, Xi’an, Moscow, Stuttgart, dan Berlin.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

“Menjadi host dari acara sponsor berbeda dari menjadi host dari kompetisi LPL,” kata Yushuang. “Lebih sulit menjadi host dari kompetisi karena acara disiarkan secara live, dan saya harus memilih kata dan pertanyaan yang saya lontarkan dengan sangat hati-hati. Untuk acara perusahaan, satu hal yang paling penting adalah engagement antara merek dan fans, membuat konten yang menarik bagi fans, merek, dan pemerintah kota.” Dia menambahkan, dia merasa senang karena pemerintah Tiongkok mulai melihat pentingnya esports sebagai industri. Memang, pemerintah Shanghai bahkan berencana menjadikan kota Shanghai sebagai “ibukota esports” dalam waktu beberapa tahun ke depan.

Karir Yushuang tidak sepenuhnya mulus. Dia juga menghadapi masalah, seperti kritik dari komunitas, khususnya di internet. Namun, dia mengaku tidak mau ambil pusing. “Di internet, tidak peduli sehebat apa Anda, akan tetap ada orang yang tidak suka dengan Anda. Terkadang, orang akan mengubah pendapat mereka dan melupakan kritik mereka. Saya hanya ingin menunjukkan bagian terbaik dari pekerjaan saya pada orang-orang yang mendukung saya, untuk menunjukkan bahwa dukungan mereka tidak sia-sia,” katanya.

Sementara untuk rencananya ke depan, Yushuang mengaku dia ingin fokus pada apa yang dia miliki sekarang. “Saya senang dengan League of Legends dan saya ingin memberikan semua semangat dan energi yang saya miliki ke pekerjaan saya sekarang. Saya tidak seperti orang lain yang memiliki rencana jangka panjang. Saya percaya, emas akan tetap bersinar, tak peduli dimana ia berada. Jadi, saya akan menikmati apa yang saya punya sekarang.”

Berinvestasi di League of Legends Championship Series, Apakah Menguntungkan?

Sejak 2017, Riot Games menggunakan model franchise untuk League of Legends Championship Series, liga LoL untuk kawasan Amerika Utara. Dalam liga yang menggunakan model franchise, tim yang hendak bertanding harus membayar sejumlah uang untuk membeli slot dari liga tersebut. Echo Fox mengeluarkan US$10 juta untuk membeli slot LCS pada 2017. Belum lama ini, slot tim Echo Fox dibeli oleh Evil Geniuses. Menurut orang yang mengaku tahu tentang transaksi ini, Evil Geniuses mengeluarkan US$33 juta. Ini menunjukkan bahwa harga slot franchise LCS naik 230 persen dalam waktu dua tahun.

Selain itu, Michael Prindiville, CEO Dignitas, mengaku bahwa prioritasnya setelah dia menjabat sebagai CEO Dignitas adalah untuk mendapatkan slot LCS. Dignitas akhirnya bisa kembali ke LCS setelah mereka melakukan merger dengan Clutch Gaming. Nilai merger ini dikabarkan mencapai US$20 juta. Dalam daftar 13 perusahaan esports dengan nilai terbesar menurut Forbes, 9 di antaranya merupakan pemegang slot franchise untuk liga League of Legends di Amerika Utara dan Eropa. Masing-masing perusahaan memiliki nilai lebih dari US$120 juta. Namun, itu bukan berarti organisasi esports yang ikut berlaga dalam LCS atau liga LoL lainnya sudah mendapatkan untung dari liga tersebut.

Menurut Will Hershey, co-founder dan CEO Roundhill Investments, alasan mengapa organisasi esports tertarik berlaga di liga League of Legends adalah karena popularitas dari game buatan Riot Games tersebut. Berbeda dengan olahraga tradisional yang keberadaannya tidak tergantung pada satu perusahaan, keberlangsungan esports sangat tergantung pada sang developer. Jika Riot memutuskan untuk menutup League of Legends, maka liga esports dari game itu juga akan mati. Namun, 10 tahun sejak dirilis, League of Legends masih populer. Pada 2018, Riot mendapatkan US$1,4 miliar dari game yang bisa dimainkan secara gratis tersebut. Ini menjadikan League of Legends sebagai game dengan pendapatan terbesar nomor tiga, menurut data SuperData.

“Jika Anda ingin terlibat dalam satu game, League of Legends adalah pilihan yang paling masuk akal,” kata Hershey, dikutip dari The Washington Post. “Game ini tidak hanya berumur panjang, tapi juga memberikan kontribusi besar pada pendapatan publisher. Pendapatan dari sebuah game adalah faktor paling penting yang harus dipertimbangkan ketika Anda hendak menanamkan investasi.”

Sumber: leagueoflegends.com
Sumber: leagueoflegends.com

Hal lain yang menjadi pertimbangan calon investor adalah hak siar media, menurut Josh Champan, co-founder dan Managing Partner, Konvoy Ventures, perusahaan venture capital yang fokus pada industri game dan esports. “Saya rasa, liga ini akan menghasilkan banyak uang. Apakah ini akan menguntungkan tim esports, tergantung pada besar investasi dari masing-masing tim dan pembagian pendapatan dari hak siar media untuk setiap tim.”

Chapman mengatakan, hak siar media untuk liga esports akan berbeda dari hak siar untuk liga olahraga tradisional seperti NFL, liga american football di Amerika Serikat. NFL memiliki kontrak senilai SU$27,9 miliar selama 9 tahun dengan CBS, NBC, dan FOX. Sebagai perbandingan, pada 2016, Riot menjual hak siar esports League of Legends selama 7 tahun pada BAMTech dengan nilai US$300 juta, menurut Wall Street Journal. Perjanjian ini lalu diperbarui pada 2018, ketika Disney mengakuisisi BAMTech. Hak siar esports LoL kemudian dipindahtangankan ke platform streaming ESPN+. Sayangnya, tidak diketahui berapa besar nilai dari perjanjian hak siar baru tersebut.

Sumber: Geek.com
Sumber: Geek.com

Untuk memperkirakan nilai hak siar esports League of Legends, Chapman menggunakan Overwatch League (OWL) dari Activision Blizzard sebagai perbandingan. Twitch membayar US$90 juta untuk mendapatkan hak siar eksklusif dari OWL selama dua tahun. Sejak September 2017 sampai Agustus 2019, Overwatch memiliki jumlah penonton rata-rata 33.987 setiap bulannya. Itu artinya, Twitch membayar US$1.324 untuk satu penonton. Sementara itu, League of Legends memiliki jumlah rata-rata penonton 116.669 orang. Dengan harga yang sama, maka hak siar eksklusif untuk esports League of Legends akan bernilai US$154,5 juta per tahun.

Namun, Chapman dan Hershey percaya, Twitch membayar harga terlalu mahal untuk hak siar eksklusif akan OWL. Chapman memperkirakan, channel resmi Twitch OWL hanya berkontribusi US$8,2 juta dari total pendapatan iklan Overwatch League selama periode dari September 2018 sampai Agustus 2019. Angka ini jauh lebih rendah dari harga US$45 juta yang dibayarkan oleh Twitch. Meskipun begitu, Hershey tetap percaya bahwa hak siar media akan menjadi sumber pendapatan utama dari sebuah liga, selain dari sponsorship dan penjualan merchandise.

“Ada satu perbedaan besar antara esports dan olahrga tradisional,” kata Hershey. “Penonton harus rela membayar jika mereka ingin menonton pertandingan olahraga tradisional Tapi, selama ini, mereka bisa menonton esports dengan gratis. Jadi, ini adalah salah satu masalah besar yang harus diselesaikan oleh penyelenggara industri esports.”

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Saat ini, setidaknya 35 persen dari total pendapatan LCS masuk ke kantong pemain, 32,5 persen untuk tim, dan 32,5 persen sisanya untuk Riot. Menurut Hershey, pada 2018, masing-masing tim mendapatkan hampir US$1 juta. Pada tahun ini, dia memperkirakan angka itu naik menjadi sekitar US$1 juta sampai US$2 juta. “Masih jauh lebih rendah dari jumlah yang mereka bayarkan untuk mendapatkan slot franchise LCS,” katanya. “Tapi, sekarang, kita masih ada di tahap awal dalam memonetisasi liga esports.”

Chapman berharap, para pemilik slot LCS mengerti bahwa investasi mereka tidak akan berbuah dalam waktu dekat. Dia memperkirakan, diperlukan waktu bertahun-tahun sebelum para peserta LCS bisa mendapatkan untung. Hal ini tidak hanya terjadi pada esports League of Legends, tapi juga pada Activision Blizzard, yang menggunakan sistem franchise untuk menyelenggarakan Overwatch League dan Call of Duty League pada tahun depan.

Ini tidak membuat Prindiville dari Dignitas gentar. Dia mengatakan, dia tidak memiliki rencana untuk keluar dari scene esports League of Legends dalam waktu dekat. “Kami rasa, esports ini masih bisa bertahan selama 50 tahun lagi,” katanya. “Dalam waktu pendek, pendapatan akan datang dari sponsorship dan hak siar media. Dalam jangka panjang, kami ingin memiliki slot ke sejumlah franchise penting seperti LCS, karena nilainya akan naik seiring dengan waktu. Dalam 10-20 tahun lagi, siapa yang tahu berapa harga dari slot LCS? Begitulah cara Anda membangun perusahaan besar, inilah cara untuk mendapatkan kembali jutaan dollar yang telah Anda keluarkan.”

Sumber header: Business Insider

Demi Kembangkan Esports League of Legends, Riot Keluarkan Rp1,4 Triliun per Tahun

Riot Games selalu berusaha untuk membuat acara pembukaan League of Legends World Championship (LWC) yang megah, seperti menggunakan teknologi Augmented Reality untuk membuat seekor naga raksasa mengitari stadion pada 2017. Global Manager Riot Games, Derric Asiedu mengatakan bahwa setiap tahun, mereka menghabiskan US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk mengembangkan esports League of Legends dan mereka tidak akan mendapatkan untung dalam waktu dekat. Meskipun begitu, Global Head of Esports, Riot Games John Needham tetap optimistis tentang prospek esports di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena semakin banyak perusahaan yang mendukung LWC dalam jangka panjang, seperti OPPO dan Axe.

“Pendapatan kami tumbuh 50 persen pada tahun ini, dan kemungkinan, akan kembali tumbuh 50 persen pada tahun depan,” kata Needham pada The Esports Observer. “Kami menargetkan esports bisa menjadi sustainable pada tahun ke-10. Saya tidak tahu apakah hal ini sudah pernah dilakukan di olahraga tradisional, tapi saya sangat percaya diri tentang bisnis esports di masa depan.” Satu hal yang Needham tonjolkan adalah fakta bahwa pemain dan penonton League of Legends masih sangat muda. Kebanyakan penonton esports memang memiliki umur di bawah 35 tahun. Inilah yang membuat semakin banyak perusahaan non-endemik tertarik untuk menjadi sponsor liga atau tim esports.

Dari pengalaman Riot dalam mengadakan, LWC, tampaknya, tak hanya perusahaan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tapi juga pemerintah. Tahun ini, babak final LWC diadakan di Paris, Prancis, dan Riot mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah kota Paris. Konferensi pers dari LWC diadakan di Eiffel Tower dan sejumlah politikus penting hadir dalam acara tersebut. Dan ini tak hanya terjadi pada turnamen League of Legends, tapi juga turnamen esports lain seperti Rainbow Six. Mengingat turnamen esports bisa menumbuhkan perekonomian lokal sebuah kota, tak heran jika pemerintah juga berlomba-lomba untuk mengadakan turnamen esports di kotanya.

John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer
John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer

Menurut data dari Esports Charts, babak final dari LWC, yang mempertemukan FunPlus Phoenix dari Tiongkok dan G2 Esports dari Eropa ditonton oleh 104 juta orang di Tiongkok dan 3,7 juta orang di dunia. Walau jumlah penonton ini terdengar banyak, tapi jumlah penonton babak final kali ini hanya mencapai setengah dari jumlah penonton babak final LWC pada tahun lalu, seperti disebutkan oleh Abascus News. Tahun lalu, penonton dari Tiongkok mencapai 200 juta. Tidak heran, karena tahun lalu adalah kali pertama tim dari Tiongkok — Invictus Gaming — lolos babak kualifikasi LWC dan bahkan membawa pulang Summoner’s Cup. Menariknya, pertandingan antara FunPlus Phoenix dan G2 Esports lebih populer secara global. Tahun lalu, jumlah penonton di dunia hanya mencapai 2 juta, sementara tahun ini angka itu naik hampir dua kali lipatnya.

Needham percaya, dukungan akan esports akan terus tumbuh. Tahun depan, babak final LWC akan diadakan di Shanghai, Tiongkok. Sebelum memutuskan untuk memilih Shanghai, Needham berkata bahwa ada sejumlah kota yang menawarkan diri untuk menyelenggarakan LWC. “Kami telah melakukan proses bidding. Memang, proses ini tidak seperti proses bidding Olimpiade, tapi kami sedang menuju ke tingkat itu,” ujarnya. Sayangnya, Riot biasanya hanya mengadakan babak final LWC di empat kawasan: Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Utara, dan Eropa. Keempat kawasan ini memang kawasan dengan tim tim League of Legends terkuat.

Inilah yang mendorong Riot melakukan konsolidasi turnamen di sejumlah kawasan, seperti di Asia Tenggara. Mulai tahun depan, League of Legends Master Series untuk kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau akan digabungkan dengan League of Legends Southeast Asia Tour menjadi Pacific League Championship Series. Diharapkan, dengan melakukan konsolidasi liga, ini akan mendorong terciptanya tim-tim yang lebih tangguh, seperti yang terjadi di Eropa dengan League of Legends European Championship (LEC).

Sumber header: Dexerto