Sonos Roam Adalah Speaker Terkecil Sekaligus Termurah Sonos Sejauh Ini

Meski sudah menggeluti bidang audio nirkabel sejak lama, Sonos baru meluncurkan speaker portabel pertamanya, Sonos Move, di tahun 2019. Satu hal yang cukup disayangkan adalah, dengan ukuran sebesar 240 x 160 x 126 mm, Sonos Move tidak seportabel kebanyakan speaker Bluetooth lain yang ada di pasaran.

Pernyataan ini tidak berlaku untuk speaker terbarunya, Sonos Roam. Dengan dimensi hanya 168 x 62 x 60 mm (kurang lebih sebesar botol minum), Roam tentu sangat mudah dibawa-bawa, apalagi mengingat bobotnya cuma berada di kisaran 0,43 kg. Kalau perlu membawanya ke samping kolam renang pun juga tidak masalah, sebab Roam telah mengantongi sertifikasi ketahanan air IP67 (sampai kedalaman 1 meter selama 30 menit).

Di dalamnya bernaung sebuah mid-woofer, sebuah tweeter, dan sepasang amplifier Class-H. Yang menarik adalah, Roam tidak mendistribusikan suara ke segala sudut (360°) seperti mayoritas speaker Bluetooth. Namun supaya suara yang dihasilkan tetap optimal dalam berbagai kondisi, Roam tetap dibekali fitur Trueplay yang akan menyesuaikan sendiri karakteristik suaranya secara otomatis berdasarkan posisinya di dalam ruangan.

Roam memanfaatkan unit mikrofon beamforming yang tertanam di dalamnya untuk mewujudkan fitur Trueplay ini. Tentu saja mikrofon yang sama juga berfungsi untuk menangkap suara pengguna, sebab Roam memang mendukung integrasi Google Assistant maupun Amazon Alexa.

Tidak seperti speaker Bluetooth pada umumnya, Roam mengemas konektivitas Bluetooth 5.0 dan Wi-Fi sekaligus. Jadi selagi masih berada di rumah, Roam dapat terhubung ke jaringan Wi-Fi untuk memutar audio langsung dari layanan streaming. Barulah ketika dibawa ke luar, Roam langsung berganti ke mode Bluetooth secara otomatis.

Kehadiran Wi-Fi berarti Roam juga dapat terhubung ke sistem multi-room yang sudah menjadi ciri khas Sonos selama ini. Pengguna juga bisa memperlakukan dua unit Roam sebagai speaker stereo, tapi sayangnya ini cuma berlaku jika perangkat terhubung ke jaringan Wi-Fi saja, bukan Bluetooth.

Dalam satu kali pengisian, Roam diyakini mampu beroperasi hingga 10 jam nonstop. Opsi charging-nya ada dua: menggunakan kabel USB-C, atau menggunakan wireless charger. Yang termasuk dalam paket penjualan memang cuma kabelnya saja, akan tetapi kabar baiknya pengguna tetap bisa menggunakan Qi wireless charger lain yang mereka punyai.

Sebagai speaker terkecil Sonos, Roam jelas merupakan yang paling terjangkau. Di Amerika Serikat, Sonos bakal memasarkannya seharga $169 (± 2,4 jutaan rupiah) mulai tanggal 20 April mendatang. Pilihan warna yang tersedia ada dua, yakni hitam atau putih.

Sumber: Sonos.

Berkat Rancangan Modular, Speaker Beosound Level Bakal Punya Umur Panjang

Satu hal unik yang memisahkan perangkat audio dari produk teknologi lain adalah faktor usia. Speaker atau amplifier dari puluhan tahun silam mungkin masih bisa berfungsi dengan baik sekarang, dan terkadang kualitas suara yang dihasilkan juga bisa mengalahkan perangkat serupa yang lebih modern.

Itulah mengapa bagi sebagian orang perangkat audio ibarat suatu produk investasi. Mereka tidak segan mengucurkan dana ribuan dolar hanya untuk sebuah speaker, sebab mereka tahu perangkat itu masih relevan sampai beberapa dekade lagi. Masalahnya, pemikiran yang sama jarang bisa berlaku untuk perangkat audio modern.

Ambil contoh speaker portabel. Semahal apapun material yang diusung, speaker tersebut masih mengemas baterai rechargeable yang bisa mengalami degradasi kinerja seiring berjalannya waktu. Bisa dibayangkan betapa mengesalkannya membeli speaker portabel seharga $1.000, lalu baterainya tidak lagi berfungsi setelah dua atau tiga tahun dan harus dibawa ke tukang servis.

Solusi yang lebih elegan adalah desain yang modular, yang memungkinkan beberapa komponen speaker untuk ditukar dengan yang baru apabila diperlukan. Itulah filosofi di balik speaker portabel terbaru dari Bang & Olufsen: Beosound Level. Sepintas penampilannya kelihatan seperti speaker kuno, dan itu mungkin disengaja guna menggambarkan bahwa ia punya umur yang panjang seperti perangkat-perangkat dari zaman lawas.

Umur panjang tersebut dimungkinkan berkat modul streaming dan baterai yang bisa dilepas-pasang. Idenya adalah, ketika komponen-komponen tersebut sudah menurun kinerjanya – atau sudah ketinggalan zaman – pengguna bisa melepas dan menggantinya dengan yang baru. Anggap saja ke depannya bakal ada teknologi yang lebih advanced ketimbang Chromecast maupun AirPlay, maka konsumen bisa ikut menikmatinya dengan meng-upgrade modul streaming Beosound Level, tidak harus membeli speaker baru.

Sebagai sebuah speaker portabel, Beosound Level tergolong cukup fleksibel. Ia bisa ditidurkan atau diberdirikan, atau kalau perlu juga bisa digantungkan ke tembok dengan bantuan wall bracket yang dijual terpisah. Dalam posisi yang berbeda-beda itu, perangkat bakal menyesuaikan karakter akustiknya secara otomatis sehingga suara yang dihasilkan tetap optimal di mana pun ia berada.

Di dalamnya bernaung sepasang woofer 4 inci, satu full-range driver 2 inci, dan sepasang tweeter 0,8 inci, masing-masing dengan unit amplifier-nya sendiri-sendiri. Cover depannya bisa dipilih antara yang berbahan kayu atau kain, dan secara keseluruhan perangkat seberat 3,3 kg ini tahan air dengan sertifikasi IP54.

Dalam sekali pengisian, Beosound Level diklaim mampu beroperasi hingga 16 jam nonstop. Charging-nya bisa dengan mengandalkan kabel USB-C, atau bisa juga dengan menancapkan konektor magnetis khusus ke sisi belakangnya. Wi-Fi AC, Bluetooth 5.0, integrasi Chromecast, sampai dukungan AirPlay 2 dan Spotify Connect, semuanya hadir sebagai standar di sini.

Seperti yang sudah bisa ditebak dari produk besutan B&O, harganya jauh dari kata murah. Di Amerika Serikat, Beosound Level saat ini sudah dijual dengan banderol mulai $1.499. Belum diketahui berapa harga yang akan dipatok untuk modul-modul penggantinya, tapi kemungkinan besar juga tidak murah.

Sumber: Trusted Reviews.

B&O Kembali Luncurkan Speaker Bluetooth Berwujud Kotak Makan Siang, Kali Ini Dengan Wireless Charging

Pepatah “if it ain’t broke, don’t fix it” cukup sering dilontarkan di dunia teknologi, tapi mungkin yang paling sering datang dari segmen audio. Alasannya sederhana: produk audio terkenal punya umur yang panjang. Tidak seperti TV, speaker warisan orang tua Anda yang sudah berusia puluhan tahun belum tentu suaranya lebih jelek daripada yang Anda beli tahun lalu.

Itulah mengapa pada akhirnya kita cukup sering melihat perangkat-perangkat audio baru yang sebenarnya tidak lebih dari sebatas penyegaran versi lamanya. Bentuk dan suara yang dihasilkannya nyaris tidak berubah, tapi mungkin ada penyempurnaan dari segi konektivitas maupun aspek-aspek pelengkap lainnya.

Salah satu produk audio yang sesuai dengan deskripsi di atas adalah speaker wireless bikinan Bang & Olufsen, yakni Beolit 12 yang dirilis di tahun 2012. Dalam kurun waktu delapan tahun, speaker dengan wujud menyerupai kotak makan siang ini sudah mempunyai tiga suksesor: Beolit 15 di tahun 2015, Beolit 17 di tahun 2017, dan yang terbaru, Beolit 20 di tahun pandemi ini.

Seperti yang bisa Anda lihat, lagi-lagi B&O tidak banyak mengutak-atik desainnya. Beolit 20 masih sangat identik dengan ketiga pendahulunya. Rangkanya yang begitu elegan masih terbuat dari aluminium, dan keempat sisinya masih dikitari grille. Handle-nya yang terbuat dari kulit pun masih ada di posisi yang sama.

Yang berbeda kali ini adalah, permukaan atasnya bisa merangkap fungsi sebagai Qi wireless charger, dengan titik-titik melingkar sebagai indikatornya. Sayang sekali tidak ada magnet di baliknya, yang berarti pengguna tetap harus mengepaskan sendiri posisi perangkat yang diletakkan di atasnya agar charging bisa berjalan normal.

Lima tombol pengoperasian tetap hadir di panel atasnya ini, salah satunya tombol play/pause yang menggantikan tombol multifungsi milik pendahulunya. Kedengarannya memang seperti downgrade, tapi saya yakin sebagian besar konsumen akan lebih senang dengan konfigurasi tombol yang lebih simpel seperti ini.

Hal lain yang berbeda pada Beolit 20 adalah daya tahan baterainya. B&O mengklaim Beolit 20 bisa beroperasi 30 persen lebih lama dari pendahulunya. Persisnya, baterai 3.200 mAh yang tertanam di tubuhnya sanggup bertahan sampai 37 jam kalau musik hanya diputar dalam volume rendah. Di volume standar, daya tahannya turun menjadi 8 jam, dan di volume maksimum tersisa cuma 4 jam. Beruntung perangkat ini sudah mengandalkan USB-C untuk charging-nya.

Di balik bodi Beolit 20 yang berbobot 2,7 kg ini, tertanam sebuah woofer 5,5 inci dan tiga driver full-range dengan diameter masing-masing 1,5 inci. Melengkapi jeroannya adalah sepasang passive radiator 4 inci, sepasang amplifier Class-D dengan daya masing-masing 35 W, serta sebuah tweeter.

Sayang sekali konektivitas yang digunakan masih Bluetooth 4.2, padahal seharusnya efisiensi dayanya bisa lebih ditingkatkan lagi kalau menggunakan Bluetooth 5.0. Kabar baiknya, fitur stereo pairing masih didukung, dan pengguna bisa menggandengkan Beolit 20 dengan Beolit 17 jika mau.

Saat ini Beolit 20 sudah dijual dengan harga $500, alias sama persis seperti harga perdana pendahulunya. Kombinasi warna yang tersedia ada dua: silver dengan aksen beige, dan hitam dengan aksen biru.

Sumber: The Verge.

Teno Adalah Lampu Sekaligus Speaker Portabel Berdesain Unik Karya Anak Bangsa

Di tahun 2014, seorang arsitek berdarah Indonesia, Max Gunawan, memberanikan diri untuk terjun ke bidang teknologi lewat suatu produk yang mengedepankan aspek desain. Produk tersebut adalah Lumio, sebuah lampu portabel yang menyamar sebagai buku, yang sangat populer sampai-sampai banyak versi palsunya yang beredar.

Memasuki akhir tahun pandemi ini, Max kembali melancarkan kampanye crowdfunding di Kickstarter untuk produk keduanya yang bernama Teno. Seperti halnya Lumio, Teno juga merupakan sebuah lampu portabel, tapi ternyata ia juga merangkap peran sebagai speaker Bluetooth.

Juga sama seperti Lumio, yang paling mencuri perhatian dari Teno adalah desainnya. Sepintas, ia kelihatan seperti sebuah mangkok tertutup yang terbuat dari batu, dengan bagian tengah yang retak sampai ke samping. Buka retakan tersebut, maka lampu berwarna kuning akan menyala seketika itu juga, dan musik pun juga siap dialunkan.

Max menjelaskan bahwa desain Teno banyak terinspirasi oleh kintsugi, seni mereparasi barang pecah belah seperti tembikar menggunakan pernis yang dicampuri emas. Lewat Teno, Max pada dasarnya ingin menciptakan suatu produk teknologi yang tak lekang oleh waktu, bukan yang harus diganti dengan yang baru setiap tahunnya.

Berhubung estetika adalah prioritas yang paling utama, jangan terkejut apabila Teno tidak dibekali tombol sama sekali. Sebagai gantinya, hampir seluruh permukaannya telah dilengkapi panel sentuh. Sentuh di dekat bagian retakannya, maka tingkat kecerahan lampunya akan berubah (maksimum sampai 250 lumen). Sentuh agak jauh dari retakannya, maka kita bisa menerima atau menghentikan panggilan telepon.

Namun favorit saya adalah gesture untuk mengatur volume suaranya, yakni cukup dengan mengusap ke atas atau bawah pada lengkungan di sisi kiri maupun kanan Teno. Biarpun tak memiliki tombol, sensasi taktil tetap sanggup Teno sajikan berkat tekstur permukaannya yang menyerupai batu, apalagi mengingat rangka Teno memang terbuat dari campuran bahan resin dan pasir alami.

Secara teknis, Teno memiliki diameter 13 cm dan tinggi sekitar 6,4 cm, sedangkan bobotnya berada di kisaran 900 gram. Di dalamnya, tertanam sebuah full-range driver berdiameter 45 mm, lengkap beserta sebuah passive radiator dan amplifier Class-D berdaya 10 W. Urusan konektivitas, Teno mengandalkan Bluetooth 5.0 dengan dukungan codec aptX HD.

Volumenya sendiri disebut cukup untuk mengisi ruangan dengan luas 5-20 m², dan saya sudah bisa membayangkan Teno sebagai salah satu ornamen yang menghiasi meja di samping tempat tidur, yang kemudian bisa dibawa ke ruang membaca ketika dibutuhkan. Alternatifnya, pengguna juga bisa menghubungkan dua unit Teno untuk mendapatkan setup stereo.

Teno mengemas baterai berkapasitas 2.800 mAh, dan ini disebut cukup untuk menenagai lampunya menyala paling terang selama 4 jam, atau speaker-nya selama 8 jam dengan tingkat volume 50%. Untuk mengisi ulang Teno, pengguna bisa memanfaatkan charger magnetis yang termasuk dalam paket penjualannya.

Buat yang tertarik, Teno saat ini sudah bisa dipesan melalui Kickstarter dengan harga paling murah $240 (belum termasuk biaya pengiriman ke Indonesia sebesar $30). Harga ritelnya dipatok $300, dan konsumen bisa memilih antara warna Arctic White atau Lava Black.

Sampai artikel ini ditulis, tercatat Teno telah mengumpulkan pendanaan sekitar $170.000, dan ini ternyata sudah jauh melampaui target yang ditetapkan oleh Max. Kampanye crowdfunding-nya sendiri akan berlangsung sampai 20 November 2020, akan tetapi pengirimannya ke konsumen dijadwalkan baru berlangsung mulai Mei 2021.

Sumber: The Verge dan Design Anthology.

Teenage Engineering OB-4 Adalah Speaker Bluetooth, Radio, dan Mesin Remix Jadi Satu

Produsen synthesizer kenamaan asal Swedia, Teenage Engineering, belum lama ini memperkenalkan sebuah speaker Bluetooth yang sangat menarik bernama OB-4. Begitu menariknya, mereka tidak segan menjulukinya dengan istilah “The Magic Radio”.

Radio? Ya, perangkat ini bisa memutar radio FM di samping memutar musik via Bluetooth. Namun yang istimewa adalah bagaimana ia juga bisa merangkap peran sebagai mesin remix: apapun yang sedang ia putar bakal selalu direkam dengan durasi maksimum sampai dua jam ke belakang, dan pengguna bebas memanipulasi hasil rekamannya tersebut melalui piringan kecil yang terletak di samping kenop volumenya.

Jadi entah itu siaran radio atau lagu yang di-stream dari Spotify, semua pada dasarnya bisa di-remix menggunakan piringan mini di pelat bagian atasnya tersebut. Dari yang sesimpel me-rewind, sampai yang sedikit lebih kompleks seperti teknik time stretching, semua tergantung bagaimana Anda menggerakkan piringannya dengan jari.

OB-4 juga menawarkan sejumlah fitur eksperimental yang disajikan lewat mode bernama “Disk Mode”. Sejauh ini sudah ada tiga fitur, yakni Karma yang akan memutar sejenis mantra-mantra bernuansa psychedelic, kemudian Ambient yang memutar semacam musik meditatif tapi yang sebenarnya berasal dari siaran radio, dan terakhir Metronome yang bisa dijadikan acuan tempo. Ke depannya, Teenage Engineering berniat untuk terus menambahkan fitur-fitur baru pada Disk Mode ini.

Selebihnya, OB-4 tidak ubahnya sebuah speaker premium dengan sepasang woofer dan sepasang tweeter, plus dua amplifier Class-D yang masing-masing memiliki output 38 W. Bobot perangkat tergolong berat di angka 1,7 kg, tapi seperti yang bisa kita lihat, ada sebuah handle pada bagian atasnya. Menariknya, handle ini juga bisa dijadikan penyangga selagi speaker-nya dimiringkan.

Keberadaan handle juga mengindikasikan sifat perangkat yang portable. Benar saja, OB-4 mengemas baterai berkapasitas 5.000 mAh yang diklaim bisa memutar radio secara nonstop sampai 72 jam, atau memutar musik via Bluetooth sampai 40 jam. Untuk keperluan berpesta dengan volume yang harus mentok, ia sanggup beroperasi hingga 8 jam.

Teenage Engineering OB-4 bukanlah barang murah. Ia dijajakan seharga $599, dan malah ada varian lain yang berwarna merah dengan finish glossy yang dijual seharga $649. Jelas sekali ini merupakan produk untuk kalangan enthusiast, namun tidak bisa dipungkiri ide untuk me-remix siaran radio pastinya sangat menggugah rasa penasaran.

Sumber: Engadget.

Nokia 2.4 dan Nokia 3.4 Diumumkan Bersama TWS Baru dan Sebuah Speaker Bluetooth

Sejak diambil alih lisensinya oleh HMD Global pada tahun 2016 lalu, Nokia telah menjadi brand yang sangat produktif di ranah smartphone Android, khususnya di kelas menengah ke bawah. Pandemi COVID-19 pun tidak menghalangi laju mereka. Baru-baru ini, mereka menyingkap dua smartphone anyar sekaligus: Nokia 2.4 dan Nokia 3.4.

Kita awali dari yang paling murah dulu, yakni Nokia 2.4 yang dijual dengan harga mulai 119 euro (± 2 jutaan rupiah). Ponsel ini mengemas layar 6,5 inci beresolusi HD+, dengan performa yang ditunjang oleh chipset MediaTek Helio P22, RAM 2 GB atau 3 GB, dan pilihan kapasitas penyimpanan internal 32 atau 64 GB.

Nokia 2.4

Nokia 2.4 mengemas sepasang kamera belakang, plus sebuah kamera selfie 5 megapixel. Namun yang lebih menarik adalah, Nokia turut menyematkan kapabilitas AI sehingga perangkat bisa mengaktifkan fitur-fitur seperti Night Mode atau Portrait Editor. Juga menarik adalah fakta bahwa ponsel ini sudah dibekali NFC.

Baterainya diklaim bisa tahan sampai dua hari pemakaian. Sepintas klaim ini terkesan terlalu ambisius, tapi cukup rasional jika melihat korelasi antara spesifikasi yang ditawarkan dengan modul baterai berkapasitas 4.500 mAh. Berhubung ini Nokia, pembaruan sistem operasi hingga dua tahun ke depan turut menjadi nilai jual utamanya, yang berarti ponsel ini siap di-update sampai Android 12.

Nokia 3.4

Beralih ke Nokia 3.4, semuanya sudah di-upgrade setidaknya satu level lebih tinggi. Cukup wajar mengingat banderol harganya memang sedikit lebih mahal di angka 159 euro (± 2,7 jutaan rupiah). Secara estetika, ia juga lebih memikat berkat lubang pada layar yang dihuni oleh kamera 8 megapixel.

Ukuran layarnya sendiri sedikit lebih kecil di angka 6,39 inci, tapi resolusinya sama-sama HD+. Urusan performa, Nokia 3.4 mengandalkan chipset Qualcomm Snapdragon 460, lengkap beserta RAM 3 GB atau 4 GB. Storage internalnya sendiri tersedia dalam dua ukuran, 32 GB atau 64 GB, dan seperti Nokia 2.4, ia juga mengemas slot microSD untuk keperluan ekspansi.

Di sektor kamera, Nokia 3.4 datang membawa tiga kamera belakang: kamera utama 13 megapixel, kamera ultra-wide 5 megapixel, dan depth sensor 2 megapixel. Baterainya punya kapasitas 4.000 mAh, dan perangkat juga hadir membawa NFC sebagai fitur standar. Satu kelebihan lain Nokia 3.4 dibanding Nokia 2.4 adalah, konektornya sudah USB-C.

Bersamaan dengan peluncuran dua smartphone baru ini, Nokia juga mengumumkan bahwa mereka akhirnya sudah mulai memasarkan Nokia 8.3, ponsel 5G yang mereka perkenalkan pertama kali pada bulan Maret lalu. Poin menarik dari presentasinya adalah, Nokia mengklaim ponsel ini mampu mencatatkan kecepatan koneksi internet yang lebih kencang ketimbang ponsel 5G lain meski sama-sama ditenagai chipset Snapdragon 765G.

TWS baru dan speaker Bluetooth berukuran mini

Nokia Power Earbuds Lite

Dalam kesempatan yang sama, Nokia turut memperkenalkan dua aksesori anyar yang cukup menarik. Yang pertama adalah Nokia Power Earbuds Lite, TWS anyar yang berukuran lebih ringkas dan lebih terjangkau daripada Nokia Power Earbuds.

Meski berukuran lebih kecil, TWS seharga 60 euro (± 1 jutaan rupiah) ini tetap punya daya tahan baterai yang cukup awet: sampai 5 jam dalam sekali pengisian, sedangkan charging case-nya siap menyuplai hingga 30 jam daya ekstra (total 35 jam). Kontrol sentuh pada sisi luar earpiece turut didukung, dan fisiknya secara keseluruhan tahan air dengan sertifikasi IPX7.

Nokia Portable Wireless Speaker

Untuk produk keduanya, Nokia Portable Wireless Speaker merupakan speaker Bluetooth 5.0 dengan wujud menyerupai Google Home Mini. Ukurannya benar-benar sangat ringkas, dengan diameter 86 mm dan tebal 50 mm, serta bobot hanya 160 gram. Harganya pun termasuk murah di angka 35 euro (± 600 ribuan rupiah).

Di dalamnya tersimpan driver berdiameter 43 mm, mikrofon, serta baterai yang bisa beroperasi hingga 4 jam penggunaan. Jika diperlukan, pengguna bisa menghubungkan dua unit yang sama untuk mendapatkan output stereo. Satu hal yang absen di sini adalah integrasi asisten virtual.

Sumber: HMD Global.

Sony Luncurkan Trio Speaker Bluetooth Extra Bass Baru

Sony punya trio speaker Bluetooth baru yang cukup menarik, terutama buat mereka yang doyan lagu-lagu nge-beat mengingat ketiganya berasal dari lini Sony Extra Bass: SRS-XB23, SRX-XB33, SRS-XB43. Angka di sini mengindikasikan ukurannya; XB23 adalah yang paling kecil, dan XB43 adalah yang paling besar.

Sony bilang ketiganya mampu menyuguhkan dentuman bass yang lebih jernih berkat sepasang passive radiator yang diposisikan di kiri dan kanan speaker. Khusus untuk XB23, posisinya ada di atas dan bawah mengingat ia adalah satu-satunya yang hanya bisa diberdirikan secara vertikal – XB33 dan XB43 bisa diberdirikan secara horizontal.

Lebih lanjut, ketiganya juga mengemas unit diaphragm dengan bentuk oval ketimbang membulat – bahkan hampir mengotak pada XB43 – dan ini dipercaya mampu menghasilkan distorsi yang lebih minimal sehingga bass-nya terdengar lebih bulat dan mantap. Khusus XB43 selaku yang paling bongsor, Sony turut membekalinya dengan sepasang tweeter demi menyajikan suara vokal yang lebih jernih.

Sony SRS-XB23 / Sony
Sony SRS-XB23 / Sony

Secara fisik, trio speaker ini tahan air dengan sertifikasi IP67, akan tetapi cuma XB23 dan XB33 yang juga diklaim shockproof. Ketiganya juga dapat disinkronkan sampai 100 unit sekaligus berkat fitur Party Connect.

Terkait lampu warna-warni, bisa kita lihat bahwa cuma XB33 dan XB43 yang memilikinya, dan lighting-nya ini bisa disesuaikan lewat sebuah aplikasi smartphone. Dua speaker ini turut dilengkapi fitur Live Sound yang akan menyimulasikan efek suara 3D, tidak ketinggalan juga NFC untuk memudahkan proses pairing.

Sony SRS-XB43 / Sony
Sony SRS-XB43 / Sony

Soal daya tahan baterai, Sony mengklaim XB23 bisa tahan sampai 12 jam pemakaian, sedangkan XB33 dan XB43 sampai 24 jam dalam sekali pengisian. Ketiganya sama-sama mengandalkan USB-C untuk charging, namun khusus XB33 dan XB43, ada port USB ekstra yang dapat dipakai untuk mengisi ulang ponsel.

Sony belum menyebutkan kapan mereka bakal memasarkan ketiga speaker ini, akan tetapi harganya sudah dirincikan: $100 untuk XB23, $150 untuk XB33, dan $250 untuk XB43.


Sumber: Engadget dan Sony.

Speaker Portable Ultimate Ears HyperBoom Siap Mengguncang Ruangan Demi Ruangan Selama 24 Jam Nonstop

Ultimate Ears bukanlah nama asing di ranah speaker portable. Anak perusahaan Logitech itu dikenal lewat keluarga speaker Boom besutannya, yang sejauh ini terdiri dari tiga model, urut dari yang paling kecil: WonderBoom, Boom, dan MegaBoom.

Well, mereka baru saja menambahkan anggota terbarunya, yakni HyperBoom. Sesuai dugaan, ia merupakan model yang paling besar, sekaligus paling ekstrem kalau kata UE sendiri. Benar saja; balok setinggi 36,4 cm ini punya bobot 5,9 kg. Sebagai pembanding, UE MegaBoom 3 punya tinggi 22,5 cm dan bobot 925 gram.

Jeroannya terdiri dari sepasang woofer berdiameter 4,5 inci, sepasang tweeter 1 inci, dan sepasang passive radiator (3,5 x 7,5 inci). Tidak main-main, UE mengklaim volume yang dihasilkan HyperBoom bisa tiga kali lebih keras dibanding MegaBoom 3, dan bass-nya malah enam kali lebih intens.

Ultimate Ears HyperBoom

Sepintas, ukuran HyperBoom mungkin membuat kita lupa bahwa ia merupakan sebuah speaker portable. Baterainya diklaim bisa tahan sampai 24 jam pemakaian, dan tentu saja HyperBoom dapat menyumbangkan sebagian kecil suplai dayanya untuk smartphone atau tablet yang tersambung via USB.

Sebagai speaker portable, HyperBoom tentu bakal banyak dipindahkan – dari ruang tamu ke samping kolam renang misalnya (perangkat tahan guyuran air dengan sertifikasi IPX4) – dan UE sudah menyiapkan fitur pintar bernama Adaptive EQ untuk keperluan ini. Menggunakan mikrofon internalnya, HyperBoom akan mencoba mengenali bentuk ruangan di sekitarnya, lalu menyesuaikan sendiri karakter suaranya supaya optimal.

Ultimate Ears HyperBoom

HyperBoom bisa disambungkan ke empat sumber audio sekaligus; dua via Bluetooth, dan sisanya via colokan standar 3,5 mm serta optical. Selesai tersambung semuanya, pengguna bisa mengganti input-nya dengan sangat mudah via tombol fisik di panel atas HyperBoom, atau melalui aplikasi pendampingnya di smartphone.

Satu fitur yang absen dari HyperBoom adalah integrasi voice assistant, sebab ia memang tidak masuk kategori smart speaker. Awal Maret nanti, Ultimate Ears HyperBoom akan mulai dipasarkan seharga $400.

Sumber: Logitech.

Sonos Perkenalkan Speaker Portable Pertamanya, Move

Sebagai pelopor sistem audio multi-room, pengalaman Sonos di bidang speaker wireless tentunya tidak boleh kita remehkan. Kendati demikian, selama ini pabrikan asal Amerika Serikat tersebut rupanya belum pernah memproduksi speaker portable.

Debut Sonos di ranah portable ditandai oleh Sonos Move. Move pada dasarnya merupakan speaker pertama Sonos yang bisa kita bawa keluar rumah. Di samping Wi-Fi dan dukungan terhadap ratusan layanan streaming, Sonos Move turut dibekali koneksi Bluetooth, meski sayangnya cuma Bluetooth 4.2, bukan Bluetooth 5.0 seperti yang banyak dibicarakan belakangan ini.

Sonos Move

Meski dikategorikan portable, fisik Move rupanya jauh lebih bongsor ketimbang Sonos One, dengan dimensi 240 x 160 x 126 mm, serta bobot yang mencapai angka 3 kilogram. Ini berarti kinerja audio Move semestinya juga lebih baik daripada One, utamanya berkat sebuah tweeter dan mid-woofer yang disokong oleh sepasang amplifier Class-D.

Label portable itu didapat dari baterai terintegrasi yang mampu bertahan hingga 10 jam pemakaian dalam satu kali pengisian, tidak ketinggalan juga sebuah handle di bagian belakang yang menyatu dengan rangka Move. Rangkanya ini pun dirancang supaya weatherproof dengan sertifikasi IP56, sebuah keharusan buat perangkat yang dimaksudkan untuk digunakan di luar rumah.

Urusan charging, Move datang bersama sebuah unit docking yang praktis. Kabar baiknya, unit docking ini bukanlah suatu kewajiban apabila Anda berencana membawa Move bepergian jauh, sebab Move juga bisa di-charge langsung menggunakan kabel USB-C dan adaptor.

Sonos Move

Dari segi fitur pintar, Move banyak mewarisi kakak-kakaknya yang hanya dibekali Wi-Fi. Integrasi Google Assistant sekaligus Amazon Alexa adalah salah satunya, demikian pula fitur Trueplay yang memungkinkan speaker untuk mengadaptasikan kinerja audionya dengan kondisi ruangan. Pada Sonos Move, fitur Trueplay ini bahkan sudah disempurnakan lebih lanjut agar dapat beroperasi secara otomatis.

Rencananya, Sonos Move bakal dipasarkan secara global mulai 24 September mendatang dengan banderol $399. Harga tersebut tergolong tinggi di segmen speaker portable, akan tetapi kita juga tidak boleh lupa dengan fakta bahwa Move tetap merupakan sebuah speaker multi-room. Kebetulan saja ia juga bisa mengandalkan koneksi Bluetooth ketika diperlukan.

Sumber: Sonos dan The Verge.

Smart Speaker Sudah, Bose Kini Luncurkan Portable Smart Speaker

Bose sejauh ini sudah merilis dua smart speaker, yakni Home Speaker 500 dan Home Speaker 300. Keduanya sama-sama mengusung integrasi Alexa dan Google Assistant sekaligus, tapi tidak ada satu pun yang bersifat portable, alias dilengkapi unit baterainya sendiri dan dapat dioperasikan tanpa harus menancap ke sambungan listrik.

Celah tersebut akhirnya sudah diisi oleh Bose Portable Home Speaker, yang baru saja datang sembari membawa baterai berkapasitas 12 jam pemakaian. Sebagai produk yang portable, tentu saja ia memiliki gagang untuk dibawa-bawa, dan sekujur bodinya diklaim tahan air dengan sertifikasi IPX4.

Dalam tubuh seberat 0,9 kilogram-nya, tertanam sebuah driver aktif, tiga radiator pasif, dan sebuah deflector untuk mendongkrak respon bass-nya, mengingat speaker kecil umumnya dinilai kurang membahana. Bentuknya yang silindris mengindikasikan bahwa speaker ini siap mendistribusikan suara ke seluruh sisi alias 360 derajat.

Bose Portable Home Speaker

Seperti yang saya bilang, integrasi Alexa dan Google Assistant merupakan fitur unggulan dari speaker ini, yang berarti interaksi dengan kedua asisten virtual tersebut dapat dilangsungkan tanpa smartphone sebagai perantaranya. Tombol “mic-off” turut tersedia bagi konsumen yang sangat menjaga privasinya.

Terkait konektivitas, Wi-Fi dan Bluetooth sudah pasti tersedia, akan tetapi speaker berdimensi 19 x 10 cm juga dibekali kompatibilitas dengan AirPlay 2 maupun Spotify Connect. Baterai berdaya tahan 12 jam itu mengandalkan USB-C untuk charging.

Bose berencana memasarkan Portable Home Speaker mulai 19 September mendatang seharga $349. Pilihan warna yang tersedia cuma dua seperti pada gambar.

Sumber: Engadget dan Bose.