Mengapa Bekerja di Perusahaan Startup?

Bagi kamu yang seringkali membuat orang tua bertanya-tanya setiap kali pamit bekerja sambil mengenakan t-shirt, celana jeans dan sneaker, kemungkinan besar kamu adalah seorang pekerja di lingkungan startup—atau setidaknya kamu dan kantormu sekarang sedang menganut kultur tersebut.

Sesampainya di kantor, mereka pun bekerja dengan budaya yang santai. Gaya berpakaian dan bekerja yang kasual seperti ini banyak diadopsi oleh karyawan startup dalam keseharian. Lingkungan berbasis open working space juga banyak digunakan sebagai tempat mereka berkolaborasi dan berkarya.

Baik, mungkin sampai di titik ini bekerja di perusahaan startup kedengarannya fleksibel dan tidak rumit. Tapi percayalah, dengan kultur kedisiplinan yang mereka ciptakan sendiri, gaya bekerja seperti ini terbukti telah menghasilkan inovasi-inovasi kelas dunia.

Lantas, bagaimana sistem kerja yang kasual bisa menjadi bagian dari perusahaan raksasa dunia? Mengapa harus kultur startup? Mengapa harus bekerja di startup?

Paling tidak, tiga alasan ini seharusnya dapat memecah rasa ingin tahumu tersebut. Ini dia!

1. Keterlibatan dan jejaring yang kuat

Budaya yang lepas dan santai dari startup memang menjadi magnet tersendiri bagi orang-orang yang senang berkreasi dan berkolaborasi dalam waktu yang bersamaan. General Electric, korporasi yang bisnisnya berada di berbagai segmen—dari migas hingga jasa kesehatan, telah mengaplikasikannya.

Melalui tempat yang menjadi melting pot bagi engineer dan teknisi bernama Digital Foundry, General Electric berhasil menciptakan ide-ide baru, dan bahkan mengajak pelanggan untuk ikut serta berkolaborasi di Digital Foundry.

2. Lingkungan yang siap berinovasi

Salah satu hal yang menyenangkan dari bekerja di perusahaan startup adalah mentalitas orang-orang di dalamnya yang selalu siap dengan perubahan dan tidak khawatir dengan trial-error. Kultur ini yang membuat mereka ingin terus bertumbuh.

Saat bekerja di Google, mantan Direktur Pemasaran Google Brett Crosby punya pengalaman menarik soal pertumbuhan. Kala Google Drive diluncurkan, Brett dan tim punya growth goals yang begitu besar, bahkan mereka sempat tidak yakin dapat mencapai target pada awalnya.

Namun, kultur yang ingin terus bertumbuh dapat mendobrak kenyataan dan menjawab urusan alokasi dana marketing mereka, yang saat itu cukup menyesakkan perusahaan. Hingga pada akhirnya Google Drive dapat diintegrasikan pada Gmail, dan membuat mereka berhasil mencetak target tersebut.

3. Melihat dari sudut pandang yang unik

Produk unik memerlukan orang-orang dengan pemikiran unik di belakangnya. Hal ini berkaitan dengan alasan nomor satu tadi. Lagi-lagi, hal ini dilakukan oleh General Electric.

Sebelumnya, General Electric tak bisa diasosiasikan dengan budaya startup. Tak ada dinding kaca dengan coretan sisa brainstorming dan meja foosball. Tapi, lewat Digital Foundry, General Electric berhasil mematahkan pemikiran tersebut. Hasilnya, Digital Foundry menelurkan, salah satunya, sebuah produk dari seorang data scientist di Digital Foundry yang dapat memilah dan mengelompokkan ribuan gambar MRI dari GE Healthcare, sehingga membuat pekerjaan lebih efisien dan makin efektif.

Tiga alasan tadi setidaknya bisa jadi sampel dari bagaimana perusahaan kelas dunia pun berhasil mendobrak pemikiran bahwa kantor bukan hanya menjadi mesin pencetak uang, namun juga rumah imajinasi dan laboratorium inovasi.

Ide-ide besar dan kreatif adalah asupan sehari-hari para karyawan startup. Nah, apakah kamu tertarik dengan suasana kantor seperti ini? Atau, bagaimana kantor idamanmu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Perlunya Mengubah Sudut Pandang Saat Negosiasi Gaji Sebelum Bekerja di Startup

Salah satu dampak positif dari banyaknya startup yang bermunculan adalah semakin banyak dan beragam lowongan pekerjaan. Sama halnya dengan korporasi yang terus mencari karyawan terbaik untuk bisa mempertahankan dan melanjutkan inovasi, para startup juga membutuhkan karyawan yang siap berjuang untuk memajukan startup. Hingga pada akhirnya membawa ke titik startup dikatakan mapan dan menjadi pemain unggulan di sektornya.

Keduanya pun tak luput memantau dan menggoda para lulusan teranyar dari universitas atau bahkan orang-orang profesional untuk bergabung dengan mereka. Salah satu pertimbangan bagi para calon pegawai untuk masuk ke startup atau korporasi adalah gaji. Ada sudut pandang yang berbeda jika membahas mengenai negosiasi gaji di startup.

Sebagai sebuah perusahaan yang baru dirintis, startup tentu memiliki alasan tersendiri jika memutuskan untuk merekrut Anda. Dengan keuangan yang masih serba terbatas alasan terkuat mereka membutuhkan Anda adalah talenta Anda sangat diperlukan untuk mengantarkan startup ke tingkat yang lebih lanjut. Jika Anda merasa memiliki posisi tawar yang lebih tinggi tidak ada salahnya untuk menanyakan mengenai opsi lain dalam proses negosiasi gaji. Salah satunya adalah mengenai ekuitas.

Startup di tahap awal memang wajib untuk menekan segala bentuk pengeluaran demi menghemat modal. Menawarkan ekuitas kepada karyawan mungkin menjadi opsi terbaik. Startup bisa tetap menghemat modal dan karyawan akan memiliki motivasi yang sama dengan founder atau keseluruhan anggota tim untuk memajukan startup karena merasa memiliki. Berbeda dengan korporasi yang sudah mapan dan mungkin akan menjadi sesuatu yang tidak wajar jika mengajukan pilihan ekuitas untuk korporasi.

Selain ekuitas menanyakan keuntungan-keuntungan lain juga boleh dicoba. Seperti jadwal liburan, kemungkinan kerja remote di beberapa hari dalam seminggu, dan beberapa hal lain yang membuat Anda sebagai calon karyawan bisa dengan nyaman dan tetap produktif dalam bekerja. Sekali lagi sesuatu yang mungkin tidak bisa didapatkan di korporasi.

Setiap pekerjaan memang memiliki tantangannya masing-masing. Jika memutuskan untuk membangun perusahaan dengan bergabung dengan startup tentu harus paham betul tanggung jawab yang diambil. Jadi usahakan semua berkaitan dengan kontrak menjadi jelas di awal sebelum menjadi masalah di kemudian hari.