Dukung Ruang Bertumbuh, Kiat eFishery Jaga 800 Karyawan Terbaiknya

Sedari awal, eFishery berambisi ingin membangun ekosistem akuakultur di Indonesia yang tidak hanya menguntungkan seluruh pemangku kepentingan, tetapi juga berkelanjutan bagi pembudidaya ikan dan udang. Misi ini begitu kental dengan unsur sosial karena selama ini sektor tersebut termarginalkan.

Untuk menciptakan dampak tersebut, internal perusahaan perlu membangun mindset yang sama, dalam bentuk struktur organisasi, kultur, dan value perusahaan, agar setiap aksi yang dilakukan berada dalam satu napas. Tugas inilah yang diemban Chrisna Aditya selaku Co-Founder dan Chief of Staff di eFishery — terlebih dengan kondisi jumlah pegawai yang saat ini telah menembus angka 800 orang.

Keseluruhan talenta ini terbagi menjadi 11 divisi dan tiga unit bisnis: eFishery Farm yang berkaitan dengan proses budidaya, eFishery Mall untuk membeli pakan benih dan mendapat pembiayaan buat petani, dan eFisheryFresh sebagai platform marketplace dari produk petani ke end user.

Tim terbesar perusahaan dipegang oleh sales and expansion, karena eFishery berfokus pada petani. Dibutuhkan tim lapangan untuk membantu proses on boarding teknologi. Berikutnya, adalah tim product dan engineering, bisnis dan operasional, finance, dan marketing.

Semakin bertumbuhnya bisnis, dibutuhkan pula standarisasi sistem agar proses kerja karyawan tetap nyaman dan mampu mendorong mereka untuk bertumbuh. Berkaitan dengan hal itu, Chrisna berbagi pengalamannya dalam wawancara singkat bersama DailySocial.

Menjaga kultur perusahaan

Chrisna bercerita, eFishery dimulai dari empat orang. Meski demikian, dengan 800 orang anggota tim, nilai-nilai perusahaan yang dijunjung tidak berubah. Ia dan tim menyadari bahwa saat perusahaan ekspansi, penguatan sistem, value perusahaan, hingga employee journey harus senantiasa dibangun secara berkesinambungan.

“Jadi ketika orang semakin banyak, sistem harus semakin kuat agar manajemennya tidak berjalan secara sporadis. Sistem juga perlu dibuat secara profesional, dengan demikian orang-orangnya bisa tetap bertumbuh [kemampuannya]. Perusahaan jadi lebih bagus lagi.”

Ada delapan nilai yang dijunjung perusahaan. Beberapa di antaranya adalah meningkatkan entrepreneurial mindset agar solusi yang dibangun sesuai dengan kebutuhan target konsumen, selalu memberikan dampak ke petani, mengutamakan kejujuran dan integritas, inovasi untuk tumbuh bersama, dan apapun yang dilakukan tiap orang punya dampak buat perusahaan dan konsumen.

Nilai-nilai tersebut perlahan ditanamkan saat proses seleksi karyawan baru. Ia dan tim mengutarakan kepada calon kandidat, seperti apa visi dan misi perusahaan supaya mereka paham dan satu jalur dengan apa yang dicari perusahaan. “Lalu saat on boarding session kita beri dokumen dan video untuk mendalami lebih jauh, dari turunan hingga target masing-masing departemen.”

Kemudian, dalam tahap lanjutan, membuka diskusi secara rutin antara karyawan dengan para founder eFishery, demi memastikan visinya tetap sama.

“Setelahnya kita monthly concall (conference call) buat arahan, lalu menurunkannya dalam OKR. Hal ini bertujuan agar semua inisiatif yang dibangun sejalan dengan goal yang dibangun perusahaan.”

Hal yang sama juga berlaku buat tim di lapangan. Ada offline manager yang senantiasa terbuka untuk ruang diskusi bila ada permasalahan dan menjembatani visi perusahaan agar tetap selaras. Mereka juga berkesempatan untuk berdiskusi langsung dengan C-level dan jajaran head agar lebih dekat secara personal.

Tim lapangan di eFishery merupakan orang lokal yang direkrut setelah melalui standarisasi yang dicari perusahaan. Chrisna menilai, orang lokal dianggap memiliki nilai lebih saat berkomunikasi dengan para petani dengan bahasa daerah masing-masing, sehingga dapat terasa lebih personal pendekatannya. “Manager di tiap lokasi akan rutin melakukan coaching, supaya standar [visi misi] kita tetap sama.”

“Dengan growth eFishery yang kencang, tahun depan bisa 1000 karyawan sebab kami ingin memberi dampak yang lebih jauh. Terlebih sekarang ini kami WFH yang terbukti bisa mendorong growth kita lebih besar, di samping itu bisa attract talent lebih luas lagi [tidak hanya di kota besar].”

Gerak kencang eFishery dalam menambah talenta baru tak lain dalam rangka mewujudkan rencana perusahaan untuk ekspansi ke Thailand dan Vietnam tahun depan. Perusahaan akan bekerja sama dengan perusahaan lokal yang akan membantu proses ekspansi dan operasionalnya untuk melakukan uji coba terlebih dahulu.

Sumber: eFishery

Memanfaatkan platform teknologi

Perusahaan yang semakin tumbuh membutuhkan bantuan teknologi untuk mengotomasinya. Kebutuhan tersebut semakin tervalidasi semenjak pandemi. eFishery kini memanfaatkan platform teknologi secara end-to-end untuk mengakomodir seluruh kebutuhan karyawan yang sepenuhnya WFH hingga saat merekrut karyawan baru.

“Kami sekarang full WFH. Pada tahap awal butuh penyesuaian habit yang perlu dibangun, termasuk bagaimana cara dokumentasi dari seluruh proses kerja yang tadinya belum sepenuhnya digital jadi full digital. Intinya adalah bagaimana tracking performance karyawan meski tidak tatap muka, tapi kinerjanya harus sesuai dengan ekspektasi perusahaan.”

Keputusan full WFH ini diklaim justru membuat kinerja eFishery tumbuh empat kali lipat, melesat dari target awal perusahaan. Masing-masing divisi dapat menentukan sendiri cara mereka bekerja, tidak dipukul rata dengan standar perusahaan. Yang terpenting adalah bagaimana dengan sistem yang seragam bisa diintegrasikan dengan baik sesuai dengan cara kerja masing-masing.

Adapun saat merekrut, eFishery memanfaatkan applicant tracking system untuk memantau seluruh pergerakan proses perekrutan. Tiap bulan perusahaan memroses 80-100 calon karyawan baru. Kondisi tersebut sudah tidak memungkinkan bila dilakukan dengan tenaga manusia.

Sesi onboarding karyawan untuk kebutuhan absensi, cuti, reimburse, payroll, dan HRIS, sekarang sepenuhnya dilakukan secara mandiri (self service). “Terkait manajemen kerja bisa melihat progres produktivitas pekerja apakah on track dengan target atau belum, lalu ada dokumentasi kalender untuk melihat visibilitas secara online, dan dokumentasi dari hasil MoM yang bisa diakses semua orang.”

Program eFishery Campus

Untuk mendorong jiwa entrepreneurship, sambung Chrisna, perusahaan menyusun program eFishery Campus yang berisi berbagai paket pelatihan untuk menunjang kemampuan karyawan. Di antaranya, program mentoring, coaching, one-on-one session, cources, yang rutin diadakan untuk regenerasi calon pemimpin baru.

Program pengembangan karyawan ini juga dibuat versi mininya, alias bisa dikustomisasi berdasarkan kebutuhan masing-masing divisi. “Tim people and operation memfasilitasi kebutuhan dari tiap divisi, lalu kami desain dari segi perusahaan bentuk programnya seperti apa agar tidak berjalan secara sporadis.”

Hal menarik yang ada di program eFishery Campus ini adalah memungkinkan tiap karyawan untuk magang di divisi lain. Langkah ini hadir untuk mengakomodasi karyawan usia muda yang cenderung mudah bosan dan ingin belajar hal baru, sekaligus menjaga retensi dan engagement antara karyawan dengan tim dan perusahaan.

“Saat kami ngobrol dengan karyawan yang resign, mereka menginginkan kebutuhan untuk bertumbuh. Kami pun mencoba memfasilitas kebutuhan tersebut dengan membuka kesempatan untuk magang di antar departemen. Cara ini adalah bentuk menjaga engagement kami dengan karyawan tetap bagus, mereka bisa belajar hal baru.”

Diklaim program ini membantu eFishery menekan angka resign karyawan hingga di bawah 1%. Angka tersebut menjadi pencapaian yang baik di tengah hiruk pikuknya fenomena startup yang kerap membajak karyawan terbaik.

Pandangan Bukalapak, Warung Pintar, dan Ralali tentang Konsep “Full Remote Working” Permanen

Sejak Juni lalu, perusahaan di Indonesia memulai adaptasi terhadap situasi new normal. Sejumlah perusahaan sudah mulai membuka kembali kantornya dengan mematuhi protokol kesehatan, namun masih banyak perusahaan yang tetap menerapkan kebijakan Work From Home (WFH).

Bagi sejumlah perusahaan, penerapan WFH menjadi tantangan besar untuk mengelola sumber daya dan produktivitas yang sama seperti bekerja di kantor. Padahal situasi ini kemungkinan bakal terus berlanjut, bahkan menjadi permanen.

Muncul konsep baru, yang sedikit berbeda dengan WFH, yang disebut Full Remote Working (FRW). Laporan Gartner per Maret 2020 yang menyurvei 317 senior finance leader menyebutkan sebanyak 74 persen responden berencana shifting untuk menerapkan FRW secara permanen selama dan pasca pandemi Covid-19.

Apakah FRW menjadi jawaban bagi tren bekerja ke depan?

FRW vs WFH

Secara umum, baik FRW maupun WFH memampukan para pekerja profesional untuk bekerja di luar lingkungan perkantoran. Kedua term ini seringkali dianggap sebagai konsep kerja yang sama. Sesungguhnya keduanya memiliki perbedaan mendasar, yakni lokasi dan jam kerja.

WFH secara harafiah dapat berarti bekerja dari tempat tinggal mereka, baik itu rumah, apartemen, atau residensi lain. Model kerja ini kian familiar pasca-pemerintah menetapkan kebijakan kerja dari rumah dan pembatasan sosial empat bulan lalu.

Sebaliknya, FRW banyak diadopsi full time freelancer yang jam kerjanya tidak terikat waktu dan dapat dilakukan di mana saja. FRW juga populer di kalangan industri startup sebagai salah satu cara mereka untuk mendorong agility pada pengembangan produk/inovasi.

Seiring berkembangnya teknologi digital, pandangan terhadap konsep FRW dan WFH semakin kabur. Hal ini karena semakin banyak kehadiran platform digital yang mendukung produktivitas bekerja WFH dan FRW, misalnya Google Meet, Zoom, Slack, dan Asana.

Di sesi “Life After COVID-19: Indonesian Startup Adapts to Full Remote Work Permanently”, CEO Campaign.com William Gondokusumo menilai perbedaan kedua model kerja ini tidak sebatas pada lokasi dan jam kerja. Misalnya jam kerja WFH terikat jam kantor, kegiatan meeting WFH umumnya dilakukan secara lisan melalui video call, dan pengenalan tim/proyek juga memakan waktu lalu karena perlu ada briefing.

Sementara FRW fokus pada kualitas kerja dengan jam kerja yang disesuaikan dengan waktu masing-masing sesuai kebijakan kantor (termasuk apabila jika ada perbedaan zona waktu). Proses rekrutmen pun dilakukan sepenuhnya secara remote.

Perbedaan mencolok lainnya adalah kegiatan meeting dapat dilakukan secara tertulis menggunakan Slack atau Google Docs. Bahkan meeting dapat diikuti semua orang secara online meskipun berada di tempat yang sama.

Kendati FRW menawarkan banyak nilai tambah, William menilai bahwa penerapan FRW membutuhkan komitmen kuat dan kesiapan infrastruktur yang matang. FRW juga dinilai tidak bisa diaplikasikan begitu saja bagi sejumlah sektor bisnis.

We should not bring office to home. Ketika bekerja, kita sudah mengganti pola pikir. FRW itu orientasinya sudah sepenuhnya kerja berbasis online. Makanya, FRW menjadi sebuah komitmen besar,” ungkapnya.

Pada kesempatan sama, HR Podcaster askHRlah Monica Anggar menilai WFH menawarkan nilai tambah karena karyawan karena mengurangi biaya transportasi dan menekan stres akibat macet di perjalanan.

Namun, WFH memiliki kekurangan karena perusahaan belum siap mengeluarkan aset (komputer, kamera, dan lain0lain) ke luar kantor dalam jangka waktu lama, adanya pengeluaran biaya lebih (pulsa telepon dan paket data), dan kesulitan menghasilkan output kerja yang sama dengan bekerja di kantor.

Komunikasi paling utama

Sejumlah perusahaan, baik korporasi maupun startup, sama-sama menerapkan WFH atau FRW sebagai bentuk penyesuaian terhadap situasi pembatasan sosial. Bagaimana startup Indonesia merefleksi penerapan WFH?

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan, saat ini pihaknya masih menerapkan kebijakan WFH/FRW dan bekerja dari kantor dengan ketentuan protokol new-normal. Sebelum pandemi, operasional Bukalapak dijalankan melalui kantor. Kebijakan bekerja dari kantor saat itu dinilai  dapat menambah efektivitas kinerja dan efisiensi komunikasi, mengingat kantor Bukalapak sempat berada di 28 titik berbeda.

Selama WFH/FRW, pihaknya fokus membantu lebih banyak lagi UMKM untuk onboard, dan melengkapi SKU–baik itu barang maupun jasa. Kehadiran platform/aplikasi digital sangat bermanfaat untuk berkomunikasi saat WFH/FRW maupun membuat perencanaan dan evaluasi rutin meski tidak bertemu tatap muka dalam bekerja.

“Kami menyadari bahwa melakukan komunikasi secara intensif dan optimistis baik kepada para pelapak, mitra maupun karyawan Bukalapak merupakan salah satu upaya kami dalam menjaga performa bisnis,” ujarnya kepada DailySocial.

Pada pengalaman Warung Pintar, perusahaan telah menerapkan kebijakan remote working pada level senior di divisi Engineering dan Product sejak lama. Dengan catatan, karyawan harus tetap berkoordinasi selama Work From Anywhere (WFA) dan remote working. Sekitar 10 persen dari total 109 karyawan di Engineering dan Product telah menjalankan remote working sebelum pandemi karena infrastruktur pendukung sudah siap.

Selama periode tersebut, CEO & Co-Founder Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro juga menyoroti pentingnya komunikasi terhadap keberlangsungan WFH/FRW. Ia menilai terlalu banyak komunikasi lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Pada awal penerapan WFH/FRW di divisi non-operasional, tantangannya lebih banyak terasa karena ada penyesuaian terhadap pola kerja karyawan. Contoh paling banyak ditemui adalah ruang kerja dan koneksi yang kurang mumpuni, menghambat komunikasi. Ada juga masalah pendekatan ke user bagi tim yang tidak biasa turun ke lapangan.

Sementara CEO Ralali Josep Aditya juga menyoroti bagaimana mengatur ekspektasi bersama selama masa pandemi. Ekspektasi ini untuk memaksimalkan KPI dengan tolok ukur yang lebih result-driven. Artinya, perusahaan tidak lagi berkutat pada aspek kehadiran sehingga kegiatan meeting menjadi lebih efisien.

Selain itu, Joseph juga melihat bagaimana kegiatan bisnis belum terbiasa dengan distance culture. Pada aktivitas yang berkaitan dengan legal, seperti tanda tangan nota kesepakatan, interaksi tatap muka sangat diutamakan.

“Demikian halnya dengan investor. Untuk mencapai decision making, biasanya beberapa investor dari negara Asia masih mengutamakan tatap muka. Dengan kondisi pandemi, kami harus lakukan penyesuaian,” ungkap Joseph.

Ralali telah menerapkan remote working untuk divisi Tech. Namun, kebijakan ini baru diberlakukan untuk divisi lain selama periode Maret-Mei. Sekarang, semua karyawan bekerja di kantor dengan protokol kesehatan.

Tren FRW bagi pelaku startup

Menurut Bukalapak, tren FRW bisa saja diterapkan asalkan menggunakan metode parsial. Artinya, perusahaan memberikan opsi untuk bekerja di rumah atau kantor apabila dibutuhkan. Rachmat mengungkap, metode ini dapat menjadi satu solusi untuk mengombinasikan model kerja terbaik, terutama di situasi semacam ini.

Menurutnya, model ini sangat memungkinkan bagi perusahaan mengingat Bukalapak kini telah memiliki kurang lebih 2.000 karyawan. Dengan kata lain, karyawan memiliki kesempatan bekerja remote secara terbatas.

“Selama empat bulan terakhir ini kami telah beradaptasi dan melakukan pembelajaran dalam melakukan remote working. Ada dampak positif terhadap  karyawan. Tapi kami sadar mereka juga butuh interaksi sosial. Jadi kami memberikan kesempatan face to face meeting, dengan memperhatikan protokol kesehatan dan kebersihan di kantor,” jelas Rachmat.

Bagi Warung Pintar, Agung mengaku tak menutup kemungkinan tren bekerja bakal bergeser ke depannya. Menurutnya, tren ini dapat dirangkul selama perubahan tersebut bisa  berdampak positif bagi perusahaan, kesejahteraan Juragan, dan produktivitas karyawan. Itupun dengan catatan adaptasinya tidak berdasar pada satu skenario saja, tetapi juga beragam skenario yang tidak dapat dikontrol.

Menurutnya, perusahaan perlu adaptif, relevan, dan efisien demi menunjang produktivitas dan pertumbuhan bisnis. “Bagi kami, komunikasi lisan maupun tertulis, masih menjadi kunci utama terciptanya kondisi kerja yang ideal, terlepas WFH/FRW atau tidak. Dengan sistem squad dan tribe yang telah kami miliki, koordinasi proyek menjadi lebih cepat tanpa perlu ada centralized order,” pungkasnya.

Joseph menilai bahwa penerapan FRW membutuhkan komitmen besar dari setiap divisi/departemen untuk mempersiapkan infrastruktur dan proses bisnis. Meskipun demikian, konsep FRW berpotensi untuk dijalankan mengingat penyesuaian sangat diperlukan sesuai kondisi pekerjaan dan tuntutan zaman.

“Dalam satu hingga dua tahun ke depan, kami masih menggali dan belajar apakah sistem [remote working] ini relevan dengan berbagai role dan fungsi pekerjaan terkait,” papar Joseph.

[Founders Library] Membangun Tim dan Budaya Startup

Bagi para founder, menjalankan bisnis tak hanya soal fokus ke konsumen atau pasar, tetapi juga fokus ke dalam. Membangun tim yang solid dan kultur bisnis yang bisa membentuk sebuah “akar” yang kuat untuk mendukung pertumbuhan bisnis.

Membangun tim dan kultur ini bukan perkara mudah. Selain membutuhkan waktu juga membutuhkan proses belajar dari perusahaan lain yang sudah lebih berkembang dan mapan. Berikut ini daftar artikel, video, dan podcast DailySocial yang berkaitan dengan membangun tim dan kultur perusahaan.

Artikel

Video & Podcast

Lima Cara Unik Penggiat Industri Teknologi yang Bisa Diterapkan di Pemerintahan

Masuknya Nadiem Makarim ke jajaran Kabinet Indonesia Maju memberikan suatu sinyal bahwa orang-orang yang berkecimpung di industri teknologi (tech people) bisa memberikan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat. Tentu Nadiem bukan satu-satunya orang teknologi yang mencoba jalan ini.

Pemilihan kandidat Presiden Partai Demokrat Amerika Serikat untuk tahun 2020 juga diramaikan dua kandidat muda yang yang sebelumnya pernah bersinggungan dengan dunia teknologi. Andrew Yang dan Beto O’Rourke, meskipun bukan dari kalangan milenial, memiliki eksposur serupa.

Andrew Yang di awal masa dotcom bubble pernah membangun startup dan kemudian menjadi CEO Venture for America, sebuah program untuk membantu lulusan perguruan tinggi yang ingin menjadi wirausahawan atau membangun startup.

Jika nantinya terpilih sebagai Presiden, Andrew ingin menciptakan posisi setingkat kabinet baru dalam bentuk Departemen Teknologi yang akan mengatur artificial intelligence dan teknologi baru lainnya.

Kandidat lainnya adalah Beto O’Rourke. Meskipun tidak memiliki latar belakang sebagai pendiri startup, ia diberitakan sempat menjadi hacker dan tergabung dalam kelompok terkenal dengan “hactivism” yang merupakan kelompok peretas komputer tertua dalam sejarah AS.

Meskipun tidak adanya indikasi O’Rourke pernah terlibat jenis peretasan yang paling canggih, seperti membobol komputer, keanggotaannya dalam kelompok tersebut dapat menjelaskan pendekatannya terhadap politik dengan cara yang berbeda. Latar belakangnya sebagai hacker tertuang dalam visi dan misi jika terpilih menjadi Presiden, yaitu merombak sistem yang ada dan memperbaikinya dengan ide-ide dan inovasi yang baru.

Tidak heran ketika inovasi, teknologi, dan disrupsi menjadi fokus utama tech people ketika masuk ke dalam pemerintahan.

Artikel berikut akan mengupas lima poin yang dimiliki kebanyakan tech people dan bagaimana mereka bisa melakukan perubahan terhadap sistem yang sudah ada sebelumnya.

Berani ambil risiko

Sebagai pendiri startup, Nadiem Makarim dan Andrew Yang memahami benar sulitnya membangun perusahaan rintisan. Tidak hanya membutuhkan modal dan sumber daya, namun juga kemampuan untuk berani mengambil risiko. Tidak banyak startup yang sukses saat menjalankan bisnis di awal. Dibutuhkan waktu dan effort yang cukup lama bagi startup untuk bisa sukses. Mereka dituntut untuk mencari solusi terbaik agar perusahaan tetap bertahan menjalankan bisnis dan meraup pendapatan.

Ketika masuk ke dalam pemerintahan, bisa dipastikan mereka mencoba memahami proses yang ada dan, jika memungkinkan, melakukan transformasi sesuai dengan value yang mereka miliki selama menjalankan startup.

Memangkas birokrasi

Salah satu kelebihan bekerja di startup adalah kebebasan dan suasana kerja yang lebih terbuka dibandingkan dengan gaya konvensional yang sarat birokrasi. Kecepatan mengambil keputusan, penentuan orang yang tepat untuk mengerjakan proyek, dan percepatan semua proses kerja merupakan jiwa startup.

Anti birokrasi ini akan menjadi tantangan bagi mereka yang masuk ke dalam jajaran pemerintahan. Nilai-nilai tersebut akan coba diterapkan secara perlahan dan mereka berupaya memotong proses birokrasi yang rumit menjadi lebih sederhana dan efektif.

Kolaborasi

Keunikan lain yang hanya ditemui dalam dunia startup adalah konsep open collaboration. Tidak lagi mengusung ruang kerja dengan pembatas dan ruangan kantor terpisah, startup mulai banyak menerapkan ruangan kerja terbuka yang memudahkan kolaborasi antar pegawai.

Kolaborasi dan kultur perusahaan tidak hanya menjadi tanggung jawab pegawai level awal. Setiap level harus bisa memberikan kontribusi dan bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan yang dibebankan.

Adopsi cepat dan agile

Agile merupakan istilah yang paling banyak digadang-gadang penggiat startup. Agile di sini berarti kemudahan semua pihak untuk melakukan perubahan, transformasi, dan tidak fokus ke satu mindset saja. Fleksibilitas dan wawasan yang lebih terbuka juga merupakan konsep agile yang ingin dicapai startup.

Sebagai pihak yang mengedepankan teknologi, tech people juga cenderung lebih cepat mengadopsi perubahan demi menciptakan inovasi dan solusi yang lebih baik. Konsep ini pada akhirnya akan sangat masuk akal diterapkan dalam pemerintahan, sehingga tidak terjebak dalam rutinitas dan fokus ke masa depan.

Inovasi adalah raja

Dunia startup sarat dengan inovasi dan bagaimana inovasi yang tercipta bisa menjadikan solusi yang tepat. Inovasi pada akhirnya akan menjadi kunci utama bagi tech people ketika masuk ke dalam pemerintahan.

Inovasi melibatkan aplikasi informasi, imajinasi, dan inisiatif yang demi mewujudkan nilai yang lebih besar atau berbeda dari sumber daya.

Mendorong pegawai untuk lebih kreatif dan agresif akan menciptakan ide-ide baru yang lebih baik dan bermanfaat, dengan didukung teknologi dan berbagai tools yang ada.

Lima Hal Penting Membangun Budaya Kerja dan Mendidik Talenta di Startup

Menyongsong kemajuan era digital, Indonesia dihadapkan pada minimnya talenta-talenta berkualitas. Padahal talenta merupakan aset terpenting dalam membangun ekosistem digital di Tanah Air. Persaingan pun terjadi antar startup dalam memperebutkan talenta berbakat.

Di sisi lain, startup juga dituntut tetap eksploratif dalam mengadapi perkembangan teknologi dan pasar yang terus berubah. Diperlukan budaya kerja yang tepat agar startup dapat menjadi tempat berkarya yang nyaman bagi setiap karyawannya.

Di ajang idEA Works, Founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya berbagi pengalaman dan pandangan menarik tentang bagaimana membangun budaya kerja di startup dan mendidik orang untuk menjadi talenta yang potensial dan berkualitas di bidangnya.

Mari simak pengalaman inspiratifnya di sesi bertajuk “Gen of Good Talent” berikut ini:

Menjaga integritas perusahaan

Sebagai perusahaan media di bidang teknologi, Rama menegaskan pentingnya integritas kepada para pembacanya. Integritas menjadi penting untuk dapat menyajikan berita berkualitas dan terpercaya.

Perusahaan harus selalu berhati-hati dalam mempekerjakan talenta baru, tidak semata-mata hanya mengisi kekosongan sebuah posisi.

“As a media, integrity itu sangat penting. Apalagi [menyambut] industri 4.0, talenta menjadi aset penting. Makanya, kami tidak mau terburu-buru hire orang untuk menjaga integritas para pembaca kami,” tuturnya.

Media sosial sebagai personal branding

Diakuinya, dunia digital telah berkembang menjadi suaka baru bagi sejumlah orang. Setidaknya, sebagian dari kita memiliki lebih dari dua akun media sosial untuk bisa berinteraksi dengan banyak orang.

Yang mungkin kita tidak tahu, sejumlah perusahaan kini telah memberlakukan rekam jejak digital sebagai salah satu persyaratannya. Hal ini untuk melihat bagaimana attitude seseorang. Namun, Rama punya pandangan berbeda.

Ia menekankan bahwa media sosial sebetulnya dapat dimanfaatkan sebagai personal branding seseorang sebagai ruang kebebasan dan wadah untuk mengekspresikan diri.

“Saya percaya dengan rekam jejak digital, tapi kita tidak seperti itu. Masalah negatif dan positif itu subjektif. Jika menurut saya negatif, belum tentu buat orang lain. Soal [attitude] sebetulnya mau tak mau dilihat saat probation. Kalau tidak perform, kita cut,” paparnya.

Inisiatif dan transparan

Rama juga menyinggung tentang bagaimana kultur kerja dapat membangun kualitas talenta lebih baik. Diungkapkannya, ada sejumlah hal yang perlu ditanamkan kepada para karyawannya, seperti nilai  inisiatif dan transparansi.

“Inisiatif yang dimaksud, kalau yakin ada pekerjaan bisa dilakukan, ambil andil di dalamnya. Terlebih kamu yakin dengan metodemu dalam menyelesaikan pekerjaan,” ujar Rama.

Demikian juga transparansi dan kejujuran yang dijunjung tinggi perusahaan. Artinya, apabila merasa tidak bisa menyelesaikan pekerjaan, karyawan tidak dipaksa untuk melakukannya.”Kalau bisa katakan iya. Kalau tidak, ini akan memakan waktu dan tenaga. Lebih baik dilakukan orang yang tepat,” katanya.

Memiliki risk tolerance

Nilai lain yang dibangun dalam kultur kerjanya, lanjut Rama, adalah memberikan kesempatan kepadan siapapun di perusahaan untuk mencoba sesuatu dan bereksperimen. Karena bukan tidak mungkin, eksperimen ini dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk perusahaan.

“Ini salah satunya yang membedakan startup dengan perusahaan korporat. Kalau punya ide, silakan dieksekusi. Tapi kami kasih deadline untuk merealisasikannya. Engineer kami pernah coba buat aplikasi, kami biarkan. Memang hasilnya tidak sesuai, tetapi dia belajar dari situ,” jelasnya.

Tetap dinamis, tapi tidak terlalu cepat

Startup disebut harus dinamis mengikuti perkembangan pasar. Tak heran jika startup terbiasa bereksperimen untuk mendapat sebuah solusi yang disruptif. Kultur ini yang sangat berbeda dengan perusahaan konvensional.

Rama menekankan pentingnya untuk bekerja lebih cepat dibanding perusahaan konvensional untuk menghemat waktu dan biaya. “Tetapi juga jangan terlalu cepat, itu tidak baik. Bagaimanapun butuh uji coba [solusi] sebelum launch ke pasar.”

Mengelola Inovasi Startup untuk Capaian Tujuan Bisnis

Dalam pengembangan startup, ada beberapa komponen yang menjadi dasar menuju kesuksesan, mulai dari kepemimpinan, tim, hingga varian produk yang dimiliki. Berbagai komponen tersebut harus mampu membentuk sebuah sinergi, sehingga dapat memutarkan sebuah roda yang disebut dengan inovasi. Inovasi menjadi suatu hal yang wajib, karena teknologi sangat dinamis, pun dengan pengembangan produk yang dilandasi dengan sistem berbasis teknologi.

Perusahaan-perusahaan besar seperti FacebookGoogle dan Microsoft pun memperoleh keuntungan bisnis dengan melakukan banyak perubahan inovasi secara berkala atas produk inovasi yang mereka lahirkan.

Terkait dengan inovasi, ada dua hal yang dapat digarisbawahi oleh setiap founder terkait dengan pengembangan produk dan apa yang perlu dilakukan ke depannya. Yakni terkait mempertahankan buaya inovasi dan menempatkan inovasi tersebut pada jalur yang tepat. Berikut rangkumannya:

Budaya inovasi dalam pengembangan produk startup

Disadari atau tidak, startup diawali dan dibangun dari sebuah ide tentang inovasi. Umumnya dimulai ketika founder menemukan sebuah masalah di lingkungannya, lalu mencoba menyelesaikan permasalahan tersebut dengan pendekatan produk teknologi. Dari situ ada sebuah celah yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi lahan bisnis.

Sementara itu, terdapat skala prioritas dalam inovasi startup yang digunakan sebagai model bisnis yang memanfaatkan kemampuan teknologi untuk merespons peluang yang ada. Melalui skala prioritas ini, langkah awal dalam proses menemukan pangsa pasar yang sesuai.

Setelah skala prioritas inovasi selesai, lakukan uji hipotesis untuk menemukan solusi atas kendala yang terjadi dalam meluncurkan inovasi startup. Karena dalam tahap ini startup akan dibimbing untuk mengikuti program inkubasi bersama inovator terpilih untuk membantu perkembangan startup.

Menempatkan pada kanal distribusi yang tepat

Program inkubator dan akselerator didesain untuk menempatkan inovasi startup pada jalur yang tepat. Ada beberapa hal yang biasanya menjadi fokus program tersebut, yakni penguatan bisnis secara internal dan eksternal. Di internal, pengembangan termasuk penguatan tim sampai urusan operasional lainnya. Sedangkan di eksternal lebih kepada validasi produk terhadap konsumen, atau menempatkan inovasi yang sudah digalakkan ke jalur yang tepat, dengan tujuan mencapai product-market-fit dan mendapat keuntungan bisnis.

Kanal distribusi yang tepat akan membawakan startup ke dalam sebuah proses yang disebut dengan scale-up. Yakni sebuah tahap kemandirian dalam pengembangan bisnis yang sepenuhnya mengandalkan model bisnis yang telah dijalankan. Proses scale-up baru bisa jalan, jika alur monetisasi berhasil tervalidasi, dan produk mampu menghasilkan traksi yang terus bertumbuh.

Pengaruh Budaya Kerja dalam Bisnis

Dalam industri startup, salah satu hal paling sering dibahas ketika membangun sebuah bisnis adalah kultur atau budaya. Banyak yang meyakini bahwa budaya yang ditumbuhkan di dalam tubuh startup bisa membawa dampak yang positif. Baik bagi tim maupun bagi bisnis secara keseluruhan. Berikut beberapa alasan mengapa budaya bisa mempengaruhi bisnis.

Budaya membawa ke arah inovasi

Bukan menjadi rahasia umum bahwa salah satu rekomendasi untuk membangun sebuah pondasi bisnis yang kuat adalah mulai mengembangkan budaya dalam tim. Menyelaraskan visi misi merupakan sebuah hal awal yang penting.

Salah satu yang wajib digali dari proses pembangunan budaya kerja di startup adalah “Why”. Hal tersebut akan lebih dalam dieksplorasi ketika membahas peran budaya kerja dalam mempengaruhi kinerja. Pertanyaan “why” akan menuntun bisnis pada penemuan nilai-nilai yang akan diberikan kepada pengguna dan tim di dalamnya. Termasuk juga akan mengarahkan anggota tim ke arah inovasi.

Nilai dan tujuan bersama

Salah satu aspek terpenting dalam membangun budaya kerja adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Membangun budaya kerja sama dengan menumbuhkan nilai-nilai dari perusahaan, nilai-nilai yang diyakini bersama. Membangun sebuah tim dan menjalankan sebuah bisnis tidak hanya soal keuntungan, tetapi juga soal keberlangsungan tim. Untuk itu diperlukan budaya kerja yang baik.

Setiap hari yang dilalui, setiap capaian yang telah berhasil diraih merupakan sebuah usaha kerja bersama. Budaya kerja yang baik seolah menjadi daya dorong positif untuk masing-masing anggota tim agar bisa mengeluarkan potensi dan kerja terbaiknya.

Budaya yang kuat mempererat tim

Satu lagi peran budaya kerja yang positif dalam bisnis yang paling krusial adalah membantu mempertahankan tim terbaik. Budaya kerja tidak hanya membangun bisnis tapi juga membangun tim dan manusia di dalamnya. Dengan budaya kerja kebersamaan bisa dibangun, rasa memiliki dan kesamaan visi bisa jadi modal kuat untuk mencegah bongkar pasang tim.

Budaya kerja yang baik, tim yang solid dan bahagia merupakan salah satu awal yang baik untuk membentuk branding. Dapur yang baik akan menghasilkan makanan yang baik juga.

Mengapa Bekerja di Perusahaan Startup?

Bagi kamu yang seringkali membuat orang tua bertanya-tanya setiap kali pamit bekerja sambil mengenakan t-shirt, celana jeans dan sneaker, kemungkinan besar kamu adalah seorang pekerja di lingkungan startup—atau setidaknya kamu dan kantormu sekarang sedang menganut kultur tersebut.

Sesampainya di kantor, mereka pun bekerja dengan budaya yang santai. Gaya berpakaian dan bekerja yang kasual seperti ini banyak diadopsi oleh karyawan startup dalam keseharian. Lingkungan berbasis open working space juga banyak digunakan sebagai tempat mereka berkolaborasi dan berkarya.

Baik, mungkin sampai di titik ini bekerja di perusahaan startup kedengarannya fleksibel dan tidak rumit. Tapi percayalah, dengan kultur kedisiplinan yang mereka ciptakan sendiri, gaya bekerja seperti ini terbukti telah menghasilkan inovasi-inovasi kelas dunia.

Lantas, bagaimana sistem kerja yang kasual bisa menjadi bagian dari perusahaan raksasa dunia? Mengapa harus kultur startup? Mengapa harus bekerja di startup?

Paling tidak, tiga alasan ini seharusnya dapat memecah rasa ingin tahumu tersebut. Ini dia!

1. Keterlibatan dan jejaring yang kuat

Budaya yang lepas dan santai dari startup memang menjadi magnet tersendiri bagi orang-orang yang senang berkreasi dan berkolaborasi dalam waktu yang bersamaan. General Electric, korporasi yang bisnisnya berada di berbagai segmen—dari migas hingga jasa kesehatan, telah mengaplikasikannya.

Melalui tempat yang menjadi melting pot bagi engineer dan teknisi bernama Digital Foundry, General Electric berhasil menciptakan ide-ide baru, dan bahkan mengajak pelanggan untuk ikut serta berkolaborasi di Digital Foundry.

2. Lingkungan yang siap berinovasi

Salah satu hal yang menyenangkan dari bekerja di perusahaan startup adalah mentalitas orang-orang di dalamnya yang selalu siap dengan perubahan dan tidak khawatir dengan trial-error. Kultur ini yang membuat mereka ingin terus bertumbuh.

Saat bekerja di Google, mantan Direktur Pemasaran Google Brett Crosby punya pengalaman menarik soal pertumbuhan. Kala Google Drive diluncurkan, Brett dan tim punya growth goals yang begitu besar, bahkan mereka sempat tidak yakin dapat mencapai target pada awalnya.

Namun, kultur yang ingin terus bertumbuh dapat mendobrak kenyataan dan menjawab urusan alokasi dana marketing mereka, yang saat itu cukup menyesakkan perusahaan. Hingga pada akhirnya Google Drive dapat diintegrasikan pada Gmail, dan membuat mereka berhasil mencetak target tersebut.

3. Melihat dari sudut pandang yang unik

Produk unik memerlukan orang-orang dengan pemikiran unik di belakangnya. Hal ini berkaitan dengan alasan nomor satu tadi. Lagi-lagi, hal ini dilakukan oleh General Electric.

Sebelumnya, General Electric tak bisa diasosiasikan dengan budaya startup. Tak ada dinding kaca dengan coretan sisa brainstorming dan meja foosball. Tapi, lewat Digital Foundry, General Electric berhasil mematahkan pemikiran tersebut. Hasilnya, Digital Foundry menelurkan, salah satunya, sebuah produk dari seorang data scientist di Digital Foundry yang dapat memilah dan mengelompokkan ribuan gambar MRI dari GE Healthcare, sehingga membuat pekerjaan lebih efisien dan makin efektif.

Tiga alasan tadi setidaknya bisa jadi sampel dari bagaimana perusahaan kelas dunia pun berhasil mendobrak pemikiran bahwa kantor bukan hanya menjadi mesin pencetak uang, namun juga rumah imajinasi dan laboratorium inovasi.

Ide-ide besar dan kreatif adalah asupan sehari-hari para karyawan startup. Nah, apakah kamu tertarik dengan suasana kantor seperti ini? Atau, bagaimana kantor idamanmu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Tiga Cara Tepat Membangun Kultur Startup yang Positif

Agar startup bisa tumbuh dengan baik, menjadi hal yang krusial untuk membangun kultur perusahaan sejak awal. Hal ini terutama berpengaruh kepada startup yang baru saja mulai menjalankan bisnis. Tujuannya agar perusahaan bisa berkembang dengan baik dan lancar. Artikel berikut ini akan membahas tiga hal yang wajib diperhatikan ketika membangun kultur di startup.

Jangan mudah terpengaruh dengan lingkungan luar

Hal utama yang wajib diperhatikan oleh startup adalah membangun kultur startup harus dimulai dari kalangan internal, meskipun suasana politik sedang memanas, kondisi luar yang kurang mendukung jangan menjadikan startup Anda tidak memiliki kultur startup yang sesuai. Apa pun kendala yang dihadapi, kesulitan yang ada, membangun kultur startup sejak awal bisa membantu Anda pemilik startup menjalankan bisnis sesuai dengan tahap yang jelas dan target yang ingin dicapai.

Pertajam intuisi

Ketika waktunya membangun startup percayakan intuisi Anda, meskipun pekerjaan makin berat dan tantangan yang harus dihadapi tidak pernah berhenti datang, tumbuhkan terus intuisi yang dimiliki terkait dengan bisnis yang ada. Intuisi juga bisa membantu Anda menemukan ide dan produk atau layanan yang tepat untuk startup, untuk itu pertajam terus intuisi Anda ketika sedang menjalankan bisnis.

Fleksibel

Kebanyakan pendiri startup terlalu percaya diri dan yakin dengan ide awal sehingga enggan untuk mengadopsi perubahan atau mengubah produk atau layanan yang dimiliki. Dengan dinamika dunia startup tampaknya Anda harus bisa lebih fleksibel ketika waktunya menjalankan bisnis. Coba dengarkan dengan baik apa yang diinginkan oleh pelanggan, pertajam terus intuisi yang ada dan upayakan untuk bisa lebih fleksibel saat menjalankan usaha.

Membangun Kultur Startup Sejak Awal

Sebuah perusahaan dapat berkembang sangat mungkin dipengaruhi kultur di dalamnya. Bagaimana tim bekerja, bagaimana setiap tim saling membantu sama lain, dan bagaimana orang-orang di dalam tim memelihara mimpi yang sama untuk memajukan bisnis. Untuk startup kultur bisa menjadi sesuatu yang bernilai lebih dari itu. Sebagai perusahaan baru yang sedang berjuang, kultur bisa menjadi fondasi yang kuat untuk bertahan dan melakukan inovasi-inovasi. Bahkan sering kali terdengar bahwa kultur di dalam sebuah startup juga menjadi pertimbangan para venture capital untuk mengucurkan modalnya. Perlu bagi startup untuk membangun kultur sedini mungkin. Salah satu langkah pertama yang bisa dilakukan adalah memulainya dengan sebuah kepercayaan.

Kepercayaan menjadi sebuah aspek mendasar dalam membangun kultur perusahaan yang kuat. Tidak hanya percaya satu sama lain dalam tim, dalam hal ini kepercayaan bisa juga diartikan kepercayaan para anggota tim kepada founder. Founder harus bisa memegang semua perkataan dan janji-janji yang telah diberikan, bukan hanya sebagai kewajiban yang harus dipenuhi tapi sebagai sebuah langkah untuk memupuk rasa percaya. Dengan demikian setiap orang dalam tim memiliki tingkat kepercayaan yang sama untuk melangkah dan berjuang bersama.

Selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah memupuk kerja sama dalam tim. Jika kita berbicara mengenai startup kita tidak hanya berbicara masalah talenta dan individu, kita bicara tim yang nantinya akan menghasilkan sebuah solusi. Para founder jika ingin menanamkan kultur yang baik dan kuat di dalam startup harus bisa memupuk dan menumbuhkan lingkungan yang berorientasi tim.

Hal lain yang perlu diperhatikan untuk bisa menumbuhkan kultur yang kuat dalam startup adalah mulailah dengan memaklumi kegagalan. Di dalam startup harus ada pemahaman bahwa kegagalan adalah sebuah proses untuk menjadi suatu yang lebih baik. Alih-alih mengutuk kegagalan yang terjadi, di dalam startup harus dibiasakan untuk menganggap kegagalan sebagai bahan evaluasi untuk inovasi selanjutnya. Bagaimana menerima kegagalan ini penting.

Kultur yang kuat mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif. Maka untuk menciptakan sebuah kultur perlu diadakan pemahaman-pemahaman mendasar tentang bagaimana menghargai pekerjaan orang-orang di dalam tim. Seperti pemberian penghargaan terhadap sebuah pencapaian dan memperlakukan orang-orang dalam tim sebagaimana memperlakukan diri sendiri.