[Video] Pengembangan Ekosistem Akuakultur eFishery

DailySocial bersama Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah membahas transformasi bisnis yang dilakukan eFishery dalam melahirkan ekosistem yang mengedepankan kebutuhan para petani ikan di Indonesia.

Gibran mengatakan, saat ini eFishery tidak hanya dikenal sebagai startup pengembangan teknologi IoT untuk sektor akuakultur, tetapi juga menjadi sebuah koperasi yang membantu petani ikan mendapatkan modal pembiayaan, melakukan pembelian pakan, hingga penjualan ikan.

Seperti apa upaya eFishery mengembangkan ekosistem sektor akuakultur di Indonesia? Bagaimana target ekspansi bisnis perusahaan?

Simak pembahasan eFishery yang terangkum di video wawancara berikut.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Bagaimana FisTx Selesaikan Masalah Inti Tambak Udang Lewat Teknologi

Bukan rahasia umum kalau industri akuakultur di Indonesia penuh dengan isu klasik, sehingga menjadikannya tidak seseksi industri riil dan nonriil lainnya. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya kegiatan akuakultur di negara ini. Padahal, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur.

Meski masuk posisi atas, akan tetapi jumlah total produksi akuakultur negara ini sangat jauh berbeda dengan Tiongkok. Pada 2019, produksi ikan budidaya di Tiongkok sebesar 68,42 juta ton per tahun, sementara Indonesia 15,89 juta ton. Padahal, panjang garis pantai Tiongkok yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya hanya 14.500 km, sementara Indonesia 99.083 km.

Kiwi Aliwarga dan Rico Wibisono, dengan latar belakang yang mendalam di dunia akuakultur mencoba untuk menyelesaikan isu klasik ini dengan mendirikan FisTx (dibaca Fistek) di Yogyakarta pada 2019. Kiwi sendiri merupakan pengusaha diaspora yang sukses membangun bisnis di Myanmar. Di kancah startup, Kiwi membangun UMG Idealab yang merupakan lengan investasi dari UMG Myanmar. Portofolionya tersebar di regional, tidak hanya di Indonesia saja, mulai dari Aruna, Crowde, Botika, Prosehat, Perawatku, Arutala, dan lainnya.

Sementara itu, Rico Wibisono punya ketertarikan di dunia perikanan sejak kecil hingga akhirnya melanjutkan di bangku kuliah. Kemudian, terjun ke industri ini dengan bekerja untuk berbagai perusahaan di CP Prima, Manggalindo, dan beberapa proyek di luar Indonesia, yakni di Vietnam, Brazil, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam mengerjakan proyek tambak udang.

“Ketertarikan kami dalam dunia akuakultur, meneruskan kami untuk mengembangkan teknologi perikanan yang berkelanjutan berfokus pada 3P (profit, people, planet),” terang Co-founder dan COO FisTx Rico Wibisono kepada DailySocial.id.

Inovasi FisTx

FisTx menyoroti setidaknya ada empat tantangan dalam budidaya tambak udang, yakni manajemen tambak, operasional, tambak, dan alam, contohnya pemilihan lokasi tambak yang rawan bencana alam, seperti tsunami dan gempa. Oleh karenanya, FisTx berfokus pada pengembangan teknologi untuk budidaya udang pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan.

Misalnya, mobile water sterilizer yang merupakan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dengan sinar ultraviolet. Teknologi ini tidak menghasilkan residu bila dibandingkan dengan bahan kimia bahkan bisa mengefisiensikan biaya disinfektan sebesar 35%-53%. Alat ini juga dapat digunakan sebagai water treatment unit.

Kemudian, mengembangkan Recirculating Aquaculture System (RAS), yakni teknologi yang berkonsep kolam petak untuk sistem budidaya secara intensif dengan memanfaatkan air secara terus menerus, sehingga air pada kolam utama terjaga kualitasnya, menghemat penggunaan air dan biaya pergantian air. Produk ini serupa dengan akuarium, air kolam tidak dibuang tetapi disaring terus menerus. Air yang ada di kolam dapat dikonservasi dan dipakai berkesinambungan dengan sistem filtrasi yang perusahaan kembangkan.

Berikutnya, menghadirkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan nutrisi, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limbah lebih sedikit. “Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak. Proses development-nya bergantung pada ketersediaan sumber daya dan kebutuhan pasar, ada yang tiga sampai delapan bulan.”

Disediakan pula aplikasi yang dinamai FisTx Aquagram yang dapat digunakan petambak untuk memantau kondisi tambak langsung dari ponsel mereka. Aplikasi merupakan teknologi pengukur kualitas air yang dapat mencatat kualitas air secara real time, tidak hanya untuk satu petak tambak tapi juga memantau empat petak sekaligus. Petambak akan memperoleh informasi terkait durasi pemberian pakan, jarak waktu pemberian pakan, kadar oksigen, hingga suhu dan tingkat keasamaan air.

Dalam satu alat sensor, mampu mengukur berbagai indikator. Beberapa di antaranya, suhu air kolam, EC, nilai pH, DO (Dissolved Oxygen atau kadar oksigen terlarut) dan ORP (Oxidation Reduction Potential). Semua data ini akan muncul pada aplikasi FisTx dalam sekali klik.

Dari seluruh rangkaian produk tersebut, FisTx menyesuaikan kembali dengan kebutuhan para petambak. Pihaknya menyediakan FisTx 360 yang merupakan sistem berlangganan untuk membantu semua kebutuhan budidaya, mendampingi petambak dengan konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, mulai dari persiapan hingga panen. “Tapi kami juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen kami yang belum dijangkau oleh tim offline, tapi kami tetap terbuka dengan konsultasi online.”

Rico mengakui proses edukasi dalam memperkenalkan solusi Fistx tidak bisa dianggap sepele. Karena animo positif baru diterima perusahaan, apabila lokasi tambak dan persona petambaknya dilihat dari psikologi dan psikografinya. Maka dari itu, saat masuk ke lokasi baru perusahaan mengambil strategi dengan mencari early adopter dan dikawal hingga muncul hasil panen yang memuaskan.

“Dari situ terjadilah mouth to mouth branding, inilah yang kami lakukan dalam menjawab itu. Alhamdulillah, hingga saat ini kami memiliki 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi.”

Salah satu perusahaan yang sudah menggunakan teknologi FisTx adalah PT Nayottama Kelola Laut Indonesia (NKLI). Awalnya, NKLI menggunakan teknologi existing Aqua Input sejak 2021 dan merasakan terjadinya peningkatan hasil tambak secara berkala dari 18 ton hingga 51 ton per hektare atau kenaikan hampir tiga kali lipat.

Kemudian, NKLI upgrade teknologi terbaru RAS FisTx untuk kolam budidaya yang terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat, Januari 2021 lalu. Selain ramah lingkungan, manfaat lain yang didapat dari penggunaan teknologi RAS adalah meningkatkan produktivitas, meminimalisir permasalahan udang mati dini, dan hemat hingga 30% jika dibandingkan dengan pemakaian kimia seperti kaporit. Produksi per hari pun lebih cepat, tingkat pertumbuhan meningkat rata-rata sekitar 20%, dengan efisiensi pakan hingga 23,5%.

Harapan di akuakultur

Rico menilai solusi yang dibangun oleh FisTx ini sejatinya dapat diimplementasikan di luar tambak udang, seperti kepiting, belut, lobster, dan sidat. Hal tersebut sudah menjadi misi berikutnya perusahaan, kendati fokus utama saat ini masih pada budidaya udang.

“Potensi perikanan Indonesia luar biasa besar dan kami akan berikan hak yang sama untuk setiap spesies lain untuk dibudidayakan secara luas. [..] menjadi karunia besar bagi kami untuk bisa mengembangkan spesies lokal yang memiliki high demand, sehingga dapat memajukan pesisir seperti peradaban maritim yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Melalui budaya ini, kami ingin mengulang kembali kejayaan peradaban pesisir.”

Saat ini, FisTx didukung dengan 19 orang, terbagi jadi empat orang sales offline, tiga sales Aqua Input, dan satu sales project. Perusahaan akan terus menambah tim, terutama untuk bagian teknis dan expert agar solusi FisTx dapat lebih masif diadopsi banyak petambak di Indonesia. Meski tidak dijelaskan secara rinci, FisTx telah didukung dengan sokongan investasi dari UMG Idealab, perusahaan yang juga dipimpin oleh Kiwi.

“Tahun ini kami berfokus pada dua hal, yaitu sebagai base untuk target bisa profit di 2023 dan melakukan branding,” tutup Rico.

Mengatasi Tantangan di Industri Peternakan dan Perikanan dengan Teknologi

Butuh waktu delapan tahun bagi e-Fishery membuktikan bahwa industri akuakultur adalah “the sleeping giant” lewat penggalangan dana seri C yang diikuti investor kelas kakap. Produksi akuakultur di Indonesia masih menjadi yang ketiga di dunia setelah China dan India. Pada 2018, produksi akuakultur mencapai 5,4 juta ton senilai $11,9 miliar (FAO 2020).

Tak hanya akuakultur, peternakan pun juga tak kalah besar potensinya. Konsumsi daging ayam di Indonesia pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita atau sekitar 3,5 juta kg per tahun. Diperkirakan pada 2029 nanti konsumsi ayam akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita. Kendati begitu, menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

Di samping itu, industri ini masih ditimpa sejumlah isu klasik. Mulai dari akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Meski demikian, budidaya hewan tetap menjadi sektor yang menarik, seiring dengan meningkatnya permintaan protein hewani dan banyak startup yang mencoba mengurai berbagai masalah yang ada di setiap segmen. Para pendiri startup ini, datang dari multi disiplin, tidak hanya dari bidang akuakultur atau perunggasan. Mereka adalah Chickin Indonesia, Fistx, Delos, dan Pitik.

Bersama DailySocial.id, mereka berbagi pandangan mengapa inovasi di di sektor ini cenderung lambat di Indonesia dan bagaimana menyelesaikan tantangan tersebut dengan teknologi.

Co-founder dan CEO Chickin Indonesia Tubagus Syailendra Wangsadisastra mengatakan, inovasi digital di sektor ini lambat karena lanskap rantai pasoknya yang masih terfragmentasi dan banyak tengkulak yang membuat tidak adanya transparansi data. Hal ini mendorong ketidakcocokan antara permintaan dan ketersediaan stok.

Inovasi di segmen ini lambat, karena berinteraksi dengan petani dan peternak yang secara umum belum adaptif.

“Dari sisi market adoption, belum semasif di industri lain. Wave-nya baru-baru ini akan jadi emerging industri ke depannya. Saya yakin ini akan besar setelah melewati fase-fase tertentu. Fasenya e-commerce, fintech sudah lewat. Orang-orang di tier 3 dan 4 sudah pakai teknologi, baru kita mudah masuk ke budidaya,” kata Tubagus.

CEO Delos Guntur Mallarangeng menambahkan dari perspektif lain. Ia menjelaskan, sebenarnya jawabannya sederhana namun rumit. Sederhana, karena tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain.

Jawaban rumitnya berkaitan dengan masalah sistemik yang perlu dilihat secara makro. Mereka adalah kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia, kurangnya inklusi finansial, kurangnya adopsi teknologi terkini, dan tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri perikanan.

“Gabungan dari ke-4 poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya financial inclusion dari institusi-institusi finansial di negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan tidak terjangkau,” kata Guntur.

Dia melanjutkan, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi, membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Gabungkan IoT dengan teknologi lain

Berdasarkan tantangan tersebut, pendekatan IoT dengan gabungan teknologi lainnya menjadi langkah awal untuk memperkenalkan dunia digital di segmentasi ini. Contoh perusahaan yang fokus pada sensor dan perangkat berbasis IoT untuk memeriksa parameter air dengan cepat dan tepat adalah Jala, FisTx, Delos, dan eFishery. Selain itu, ada juga yang fokus pada pengolahan air seperti NanoBubble, Venambak, dan Banoo yang menyediakan mesin untuk mengoptimalkan oksigen terlarut (DO).

Dengan perangkat ini, parameter kualitas air dapat disajikan secara real time atau sebagai rangkaian data, sehingga memungkinkan memprediksi kualitas air lebih tepat dan mengambil tindakan jika ada tren yang tidak biasa. Terobosan ini membuat budidaya ikan dan udang lebih mudah diprediksi dan mudah dipraktikkan bagi pemula. Hal ini juga membuat sektor akuakultur menjadi lebih menarik bagi kaum muda.

Namun, menurut COO FisTx Rico Wibisono, hal yang paling menantang dalam penyediaan alat pemeriksa kualitas air, selain memastikan data yang cepat dan akurat, adalah bagaimana memberikan saran yang tepat kepada petani tentang langkah apa yang harus diambil dari hasil pengukuran. Dia mengatakan bahwa mengumpulkan data kualitas air adalah satu hal, tetapi menggunakan data dengan benar adalah hal lain.

FisTx mengembangkan teknologi khusus untuk budidaya udang yang fokus pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan. Contohnya adalah mobile water steriliser dengan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dan didukung sinar ultraviolet tanpa residu. Teknologi tersebut, bila dibandingkan dengan bahan kimia, bisa mengefisiensikan biaya desinfektan antara 35-53%.

“Kemudian kami juga mengembangkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan industri, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limba lebih sedikit. Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak.”

Tubagus menambahkan, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting dalam mengatasi permasalahan mereka. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B.

Pihaknya melakukan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Perangkat IoT digunakan untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Keberhasilan panen ditentukan dari seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI Support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Temptron yang dikembangkan Chickin / Chickin

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Pendekatan di lapangan

Di tengah literasi yang belum mumpuni di seluruh pelosok, maka dalam proses memperkenalkan kepada para petani memilki tantangan tersendiri. Tubagus menjelaskan, sebenarnya para peternak sudah paham dengan konsep climate control. Target pengguna produk ini adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad.

Dengan demikian, dari sisi Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time. Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya.

Co-founder dan CEO Pitik Arief Witjaksono menambahkan, dalam memperkenalkan solusi Pitik, pihaknya rutin mengadakan pelatihan baik lewat daring maupun luring. Bekerja sama dengan Edufarmers Foundation, lembaga non profit dari Japfa, mereka memperkenalkan aplikasi Pitik di Jawa Timur.

“Teknologi kami terbukti membantu peternak [Kawan Pitik] dalam mengurangi tingkat mortalitas ayam sebesar 50% dan meningkatkan penggunaan pakan lebih dari 12%. Sejauh ini respons mereka positif dalam menggunakan teknologi dari Pitik,” terangnya.

Secara khusus, perusahaan memberikan dukungan menyeluruh kepada seluruh mitra peternak dalam mensuplai kebutuhan sapronak (sarana produksi peternakan) dengan kualitas terbaik. “Pitik menyediakan teknologi farm management agar peternak dapat melakukan proses produksi dengan lebih efisien, dan mengambil seluruh hasil produksi dengan harga yang kompetitif. Seluruh hal ini kami lakukan dengan skema kontrak yang transparan agar kami dapat menjadi mitra peternak terbaik.”

Sementara itu, FisTx melihat proses edukasi di petambak itu sangat bergantung pada psikologis dan psikografi di mana mereka berada. Untuk lokasi yang benar-benar baru, pertama kali yang dilakukan perusahaan adalah mencari early adopter dan terus kawal hingga ada hasil yang memuaskan. Dari situ, harapannya muncul domino effect, ditandai dengan mouth-to-mouth branding. “Alhamdulillah hingga saat ini kami memiliki lebih dari 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi,” kata Rico.

Model bisnis FisTx, sambungnya, cukup beragam tergantung produknya. FisTx 360 membantu para petambak dengan sesi konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, dari persiapan hingga panen tiba. Produk ini menganut model berlangganan untuk semua budidaya baik dari aqua input hingga teknologi. Kendati begitu, perusahaan juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen yang belum dapat dijangkau tim lapangan.

Tim FisTx / FisTx

Perjalanan di masa depan

Guntur mengakui solusi yang dikembangkan DELOS secara teoritis dapat diimplementasikan tidak hanya untuk tambak. Dalam kerangka ilmiahnya, dari satu spesies ke spesies lain sebenarnya tidak jauh berbeda, tetapi ada banyak variabel dan asumsi ilmiah yang harus disesuaikan.

“Ini semua seharusnya bisa diselaraskan dengan riset yang lebih banyak, tetapi itu akan menjadi fokus jangka panjang yang sekunder [bagi DELOS]. Fokus utama kami adalah budidaya spesies udang, yang merupakan komoditas laut Indonesia yang paling besar dan berharga.”

Ia mengatakan demikian karena, menurut data yang dia kutip, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun.

“Bahkan bisa lebih dari itu kalau Indonesia memiliki industri pertambakan yang bisa menghasilkan panen yang optimal dan stabil, sebab negara kita memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.”

Pendapat serupa juga diungkapkan Rico. Ia mengatakan, pada dasarnya potensi akuakultur di Indonesia luar biasa besar dan FisTx ingin memberikan hak kepada setiap spesiesnya agar dapat dibudidayakan secara luas di Indonesia. “Untuk saat ini kami fokus pada udang, namun teknologi kami ke depan bisa dipakai pada kepiting, belut, lobster, dan sidat.”

Tubagus menambahkan, berkaca pada pengembangan solusi sejenis Chickin di Israel, bernama Agrologic, perusahaan tersebut mengembangkan perangkat temptron untuk kandang babi, sapi, dan hewan ternak lainnya. Tidak menutup kemungkinan bagi Chickin untuk mereplikasinya di Indonesia, sebab menurutnya pada intinya iklimlah yang menentukan keberhasilan panen.

“Dalam timeline, kami sekarang ke vertical growth akuisisi dari hulu ke hilir, coba ke downstream dengan memegang demand agregasi ayam. Setelah itu ke midstream (rumah potong), upstream (kandang ayam) agar kami bisa supply farm input, dari pakan, bibit. Sembari masuk ke sektor horizontal di luar ayam, karena kami rencananya mau jadi leading meat commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

Cerita Delapan Tahun eFishery Pelopori Startup Akuakultur di Indonesia

Kepercayaan diri eFishery yang mampu menutup pendanaan Seri C menjadi kisah menarik karena diklaim sebagai pendanaan terbesar yang berhasil diperoleh oleh startup akuakultur di kancah dunia.

Ada tiga nama investor baru yang memimpin putaran tersebut, yakni Temasek, SoftBank, dan Sequoia Capital India. Masuknya investor global ini ke startup akuakultur merupakan hal baru, dari yang biasanya lebih dikenal berinvestasi ke bisnis yang berbasis consumer, mulai tertarik pada potensi bisnis yang diseriusi eFishery.

Perjalanan eFishery sendiri untuk mencapai titik sejauh ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dari sisi industri ini sendiri, tidak hanya di Indonesia, bahkan di skala global pun belum ada tolak ukur yang bisa dipakai eFishery untuk mencari model bisnisnya. Alhasil, dalam delapan tahun ini, perusahaan banyak melakukan trial and error untuk membuat playbook sendiri.

“Tapi karena saya dulu ikut budidaya lele, dari hasil ngobrol dengan para petani ikan, masalah utama dari budidaya ikan itu adalah pakannya yang makan biaya paling besar sampai 70% dari total biaya produksi,” ucap Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam media gathering.

Dalam kesempatan tersebut turut hadir Komisaris eFishery Aldi Haryopratomo dan Managing Director Northstar Group Sidharta Oetama.

Produk utama eFishery adalah eFishery Smart Autofeeder yang merupakan mesin pemberi pakan ikan otomatis cerdas yang diatur menggunakan smartphone. Alat ini memberi pakan secara otomatis, mencatat data pakan, dan terhubung ke internet. Data-data tersebut dikumpulkan kemudian diutilisasi oleh perusahaan dalam menyediakan solusi berikutnya, yakni eFarm dan eFisheryKu.

eFarm merupakan platform yang menyediakan informasi lengkap dan mudah dipahami mengenai operasional tambah udang. Sementara, eFisheryKu adalah platform terintegrasi yang memungkinan pembudidaya ikan dapat membeli berbagai keperluan budidaya, seperti pakan ikan, dengan harga yang kompetitif.

Smart Autofeeder ini tersedia dalam bentuk berlangganan. Harganya dimulai dari Rp5 ribu per hari sampai Rp150 ribu satu bulan, sementara untuk budidaya ikan dipatok maksimal Rp350 ribu sebulan. “Ini semua sudah termasuk biaya jasa dan pemasangan, farmers bisa stop berlangganan kapan saja.”

Dari keseluruhan produk di atas, salah satu poin menarik yang ditekankan Aldi adalah mengenai mekanisasi. Mengubah cara kerja pembudidaya ikan dari yang awalnya serba manual menggunakan alat modern, untuk menciptakan efisiensi yang berdampak ke banyak hal.

“Dari mekanisasi ini banyak data yang dapat diutilisiasi dan menjadi fondasi untuk produk-produk berikutnya eFishery. Karena sebelumnya yang kasih makan ikan tidak ada ukuran, jadi ada standarnya,” kata Aldi.

Sidharta menambahkan, selain mekanisasi, dari sisi humanisme, mekanisasi ini memberikan rasa kebebasan kepada para pembudidaya ikan untuk melakukan hal lain di luar pekerjaan utamanya.

Pengalaman tersebut sebelumnya dihadirkan oleh pemain sharing economy, seperti Gojek yang memberi kebebasan kepada para mitranya untuk melakukan pekerjaan lainnya.

“Dengan mekanisasi, sekarang pembudidaya bisa mengukur produktivitasnya mereka sendiri dan fleksibel untuk melakukan hal lain. Dari yang saya lihat saat berkunjung ke salah satu lokasi mitra, mereka bergabung ke eFishery karena alasannya capek harus beri makan ikan setiap hari, pakai tangan, belum lagi kalau kolamnya lebih dari satu, kalau suruh orang lain belum tentu ikannya diberi makan. Tapi sekarang pakai aplikasi sangat mudah,” kata Sidharta.

Hanya saja, tantangannya untuk memperkenalkan solusi eFishery ke lebih banyak pembudidaya ikan dan udang itu begitu berat, terutama di tahap-tahap awal. “Namun the harder the challenge, the bigger the opportunity is,” sambungnya seraya menjelaskan mengapa Northstar tertarik berinvestasi di eFishery.

Masuk tahap inflection point

Gibran melanjutkan, produk Smart Autofeeder adalah entry point eFishery dalam menjangkau pembudidaya baru, sekaligus menjadi jembatan untuk memasukkan produk-produk eFishery lainnya. Untuk itu, semakin banyak pembudidaya yang memanfaatnya, makin besar dampak yang diciptakan, dari efisiensi produksi sampai harga jual ikan yang lebih terjangkau.

Agar mencapai target tersebut, eFishery berupaya untuk menambah talenta baru khususnya di bidang engineering sebagai backbone utama perusahaan. Proporsi talenta engineering di eFishery saat ini terbesar kedua setelah tim sales and expansion. Jumlah tim engineering akan dilipatgandakan, mengingat fokus perusahaan berikutnya adalah mempersiapkan para pembudidaya yang sudah tech savvy untuk menyelami lebih dalam produk digital.

Hal tersebut berkaitan dengan posisi perusahaan yang sudah mencapai inflection point. Menurut Gibran pada titik tersebut, perusahaan harus lebih sistematik dalam mengelola karyawannya dan konsumernya berbasis digital agar lebih efisien.

“Waktu memperkenalkan eFishery pertama kali, kami banyak rekrut tim lapangan karena perlu temu tatap muka. Kami ajari mereka kenal smartphone, pakai aplikasi sehari-hari hingga sampai akhirnya kami kenalkan aplikasi eFishery. Masuk ke inflection point, kami perlu lebih disiplin dan sistematik, makanya butuh banyak orang engineer.”

Disebutkan, saat ini eFishery, lewat teknologi di hilir eFeeder, mampu mempercepat siklus panen dan meningkatkan kapasitas produksi hingga 26%. Sementara lewat eFresh menurunkan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan pembudidaya hingga 45%. Harga pembelian pakan yang disediakan perusahaan juga diklaim lebih murah 3%-5% daripada beli di agen distributor.

Terhitung saat ini ribuan smart feeder taleh digunakan dan melayani lebih dari 30 ribu pembudidaya. Sekitar 40% dari pembudidaya ini tersebar di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera Selatan. Kondisi ini tercermin langsung mengingat 65% populasi pembudidaya ikan dan udang di Indonesia ada di lokasi tersebut.

“Kami berhasil membuktikan model bisnis yang berhasil ter-deliver dengan baik untuk para pembudidaya ikan dan udang. Apalagi dalam dua tahun terakhir makin kuat karena bangun value chain, sehingga value-nya bisa lebih intangible. Misalnya, petani dari awalnya punya satu kolam, jadi lebih dari satu, lalu ambisinya jauh lebih besar, misalnya ingin menyekolahkan anaknya ke bangku kuliah,” kata Gibran.

Segera hadir di Thailand

Dalam kesempatan tersebut juga membahas mengenai rencana perusahaan untuk ekspansi. Gibran menyebut akan segera hadir secara komersial di Thailand, setelah melakukan pilot pada beberapa waktu lalu bersama mitra lokal. Kemudian, menyasar India dan Tiongkok dalam lima tahun ke depan. “Tahun ini, kami eksplorasi terlebih dahulu pasar tersebut.”

Kedua negara tersebut memiliki potensi yang menjanjikan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Dari segi tantangannya, pola budidayanya pun sama seperti Indonesia, sehingga Gibran meyakini solusi eFishery dapat direplikasi di sana. Ditambah lagi, belum ada startup yang fokus di akuakultur seperti perusahaan di skala global.

“Di sana pun belum ada [pemain seperti kami]. Adapun potensi ikan dan udang terbesar di dunia itu top 10-nya ada di APAC, kecuali Norwegia. Kami adalah pionir di segmen ini dan optimis bisa menguasainya.”

Kendati berencana melakukan ekspansi regional, ia tetap menempatkan Indonesia sebagai fokus utama perusahaan. Pasalnya, potensi pembudidaya masih begitu besar yang belum tergarap. Disebutkan ada 3,5 juta pembudidaya ikan dan udang, perusahaan menargetkan dapat menggaet 1 juta pembudidaya dalam tiga sampai lima tahun mendatang. Adapun pada tahun ini ditargetkan dapat membidik 200 ribu pembudidaya atua meningkat hingga empat kali lipat.

Dukung Ruang Bertumbuh, Kiat eFishery Jaga 800 Karyawan Terbaiknya

Sedari awal, eFishery berambisi ingin membangun ekosistem akuakultur di Indonesia yang tidak hanya menguntungkan seluruh pemangku kepentingan, tetapi juga berkelanjutan bagi pembudidaya ikan dan udang. Misi ini begitu kental dengan unsur sosial karena selama ini sektor tersebut termarginalkan.

Untuk menciptakan dampak tersebut, internal perusahaan perlu membangun mindset yang sama, dalam bentuk struktur organisasi, kultur, dan value perusahaan, agar setiap aksi yang dilakukan berada dalam satu napas. Tugas inilah yang diemban Chrisna Aditya selaku Co-Founder dan Chief of Staff di eFishery — terlebih dengan kondisi jumlah pegawai yang saat ini telah menembus angka 800 orang.

Keseluruhan talenta ini terbagi menjadi 11 divisi dan tiga unit bisnis: eFishery Farm yang berkaitan dengan proses budidaya, eFishery Mall untuk membeli pakan benih dan mendapat pembiayaan buat petani, dan eFisheryFresh sebagai platform marketplace dari produk petani ke end user.

Tim terbesar perusahaan dipegang oleh sales and expansion, karena eFishery berfokus pada petani. Dibutuhkan tim lapangan untuk membantu proses on boarding teknologi. Berikutnya, adalah tim product dan engineering, bisnis dan operasional, finance, dan marketing.

Semakin bertumbuhnya bisnis, dibutuhkan pula standarisasi sistem agar proses kerja karyawan tetap nyaman dan mampu mendorong mereka untuk bertumbuh. Berkaitan dengan hal itu, Chrisna berbagi pengalamannya dalam wawancara singkat bersama DailySocial.

Menjaga kultur perusahaan

Chrisna bercerita, eFishery dimulai dari empat orang. Meski demikian, dengan 800 orang anggota tim, nilai-nilai perusahaan yang dijunjung tidak berubah. Ia dan tim menyadari bahwa saat perusahaan ekspansi, penguatan sistem, value perusahaan, hingga employee journey harus senantiasa dibangun secara berkesinambungan.

“Jadi ketika orang semakin banyak, sistem harus semakin kuat agar manajemennya tidak berjalan secara sporadis. Sistem juga perlu dibuat secara profesional, dengan demikian orang-orangnya bisa tetap bertumbuh [kemampuannya]. Perusahaan jadi lebih bagus lagi.”

Ada delapan nilai yang dijunjung perusahaan. Beberapa di antaranya adalah meningkatkan entrepreneurial mindset agar solusi yang dibangun sesuai dengan kebutuhan target konsumen, selalu memberikan dampak ke petani, mengutamakan kejujuran dan integritas, inovasi untuk tumbuh bersama, dan apapun yang dilakukan tiap orang punya dampak buat perusahaan dan konsumen.

Nilai-nilai tersebut perlahan ditanamkan saat proses seleksi karyawan baru. Ia dan tim mengutarakan kepada calon kandidat, seperti apa visi dan misi perusahaan supaya mereka paham dan satu jalur dengan apa yang dicari perusahaan. “Lalu saat on boarding session kita beri dokumen dan video untuk mendalami lebih jauh, dari turunan hingga target masing-masing departemen.”

Kemudian, dalam tahap lanjutan, membuka diskusi secara rutin antara karyawan dengan para founder eFishery, demi memastikan visinya tetap sama.

“Setelahnya kita monthly concall (conference call) buat arahan, lalu menurunkannya dalam OKR. Hal ini bertujuan agar semua inisiatif yang dibangun sejalan dengan goal yang dibangun perusahaan.”

Hal yang sama juga berlaku buat tim di lapangan. Ada offline manager yang senantiasa terbuka untuk ruang diskusi bila ada permasalahan dan menjembatani visi perusahaan agar tetap selaras. Mereka juga berkesempatan untuk berdiskusi langsung dengan C-level dan jajaran head agar lebih dekat secara personal.

Tim lapangan di eFishery merupakan orang lokal yang direkrut setelah melalui standarisasi yang dicari perusahaan. Chrisna menilai, orang lokal dianggap memiliki nilai lebih saat berkomunikasi dengan para petani dengan bahasa daerah masing-masing, sehingga dapat terasa lebih personal pendekatannya. “Manager di tiap lokasi akan rutin melakukan coaching, supaya standar [visi misi] kita tetap sama.”

“Dengan growth eFishery yang kencang, tahun depan bisa 1000 karyawan sebab kami ingin memberi dampak yang lebih jauh. Terlebih sekarang ini kami WFH yang terbukti bisa mendorong growth kita lebih besar, di samping itu bisa attract talent lebih luas lagi [tidak hanya di kota besar].”

Gerak kencang eFishery dalam menambah talenta baru tak lain dalam rangka mewujudkan rencana perusahaan untuk ekspansi ke Thailand dan Vietnam tahun depan. Perusahaan akan bekerja sama dengan perusahaan lokal yang akan membantu proses ekspansi dan operasionalnya untuk melakukan uji coba terlebih dahulu.

Sumber: eFishery

Memanfaatkan platform teknologi

Perusahaan yang semakin tumbuh membutuhkan bantuan teknologi untuk mengotomasinya. Kebutuhan tersebut semakin tervalidasi semenjak pandemi. eFishery kini memanfaatkan platform teknologi secara end-to-end untuk mengakomodir seluruh kebutuhan karyawan yang sepenuhnya WFH hingga saat merekrut karyawan baru.

“Kami sekarang full WFH. Pada tahap awal butuh penyesuaian habit yang perlu dibangun, termasuk bagaimana cara dokumentasi dari seluruh proses kerja yang tadinya belum sepenuhnya digital jadi full digital. Intinya adalah bagaimana tracking performance karyawan meski tidak tatap muka, tapi kinerjanya harus sesuai dengan ekspektasi perusahaan.”

Keputusan full WFH ini diklaim justru membuat kinerja eFishery tumbuh empat kali lipat, melesat dari target awal perusahaan. Masing-masing divisi dapat menentukan sendiri cara mereka bekerja, tidak dipukul rata dengan standar perusahaan. Yang terpenting adalah bagaimana dengan sistem yang seragam bisa diintegrasikan dengan baik sesuai dengan cara kerja masing-masing.

Adapun saat merekrut, eFishery memanfaatkan applicant tracking system untuk memantau seluruh pergerakan proses perekrutan. Tiap bulan perusahaan memroses 80-100 calon karyawan baru. Kondisi tersebut sudah tidak memungkinkan bila dilakukan dengan tenaga manusia.

Sesi onboarding karyawan untuk kebutuhan absensi, cuti, reimburse, payroll, dan HRIS, sekarang sepenuhnya dilakukan secara mandiri (self service). “Terkait manajemen kerja bisa melihat progres produktivitas pekerja apakah on track dengan target atau belum, lalu ada dokumentasi kalender untuk melihat visibilitas secara online, dan dokumentasi dari hasil MoM yang bisa diakses semua orang.”

Program eFishery Campus

Untuk mendorong jiwa entrepreneurship, sambung Chrisna, perusahaan menyusun program eFishery Campus yang berisi berbagai paket pelatihan untuk menunjang kemampuan karyawan. Di antaranya, program mentoring, coaching, one-on-one session, cources, yang rutin diadakan untuk regenerasi calon pemimpin baru.

Program pengembangan karyawan ini juga dibuat versi mininya, alias bisa dikustomisasi berdasarkan kebutuhan masing-masing divisi. “Tim people and operation memfasilitasi kebutuhan dari tiap divisi, lalu kami desain dari segi perusahaan bentuk programnya seperti apa agar tidak berjalan secara sporadis.”

Hal menarik yang ada di program eFishery Campus ini adalah memungkinkan tiap karyawan untuk magang di divisi lain. Langkah ini hadir untuk mengakomodasi karyawan usia muda yang cenderung mudah bosan dan ingin belajar hal baru, sekaligus menjaga retensi dan engagement antara karyawan dengan tim dan perusahaan.

“Saat kami ngobrol dengan karyawan yang resign, mereka menginginkan kebutuhan untuk bertumbuh. Kami pun mencoba memfasilitas kebutuhan tersebut dengan membuka kesempatan untuk magang di antar departemen. Cara ini adalah bentuk menjaga engagement kami dengan karyawan tetap bagus, mereka bisa belajar hal baru.”

Diklaim program ini membantu eFishery menekan angka resign karyawan hingga di bawah 1%. Angka tersebut menjadi pencapaian yang baik di tengah hiruk pikuknya fenomena startup yang kerap membajak karyawan terbaik.

Targetkan Segmen B2B, eFishery Perkuat Layanan eFisheryFresh

Setelah resmi diperkenalkan awal tahun 2020 lalu, eFisheryFresh yang dibangun oleh eFishery telah menjalin kolaborasi dengan kalangan horeka (hotel, restoran, dan kafe) sekaligus memperkuat kerja sama strategis mereka dengan Gojek. Layanan tersebut bertujuan untuk membukakan akses pembudidaya terhadap pasar dengan menghubungkan mereka secara langsung kepada agen dan distributor mitra eFishery. Saat ini sudah hadir di berbagai wilayah di Jabodetabek, Bandung, Purwakarta, Subang, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya.

eFishery juga telah membangun eFisheryPoint (kantor cabang eFishery) di 110 kota/kabupaten di Indonesia dan memiliki rencana untuk menyambungkan pasar-pasar lokal dengan pembeli wilayah-wilayah tersebut sehingga supply chain dapat lebih efisien. Untuk saat ini fokus eFisheryFresh masih di segmen B2B, dengan menyalurkan ikan dari pembudidaya ke agen, distributor, dan pemroses bahan mentah. Selain itu mereka juga bekerja sama dengan lebih dari 2000 horeka di berbagai wilayah di Indonesia.

“Fokus kami saat ini masih meningkatkan volume. Sebelumnya kami sudah banyak melayani agen dan distributor besar. Di tahun 2021 ini kami ingin lebih banyak melayani horeka, warung, dan modern trade. Ada beberapa inisiatif juga yang terkait kategori baru dan pembukaan outlet kemitraan,” kata Co-Founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah.

Target eFishery

 

Memanfaatkan data yang dikumpulkan di sektor hulu, melalui teknologi eFisheryFeeder, memungkinkan perusahaan untuk memprediksi panen. Selanjutnya dapat mengetahui sejak awal siapa pembudidaya yang akan panen ikan X di daerah Z. Sebelum tiba masa panen, eFishery akan menginformasikan kepada mitra agen/distributor dan horeka mengenai jadwal panen dan mengumpulkan pesanan dari mereka (crowd buying), sehingga saat masa panen tiba, ikan dapat langsung diantarkan.

Melalui eFisheryFresh, misi besar eFishery adalah menjadikan akuakultur sebagai sumber protein hewani terbesar di dunia. Dengan demikian semua orang dapat memperoleh akses terhadap makanan bernutrisi tinggi dengan mudah dan harga yang terjangkau. Beberapa hal seperti metric bisnis mengenai revenue, active customer, hingga ke LTV menjadi target dari eFisheryFresh. Selain itu  tahun ini mereka juga menargetkan untuk meningkatkan pertumbuhan 4x lipat dari tahun lalu.

Saat ini efIshery sedang menjajaki kerja sama dengan GoFresh, marketplace yang menyediakan bahan baku segar untuk kebutuhan usaha Mitra Usaha GoFood. Merchant GoFood yang menjual ikan di menunya kini bisa mendapatkan ikan segar berkualitas langsung dari pembudidaya dengan harga terbaik. Selain itu, mereka juga sedang mengembangkan berbagai potensi yang bisa dilakukan dengan ekosistem Gojek tersebut, mulai dari merchant GoFood hingga payment platform GoPay.

eFishery sendiri diinvestasi oleh Go-Ventures di putaran seri B mereka. Saat ini mantan CEO Gopay, Aldi Haryopratomo, juga diangkat menjadi komisaris startup tersebut.

“Sejauh ini ekosistem di Gojek yang sudah dikolaborasikan, namun baru yang terkait ke merchant GoFood, di mana kami yang menyediakan ikannya. Sementara Untuk B2C di Gojek semoga dalam waktu dekat bisa tersedia ,” kata Gibran.

Application Information Will Show Up Here

eFishery Umumkan Perolehan Pendanaan Pra-Seri A dari Aqua-Spark dan Ideosource

eFishery sebagai solusi akuakultur memiliki potensi menjadi pemain global / eFishery

Startup Internet of Things (IoT) eFishery mengumumkan perolehan pendanaan Pra-Seri A dengan jumlah yang tidak disebutkan dari Aqua-Spark Belanda dan Ideosource. Pendanaan yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk mengembangkan tim, membuat sistem piranti lunak yang lebih baik, dan meningkatkan distribusi ke skala nasional.

Continue reading eFishery Umumkan Perolehan Pendanaan Pra-Seri A dari Aqua-Spark dan Ideosource