DELOS Kantongi Pendanaan Seri A Dipimpin Monk’s Hill Ventures

Startup aquatech DELOS mengumumkan telah menutup putaran pertama pendanaan seri A dengan nominal yang dirahasiakan, dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures. Namun, menurut data di situs Crunchbase, investasi yang diraih DELOS mencapai $5,75 juta (sekitar Rp88 miliar).

Pendanaan ini diumumkan selang sebulan setelah DELOS merumahkan sejumlah karyawannya.

DELOS akan memanfaatkan dana segar tersebut untuk melipatgandakan produksi melalui pengembangan AquaHero dan AquaLink, menggiatkan penelitian, dan mengembangkan fitur demi meningkatkan dampak pada efektivitas rantai pasok.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan pada hari ini (7/9), Co-Founder dan Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kou-Yi Lim menuturkan, DELOS memajukan penggunaan ilmu dan teknologi data dalam industri budidaya udang di Indonesia. Perusahaan terbukti mampu meningkatkan produktivitas pertanian dengan mengurangi biaya input, sekaligus memungkinkan ketertelusuran dan keberlanjutan dalam praktik pertanian.

“Kami senang dapat bermitra dengan tim DELOS dalam mentransformasi industri akuakultur yang penting dan strategis, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh Asia Tenggara. Ini merupakan investasi yang berpotensi memberikan dampak besar bagi kami,” kata Lim.

DELOS didirikan pada 2021 oleh Guntur Mallarangeng, Aris Noerhadi, Alexander Farthing, dan Bobby Indra Gunawan Wibisono. DELOS punya misi memajukan Indonesia menjadi pusat produksi makanan laut berbasis akuakultur internasional pada dekade berikutnya.

Revolusi ini akan menjadi perubahan radikal untuk mendorong pertumbuhan dan modernisasi industri akuakultur Indonesia yang bernilai $2,5 miliar dan semakin mengintegrasikannya ke dalam rantai pasokan makanan laut global.

Sejak mendapat pendanaan putaran awal pada Maret 2022, DELOS telah meluncurkan produk pertanian, AquaHero, yakni sistem produktivitas pertanian lengkap yang menggabungkan keahlian ilmiah, teknologi, dan keunggulan operasional untuk meningkatkan hasil pertanian dan mempertahankan profitabilitas.

AquaHero menggunakan metode pengumpulan data kelas atas dan model biologis mutakhir untuk memprediksi dan memitigasi risiko panen, model yang akan dilatih di ratusan tambak udang dalam ekosistem DELOS di seluruh Indonesia. Hal ini dipadukan dengan teknologi yang diperlukan dan keahlian operasional, diklaim terbukti mampu meningkatkan produktivitas peternakan bagi industri akuakultur Indonesia.

Terdapat pula, AquaLink, sebuah platform pemanenan dan logistik yang memungkinkan DELOS menangkap dan menyediakan pasokan makanan laut yang berkelanjutan dan dapat ditelusuri di bagian hilir rantai nilai. Perusahaan ini saat ini bertanggung jawab memproduksi dan mendistribusikan ribuan ton udang setiap tahunnya, dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengintegrasikan pasokannya ke pasar makanan laut global senilai $300 miliar.

CEO DELOS Guntur Mallarangeng mengatakan bahwa sektor budidaya perikanan di Indonesia membutuhkan pertumbuhan selama beberapa dekade terakhir. Sebagian besar keputusan bertani masih dibuat berdasarkan firasat dan tradisi, bukan berdasarkan data dan praktik pertanian empiris.

“Keunggulan alam Indonesia sebagai negara maritim tropis terbesar di dunia memberikan semua teka-teki yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadi produsen makanan laut terbesar di dunia. Meningkatkan penerapan teknologi dan praktik terbaik di industri akuakultur akan membantu kita mewujudkan potensi sebenarnya. Ini bisa menjadi industri yang sangat strategis bagi Indonesia,” kata Guntur.

Industri akuakultur di Indonesia diketahui terhambat oleh sejumlah tantangan klasik pada aspek rantai pasok. Rendahnya adopsi teknologi hingga kurangnya akses terhadap fasilitas pembiayaan juga ikut menghambat produktivitas budidaya dan produksi udang yang ditargetkan tumbuh 250% dalam tiga tahun ke depan.

Tantangan-tantangan di atas dinilai membatasi output prosesor hilir hingga rata-rata 40%-60% dari total kapasitas. Selain itu, tak sampai 5% sektor pertanian yang memiliki produktivitas lebih dari empat kali dibandingkan pertanian tetangganya (40 ton vs 10 ton/Ha).

DELOS Tempuh PHK untuk Capai Profitabilitas Lebih Cepat

Startup aquatech DELOS dikabarkan menempuh jalur PHK dalam upaya memfokuskan diri pada bisnis yang lebih cepat membawa perusahaan dalam jalur profitabilitas. Sumber terpercaya DailySocial.id memberikan konfirmasinya terkait informasi tersebut, walau tidak bisa menyebutkan berapa karyawan yang terdampak.

Menurut sumber, langkah ini diambil karena perusahaan ingin berfokus pada proyek-proyek jangka pendek dan menengah yang dapat membawa dampak lebih signifikan untuk industri dan perusahaan, dalam hal menuju profitabilitas.

“Tim yang tersisa sekarang dianggap bisa fokus ke inisiatif penting untuk jangka pendek dan menengah, dan mereka dipercaya bisa mengeksekusinya dengan baik,” ujarnya.

DELOS didirikan pada 2021 oleh Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, dan Alexander Farthing. Startup ini berambisi ingin memodernisasi industri akuakultur di Indonesia, dalam hal ini tambak udang, yang selama ini nilai ekonomi maritimnya kalah dibandingkan negara lain.

Solusi yang ditawarkan di antarnya adalah AquaHero: aplikasi manajemen tambak yang menghadirkan aksesibilitas dan transparansi kinerja aqua farm; AquaLink: solusi rantai pasok dari hulu ke hilir, menghubungkan produsen, pemasok, dan pembeli dari seluruh Indonesia, dengan benur, pakan, probiotik udang, alat tambak, logistik, hingga panen.

DELOS telah menyelesaikan penggangan dana tahap awal bernilai lebih dari $8 juta. Sejumlah investor yang berpartisipasi dalam putaran ini, di antaranya Arise, Centauri –keduanya dana kelolaan dari MDI Ventures, Alpha JWC Ventures, Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Eksekutif), dan iSeed Asia.

Prospek akuakultur

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53% dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90% volume produksi diproduksi di Asia.

Akan tetapi masih terjadi masalah klasik terkait rantai pasok di Indonesia. Dengan garis pantai sepanjang 54.000 km, sumber daya manusia pesisir yang melimpah, dan iklim tropis, Indonesia tampaknya akan menjadi pemimpin global yang jelas untuk akuakultur berkelanjutan, terutama dengan udang Indonesia yang bersaing dalam skala global sebagai produk akuakultur paling berharga kedua di dunia, yaitu ekspor makanan laut terbesar.

Pemerintah Indonesia menargetkan budidaya dan produksi udang untuk tumbuh 250% selama tiga tahun ke depan. Namun, adopsi teknologi yang rendah, praktik pengelolaan yang tidak sesuai standar, dan akses yang buruk ke pembiayaan telah membatasi pertumbuhan akuakultur Indonesia –terutama menghambat produktivitas akuakultur.

Faktor-faktor tersebut telah menciptakan hambatan di tengah-tengah rantai nilai, dan membatasi output prosesor hilir hingga rata-rata 40%-60% kapasitas. Kurang dari 5% pertanian 4 kali lebih produktif daripada pertanian tetangganya (40 ton vs 10 ton/Ha).

Kesenjangan produktivitas inilah yang membuat industri senilai $2 miliar tidak dapat memenuhi potensi terpendamnya dan menjadi industri senilai $4 miliar, menurut Kementerian Perikanan Indonesia.

Di Indonesia, terdapat sejumlah startup akuakultur, yakni eFishery, Aruna, dan Jala.

Peran Penting Riset, Pengetahuan, dan Teknologi dalam Meningkatkan Produktivitas Budidaya

Berawal dari tambak udang yang dimilikinya sejak 2016, Co-founder DELOS Guntur Mallarangeng punya cita-cita untuk membawa kejayaan Indonesia sebagai produsen budidaya udang terbesar di dunia.

Saat ini ia menilai ekspor hasil sumber daya laut, terutama udang, di Indonesia belum optimal. Ini cukup disayangkan, mengingat Indonesia merupakan negara maritim dengan kepulauan terbesar di dunia. Nilai ekspornya memang fantastis, yakni sekitar $47 miliar per tahun untuk seafood. Namun, hanya $2,5 miliar saja yang disumbang dari udang. 

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, Guntur membagikan beberapa catatan menarik yang berkaitan erat dengan pengalamannya mendorong industri budidaya udang lewat riset, science, dan teknologi.

Riset, pengetahuan, dan teknologi

Menurut catatan Guntur, Indonesia hanya memproduksi sepertiga atau setengah dari produksi udang yang dihasilkan negara-negara, seperti India dan Ekuador. Padahal, Indonesia punya lebih dari 50.000 km garis pantai, sedangkan India hanya ribuan km.

Mengapa Indonesia bisa tertinggal jauh? Ada beberapa faktor, utamanya karena produktivitas pada garis pantai yang dimanfaatkan masih rendah. “Hal ini justru menjadi peluang untuk mendorong industri budidaya secara berkelanjutan, scalable, dan menjadi yang terbesar di dunia,” ucap Guntur.

Untuk meningkatkan produktivitas budidaya, ia menyebut riset, pengetahuan, dan teknologi menjadi kekuatan budidaya tambak. Mengingat budidaya berkaitan dengan pemeliharaan makhluk hidup, riset dan pengetahuan berperan penting untuk memahami seluk-beluk industri ini.

Skill set apa yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah ini? Kemampuan operasional, teknologi dan pengetahuan, serta dukungan modal yang bagus mengingat industri ini punya risiko gagal usaha yang tinggi. Di DELOS, kami menempatkan orang untuk science dan research sehingga penemuannya di industri budidaya dapat kami manfaatkan untuk mengatasi tantangan ini,” tambahnya.

Akses modal usaha

Menurut Guntur, sebesar 70% tantangan budidaya terjadi pada proses pengelolaan hingga infrastruktur yang membutuhkan modal besar. Ini merupakan kendala usang yang kerap dialami pelaku budidaya sehingga tak sedikit dari mereka terpaksa merogoh kocek sendiri. Karena hal ini pula, mereka sulit untuk meningkatkan skala bisnis dan mengatur target jangka panjang karena lebih fokus untuk mendapat pemasukan.

“Usaha tambak kurang dilirik investor maupun industri keuangan karena sejumlah faktor, seperti risiko gagal tinggi dan kurangnya pemahaman tentang model bisnis. Investor biasanya mau berinvestasi di usaha yang punya aset besar. Industri budidaya yang berjalan saat ini cukup fragmented dan kebanyakan pengusaha budidaya mendanai sendiri atau berkelompok,” paparnya.

Dalam hal ini, platform memiliki peran untuk menjembatani investor dengan pemilik usaha sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas sembari melakukan transfer knowledge ke orang lain.

Science dan data-driven

Guntur berujar pengetahuan dan teknologi menjadi aset penting dalam mengembangkan industri budidaya. Pengembangan teknologi dan riset dapat dimanfaatkan untuk membuat keputusan berbasis data.

Dalam konteks pemberian akses modal usaha, aset-aset tersebut dapat membantu platform aquatech untuk melihat sejumlah indikator dari pengusaha budidaya, misalnya risiko gagal budidaya, kinerja operasional, maupun produktivitas. Aset ini yang mungkin tidak dimiliki oleh bank atau institusi keuangan sehingga mereka kurang memahami industrinya.

“Kami ingin mengubah cara pengusaha budidaya untuk mengambil keputusan yang biasanya cenderung berdasarkan ‘gut feeling‘ menjadi science dan data-driven. Ini membantu untuk menerjemahkannya ke dalam bentuk teknologi yang dibutuhkan.” Tutupnya.

Sains sebagai Akar Inovasi, Cerita DELOS Dorong Petambak Udang Berdaya Saing

Perjuangan untuk digitalisasi di industri akuakultur terus digalakkan oleh banyak pihak. Di tengah potensinya yang menggiurkan, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur, namun banyak proses hulu hingga hilir yang dilakukan secara manual. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya proses produksi budidaya di negara ini.

Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, Alexander Farthing, dan Aristya Noerhadi, dengan latar belakang dari multidisiplin, mencakup akuakultur, ilmu kelautan dan mikrobiologi, serta teknologi dan kewirausahaan; memutuskan untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Kemudian DELOS pun lahir pada November 2021. DELOS memperkenal misi “Revolusi Biru”, yakni sebuah cara untuk mengembangkan dan memodernisasi teknologi akuakultur Indonesia agar mampu bersaing dengan pemain sejenis di skala global.

DELOS fokus pada budidaya udang karena merupakan komoditas laut di Indonesia yang paling besar dan berharga. Berdasarkan data yang dikutip DELOS, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun karena Indonesia memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.

“Kenapa industri budidaya maritim Indonesia yang besarnya miliaran USD per tahun, tetap ketinggalan dibandingkan negara lain? Jawaban dari pertanyaan ini menarik, karena jawabannya sama-sama sederhana dan rumit. Sederhananya, tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain,” ucap Guntur kepada DailySocial.id.

Ia melanjutkan, jawaban lebih rumitnya ini berkaitan dengan masalah sistemik. Bila dilihat secara makro, masalah-masalah ini berasal dari kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia; kurangnya inklusi finansial di industri pertambakan; kurangnya adopsi teknologi terkini di industri pertambakan; dan kurangnya tenaga-tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri pertambakan.

“Gabungan dari keempat poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya inklusi finansial dari institusi finansial negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan, tak terjangkau,” sambungnya.

Guntur bilang, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Sumber: DELOS

Solusi DELOS

Guntur menjelaskan, sains adalah akar dari industri akuakultur ini karena memiliki proses yang panjang untuk membuat penemuan baru dan menjadikan penemuan-penemuan itu menjadi sesuatu yang bisa diterapkan di lapangan. Dalam menjalani proses tersebut, DELOS mengangkat perspektif yang sedikit berbeda dalam memperkenalkan teknologi kepada petani udang.

“Kita anggap sebuah tambak bagaikan sebuah komputer, maka kita bisa lihat bahwa tambak akan membutuhkan hardware dan software. Selain itu, tambak membutuhkan update sehingga teknologi yang ada sekarang bisa menjadi lebih baik lagi. Teknologi peningkatan produktivitas DELOS dinamakan Aquahero, produk yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing petambak Indonesia.”

Aquahero ini ditenagai dengan algoritma prediktif yang dinamai PrawnHub Engine (PH Engine). Mesin tersebut sedang diprogram agar dapat gunakan ratusan hingga ribuan hektar tambak yang telah dikelola perusahaan sebagai dataset. Dataset akan dicerna oleh mesin sehingga DELOS bisa memberikan rekomendasi operasional kepada petambak.

“Selebihnya, kami juga menginstalasikan SOP yang sudah kami riset ke tambak-tambak mitra kami, sehingga mereka bisa menggunakan SOP yang terbaru dan terbarukan, yang sudah terbukti meningkatkan produktivitas. Ini semua didampingi oleh tim DELOS ahli, full-time, untuk mengawasi dan membimbing tambak-tambak mitra kami.”

Sementara itu, dari sisi perangkat kerasnya, ada beberapa poin instalasi infrastruktur yang sudah ada dan harus diinstalasikan. Contohnya, IoT seperti auto-feeder, sanitasi air, pengolahan limbah, dan laboratorium agar kualitas air tetap terjaga. DELOS juga terus melakukan pembaruan di teknologi tersebut dengan riset agar harga capex bisa ditekan dan harga lebih terjangkau.

“Kami sudah mulai riset tentang genetika udang dan penyakit udang (virus dan bakteri) sehingga bisa mulai membuat proses dan alat uji penyakit lebih cepat dan murah, agar dapat menjangkau semua petambak di Indonesia. Kami juga sedang bekerja sama dengan institusi finansial untuk membuat akses finansial lebih mudah untuk mitra-mitra tambak kami.”

Selain produktivitas, DELOS juga turut mengatasi rantai pasok yang terintegrasi ke pasar luar negeri dan akses keuangan masih menjadi masalah mendasar bagi industri akuakultur Indonesia. Lewat solusi AquaLink, memungkinkan petambak udang dengan pemasok untuk memfasilitasi penjualan hasil panen dengan harga dan sistem pembayaran yang terbaik.

Tantangan selanjutnya yang akan dijawab oleh DELOS adalah akses finansial dan kesulitan permodalan yang dialami banyak petambak independen. Lantaran, banyak petambak terpaksa menggunakan uang dari kantong mereka sendiri sebagai modal usaha. Ini merupakan hambatan besar karena banyak petambak yang tidak memiliki rencana cadangan jika tambak udang mereka tidak menghasilkan keuntungan.

Melalui AquaBank, DELOS menghadirkan layanan pendanaan yang dilengkapi dengan penilaian risiko dan kebutuhan yang unik untuk setiap tambak dan pemiliknya. Dengan demikian, petambak dapat terbantu mencapai kesuksesan.

Guntur melanjutkan, masing-masing produk dan jasa memiliki strategi go-to-market (GTM) dan timeline yang berbeda-beda. Semuanya ini kembali berakar pada sains. Sains memiliki proses yang panjang untuk membuat penemuan baru dan menjadikan penemuan-penemuan itu menjadi sesuatu yang bisa diterapkan lapangan.

Ia pun meyakini lewat kerja sama dengan banyak petambak dan laboratorium di seluruh Indonesia, DELOS optimistis solusinya yang sedang dalam uji riset dapat diaplikasikan dalam satu hingga dua tahun mendatang, terutama yang sifatnya berbasis SOP dan membutuhkan dataset yang besar.

“Untuk hal-hal yang bersifat genetik, mungkin akan membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama. Namun, kami percaya bahwa terobosan-terobosan ilmiah ini harus dikerjakan dan diterapkan, agar Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia dalam budidaya maritim.”

Sumber: DELOS

Rencana berikutnya

Di samping bisnis, DELOS juga menaruh perhatian besar bagi pengembangan sumber daya manusia dalam industri akuakultur. Pihaknya akan mendirikan DELOS Maritime Institute (DMI) di Yogyakarta sebagai pusat pelatihan dengan kurikulum kelas dunia dan praktik lapangan, untuk menciptakan generasi baru siap kerja di bidang akuakultur sebagai manajer tambak, teknisi, asisten laboratorium, maupun petugas lapangan.

Selain itu, DMI juga akan menjadi pusat penelitian ilmiah dan teknologi di bidang akuakultur, di antaranya pendeteksian dini dan pencegahan penyakit hewan ternak serta inovasi infrastruktur tambak. “Proses edukasinya cukup panjang, tetapi memang kami siapkan tim untuk mengurus masing-masing mitra petambak. Kami ibaratkan tambak seperti sekolah dan lab besar, sehingga proses pembelajaran tidak pernah berhenti.”

Diklaim, sejak pertama kali beroperasi hingga kini, DELOS on track untuk menjalankan pendampingan 100 hektare tambak udang intensif dan super-intensif dalam waktu dekat. Permintaan dari berbagai wilayah untuk disambangi DELOS turut membludak.

“Lebih dari 600 hektar tambak yang masih menunggu sentuhan DELOS. Kami memang ingin mendorong Indonesia untuk sadar bahwa lautan kita yang luas memiliki potensi besar untuk menjadi sumber penggerak ekonomi nasional yang besar dan berkelanjutan.”

Dalam menjalankan bisnisnya, Guntur mengaku bahwa DELOS memiliki falsafah bisnis yang cukup sederhana: value creation dan value capture. Untuk create value, atau menciptakan nilai tambah, di industri pertambakan dengan cara meningkatkan hasil produksi industri secara menyeluruh.

Selebihnya, pihaknya akan mulai mencari untung ketika industri sudah merasakan dampak positif operasional dan kontribusi DELOS. Semua solusi yang ditawarkan sifatnya kolaboratif. “Semua tambak-tambak kami bermitra dengan kami, entah itu solusi peningkatan produktivitas, solusi supply chain, atau solusi financing. Yang kami berusaha untuk bangun adalah kepercayaan dan hubungan kerja jangka panjang.”

DELOS Announces Additional Funding of 115 Billion Rupiah Led by Centauri Fund and Alpha JWC Ventures

Post securing early-stage funding led by the Arise Fund, aquatech startup DELOS announced an additional investment of $8 million, equivalent to 115 billion Rupiah. This round was led by the Centauri Fund and Alpha JWC Ventures. Both Centauri and Arise are funds under MDI Ventures management.

Other investors involved in this funding are Number Capital, Arise, iSeed SEA, Irvan Kolonas, as well as Alto Partners Multi-Family Office, Mahanusa Capital, Kopi Kenangan’s Founder, James Prananto, and a number of advanced strategic investors.

The company plans to use the funds to accelerate the on-boarding process of its farm-based clients. In addition, they continue to build and scale-up its main products AquaHero, AquaLink, and AquaBank to accelerate the growth of Indonesian aquaculture.

“We want to encourage Indonesia to realize and take advantage of its vast marine potential, setting it as major and sustainable national economic driver in the near future,” said DELOS Co-founder Guntur Mallarangeng.

Within months of operations following the early-stage funding round, DELOS has been working on developing its flagship product line. AquaHero, which is a complete agricultural productivity system combining scientific, technological and operational expertise was developed to increase agricultural yields. AquaHero products use high-end data collection methods and biological models to predict and reduce crop risk. This model will be applied to thousands of shrimp ponds in the DELOS ecosystem throughout Indonesia.

“DELOS comes with real, data-driven solutions to the everyday problems faced by shrimp farmers, and early traction has proven its effectiveness in optimizing farm operations and significantly growing output. With the expertise and network of its founders, we are confident DELOS can lead the aquaculture revolution in Indonesia,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Eko Kurniadi said.

Meanwhile, Centauri Fund’s Managing Partner, Kenneth Li, said that agriculture is one of Indonesia’s grassroots industries that contributes significantly to national GDP. In this regard, the shrimp industry in Indonesia is also one of the largest in the world and the largest contributor to the Indonesian fishery industry as a whole.

“DELOS is capable of producing a staggering output yield of 2-3x the industry average. It also capable to solve this problem by implementing modern and standardized production methods and providing scalable supply chain solutions,”  he added.

Business Growth

Since November 2021, the company has been actively on-boarding 100 hectares of intensive and super intensive shrimp ponds, with a backlog demand of more than 600 hectares in the company’s pipeline. This year, the company will continue to strengthen and expand AquaHero’s product range, accuracy, features and clients, by increasing farm productivity and profitability, thereby adding value to the industry. The company is targeting around 200 hectares to be managed this year.

DELOS claims to have helped its clients multiply their results through an app from AquaHero. This has resulted in the client base’s agricultural output continuing to outperform the Indonesian shrimp farming industry, producing an average of 10-15 tons/ha/cycle.

Supporting DELOS’ long-term goals, the company later established the DELOS Maritime Institute (DMI) in Yogyakarta. The Institute will become a training center for the development of specialized aquaculture talent, with a world-class curriculum and on-site practical training, to cultivate a new generation of farm managers, technicians, lab assistants and field operators. In addition, this activity will also support research and development of the latest technology in cultivation technology, such as: early detection and prevention of disease and livestock supporting infrastructure.

“The feedback of DELOS in the aquaculture industry has been very positive, with client acquisitions beyond the team’s ability to get into the farm,” Guntur said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

DELOS Umumkan Pendanaan Lanjutan 115 Miliar Rupiah, Dipimpin Centauri Fund dan Alpha JWC Ventures

Setelah sebelumnya telah mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin Arise Fund, startup aquatech DELOS mengumumkan pendanaan tahap awal tambahan senilai $8 juta atau setara 115 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Centauri Fund dan Alpha JWC Ventures. Baik Centauri dan Arise adalah dana kelolaan dari MDI Ventures.

Investor lainnya yang turut terlibat dalam pendanaan ini adalah Number Capital, Arise, iSeed SEA, Irvan Kolonas, serta Alto Partners Multi-Family Office, Mahanusa Capital, Pendiri Kopi Kenangan James Prananto, dan sejumlah investor strategis lanjutan.

Perusahaan berencana untuk menggunakan dana tersebut untuk mengakselerasi proses on-boarding kliennya dari peternakan. Selain itu mereka terus membangun dan melakukan scale-up produk utamanya AquaHero, AquaLink, dan AquaBank untuk mempercepat pertumbuhan perikanan budidaya Indonesia.

“Kami ingin mendorong Indonesia untuk menyadari dan memanfaatkan potensi lautnya yang luas, menjadikannya penggerak ekonomi nasional yang utama dan berkelanjutan dalam waktu dekat,” kata Co-founder DELOS Guntur Mallarangeng.

Dalam beberapa bulan operasinya setelah putaran pendanaan awal, DELOS telah bekerja mengembangkan lini produk unggulannya. AquaHero, yang merupakan sistem produktivitas pertanian lengkap yang menggabungkan keahlian ilmiah, teknologi, dan operasional dikembangkan untuk meningkatkan hasil pertanian. Produk AquaHero menggunakan metode pengumpulan data kelas atas dan model biologis untuk memprediksi dan mengurangi risiko panen. Model ini akan diterapkan pada ribuan udang tambak dalam ekosistem DELOS di seluruh Indonesia.

“DELOS hadir dengan solusi nyata berbasis data untuk masalah sehari-hari yang dihadapi oleh petambak udang, dan traksi awal telah membuktikan efektivitasnya dalam mengoptimalkan operasi tambak dan keluaran yang tumbuh secara signifikan. Dengan keahlian dan jaringan yang dimiliki oleh para pendirinya, kami yakin DELOS dapat menjadi yang terdepan dalam revolusi akuakultur di Indonesia,” kata Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Sementara itu menurut Managing Partner Centauri Fund Kenneth Li, agriculture merupakan salah satu industri akar rumput Indonesia yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan nasional PDB. Dalam hal ini industri udang di Indonesia juga merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan penyumbang terbesar bagi industri perikanan Indonesia secara keseluruhan.

“DELOS mampu menghasilkan output hasil yang mengejutkan 2-3x dari rata-rata industri. DELOS telah mampu memecahkan masalah ini dengan menerapkan metode produksi modern dan standar dan menyediakan solusi rantai pasokan yang terukur.”

Pertumbuhan bisnis DELOS

Sejak November 2021, perusahaan aktif melakukan on-boarding 100 hektar tambak udang intensif dan super intensif, dengan backlog permintaan yang ada lebih dari 600 hektar di pipeline perusahaan. Tahun ini perusahaan juga akan terus memperkuat dan memperluas cakupan produk AquaHero, akurasi, fitur, dan klien, dengan meningkatkan produktivitas dan profitabilitas pertanian, sehingga menambah nilai bagi industri. Perusahaan memiliki target sekitar 200 hektar yang bisa dikelola tahun ini.

DELOS mengklaim telah membantu kliennya menggandakan hasil mereka melalui aplikasi dari AquaHero. Hal ini mengakibatkan hasil pertanian basis kliennya terus mengungguli Industri budidaya udang Indonesia rata-rata menghasilkan 10-15 ton/ha/siklus.

Mendukung tujuan jangka panjang DELOS, perusahaan kemudian mendirikan DELOS Maritime Institute (DMI) di Yogyakarta. Institut akan menjadi pusat pelatihan untuk pengembangan bakat akuakultur khusus, dengan kurikulum kelas dunia dan pelatihan praktis di tempat, untuk menumbuhkan pertanian generasi baru manajer, teknisi, asisten lab, dan operator lapangan. Selain itu kegiatan ini juga akan mendukung penelitian dan pengembangan teknologi mutakhir dalam teknologi budidaya, seperti: deteksi dini dan pencegahan penyakit serta infrastruktur penunjang peternakan.

“Penerimaan DELOS di industri akuakultur sangat positif, dengan akuisisi klien melampaui kemampuan tim untuk masuk ke peternakan,” kata Guntur.

Mengatasi Tantangan di Industri Peternakan dan Perikanan dengan Teknologi

Butuh waktu delapan tahun bagi e-Fishery membuktikan bahwa industri akuakultur adalah “the sleeping giant” lewat penggalangan dana seri C yang diikuti investor kelas kakap. Produksi akuakultur di Indonesia masih menjadi yang ketiga di dunia setelah China dan India. Pada 2018, produksi akuakultur mencapai 5,4 juta ton senilai $11,9 miliar (FAO 2020).

Tak hanya akuakultur, peternakan pun juga tak kalah besar potensinya. Konsumsi daging ayam di Indonesia pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita atau sekitar 3,5 juta kg per tahun. Diperkirakan pada 2029 nanti konsumsi ayam akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita. Kendati begitu, menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

Di samping itu, industri ini masih ditimpa sejumlah isu klasik. Mulai dari akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Meski demikian, budidaya hewan tetap menjadi sektor yang menarik, seiring dengan meningkatnya permintaan protein hewani dan banyak startup yang mencoba mengurai berbagai masalah yang ada di setiap segmen. Para pendiri startup ini, datang dari multi disiplin, tidak hanya dari bidang akuakultur atau perunggasan. Mereka adalah Chickin Indonesia, Fistx, Delos, dan Pitik.

Bersama DailySocial.id, mereka berbagi pandangan mengapa inovasi di di sektor ini cenderung lambat di Indonesia dan bagaimana menyelesaikan tantangan tersebut dengan teknologi.

Co-founder dan CEO Chickin Indonesia Tubagus Syailendra Wangsadisastra mengatakan, inovasi digital di sektor ini lambat karena lanskap rantai pasoknya yang masih terfragmentasi dan banyak tengkulak yang membuat tidak adanya transparansi data. Hal ini mendorong ketidakcocokan antara permintaan dan ketersediaan stok.

Inovasi di segmen ini lambat, karena berinteraksi dengan petani dan peternak yang secara umum belum adaptif.

“Dari sisi market adoption, belum semasif di industri lain. Wave-nya baru-baru ini akan jadi emerging industri ke depannya. Saya yakin ini akan besar setelah melewati fase-fase tertentu. Fasenya e-commerce, fintech sudah lewat. Orang-orang di tier 3 dan 4 sudah pakai teknologi, baru kita mudah masuk ke budidaya,” kata Tubagus.

CEO Delos Guntur Mallarangeng menambahkan dari perspektif lain. Ia menjelaskan, sebenarnya jawabannya sederhana namun rumit. Sederhana, karena tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain.

Jawaban rumitnya berkaitan dengan masalah sistemik yang perlu dilihat secara makro. Mereka adalah kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia, kurangnya inklusi finansial, kurangnya adopsi teknologi terkini, dan tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri perikanan.

“Gabungan dari ke-4 poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya financial inclusion dari institusi-institusi finansial di negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan tidak terjangkau,” kata Guntur.

Dia melanjutkan, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi, membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Gabungkan IoT dengan teknologi lain

Berdasarkan tantangan tersebut, pendekatan IoT dengan gabungan teknologi lainnya menjadi langkah awal untuk memperkenalkan dunia digital di segmentasi ini. Contoh perusahaan yang fokus pada sensor dan perangkat berbasis IoT untuk memeriksa parameter air dengan cepat dan tepat adalah Jala, FisTx, Delos, dan eFishery. Selain itu, ada juga yang fokus pada pengolahan air seperti NanoBubble, Venambak, dan Banoo yang menyediakan mesin untuk mengoptimalkan oksigen terlarut (DO).

Dengan perangkat ini, parameter kualitas air dapat disajikan secara real time atau sebagai rangkaian data, sehingga memungkinkan memprediksi kualitas air lebih tepat dan mengambil tindakan jika ada tren yang tidak biasa. Terobosan ini membuat budidaya ikan dan udang lebih mudah diprediksi dan mudah dipraktikkan bagi pemula. Hal ini juga membuat sektor akuakultur menjadi lebih menarik bagi kaum muda.

Namun, menurut COO FisTx Rico Wibisono, hal yang paling menantang dalam penyediaan alat pemeriksa kualitas air, selain memastikan data yang cepat dan akurat, adalah bagaimana memberikan saran yang tepat kepada petani tentang langkah apa yang harus diambil dari hasil pengukuran. Dia mengatakan bahwa mengumpulkan data kualitas air adalah satu hal, tetapi menggunakan data dengan benar adalah hal lain.

FisTx mengembangkan teknologi khusus untuk budidaya udang yang fokus pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan. Contohnya adalah mobile water steriliser dengan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dan didukung sinar ultraviolet tanpa residu. Teknologi tersebut, bila dibandingkan dengan bahan kimia, bisa mengefisiensikan biaya desinfektan antara 35-53%.

“Kemudian kami juga mengembangkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan industri, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limba lebih sedikit. Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak.”

Tubagus menambahkan, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting dalam mengatasi permasalahan mereka. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B.

Pihaknya melakukan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Perangkat IoT digunakan untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Keberhasilan panen ditentukan dari seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI Support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Temptron yang dikembangkan Chickin / Chickin

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Pendekatan di lapangan

Di tengah literasi yang belum mumpuni di seluruh pelosok, maka dalam proses memperkenalkan kepada para petani memilki tantangan tersendiri. Tubagus menjelaskan, sebenarnya para peternak sudah paham dengan konsep climate control. Target pengguna produk ini adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad.

Dengan demikian, dari sisi Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time. Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya.

Co-founder dan CEO Pitik Arief Witjaksono menambahkan, dalam memperkenalkan solusi Pitik, pihaknya rutin mengadakan pelatihan baik lewat daring maupun luring. Bekerja sama dengan Edufarmers Foundation, lembaga non profit dari Japfa, mereka memperkenalkan aplikasi Pitik di Jawa Timur.

“Teknologi kami terbukti membantu peternak [Kawan Pitik] dalam mengurangi tingkat mortalitas ayam sebesar 50% dan meningkatkan penggunaan pakan lebih dari 12%. Sejauh ini respons mereka positif dalam menggunakan teknologi dari Pitik,” terangnya.

Secara khusus, perusahaan memberikan dukungan menyeluruh kepada seluruh mitra peternak dalam mensuplai kebutuhan sapronak (sarana produksi peternakan) dengan kualitas terbaik. “Pitik menyediakan teknologi farm management agar peternak dapat melakukan proses produksi dengan lebih efisien, dan mengambil seluruh hasil produksi dengan harga yang kompetitif. Seluruh hal ini kami lakukan dengan skema kontrak yang transparan agar kami dapat menjadi mitra peternak terbaik.”

Sementara itu, FisTx melihat proses edukasi di petambak itu sangat bergantung pada psikologis dan psikografi di mana mereka berada. Untuk lokasi yang benar-benar baru, pertama kali yang dilakukan perusahaan adalah mencari early adopter dan terus kawal hingga ada hasil yang memuaskan. Dari situ, harapannya muncul domino effect, ditandai dengan mouth-to-mouth branding. “Alhamdulillah hingga saat ini kami memiliki lebih dari 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi,” kata Rico.

Model bisnis FisTx, sambungnya, cukup beragam tergantung produknya. FisTx 360 membantu para petambak dengan sesi konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, dari persiapan hingga panen tiba. Produk ini menganut model berlangganan untuk semua budidaya baik dari aqua input hingga teknologi. Kendati begitu, perusahaan juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen yang belum dapat dijangkau tim lapangan.

Tim FisTx / FisTx

Perjalanan di masa depan

Guntur mengakui solusi yang dikembangkan DELOS secara teoritis dapat diimplementasikan tidak hanya untuk tambak. Dalam kerangka ilmiahnya, dari satu spesies ke spesies lain sebenarnya tidak jauh berbeda, tetapi ada banyak variabel dan asumsi ilmiah yang harus disesuaikan.

“Ini semua seharusnya bisa diselaraskan dengan riset yang lebih banyak, tetapi itu akan menjadi fokus jangka panjang yang sekunder [bagi DELOS]. Fokus utama kami adalah budidaya spesies udang, yang merupakan komoditas laut Indonesia yang paling besar dan berharga.”

Ia mengatakan demikian karena, menurut data yang dia kutip, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun.

“Bahkan bisa lebih dari itu kalau Indonesia memiliki industri pertambakan yang bisa menghasilkan panen yang optimal dan stabil, sebab negara kita memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.”

Pendapat serupa juga diungkapkan Rico. Ia mengatakan, pada dasarnya potensi akuakultur di Indonesia luar biasa besar dan FisTx ingin memberikan hak kepada setiap spesiesnya agar dapat dibudidayakan secara luas di Indonesia. “Untuk saat ini kami fokus pada udang, namun teknologi kami ke depan bisa dipakai pada kepiting, belut, lobster, dan sidat.”

Tubagus menambahkan, berkaca pada pengembangan solusi sejenis Chickin di Israel, bernama Agrologic, perusahaan tersebut mengembangkan perangkat temptron untuk kandang babi, sapi, dan hewan ternak lainnya. Tidak menutup kemungkinan bagi Chickin untuk mereplikasinya di Indonesia, sebab menurutnya pada intinya iklimlah yang menentukan keberhasilan panen.

“Dalam timeline, kami sekarang ke vertical growth akuisisi dari hulu ke hilir, coba ke downstream dengan memegang demand agregasi ayam. Setelah itu ke midstream (rumah potong), upstream (kandang ayam) agar kami bisa supply farm input, dari pakan, bibit. Sembari masuk ke sektor horizontal di luar ayam, karena kami rencananya mau jadi leading meat commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

Aquatech Startup DELOS Receives Seed Funding Led by Arise

Aquatech startup DELOS announced seed funding with an undisclosed amount led by Arise, a special fund created by MDI Ventures and Finch Capital. MDI Ventures also participated in this round, along with other investors, such as Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Executive), and iSeed Asia.

The company plans to utilize the fresh funds to strengthen and improve its DELOS shrimp production software accurately to forecast and recommend actions to increase farm profitability and productivity. In addition, funds will also be channeld to develop value chain integration and on-board more DELOS agricultural partners.

DELOS was founded this year by Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, and Alexander Farthing. These three founders brings together a multidisciplinary team covering aquaculture, marine biology, technology, and business. The startup partners closely with Dewi Laut Aquaqulture, a leading local aquaculture company, and Alun, a leading aquaculture fintech company, to accelerate the development of in-house technology.

DELOS holds an ambition to encourage the growth and modernization of the Indonesian aquaculture industry. Currently, there are currently basic problems in the supply chain in this sector due to the lack of technology adoption. Whereas global demand for seafood-based protein is increasing, while wild-fished stocks are declining under immense pressure. Aquaculture supplies more than 60% of all seafood consumed.

With its 54,000 km coastline, abundant coastal human resources, and tropical climate, Indonesia is set to become a clear global leader for sustainable aquaculture, especially with Indonesian shrimp competing on a global scale as the world’s second most valuable aquaculture product, the greatest seafood export.

The Indonesian government recognizes a new revolution, targeting shrimp aquaculture and production to grow by 250% over the next 3 years. However, low technology adoption, non-standard management practices, and poor access to finance have set a limit to the growth of Indonesian aquaculture – particularly aquaculture productivity.

These factors have created bottlenecks in the middle of the value chain, and limited downstream processor output to an average of 40%-60% capacity. Less than 5% farms are 4 times more productive than neighboring farms (40 tonnes vs 10 tonnes/Ha).

This productivity gap has kept a $2 billion industry from fulfilling its latent potential and becoming a $4 billion industry, according to Indonesia’s Ministry of Fisheries.

DELOS‘s interdisciplinary team and cutting-edge technology will be critical to supporting the national agenda to promote this growth while maintaining economic, social and environmental sustainability.

Guntur and his team are trying to improve their experience, network and IP, a full-stack pond management system that is researched and developed internally to increase the productive capacity and output of existing Indonesian shrimp farms by 50%-150% – creating value for farmers, increase the volume of national exports, and enhance Indonesia’s reputation as the world’s leading aquaculture country.

In its official statement, Arise Partner Aldi Adrian Hartanto explained that the classic challenges in the layered value chain, low productivity, and lack of financing has blocked the Indonesian shrimp industry which has not been fully utilized, even though it accounts for 77% of the total value of fishery products.

“DELOS technology-based solutions have succeeded in immersing technology and operations into the culture and infrastructure of local farmers while bridging them with existing stakeholders. This leads to a higher FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), and Harvest, making it a deadly flywheel,” he concluded, Thursday (28/10).

Aquaculture startup in Indonesia

The global Aquaculture market size is expected to have a market growth in the forecast period 2020 to 2025, at a CAGR of 3.5%% in the forecast period 2020 to 2025 and is expected to reach $239.8 trillion in 2025, from $209.4 trillion in 2019.

Every year, aquaculture increases its contribution to global seafood production. The sector produced 110.2 million tonnes in 2016, valued at $243.5 billion and constitutes 53 percent of the world’s seafood supply. According to FAO data, 90 percent of production volume is produced in Asia.

In Indonesia, there are already several startups that have started targeting similar segments. In includes Aruna, a technology startup that provides a platform to make it easier for fishermen to sell their products directly to global and domestic markets. The company has also successfully secured funding in 2020 from East Ventures, AC Ventures, and SMDV.

One more startup that is engaged in a more specific sector, Jala. This startup presents technological solutions to optimize the productivity of shrimp farmers in Indonesia. In 2019, his team managed to secure an initial round of funding from 500 Startups of 8 billion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Aquatech DELOS Peroleh Pendanaan Tahap Awal Dipimpin Arise

Startup aquatech DELOS mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dipimpin oleh Arise, fund khusus besutan MDI Ventures dan Finch Capital. MDI Ventures sendiri turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, beserta investor lainnya, seperti Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Eksekutif), dan iSeed Asia.

Perusahaan berencana untuk memanfaatkan dana segar untuk memperkuat dan meningkatkan perangkat lunak produksi udang DELOS secara akurat untuk memperkirakan dan merekomendasikan tindakan agar profitabilitas dan produktivitas tambak meningkat. Selain itu, dana juga akan digunakan untuk mengembangkan integrasi value chain dan on-board lebih banyak mitra pertanian DELOS.

DELOS dirintis pada tahun ini oleh Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, dan Alexander Farthing. Perpaduan para founder ini menghadirkan tim multidisiplin yang mencakup akuakultur, biologi kelautan, teknologi, dan bisnis. Startup ini bermitra erat dengan Dewi Laut Aquaqulture, perusahaan akuakultur lokal terkemuka, dan Alun selaku perusahaan fintech akuakultur terkemuka, untuk mempercepat pengembangan teknologi in-house.

DELOS berambisi ingin mendorong pertumbuhan dan modernisasi industri akuakultur Indonesia. Saat ini masih terjadi masalah klasik dalam rantai pasok di sektor tersebut karena minimnya adopsi teknologi. Padahal permintaan global untuk protein berbasis makanan laut meningkat, sementara stok penangkapan ikan liar berkurang di bawah tekanan besar. Akuakultur memasok lebih dari 60% dari semua makanan laut yang dikonsumsi.

Dengan garis pantai sepanjang 54.000 km, sumber daya manusia pesisir yang melimpah, dan iklim tropis, Indonesia tampaknya akan menjadi pemimpin global yang jelas untuk akuakultur berkelanjutan, terutama dengan udang Indonesia yang bersaing dalam skala global sebagai produk akuakultur paling berharga kedua di dunia, yaitu ekspor makanan laut terbesar.

Pemerintah Indonesia mengakui sebuah revolusi baru, telah menargetkan budidaya dan produksi udang untuk tumbuh 250% selama 3 tahun ke depan. Namun, adopsi teknologi yang rendah, praktik pengelolaan yang tidak sesuai standar, dan akses yang buruk ke pembiayaan telah membatasi pertumbuhan akuakultur Indonesia –terutama menghambat produktivitas akuakultur.

Faktor-faktor tersebut telah menciptakan hambatan di tengah-tengah rantai nilai, dan membatasi output prosesor hilir hingga rata-rata 40%-60% kapasitas. Kurang dari 5% pertanian 4 kali lebih produktif daripada pertanian tetangganya (40 ton vs 10 ton/Ha).

Kesenjangan produktivitas inilah yang membuat industri senilai $2 miliar tidak dapat memenuhi potensi terpendamnya dan menjadi industri senilai $4 miliar, menurut Kementerian Perikanan Indonesia.

Tim lintas disiplin DELOS dan teknologi mutakhir akan sangat penting untuk mendukung agenda nasional untuk mendorong pertumbuhan ini dengan tetap menjaga keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Guntur beserta tim berusaha untuk meningkatkan pengalaman, jaringan, dan IP-nya, sistem manajemen tambak full-stack yang diteliti dan dikembangkan secara internal untuk meningkatkan kapasitas produktif dan output tambak udang Indonesia yang ada sebesar 50%-150% –menciptakan nilai bagi petani, meningkatkan volume ekspor nasional, dan meningkatkan reputasi Indonesia sebagai negara akuakultur terkemuka dunia.

Dalam keterangan resmi, Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, tantangan klasik dalam value chain berlapis, produktivitas yang rendah, dan kurangnya pembiayaan menghambat industri udang nusantara yang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal menyumbang 77% dari keseluruhan nilai hasil perikanan.

“Solusi berbasis teknologi DELOS telah berhasil membenamkan teknologi dan operasi ke dalam budaya dan infrastruktur petani lokal sambil menjembatani mereka dengan pemangku kepentingan yang ada. Ini mengarah ke FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), dan Harvest yang lebih tinggi, menjadikannya roda gila yang mematikan,” tutupnya, Kamis (28/10).

Startup akuakultur di Indonesia

Ukuran pasar akuakultur global diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan pasar pada periode perkiraan 2020 hingga 2025, dengan CAGR 3,5%% pada periode perkiraan 2020 hingga 2025 dan diperkirakan akan mencapai $239,8 triliun pada 2025, dari $209,4 triliun pada tahun 2019.

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53 persen dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90 persen volume produksi diproduksi di Asia.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang mulai menyasar segmen sejenis. Sebut saja Aruna, startup teknologi yang menyediakan platform untuk mempermudah para nelayan dalam menjual produknya langsung ke pasar global dan domestik. Perusahaan ini juga telah berhasil meraih pendanaan di tahun 2020 dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Satu lagi startup yang bergerak di sektor yang lebih spesifik yaitu Jala. Startup ini menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia. Di tahun 2019, timnya berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar 8 miliar Rupiah.