Startup Telemedis Good Doctor Diakuisisi WhiteCoat Global

WhiteCoat Global, penyedia layanan kesehatan digital berbasis di Singapura, telah mengumumkan akuisisi platform telemedicine Indonesia, Good Doctor. Akuisisi ini diklaim sebagai merger dan akuisisi terbesar yang melibatkan dua perusahaan telehealth di Asia Tenggara.

Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Jumat (11/10), WhiteCoat juga mengungkapkan telah memperoleh pendanaan baru yang dipimpin oleh Raffles Family Office. Selain itu, MDI Ventures dan SoftBank Vision Fund juga akan bergabung sebagai investor baru seiring dengan akuisisi Good Doctor.

Tahun lalu, MDI Ventures baru memberikan pendanaan $10 juta kepada Good Doctor bersama dengan Grab.

Meskipun nilai akuisisi dan jumlah pendanaan tidak diungkapkan, aksi korporasi ini diharapkan akan memperkuat kehadiran WhiteCoat di pasar Indonesia, yang merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Good Doctor selama ini dikenal sebagai penyedia layanan kesehatan primer dan spesialis, serta melayani konsumen melalui produk ritel, layanan farmasi, dan program kesehatan.

WhiteCoat menyatakan bahwa akuisisi ini akan menciptakan grup layanan kesehatan digital terbesar dan terlengkap di kawasan tersebut. Grup ini akan bekerja sama dengan lebih dari 130 perusahaan asuransi dan 7.500 mitra korporat untuk melayani lebih dari 6,8 juta klien.

Founder & CEO WhiteCoat Bryan Koh, menyebutkan bahwa akuisisi ini mempertegas komitmen perusahaan untuk menghadirkan layanan kesehatan inovatif berbasis teknologi. “Kami berupaya meningkatkan akses layanan kesehatan, tidak hanya bagi anggota yang diasuransikan, tetapi juga bagi populasi lebih luas yang mencakup lebih dari 650 juta orang di seluruh Asia Tenggara,” ujarnya.

Ke depan, WhiteCoat berencana untuk menggalang pendanaan pada saat yang tepat guna mendukung fase pertumbuhan berikutnya, termasuk memperluas layanan omnichannel melalui integrasi kecerdasan buatan generatif mutakhir.

Application Information Will Show Up Here

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

MDI Ventures Dikabarkan Terlibat dalam Pendanaan Seri B Startup SaaS Deskera

Lengan investasi Telkom, MDI Ventures, dikabarkan terlibat ke pendanaan seri B pengembang platform SaaS bisnis Deskera. Menurut data regulator, seperti dikutip dari Alternative.pe, MDI masuk ke putaran ini bersama Naver Corp., Jungle Ventures, dan We Ventures.

Kami sudah mencoba mengonfirmasi kabar ini ke pihak terkait, namun sampai berita ini diterbitkan belum mendapatkan respons.

Deskera didirikan sejak tahun 2008, saat ini memiliki basis utama di Amerika Serikat, Singapura, dan India. Produk utama mereka ERP dan MRP telah dipasarkan secara global, termasuk untuk pebisnis di Indonesia.

Lewat Deskera ERP, perusahaan dapat mengautomasi dan mensentralisasi proses bisnis, termasuk mendapatkan insight dari data yang dimiliki secara real-time. Di dalamnya termasuk layanan akuntansi, manajemen keuangan, manajemen pemesanan, pengadaan, hingga layanan pelanggan.

Sementara dengan Deskera MRP, perusahaan mendapatkan kemudahan dalam melakukan penghitungan biaya produksi, mengelola ketersediaan dan pengadaan bahan baku, hingga mengefisienkan operasional produksi.

Masuknya Deskera ke portofolio MDI menambah jajaran solusi bisnis yang mereka investasi. Sejauh ini sekurangnya ada 11 layanan SaaS dengan berbagai bentuk produk yang diinvestasi MDI, termasuk RUN System, Whispir, Element, Cloudike, dan beberapa lainnya.

Sebagai corporate venture capital di bawah naungan grup Telkom, hipotesis MDI turut menekankan adanya sinergi antara portofolio dengan berbagai perusahaan di bawah perusahaan induk. Layanan seperti ERP dan MRP milik Desekra berpotensi untuk diterapkan di berbagai lini bisnis yang dimiliki Telkom.

Ini Dia Startup dan Investor di Ekosistem Healthtech Indonesia

Sektor kesehatan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari disparitas pemenuhan dokter, sebaran fasilitas kesehatan yang kurang merata, hingga inovasi di bidang medis yang masih relatif lambat — sehingga menciptakan gap yang cukup kentara di banyak wilayah.

Misalnya terkait dokter spesialis, menurut Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes rasionya masih sangat kecil, pemerintah menargetkan bisa mencapai target rasio 0,28: 1.000 sehingga saat ini masih dibutuhkan 30 ribu dokter spesialis.

Terlepas dari upaya yang dilakukan di hulu, kini pendekatan berbasis teknologi mulai digencarkan untuk bisa memicu adopsi layanan kesehatan yang lebih baik ke semua kalangan masyarakat, termasuk melalui aplikasi digital. Bahkan untuk menciptakan iklim inovasi yang lebih kondusif, Kemenkes telah membangun unit khusus (DTO/Digital Transformation Office) dan roadmap yang cukup jelas mengenai inovasi layanan kesehatan di Indonesia.

DTO mendorong hadirnya regulasi yang lebih bersahabat untuk ekosistem healthtech di Indonesia, implikasinya inovasi-inovasi teknologi kesehatan kini menjadi lebih mudah diuji, diaplikasikan, dan dikomersialisasikan. Di samping itu ada misi untuk menata ulang pencatatan dan digitalisasi data untuk kepentingan jangka panjang.

Tentu ini menjadi peluang besar untuk para inventor healthtech di Indonesia yang diproyeksikan mencapai $1,7 miliar pada 2023 dan akan tumbuh dengan CAGR 10,35% sampai 2028 mendatang senilai $2,9 miliar.

Pemain healthtech terbesar

Startup healthtech sudah mulai bermunculan sejak era perkembangan awal startup. Dimulai dari portal informasi kesehatan, layanan telemedis, e-pharmacy, layanan kesehatan O2O, hingga kini menuju ke inovasi babak selanjutnya: biotech.

Didasarkan pada data pendanaan yang diumumkan publik, tiga startup saat ini diproyeksikan telah menjadi centaur (sejauh ini belum ada unicorn lokal dari vertikal healhtech).

Startup Pendanaan Estimasi Valuasi (Venture Cap)
Halodoc · Seri D: $100 juta (Astra Digital, Openspace, Novo Holdings, dll).

· Seri C: $80 juta (Astra, Temasek, Telkomsel MItra Inovasi, Novo Holdings, Bangkok Bank dll).

· Seri B: $65 juta (UOB Venture, Singtel Innov8, KIP, Melinda Gates Foundation, Prudential, Allianz X, dll).

· Seri A: $13 juta (Clermont Group, Go-Jek, Blibli, NSI Ventures).

· Seed: Undisclosed.

± $600 juta
Alodokter · Venture Round: Undisclosed (Marubeni Corp, MDI Ventures, Samsung Ventures).

· Seri C+: Undisclosed (MDI Ventures, Sequis, Golden Gate Ventures, Heritas, Hera Capital).

· Seri C: $33 juta (Sequis Life, Philips, Heritas Capital, Hera Capital, Dayli Partners dll).

· Seri B: Undisclosed (Softbank, Golden Gate Ventures dll)

· Seri A: $2,5 juta (Golden Gate Venture, angel investor)

· Seed: Undisclosed (Fenox, 500 Startups, Golden Gate Ventures)

± $130 juta
Good Doctor Indonesia · Seri A: $10 juta (MDI Ventures, Grab, Softbank)

· Seed: Undisclosed (Grab, Ping An)

mendekati $100 juta

Investor di vertikal healthtech

Dalam satu tahun terakhir, sektor healthtech dan turunannya memiliki momentum pertumbuhan yang sangat pesat. Ini mendorong para investor untuk mempertajam hipotesis mereka untuk turut andil di dalam vertikal industri ini. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah pemodal ventura juga telah mengalokasikan dana kelolaan khusus yang difokuskan untuk  berinvestasi ke startup healthtech.

Berikut ini daftar investor aktif di Indonesia yang memiliki fokus mendanai startup di bidang teknologi kesehatan:

Healthcare Fund dari East Ventures

Bulan lalu pemodal ventura yang dinakhodai Willson Cuaca ini baru mengumumkan inisiatif Healthcare Fund senilai $30 juta. Dana ini akan disalurkan ke startup healthtech dan turunannya di kawasan ini. Sejauh ini mereka juga sudah banyak berinvestasi ke startup healthtech (dan turunannya). Disampaikan sekurangnya ada 30 startup di Indonesia dan wilayah regional.

Di vertikal bisnis ini, East Ventures juga tampak lebih serius memperdalam keterlibatannya di area genomik – terutama di lini biotech dan deeptech. Berikut ini sejumlah daftar investasi terbarunya:

Startup Solusi Tahap Investasi
Moosa Genetics Pengembangan teknologi genetik untuk meningkatkan sektor peternakan Seed
Mesh Bio Layanan manajemen penyakit kronis dan analisis prediktif Seed
Etana Startup biofarmasi yang menghadirkan bahan baku obat biologis untuk kanker dan penyakit kronis lainnya Seed
AMILI Pengembang solusi pengobatan mikrobioma usus pertama di Asia Tenggara Seed
Aevice Health Alat monitoring kesehatan untuk solusi pernapasan kronis Seed

Dana Kelolaan CVC BUMN

MDI Ventures dan Bio Farma telah membentuk dana kelolaan bertajuk “Bio Health Fund” dengan komitmen investasi awal $20 juta. Mereka akan menginvestasikan dana tersebut ke startup tahap awal dan berkembang yang fokus di bidang biotech dan inovasi layanan kesehatan di Indonesia. CVC BUMN lainnya, yakni Mandiri Capital Indonesia, juga mengatakan bahwa mereka merilis thematic fund dengan salah satu fokusnya di bidang biotech.

MCI sendiri memang sedang fokus memperdalam hipotesis impact investment mereka melalui sejumlah co-investment, salah satunya bersama UNDP. Mereka mengeksplorasi startup yang berpotensi mendisrupsi sektor riil berdampak dengan inovasi teknologi.

MDI sendiri saat ini adalah investor dari sejumlah startup healthtech seperti Alodokter, Good Doctor, SwipeRx, CXAGroup, Pixa, dan Heals. Melalui unit lainnya, Telkomsel Mitra Inovasi yang juga merupakan anak perusahaan Telkom Group, mereka juga berinvestasi ke Halodoc dan Zi.Care.

Daftar VC yang berinvestasi ke healthtech

Kendati tidak memiliki dana kelolaan khusus, selain pemodal ventura yang sudah disebutkan namanya di atas, sejumlah pemodal ventura juga memiliki ketertarikan untuk berinvestasi ke startup healthtech lokal dalam dua tahun terakhir. Berikut daftar selengkapnya:

  1. AC Ventures
  2. Astra Digital
  3. GK-Plug and Play
  4. Golden Gate Ventures
  5. Iterative
  6. Jungle Ventures
  7. Kenangan Fund (Kopital Ventures)
  8. Openspace Ventures
  9. Skystar Capital
  10. Softbank
  11. Teja Ventures
  12. Venturra
  13. Wavemaker Partners

Selain itu sejumlah angel investor juga mulai turut andil dalam berinvestasi ke startup healthtech, terutama dalam putaran pre-seed atau seed.

Startup Healthtech Good Doctor Beberkan Strategi Masuk ke Lini Korporat

Good Doctor Technology Indonesia mengumumkan telah menerima pendanaan seri A senilai $10 juta atau setara 156,6 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin  MDI Ventures dengan keterlibatan investor sebelumnya, yakni Grab. Suntikan investasi ini akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan Good Doctor, termasuk dengan meningkatkan kemitraan bersama lebih banyak institusi kesehatan.

“Dengan dukungan kuat ini, kami siap mengambil langkah selanjutnya dalam meningkatkan dan memperluas layanan kesehatan di Indonesia. Selain inisiatif kuratif yang kami lakukan saat ini, perusahaan bermaksud untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan dan promosi kesehatan yang sejalan dengan prioritas Kementerian Kesehatan,” ujar CEO Good Doctor Danu Wicaksana.

Optimalkan momentum pertumbuhan telemedis

Berdasarkan data McKinsey yang dihimpun pada Q3 2023, terdapat perubahan signifikan dalam perilaku perawatan kesehatan masyarakat Indonesia, hal ini didorong tren yang terbentuk selama pandemi Covid-19 berlangsung. Lebih dari 70% masyarakat berniat untuk menggunakan layanan telemedis, walaupun pandemi sudah dinyatakan usai.

Melihat kondisi pasar yang ada, ekosistem layanan telemedis memang sudah mulai matang. Konsumen dimanjakan dengan cara yang sangat efisien untuk terhubung dengan dokter yang mereka inginkan kapan pun. Variasi produknya juga lengkap, termasuk ke bantuan psikologis, ahli gizi, hingga konsultasi medis yang membutuhkan penanganan dokter spesialis.

Di sisi lain, platform telemedis juga mulai terhubung dengan ekosistem kesehatan yang lebih luas. Misalnya dengan apotek untuk memudahkan pengguna menebus obat yang disarankan dokter.

Tren permintaan telemedis yang tetap kencang turut diamini oleh para pemain di industri tersebut, tak terkecuali Good Doctor.

Danu mengatakan, “sesudah pandemi, kami mengamati tiga perubahan penting dalam perilaku pengguna Good Doctor. Pertama, selama pandemi, orang-orang mencari layanan kami terutama untuk masalah terkait Covid-19, namun kini mereka berkonsultasi dengan kami untuk berbagai penyakit lain seperti demam, gangguan pencernaan, maag, batuk dan alergi.”

Danu melanjutkan, “Kedua, ketika pandemi, konsultasi banyak dilakukan secara individual dan didanai sendiri, kini kami melihat banyak perusahaan yang memfasilitasi karyawannya untuk mengakses layanan Good Doctor secara gratis, dengan lebih dari 55 perusahaan asuransi dan lebih dari 2500 korporasi telah bermitra dengan kami. Ketiga, mereka yang menggunakan layanan Good Doctor selama pandemi masih mengandalkan telemedisin bahkan setelah pandemi berakhir karena mereka merasa nyaman dengan layanan tersebut dan sudah menjadi bagian dari layanan kesehatan rutin mereka.”

Good Doctor kini telah berkembang positif dalam satu tahun terakhir. Mereka kini memiliki lebih dari 15 juta pengguna dan secara khusus bisnis B2B telah tumbuh pesat bermitra dengan lebih dari 60 perusahaan asuransi dan lebih dari 2500 korporasi/startup/berbagai organisasi lainnya.

Perdalam fitur B2B untuk pelanggan korporat

Dari sejumlah layanan yang ada, Danu bercerita, bahwa yang cukup diminati akhir-akhir ini adalah vaksinasi. Good Doctor banyak membantu pelanggan individu dan korporat dalam mendapatkan vaksin demam berdarah, flu, dan lain sebagainya.

Sejumlah fitur baru juga banyak dikembangkan untuk memanjakan pelanggan korporat, seperti:

  • Plug-in; integrasi Good Doctor ke berbagai aplikasi dari perusahaan asuransi di Indonesia.
  • Co-payment; fitur yang memungkinkan mitra asuransi bisa menerapkan kebijakan co-payment untuk benefit tertentu, misalnya 80% ditanggung perusahaan dan 20% ditanggung oleh karyawan.
  • Surat sakit elektronik; karyawan perusahaan bisa mendapatkan surat sakit elektronik secara resmi dari dokter di Good Doctor ketika mereka sakit dan harus melaporkannya ke direktorat SDM perusahaan tersebut.

Good Doctor mencoba menghadirkan proposisi nilai yang kuat dengan menghadirkan ekosistem kesehatan yang paling lengkap dengan lebih dari 4500 jaringan apotek, rumah sakit, lab, klinik; dan kemampuan pengiriman obat instan di lebih dari 200 kota di Indonesia.

“Tahun depan kita berencana meluncurkan beberapa fitur dan layanan baru […] Kita berencana melakukan ekspansi bisnis ke segmentasi pelanggan yang lebih luas (misalnya lebih banyak korporat dan partner asuransi; ataupun segmen pelanggan lain); menambah fitur/layanan baru untuk meningkatkan customer engagement; dan juga memperkenalkan program-program preventif untuk membantu klien-klien perusahaan kami untuk menjaga kondisi kesehatan karyawannya dengan lebih baik sehingga biaya kesehatan perusahaan ke depan dapat terjaga dengan baik,” imbuh Danu.

Kini menjadi unit independen

Ketika hadir di Indonesia pada 2019 sebagai hasil joint-venture Ping An Good Doctor dan Grab, layanan Good Doctor menyatu sebagai telehealth yang terintegrasi dengan superapp Grab. Kemudian pada tahun 2021 Good Doctor hadir sebagai aplikasi terpisah dengan harapan bisa mengakselerasi pertumbuhan pengguna dan fitur-fitur di dalamnya.

Disampaikan dalam rilis pendanaan, bahwa kini Good Doctor sepenuhnya independen dengan porsi saham tertinggi dipegang oleh jajaran manajemen, sehingga membuat mereka lebih percaya diri untuk bisa bergerak lebih lincah dalam berinovasi.

“Hingga saat ini manajemen memiliki saham mayoritas sehingga bisa bergerak secara lebih independen dan agile. Dengan masuknya MDI, ini semakin menguatkan posisi Good Doctor, di mana mayoritas kepemilikan perusahaan dimiliki pemegang saham lokal Indonesia juga,” jelas Danu.

Terkait dengan masuknya MDI, Danu juga mengatakan bahwa akan banyak sinergi yang sedang direncanakan bersama grup konglomerasi telekomunikasi terbesar di Indonesia tersebut. Kerja sama tersebut akan menyentuh berbagai perusahaan yang berada di bawah Telkom. Bahkan disampaikan ada sejumlah kerja sama yang sudah berjalan, salah satunya dengan Admedika sebagai perusahaan TPA (Third Party Administrator) terbesar di Indonesia.

“Kami juga merupakan penyedia layanan kesehatan digital rawat jalan bagi beberapa perusahaan Telkom Group, seperti Telkom Akses, Metra, Telkomsel, dan beberapa [anak] perusahaan lain,” imbuh Danu.

CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, “Kami mengakui kemajuan yang telah dicapai Good Doctor dan ketahanan model bisnis Good Doctor di Indonesia, khususnya di segmen korporasi. Dedikasi mereka dalam menyediakan layanan kesehatan yang mudah diakses dan berkualitas tinggi dengan memanfaatkan teknologi telah menarik perhatian kami. Kami melihat potensi pertumbuhan yang sangat besar dalam upaya ini.”

Rencana berikutnya

Danu percaya bahwa sektor healthtech di Indonesia sangat besar potensinya, karena jumlah populasi Indonesia yang besar dan penyebaran warganya di 13 ribu pulau lebih yang menjadi tantangan tersendiri. Kekurangan jumlah dokter, penyebaran dokter dan nakes yang belum merata, serta tekanan biaya kesehatan nasional yang terus meningkat di atas laju inflasi akan menjadi landasan penggunaan/adopsi teknologi yang lebih luas lagi ke depannya.

“Kami di Good Doctor siap membantu pemerintah Indonesia untuk memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali,” ucap Danu.

Selain itu turut disampaikan bahwa ke depan Good Doctor juga tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke segmen biotech, dengan melihat affordability dan scalability-nya. Danu dan tim melihat genomic, biotech dll akan sangat berguna untuk program preventif kesehatan ke depannya.

“Seperti yang disampaikan Pak Menkes, biaya kesehatan akan terus naik dan membebani APBN jika cara penanganan kesehatan kita hanya selalu dengan kuratif. Sehingga pendekatan preventif akan sangat dibutuhkan, dari yang paling simpel dahulu –diagnostik secara reguler, gaya hidup sehat, dan lainnya,” pungkas Danu.

Application Information Will Show Up Here

Arise dan Centauri Melebur Jadi Ascent Venture Group, Galang Dana Kelolaan 3 Triliun Rupiah

Dua dana kelolaan Telkom, yakni Centauri dan Arise, resmi melebur menjadi Ascent Venture Group. Ascent menargetkan penggalangan dana ketiga sebesar $200 juta (sekitar Rp3 triliun) yang akan difokuskan pada investasi ke 25 startup tahap awal dengan dalam dua tahun ke depan.

Sebagai informasi, Centauri Fund adalah dana kelolaan MDI Ventures bersama KB Financial asal Korea Selatan yang diluncurkan pada akhir 2019. Fokus pendanaannya adalah pra-seri A dan seri B. Sementara, Arise Fund merupakan dana kelolaan MDI Ventures bersama Finch Capital asal Belanda yang diluncurkan pada 2020. Fokus pendanaannya juga serupa, yakni pra-seri A.

Dalam keterangan resminya, Ascent juga sekaligus mengumumkan Central Capital Ventura (CCV), lengan investasi milik BCA, sebagai mitra Ascent. Keterlibatan CCV disebut akan memperkuat sinergi ekosistem di Indonesia dan Asia Tenggara.

Diketahui, kedua dana kelolaan milik Telkom telah diinvestasikan ke 30 startup di Asia Tenggara, di mana 70% telah mengumpulkan dana lanjutan dari investor pihak ketiga setelah investasi awal Ascent–menghasilkan 2 M&A dan 1 IPO dengan money on invested capital (MOIC), atau metrik tingkat keuntungan investasi masing-masing 3,2x dan 1,75x. Beberapa portofolionya adalah Agriaku, Evermos, Qoala, Paxel, dan Fishlog.

“Tujuan konsolidasi sumber daya dan jaringan ekosistem kami adalah untuk membangun platform dengan nilai eksponensial yang dapat memperkuat strategi berbasis thesis-driven. Kami memberikan dukungan product-market fit kepada para founder saat mereka mengembangkan bisnisnya di Indonesia,” ujar Managing Partner Ascent Venture Group Aldi Adrian Hartanto.

Di samping itu, hubungan erat yang dibangun Ascent dengan firma investasi tahap pertumbuhan terkemuka, seperti KB Investment dan MDI Ventures memungkinkan dukungan tambahan bagi portofolio dengan modal tahap lanjut saat memasuki fase marginal profit atau business-model fit.

Ascent akan dikelola oleh 4 partner, yakni Kenneth Li, Aldi Adrian Hartanto, Eric Yoo, dan Hans De Back. Kendati De Back berasal dari Finch Capital, Kenneth Li mengonfirmasi bahwa peleburan ini hanya melibatkan kedua dana kelolaan saja. Ia tidak mengelaborasi lebih lanjut mengenai posisinya di MDI dan Ascent.

“Hanya Arise dan Centauri yang technically yang melebur. [Keempat] partner ini dedicated untuk Ascent,” ujar Kenneth saat dikonfirmasi oleh DailySocial.id.

Secara terpisah, CEO MDI Ventures Donald Wihardja juga menyampaikan bahwa fund ini akan berdiri dan dikelola secara independen oleh tim terkait. “We are an anchor LP to this fund,” ujarnya.

Managing Partner Ascent Eric Yoo, berpengalaman berinvestasi di Korea Selatan dan India–mewakili KB Investment, menambahkan, “Gelombang investasi pertama telah mempercepat adopsi belanja online, ride hailing, hingga fintech. Namun, Indonesia masih berada pada tahap awal adopsi, dan gelombang adopsi berikutnya akan mengikuti pasar berkembang di mana disrupsi akan lebih banyak terjadi di sektor tradisional maupun peluang baru.”

Meski dana kelolaan sebelumnya dijalankan secara terpisah, portofolio yang sudah ada kini dapat memiliki akses ke kemitraan gabungan ini untuk mendukung pertumbuhan mereka. Secara spesifik, Ascent Venture akan membidik peluang investasi di vertikal UMKM enabler, digitalisasi keuangan, dan neo consumer, termasuk sektor baru, seperti iklim dan kesehatan

Merah Putih Fund Siap Diinvestasikan ke Startup Soonicorn

Dana kelolaan patungan BUMN, Merah Putih Fund (MPF) akan segera dikucurkan ke startup soonicorn di Indonesia dengan komitmen investasi tahap pertama sebesar $300 juta (sekitar Rp4,5 triliun).

Hampir dua tahun direncanakan sejak 2021, MPF kini diresmikan lewat Penandatanganan Perjanjian Partisipasi pada Senin (04/9). MPF merupakan inisiatif pemerintah untuk mengakselerasi startup-startup Indonesia yang mendekati status unicorn atau soonicorn.

Pendirian MPF disebut memakan waktu lama untuk memastikan dana kelolaan tersebut telah memiliki tata kelola dan mengantongi restu dari OJK. Pihaknya menyebut telah menyusun tata kelola bersama dengan pihak independen untuk proses investasi dan pengelolaan MPF memenuhi persyaratan Good Corporate Governance.

Dana tahap pertama MPF dihimpun dari lima BUMN yang akan dikelola oleh lima Corporate Venture Capital (CVC), antara lain Mandiri Capital Indonesia (MCI), MDI Ventures, BNI Ventures, BRI Ventures, dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Pada penandatanganan ini, MCI telah disepakati menjadi Fund Manager, sedangkan Bank Danamon ditunjuk sebagai bank kustodian.

“Selama ini [BUMN] investasi jalan-jalan sendiri. Sekarang ada inisiatif untuk menghimpun dan mengelola bersama. Namun, butuh dana lebih besar untuk investasi ke calon unicorn. MPF akan mengincar growth dan late stage dengan harapan bisa melahirkan unicorn baru,” ujar Ketua Project Management Office (PMO) Eddi Danusaputro saat dijumpai di Penandatanganan Perjanjian MPF 2023 di Jakarta.

Turut diperkenalkan juga anggota Komite Investasi dari perwakilan masing-masing CVC antara lain Eddi Danusaputro (BNI Ventures), Donald Wihardja (MDI Ventures), Nicko Widjaja (BRI Ventures), Dennis Pratistha (MCI), dan Mohamad Ramzy (Telkomsel Mitra Inovasi). Kemudian dua Anggota Independen, yakni Rizal Gozali (eks Credit Suisse) dan Dyota Marsudi (CEO Bank Aladin).

Adapun, startup yang diincar berasal dari sektor agnostik dengan pre-money valuation antara $50 juta-$300 juta. Kriteria lainnya, founder harus asli orang Indonesia dengan perusahaan berkedudukan di Indonesia. MPF tidak akan berinvestasi ke sektor tahap awal karena startup yang diinvestasi harus memiliki rencana exit di Indonesia.

MPF akan memanfaatkan ekosistem BUMN dengan nilai aset BUMN lebih dari $600 miliar di 12 klaster. Ekosistem ini termasuk sektor keuangan, kesehatan, telekomunikasi & media, infrastruktur, dan logistik,

Tawarkan ke LP swasta

Eddi melanjutkan, penggalangan dana MPF nantinya tidak hanya bersumber dari lima CVC saja, tetapi juga akan ditawarkan ke BUMN lain dan pihak swasta. Pihaknya menilai minat investasi dari pihak swasta maupun asing didorong oleh upaya mereka membangun kompetensi digital perusahaan.

“Rencananya, penggalangan dana kedua ditawarkan ke BUMN lainnya dan penggalangan dana ketiga ditawarkan ke pihak swasta,” tutur Eddi.

Selain itu, lanjut Eddi, pihaknya juga akan menempatkan sekitar 10% BUMN di startup untuk mengawal mereka menuju cash flow dan exit. Hal ini dilakukan mengingat industri teknologi tengah merosot dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, investor kian selektif dan startup dituntut untuk memiliki jalur profitabilitas yang jelas.

Namun, pihaknya belum dapat mengungkap kapan investasi pertama akan dikucurkan termasuk target startup yang diincar. “Target [ticket size] sekitar $20 juta hingga $25 juta untuk 1 atau 2 perusahaan. Tentu kami lihat pasarnya karena cukup banyak yang akan diinvestasikan dengan dana $300 juta ini,” tambah CEO MDI Ventures Donald Wihardja dalam kesempatan sama.

Sementara itu, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, “target return harus ambil benchmark dari [investasi] di luar, yakni sekitar 14%-16%. Perlu ada best practice untuk tahu indikator kinerja per portofolio. Kami juga akan melihat potensi sinergi dengan BUMN. Sebetulnya sinergi ini sudah terjalin, tetapi MPF akan dorong untuk scale up sinergi yang sudah terealisasi. Kami akan lihat bagaimana BUMN lain mencari apa yang ditawarkan startup.”

Cakap Umumkan Pendanaan Seri C, Klaim Telah Berstatus Centaur

Startup edtech Cakap mengumumkan telah merampungkan pendanaan segar dalam putaran seri C1 dari MDI Ventures dan Heritas Capital. Meski tidak disebutkan nominal dananya, disebutkan Cakap telah memiliki valuasi lebih dari tiga digit dan masuk ke jajaran startup dengan status centaur (valuasi antara $100 juta-$1 miliar, satu tahap di bawah unicorn).

Kedua VC ini investor existing Cakap, sebelumnya mereka memimpin putaran seri B yang telah rampung pada 2021 senilai $10 juta.

Dana yang diraih ini rencananya akan digunakan untuk pengembangan bisnis menuju blended learning (offline dan online). Perusahaan akan memperkuat performa unit bisnisnya di tiga pilar, yakni bahasa, upskill, maupun bisnis.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (12/4), Co-founder dan CEO Cakap Tomy Yunus menyampaikan perilaku dan cara belajar masyarakat yang dinamis, memicu pihaknya untuk adaptif memberikan solusi pembelajaran yang lebih relevan di masa pasca-pandemi dan ke depannya.

“Cakap berharap dapat menjembatani permintaan pasar dengan sistem pembelajaran bauran/blended learning. Dengan lebih banyak opsi seperti blended learning, masyarakat akan dimudahkan dalam memilih cara belajar yang disesuaikan dengan minat serta kebutuhan masing-masing,” jelas Tomy.

CEO MDI Ventures Donald Wiharja turut memberikan tanggapannya. Dia mengharapkan, pendanaan terbaru ini dapat semakin memperkuat sinergi antara Telkom Group secara keseluruhan dan MDI secara khusus, dengan Cakap yang selama ini sudah terjalin baik. Dicontohkan, pada kuartal awal tahun ini, Cakap bersama dengan provider komunikasi Telkomcel dari Timor Leste, telah memperluas pembelajaran ke wilayah negara tersebut.

“Sehingga kami berharap, pendanaan terbaru tidak hanya memperkuat Cakap secara bisnis, namun juga menghasilkan impact sosial yang positif terhadap pendidikan di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, CEO & Direktur Eksekutif Heritas Capital Chik Wai Chiew menyampaikan, “Sebagai platform upskilling, Cakap telah menunjukkan catatan yang baik dari sisi operasional dan keuangan yang menonjol di Indonesia. Kami menantikan implementasi yang kuat dari Cakap dalam memperluas solusi edtech-nya dan mempercepat akses terhadap pembelajaran dan pendidikan yang berkualitas serta terjangkau, bagi bangsa Indonesia maupun lebih luas lagi.”

Tomy melanjutkan, seiring peningkatan status menjadi centaur, perusahaan melakukan restrukturisasi internal organisasi. Menunjuk Jonathan Dharmasoeka sebagai Chief Financial Officer (CFO) dan Cecilia Ong sebagai Chief Operating Officer (COO). Sebelumnya, Jonathan menjabat sebagai Chief of Business Officer, sementara Cecilia sebagai VP of CEO Office.

Meski Tomy tidak merinci pencapaian Cakap terkini, diklaim telah meraih EBITDA positif dalam tiga tahun berturut-turut dan beroperasi dengan efisien sehingga tidak melakukan downsizing. Total pengguna Cakap disebutkan telah mencapai tiga juta orang.

Berikut pencapaian bisnis perusahaan:

  • Tiga tahun berturut-turut membukukan laba dengan margin EBITDA positif
  • Pendapatan tumbuh 10x lipat sepanjang 2020-2022;
  • Memiliki lebih dari tiga juta pengguna, dari kalangan usia produktif 20-39 tahun tersebar di 96 dari total 98 kota di Indonesia;
  • Kontributor pendapatan perusahaan: Bahasa menyumbang 50%, kemudian sisanya Upskill dan Bisnis;
  • Memiliki lebih dari 1.800 pengajar datang dari Indonesia, serta negara-negara di Asia Pasifik dan Eropa;
  • Menjalin lebih dari 600 kemitraan dengan institusi pendidikan, perusahaan, instansi pemerintahan, hingga yayasan. Salah satunya, kerja sama dengan provider Telkomcel asal Timor-Leste untuk penyediaan program pembelajaran dari Bahasa Portugis hingga keterampilan di luar bahasa.
Application Information Will Show Up Here

MDI, SMDV, dan East Ventures Dikabarkan Beri Pendanaan Lanjutan ke Legit Group

Perusahaan F&B lokal Legit Group dikabarkan mengantongi pendanaan yang melibatkan MDI Ventures, SMDV, dan East Ventures. Berdasarkan informasi terkini yang dilaporkan ke regulator, penggalangan dana lanjutan ini tersebut telah terkumpul $10,35 juta atau sekitar 155 miliar Rupiah.

Sebelumnya pada akhir 2021, Legit Group telah mendapatkan pendanaan tahap awal sebesar $3 juta (senilai Rp43 miliar) yang dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari AC Ventures.

Kami sudah mencoba meminta konfirmasi pihak terkait mengenai pendanaan ini, namun tidak bersedia berkomentar.

Legit Group merupakan konseptor dan operator cloud kitchen multi-brand yang didirikan oleh Sumarno Ngadiman, Monica Evanti, dan Asrul Abraham Hendrata. Perusahaan juga telah menjalin kerja sama strategis dengan Ismaya Group, Yummy Corp, dan GK Hebat.

Saat ini, Legit Group mengoperasikan tiga brand, yakni Pastaria, Sei’Tan, dan Juju Chikin yang telah tersebar di 45 titik distribusi. Mereka mendesain bisnisnya dengan memanfaatkan solusi pesan-antar yang tengah mendapatkan kesempatan besar sepanjang pandemi ini.

Memanfaatkan momen tersebut Legit Group percaya tren adopsi layanan pesan-antar makanan akan tetap ada hingga pandemi usai. Penjualan Legit Group telah tumbuh 9,5x sejak awal berdiri, dan mengalami peningkatan pendapatan hingga 61% dari Juni hingga Juli 2022 saja.

Bisnis cloud kitchen

Tercatat dalam laporan yang dirangkum oleh e-Conomy 2020, industri transportasi dan pengiriman makanan bakal bernilai $16 miliar (secara GMV) pada 2025 mendatang, dari $5 miliar di 2020. Mesin utama ekonomi digital di negara ini masih didominasi oleh perdagangan lewat platform e-commerce yang diproyeksikan akan bernilai $83 miliar.

Secara khusus konsep cloud kitchen adalah menggunakan dapur komersial untuk tujuan menyiapkan makanan hanya untuk diantar atau dibawa pulang, tanpa pelanggan makan di tempat. Cloud kitchen memungkinkan pemilik restoran untuk memperluas jumlah restoran yang sudah ada atau memulai brand virtual dengan biaya minimal.

Dengan konsep cloud kitchen, biaya operasional bisnis menjadi rendah. Karena tidak diperlukan pengaturan makan di tempat, sehingga dapat menghemat uang untuk ruang duduk, pemeliharaan/desain interior tempat dan lainnya. Konsep ini menjadi menarik untuk diterapkan di Indonesia. Beberapa pemain cloud kitchen yang masih terus eksis hingga saat ini di antaranya adalah Yummy Corp, Hangry, GrabKitchen, DishServe, Dailybox, dan lainnya.

AMVESINDO: Strategi “Exit” dan Tingginya Minat Startup untuk IPO

Beberapa waktu terakhir, perjalanan IPO PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, setelah dinobatkan sebagai salah satu penawaran umum perdana terbesar di dunia tahun ini, harga saham GoTo terpantau terus merosot.

Per hari ini (15/2), harga saham GoTo tercatat di angka Rp96 per saham, turun jauh dibandingkan saat IPO di kisaran Rp338 per saham.

Selain GoTo, perusahaan teknologi lainnya PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga bernasib serupa. Harga saham IPO senilai Rp850 per saham di Agustus 2021 lalu kini jeblok di angka Rp280 per saham (“15/12). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah IPO merupakan strategi exit yang ideal bagi sebuah perusahaan teknologi?

Di awal Desember ini, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) mengadakan seminar bertajuk “Exit Mechanism for Investors & Startup Companies (IPO vs Acquisition)”. Dalam perhelatan ini, hadir beberapa perwakilan stakeholder untuk membahas strategi exit yang ideal bagi para investor startup di Indonesia.

Strategi exit merupakan salah satu keputusan signifikan dalam runway sebuah perusahaan teknologi, utamanya setelah perusahaan menerima pendanaan dari investor. Seperti diketahui, strategi exit bisa dilakukan melalui IPO, merger maupun akuisisi. Hal ini dilakukan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan atau meminimalkan kerugian.

Terkait strategi exit melalui IPO, perusahaan teknologi masih sering menghadapi tantangan. Bono Daru Adji selaku Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners mengungkapkan bahwa peraturan di Indonesia dianggap belum cukup memadai bagi startup untuk melakukan IPO. Selain itu, struktur internal startup tahap pre-IPO sering dianggap belum cukup memadai untuk melantai di bursa.

Namun, peraturan OJK dan BEI belakangan ini sudah mulai disesuaikan dengan kebutuhan startup yang bermaksud untuk IPO. Selain POJK 22/2021 terkait Multiple Voting Shares (MVS), peraturan BEI No. I-A mengenai pencatatan saham tidak lagi mensyaratkan kewajiban profit bagi emiten yang bermaksud mencatatkan sahamnya di Papan Utama.

Hal ini membuka peluang bagi para startup. Strategi exit melalui IPO menjadi salah satu jalur untuk menggalang dana dari investor publik dengan harapan bisa mengembangkan bisnis perusahaan, bukan semata-mata untuk exit. Meskipun begitu, sejumlah investor menganggap mekanisme akuisisi (M&A) lebih menguntungkan dibandingkan IPO.

Hal ini diakui oleh Managing partner of MDI Ventures Kenneth Li. Menurutnya, akuisisi memungkinkan proses likuidasi yang cepat. Sementara IPO memiliki masa tunggu setidaknya 8 bulan. “Itupun kalau harga sahamnya naik,” tambahnya. Namun, ia menegaskan bahwa strategi itu tidak bisa digeneralisasi kepada semua perusahaan.

CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro yang juga menjabat sebagai ketua AMVESINDO mengungkapkan, “bahwa kita sebagai venture capital perlu dana untuk diputar kembali melalui investasi. M&A memungkinkan likuiditas yang ringkas. Sementara IPO memiliki masa tunggu. Sebagai pengelola dana investor, kita juga punya tanggung jawab untuk bisa segera memutar uang tersebut.”

Alternatif penggalangan dana

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2022 ada 59 emiten yang melakukan initial public offering (IPO), Venteny menjadi perusahaan terakhir yang resmi tercatat di BEI. Angka ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Tanah Air. Selain itu, perolehan dana IPO pada tahun 2022 ini disebut mencapai Rp32,68 triliun.

Daftar penggalangan dana terbesar melalui IPO di BEI / Sumber: IDX

Head of IDX Incubator Aditya Nugraha mengungkapkan, “untuk animo IPO, rasanya tahun depan masih tetap tinggi. Di pipeline kami, ada 48 yang sedang diproses untuk tahun depan, ini belum termasuk bulan Desember. Kami yakin tahun depan akan lebih ramai. Harapannya, perusahaan yang masuk akan sizeable dan lebih siap untuk go public, termasuk dari aspek compliance. Tidak sekadar IPO dan membuat market jadi tidak sehat,” ungkapnya.

Ia juga mengungkapkan, di bursa sendiri tidak ada definisi startup company melainkan Daftar Saham Teknologi (IDXTECHNO). Dari 48 entitas yang mendaftar untuk IPO di tahun 2023, delapan di antaranya adalah perusahaan teknologi. Sektor ini masih sangat menarik untuk go public, banyak perusahaan yang masih mencari alternatif pendanaan melalui IPO.

Aditya yang akrab disapa Anug ini juga memberi masukan bagi para founder yang berniat IPO di BEI, yaitu dengan membentuk badan hukum di Indonesia agar lebih mudah dalam menjalankan setiap proses. Lalu, founder harus bebenah sejak dini, tidak bisa hanya fokus pada bisnis tetapi lebih detail dalam mengelola aspek administrasi, termasuk legalitas, keuangan, perpajakan, dll.

Selanjutnya, perusahaan harus punya roadmap yang jelas. Ketika IPO, rincian penggunaan danannya harus lengkap. Untuk bisa go public, perusahaan harus bisa menarik minat investor. Mulai dari rencana ekspansi, pengembangan riset, talenta, dll. “Mereka harus punya path yang jelas, tidak bisa mengawang-ngawang. Kalau semuanya lengkap dan jelas, proses IPO bisa lebih lancar,” tutupnya.

Pertamina NRE Alokasikan 7,7 Triliun Rupiah untuk Investasi ke Startup Energi

PT Pertamina melalui anak usaha Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) akan mengalokasikan dana sebesar $500 juta atau sekitar 7,7 triliun Rupiah untuk investasi startup di sektor energi. Inisiatif Energy Fund ini akan dikelola bersama MDI Ventures.

Dilansir dari DealStreetAsia, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mengungkap bahwa dana tersebut akan dialokasikan untuk investasi selama lima tahun. “Kami harap akan lebih banyak investor bergabung [pada dana kelolaan ini],” ujarnya.

Dalam pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Energy Fund merupakan satu dari tiga dana kelolaan yang diresmikan oleh Kementerian BUMN pada September 2022 di ajang BUMN Startup Day. Peluncuran ketiga dana kelolaan ini disepakati melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA).

Adapun, dua dana kelolaan lainnya disuntik oleh disuntik dari PT Bio Farma (Bio Health Fund) dan PT Pupuk Indonesia (Agri Fund). Ketiga dana kelolaan ini akan menjadi kendaraan investasi pada startup tahap early hingga growth di vertikal terkait.

Kepada DailySocial.id, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan pembentukan dana kelolaan ini tak semata untuk mendapat capital gain, tetapi juga membawa sinergi, produk baru, ke induk usaha. “Investasi [tiga dana kelolaan] ini menyasar tahap seed sampai seri B dan C, tetapi ini vertical-focused ya. Berbeda dengan Merah Putih Fund yang fokus pada startup soonicorn,” ungkap Donald.

Dalam keterangan resminya, Direktur SDM dan Penunjang Bisnis Pertamina NRE Said Reza Pahlevy mengatakan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi. Sektor yang diincar oleh Pertamina antara lain low carbon solutions, energi baru dan terbarukan (EBT), dan masa depan di sektor energi.

“Transisi energi membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Kolaborasi Pertamina NRE dengan MDI Ventures yang didukung oleh Kementerian BUMN membuka peluang pendanaan bagi perusahaan rintisan yang memiliki semangat yang sama untuk mengembangkan energi bersih,” tuturnya seperti dikutip dari CNN.

Ekosistem startup energi

Pada tulisan feature kami tiga tahun lalu mengenai gelombang startup energi, dikatakan bahwa antusiasme pelaku startup di sektor ini mulai bangkit. Namun, pelaksanaannya memang masih sulit karena sejumlah faktor. Misalnya, investasi di sektor ini membutuhkan modal besar, tetapi lama untuk bisa menghasilkan keuntungan. Belum lagi anggapan produk masih mahal, seperti panel surya.

Sejak beberapa tahun terakhir, iklim investasi startup mulai ramai mengarah pada sektor hijau, energi salah satunya. Investor mulai berfokus pada pendanaan berdampak (impact) tak hanya sosial, tetapi juga lingkungan. Bahkan Pemerintah menggerakkan BUMN hingga perusahaan teknologi besar untuk terlibat dalam mendorong perkembangan ekosistem energi terbarukan.

Saat ini, sejumlah startup yang fokus pada energi terbarukan di Indonesia antaranya adalah SolarKita, Xurya, Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor) hingga automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi. Sementara, SolarKita menawarkan layanan end-to-end dari konsultasi terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hingga survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS.

SolarKita salah satunya disuntik oleh lembaga non-profit New Energy Nexus yang fokus pada pendanaan, program, dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Juga berdiri sebagai organisasi non-profit Achmad Zaky Foundation (AZF) juga fokus terhadap investasi di sektor impact.