Central Capital Ventura Terapkan Bobot Tinggi untuk Eksplorasi Kolaborasi Startup dengan BCA [UPDATED]

Central Capital Ventura (CCV), lengan investasi dari BCA, mengungkapkan eksplorasi potensi kerja sama antara induk usahanya dengan calon startup yang akan didanai kini punya bobot yang lebih tinggi saat uji tuntas. Mengandalkan presentasi berisi prediksi nilai pasar dan valuasi saja kini dianggap kurang kredibel.

Dalam Diskusi Mini Studio BCA, di ICE BSD City, Jumat (01/3), Direktur CCV Adi Prasetyo menjelaskan langkah tersebut sebenarnya tidak berubah dari mandat awal didirikannya CCV, yakni sebagai pendukung bisnis utama BCA di industri keuangan.

“Mungkin selama ini bisa VC melihat kesempatan berinvestasi, maka lebih banyak kurang digali potensi kolaborasinya. Mungkin selama ini seperti itu, kita tidak bisa seperti itu lagi. Artinya potensi kolaborasi itu harus jadi salah satu faktor yang menentukan investment. Startup bisa saja datang ke CCV dulu dan kita pada saat melihat potensi kolaborasi dan seberapa bagus teknologinya, kita pasti refer ke BCA untuk dilihat, due dilligence, bagaimana teknologinya bisa relevan dengan kebutuhan BCA, bisa scalable, bisa diterapkan, dan seterusnya,” ucapnya.

Menurutnya, saat uji tuntas sebuah startup sebenarnya sama seperti bank yang menilai potensi calon debiturnya, namun prosesnya lebih sederhana. Ada tiga hal yang dilakukan.

Pertama, melihat tim dan manajemen. Sebab, membangun budaya perusahaan adalah hal Bagaimana sumber daya manusia di dalam perusahaan tersebut bertumbuh secara stabil dari puluhan ke ratusan.

“Saat tim masih sedikit, bangun interaksi antarorang itu mudah, tapi ketika besar mampu enggak? Ada yang akhirnya founder pecah, itu yang mau kita hindarkan karena arah perusahaannya bisa berubah,” ucapnya.

Kedua, produk dan solusi. Bagaimana saat perusahaan bertumbuh, produknya tetap relevan. Terakhir, kondisi finansial. Sebelum pandemi, startup berlomba-lomba menyajikan valuasi yang menakjubkan. Padahal cara hitungnya itu sederhana. “Bisa BEP berapa lama, bagaimana strateginya, itu yang kita lihat sekarang.”

VP Digital Innovation Solution, Strategic Information Technology Group BCA Samuel Tjung menambahkan program akselerator SYNRGY yang sudah berjalan sejak 2019 adalah bentuk nyata dukungan BCA Grup terhadap ekosistem startup. Bahkan, pihaknya menjadikan BCA sebagai sandbox untuk langsung tes pasar, bukan lagi menilai-nilai angka di lab.

Dia mencontohkan salah satu kisah sukses dengan startup biometrik Verihubs. Startup tersebut menjadi salah satu peserta SYNRGY di 2020. Solusi yang mereka tawarkan itu sejalan dengan kebutuhan BCA karena KYC itu aspek penting dalam bank.

“BCA lihat secara produk jadi fit dengan kebutuhan kita. Lalu kita kenalkan ke CCV dan akhirnya dapat pendanaan,” kata Samuel.

Agar cita-cita menjadi sandbox berjalan mulus, kini program akseleratornya dibuat secara kostum sesuai kebutuhan startup. Tidak lagi ada batch yang berjalan selama tiga bulan, kelas-kelas yang perlu diikuti, diskusi dengan mentor, dan demo day. Perubahan ini sudah berjalan sejak dua tahun.

Dijelaskan lebih lanjut, program ini terus berevolusi karena pihaknya berusaha menjawab kebutuhan startup, jadi secara metode dan kontennya terus menyesuaikan. Tidak melulu startup itu butuh pendanaan, ada juga yang cari mitra buat kerja sama.

“Di buat secara kostum per startup kebutuhannya apa. Misal p2p lending, akan dicarikan mentor yang sesuai. Kita seleksi juga apakah ada potensi kerja sama, ini yang kita kuatkan.”

Sekarang pendaftaran SYNRGY dibuka sepanjang tahun dan demo day akan diselenggarakan jelang akhir tahun. Dari enam gelombang penyelenggaraan, SYNRGY Accelerator sudah meluluskan 79 startup dari 725 lebih startup yang mendaftar dan berhasil menciptakan lebih dari 15 kolaborasi.

Bidik startup embedded fintech

Adi menyebut, menurunnya penanaman modal ke startup dari investor secara global mencapai titik terendah dalam enam tahun terakhir. Spesifik untuk sektor fintech saja, investasi ke sektor fintech selama tiga tahun terakhir turun hingga 30%.

Kini, perusahaan modal ventura lebih selektif dalam memberikan modal. Kendati demikian, ia berharap ada perubahan situasi menyusul munculnya sejumlah inovasi dari teknologi teranyar seiring ekspektasi investor yang terus meningkat.

“Sepertinya enam bulan pertama di 2024, secara umum investor lebih berhati-hati dalam melihat peluang dan melakukan investasi. Di sisi lain, uang yang akan diinvestasikan sebenarnya sangat banyak. Investor sedang menunggu peluang yang tepat untuk berinvestasi, hanya masih berhati-hati,” imbuh Adi.

Walau tidak bersedia merinci lebih jauh, Adi menuturkan saat ini CCV tertarik dengan solusi-solusi pendukung teknologi fintech (embedded fintech). Namun bukan berarti sektor fintech tidak lagi menarik, melainkan karena sudah mature.

“Kami sebagai investor juga mengharap valuasi itu naik sehingga bisa dapat return dengan lebih cepat. Tapi fintech masih promising. Ketika bicara ekspektasi valuasi naik, untuk fintech masih di area consumer, seperti payment, online banking, dan wealth management masih ada ceruknya.”

Adi juga menyampaikan, selain berinvestasi ke startup baru, pihaknya juga akan menyeimbangkannya dengan divestasi. Tidak didetailkan lebih lanjut terkait ini. Dipastikan juga, CCV belum berminat untuk menambah portofolio startup p2p lending ke depannya.

Menurut laporan keuangan CCV, sepanjang 2022 total penyertaan saham secara langsung oleh CCV sebanyak 23 startup dengan nilai Rp333 miliar. Pendapatan operasional sebesar Rp41,1 miliar, naik dari tahun sebelumnya sebesar Rp2,88 miliar. Kenaikan ini terjadi karena ada divestasi dari salah satu portofolionya, serta keuntungan yang tidak terealisasi atas nilai wajar seluruh portofolio.

Ada 25 portofolio di bawah CCV, tiga di antaranya sudah exit, yakni Railsr (sebelumnya Railsbank), Wallex, dan Impact Credit Solutions (ICS). Portofolio lainnya adalah OY!, Qoala, AirWallex, Agate, Sinbad, Moduit, dan Verihubs. Terdapat tiga startup p2p lending juga, seperti Akseleran, KlikA2C, dan Julo.

Update 13/03/2024: Kami mengubah kutipan Adi Prasetyo di paragraf ketiga

Mandiri Capital Mulai Kelola Dana Investasi dari LP Luar Grup Perusahaan

Mandiri Capital Indonesia (MCI), CVC dari Bank Mandiri, mulai membidik posisi sebagai fund manager, seperti model bisnis VC kebanyakan, agar bisa mengelola fund dari LP di luar Mandiri Group. Ambisi tersebut dilancarkan terhitung sejak akhir tahun lalu, ada dua fund yang akan segera aktif pada tahun ini, yakni BTN Fund dan Merah Putih Fund.

CEO Mandiri Capital Indonesia Ronald Simorangkir menyampaikan, dengan mengelola uang investor di luar Bank Mandiri, harapannya MCI dapat lebih mandiri (self-sustain) untuk memenuhi operasionalnya sendiri. “Kita mulai bangun setahap demi setahap, sehingga 1-2 tahun mendatang jadi fund manager yang mandiri bisa self-sustain,” ujarnya saat Media Outlook 2024 di Jakarta, Rabu (17/1).

BTN Fund dengan target dana kelolaan $20 juta (sekitar Rp312 miliar) ditargetkan dapat segera beroperasi setelah pertama kali diumumkan pada awal Desember 2023. MCI akan memperoleh komisi dari pengelolaan dana tersebut. Sementara itu, Merah Putih Fund telah mengumpulkan dana sebesar $300 juta. Dana ini dikelola secara bersama oleh CVC pelat merah lainnya, yakni BRI Ventures, MDI Ventures, Telkomsel Ventures, dan BNI Ventures.

Saat ini MCI mengelola dua fund yang telah aktif digunakan untuk berinvestasi: balance sheet fund dari Mandiri Group sebesar $250 juta dan Global Climate Tech Fund yang saat ini masih dalam proses penggalangan dengan target dana sebesar $150 juta.

Dari keduanya terdapat 23 startup aktif yang telah didanai berasal dari 14 vertikal bisnis, mulai dari lending, B2B value chain, dan fintech & payment enablers. MCI juga sudah exit di tujuh startup (tiga full exit dan empat partial exit), seperti: MOKA, Cashlez, dan DamCorp.

Bila dipisah berdasarkan tiap dana kelolaan, walau Global Climate Tech Fund masih dalam penggalangan dana, sudah ada sejumlah startup yang telah didanai, yakni: Greenhope, Cakap, Delos, dan FishLog. Hal ini dikarenakan dana kelolaan tersebut merupakan kelanjutan dari mandat Indonesia Impact Fund (IIF) yang sudah diluncurkan sejak 2021.

Strategi investasi tahun ini

Ronald melanjutkan, MCI sebagai CVC memiliki mandat untuk terus mendukung strategi Bank Mandiri dengan menciptakan value creation demi mencapai bisnis yang inovatif dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui implementasi program XYZ, meliputi:

  1. Program Xponent untuk business matchmaking startup dengan Mandiri Group;
  2. Program Xchange dengan melakukan innovation benchmark terhadap beberapa innovation lab yang ada di Singapura;
  3. Y-Axis yang mewadahi para startup untuk memperluas jejaring terhadap tech-community, investor, dan korporasi;
  4. Program Zenith Accelerator yang ditujukan untuk pengembangan bisnis dan kolaborasi bersama ekosistem Mandiri Group.

“Kami membina berbagai startup sebelum akhirnya diinvestasi. Ada yang sudah berjalan. Jadi kita benar-benar beri pekerjaan, bentuknya MoU atau piloting, bukan workshop, jadi ada produk yang siap digunakan oleh Mandiri Group,” imbuh Ronald.

Direktur Investasi Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha menambahkan menyeimbangkan keuntungan jangka pendek dengan keberlanjutan jangka panjang dan memanfaatkan sinergi adalah tujuan dari value creation. Penyelarasan strategis ini tidak hanya meningkatkan kesehatan keuangan masing-masing unit bisnis, namun juga memposisikan seluruh portofolio untuk beradaptasi dan berkembang dalam lingkungan pasar yang dinamis, sehingga mendorong kesuksesan yang bertahan lama.

“Kita lihat sesuatu itu secara jangka panjang, makanya bantu startup menumbuhkan bisnisnya. Makanya kita juga enggak ikut FOMO (fear of missing out), enggak ikut ke Web3 atau wealthtech seperti saat pandemi kemarin,” kata Dennis.

CFO Mandiri Capital Indonesia Wisnu Setiadi menyampaikan, karena MCI fokus bangun fundamental bisnis startup sendiri, maka saat likuiditas di pasar sedang kering, valuasi startup akan dinilai dari fundamental yang sudah mereka punya. Jadi angkanya lebih nyata dan terukur secara logis.

“Saat likuiditas kembali normal, dengan inflasi terkontrol dan global tension mendingin. Di situ kita bisa realized-kan gain-gain tersebut dengan aktif divestasi dan lihat potensi baru untuk diinvestasikan,” tambahnya.

Pada tahun ini, sektor yang dinilai MCI menarik dilirik adalah rantai pasok yang masih banyak aspek konvensional dalam proses bisnisnya. Kemudian, sustainable green business juga turut dilirik, sejalan dengan inisiatif dari Global Climate Tech Fund. MCI akan membidik startup dari global untuk membawa teknologinya masuk ke Indonesia.

Climate tech masih sangat baru di Indonesia. Maka untuk memulainya harus bangun ekosistemnya di sini, undang dari luar untuk bawa knowledge-nya yang berguna untuk Indonesia,” pungkas Dennis.

Batal Dirikan CVC, BTN Gaet Mandiri Capital Bentuk Dana Kelolaan Rp400 Miliar Khusus Proptech

Bank Tabungan Negara (BTN) menggandeng Mandiri Capital Indonesia (MCI) membentuk dana kelolaan khusus pendanaan ke startup di bidang mortgage dan proptech. Saat ini proses perizinan untuk dana kelolaan ini masih menunggu persetujuan OJK.

BTN menjadi investor tunggal untuk BTN Fund ini dan menyiapkan dana investasi berkisar Rp200 miliar-Rp400 miliar. BTN akan masuk untuk berbagai tahapan investasi untuk startup yang memiliki bisnis di Indonesia dan bergerak di proptech, mortgage tech, fintech, embedded finance, construction tech, open finance, SaaS, dan sektor strategis lainnya yang sejalan dengan bisnis utama mereka.

“Dalam visi BTN menjadi The Best Mortgage Bank in Southeast Asia, salah satu inisiatifnya bagaimana kita mengembangkan bisnis yang mendukung sektor perumahan. ASEAN mortage sangat prospektif dan untuk go digital di area mortgage, digital payment, dan ekosistemnya kita enggak bisa grow secara organik. Jadi perlu akselerasi lewat partnership,” ucap Direktur Risk Management Bank BTN Setiyo Wibowo saat peresmian kerja sama BTN dan MCI di Jakarta, Rabu (6/12).

Menurut Setyo, perizinan dari OJK biasanya memakan waktu antara tiga sampai enam bulan. Bila tidak ada aral melintang, investasi ke startup akan dimulai setelah mengantongi izin. Rencananya untuk dana kelolaan tersebut, BTN dan MCI akan menyuntik 10-20 startup. “Yang terpenting startup punya operasional di Indonesia,” tambahnya.

Dalam menilai calon portofolionya, BTN akan melihat prospek, model bisnis, dan solusi yang unik ditawarkan oleh startup, sejalan dengan bisnis BTN. Tidak hanya investasi, startup tersebut nantinya dapat mengintegrasikan layanannya dari BTN, baik dari sisi transaksi, kanal penjualan, hingga percepatan
proses bisnis.

“Setelah itu kita lihat orangnya [founder] dan lihat bagaimana chemistry-nya. Jadi kita tidak harus melihat startup itu sudah untung atau belum.”

Direktur Investasi MCI Dennis Pratistha menyampaikan, BTN Fund dapat menjembatani kebutuhan BTN untuk transformasi digital di perseroan, sekaligus bentuk partisipasi di ekosistem mortage dan proptech secara lebih besar. “BTN dapat meningkatkan NIM, fee-based income, dan cost efficiency dan improvement. BTN akan menjadi investor strategis bagi startup yang dinilai bisa memberikan nilai tambah,” imbuh Dennis.

Di Mandiri Group, misalnya, MCI melakukan investasi untuk startup pengembang POS iSeller pada 2020. Pada waktu itu, iSeller sudah menjaring 19 ribu merchant. Pertumbuhannya signifikan hingga pada awal tahun ini, jumlah merchant naik jadi 35 ribu. Kemitraan juga dijalin bersama Bank Mandiri untuk program Livin’ Merchant, hingga akhirnya jumlah merchant terdongkrak jadi 1,2 juta hingga saat ini.

Batal dirikan CVC

Dalam kesempatan yang sama, Setyo sekaligus mengonfirmasi bahwa BTN batal untuk mendirikan corporate venture capital (CVC) sendiri. Alasannya dikarenakan setelah ditinjau, opsi yang paling cepat dan masuk akal untuk segera beroperasi adalah membentuk dana kelolaan bersama mitra.

“Kalau buat VC izinnya lebih sulit, perlu didukung juga oleh talenta yang spesialis di area ini. Setelah di-review, paling kecil risikonya dan impact positif lebih baik buat BTN akhirnya lewat membuat fund.”

Sebelumnya, wacana BTN untuk membentuk modal ventura sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Kandidat yang akan diakuisisi adalah Sarana Papua Ventura adalah anak usaha PT Bahana Artha Ventura, yang merupakan anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero).

Rencana tersebut bahkan sudah mendapat persetujuan dari pemegang saham RUPSLB BTN pada Agustus 2019.

Telkomsel Ventures Tegaskan Komitmen Investasi di Sektor Agnostik

Wajah baru Telkomsel Ventures dari nama sebelumnya Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), menjadi babak lanjutan bagi operator seluler pelat merah ini untuk memperluas portofolio investasinya. Pihaknya juga sekaligus mengumumkan penutupan dana kelolaan kedua.

Tidak ada perubahan tesis investasi dengan pergantian nama tersebut. Pihaknya tetap membidik sektor agnostik sembari menjajaki peluang di sektor baru.

“Tujuan utama kami adalah mendistribusikan dana untuk memperkuat strategi pertumbuhan dengan memanfaatkan aset Telkomsel, serta eksplorasi ke area bisnis baru,” ujar CEO Telkomsel Ventures Mia Melinda dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.

Fokus investasinya harus beririsan dengan bisnis intinya, yakni digital lifestyle, digital enablement, dan emerging tech (early adopter pada teknologi baru). Ketiga fokus ini akan memiliki sektor turunan yang berkaitan dengan internet, AI, UMKM, e-commerce, hingga konten hiburan. “Ini akan kami tinjau kembali dari waktu ke waktu berdasarkan peluang pasar dan relevansi strategis kami.”

Menurut Mia, dana kelolaan kedua masih sepenuhnya bersumber dari induk usahanya, Telkomsel. Adapun, dana kelolaan pertama telah diinvestasikan sebesar $40 juta (sekitar Rp623 miliar) ke 17 startup, termasuk Halodoc (healthtech), Evermos (social commerce), dan PrivyID (e-KYC).

Disinggung soal nilai sinergi yang telah diperoleh, Mia menambahkan, “sudah banyak sinergi yang dihasilkan oleh startup portofolio kami dengan unit bisnis Telkomsel, dan kami akan terus menggali potensi-potensi baru.”

Sekadar informasi, entitas legal Telkomsel Ventures didirikan pada 2019 yang akan bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana investasi dan sinergi induk usahanya. Telkomsel Ventures bermitra dengan MDI Ventures dan Singtel Innov8.

Telkomsel Ventures menjadi kendaraan investasi untuk mengeksplorasi peluang sinergi bagi bisnis telekomunikasinya. Pihaknya tak hanya mengucurkan pendanaan, tetapi juga memanfaatkan sumber daya, dukungan teknis, mentorship, dan kolaborasi dengan Telkomsel atau ekosistem lainnya.

Pergeseran sektor investasi

Lanskap Venture Capital (VC) di Indonesia pada tahun ini ditandai oleh pergeseran fokus investasi ke beberapa sektor, yakni kendaraan listrik, energi, dan agrikultur. Menurut laporan AC Ventures dan Bain & Company, pada periode 2020-2022, VC justru fokus membidik sektor yang mendapat pengaruh positif dari pembatasan sosial saat pandemi, misalnya e-commerce dan layanan fintech.

“Sektor seperti bioteknologi, energi, EV, dan cleantech terus bertumbuh sehingga menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi yang semakin menarik. Minat pasar dan peralihan industri ke arah keberlanjutan dan ekonomi hijau, akan mendorong ekspansi di bidang ini. Demikian juga dengan model yang menggabungkan AI dan teknologi penting lainnya, atau bisnis yang memiliki kekayaan intelektual, punya potensi pertumbuhan besar dan ceruk pasar yang unik,” tutur Partner SV Investment Steve Patuwo dalam laporan tersebut.

Total nilai pendanaan VC yang mengalir ke Indonesia mencapai $3,6 miliar pada 2023 (year-to-date). Pendanaan VC ke Indonesia tumbuh stagnan (YoY), tetapi lebih baik dibandingkan tren investasi global (termasuk AS, Tiongkok, dan India) yang tercatat turun sebesar 20%-40%.

Terdampak Kondisi Makroekonomi, CVC BTPN Syariah Tunda Tambah Portofolio Tahun Ini

BTPN Syariah Ventura, unit CVC milik BTPN Syariah, menunda tambah satu investasi baru ke startup hingga akhir tahun ini. Kondisi makroekonomi yang tengah berlangsung pascapandemi masih memberikan dampak pada kinerja perseroan, memaksa untuk lebih konservatif dari sebelumnya.

Direktur Keuangan BTPN Syariah Fachmy Achmad menjelaskan ada satu startup yang sudah dijajaki, bahkan telah melakukan piloting untuk kolaborasi bisnis. Akan tetapi, karena BTPN Syariah Ventura bukan CVC yang memiliki dana kelolaan besar, mereka tidak bisa menjadi investor lead dalam penggalangan yang digelar oleh startup tersebut.

Alhasil, startup yang disebutkan ini sedang mencari investor lead untuk memimpin penggalangan pendanaan. “Jadi kelihatannya belum bisa [diumumkan] tahun ini,” kata Fachmy dalam media gathering di Jakarta, kemarin (18/10).

Ia belum bisa membuka identitas calon portofolionya tersebut. Hanya bisa dipastikan, startup tersebut bergerak di bidang yang menjunjung segmen mikro dan ultra mikro, selaras dengan bisnis utama BTPN Syariah. “Bisa social commerce, pencatatan, dan POS. Tapi kan social commerce kita sudah ada [Dagangan].”

CVC ini memulai debutnya pada Juni 2022 dengan memimpin putaran pra-seri B untuk Dagangan senilai $6,6 juta. Dalam putaran tersebut juga diikuti investor lainnya, seperti Monk’s Hill Ventures dan Hendra Kwik (Payfazz).

Sebelum resmi mendanai suatu startup, BTPN Syariah Ventura mengambil posisi sebagai investor strategis makanya ada pendekatan yang berbeda dalam menilai profil risiko. Selain ada mandat, pihaknya tidak hanya melihat valuasi dan startup yang mengejar pertumbuhan eksponensial, yang terpenting bagaimana komitmen founder untuk selalu menjaga bottom line dalam kinerja keuangannya.

Hal ini terlihat dari debutnya ke Dagangan yang dimulai dengan pilot project pada awal 2020. Saat itu, Dagangan menyediakan stok barang kelontong dalam bentuk paket-paket hemat yang bisa dibeli debitur BTPN Syariah. Produk tersebut nantinya dapat dijual kembali di lingkungan rumah mereka.

Karena berjualan barang kelontong, maka perputaran uangnya jauh lebih cepat hanya sekitar satu hingga dua hari saja. Kemitraan ini terus berlanjut sampai kedua perusahaan mengintegrasikan API ke dalam sistem masing-masing. Puas dengan hasil yang diperoleh, kucuran investasi pun akhirnya diberikan ke Dagangan.

Dengan model bisnis social commerce yang terbukti berhasil di lapangan, startup ini masih bertahan di tengah loyonya kinerja startup sejenisnya. Ula misalnya, memutuskan untuk hengkang dari bisnis utamanya dan melakukan efisiensi besar-besaran sebelum pivot ke bisnis baru.

Ada juga CrediMart yang kini berubah fokus bisnisnya dan rebrand menjadi Jooalan. Shox, Meesho, Grupin, RateS dan lainnya bahkan harus pamit dari bisnis ini.

Dana kelolaan BTPN Syariah Ventura angkanya tergolong mini, yakni Rp300 miliar (Dari modal ditempatkan dan disetor penuh). Dibandingkan dengan CVC lainnya, BNI Modal Ventura misalnya mendapat modal dasar Rp500 miliar saat diperkenalkan pada tahun lalu. Selanjutnya, BRI Ventures mendapat injeksi sebesar Rp1 triliun saat baru didirikan di 2019.

Dorong kualitas pembiayaan

Fachmy juga menuturkan karena mandat CVC ini sedari awal konservatif, makanya tidak ngoyo untuk kejar target danai satu startup per tahunnya. Terlebih lagi, kondisi makro pasca pandemi yang dinilai menantang ini membuat BTPN Syariah lebih hati-hati menjaga kinerjanya.

“Karena kondisi menantang, kan tim VC ini juga tim di BTPS. Jadi lebih baik kami fokus di bisnis utama.”

Walau kondisi masih cukup menantang, BTPN Syariah tercatat tetap mampu mencetak pertumbuhan. Penyaluran pembiayaan kepada masyarakat inklusi pada kuartal III 2023 mencapai Rp11,9 triliun, naik dari Rp11,3 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Laba bersih setelah pajak mencapai Rp1 triliun.

Bisnis utama dari BTPN Syariah itu sendiri adalah penyaluran pembiayaan produktif tanpa agunan untuk ibu-ibu di kota lapis dua dan tiga. Untuk menjaga kualitas penyaluran, bank membuat sejumlah inisiatif. Salah satunya, pemberian insentif bagi anggota sentra yang memiliki tingkat kehadiran 90% di kumpulan atau Pertemuan Rutin Sentra (PRS) setiap dua minggu sekali dan membayar angsuran tepat waktu.

Di samping itu, bank juga melibatkan lebih banyak pihak untuk program pendampingan dengan merekrut lebih dari 1.600 mahasiswa dari 258 universitas di 20 provinsi di Indonesia. Mereka terlibat sebagai fasilitator dalam program Bestee Tepat (Bersama Berdaya Sahabat Tepat Indonesia).

CEO Pertamina NRE Dannif Danusaputro Paparkan tentang Energy Fund

Energy Fund, dana kelolaan bentukan PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Power & New Renewable Energy (NRE), siap diinvestasikan ke startup tahap lanjut pada 2024. Perusahaan kini tengah mematangkan pendirian dana kelolaan tersebuttermasuk komitmen nilai investasinya.

Sekadar informasi, Energy Fund adalah satu dari tiga dana kelolaan yang telah diluncurkan oleh Kementerian BUMN pada September 2022, dan disepakati melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA). Energy Fund nantinya akan dikelola oleh MDI Ventures.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, CEO Pertamina NRE Dannif Danusaputro mengungkap Energy Fund sedang dalam tahap pendirian untuk memastikan proses administrasi dan tata kelolanya sesuai. Ia juga memastikan Pertamina belum melakukan investasi apapun ke startup hingga saat ini.

“Kami menunggu proses fund establishment selesai dengan komitmen dan tesis investasi yang direncanakan. Pertamina NRE mengestimasi deployment [Energy Fund] terealisasi pada 2024. Pada saat initial closing, Pertamina NRE masih bertindak sebagai Limited Partner (LP) utama. Namun, kami juga membuka akses terhadap LP lain untuk berinvestasi melalui Energy Fund ini,” tutur Dannif.

Pihaknya belum dapat mengungkap nilai investasi yang disiapkan dan perkiraan ticket size. Namun, Energy Fund membidik startup tahap pertumbuhan (growth stage) dan lanjutan (later stage). Ini menunjukkan bahwa Pertamina NRE mengutamakan startup yang telah memiliki sumber pendapatan, dan tidak mengincar startup dengan ide/produk yang masih diinkubasi.

Pertamina NRE diketahui kini tengah mengeksplorasi dan memproduksi sumber energi terbarukan (EBT) dengan cakupan usaha meliputi wilayah kerja geothermal, pembangkit listrik panas bumi, pembangkit listrik tenaga gas, dan pengembangan EBT.

Dannif menambahkan, terlepas dari situasi bubble yang menghantam industri teknologi sejak beberapa tahun terakhir, saat ini justru menjadi momentum yang tepat bagi perusahaan untuk melirik kembali ekosistem startup. Ia meyakini masih ada pertumbuhan di sektor teknologi.

“Upaya transisi energi tidak dapat dilakukan pemerintah dan korporasi saja, ekosistem juga dibutuhkan. Kami percaya investasi di perusahaan rintisan teknologi dan inovasi di sektor EBT akan mendukung pembentukan ekosistemnya dan mempercepat mempercepat transisi energi di Indonesia,” tambahnya.

Solusi rendah karbon hingga panel surya

Ada tiga kriteria utama yang diincar Pertamina NRE—juga diselaraskan dengan pilar bisnisnya—antara lain solusi rendah karbon, energi terbarukan, dan bisnis baru (new and future business). Prioritasnya, startup di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara dengan pengembangan ke pasar Asia, Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.

Terkait inovasi, Energy Fund akan diinvestasikan ke startup yang menggarap solusi/produk yang berkaitan dengan ekosistem kendaraan listrik (EV) dan baterai, teknologi clean hydrogen, konservasi energi, panel surya, waste dan EBT, hingga energy audit platform.

Sebetulnya, ungkap Dannif, saat ini Pertamina tengah mengembangkan produk baru untuk mengebut transisi energi. Beberapa di antaranya adalah perdagangan karbon kredit, hidrogen bersih, serta ekosistem baterai dan EV. Sementara, bisnis berbasis EBT yang sudah beroperasi saat ini adalah energi panas bumi (Pertamina Geothermal Energy) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)

Lewat dana kelolaan ini, pihaknya berharap dapat bersinergi dengan pelaku startup cleantech agar dapat mencapai efisiensi biaya operasi (cost efficiency), sumber pendapatan baru, hingga kolaborasi go-to-market. Sinergi ini dapat melengkapi kapabilitas masing-masing, baik pasar baru di lingkungan Pertamina maupun ekosistem BUMN.

“Perkembangan inovasi dan ekosistem EBT di Indonesia bisa dibilang cukup pesat meski startup yang berkecimpung di bidang masih di fase inkubasi dan tahap awal. Maka itu, sinergi dengan startup cleantech diperlukan untuk mengakses ke teknologi dan inovasi mereka,” ungkapnya.

Potensi energi terbarukan (EBT) di Indonesia tercatat mencapai lebih dari 3.000 GW. Dalam rangka transisi energi, Indonesia memerlukan teknologi dan inovasi baru untuk mengembangkan dan mendayagunakan potensi tersebut.

Kendati begitu, upaya transisi energi terhambat oleh sejumlah faktor, di antaranya akses ke pembiayaan yang kompetitif dan teknologi, pendanaan untuk pengembangan tahap awal, serta kapabilitas sumber daya manusia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, bauran EBT baru mencapai 14,11% pada 2022, naik sedikit dari tingkat bauran di tahun sebelumnya yang sekitar 13,65%. Mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik masih berasal dari batu bara dengan persentase 67,21%.

Ekosistem cleantech

Isu lingkungan, kebutuhan terhadap praktik bisnis berkelanjutan, dan permintaan pasar ikut mendorong kebangkitan ekosistem startup teknologi bersih (cleantech) di Indonesia yang ingin terlibat dalam upaya transisi energi, pengelolaan sampah, hingga dekarbonisasi.

Berdasarkan laporan teranyar New Energy Nexus Indonesia berjudul “Clean energy technology startups in Indonesia: How the government can help the ecosystem”, terdapat sekitar 300 startup cleantech di Tanah Air. Dari survei terhadap 50 startup cleantech Indonesia, laporan ingin merangkum sejumlah kendala terkait pengembangan produk dan bisnis di sektor tersebut.

Kendala finansial menjadi salah satu batu sandungan besar yang cukup disoroti. Laporan ini menyebutkan kendaraan investasi milik negara, baik Corporate Venture Capital (CVC) maupun dana kelolaan, masih fokus berinvestasi di sektor besar, seperti fintech, e-commerce, dan logistik.

Dalam temuannya, tiga CVC besar yang beroperasi saat ini, yakni MDI Ventures, MCI Ventures, dan BRI Ventures, belum memiliki rekam jejak portofolio di sektor cleantech. Selain itu, dana kelolaan khusus di sektor energi yang akan diluncurkan juga dinilai belum memiliki komitmen investasi dan implementasi yang jelas.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Laporan ini merekomendasikan agar pemangku kepentingan terkait dapat menjembatani fasilitas pinjaman bank lewat skema venture debut atau pinjaman lunak untuk startup cleantech tahap lanjutan (later stage). Dukungan finansial dari pemerintah daerah juga diperlukan.

Hipotesis OCBC NISP Ventura Terhadap Strategi Investasi “Beyond Banking”

OCBC NISP Ventura (ONV), lengan permodalan startup dari Bank OCBC NISP, memastikan optimismenya dengan strategi investasinya terhadap startup “embedded finance”, sebab diyakini semua vertikal bisnis (beyond banking) memiliki aspek kebutuhan finansial dalam rangka pengembangan usahanya.

Terhitung sejak pertama kali beroperasi di 2020, perusahaan telah berinvestasi ke 15 startup di berbagai vertikal, termasuk di antaranya proptech (99 Group, Dekoruma, Rukita), fintech (AwanTunai, GajiGesa), online media (IDN Media, USS Networks), agritech (EdenFarm), dan e-commerce enabler (Sirclo).

“Ada yang bilang kami tidak terukur setiap berinvestasi. Sebenarnya, kami memiliki besaran strateginya [setiap berinvestasi]. Ambil contoh, kreator konten itu adalah the next big things tapi sekarang mereka belum bisa dapat service bank yang setara. Perusahaan media mengerti dunia tersebut dan bisa kasih value pendapatan income mereka,” terang Managing Director OCBC NISP Ventura Darryl Ratulangi saat media briefing di Jakarta, (08/8).

Ia melanjutkan, “Ketika kreator konten bisa dikolaborasikan dengan bank, maka bank akan mendapat segmen market baru. Ambisi kita bisa berikan service perbankan untuk para freelance seperti ini. Tapi tidak mungkin bangun ini sendiri, sulit untuk meng-assess-nya, makanya harus kolaborasi.”

Contoh lainnya adalah investasi yang dikucurkan ONV untuk Edenfarm. Darryl menerangkan, aspirasinya adalah mempermudah proses pengajuan kredit usaha untuk pengadaan suplai barang-barang pangan untuk industri horeka. Caranya dengan membuat pre-approval kredit, lewat data historis transaksi merchant Edenfarm akan diperoleh estimasi pendapatan tanpa mereka perlu memasukkan berbagai persyaratan.

“Jadi tanpa perlu bisa apply loan, bank bisa memberikan loan sekian juta untuk per merchant-nya, kemudian tinggal kontak. Jadinya banking bisa seamless. Ini kami sebut embedded finance, produk keuangan dikemas dalam bentuk berbeda dan distribusinya dengan channel yang beda.”

OCBC NISP Ventura berinvestasi pada startup dengan tahap awal hingga seri A dengan nominal berkisar dari $1 juta sampai $3 juta (Rp15 miliar sampai Rp45 miliar). Bentuk pendanaannya bisa melalui penyertaan modal, pembelian obligasi konversi, dan lainnya. Sejauh ini seluruh startup didanai melalui penyertaan saham. ONV baru berinvestasi untuk startup asal Indonesia saja.

Nilai sinergi

Seperti mandat CVC pada umumnya yang harus selalu bersinergi dengan grup perusahaan, Darryl mengaku angkanya belum pernah diukur secara nominal. Ia memberikan contoh dari hasil investasi untuk AwanTunai. Tidak hanya investasi ekuitas, tapi juga fasilitas kredit (channeling) juga diberikan untuk startup tersebut. Disebutkan, channeling yang dikontribusikan dari AwanTunai mencapai Rp100 miliar per bulannya.

“Walau nominal ini masih kecil, tapi ini jadi permulaan yang bagus untuk sebuah startup. Harapannya nilai sinergi dari seluruh portofolio bisa lebih besar lagi.”

OCBC NISP Ventura berpartisipasi sebanyak dua kali putaran pendanaan yang digelar AwanTunai, pada seri A2 dan pra-seri B di 2021. Pada tahun sebelumnya, Bank OCBC NISP masuk sebagai salah satu lender institusi untuk AwanTunai untuk fasilitas channeling. Selain perusahaan, jajaran investor lainnya yang bergabung dalam kedua putaran tersebut, antara lain BRI Ventures, Insignia Ventures, dan Global Brains.

Pun dari segi profit yang berhasil dicapai, menurutnya, baru bisa dilihat secara paper gain karena seluruh portofolio masih bersifat aktif dan belum ada langkah exit yang dipilih OCBC NISP Ventura. Besar kemungkinan realisasi profit yang bisa dituai perusahaan baru terlihat pada 2025-2027 mendatang.

“Karena sifat investasi kita jangka panjang 5-7 tahun, jadi profit baru secara paper gain. Kita baru mulai di 2020, mulai 2025-2027 adalah saat-saat kita bisa mulai realized yang ada di portofolio [gain atau loss], sampai titik itu belum tiba, belum akan realized jadi sebuah profit.”

Iklim investasi

Dalam laporan DealStreetAsia SEA Deal Review Q1 2023, dipaparkan terdapat 195 kesepakatan pendanaan ekuitas yang diterima startup dari VC di Asia Tenggara sepanjang Q1 2023. Meskipun angka ini lebih tinggi dari kuartal sebelumnya dengan total 187, volume-nya 37% lebih rendah secara year-on-year (YoY).

Berdasarkan total modal yang terkumpul pada Q1 2023 sebesar $2,08 miliar, turun 25% dari Q4 2022 dan 52% YoY dari periode yang sama tahun lalu. Di Indonesia saja, menandatangani 36 kesepakatan dengan total $432 juta atau sekitar 20,8% dari keseluruhan pangsa nilai pendanaan ekuitas di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Darryl, data di atas memperlihatkan bahwa Indonesia masih memiliki potensi ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara. Walau begitu, perusahaan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi, tidak fear out missing out (FOMO) ikut suntik startup yang tiba-tiba mentereng.

“Kami tidak punya fokus sektor dan tidak ada target harus disbursed berapa pada tahun ini. Kami lihatnya harus tetap oportunistis, ketika ada startup dengan pertumbuhan bagus dan harga cocok, maka kita akan masuk”

Terlebih, Indonesia akan segera masuk ke tahun politik. Menurut dia, tahun politik itu biasanya terjadi peningkatan konsumsi karena perputaran uang dari partai.

Industri yang berhubungan langsung, seperti e-commerce, logistik, pangan, akan merasakan dampak dari tahun politik ini. “Kita selalu bullish dengan pertumbuhan ekonomi ke depan,” pungkasnya.

BTPN Syariah Ventura Pilih Strategi Konservatif, Incar Satu Startup Tiap Tahun

BTPN Syariah Ventura, kendaraan investasi dari BPTN Syariah (BTPS), memilih langkah konservatif dalam berinvestasi startup, hanya mengincar satu startup untuk didanai tiap tahunnya. Tahun lalu, melalui debutnya, perusahaan berinvestasi untuk Dagangan dalam putaran pra-seri B.

Adapun pada tahun ini, BPTN Syariah Ventures masih menyeleksi kandidat baru yang akan didanai. Sementara itu, perusahaan juga memastikan tidak ada rencana kembali mendanai Dagangan di putaran berikutnya. Sebelumnya dikabarkan Dagangan sedang menggalang putaran kedua untuk seri B yang menarik sejumlah korporat besar menanamkan dananya ke sana.

“Bagi kita sudah untung karena valuasi [yang naik dan bisnisnya bertumbuh], lalu kita akan cari investasi berikutnya untuk startup yang fokus ke rural. Direksinya simpel dan efisien, satu tahun sekali saja investasinya. Terpenting investasi ini berdampak bagus buat grup dapat lebih baik lagi,” ucap Direktur Keuangan BTPN Syariah Fachmi Achmad dalam media briefing, pekan lalu (9/2).

Meski Fachmi tidak bersedia merinci identitas startup tersebut. Bisa dipastikan pihaknya mencari startup yang punya misi sejalan dengan perseroan yang fokus memberdayakan masyarakat pra/cukup sejahtera di kota lapis dua dan tiga. Segmen bisnisnya mulai dari edtech, jual-beli digital, pelatihan, penyedia jasa pembayaran tagihan, penyedia barang perlengkapan rumah tangga, dan produsen/pemilik produk kebutuhan sehari-hari.

Pasca menjadi investor di Dagangan, sejumlah kerja sama bisnis semakin kencang dilakukan. Di antaranya, integrasi API Dagangan dengan aplikasi Warung Tepat, sehingga memungkinkan para agen Mitra Tepat untuk belanja barang sembako satuan dengan harga grosir, entah untuk kebutuhan pribadi atau dijual kembali. Diklaim kini ada 606 Mitra Tepat di 66 kota yang telah memanfaatkan fitur tersebut.

Selanjutnya, mengembangkan alternatif pembayaran dengan paylater untuk konsumen Dagangan, akses pembiayaan, dan perluasan kesempatan bagi nasabah BTPN Syariah menjadi mitra Dagangan.

Sebagai catatan, Mitra Tepat adalah klasifikasi yang diberikan BTPS untuk para nasabah pembiayaan yang berhasil mengembangkan bisnis lebih besar. Mitra Tepat ini merupakan ibu rumah tangga yang memiliki bisnis dan menjadi perpanjangan tangan bank dalam melayani nasabah.

Dalam laporan keuangan konsolidasi BTPN Syariah pada 2022, BTPN Syariah Ventura memiliki total aset sebesar Rp313 miliar dengan total ekuitas Rp311 miliar. Kemudian, nilai investasi saham (investment in share) sebesar Rp 81 miliar dan laba bersih sebesar Rp4 miliar (dengan investasi nilai wajar = biaya awal).

Struktur manajerial di BTPN Syariah Ventura juga tergolong efisien karena semuanya berasal dari kalangan BTPN Syariah. Posisi komisaris diisi oleh Fachmi dan M. Gatot Adhi Prasetyo (Direktur BTPN Syariah). Sementara, Direktur Utama BTPN Syariah Ventura Ade Fauzan juga menjabat sebagai Business Development Head di BTPN Syariah, bersama Destya Danang Pradityo sebagai Direktur di CVC.

Ekosistem digital syariah

Fachmi melanjutkan, selain berinvestasi ke Dagangan, sepanjang tahun lalu perseroan mencatatkan serangkaian inovasi untuk mewujudkan aspirasi membangun ekosistem digital syariah khusus untuk segmen pra/cukup sejahtera.

Pertama, akses keuangan untuk modal kerja produktif (access to finance) yang kini dapat diperoleh dengan proses digital. Cara ini secara tidak langsung telah meliterasi nasabah inklusi menjadi paham digital secara perlahan. Mereka juga memberikan dampak kepada komunitasnya menjadi lebih mudah dalam mengakses layanan perbankan. Tidak hanya untuk nasabah pembiayaan, perseroan juga telah menyempurnakan layanan e-channel termutakhir bagi nasabah pendanaan melalui Tepat Mobile Banking dan internet banking.

Kedua, memperluas akses pengetahuan (access to knowledge) melalui program pemberdayaan yang terukur dan berkelanjutan Tepat Daya. Platform digital ini terintegrasi dengan program pemberdayaan demi meningkatkan kapasitas nasabah sekaligus membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk terlibat aktif dalam memberdayakan nasabah.

Inovasi perseroan di atas berdampak positif terhadap kinerja keuangan. Di antaranya, total aset sebesar Rp21,2 triliun dan pembiayaan mencapai Rp11,5 triliun tumbuh 10% (YoY). Pertumbuhan pembiayaan ini disertai dengan kualitas pembiayaan yang tetap sehat tercermin dari Non Performing Financing (NPF) di bawah ketentuan regulator dan laba bersih setelah pajak mencapai Rp1,78 triliun atau naik 21,9%.

Mengenai prospek ekonomi makro pada tahun ini, Fachmi cukup optimis perseroan dapat kembali mencetak kinerja yang ciamik. Alasannya, karena tahun-tahun menjelang pesta politik itu menguntungkan bagi segmen masyarakat ultra mikro. Pandemi kemarin memukul segmen ini karena diberlakukannya pembatasan ruang gerak yang membuat usaha mereka terdampak.

“Segmen ini akan terpuruk kalau ada bencana alam dan Covid karena larangan untuk berinteraksi. Selama larangan itu diangkat pemulihan akan lebih baik. Dari pengalaman kita di 2013-2015 segmen ultra mikro itu enggak signifikan berdampak buat mereka karena mereka itu hidupnya menjual barang-barang yang basic. [Tahun] politik itu tahun terbaik buat segmen ultra mikro,” pungkasnya.

Label Rekaman Trinity Bentuk CVC, Jajaki Peluang Investasi Ekonomi Kreatif

Pada 2019, Trinity Optima Production (TOP) terlibat dalam konsorsium pengembangan produk digital. Konsorsiumnya bersama tiga perusahaan label rekaman lain, yakni Musica, Aquarius, dan My Music, menghasilkan kesepakatan joint venture bersama PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) untuk menggarap platform audio on-demand Noice.

Kini, perusahaan menyatakan komitmen penuh untuk membuka peluang investasi dan pengembangan bisnis rintisan atau proyek yang sejatinya dapat memberikan nilai tambah terhadap ekosistem grup. TOP mengumumkan pendirian Corporate Venture Capital (CVC) dengan nama Trinity Ventures (TV) untuk memuluskan transisinya sebagai grup usaha (holding company).

Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut telah memiliki tim manajemen dengan bekal ilmu dan pengalaman solid untuk menuju skala korporasi lebih besar di industri hiburan. Adapun, Trinity Ventures menggaet Jagartha Advisors sebagai penasihat investasi yang berperan dalam melakukan assesment dan due diligence terhadap calon investee.

Berdasarkan wawancara terpisah dengan DailySocial.id, CEO Trinity Optima Production Yonathan Nugroho mengatakan mengambil peran ganda untuk memimpin TV. “Terkait entitas legal, PT sudah ada. Namun, berhubung ini CVC dan baru menggunakan dana internal, kami belum mengajukan izin sebagai perusahaan modal ventura,” tutur Yonathan.

Sekilas informasi, Trinity Optima Production didirikan oleh Adi Nugroho, Handi Santoso, Effendy Widjaja, dan Yonathan Nugroho pada 2003. Perusahaan memiliki rekam jejak kuat di industri hiburan; menaungi sejumlah artis kawakan, termasuk Armand Maulana, Sherina, dan Afgan.

Di luar label rekaman, TOP memperluas skala bisnisnya dengan masuk ke music publishing dan talent marketing melalui Trinity Artist Management (TAM), serta Trinity Creative Technology (Dignitiy) untuk digital content marketing.

Hipotesis investasi

Di awal, peluang investasi pada usaha rintisan sering diukur dari visi/value para founder, competitive advantage sebuah produk/layanan, dan valuasi. Namun, dengan melihat perkembangan industri dan pasar saat ini, TV lebih berfokus pada bisnis yang memiliki keberlanjutan jangka panjang dan fokus terhadap permasalahan di sektor yang digeluti, tak lagi cuma mengejar pertumbuhan.

Yonathan berujar, tidak ada sektor tertentu yang diincar, TV membuka diri seluas-luasnya pada peluang investasi di startup maupun proyek yang memberikan nilai tambah pada ekosistem Trinity Entertainment Group (TEG). Selain itu, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah rencana mitigasi risiko dengan memperhitungkan situasi makro saat ini.

“Pada tahap awal, kami fokus di sektor ekonomi kreatif yang berkaitan dengan industri film, musik, dan direct-to-consumer (D2C). Saat ini, posisi kami sedang mengeksplorasi peluang pada virtual influencer atau meta human. Kami tidak berfokus untuk mendigitalisasi suatu sektor usaha. Kami serahkan [pengembangan] model bisnis dan produk pada pemilik,” jelasnya.

Portofolio Investasi Trinity Ventures/ Sumber: Trinity Optima Production

Diungkapkan, TV dibentuk untuk memperluas jangkauan jaringan dan peluang kolaborasi selama itu visioner dan inovasinya disruptif. Artinya, model bisnis atau produk/layanan memiliki pain point, positioning, peluang untuk scale up yang jelas.

Pihaknya berupaya untuk mengkolaborasikan proyek/solusi yang dimiliki startup ke lintas sektor, dan tidak rigid pada idealisme tertentu. Kolaborasi ini dapat dilakukan antar-talent atau pada proyek/portofolio di mana TV berinvestasi.

“Bagaimanapun, kami punya bisnis inti di industri hiburan yang punya spirit mengelola talenta atau orang. Kami terbiasa pada fleksibilitas mengolah program kerja. Karena itu, dalam konteks calon investee, kami harap pemilik bisnis juga terbuka untuk mengkolaborasikan bisnis ke industri hiburan,” tambahnya.

Sumber pendanaan

TV akan menggunakan dua model pendanaan, yakni (1) pemberian modal bagi bisnis yang sudah well-established dan sedang fundraise, serta (2) pendanaan, pendampingan manajerial, dan dukungan dari sisi operasional, campaign, hingga sponsorship. Khusus pada model kedua, TV berfokus pada investasi di sektor riil, seperti brand, komunitas, atau startup dengan proyek spesifik.

“Proses transfer knowledge dan advisory pada pengelolaan bisnis ini adalah pilihan yang kami rasa sangat penting untuk teman-teman pebisnis yang masih merintis,” tutur Yonathan.

Menurut Yonathan, TV tidak memetakan model pendanaan berdasarkan tahapan (stage) startup, melainkan pada kebutuhan dari pemilik bisnis. Adapun, perusahaan induk dapat terlibat dalam pengelolaan manajemen, SDM, atau produk yang dimiliki agar dapat memberikan kontribusi positif bagi perusahaan.

“Kami tidak bisa menyebut nilai investasi yang disiapkan. Namun, untuk tahap awal, kami masih menggunakan sumber pendanaan internal dari Trinity Entertainment Group. Kami tidak menutup kemungkinan bakal menggandeng Limited Partner (LP) yang tertarik [berinvestasi] di sektor ekonomi kreatif dan turunannya di masa depan,” ungkapnya.

Pihaknya mengaku tak hanya mengincar sumber pendapatan baru, tetapi juga membuka berbagai pilihan terhadap investasi usaha atau proyek yang dapat menghasilkan nilai tambah strategis.

Ekonomi kreatif

Tren investasi pada perusahaan rintisan turut diminati sektor hiburan Indonesia. Hal ini salah satunya didorong oleh perkembangan teknologi Web3 yang membuka ruang eksplorasi menarik bagi konten kreator, baik musik, film, video, ilustrator hingga karya fiksi.

Famous Allstars adalah salah satunya yang meminati pengembangan konten kreator di era Web2 dan Web3. Salah satunya adalah rencana mendirikan creator venture dengan mengidentifikasi dua pilar menarik di sektor F&B dan beauty. Famous Allstars merupakan entitas yang menaungi channel-channel konten kreatif popular dan platform yang menghubungkan brand dengan influencer.

Kemenparekraf mencatat nilai ekspor ekonomi kreatif di Indonesia mencapai $23,9 miliar pada 2021, naik dari tahun sebelumnya $18,8 miliar. Pemerintah membidik nilai tersebut dapat mencapai $25,14 miliar di 2022.

Pertamina NRE Alokasikan 7,7 Triliun Rupiah untuk Investasi ke Startup Energi

PT Pertamina melalui anak usaha Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) akan mengalokasikan dana sebesar $500 juta atau sekitar 7,7 triliun Rupiah untuk investasi startup di sektor energi. Inisiatif Energy Fund ini akan dikelola bersama MDI Ventures.

Dilansir dari DealStreetAsia, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mengungkap bahwa dana tersebut akan dialokasikan untuk investasi selama lima tahun. “Kami harap akan lebih banyak investor bergabung [pada dana kelolaan ini],” ujarnya.

Dalam pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Energy Fund merupakan satu dari tiga dana kelolaan yang diresmikan oleh Kementerian BUMN pada September 2022 di ajang BUMN Startup Day. Peluncuran ketiga dana kelolaan ini disepakati melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA).

Adapun, dua dana kelolaan lainnya disuntik oleh disuntik dari PT Bio Farma (Bio Health Fund) dan PT Pupuk Indonesia (Agri Fund). Ketiga dana kelolaan ini akan menjadi kendaraan investasi pada startup tahap early hingga growth di vertikal terkait.

Kepada DailySocial.id, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan pembentukan dana kelolaan ini tak semata untuk mendapat capital gain, tetapi juga membawa sinergi, produk baru, ke induk usaha. “Investasi [tiga dana kelolaan] ini menyasar tahap seed sampai seri B dan C, tetapi ini vertical-focused ya. Berbeda dengan Merah Putih Fund yang fokus pada startup soonicorn,” ungkap Donald.

Dalam keterangan resminya, Direktur SDM dan Penunjang Bisnis Pertamina NRE Said Reza Pahlevy mengatakan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi. Sektor yang diincar oleh Pertamina antara lain low carbon solutions, energi baru dan terbarukan (EBT), dan masa depan di sektor energi.

“Transisi energi membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Kolaborasi Pertamina NRE dengan MDI Ventures yang didukung oleh Kementerian BUMN membuka peluang pendanaan bagi perusahaan rintisan yang memiliki semangat yang sama untuk mengembangkan energi bersih,” tuturnya seperti dikutip dari CNN.

Ekosistem startup energi

Pada tulisan feature kami tiga tahun lalu mengenai gelombang startup energi, dikatakan bahwa antusiasme pelaku startup di sektor ini mulai bangkit. Namun, pelaksanaannya memang masih sulit karena sejumlah faktor. Misalnya, investasi di sektor ini membutuhkan modal besar, tetapi lama untuk bisa menghasilkan keuntungan. Belum lagi anggapan produk masih mahal, seperti panel surya.

Sejak beberapa tahun terakhir, iklim investasi startup mulai ramai mengarah pada sektor hijau, energi salah satunya. Investor mulai berfokus pada pendanaan berdampak (impact) tak hanya sosial, tetapi juga lingkungan. Bahkan Pemerintah menggerakkan BUMN hingga perusahaan teknologi besar untuk terlibat dalam mendorong perkembangan ekosistem energi terbarukan.

Saat ini, sejumlah startup yang fokus pada energi terbarukan di Indonesia antaranya adalah SolarKita, Xurya, Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor) hingga automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi. Sementara, SolarKita menawarkan layanan end-to-end dari konsultasi terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hingga survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS.

SolarKita salah satunya disuntik oleh lembaga non-profit New Energy Nexus yang fokus pada pendanaan, program, dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Juga berdiri sebagai organisasi non-profit Achmad Zaky Foundation (AZF) juga fokus terhadap investasi di sektor impact.