BTN Gandeng Reliance Group dan D3 Labs Lakukan Tokenisasi Aset Properti dengan Blockchain

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) telah mempelopori inisiatif tokenisasi aset properti di Indonesia melalui skema Dana Investasi Real Estat (DIRE) berbasis teknologi blockchain. Inovasi ini tidak lepas dari kolaborasi strategis dengan Reliance Group dan D3 Labs, yang menyediakan teknologi blockchain untuk tokenisasi aset digital. Kolaborasi ini bertujuan untuk memperluas akses investasi properti bagi investor domestik maupun internasional.

Direktur Risk Management BTN Setiyo Wibowo menjelaskan bahwa BTN sangat mendukung inovasi teknologi di sektor keuangan. Melalui kerja sama ini, BTN akan menyediakan aset properti yang memenuhi kriteria untuk menjadi underlying DIRE yang kemudian ditokenisasi.

“Kami bermitra dengan Reliance Group dan D3 Labs untuk mengelola dan melakukan tokenisasi DIRE. Hal ini akan membuka peluang investasi properti yang lebih luas,” ungkap Setiyo.

Produk DIRE sendiri telah diatur sejak 2017 berdasarkan Peraturan OJK No. 64/POJK.04/2017 tentang Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Melalui kolaborasi ini, institusi penerbit DIRE seperti BTN akan memperoleh manfaat pendanaan baru, insentif pajak, dan likuiditas aset. Sementara itu, investor akan mendapatkan keuntungan berupa alternatif investasi properti yang terjangkau, perlindungan terhadap inflasi, dan transparansi.

Hingga saat ini, hanya ada enam produk DIRE yang diterbitkan di pasar modal dalam negeri. Akhabani dari Reliance Group mengungkapkan, “Kolaborasi ini memungkinkan pasar investasi menjadi lebih luas dan transaksi lebih mudah. Tokenisasi DIRE dapat menarik lebih banyak investor dengan memperluas basis pasar.”

Co-Founder & CEO D3 Labs Tigran Adiwirya, menambahkan bahwa Indonesia kini menjadi daya tarik bagi investor global. Realisasi penanaman modal asing (PMA) mencapai $946,4 juta atau sekitar Rp14,19 triliun pada akhir kuartal pertama 2024. Adopsi teknologi blockchain untuk tokenisasi aset keuangan mengalami pertumbuhan signifikan, dengan tokenisasi DIRE global mencapai $178 juta pada September 2023, tumbuh sekitar 90% dari tahun sebelumnya.

“Kami berkomitmen untuk membantu lembaga jasa keuangan mengembangkan produk dan layanan inovatif dengan keamanan, transparansi, dan akuntabilitas,” ujar Tigran.

Lebih lanjut, Setiyo menjelaskan bahwa pengembangan tokenisasi DIRE akan dilakukan melalui Sandbox atau uji coba bersama OJK yang dilakukan oleh Reliance Group dan D3 Labs. “Investor akan membeli DIRE yang ditawarkan oleh Reliance Group dan unit penyertaannya akan dikonversi menjadi token digital oleh D3 Labs, memperluas pasar hingga ke luar negeri,” tambahnya.

Disclosure:

  • D3 Labs adalah portofolio DS/X Ventures, lengan investasi DailySocial Group
  • Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Manfaatkan Platform Digital, Strategi BTN Mudahkan Generasi Muda Miliki Rumah

Generasi muda semakin sulit memiliki hunian akibat laju peningkatan upah minimum kerja kalah jauh dengan kenaikan harga properti. Isu besar ini menjadi pekerjaan rumah para pemangku kepentingan untuk menyelesaikannya karena angka backlog relatif masih tinggi.

Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), angka backlog mencapai 9,9 juta unit pada 2023. Angka ini tergolong turun dari tahun sebelumnya sebesar 12,75 juta unit pada 2020. Backlog adalah jumlah perumahan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hunian yang belum terpenuhi.

Lebih lanjut dari sumber yang sama menyampaikan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian layak masih cukup tinggi, yakni sebesar 26,9 juta rumah tangga pada 2023, meskipun sudah turun dari 29,4 juta pada 2020.

Penurunan suku bunga KPR non subsidi dan memperpanjang jangka waktu KPR nonsubsidi dari 20 tahun menjadi 30 tahun dapat menjadi solusi untuk mengatasi backlog perumahan. Langkah inilah yang ditempuh BTN sebagai bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR) lewat peluncuran produk KPR BTN Gaess for Millenial sejak 2018. Produk ini dikhususkan untuk generasi muda di segmen KPR nonsubsidi.

Produk ini memungkinkan nasabah bisa membayar bunga kredit selama dua tahun tanpa perlu membayar uang muka (DP) 0%. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi, usia debitur mulai dari 21-35 tahun, memiliki penghasilan tetap, suku bunga mulai dari 4,47% selama dua tahun, dan tenor mulai dari 20 tahun (KPA) sampai 30 tahun (KPR).

Kelebihan tersebut memungkinkan generasi muda untuk memilih rencana pembayaran yang sesuai dengan kemampuan keuangan mereka.

“Rata-rata usia debitur yang mengambil kredit di Bank BTN terbanyak dari generasi milenial (usia 21-30 tahun) sebanyak 41%, kemudian usia 30-40 tahun (40%), dan di atas 40 tahun (19%). Usia produktif ini akan memegang peranan penting di BTN,” ucap DRM Business Kantor Wilayah 3 PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Carly Tambunan saat media gathering di Bali, pekan lalu (26/4).

Carly menjelaskan pengajuan KPR Gaess dapat dilakukan melalui situs resmi BTN Properti. Situs ini punya tiga fitur utama: marketplace untuk listing proyek perumahan dari pengembang yang sudah bekerja sama dengan BTN di seluruh Indonesia; sumber informasi; dan pengajuan KPR online.

Di fitur marketplace, pengunjung dapat melihat listing unit stock, harga, profil developer, dan 4D tour service. Sementara untuk fitur KPR online, sudah terintegrasi dengan sistem e-loan BTN dan petugas BTN yang terdedikasi.

Dalam data terakhir per Agustus 2023, situs BTN Properti telah dikunjungi sekitar 30 juta pengunjung, dengan jumlah pengajuan KPR lebih dari 17 ribu pengajuan. Dari jumlah pengajuan tersebut, total kredit yang disalurkan melalui BTN Properti sekitar Rp1,3 triliun.

BTN juga telah bekerja sama dengan lebih dari 7 ribu mitra pengembang. Lewat kemitraan tersebut, pengunjung dapat memilih berbagai jenis hunian yang dapat dipilih, baik sebagai tempat tinggal maupun untuk investasi.

Kendati harga rumah mendaki, berdasarkan laporan BTN, KPR komersial pada 2021 tetap melesat 39,92% menjadi Rp135,69 miliar dan trennya terus menanjak hingga 2023 mencapai Rp227,57 miliar atau naik 24,12% yoy. Kemudian per kuartal I 2024, penyaluran KPR BTN tercatat Rp61,56 miliar.

Adapun pada Maret 2024, harga rumah di Kota Denpasar menjadi yang tertinggi secara tahunan dibandingkan kabupaten/kota se-Indonesia. Kenaikannya mencapai 20,1% jelang akhir 2023 lalu berdasarkan Flash Report Rumah123.com. Denpasar menjadi salah satu wilayah paling konsisten dalam pertumbuhan harga hunian, selain Bogor. Denpasar mencatat selisih pertumbuhan harga di atas laju inflasi tahunan sebesar 10,2%.

Perencana Keuangan dari Lintar Financial Agus Helly yang turut hadir dalam media gathering menyarankan agar generasi muda yang akan mengajukan KPR untuk mulai menetapkan tujuan. Apakah kebutuhan atau keinginan. Kemudian, melakukan perencanaan anggaran.

“Cari tahu kebutuhannya apakah beli atau sewa. Jika memungkinkan, bisa memanfaatkan dukungan dari pemerintah, seperti subsidi,” tutur Agus.

Selanjutnya, mereka juga bisa mempertimbangkan opsi kolaborasi dengan pasangan bagi mereka yang merencanakan menikah atau berumah tangga. Apabila masih belum mencukupi, maka mereka bisa meningkatkan keahliannya untuk mencari tambahan pendapatan.

Batal Dirikan CVC, BTN Gaet Mandiri Capital Bentuk Dana Kelolaan Rp400 Miliar Khusus Proptech

Bank Tabungan Negara (BTN) menggandeng Mandiri Capital Indonesia (MCI) membentuk dana kelolaan khusus pendanaan ke startup di bidang mortgage dan proptech. Saat ini proses perizinan untuk dana kelolaan ini masih menunggu persetujuan OJK.

BTN menjadi investor tunggal untuk BTN Fund ini dan menyiapkan dana investasi berkisar Rp200 miliar-Rp400 miliar. BTN akan masuk untuk berbagai tahapan investasi untuk startup yang memiliki bisnis di Indonesia dan bergerak di proptech, mortgage tech, fintech, embedded finance, construction tech, open finance, SaaS, dan sektor strategis lainnya yang sejalan dengan bisnis utama mereka.

“Dalam visi BTN menjadi The Best Mortgage Bank in Southeast Asia, salah satu inisiatifnya bagaimana kita mengembangkan bisnis yang mendukung sektor perumahan. ASEAN mortage sangat prospektif dan untuk go digital di area mortgage, digital payment, dan ekosistemnya kita enggak bisa grow secara organik. Jadi perlu akselerasi lewat partnership,” ucap Direktur Risk Management Bank BTN Setiyo Wibowo saat peresmian kerja sama BTN dan MCI di Jakarta, Rabu (6/12).

Menurut Setyo, perizinan dari OJK biasanya memakan waktu antara tiga sampai enam bulan. Bila tidak ada aral melintang, investasi ke startup akan dimulai setelah mengantongi izin. Rencananya untuk dana kelolaan tersebut, BTN dan MCI akan menyuntik 10-20 startup. “Yang terpenting startup punya operasional di Indonesia,” tambahnya.

Dalam menilai calon portofolionya, BTN akan melihat prospek, model bisnis, dan solusi yang unik ditawarkan oleh startup, sejalan dengan bisnis BTN. Tidak hanya investasi, startup tersebut nantinya dapat mengintegrasikan layanannya dari BTN, baik dari sisi transaksi, kanal penjualan, hingga percepatan
proses bisnis.

“Setelah itu kita lihat orangnya [founder] dan lihat bagaimana chemistry-nya. Jadi kita tidak harus melihat startup itu sudah untung atau belum.”

Direktur Investasi MCI Dennis Pratistha menyampaikan, BTN Fund dapat menjembatani kebutuhan BTN untuk transformasi digital di perseroan, sekaligus bentuk partisipasi di ekosistem mortage dan proptech secara lebih besar. “BTN dapat meningkatkan NIM, fee-based income, dan cost efficiency dan improvement. BTN akan menjadi investor strategis bagi startup yang dinilai bisa memberikan nilai tambah,” imbuh Dennis.

Di Mandiri Group, misalnya, MCI melakukan investasi untuk startup pengembang POS iSeller pada 2020. Pada waktu itu, iSeller sudah menjaring 19 ribu merchant. Pertumbuhannya signifikan hingga pada awal tahun ini, jumlah merchant naik jadi 35 ribu. Kemitraan juga dijalin bersama Bank Mandiri untuk program Livin’ Merchant, hingga akhirnya jumlah merchant terdongkrak jadi 1,2 juta hingga saat ini.

Batal dirikan CVC

Dalam kesempatan yang sama, Setyo sekaligus mengonfirmasi bahwa BTN batal untuk mendirikan corporate venture capital (CVC) sendiri. Alasannya dikarenakan setelah ditinjau, opsi yang paling cepat dan masuk akal untuk segera beroperasi adalah membentuk dana kelolaan bersama mitra.

“Kalau buat VC izinnya lebih sulit, perlu didukung juga oleh talenta yang spesialis di area ini. Setelah di-review, paling kecil risikonya dan impact positif lebih baik buat BTN akhirnya lewat membuat fund.”

Sebelumnya, wacana BTN untuk membentuk modal ventura sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Kandidat yang akan diakuisisi adalah Sarana Papua Ventura adalah anak usaha PT Bahana Artha Ventura, yang merupakan anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero).

Rencana tersebut bahkan sudah mendapat persetujuan dari pemegang saham RUPSLB BTN pada Agustus 2019.

Technology Roles to Help Millennials’ Housing Problem

The Ministry of Public Works and Public Housing (PUPR) estimates that 81 million people of the millennial generation – born between 1980 and 2000 – are yet to own a house. The amount is equivalent to 31% of the population in Indonesia.

In the middle of last year,  there was a plan to divide a special mortgage scheme into three groups based on age. First, for ages 25-29 years, cost relief is provided for flats or rental apartments.

Second, for those aged between 30-35 years in the form of subsidies. Finally, people at the age of 35 years above, with a permanent job and an apartment fit to salary, on how to make it feasible and comfortable. The government sent representatives to learn about the concept of millennial housing in South Korea.

To date, everything is still a discourse. On the other hand, the rise in property prices was not followed by an increase in the Regional Minimum Wage (UMR).

Improving purchasing power can actually be performed by the central bank by giving allowance to the loan to value (LTV) for Home Loans (KPR). However, banks do not necessarily apply it to consumers. There have been adjustments, even months, since allowance has been granted.

Within that period of time, can it be guaranteed that the consumer purchasing power remains?

Housing
Images of Free-Photos from Pixabay

Complex and conventional process

The longer we delay to buy means the harder it will be to catch up. Although deciding to buy a house, for most people, is not simple math. In terms of humans, besides pricing, there are many considerations in terms of location, how close to public transportation, main roads, facilities around the house, and many more.

People are getting aware that buying a house in Jakarta is impossible. Therefore, they decided to go to the surrounding cities.

Everybody knows that the process of buying a house, especially through the KPR is quite complicated, time-consuming, and cost much. Without any other options offered besides compromised and following the entire procedure.

There is a booking fee required for collateral to buy a house so the agent does not sell the selected house to another party while waiting for the mortgage process to finish. The amount of value varies depending on the developer, starting from Rp500 thousand for low-cost housing, up to Rp25 million for luxury housing. When the purchase occurs, booking fees can reduce the purchase price.

Furthermore, paying appraisal to the bank or a third party appointed by the bank for assessment and pricing. It’s similar to booking fees and the value varies. Unfortunately, appraisal money will be forfeited when the KPR submission is rejected.

Appraisal is an important phase because there is an estimate of house prices. There are a number of considerations that have caused the KPR application to be rejected, for example, the location is not ideal, near a cemetery, garbage disposal, or high-voltage electricity pole. This component can decrease housing prices.

Unfortunately, when you reach this phase and the KPR application is rejected, the money will be forfeited because each bank has its own assessment. Therefore, you have to pay another appraisal to different banks. This phase takes time, you must consider the deadline for booking fees.

The entire financial data of prospective buyers will be checked thoroughly by BI Checking, whether there’s a record of bad credit, the bank would be reluctant to provide loans. After this phase, a feasibility creditor analysis will enter. The bank will survey the prospective creditor’s workplace, check the account, and the employment status when taking non-subsidized KPR.

Whether you are a permanent employee, the assessment do not stop there. When you’ve been working under a year, there might be some obstacles. When you make it, there must be additional prerequisites. For example, submitting a letter of employment from the previous office.

Mediana, a private employee, admitted her expectation to buy a house for the last few years. He realized that it was time to turn her salary into assets, especially her parents are getting old. She gets more excited when the support came from his work environment.

“Well, it’s kind of will and not willing to go abroad, it’s no longer to spend money on traveling. Honestly, it’s partly influenced by friends. My mind was not 100% ready yet. Pretty stressful,” she told DailySocial.

Through so much discussion, she finally made it. She decided to buy a house not far from the office and still reachable via CommuterLine. Medio 2017, Mediana started to collect down payment (DP) by 30% of the house price of Rp437 million. She withdraws all personal savings and supported by parents for DP.

The credit agreement starts in May 2018. At that time, the mortgage installments begin. She happened to use BTN for the KPR because the housing developer was a partner of the state-owned bank.

“Also, Indonesia’s economic growth was slowing down that year, therefore, the interest rates were lower for smaller installment.”

Starting from finding a house, KPR facilities, everything was done manually. In fact, she didn’t use any technology because she thought it didn’t offer the right solution. Mediana visited the location randomly, there are several places she had visited.

The suffer of having a house

Mediana’s story is quite relevant to the global research released by HSBC with Kantar TNS. This research stated about 36% of millennials who already own houses in various parts of the world, get financial assistance from their parents.

In Canada, the portion is similar to global figures, which is 37%. In the United Arab Emirates, the figure is much greater, at 50%. France is in the lowest order, only 26% of millennials buy houses with the help of their parents.

This research involved 9,009 respondents from nine countries, namely Australia, Canada, China, France, Malaysia, Mexico, the United Arab Emirates, United Kingdom, and the United States.

As many as 70% of millennials in China already have houses, placing this country the highest of the eight other countries. In the US, the figure is only 35%. While in Australia, the figure is much smaller, which is 28%.

More than half of respondents said they were willing to cut down on lifestyle costs and have fun in order to have a home. They are willing to reduce hanging out in cafes or shopping for clothes. Not only saving, they are also willing to undergo various sufferings in order to be able to buy a house.

As many as 21% of millennial said they were forced to postpone having children. As many as 33% choose a house that is much smaller than desirable. Then, 18% of millennials are willing to buy a house that is not so desirable, for example too far from the place of work. In fact, there are 21% of millennial states that they rent out some rooms to help pay the installments.

Observing prop-tech development

Technology is designed to make decisions easier. The same thing also applied when buying a property that should be assisted with technology. How is the development of technology for property today?

From the startup realm, there are now several players who focus on property technology or well-known as proptech. It is defined as the use of information technology to facilitate exploration, purchase, sale, and management of the real estate.

When translated into business languages, it includes property listings, virtual reality platforms, rentals, and property funding. Almost all proptech verticals are present in Indonesia, mostly on listings, rentals, and funding.

In terms of listings, there are Lamudi, Travelio, Rumah123, 99.co, and Rumah.com. Each player began to enter another vertical, for example, Travelio which helps property owners’ management. Rumah.com provides a mortgage calculator to help simulate and additional information to enrich users’ insights.

Meanwhile, in terms of funding there are CicilSewa and Gradana, both of which focus on property financing. CicilSewa offers the concept of paying rent property on a monthly basis, whether for a house, shop, or apartment. The problem they want to solve is having to pay rent in advance for a year or two.

While Gradana utilizes the p2p lending scheme for non-bank mortgage loans, including loans to make a down payment when applying for a mortgage. This solution is considered revolutionary, given the fairly high risk.

Through one of its products, GraStrata, the tenor is available for up to 20 years. As one of the steps in risk management, the company requires borrowers to plant a deposit of 2% of the loan value and will be returned after paying it off.

The solution provided by Proptech startup is quite a relief because they are able to answer the pain points that continue to haunt prospective home buyers. However, what about banking?.

Take an example of a BTN red plate bank. It was designated by the state to focus on housing finance. So it’s natural, all of its products are specifically designed to make it easier for customers to make mortgage payments.

Their commitment to improving business through technology should be appreciated, also ambitious. BTN developed the concept of Proptech through the BTNProperty site and application. Available menu options for property search, submission, consultation, to search for professional services ranging from architects, consultants, notaries, interior design, roofers, gardens, roofs, buildings, and personal BTN agents.

The application also provides a mortgage calculator to calculate the down payment and monthly installments on a mortgage plan or calculate the maximum property price that can be purchased from total customer income. Even there, you can apply for a BTN KPR, claimed the process is only 10 minutes.

BTN has quite diverse mortgage products, there are new mortgages / KPA, Mortgage Mortgages, Secondary Mortgages, Take Over Mortgages, Lightweight Loans, and Gaeess Mortgages which are specifically for millennial customers. KPR Gaeesss was released since October 2018 targeting millennials aged 21-35 years. Advances start at 1%, free of admin fees, a fixed interest rate of 8.25% for two years, a 50% discount, and various tenor up to 30 years.

The concept of BTN Property offered by BTN is quite interesting. The abundant data bank is actually very useful for increased utilization in order to mix the products needed by customers. The more relevant the solutions offered from the solutions offered.

“In our opinion, this is a serious problem. There is a gap between the current housing sector and developments in society, where the productive age is now increasingly dominated by millennials who are slightly different in habit and service needs. We as the main players [in housing finance] must understand very well with this condition, “said BTN President Director Pahala N Mansury as quoted by WartaEkonomi.

Proptech players in Indonesia

Expectation for the Government

Banking products such as those offered by BTN can be a silver lining for financial access in the Kiwari generation. But the real hot ball is in the hands of policymakers. Strict regulation is the key to show the government’s support for the current generation to have affordable housing in terms of price and distance.

Property observer, Alviery Akbar explained that currently the central and regional governments still own the largest land area in the city. That is why further intervention on this issue can only be made through regulation. The Associate Director of Residential Sales & Leasing at Colliers International Indonesia said that strict regulations are the key to affordable housing not being undermined by speculators.

“Therefore, you need to intervene through government regulations specifically to create housing for the younger generation with very strict requirements to avoid investors/speculators. The role of banks that provide KPA / KPR can be intervened by selecting buyers according to specified requirements,” Alviery said.

The DKI Jakarta Regional Government has given an example of how regulatory intervention is needed to solve problems in the property sector. This is reflected when Governor Anies Baswedan signed Governor Regulation Number 132 of 2018 concerning Management of Owned Apartment Management in late 2018. Through this regulation, the government patches legal loopholes that are often played by developers through the withdrawal of fees or other management.

Plans on paper are always easier than they are implemented and compiling policies will always coincide with political interests. If local and central governments decide to make housing affordable for the younger generation, Alviery said the government must find another way for some residents who might lose their homes due to government projects such as people living on riverbanks or those affected by infrastructure development.

Relying on the private sector is like a longing for the moon. The high-price land and the very commercial character of property developers are the main reasons behind the absence of property price under Rp500 million built by private developers.

“Every inch of land is very valuable even if you have to build a residence, it is more profitable for the upper-middle market that will bring maximum profit,” Alviery added.

Despite the government’s role, technology in the property industry continues to develop. Even though they are yet to solve the main problem, the Kiwari generation can at least utilize the current technology to obtain credit or simply access essential information before buying a residence offered by some prop-techs and BTN.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pemanfaatan Teknologi untuk Bantu Milenial Miliki Rumah

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengestimasi ada 81 juta orang dari generasi milenial –yang lahir antara tahun 1980 sampai 2000– belum memiliki rumah. Jumlah tersebut setara 31% populasi di Indonesia.

Pada pertengahan tahun lalu sempat ada wacana penyediaan skema KPR khusus menjadi tiga kelompok berdasarkan usia. Pertama, untuk usia 25-29 tahun keringanan diberikan untuk rumah susun atau apartemen sewa.

Kedua, usia 30-35 tahun dalam bentuk subsidi. Terakhir, usia di atas 35 tahun, kalau mereka sudah punya pekerjaan tetap dan apartemen sesuai gaji, ini yang akan digodok bagaimana bisa lebih layak dan nyaman. Pemerintah mengirim perwakilannya untuk belajar mengenai konsep hunian milenial di Korea Selatan.

Hingga saat ini semua masih sekadar wacana. Di sisi lain, kenaikan harga properti, tidak diimbangi dengan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR).

Menggeliatkan daya beli sebenarnya bisa dilakukan oleh bank sentral dengan melonggarkan plafon pemberian kredit atau Loan to Value (LTV) bagi Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Meskipun demikian, bank tidak serta merta menerapkannya ke konsumen. Ada penyesuaian, bahkan sampai berbulan-bulan, sejak pelonggaran diberikan.

Apakah bisa dijamin dalam kurun waktu tersebut daya beli konsumen tetap ada?

Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

Proses ruwet dan konvensional

Semakin menunda keputusan untuk membeli berarti akan semakin susah untuk mengejar. Padahal keputusan membeli rumah, buat sebagian besar kalangan, bukanlah perkara mudah. Dari sisi manusianya itu sendiri, selain harga, ada banyak pertimbangan dari segi lokasi, seberapa dekat dengan transportasi umum, jalan utama, fasilitas di sekitar rumah, dan masih banyak lagi.

Sudah banyak yang sadar bahwa membeli rumah di Jakarta adalah mustahil. Oleh karenanya, pilihan jatuh ke kota satelit sekitarannya.

Tidak ada yang tidak tahu, bahwa proses membeli rumah, apalagi lewat KPR begitu ruwet, menyita waktu, dan biaya. Lantaran tidak ada opsi lain yang ditawarkan selain legowo dan mau mengikuti seluruh prosedurnya.

Ada booking fee yang harus dibayar untuk bukti keseriusan pembeli untuk membeli rumah agar agen tidak menjual rumah pilihan ke pihak lain sembari menunggu proses KPR selesai. Besaran nilainya bervariasi tergantung pengembangnya, mulai dari Rp500 ribu untuk hunian murah, sampai Rp25 juta untuk hunian mewah. Jika pembelian terjadi, booking fee dapat mengurangi harga pembelian.

Berikutnya adalah membayar appraisal ke pihak bank atau pihak ketiga yang ditunjuk bank untuk melakukan penilaian dan penaksiran harga rumah yang ingin dibeli. Sama seperti booking fee, nilainya bervariasi. Sialnya, uang appraisal akan hangus ketika KPR ditolak bank.

Appraisal adalah fase penting karena ada penaksiran harga rumah. Ada sejumlah pertimbangan yang menyebabkan pengajuan KPR ditolak, misalnya lokasi yang tidak ideal di tusuk sate, dekat kuburan, pembuangan sampah, atau tiang sutet. Komponen ini bisa membuat nilai rumah menjadi rendah.

Sialnya lagi, kalau di fase ini pengajuan KPR ditolak, uang akan hangus karena tiap bank punya penilaian masing-masing. Artinya, harus membayar appraisal lagi jika mencoba ke bank yang berbeda dari percobaan pertama. Fase ini memakan waktu, makanya tenggat waktu booking fee juga harus diperhitungkan.

Seluruh data keuangan calon pembeli akan dilihat historinya dari BI Checking, jika ada catatan kredit macet, bank pasti enggan memberikan pinjaman. Setelah fase ini terlewat, akan masuk analisis kelayakan calon kreditur. Bank akan survei ke tempat kerja si calon kreditur, memeriksa rekening koran, dan status kepegawaian apabila mengambil KPR non-subsidi.

Sudah jadi karyawan tetap pun, urusan belum selesai. Jika masa kerja di bawah setahun, prosesnya kemungkinan besar terhambat. Kalau sampai diloloskan, ada prasyarat tambahan. Misalnya mencantumkan surat kerja dari kantor sebelumnya.

Mediana, karyawati swasta, mengaku tekadnya untuk beli rumah sudah ada sejak bertahun-tahun lalu. Ia sadar bahwa sudah saatnya mengalihkan gajinya untuk membeli aset, terlebih kondisi orang tua yang semakin berumur. Tekadnya semakin bulat ketika dorongan datang dari lingkungan kerjanya.

“Jadi ya semacam rela enggak rela enggak ke luar negeri, sudah saatnya enggak abisin uang buat travelling. Tapi jujur ini karena dipengaruhi teman-teman. 100% mentalku saat itu belum siap. Lumayan stres,” tuturnya kepada DailySocial.

Setelah melalui banyak diskusi, tekadnya terwujud. Ia memutuskan untuk beli rumah dengan lokasi yang tidak jauh dari kantor dan minimal terjangkau dengan rute KRL. Medio 2017, Mediana mulai mengumpulkan uang muka (DP) sebesar 30% dari harga rumah Rp437 juta. Ia mencairkan semua tabungan pribadi dan dibantu orang tua untuk membayar DP.

Akad kredit dimulai pada Mei 2018. Pada saat itulah, cicilan KPR dimulai. Kebetulan ia memanfaatkan BTN untuk KPR-nya karena pengembang rumah yang ia pilih adalah mitra dari bank pelat merah tersebut.

“Kebetulan tahun itu pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang slow down, jadi bunganya lebih rendah demi cicilan lebih ringan.”

Mulai dari proses mencari rumah, fasilitas KPR yang mau ia ambil, sepenuhnya dilakukan secara manual. Alias tidak menggunakan teknologi karena menurutnya belum benar-benar memberikan solusi yang tepat. Mediana mengunjungi langsung ke lokasi rumah secara acak, terhitung beberapa tempat ia sambangi.

Penderitaan memiliki rumah

Cerita Mediana cukup relevan dengan riset global yang dirilis HSBC bersama Kantar TNS. Riset ini menyatakan sekitar 36% milenial yang sudah memiliki rumah di pelbagai belahan dunia, mendapatkan bantuan finansial dari orang tua masing-masing.

Di Kanada, porsinya mirip dengan angka global, yakni 37%. Di Uni Emirat Arab, angkanya jauh lebih besar, yakni 50%. Perancis ada di urutan terendah, hanya 26% milenial yang beli rumah dengan bantuan orang tuanya.

Riset ini melibatkan 9.009 responden dari sembilan negara, yakni Australia, Kanada, Tiongkok, Perancis, Malaysia, Meksiko, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat.

Sebanyak 70% milenial di Tiongkok sudah memiliki rumah, menempatkan negara ini tertinggi dari delapan negara lainnya. Di AS, angkanya hanya 35%. Sementara di Australia, angkanya jauh lebih kecil, yakni 28%.

Lebih dari setengah responden menyatakan rela memangkas habis biaya gaya hidup dan bersenang-senang demi bisa memiliki rumah. Mereka bersedia mengurangi nongkrong di kafe atau belanja pakaian. Tak hanya hemat, mereka juga rela menjalani pelbagai penderitaan demi bisa membeli rumah.

Sebanyak 21% milenial menyatakan terpaksa menunda untuk punya anak. Sebanyak 33% memilih rumah yang jauh lebih kecil dari yang diidamkan. Lalu, 18% milenial rela membeli rumah yang tidak begitu disukai, misalnya terlalu jauh dengan tempat bekerja. Bahkan, ada 21% milenial menyatakan mereka menyewakan sebagian kamar untuk membantu membayar cicilannya.

Melihat perkembangan proptech

Teknologi memang didesain untuk permudah mengambil keputusan. Hal yang sama juga diterapkan saat membeli properti yang sejatinya tidak boleh absen dengan kehadiran teknologi. Bagaimana perkembangan teknologi untuk properti sejauh ini?.

Dari ranah startup, sekarang sudah ada beberapa pemain yang fokus ke properti atau disingkat jadi proptech. Definisi proptech adalah penggunaan teknologi informasi untuk bantu pencarian, pembelian, penjualan, dan pengelolaan real estat.

Bila diterjemahkan ke dalam bahasa bisnis menjadi, listing properti, platform virtual reality, penyewaan, hingga pendanaan properti. Hampir semua vertical proptech sudah hadir di Indonesia, tapi kebanyakan bermain di listing, penyewaan, dan pendanaan.

Di ranah listing, ada Lamudi, Travelio, Rumah123, 99.co, dan Rumah.com. Kendati masing-masing pemain ini mulai masuk ke vertical lainnya, misalnya Travelio yang membantu pemilik properti untuk mengelolanya. Rumah.com menyediakan kalkulator KPR untuk bantu simulasi dan informasi tambahan untuk memperkaya khazanah pengguna.

Sementara itu, di ranah pendanaan ada CicilSewa dan Gradana, keduanya fokus pada pembiayaan properti. CicilSewa menawarkan konsep pembayaran sewa properti secara bulanan, baik untuk rumah, ruko, atau apartemen. Masalah yang ingin mereka selesaikan adalah diharuskan membayar biaya sewa di muka untuk setahun atau dua tahun.

Sementara Gradana memanfaatkan skema p2p lending untuk pinjaman kredit KPR non-bank, termasuk pinjaman untuk membayar uang muka saat mengajukan KPR. Solusi ini bisa dikatakan revolusioner, mengingat risikonya yang cukup tinggi.

Lewat salah satu produknya, yakni GraStrata disediakan pilihan tenor sampai 20 tahun. Sebagai salah satu langkah manajemen risiko, perusahaan mewajibkan peminjam perlu deposit 2% dari nilai pinjaman dan akan dikembalikan setelah melunasinya.

Solusi yang disediakan startup proptech ini cukup melegakan karena mereka mampu menjawab pain point yang terus menghantui para calon pembeli rumah. Bagaimana dengan perbankan itu sendiri?.

Bisa mengambil contoh dari bank pelat merah BTN. Mereka adalah bank yang secara khusus ditunjuk negara untuk fokus ke pembiayaan perumahan. Makanya wajar, segala produknya didesain khusus untuk memudahkan nasabah mengambil cicilan KPR.

Komitmen mereka untuk meningkatkan bisnis lewat teknologi patut diapresiasi dan ambisius. BTN mengembangkan konsep proptech melalui situs dan aplikasi BTNProperti. Tersedia pilihan menu pencarian properti, pengajuan, konsultasi, hingga mencari jasa professional mulai dari arsitek, konsultan, notaris, desain interior, tukang atap, kebun, atap, bangunan, dan personal agen BTN.

Di dalam aplikasi juga disediakan kalkulator KPR untuk menghitung uang muka dan angsuran bulanan rencana KPR, atau menghitung harga properti maksimal yang bisa dibeli dari total pendapatan nasabah. Bahkan di sana, Anda bisa mengajukan KPR BTN, diklaim prosesnya hanya 10 menit saja.

Produk KPR dari BTN di sini cukup beragam, ada KPR/KPA baru, Kredit Agunan Rumah, KPR Second, KPR Take Over, Kredit Ringan, dan KPR Gaeess yang dikhususkan untuk nasabah milenial. KPR Gaeesss dirilis sejak Oktober 2018 menyasar milenial berusia 21-35 tahun. Uang muka mulai dari 1%, bebas biaya admin, suku bunga tetap 8,25% selama dua tahun, diskon provisi 50%, dan tenor hingga 30 tahun.

Konsep BTNProperti yang ditawarkan BTN ini cukup menarik. Bank data yang begitu melimpah sejatinya begitu bermanfaat untuk ditingkatkan utilisasi agar bisa meracik produk yang dibutuhkan nasabah. Semakin relevan pula solusi yang ditawarkan dari solusi yang ditawarkan.

“Menurut kami ini adalah permasalahan serius. Ada gap antara sector perumahan yang ada sekarang dengan perkembangan di masyarakat, di mana usia produktif saat ini semakin didominasi oleh generasi milenial yang secara habit dan kebutuhan layanannya sedikit berbeda. Kami sebagai pemain utama [di pembiayaan perumahan] harus paham betul dengan kondisi ini,” ujar Direktur Utama BTN Pahala N Mansury seperti dikutip dari WartaEkonomi.

WhatsApp Image 2020-02-25 at 15.05.44 (1)

Berharap pada pemerintah

Produk perbankan seperti yang ditawarkan BTN memang dapat menjadi  pemecah kebuntuan akses finansial bagi generasi kiwari. Namun bola panas sejatinya berada di tangan pembuat kebijakan. Regulasi yang ketat menjadi kunci untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah agar generasi muda saat ini bisa memiliki hunian sendiri yang terjangkau dari aspek harga dan jarak.

Pengamat properti Alviery Akbar menjelaskan bahwa saat ini pemerintah pusat dan daerah masih memiliki luas lahan terluas di dalam kota. Itu sebabnya intervensi lebih jauh untuk persoalan ini hanya bisa dilakukan lewat regulasi. Associate Director Residential Sales & Leasing di Colliers International Indonesia itu menyebut regulasi yang ketat merupakan kunci agar hunian yang terjangkau bagi angkatan muda tak dirusak oleh spekulan.

“Jadi kalau mau intevensi melalui peraturan pemerintah yang memang khusus membuat hunian untuk generasi muda dengan persyaratan yang sangat ketat untuk menghindari investor/spekulan.  Peran perbankan yang menyediakan KPA/KPR bisa intervensi dengan menseleksi pembeli sesuai persyaratan yang ditetapkan,” ujar Alviery.

Pemda DKI Jakarta sudah memberikan contoh bagaimana intervensi regulator diperlukan untuk memecahkan persoalan di sektor properti ini.  Hal itu tercermin pada akhir 2018 ketika Gubernur Anies Baswedan meneken Peraturan Gubernur Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik. Melalui pergub ini, pemerintah menambal celah hukum yang kerap dimainkan oleh pengembang lewat penarikan iuran atau manajemen pengelolaan lainnya.

Rencana di atas kertas selalu lebih mudah dari implementasinya dan peracikan kebijakan akan selalu beririsan dengan kepentingan politik. Andai pemerintah daerah dan pusat memutuskan membuat hunian terjangkau untuk angkatan muda, Alviery mengatakan pemerintah harus mencari jalan keluar lain bagi sejumlah penduduk yang terancam kehilangan rumah akibat proyek pemerintah seperti masyarakat yang tinggal di bantaran kali atau mereka yang terdampak pembangunan infrastruktur.

Mengandalkan peran swasta pun seperti pungguk merindukan bulan. Harga tanah yang sangat tinggi dan sifat pengembang properti yang amat komersial adalah alasan paling dasar bahwa tak akan ada properti bernilai Rp500 jutaan yang dibangun oleh pengembang swasta.

“Setiap jengkal tanah yang dimiliki sangat berharga kalaupun harus membangun hunian, lebih menguntungkan untuk pasar menengah ke atas yang akan membawa profit maksimal,” pungkas Alviery.

Terlepas dari peran pemerintah tersebut, teknologi dalam industri properti ini terus berkembang. Meski belum memecahkan pokok permasalahan yang ada, generasi kiwari setidaknya dapat memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk memperoleh kredit atau sekadar mengakses informasi esensial sebelum membeli hunian seperti yang sudah ditawarkan oleh sejumlah proptech dan BTN.

A Kaleidoscope of Strategic Corporate Acts in 2019

The disruptive era has been driven not only by the startup industry. In recent years, a number of large-scale corporations have taken part in developing the digital ecosystem in Indonesia.

Moreover, innovation development within the scope of the corporation or corporate innovation will come back to its main goal, a sustainable business.

The year 2019 highlighted some strategic steps with various instruments, from internal innovation incubation, collaboration with startups, and the rise of venture capitals.

DailySocial summarizes the most engaging corporate actions of some sectors within the year of 2019 as follows:

A synergy of state-owned e-money products

Last year begins with Telkomsel’s e-money service transformation, Tcash, to LinkAja. This is said to be the former SOE Minister Rini Soemarno’s initiative who wants to put state-owned e-money companies altogether into one platform.

Tcash is considered to have the most ready ecosystem at that time than any other SOE e-money, therefore, It was designated as an “embryo” for the LinkAja platform. This is quite a surprising decision since Tcash plans to become an agnostic e-money service and spin off from Telkomsel in the mid-2018.

Meanwhile, LinkAja has been announced and started rolling in February. In fact, it was officially launched in the middle of the year due to the long-await for the integration of all SOE e-money to be completed.

It is to be highlighted that LinkAja is the result of a joint venture of state-owned companies in which 25% of the shares owned by Telkomsel, 20% each for Mandiri, BRI and BNI, BTN, Pertamina with 7%, and Jiwasraya Insurance also involved with 1%.

Prior to this, LinkAja positioned itself as e-money for daily basis. Therefore, this joint venture – to be followed by other shareholders – is considered to fasten the acceleration for the company’s use case, such as transportation and gasoline purchases.

Collaboration and Innovation

Innovation and collaboration between corporations and startups have made the news in 2019. It indicates a number of business sectors have realized the power of inclusiveness towards Indonesia’s digital business development.

As an example, Gojek officially partners with Indonesian Railways (KAI) to support the integration of digital ecosystems and railroad services through orders and payments in one transaction. In this case, Gojek is the first and last-mile provider, while KAI acts as the middle mile provider.

Next, BRI kicked off the market through its collaboration with Traveloka through the “PayLater Card” launching. This co-branding partnership allows users to transact at offline and online merchants in 53 million locations worldwide and receive payments by VISA.

In late 2019, BRI is to increase its digital service portfolio by launching a BRI Ceria virtual credit card that provides loans starting from Rp500 thousand to Rp1 million. The app-based service aims for BRI customers in the underbanked segment.

In terms of telco, Telkomsel initiated another breakthrough by launching the first digital app-based cellular service product by.U. It’s called digital-based for all activities of purchase, registration, and use are fully carried out in the application.

It was internally incubated and developed through MVP, the by.U service has become Telkomsel’s strategic “weapon” to win the market in the digital era. In fact, by.U is targeting gen Z for their digital literacy and unwillingness to be “regulated” for data packages.

The rise of Corporate Venture Capitals

2019 highlights the aggressive penetration of Corporate Venture Capital (CVC). In our observation, there are four new CVCs established to capture great opportunities in the Indonesian digital industry. They include Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi / TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), and Sarana Papua Ventura (BTN).

Furthermore, DailySocial also highlighted Nicko Widjaja‘s transfer from MDI Ventures to be the head of BRI Ventures. Nicko’s appointment as CEO is expected to bring a new success story in the coming year.

Broadly speaking, each CVC targets a different business vertical, depending on the demand and values ​​of the company’s business development. Likewise, the funding stage. For example, TMI is currently aiming for early-stage and BRI Ventures will focus on growth and late-stage startups.

In addition to the CVC, Telkom Group has recently added more to its managed funds by launching the Centauri Fund.  The new strategy is a joint venture between the telco giant with KB Financial Group, which is one of the largest banks in South Korea.

Expecting the next strategic step in 2020

Through the summarize of various corporate actions above, we can draw a common thread that inclusiveness will be the main key for players – whoever are both corporations and startups – in driving the development of the digital ecosystem in the future.

Collaboration will be more aggressive and there are more innovations to arrive. A number of Indonesian corporates have realized the power of innovation and digital transformation. Some of those, such as BRI and Telkomsel, have prepared themselves to start a new chapter in 2020.

Moreover, in line with the more mature startup ecosystem, the VC industry will be more selective for its investment. The investment climate is predicted to increase. However, we are likely to see a decrease in the initial funding.

For some reason, both CVC and VC will be more focused on growth and late-stage funding. Aside from minimizing risk — learn from the previous years — startups must have clear traction, scale-up, and monetizing plans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kaleidoskop Aksi Korporasi Strategis di Sepanjang 2019

Era disruptif sesungguhnya tak hanya didorong oleh industri startup. Faktanya sejumlah korporasi berskala besar turut ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Walau demikian, pengembangan inovasi di lingkup korporasi atau corporate innovation akan kembali mengacu pada tujuan utamanya, yakni kelangsungan bisnis untuk jangka panjang.

Tahun 2019 menandai ramainya sejumlah langkah strategis dengan instrumen bervariasi, mulai dari inkubasi inovasi internal, kolaborasi dengan startup, hingga pembentukan pemodal ventura.

DailySocial merangkum berbagai aksi korporasi menarik dari beberapa sektor industri di sepanjang 2019 berikut ini:

Sinergi besar-besaran e-money BUMN

Tahun 2019 diawali dengan transformasi layanan e-money Telkomsel, Tcash, menjadi LinkAja. Transformasi ini disebut sebagai inisiasi dari eks Menteri BUMN Rini Soemarno yang ingin menggabungkan seluruh e-money milik perusahaan pelat merah ke dalam satu platform.

Tcash dinilai punya ekosistem paling siap saat itu dibandingkan e-money BUMN yang lain sehingga Tcash ditetapkan sebagai “embrio” bagi platform LinkAja. Keputusan ini tentu cukup mengagetkan mengingat di pertengahan 2018, Tcash berencana untuk menjadi layanan e-money agnostik dan spin off dari Telkomsel.

Adapun, LinkAja diumumkan dan beroperasi pada Februari, namun baru diluncurkan secara resmi di pertengahan tahun karena menunggu integrasi seluruh e-money BUMN rampung.

Yang perlu digarisbawahi, LinkAja merupakan hasil kongsi perusahaan BUMN yang saat ini sahamnya dimiliki oleh Telkomsel sebesar 25 persen, Mandiri, BRI, dan BNI yang masing-masing menguasai 20 persen, BTN dan Pertamina 7 persen, serta Asuransi Jiwasraya 1 persen.

Sejak awal, LinkAja memposisikan diri sebagai e-money untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka itu, kongsi ini–dan akan bertambah dengan masuknya pemegang saham lain–dinilai akan memperkuat akselerasi use case yang disiapkan perusahaan, seperti transportasi dan pembelian bensin.

Kolaborasi dan inovasi

Inovasi dan kolaborasi antara korporasi dan startup mewarnai pemberitaan di sepanjang 2019. Ini menandakan sejumlah sektor bisnis telah menyadari pentingnya inklusivitas terhadap pengembangan bisnis digital di Indonesia.

Misalnya, Gojek resmi bermitra dengan Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung integrasi ekosistem digital dan layanan perkeretaapian melalui penerapan pesanan dan pembayaran dalam satu transaksi. Dalam hal ini, Gojek menjadi penyedia first mile dan last mile, sedangkan KAI sebagai penyedia middle mile.

Kemudian BRI menggebrak pasar lewat kolaborasinya dengan Traveloka lewat peluncuran kartu kredit “PayLater Card”. Kerja sama co-branding ini memungkinkan pengguna untuk bertransaksi di merchant offline dan online yang tersebar di 53 juta lokasi di seluruh dunia dan menerima pembayaran dengan VISA.

Di penghujung tahun 2019, BRI kembali menambah portfolio layanan digital dengan meluncurkan kartu kredit virtual BRI Ceria yang menyediakan pinjaman mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta. Layanan berbasis aplikasi ini hanya menyasar nasabah BRI di segmen underbanked.

Dari sektor telekomunikasi, Telkomsel juga membuat gebrakan baru dengan meluncurkan produk layanan seluler pertama berbasis aplikasi digital by.U. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian, registrasi, dan pemakaian sepenuhnya dilakukan di aplikasi.

Diikubasi di internal dan dikembangkan secara MVP, layanan by.U menjadi “senjata” strategis Telkomsel untuk memenangkan pasar di era digital. Maka tak heran, by.U membidik generasi Z yang dianggap sudah melek digital dan tidak mau “diatur” dalam memilih paket.

Corporate Venture Capital paling bersinar

Tahun 2019 menyoroti agresifnya pembentukan Corporate Venture Capital (CVC). Menurut catatan kami, terdapat empat CVC baru yang didirikan untuk menangkap peluang besar di industri digital Indonesia. Mereka antara lain Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi/TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), dan Sarana Papua Ventura (BTN).

Kemudian, DailySocial juga menyoroti kepindahan Nicko Widjaja dari MDI Ventures untuk menakhodai BRI Ventures. Penunjukkan Nicko sebagai CEO diharapkan membawa kisah kesuksesan baru di tahun mendatang.

Secara garis besar, setiap CVC memiliki target vertikal bisnis berbeda, tergantung dengan kebutuhan dan nilai yang diincar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Demikian pula tahapan pendanaan. Misalnya, TMI saat ini membidik early-stage dan BRI Ventures akan fokus terhadap startup di growth dan late stage. 

Selain pembentukan CVC, Telkom Group baru-baru ini juga menambah dana kelolaan dengan membentuk Centauri Fund. Strategi dana kelolaan baru tersebut merupakan hasil kongsi raksasa telekomunikasi ini dengan KB Financial Group, yakni salah satu perusahaan bank terbesar di Korea Selatan.

Menantikan langkah strategis selanjutnya di 2020

Lewat rangkuman beragam aksi korporasi di atas, kami dapat menarik benang merah bahwa inklusivitas akan menjadi kunci utama bagi pemain—siapapun itu baik korporasi dan startup—dalam mendorong pengembangan ekosistem digital di masa depan.

Kolaborasi akan semakin agresif dan inovasi akan terus berdatangan. Sejumlah korporasi di Indonesia sudah menyadari pentingnya inovasi dan transformasi digital. Beberapa di antaranya, seperti BRI dan Telkomsel, telah mempersiapkan diri memulai babak baru di tahun 2020.

Di sisi lain, sejalan dengan semakin matangnya ekosistem startup, industri VC akan semakin selektif dalam memilih pendanaan. Iklim investasi memang diprediksi meningkat. Akan tetapi, kita tampaknya bakal melihat menurunnya fokus pendanaan tahap awal.

Baik CVC atau VC akan mulai lebih fokus membidik pendanaan growth dan late stage karena sejumlah alasan. Selain minim risiko—belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya—startup memang harus memiliki traction, rencana scale up, dan monetisasi yang jelas.

BTN Officially Acquired a Venture Capital Under the State-owned Enterprise

Bank Tabungan Negara (BTN) officially acquired a Venture Capital to support the company’s line of property finance. The company is to obtain a license from OJK for the current plan.

It was decided after today’s shareholder general meeting (RUPSLB) (8/29). The meeting also evaluates employee’s performance during the first semester of 2019 and its management shifting.

“We’re continuing today’s meeting on PMV acquisition to OJK for a license, in order to take this as the company’s strategic business to grow,” BTN’s Corporate Secretary, Achmad Chaerul said in an official release.

BTN acquired PT Sarana Papua Ventura (SPV), an investment arm of PT Bahana Artha Ventura (BAV), which is a subsidiary of PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. The election is expected to be the synergy of state-owned enterprises as mandated by the Ministry.

BAV also has PT Sarana Nusa Tenggara Timur Ventura as a subsidiary which shares are majorly acquired by BRI. They are now rebranding as BRI Ventures head by Nicko Widjaja, which previously led Telkom’s VC, MDI Ventures.

The company has prepared the budget to take over SPV. It’s to be used for VC’s equity and business development up to 90% in advance.

Chaerul said the VC’s management is to focus on the core business of property finance and to increase non-interest revenue in order to increase the company’s credit and profit.

BTN participation lightens up the competition among red-plate companies which currently has its own VC. Of the four state-owned banks, BNI is the only one left.

BNI has spread out the news since last year. The latest is to be announced in 2019. They haven’t decided to create new or acquired the current. BNI ready to invest Rp600 billion to Rp700 billion for this corporate action.

The whole banking plan for VC’s acquisition is partly to keep the shares in Finarya (LinkAja) to stay undiluted.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BTN Resmi Akuisisi Modal Ventura Milik Anak Usaha Pelat Merah

Bank Tabungan Negara (BTN) resmi mengakuisisi perusahaan modal ventura (PMV) untuk dukung bisnis utama perseroan di bidang pembiayaan perumahan. Perseroan akan meminta persetujuan kepada OJK untuk merealisasikan rencana tersebut.

Keputusan ini diambil setelah perseroan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diselenggarakan hari ini (29/8). Dalam RUPS juga dibahas mengenai evaluasi kerja sepanjang semester I/2019 dan perubahan struktur manajemen perseroan.

“Kami akan menindaklanjuti persetujuan RUPSLB hari ini tentang akuisisi PMV untuk kemudian kami mohonkan persetujuan kepada OJK, supaya dapat ditindaklanjuti sebagai langkah strategis bisnis yang dilakukan perseroan dalam pengembangan bisnis,” ucap Corporate Secretary BTN Achmad Chaerul dalam keterangan resmi.

BTN mengakuisisi PT Sarana Papua Ventura (SPV), anak usaha PT Bahana Artha Ventura (BAV), yang merupakan anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero). Pemilihan ini sekaligus diharapkan menjadi sinergi BUMN yang diamanatkan oleh Kementerian BUMN.

BAV sendiri punya anak usaha PT Sarana Nusa Tenggara Timur Ventura yang sudah diakuisisi saham mayoritasnya oleh BRI. Kini di-rebranding menjadi BRI Ventures dan dinakhodai oleh Nicko Widjaja, yang sebelumnya memimpin PMV milik Telkom, MDI Ventures.

Perseroan telah menyiapkan anggaran untuk mengambilalih saham SPV. Dana tersebut akan digunakan sebagai penyertaan modal dan pengembangan bisnis PMV dalam jumlah sebanyak-banyaknya 90% yang akan dilaksanakan secara bertahap.

Menurut Chaerul, pengelolaan PMV akan tetap fokus untuk mendukung bisnis utama perseroan di bidang pembiayaan perumahan dan meningkatkan pendapatan non-bunga, sehingga dapat memperkuat pertumbuhan kredit dan laba perseroan.

Masuknya BTN, tentunya meramaikan peta persaingan perusahaan bank pelat merah yang ramai kini memiliki CVC sendiri. Dari empat bank pelat merah, tinggal BNI saja yang belum resmi.

Pihak BNI sudah berkoar-koar mengungkapkan wacana ini sejak tahun lalu. Pemberitaan terakhir mengatakan BNI akan mengumumkannya pada akhir tahun 2019. Belum diputuskan apakah akan membentuk baru atau akuisisi yang sudah. BNI menyiapkan anggaran Rp600 miliar hingga Rp700 miliar untuk aksi korporasi ini.

Keseluruhan rencana perbankan untuk akuisisi modal ventura ini, salah satunya adalah mempertahankan kepemilikan saham di Finarya (LinkAja) agar tidak terdilusi.

Tcash Officially Merges to LinkAja, Danu Wicaksana Leads Finarya

Friday (2/22), Telkomsel’s e-money service is officially merged into LinkAja. Tcash’s President Director, Danu Wicaksana is appointed to lead the service under PT Fintek Karya Nusantara (Finarya).

In the official release to DailySocial, Wicaksana said there’s no different service from Tcash to LinkAja. Users can use Tcash as per usual.

However, LinkAja will introduce some new features soon. “We’ll be developing some new features of LinkAja in time,” he added.

LinkAja is a QR Code-based payment system to be managed by alliance of four state-owned banks (Mandiri, BNI, BRI, and BTN), Telkomsel, and Pertamina.

After Tcash, server-based e-money platforms under state-owned banks, such as BRI’s My QR and BNI’s Yap!, will merge into LinkAja payment system in early March.

An interesting news arose, Jiwasraya is to involve in LinkAja shareholders. Telkomsel will acquire 25%, followed by BNI, BRI, and Mandiri of 20%. Both BTN and Pertamina will have 7% each, and 1% for Jiwasraya.

Strategy to compete with Ovo and Go-Pay

The plan of state-owned companies to create its own payment system has spread since the late 2018. In fact, rumor has it that they will partner with WeChat Pay and Alipay.

Soon after that, the state-owned alliance announces to launch QR Code-based payment system, LinkAja, in the late January 2019. To date, state-owned companies involved are sealed when it comes to LinkAja’s development in the future.

One that is certain, LinkAja is developed to break Go-Pay and Ovo’s domination in Indonesia.

“It was because Go-Pay and Ovo is strong, it triggers state-owned companies to make synergy. Previously, each company work independently. Mrs. Rini (Ministry of State-owned companies) wants to merge the whole effort to LinkAja,” David Bangun, Telkom’s Digital and Strategic Portfolio Director said, not long time ago.

Based on DailySocial’s Fintech Report 2018, Go-Pay is the most popular with 79.39% of the respondents have tried the app, followed by Ovo at 58.42%, and Tcash 55.52%

Difficult to access

Until this afternoon, LinkAja users still complain about the difficulty to access the app. It has been going on since this morning.

DailySocial has tried to login. The first time, it succeed. The second trial and the next ones did not.

The access is using cellphone number. When logging in, user will receive verification code sent to the cellphone number. Unfortunately, after the verification code entered, it keeps loading and not getting into the app.

In its official release, Wicaksana said the LinkAja system is currently upgrading because the high demand of users. He guarantee the account safety with its balance.

“”LinkAja’s technical team is trying to make it easier for user to acces the app. We’re very sorry for the inconvenience in accessing LinkAja,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian