Indosat Ooredoo Hutchison Rampung Merger, Kejar Inovasi Digital dan Jaringan 5G

Mengawali tahun baru, Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia mengumumkan telah menyelesaikan penggabungan usaha setelah menerima semua persetujuan hukum dan pemegang saham yang diperlukan. Dengan nama baru, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), akan beroperasi dan tetap menjadi perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia dengan ticker ISAT.

Penggabungan dua usaha ini akan menyatukan dua bisnis yang saling melengkapi untuk menciptakan perusahaan telekomunikasi dan internet digital berskala dunia di Indonesia. Perseroan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk bersaing dan memberikan nilai lebih untuk semua stakeholder.

Lebih lanjut, penggabungan usaha ini turut mengubah jajaran direksi perseroan. Vikram Sinha, yang sebelumnya COO Indosat Ooredoo akan memimpin Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) sebagai CEO. Dari Tri Indonesia ada dua yang menjabat di IOH, yakni Muhammad Danny Buldyansyah (Director & Chief Regulatory Officer) dan Nicky Lee Chi Hung (Director & Chief Financial Officer).

Dari jajaran komisaris terdapat Eks Direktur Utama Indosat Ooredoo Ahmad Abdulaziz AA Al Neama dan Eks Direktur Utama Tri Cliff Woo Chiu Man menjadi komisaris bersama Patrick Walujo (Northstar Group). Sementara dari Indosat Ooredoo ada Irsyad Syahroni di posisi yang sama. Eks Menteri Kominfo periode 2014-2019 Rudiantara turut bergabung sebagai Komisaris Independen.

President Director dan CEO Indosat Ooredoo Hutchison yang Ditunjuk Vikram Sinha menyampaikan, perusahaan berada di posisi yang lebih kuat untuk menjadi industri telekomunikasi digital yang paling dipilih di Indonesia serta menjadi pemain penting dalam ekosistem 5G dan transformasi digital bangsa.

“Hari ini menandai dimulainya babak baru yang menarik bagi Indosat Ooredoo Hutchison. Saya merasa terhormat untuk memimpin perusahaan yang bersatu menjadi lebih besar dan lebih kompetitif, dengan didukung oleh pengalaman kelas dunia dan keahlian lokal yang terbukti, dalam upaya untuk menghubungkan dan memberdayakan seluruh masyarakat Indonesia,” ucapnya dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, “Kami akan membangkitkan rasa bangga dari masyarakat Indonesia dengan berkontribusi pada pertumbuhan digital dan ekonomi bangsa seraya mempersiapkan Indosat Ooredoo Hutchison untuk menjadi salah satu perusahaan telekomunikasi paling terpercaya di Asia Tenggara.”

Penggabungan usaha ini tidak berdampak pada pelanggan Indosat Ooredoo Hutchison sebab pelanggan akan terus menerima layanan dan penawaran. Untuk menandai hari pertama setelah merger, perseroan menawarkan bebas menelepon selama sebulan untuk para pelanggan hingga 200 menit sehari.

Mengutip dari Kontan, Director & Chief Strategy & Execution Officer Indosat Ooredoo Hutchison Armand Hermawan mengatakan, merger ini akan memberikan manfaat yang besar bagi seluruh pelanggan. Pasalnya, kekuatan finansial yang dimiliki dapat menjadi amunisi bagi perseroan untuk memberikan layanan yang lebih baik, termasuk meluasnya cakupan dan jaringan.

“Ada peningkatan efisiensi yang didapat karena perusahaan dapat mengalihkan investasi ke daerah-daerah lain, di luar daerah yang sudah padat dengan sinyal kami,” ucap Armand.

Terkait rencana pengembangan 5G, Director & Chief Regulatory Officer Indosat Ooredoo Hutchison Danny Buldansyah menambahkan, gabungan dua usaha ini akan menghasilkan spektrum yang mencukupi agar pergelaran 5G akan jauh lebih baik.

Pengembangan jaringan 5G

Pengamat industri telekomunikasi Moch S. Hendrowijono menuturkan dengan tambahan modal, perseroan memiliki manfaat strategis dengan skala yang lebih besar dan struktur biaya yang lebih efisien, spektrum frekuensi teragregat dan kapasitas, kecepatan dan layanan yang lebih handal.

Kondisi ini membuat perseroan siap melakukan investasi untuk jaringan 5G yang padat modal, sebab terjadi efisiensi di biaya modal untuk memperluas jangkauan. “Penggabungan infrastruktur memungkinkan mereka melakukan perluasan jangkauan dengan biaya modal lebih murah, memanfaatkan infrastruktur yang direlokasi, serta pengurangan duplikasi dalam penggunaan teknologi,” terangnya dikutip dari Kompas.com.

Tanpa banyak investasi, mereka dapat menambah jumlah BTS yang dioperasikan dengan merelokasi BTS yang ada, menjadi kelebihan dibandingkan operator lain. Saat ini BTS ex-Indosat ada sebanyak 235.885 BTS, sebanyak 70.109 buah merupakan BTS 4G, dan BTS ex-Tri ada di lebih 37.000 desa/kelurahan. Ada 18.000 BTS kedua operator yang berdekatan, sehingga bisa direlokasi untuk meluaskan jaringan yang berpotensi menambah jumlah pelanggan.

Bukan tidak mungkin jumlah pelanggan IOH akan mendekati Telkomsel. Sebab sebagai pemegang lisensi modern, IOH berkewajiban melayani seluruh Indonesia, tidak hanya Jawa dan Sumatera saja.

Gencar layanan digital

Setelah sektor digital ditinggal selama beberapa waktu, Indosat mulai gencar melakukan berbagai inisiatif digital. Beberapa yang sudah diluncurkan adalah IMove dan IMBeats. IMove adalah aplikasi wellness yang menawarkan pendekatan holistik untuk kesehatan yang optimal, dimulai dari gerakan, nutrisi, dan kesehatan emosional.

Sementara IMBeats adalah aplikasi streaming musik dengan pustaka musik lebih dari 50 ribu musik dan video klip yang dapat dinikmati. Selain mendengarkan musik secara streaming, pengguna dapat menggunakan aplikasi untuk membuat playlist lagu, menonton cuplikan video klip, hingga membaca berita dari musisi favorit.

Aplikasi konsumer Indosat, yakni myIM3 kini ditenagai dengan berbagai fitur, mulai dari fintech (UCan bersama Bank QNB Indonesia), keagenan (Kios myIM3), streaming video (Vidio, KlikFilm, trueID), e-commerce (iStyle.id), keyboard virtual (Bobble AI), dan gaming (myIM3 Games Club bersama AMK dan Own Games).

Sementara di Tri Indonesia sendiri, sektor digital menjadi fokus perusahaan mengingat bahwa 95% penggunanya didominasi oleh anak muda. Oleh karenanya, perusahaan memosisikan diri sebagai digital lifestyle provider dengan menyediakan beragam produk, mulai dari kartu perdana hingga isi ulang AlwaysOn dan Happy dengan harga hemat, masa aktif panjang, dan dilengkapi dengan produk unlimited internet mulai dari kuota harian hingga paket bundling berbagai aplikasi favorit pelanggan.

Pelanggan dapat mengikuti loyalty program poin BonsTri, berwirausaha bersama Bima Agent, menemukan potensi dalam bermain game dengan H3RO, dan mendapatkan ragam kemudahan dalam bertransaksi digital melalui aplikasi bima+. Produk H3RO dilengkapi dengan teknologi Tri Primeline, yang memungkinkan para pengguna mendapatkan akses prioritas di jaringan kuat 4.5G Pro, pengalaman bebas nge-lag dengan teknologi low latency. Tidak hanya ragam produk H3RO yang dihadirkan, 3 Indonesia juga menyediakan wadah untuk mengasah potensi gaming anak muda melalui H3RO Esports Tournament.

Application Information Will Show Up Here

Indosat and Tri Officially Announces 85.6 Trillion Rupiah Merger

PT Indosat Ooredoo Tbk (IDX:ISAT) officially announced a merger with PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) with an agreed value of $6 billion or 85.6 trillion Rupiah. Through its parent company Ooredoo Group and CK Hutchison, both companies will merge into “Indosat Ooredoo Hutchison”.

Currently, Ooredoo Group owns 65% of Indosat Ooredoo shares through Ooredoo Asia. Through this merger, CK Hutchison will acquire 21.8% of Indosat Ooredoo Hutchison. CK Hutchison will also acquire 50% of Ooredoo Asia by exchanging its 21.8% shares in Indosat Ooredoo Hutchison for 33% in Ooredoo Asia.

The Hong Kong-based telecommunications conglomerate will grab an additional 16.7% in the Ooredoo Group for $387 million or IDR 5.5 trillion. Both parties will have a 50% ownership interest in Ooredoo Asia, which will be named Ooredoo Hutchison Asia, and own 65.6% shares and control over Indosat Ooredoo Hutchison.

In terms of post-merger, Indosat Ooredoo Hutchison will remain listed on the Indonesia Stock Exchange (IDX), with the Indonesian government holding 9.6% of the shares, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia 10.8% of the shares, and the public about 14% of the shares.

Indosat Ooredoo shareholders recommended Vikram Sinha and Nicky Lee as Chief Executive Officer (CEO) and Chief Financial Officer (CFO) at Indosat Ooredoo Hutchison, respectively. Moreover, Ahmad Al-Neama and Cliff Woo will remain the President Director & CEO of Indosat Ooredoo and CEO of H3I until the merger process is complete.

Aiming for the second place

Considering its scale, financial capabilities, expertise, and network development, Ooredoo Group’s Managing Director, Aziz Aluthman Fakhroo targets this consolidation to bring Indosat Ooredoo Hutchison as the second largest telecommunications operator in Indonesia with projected annual revenues of up to $3 billion.

In addition, the merger of the two company assets will directly provide benefits to cost efficiency and capital expenditure. The company estimates that the synergies’ annual run rate before tax will reach $300-400 million in the next three to five years.

With the giant business scale owned by the two parent companies, Indosat Ooredoo Hutchison can take advantage of the technology, network, and services owned by the Ooredoo Group and CK Hutchison in the European, Middle East, North Africa and Asia Pacific markets.

“The merger will provide benefits for various functions, including procurement activities. After this consolidation, the Indonesian mobile market is expected to maintain healthy competition. This situation will attract long-term investment for the telecommunications industry,” Aziz said in his official statement.

CK Hutchison Holdings’ Group Co-Managing Director, Canning Fok also said his team can also expand the network and improve service quality in line with the merger of a larger spectrum that will provide cost efficiency.

“Furthermore, we are looking forward to bring the most innovative 5G service to Indonesia at the right time. Currently, CK Hutchison has available in 12 countries, many of which have successfully deployed 5G networks,” he said.

Currently, H3I has 10MHz in the 1800MHz band and 15MHz in 2100MHz to serve 39 million subscribers. Meanwhile, Indosat has a spectrum of 2.5MHz (850MHz), 10MHz (900MHz), 20MHz (1800MHz), and 15MHz (2100MHz) to serve 60 million subscribers with 66,313 4G BTS.

Consolidation for efficiency

The corporate action by Indosat Ooredoo and Hutchison adds to the long list of Indonesian telecommunications operators with M&A history within this decade. Previously, the M&A action was taken by PT Mobile-8 Tbk (FREN) annexing PT Smart Telecom and merging into Smartfren. Then, it was followed by PT XL Axiata Tbk (EXCL) which acquired Axis for IDR 8.6 trillion.

The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has made attempts to encourage the telecommunications industry to consolidate, both through M&A and network cooperation. It is due to the very tight competition in the telecommunications industry involving many players.

Meanwhile, the telecommunications business is considered investment-intensive as it has to build network infrastructure. In fact, the growth of the telecommunications industry is increasingly stagnant when cellular penetration is above 100%. The Central Statistics Agency (BPS) recorded that cellular card users reached 341.28 million in 2019, or already surpassed the total population of 269.6 million.

According to the Secretary General of the Center for Telecommunication Policy and Regulatory Studies at the Bandung Institute of Technology (ITB) Muhammad Ridwan Effendi, the merger by Indosat Ooredoo and Hutchison 3 Indonesia will provide significant benefits for the telecommunications industry. One thing is because operators can now encourage business efficiency, especially in network development.

“Although we have to wait for the post-audit results by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU), this merger is appropriate as the operator’s capital and assets will increase. Hopefully, the community will get even greater benefits from this business merger.” He said in a discussion with DailySocial.id team.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Indosat dan Tri Resmi Merger dengan Nilai Transaksi 85,6 Triliun Rupiah

PT Indosat Ooredoo Tbk (IDX:ISAT) resmi mengumumkan merger dengan PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) dengan nilai yang disepakati sebesar $6 miliar atau 85,6 triliun Rupiah. Melalui induk usahanya Ooredoo Group dan CK Hutchison, kedua perusahaan akan menggabungkan bisnisnya menjadi “Indosat Ooredoo Hutchison”.

Saat ini, Ooredoo Group menguasai kepemilikan saham Indosat Ooredoo melalui Ooredoo Asia sebesar 65%. Lewat aksi merger ini, CK Hutchison akan memperoleh saham baru sebanyak 21,8% di Indosat Ooredoo Hutchison. CK Hutchison juga akan mendapatkan 50% saham milik Ooredoo Asia dengan menukar 21,8% sahamnya di Indosat Ooredoo Hutchison untuk 33% saham di Ooredoo Asia.

Konglomerasi telekomunikasi asal Hong Kong tersebut juga akan mengambil kepemilikan tambahan 16,7% saham di Ooredoo Group senilai $387 juta atau 5,5 triliun Rupiah. Kedua belah pihak akan mengantongi 50% porsi kepemilikan dari Ooredoo Asia yang akan diberi nama Ooredoo Hutchison Asia, serta memiliki 65,6% saham dan kendali atas Indosat Ooredoo Hutchison.

Pasca-merger, Indosat Ooredoo Hutchison akan tetap terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan pemerintah Indonesia memegang 9,6% saham, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia 10,8% saham, dan publik sekitar 14% saham.

Pemegang saham Indosat Ooredoo mencalonkan Vikram Sinha dan Nicky Lee masing-masing sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Financial Officer (CFO) di Indosat Ooredoo Hutchison. Adapun, Ahmad Al-Neama dan Cliff Woo masih akan menjalankan tugasnya sebagai Presiden Direktur & CEO Indosat Ooredoo serta CEO H3I sampai proses merger selesai.

Bidik posisi kedua terbesar

Dengan memperhitungkan skala, kemampuan keuangan, keahlian, hingga pengembangan jaringan, Managing Director of Ooredoo Group Aziz Aluthman Fakhroo menargetkan konsolidasi ini dapat membawa Indosat Ooredoo Hutchison sebagai operator telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia dengan proyeksi pendapatan tahunan hingga $3 miliar.

Selain itu, penggabungan kedua aset perusahaan secara langsung akan memberikan keuntungan terhadap efisiensi biaya dan belanja modal. Perusahaan memperkirakan rasio proses (run rate) tahunan sinergi sebelum pajak akan mencapai $300-400 juta dalam tiga hingga lima tahun ke depan.

Dengan skala bisnis raksasa yang dimiliki kedua induk usaha, Indosat Ooredoo Hutchison dapat memanfaatkan teknologi, jaringan, hingga layanan yang dimiliki Ooredoo Group dan CK Hutchison di pasar Eropa, Timur Tengah, Afrika  Utara, dan Asia Pasifik.

“Penggabungan perusahaan ini akan memberikan keuntungan pada berbagai fungsi, misalnya kegiatan pengadaan. Usai konsolidasi ini, pasar mobile Indonesia diperkirakan dapat mempertahankan persaingan yang sehat. Situasi ini akan menjadi daya tarik investasi jangka panjang bagi industri telekomunikasi,” ujar Aziz dalam keterangan resminya.

Group Co-Managing Director of CK Hutchison Holdings Canning Fok menambahkan, pihaknya juga dapat memperluas jaringan dan menyempurnakan kualitas layanan sejalan dengan penggabungan spektrum yang lebih besar yang akan memberikan efisiensi biaya.

“Apalagi kami sangat menantikan kesempatan untuk membawa layanan 5G paling inovatif ke Indonesia di waktu yang tepat. Saat ini, CK Hutchison telah mengoperasikan bisnis di 12 negara di mana banyak di antaranya telah sukses menggelar jaringan 5G,” tuturnya.

Saat ini, H3I memiliki 10MHz di pita 1800MHz dan 15MHz di 2100MHz untuk melayani 39 juta pelanggan. Sementara, Indosat memiliki spektrum selebar 2,5MHz (850MHz), 10MHz (900MHz), 20MHz (1800MHz), dan 15MHz (2100MHz) untuk melayani sebanyak 60 juta pelanggan dengan 66.313 BTS 4G. 

Konsolidasi untuk efisiensi

Aksi korporasi yang dilakukan Indosat Ooredoo dan Hutchison menambah deretan panjang operator telekomunikasi Indonesia yang melakukan M&A selama lebih dari satu dekade ini. Sebelumnya, aksi M&A sudah lebih dulu dilakukan oleh PT Mobile-8 Tbk (FREN) mencaplok PT Smart Telecom dan melebur menjadi Smartfren. Kemudian aksi ini diikuti oleh PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang mengakuisisi Axis senilai Rp8,6 triliun.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebetulnya sudah jauh-jauh hari berupaya mendorong industri telekomunikasi untuk berkonsolidasi, baik lewat M&A maupun kerja sama jaringan. Pasalnya, persaingan industri telekomunikasi terbilang sangat ketat akibat terlalu banyaknya pemain.

Sementara, bisnis telekomunikasi identik dengan padat investasi karena harus membangun infrastruktur jaringan. Dengan kondisi ini, pertumbuhan industri telekomunikasi semakin stagnan manakala penetrasi seluler sudah di atas 100%. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengguna kartu seluler mencapai 341,28 juta di 2019, atau sudah melampaui jumlah penduduk dengan 269,6 juta jiwa.

Menurut Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi, aksi merger yang dilakukan Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia akan memberikan keuntungan signifikan bagi industri telekomunikasi. Pasalnya, operator kini dapat mendorong efisiensi bisnis, terutama pada pembangunan jaringan.

“Meski harus menunggu hasil post-audit oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), aksi merger ini sudah tepat karena modal dan aset operator akan semakin besar. Mudah-mudahan masyarakat mendapatkan manfaat lebih besar lagi dari penggabungan bisnis ini.” Ujarnya dihubungi DailySocial.id.

Transformasi Digital Hutchison 3 Indonesia di Masa Pandemi

PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) telah melakukan transformasi jaringan untuk bersiap menggelar 5G. Operator berlambang angka “3” ini juga secara paralel melakukan transformasi jaringan lainnya sebagai langkah antisipasi di masa pandemi Covid-19.

Melanjutkan wawancara sebelumnya dengan DailySocial, pada bagian kedua ini, Chief Technical Officer H3I Desmond Cheung kembali memaparkan tentang upaya perusahaan dalam mengimplementasikan solusi inovatif selama masa krisis kesehatan global ini.

Antisipasi lonjakan lalu lintas internet pada empat area utama

Di catatannya, H3I mengalami kenaikan trafik di jaringannya hingga 60% pada masa Ramadan dibandingkan hari normal. Sementara, mengutip data di 2020, trafik Tri melonjak 25% saat Lebaran dibandingkan awal pandemi di Februari. Kenaikan ini terutama terjadi pada lalu lintas internet mengingat 95% pelanggan Tri adalah pengguna smartphone. Faktor utamanya adalah karena kegiatan perkantoran dan belajar-mengajar dirumahkan sejak Maret tahun lalu.

Kenaikan signifikan trafik data banyak disumbang dari penggunaan aplikasi  sejak awal pandemi, seperti video conference untuk kerja dan sekolah dari rumah, aplikasi streaming untuk hiburan, dan media sosial.

Desmond menyadari adanya perubahan perilaku pengguna seluler mengingat lalu lintas trafik data mulai tersentralisasi di area residensial akibat pembatasan sosial. Dengan pola baru ini, pihaknya mengaku melakukan sejumlah langkah mitigasi untuk memastikan pengguna dapat terlayani dengan baik.

“Untuk memastikan kami dapat deliver layanan baik, kami terus melakukan inovasi sehingga dapat menyediakan kecepatan tinggi dan kapasitas lebih kepada pengguna yang kerja dan sekolah dari rumah,” ungkap Desmond.

Ada empat langkah transformasi digital yang menjadi fokus utama perusahaan. Pertama, Tri fokus untuk meningkatkan customer experience pengguna dengan mengadopsi arsitektur jaringan terdistribusi yang 5G-ready. Tujuannya adalah mendorong network intelligence dan kekuatan komputasi jaringan sedekat mungkin dengan pengguna Tri.

Pihaknya menambah data center baru di Malang pada akhir 2020 sebagai tambahan dari lebih dari 25 data center yang sudah beroperasi di seluruh Indonesia. Dengan tambahan ini, jaringan Tri dapat merespon lonjakan permintaan layanan yang belum pernah terjadi sebelumnya secara lebih cepat.

Kedua, Tri memastikan untuk membuat jaringan mobile lebih stabil. Menurut Desmond, baru-baru ini pihaknya meluncurkan Digital Network Operation Center (DNOC) di Jakarta yang berfungsi untuk meningkatkan kestabilan jaringan. Fasilitas ini dibangun dengan sistem daya redundan dan standar reliablitas tinggi yang beroperasi selama 24/7.

Selain itu, DNOC juga diperkuat dengan solusi berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML) untuk memonitor, mengontrol, dan mengoperasikan jaringan di sejumlah area di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

“Ketiga, kami fokus menghadirkan cakupan jaringan yang luas dan ke wilayah pedalaman. Meski kami sudah meningkatkan pembangunan jaringan 4G hingga dua kali lipat sejak 2019, kami terus menambah cakupan jaringan selama pandemi. Beberapa di antaranya adalah pembangunan Cell on Wheels (COW) di sejumlah fasilitas Covid-19, termasuk rumah sakit dan Wisma Atlet,” jelasnya.

Keempat, perusahaan juga melakukan digitalisasi pada sejumlah customer touch point. Tri meluncurkan digital vending machine 3DigiBox untuk mempermudah customer membeli produk-produknya tanpa kontak fisik. Saat ini, 3DigiBox terdapat di 41 lokasi strategis termasuk bandara, mal, dan kampus.

Lebih lanjut, Tri juga mendistribusikan beberapa teknologi baru pada jaringannya, yaitu Dual-Band Massive MIMO untuk meningkatkan efisiensi penggunaan spektrum dan mendorong user experience dan Compact Active Antenna (CAA) untuk memperluas kapasitas jaringan.

“Teknologi ini ditempatkan terutama di wilayah perkotaan yang padat di mana trafik tinggi menjadi tantangan besar ketika kapasitas spektrum terbatas. Solusi ini menambah kapasitas jaringan kami hingga 25% dengan konsumsi lebih rendah 40% dibandingkan solusi yang sudah kami terapkan sebelumnya,” papar Desmond.

Terakhir, Tri juga memperluas kemampuan akses layanan bagi pengguna yang tinggal wilayah terpencil di Indonesia dengan membangun LTE Base Station melalui solusi Public Backhaul, seperti di area pertambangan besar di Morowali, Sulawesi Tengah.

Mendorong segmen korporat

Di luar pembangunan jaringan dan penambahan kapasitas untuk pengguna retail, Desmond juga menyoroti fokus lainnya di segmen korporat (B2B). Ia menyebut akan memperkuat bisnis solusi untuk SME dan perusahaan berskala besar.

Selama beberapa tahun terakhir, Tri mulai gencar menawarkan solusi 3Business bagi pengguna korporat yang ingin bertransformasi digital dan mencapai efisiensi bisnis. 3Business menawarkan solusi TIK bagi sektor retail yang ingin meningkatkan produktivitas dan menjaga efisiensi biaya operasional.

Tahun lalu, Tri telah berkolaborasi dengan platform penyedia solusi IoT untuk menunjang sektor bisnis dan profesional. Kemudian, Tri juga bermitra dengan layanan manajemen IoT terintegrasi yang berfungsi untuk mengontrol dan melacak perangkat IoT dan aset secara real-time.

Desmond juga menyebut, pihaknya juga menyediakan solusi SD-WAN-based solution untuk FamilyMart di mana mitranya dapat menyederhanakan dan mengotomatisasi manajemen jaringan WAN dan operasional. Dengan solusi ini, FamilyMart disebut dapat memperluas gerai tokonya dalam hitungan hari dibandingkan sebelumnya yang membutuhkan waktu berminggu-minggu.

“Saat ini, kami menjadi mobile network ketiga terbesar di Indonesia. Kontribusi pendapatan H3I dari korporat juga naik dua kali lipat. Kemudian, jaringan kami sekarang semakin kuat dan lebih luas sehingga kami sekarang dapat meningkatkan jumlah pengguna kami dari consumer ke corporate.

Agresif Ekspansi dan Transformasi Jaringan, Hutchison 3 Indonesia Bersiap Gelar 5G

Di paparan studi ITB tahun lalu, layanan 5G diperkirakan komersial secara penuh paling cepat pada akhir 2021. Salah satu operator memang telah meluncurkan layanan 5G baru-baru ini, tetapi penggunaannya masih terbatas pada cakupan kota dan perangkat tertentu.

Pemerintah juga sebetulnya masih memiliki banyak PR untuk mengakomodasi kebutuhan operator telekomunikasi dalam menggelar 5G. Sembari menanti hal ini terealisasi, operator sudah mulai mempersiapkan infrastruktur jaringannya untuk menyambut teknologi telekomunikasi generasi kelima tersebut.

Di antaranya adalah PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) yang tengah mentransformasikan jaringannya selama beberapa tahun terakhir. Chief Technical Officer H3I Desmond Cheung memamparkan rencana ekspansi jaringan dan pandangan lebih dalam terkait 5G secara eksklusif dengan DailySocial.

Ekspansi jaringan berkelanjutan

Meski telah komersial sejak 2014, penetrasi 4G baru mencapai 73% pada 2019 sebagaimana dilaporkan Katadata. Kondisi geografis Indonesia masih menjadi salah satu tantangan terbesar. Namun, operator telekomunikasi harus dapat memenuhi kebutuhan jaringan seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna smartphone. Kemkominfo mencatat penetrasi smartphone mencapai 89% atau 167 juta dari total populasi Indonesia.

Desmond mengungkapkan, sejak 2019 pihaknya telah menambah jaringan 4G hingga dua kali lipat. Penambahan ini sudah termasuk perluasan cakupan jaringan ke wilayah luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah. Bahkan baru-baru ini, H3I juga menambah lebih dari 200 hotspot di Jabodetabek, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara.

Awal tahun ini, ungkapnya, H3I telah mengomersialisasikan jaringan seluler di Sulawesi Tengah yang disebut dapat menjangkau sebanyak 1,5 juta populasi di lima kota dan kabupaten, seperti Palu, Sigi, Donggala, Parigi, Moutong, dan Poso. Saat ini, pihaknya tengah fokus menyelesaikan rollout jaringan 4G di 70 desa pada akhir Oktober.

H3I telah menjangkau sebanyak 80% dari total populasi Indonesia. Per Desember 2020, H3I tercatat sudah membangun lebih dari 44.000 BTS 4G di seluruh Indonesia. Sementara, per Maret 2021 H3I telah memiliki sebanyak 39,8 juta pengguna.

“Kami terus mengembangkan BTS 4G untuk menyediakan konektivitas broadband di daerah terpencil dan kepulauan Indonesia. Ini adalah salah satu komitmen kami mendukung program pemerintah untuk mengakselerasi transformasi digital di daerah 3T. Kami akan terus memperkuat kapasitas jaringan kami di daerah dense dan yang memiliki trafik tinggi,” jelasnya.

Transformasi jaringan untuk kesiapan 5G

Meski belum ada ketok palu mengenai penetapan frekuensi 5G dan aturan turunannya, operator sudah mulai melakukan mentransformasikan infrastruktur jaringannya. Desmond mengungkap bahwa H3I juga telah melakukan transformasi besar-besaran sembari menanti komersialisasi 5G secara serentak.

“Kami melakukan peningkatan jaringan pada Core, lalu mentransformasikan jaringan PS Core ke Control and User Plane Separation (CUPS) pada arsitektur jaringan terdistribusi kami. Transformasi ini dilakukan untuk lebih jauh memperpendek latensi 5G,” jelasnya.

Selain itu, pihaknya juga melakukan transformasi pada jaringan Transport dengan Segment Routing IPv6. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan jaringan protokol, mengotomatisasi ketersediaan layanan, hingga meningkatkan konsistensi jaringan sehingga dapat memenuhi permintaan kapasitas tinggi di 5G sebagai Ultra-Reliable Low Latency Services (URLLC).

Menurut Desmond, pihaknya berupaya secara efisien untuk melayani permintaan layanan data dengan ketersediaan spektrum saat ini. Pihaknya mengoptimalkan spektrum yang ada untuk meningkatkan kapasitas jaringan. Desmond mengklaim H3I sebagai operator seluler yang memiliki tingkat efisiensi penggunaan spektrum tertinggi dibanding operator seluler lainnya di Indonesia.

Hanya saja, spektrum yang ada belum cukup untuk menggelar 5G. Untuk dapat memberikan kecepatan data 5G, teknologi ini membutuhkan bandwith lebih besar dari spektrum baru. Maka itu, ketersediaan spektrum 5G baru, terutama di 3.500MHz yang dipilih sebagai frekuensi emas, sangat penting untuk mempercepat pengembangan 5G di Indonesia

“Sebelum frekuensi emas ini mendapatkan lisensi resmi untuk 5G, kami akan terus mentransformasikan jaringan kami untuk kesiapan 5G sehingga nantinya akan menjadi salah satu operator yang lebih dulu memimpin penyelenggaraan 5G,” papar Desmond.

Dukungan pemerintah pada penyelenggaraan 5G

Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan, 5G diyakini dapat mentransformasikan berbagai aspek kehidupan, mulai dari kegiatan sehari-hari, bisnis, hingga cara industri beroperasi. Hal ini karena teknologi 5G mampu menghubungkan jutaan perangkat dengan kecepatan tinggi dan latensi rendah yang dimilikinya.

Desmond menilai operator seluler punya peluang untuk menghadirkan Enhanced Mobile Broadband (eMBB) untuk pasar consumer. Bentuk pemanfaatannya, misalnya, adalah layanan VR/AR dan video streaming 8K. Dengan berbagai use case ini, operator dapat menghasilkan sumber pendapatan baru dari segmen pasar baru, yaitu korporat dan industrial.

“5G akan menjadi enabler bagi sektor manufaktur, kesehatan, agrikultur, atau pendidikan. Tak hanya itu, 5G dapat dimanfaatkan untuk mengadopsi smart city di ranah transportasi, keamanan publik, dan pelayanan publik. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, jarak menjadi tantangan besar dan 5G bisa mengatasi tantangan itu,” jelasnya.

Kendati demikian, dari segala asas manfaat yang diberikan, tak dimungkiri implementasi 5G membutuhkan banyak pertimbangan. Pertama, soal besarnya investasi yang dikeluarkan. Menurutnya, banyak infrastruktur jaringan yang harus dibangun dan beberapa elemen jaringan harus di-upgrade. Maka itu, menurunkan elemen pada biaya pembangunan akan membantu operator telekomunikasi untuk mengakselerasi pembangunan 5G.

“Pemerintah punya peran besar untuk mengatasi isu ini. Melalui UU Cipta Kerja, dan ini adalah regulasi turunan, pemerintah telah memberikan dukungan untuk menciptakan efisiensi di industri telekomunikasi. Regulasi ini dapat mengizinkan berbagi jaringan di antara operator seluler, termasuk berbagi infrastruktur pasif dan aktif, serta transfer spektrum,” ujar Desmond.

Selain UU Cipta Kerja, Desmond juga menilai bahwa pemerintah sebetulnya dapat membantu lebih banyak memfasilitasi operator seluler dan industri dalam memahami kebutuhan pasar 5G. Menurutnya, upaya ini akan sangat dibutuhkan alih-alih cenderung banyak mempromosikan 5G dengan berbagai use case bermanfaat, seperti telemedicine atau smart farming.

“Demi membantu industri seluler melakukan kick start di 5G, pemerintah mungkin dapat mempertimbangkan untuk menurunkan biaya spektrum 5G. Hal ini terutama pada tahap awal selama beberapa tahun ke depan ketika demand 5G belum besar. 5G akan membutuhkan peningkatan signifikan pada kapasitas transport dan aspek infrastruktur jaringan lainnya. Artinya, license fee mungkin dapat diubah tanpa membebankan industri,” tambahnya.

Belum lagi bicara kesiapan kesiapan ekosistem yang menjadi kunci utama untuk membuat 5G lebih accessible untuk siapapun, baik consumer maupun enterprise. Ekosistem 5G akan selalu dikaitkan pada ketersediaan perangkat dan aplikasi untuk penggunaan berbagai macam use case. Desmond menekankan pentingnya kerja sama dari para pemangku kepentingan di berbagai level dan lintas industri untuk mengawal pengembangan ekosistem 5G dari awal.

“Tak cuma operator dan dukungan pemerintah, pengembangan 5G butuh kerja sama yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pabrik manufaktur perangkat, pengembang software, hingga penyedia konten. Pemerintah sudah meletakkan pondasi yang bagus untuk mengakselerasi pengembangan infrastruktur broadband. Kami yakin ini dapat menekan gap digital dan konektivitas di Indonesia.”

Potensi Merger Indosat-Tri: Babak Baru Persaingan Sehat Industri Telekomunikasi

Pasca merger antara XL Axiata dan Axis di 2014 silam, rumor konsolidasi operator seluler terus muncul. Pasangannya berubah-ubah. Namun, selain Telkomsel, sejumlah petinggi industri telekomunikasi tidak menepis mereka membuka peluang berkonsolidasi demi ekosistem yang lebih sehat.

Di akhir 2020, rumor tersebut mulai menunjukkan titik terang. Sebagaimana diberitakan Bloomberg beberapa waktu lalu, CK Hutchison Limited dan Ooredoo Group dilaporkan menjajaki peluang penggabungan bisnis anak usahanya, yakni PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) dan PT Indosat Ooredoo Tbk (Indosat).

Berselang beberapa hari pasca berita tersebut diturunkan, Indosat Ooredoo buka suara. Di keterangan resminya, Director & Chief Financial Officer Indosat Ooredoo Eyas Naif Assaf membenarkan bahwa induk usahanya Ooredoo Group telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) eksklusif dan tidak mengikat secara hukum dengan CK Hutchison Holdings Limited.

“Hal ini sehubungan dengan kemungkinan transaksi untuk menggabungkan bisnis masing-masing di Indonesia, yakni PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia. Periode eksklusivitas MoU ini berlaku hingga 30 April 2021. Belum ada informasi lebih lanjut yang bisa diungkapkan untuk saat ini,” ujarnya.

Jika mengacu pernyataan di atas, publik akan melihat hasil negosiasi ekslusif dalam empat bulan mendatang. DailySocial sempat menghubungi pihak Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Namun, keduanya belum dapat berkomentar banyak.

“Mohon maaf, kami dari manajemen belum bisa memberikan tanggapan mengenai hal ini. Sebaiknya ditanyakan kepada CK Hutchison atau Ooredoo Group,” ujar Wapresdir Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah lewat pesan singkat.

Mengejar ketertinggalan dari Telkomsel

Terlepas operator apapun, Ekonom Fithra Faisal menilai bahwa saat ini menjadi momentum yang tepat untuk berkonsolidasi. Sebetulnya Indosat atau Tri bisa saja melakukan konsolidasi sejak beberapa tahun lalu, namun Fithra menilai pandemi Covid-19 menjadi driven factor yang kuat. Terlebih masyarakat semakin menuntut layanan telekomunikasi yang lebih baik di situasi saat ini.

Yang pelik adalah meski sektor ICT sangat diuntungkan akibat pandemi, industri telekomunikasi tidak ikut di dalamnya.

“Layanan digital banyak dipakai selama pandemi ini, tetapi operator tidak mencicipi keuntungan. Ini menandakan bahwa industri ini belum efisien,” papar Fithra saat dihubungi DailySocial. 

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ATSI menyebut bahwa kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Maka itu, di situasi saat ini operator dinilai memerlukan struktur permodalan yang kuat demi meringankan beban ekspansi jaringan. Apalagi, operator juga perlu melaksanakan kewajiban untuk menyediakan jaringan secara nasional sebagaimana lisensi frekuensi yang diamanatkan.

Induk usaha Indosat, Ooredoo Group merupakan perusahaan telekomunikasi asal Qatar yang menguasai saham mayoritas Indosat sejak 2015. Sementara Tri Indonesia dinaungi CK Hutchison Holdings yang merupakan konglomerasi asal Hong Kong.

Di sisi lain, lanjut Fithra, rencana merger Indosat-Tri menjadi langkah awal untuk mengejar ketertinggalannya dari Telkomsel yang memimpin industri. Menurutnya, Indosat-Tri yang dinilai bergantung pada segmen pelanggan anak muda, cenderung memiliki price elasticity yang tinggi. Akibatnya, pelanggan dapat dengan mudah pindah ke operator lain jika tarif yang mereka pakai lebih mahal.

Indosat Financial Performance (2018-2019/YoY)

Year Total Revenue EBITDA Net (Loss) Profit Subscribers Highlights
2019 Rp26.1 trillion (+12.9%) Rp9.9 trillion (+51.6%) Rp1.6 trillion

(+166%)

59.3 million (+2.1%)
  • Sold 3,100 telco towers to Mitratel and Protelindo worth Rp6,39 trillion
  • 4G coverage nearly 90%
2018 Rp23.1 trillion (-22.7%)  Rp6.5 trillion (-49.1%) -Rp2.4 trillion (-311,6%) 58 million

(-47.3%)

  • Massive network expansion 
  • Reduced its USD debts by 77.7%
2017 Rp29.9 trillion

(+2.5%)

Rp12.8 trillion (+0.8%) Rp1.1 trillion (+2.8%) 110 million (+28.7%)
  • Won additional 5MHz in 2100MHZ in 2017 spectrum auction

Source: Investor Memo

Telkomsel dan XL Axiata dianggap memiliki branding dan loyalitas pelanggan yang lebih kuat sehingga penggunanya cenderung tidak terlalu memikirkan harga. Alhasil pelanggan cenderung bertahan terhadap layanannya karena price elasticity-nya rendah.

“Karena hal tersebut, Telkomsel dan XL punya captive market yang tidak dimiliki Indosat dan Tri. Makanya, Indosat dan Tri bakal menderita jika mereka terus mempertahankan level murah. Pada akhirnya, mereka harus memperkuat permodalan dan branding mereka,” jelasnya.

Ekspansi jaringan, efisiensi, dan persaingan lebih sehat

Pemerintah telah berupaya menciptakan persaingan industri yang sehat. Nyatanya, situasi ini tetap sulit karena sejak awal terlalu banyak operator telekomunikasi. Frekuensi yang diperebutkan tidak cukup untuk dapat memberikan kualitas layanan yang masimal. Belum lagi biaya yang dikeluarkan setiap tahun untuk membangun jaringan hingga membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.

Perang tarif untuk memenangkan hati pelanggan justru menciptakan jurang terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia. Ketua Umum ATSI Ririek Adriansyah sempat menyebutkan bahwa industri telekomunikasi Indonesia mencatat pertumbuhan minus 6,4 persen di 2018. Ini adalah pertumbuhan minus pertama kalinya dalam sejarah.

Dihubungi DailySocial, Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) Institute Nonot Harsono mengatakan bahwa konsolidasi ini tentu akan menciptakan persaingan industri yang lebih sehat. Apalagi jika skenarionya XL Axiata dan Smartfren mengikuti jejak mereka. Cita-cita Indonesia untuk memiliki tiga operator seluler saja bakal terealisasi.

“Di industri telekomunikasi, aset terpenting adalah frekuensi. Apabila berkonsolidasi, mereka dapat menggabungkan aset tersebut sehingga tidak menjadi beban. Harapannya, mereka tidak perlu mengembalikan pita frekuensi ke pemerintah karena alokasi Tri tidak banyak. Kalaupun digabung dengan Indosat, selisihnya dengan Telkomsel dan XL tetap tidak melampaui,” ucapnya.

Pertumbuhan Operator "Top 3" di Indonesia
Pertumbuhan Operator “Top 3” di Indonesia / Corporate Digital Transformation

“Kita belum tahu model merger yang bakal terjadi, apakah kedua entitas menyepakati komposisi saham atau jual putus. Mungkin bukan jual putus karena melibatkan uang cash yang banyak. Kalau jual putus, yang berharga cuma frekuensi saja. Selain itu, semuanya adalah beban. Keduanya bisa saja menyatakan nilai bersyarat. Jika regulator meminta sebagian pita, valuasi bisa berbeda dan bisa minta ganti rugi, misalnya,” terang Nonot.

Lagipula, lanjutnya, situasi sekarang tidak bisa disamakan ketika XL mengakuisisi Axis. Menurut Nonot, seharusnya pemerintah memberikan semacam reward apabila keduanya sepakat untuk merger. Jika pemerintah menjamin tidak akan ada penarikan frekuensi, aksi merger ini bisa terjadi.

XL Axiata dan Axis merupakan konsolidasi kedua di industri setelah Mobile-8 dan Fren (sekarang Smartfren). Ketika XL Axiata mencaplok Axis senilai $865 juta, pemerintah meminta anak usaha Axiata Bhd untuk mengembalikan pita selebar 5MHz milik Axis di spektrum 2.100MHz.

Saat ini, Indosat menggunakan pita selebar 20MHz di 1.800MHz dan 15MHz di 2.100MHz. Sementara Tri memiliki pita selebar 15MHz di 2.100MHz dan 10MHz di 1.800MHz. Kedua spektrum ini dipakai untuk menggelar jaringan 3G dan 4G.

Apabila digabungkan, baik Indosat dan Tri dapat memiliki akumulasi spektrum masing-masing 30MHz di 2.100MHz dan 1.800MHz yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas jaringan 4G yang lebih baik.

“Ini menjadi momentum pas bagi pemerintah untuk menegaskan tidak ada pengembalian alokasi frekuensi karena [jika digabung] alokasi pita tidak akan melampaui Telkomsel dan XL. Lagipula, ini kewajiban pemerintah untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Bisa saja langkah ini bakal diikuti oleh XL dan Smartfren ke depannya.” Tutup Nonot.

A Kaleidoscope of Strategic Corporate Acts in 2019

The disruptive era has been driven not only by the startup industry. In recent years, a number of large-scale corporations have taken part in developing the digital ecosystem in Indonesia.

Moreover, innovation development within the scope of the corporation or corporate innovation will come back to its main goal, a sustainable business.

The year 2019 highlighted some strategic steps with various instruments, from internal innovation incubation, collaboration with startups, and the rise of venture capitals.

DailySocial summarizes the most engaging corporate actions of some sectors within the year of 2019 as follows:

A synergy of state-owned e-money products

Last year begins with Telkomsel’s e-money service transformation, Tcash, to LinkAja. This is said to be the former SOE Minister Rini Soemarno’s initiative who wants to put state-owned e-money companies altogether into one platform.

Tcash is considered to have the most ready ecosystem at that time than any other SOE e-money, therefore, It was designated as an “embryo” for the LinkAja platform. This is quite a surprising decision since Tcash plans to become an agnostic e-money service and spin off from Telkomsel in the mid-2018.

Meanwhile, LinkAja has been announced and started rolling in February. In fact, it was officially launched in the middle of the year due to the long-await for the integration of all SOE e-money to be completed.

It is to be highlighted that LinkAja is the result of a joint venture of state-owned companies in which 25% of the shares owned by Telkomsel, 20% each for Mandiri, BRI and BNI, BTN, Pertamina with 7%, and Jiwasraya Insurance also involved with 1%.

Prior to this, LinkAja positioned itself as e-money for daily basis. Therefore, this joint venture – to be followed by other shareholders – is considered to fasten the acceleration for the company’s use case, such as transportation and gasoline purchases.

Collaboration and Innovation

Innovation and collaboration between corporations and startups have made the news in 2019. It indicates a number of business sectors have realized the power of inclusiveness towards Indonesia’s digital business development.

As an example, Gojek officially partners with Indonesian Railways (KAI) to support the integration of digital ecosystems and railroad services through orders and payments in one transaction. In this case, Gojek is the first and last-mile provider, while KAI acts as the middle mile provider.

Next, BRI kicked off the market through its collaboration with Traveloka through the “PayLater Card” launching. This co-branding partnership allows users to transact at offline and online merchants in 53 million locations worldwide and receive payments by VISA.

In late 2019, BRI is to increase its digital service portfolio by launching a BRI Ceria virtual credit card that provides loans starting from Rp500 thousand to Rp1 million. The app-based service aims for BRI customers in the underbanked segment.

In terms of telco, Telkomsel initiated another breakthrough by launching the first digital app-based cellular service product by.U. It’s called digital-based for all activities of purchase, registration, and use are fully carried out in the application.

It was internally incubated and developed through MVP, the by.U service has become Telkomsel’s strategic “weapon” to win the market in the digital era. In fact, by.U is targeting gen Z for their digital literacy and unwillingness to be “regulated” for data packages.

The rise of Corporate Venture Capitals

2019 highlights the aggressive penetration of Corporate Venture Capital (CVC). In our observation, there are four new CVCs established to capture great opportunities in the Indonesian digital industry. They include Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi / TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), and Sarana Papua Ventura (BTN).

Furthermore, DailySocial also highlighted Nicko Widjaja‘s transfer from MDI Ventures to be the head of BRI Ventures. Nicko’s appointment as CEO is expected to bring a new success story in the coming year.

Broadly speaking, each CVC targets a different business vertical, depending on the demand and values ​​of the company’s business development. Likewise, the funding stage. For example, TMI is currently aiming for early-stage and BRI Ventures will focus on growth and late-stage startups.

In addition to the CVC, Telkom Group has recently added more to its managed funds by launching the Centauri Fund.  The new strategy is a joint venture between the telco giant with KB Financial Group, which is one of the largest banks in South Korea.

Expecting the next strategic step in 2020

Through the summarize of various corporate actions above, we can draw a common thread that inclusiveness will be the main key for players – whoever are both corporations and startups – in driving the development of the digital ecosystem in the future.

Collaboration will be more aggressive and there are more innovations to arrive. A number of Indonesian corporates have realized the power of innovation and digital transformation. Some of those, such as BRI and Telkomsel, have prepared themselves to start a new chapter in 2020.

Moreover, in line with the more mature startup ecosystem, the VC industry will be more selective for its investment. The investment climate is predicted to increase. However, we are likely to see a decrease in the initial funding.

For some reason, both CVC and VC will be more focused on growth and late-stage funding. Aside from minimizing risk — learn from the previous years — startups must have clear traction, scale-up, and monetizing plans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kaleidoskop Aksi Korporasi Strategis di Sepanjang 2019

Era disruptif sesungguhnya tak hanya didorong oleh industri startup. Faktanya sejumlah korporasi berskala besar turut ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Walau demikian, pengembangan inovasi di lingkup korporasi atau corporate innovation akan kembali mengacu pada tujuan utamanya, yakni kelangsungan bisnis untuk jangka panjang.

Tahun 2019 menandai ramainya sejumlah langkah strategis dengan instrumen bervariasi, mulai dari inkubasi inovasi internal, kolaborasi dengan startup, hingga pembentukan pemodal ventura.

DailySocial merangkum berbagai aksi korporasi menarik dari beberapa sektor industri di sepanjang 2019 berikut ini:

Sinergi besar-besaran e-money BUMN

Tahun 2019 diawali dengan transformasi layanan e-money Telkomsel, Tcash, menjadi LinkAja. Transformasi ini disebut sebagai inisiasi dari eks Menteri BUMN Rini Soemarno yang ingin menggabungkan seluruh e-money milik perusahaan pelat merah ke dalam satu platform.

Tcash dinilai punya ekosistem paling siap saat itu dibandingkan e-money BUMN yang lain sehingga Tcash ditetapkan sebagai “embrio” bagi platform LinkAja. Keputusan ini tentu cukup mengagetkan mengingat di pertengahan 2018, Tcash berencana untuk menjadi layanan e-money agnostik dan spin off dari Telkomsel.

Adapun, LinkAja diumumkan dan beroperasi pada Februari, namun baru diluncurkan secara resmi di pertengahan tahun karena menunggu integrasi seluruh e-money BUMN rampung.

Yang perlu digarisbawahi, LinkAja merupakan hasil kongsi perusahaan BUMN yang saat ini sahamnya dimiliki oleh Telkomsel sebesar 25 persen, Mandiri, BRI, dan BNI yang masing-masing menguasai 20 persen, BTN dan Pertamina 7 persen, serta Asuransi Jiwasraya 1 persen.

Sejak awal, LinkAja memposisikan diri sebagai e-money untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka itu, kongsi ini–dan akan bertambah dengan masuknya pemegang saham lain–dinilai akan memperkuat akselerasi use case yang disiapkan perusahaan, seperti transportasi dan pembelian bensin.

Kolaborasi dan inovasi

Inovasi dan kolaborasi antara korporasi dan startup mewarnai pemberitaan di sepanjang 2019. Ini menandakan sejumlah sektor bisnis telah menyadari pentingnya inklusivitas terhadap pengembangan bisnis digital di Indonesia.

Misalnya, Gojek resmi bermitra dengan Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung integrasi ekosistem digital dan layanan perkeretaapian melalui penerapan pesanan dan pembayaran dalam satu transaksi. Dalam hal ini, Gojek menjadi penyedia first mile dan last mile, sedangkan KAI sebagai penyedia middle mile.

Kemudian BRI menggebrak pasar lewat kolaborasinya dengan Traveloka lewat peluncuran kartu kredit “PayLater Card”. Kerja sama co-branding ini memungkinkan pengguna untuk bertransaksi di merchant offline dan online yang tersebar di 53 juta lokasi di seluruh dunia dan menerima pembayaran dengan VISA.

Di penghujung tahun 2019, BRI kembali menambah portfolio layanan digital dengan meluncurkan kartu kredit virtual BRI Ceria yang menyediakan pinjaman mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta. Layanan berbasis aplikasi ini hanya menyasar nasabah BRI di segmen underbanked.

Dari sektor telekomunikasi, Telkomsel juga membuat gebrakan baru dengan meluncurkan produk layanan seluler pertama berbasis aplikasi digital by.U. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian, registrasi, dan pemakaian sepenuhnya dilakukan di aplikasi.

Diikubasi di internal dan dikembangkan secara MVP, layanan by.U menjadi “senjata” strategis Telkomsel untuk memenangkan pasar di era digital. Maka tak heran, by.U membidik generasi Z yang dianggap sudah melek digital dan tidak mau “diatur” dalam memilih paket.

Corporate Venture Capital paling bersinar

Tahun 2019 menyoroti agresifnya pembentukan Corporate Venture Capital (CVC). Menurut catatan kami, terdapat empat CVC baru yang didirikan untuk menangkap peluang besar di industri digital Indonesia. Mereka antara lain Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi/TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), dan Sarana Papua Ventura (BTN).

Kemudian, DailySocial juga menyoroti kepindahan Nicko Widjaja dari MDI Ventures untuk menakhodai BRI Ventures. Penunjukkan Nicko sebagai CEO diharapkan membawa kisah kesuksesan baru di tahun mendatang.

Secara garis besar, setiap CVC memiliki target vertikal bisnis berbeda, tergantung dengan kebutuhan dan nilai yang diincar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Demikian pula tahapan pendanaan. Misalnya, TMI saat ini membidik early-stage dan BRI Ventures akan fokus terhadap startup di growth dan late stage. 

Selain pembentukan CVC, Telkom Group baru-baru ini juga menambah dana kelolaan dengan membentuk Centauri Fund. Strategi dana kelolaan baru tersebut merupakan hasil kongsi raksasa telekomunikasi ini dengan KB Financial Group, yakni salah satu perusahaan bank terbesar di Korea Selatan.

Menantikan langkah strategis selanjutnya di 2020

Lewat rangkuman beragam aksi korporasi di atas, kami dapat menarik benang merah bahwa inklusivitas akan menjadi kunci utama bagi pemain—siapapun itu baik korporasi dan startup—dalam mendorong pengembangan ekosistem digital di masa depan.

Kolaborasi akan semakin agresif dan inovasi akan terus berdatangan. Sejumlah korporasi di Indonesia sudah menyadari pentingnya inovasi dan transformasi digital. Beberapa di antaranya, seperti BRI dan Telkomsel, telah mempersiapkan diri memulai babak baru di tahun 2020.

Di sisi lain, sejalan dengan semakin matangnya ekosistem startup, industri VC akan semakin selektif dalam memilih pendanaan. Iklim investasi memang diprediksi meningkat. Akan tetapi, kita tampaknya bakal melihat menurunnya fokus pendanaan tahap awal.

Baik CVC atau VC akan mulai lebih fokus membidik pendanaan growth dan late stage karena sejumlah alasan. Selain minim risiko—belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya—startup memang harus memiliki traction, rencana scale up, dan monetisasi yang jelas.

Tri Indonesia Bakal Hadirkan Marketplace P2P Lending di Bima+

Operator seluler PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) berencana untuk menghadirkan layanan marketplace untuk P2P lending pada platform Bima+. Fitur ini direncanakan meluncur pada November mendatang.

Dalam interview dengan DailySocial, Vice President Director Tri M Danny Buldansyah mengungkap bahwa strategi tersebut adalah salah satu realisasi dari transformasi digital yang dilakukan anak usaha Hutchison Holdings ini.

Bima+ sendiri merupakan aplikasi untuk memenuhi kebutuhan digital lifestyle pengguna Tri. Di aplikasi ini, pengguna dapat membeli pulsa, menikmati konten hiburan (musik, film, games), dan berbelanja di marketplace.

“Visi kami adalah menjadi digital lifestyle operator di masa mendatang. Lewat aplikasi Bima+, 39 juta pelanggan kami bisa memenuhi kebutuhan apapun. Kami berinovasi untuk satisfy pelanggan,” papar Danny saat ditemui di Kantor Pusat Tri beberapa waktu lalu.

Danny mengungkap, pihaknya akan berkolaborasi dengan platform P2P lending. Ada tiga perusahaan yang masuk dalam pipeline. Namun baru dua yang menurutnya sudah dipastikan, yakni Kredit Pintar dan WeLend.

“Satu platform lagi saat ini belum kami putuskan. Yang pasti, semua yang menjadi mitra kami wajib memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk beroperasi di Indonesia,” tuturnya.

Danny belum dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai fitur ini. Soal model bisnis, marketplace untuk pinjaman online ini akan berbasis processing fee. “Di fitur ini, pengguna nanti diarahkan langsung ke platform milik P2P lending,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Operator Tri Bidik Pelanggan Baru, Tambah BTS dan Galakkan Program Loyalitas

Hutchison Tri Indonesia (Tri) mengungkapkan segera bangun 8 ribu BTS baru. Hal tersebut dilakukan demi merealisasikan ambisi mereka untuk dapatkan tambahan 10 juta pelanggan sampai akhir tahun 2019.

Hanya saja Chief Commercial Officer Tri Dolly Susanto enggan menyebut lokasi mana saja yang akan dibidik. Disebutkan saat ini Tri sudah mengoperasikan 55.100 unit BTS yang tersebar dari Aceh hingga Gorontalo, dengan jaringan fiber optik sepanjang 16 ribu km.

Selaras dengan strategi tersebut, kali ini perusahaan meluncurkan kembali program loyalitas Bonstri yang menggaet anak muda sebagai target pelanggan. Dolly menyebut Tri memiliki sekitar 37 juta pelanggan, sekitar 80% di antaranya datang dari anak muda. Dan dari total golongan muda tersebut, 90% di antaranya adalah generasi Z.

“Kami mau gelar hampir 8 ribu sites 4G. Sekarang pelanggan kami kebanyakan sudah berada di jaringan 4G,” kata Dolly, Selasa (11/12).

Program Bonstri adalah cara Tri untuk mendorong loyalitas pengguna dengan berbagai keuntungan hanya dengan menukar poin untuk berbagai penawaran. Mulai dari voucher belanja di situs e-commerce, wisata, kuliner, akomodasi, hiburan, hingga paket internet/data Tri.

Secara total ada 2 ribuan produk dari 222 merchant yang telah bergabung untuk memanjakan para pelanggan Tri. Bonstri hanya bisa diakses lewat aplikasi Bima+.

Dolly turut mengatakan, sekitar 12,2 juta pelanggan Tri telah mengakses Bima+ sejak pertama kali diluncurkan pada 1,5 tahun lalu.

“Makin hari pengguna Bima+ terus bertambah. 95% di antaranya selalu bolak balik ke aplikasi setiap harinya. Makanya kami hadirkan kembali Bonstri dengan banyak pembaruan fitur agar pengguna bisa mendapatkan apa saja yang mereka mau.”

Lewat inovasi ini, Dolly ingin kembali mengukuhkan posisi Tri sebagai digital lifestyle provider terdepan di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here