Pimpin Transformasi Digital Kalbe Farma, Risman Adnan Eksplorasi Inovasi Kemanusiaan

“Bagi saya, industri kesehatan lebih beresonansi karena dampaknya sangat luas terhadap masyarakat. Business nature-nya tidak balapan seperti industri lain, karena kita punya waktu panjang untuk berinovasi.”

Risman Adnan tidak sepenuhnya meninggalkan industri teknologi setelah hampir dua dekade berkarier di sana. Selepas Microsoft dan Samsung, Risman melakukan transisi karier signifikan dengan bergabung ke PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) pada Januari 2023. Masih dalam pusaran elemennya, ia tertantang mentransformasi digital salah satu perusahaan farmasi terbesar Indonesia ini untuk go global.

Transformasi digital, ungkapnya, adalah sebuah maraton inovasi dengan proyeksi ROI jangka panjang. Yang terjadi saat ini, banyak perusahaan go digital, tetapi hanya diartikan sebagai another IT. Lalu, peta jalan apa yang dipersiapkan Risman untuk membawa Kalbe Farma ke tingkat global?

Transformasi Kalbe

Risman didapuk sebagai Corporate Digital Technology Director di Kalbe Farma, berperan mendorong inovasi pada bisnis existing dan mengeksplorasi peluang baru secara bersamaan. Untuk menjalankan dua fungsi itu, Kalbe Farma membentuk divisi Corporate Digital Technology (CDT) yang dipimpin olehnya.

CDT kembali terbagi dalam dua divisi besar, yakni Kalbe Digital University (KDU) untuk pembelajaran berkelanjutan di bidang teknologi; dan Kalbe Digital Lab (KDL) untuk pengembangan inovasi maupun riset. KDL akan membantu unit bisnis di Kalbe Farma untuk menghadirkan fitur/layanan atau komersialisasi ide/inovasi berdasarkan riset yang dilakukan.

Sebagai informasi, saat ini Kalbe Farma menaungi berbagai lini bisnis kesehatan dari hulu ke hilir, mulai dari pembuatan obat, produk kesehatan, klinik, hingga distribusi. Kalbe Farma juga memiliki layanan berbasis digital, seperti KlikDokter (telemedis), Mostrans (logistik), dan EMOS (distribusi).

(Ki-ka) Aplikasi mobile EMOS, KlikDokter, dan Mostrans / Sumber: situs resmi

“Melewati lebih dari 50 tahun, apa langkah selanjutnya untuk bertahan sebagai perusahaan kesehatan terbesar di Asia Tenggara? Kalbe sudah mulai ekspansi ke luar Indonesia. Namun, untuk mengikuti regulasi yang lebih advanced, ternyata butuh teknologi yang lebih efisien. Kami harus mempersiapkan tech value agar dapat bersaing di lokal, regional, dan global. Kalbe punya R&D yang mengikuti inovasi  dari hulu ke hilir,” jelasnya saat berbincang dengan DailySocial.id.

Ia mengaku saat ini tengah fokus menggarap peta jalan transformasi serta membangun kapabilitas dan jumlah timnya di CDT. Fokusnya tak mencari pro-hire, melainkan lulusan baru yang dapat di-nurture talentanya sejak awal.

“Di Indonesia, bicara pengalaman orang, itu pasti praktikal, tidak punya pemahaman fundamental. Mereka hanya familiar dengan tools atau framework. Mudah dilatih, tetapi fundamentalnya susah dibangun. Orang dengan pengalaman praktikal tidak akan membawa inovasi. Kalau mau invonasi harus  sering baca paper atau riset akademis.”

Life science dan logistik

Risman mengamati banyak perusahaan bertransformasi digital, tetapi baru sebatas pada tahap eksperimental. Layanan digital masih diamini sebagai bisnis tambahan yang memanfaatkan teknologi dan perilaku konsumen. Ia mengaku digital mindset menjadi tantangannya untuk mentransformasi ribuan karyawan.

“Apa itu inovasi? Apakah merujuk pada hasil sebelumnya, standar industri, atau riset akademis? Bisa banyak. Di Samsung, inovasi itu mengacu pada ‘what you can do in term of product features and capabilities that your competitor can’t do’. Di Kalbe, inovasi adalah ‘what we can do better compare to before‘. Misalnya, inovasi tahap lanjut demi kemanusiaan, tidak didorong oleh kompetisi,” ujar Risman.

Risman menyebutkan dua area besar yang akan menjadi prioritas pengembangan inovasinya tahun ini, yakni life science (berkaitan dengan makhluk hidup serta distribusi dan logistik. Pada fokus pertama, ia tengah mendalami studi mengenai genomik dan patologi, turut didukung dengan pemanfaatan teknologi AI.

“AI punya dua bidang besar, yakni computer vision dan NLP—ya termasuk juga robotic automation. Ini penting karena berkaitan dengan intelegensi manusia. Kita sedang eksplorasi ketiga kompetensi ini untuk genomik dan patologi. Di lini distribusi, saya banyak habiskan waktu di Enseval dan BioFarma (mitra) untuk belajar dan bantu pengembangan produk digital. Secara garis besar, kami sedang fokus diferensiasi lini digital, termasuk aplikasi, layanan, dan digital biology.”

Ia mengungkap tengah menginkubasi produk genomik. Sedikit informasi, genomik adalah studi tentang genom sebuah organisme. Pemeriksaan genomik diyakini dapat menjadi alternatif perawatan preventif  karena dapat mengetahui risiko penyakit hingga pengobatan yang tepat seseorang. Terlepas manfaatnya, ujarnya, butuh waktu lama untuk menginkubasinya menjadi sebuah produk.

“Alat [untuk ambil sample] sudah ada. Namun, apakah sudah optimal digunakan sesuai teknologi sekarang? Sistem paling kompleks ada pada tubuh manusia karena terdapat sel, kromosom, dan DNA. Terdapat jalinan protein yang meregulasi tubuh kita. Mulai banyak yang masuk ke sini sekarang. Bisa mengetahui, kalau sakit, bagusnya pengobatan bagaimana. ”

Venture builder

Belakangan, perusahaan skala besar telah melirik pengembangan inovasi atau model bisnis baru melalui partisipasi investasi, mulai dari telekomunikasi, keuangan, hingga industri kreatif. Risman mengungkap berinvestasi di perusahaan teknologi tidak selalu menjadi pilihan tepat. Dalam kasus Kalbe, contohnya, investasi bukan menjadi hal menarik jika melihat skala perusahaan.

Pihaknya kini tengah mengeksplorasi model venture builder yang dinilai lebih menarik untuk pengembangan inovasi di luar lingkungan Kalbe. Menurutnya, bisa jadi venture builder itu menjadi jalan pembuka untuk bermitra dengan pihak di luar negeri.

“Kami masih pelajari apakah [venture builder] cocok untuk perusahaan, seperti Kalbe. Dengan mindset dan kultur kerja baru, mungkin saja inovasi yang diinkubasi sebelum pilot sampai komersialisasi, dapat dibantu dengan venture builder. Kalau sebatas investasi, itu bukan hal yang menarik untuk Kalbe. Digital itu masih sulit untuk menghitung valuasinya,” ungkapnya.

Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah mencari founder, yang tidak hanya menghasilkan ide, tetapi juga mampu mengeksekusinya dan meningkatkan skala bisnisnya sehingga bisa mencapai profitabilitas. “Jadi, kami harus mencari bentuk yang pas untuk masuk ke korporasi. Bring and scale ideas.”

Perang algoritme

Di tengah ledakan data internet, pelaku bisnis dituntut untuk lebih memahami kebutuhan customernya. Pasar dapat berubah dengan cepat, sedangkan masyarakat menginginkan pelayanan yang lebih personal.

Berkaca dari perkembangan industri teknologi selama satu dekade terakhir, Risman menilai bahwa pengembangan aplikasi sudah tidak lagi relevan untuk bersaing di masa depan. Justru algoritme akan menjadi faktor kunci dalam memenangkan pasar.

Ia mencontohkan raksasa e-commerce dunia Amazon yang membangun algoritme untuk memperkuat kata pencarian produknya. Algoritme ini menjadi salah satu kekuatan Amazon untuk bersaing di pasar.

Pada layanan e-commerce, algoritme dapat dimanfaatkan pada use case lain, misalnya meningkatkan pengalaman belanja, memprediksi next purchase date, atau memperkirakan kapan stok barang penjual akan habis. 

“Saya rasa sekarang kita berada di fase equilibrium pada pengembangan layanan digital lewat aplikasi, API, atau database. Selanjutnya apa? Customer intelligence, intelligence service, dan data analytic di dalam aplikasi. Membuat aplikasi itu mudah, yang sulit adalah merancang user experience dengan fitur intelegensi,” tuturnya.

The real war selanjutnya adalah diferensiasi terhadap algoritme untuk meningkatkan pengalaman customer. Namun, menurutnya, kemampuan di Indonesia belum sampai di level intelligence experience karena membutuhkan level matematika yang lebih tinggi.

Langkah Progresif Menuju Keterhubungan Informasi Data Kesehatan

Pandemi Covid-19 menjadi katalisator penting bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mentransformasi industri kesehatan Indonesia. Bak kereta super cepat, Kemenkes merealisasikan sejumlah langkah yang sangat progresif di sepanjang satu tahun terakhir ini untuk mengawali transformasinya.

Sejak akhir 2021 hingga sekarang, agenda besar Kemenkes tercermin dari realisasi peluncuran (1) peta jalan transformasi digital, (2) regulatory sandbox, (3) platform Indonesia Healthcare System bernama “Satu Sehat”, dan—salah satu yang signifikan—(4) peraturan baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).

Poin nomor empat menjadi elemen krusial dalam memuluskan agenda transformasi industri kesehatan. Namun, secara keseluruhan, Kemenkes punya visi-misi jangka panjang yang dalam pelaksanaannya harus merangkul banyak pemangku kepentingan (stakeholder).

DailySocial telah mewawancarai sejumlah stakeholder untuk bicara sudut pandang mereka dari aspek industri, regulasi, dan teknologi sebagai enabler dalam menjawab berbagai persoalan di industri kesehatan yang selama ini identik sebagai high-regulated sector karena berkaitan dengan nyawa manusia dan punya kontrol besar terhadap data informasi kesehatan.

Lanskap dan tantangan

Mengutip sebuah studi, industri kesehatan di Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan utama, seperti tuntutan untuk memperbaiki layanan medis, penyediaan akses informasi tepat waktu, dan tingginya biaya operasional.

Tenaga kesehatan (nakes) tak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan kualitas layanan kepada pasien, tetapi juga beban administratif. Salah satunya adalah proses input data pasien masih dilakukan secara manual.

Di satu sisi, masyarakat khususnya kaum menengah ke bawah menganggap biaya berobat ke rumah sakit masih sangat mahal. Akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah masih minim apabila memperhitungkan faktor geografis di Indonesia.

Data BPS menyebut rata-rata biaya pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia meningkat 8,9% menjadi Rp34.364 pada 2021. Secara proporsi, pengeluaran ini naik menjadi 2,72% dari tahun sebelumnya 2,57%. Sementara, Kemenkes mencatat pada 2020 rasio dokter hanya berkisar 0,38 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur di rumah sakit 1,2 per 1.000 populasi.

Maka itu, pandemi Covid-19 dinilai telah membuka mata para pemangku kepentingan untuk membenahi industri kesehatan. Pandemi memberi dorongan bahwa teknologi dapat menjadi enabler untuk mengatasi krisis dan mendemokratisasi layanan kesehatan dalam jangka panjang.

Sebetulnya, layanan kesehatan berbasis teknologi atau healthtech di Indonesia sudah ada sebelum pandemi. Kita mengenal Alodokter, Halodoc, Klikdokter, dan Klinik Pintar. Layanan yang ditawarkan mulai dari telekonsultasi, marketplace produk kesehatan, hingga digitalisasi ekosistem kesehatan.

Telekonsultasi menjadi salah satu layanan healthtech yang popularitasnya meroket kala pemerintah mengizinkan penggunaannya untuk urgensi penanganan Covid-19. Halodoc dan Alodokter bahkan sempat mencatatkan lonjakan trafik tinggi di awal pandemi.

Terlepas dari itu, masih banyak inovasi di bidang healthtech yang dapat dieksplorasi sehingga tak terbatas pada layanan telekonsultasi saja. Survei Statista memproyeksi nilai pasar digital health di Indonesia mencapai $1,98 miliar di 2022. Segmen terbesar diproyeksi berasal dari digital fitness dan well-being dengan total proyeksi pendapatan sebesar $1,14 miliar di 2022.

Standardisasi dan keterhubungan data

Peta jalan transformasi industri kesehatan memuat tiga agenda utama, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech). Sasarannya mencakup layanan kesehatan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM. 

Dalam pelaksanaannya, Kemenkes membentuk divisi Digital Transformation Office (DTO), dipimpin oleh Setiaji yang telah memiliki pengalaman karir kuat di bidang IT dan birokrasi pemerintah. Setiaji akan menuntun penyelenggaraan transformasi digital di industri kesehatan selama empat tahun ke depan.

Pertanyaan selanjutnya, transformasi ini dimulai dari mana dulu?

Menurut Chief of DTO Setiaji, standardisasi dan keterhubungan data (interoperability) akan menjadi tulang punggung dalam mengintegrasikan seluruh layanan dan pemangku kepentingan di industri ini. Ini menjadi alasan utama DTO menempatkan standardisasi sebagai pondasi dasar transformasi. Tanpa standardisasi, keterhubungan data tidak akan tercapai.

“Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada Rekam Medis Elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar selama ini adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data sendiri. Transformasi tidak bisa dilakukan jika standardisasi data tidak sama,” ujar Setiaji dalam wawancara dengan DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2021-2024 / Sumber: Kementerian Kesehatan

Yang selama ini terjadi, setiap fasyankes beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Setidaknya, saat ini ada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.

Standardisasi menyeragamkan seluruh aspek data di industri kesehatan untuk menuju satu data Indonesia sehingga seluruh penyedia dan pengguna layanan kesehatan, baik pasien, fasilitas kesehatan, dan pemerintah dapat saling terhubung dan melakukan pertukaran data. Adapun, standardisasi ini dapat dimanfaatkan seluruh stakeholder terkait pada platform Indonesia Healthcare System (IHS).

Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) menanggapi keputusan yang diambil DTO sudah tepat untuk memprioritaskan standardisasi dan keterhubungan data sebagai langkah awal transformasi. Menurut Wakil Ketua AHI sekaligus Co-founder Zi.Care Jessy Abdurrahman, peta jalan transformasi tersebut juga telah mencerminkan concern dari para pelaku healthtech di Indonesia.

Menurutnya, industri kesehatan selama ini sangat eksklusif jika menyangkut informasi informasi data kesehatan. Maksudnya, fasyankes seolah memiliki kendali besar terhadap informasi data kesehatan. Padahal, Permenkes 269 Tahun 2008 jelas menyebutkan bahwa kepemilikan data ada pada pasien. Karena situasi ini, para pelaku startup sulit untuk melakukan disrupsi di sektor kesehatan.

“Saat itu, kami melihat tidak ada standardisasi pada rekam medis elektronik (RME) sehingga data tidak bisa ‘dikawinkan’ dan diolah menjadi apapun. Hal ini menjadi isu besar ketika Covid-19 terjadi, formatnya berbeda-beda, data tidak akurat, dan proses sampai ke RS menjadi lama karena birokrasi panjang. Peta jalan transformasi ini seharusnya menjadi titik terang bagi industri kesehatan,” ujar Jessy.

Tantangan, implementasi, dan regulasi

Untuk merealisasikan standardisasi ini, Kemenkes meluncurkan platform IHS yang akan dikenal sebagai “Satu Sehat” pada Juli 2022. Satu Sehat adalah Platform-as-a-Service (PaaS) yang akan menghubungkan antar-platform atau aplikasi milik seluruh pelaku industri kesehatan, baik RS vertikal, RS pemerintah, RS swasta, Puskesmas, Posyandu, laboratorium, klinik, hingga apotek. Satu Sehat juga akan terintegrasi pada aplikasi PeduliLindungi.

Kemudian, Kemenkes menerbitkan regulasi baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME) pada fasyankes; tertuang dalam PMK No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yang merupakan perubahan dan pemutakhiran dari peraturan sebelumnya PMK No. 269 Tahun 2008.

Kedua agenda di atas krusial dalam menciptakan satu data kesehatan nasional dan terpusat dalam satu platform. Beberapa contoh output-nya adalah menekan potensi duplikasi input data, menyelenggarakan RME, dan memudahkan proses rujukan. Satu Sehat telah diuji coba di 41 RS, 9 RS vertikal, dan 32 RSUD di DKI Jakarta, serta uji coba beta di 31 institusi kesehatan dan lab kesehatan.

Pada pemberitaan sebelumnya, peraturan penyelenggaraan RME memuat pasal-pasal terkait kepemilikan dan isi rekam medis pasien, keamanan dan perlindungan data pribadi, hingga pelepasan. Adapun, Kemenkes diberi kewenangan untuk mengolah data kesehatan milik pasien.

Dalam pasal 3, fasyankes wajib mengimplementasi RME, termasuk pada layanan telekonsultasi oleh fasyankes, dan wajib diintegrasikan ke platform Satu Sehat. Pemerintah memberikan masa transisi bagi seluruh fasyankes hingga akhir 2023.

Dalam pelaksanaannya, Setiaji menilai akan ada beberapa tantangan yang dihadapi mengingat masa transisi yang diberikan hanya satu tahun. Tantangan terbesar adalah mengimplementasi penyelenggaraan RME, terutama bagi fasyankes di daerah. Ia menyebut fasyankes di daerah belum melakukan digitalisasi karena tak punya anggaran.

Survei Kemenkes mencatat anggaran digitalisasi RS rata-rata tak sampai 3% dari total anggaran mereka. Faktor ini membuat transformasi digital belum menjadi prioritas. Selain itu, RS juga harus memiliki sistem informasi manajemen yang terintegrasi agar dapat berbagi informasi secara real-time.

Sebagai gambaran, setidaknya ada 22% dari 2.595 RS yang belum punya Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS). Kemudian, dari 2.291 RS yang memiliki SIMRS, implementasi RME di front office baru 24% dan 64% untuk back office. Dari 737 RS, sebanyak 359 belum menerapkan RME, 175 RS baru sebagian, dan 203 RS sudah. Saat ini, terdapat 10.260 Puskesmas, 11.347 klinik (pratama dan utama), 2.985 RS, 5.862 praktik mandiri, dan 1.400 laboratorium.

“Kami harus melakukan integrasi 8.000 aplikasi/platform/sistem dengan harapan digitalisasi tidak hanya terjadi pada sistem, tetapi juga tenaga kesehatan. Dokter juga ikut menginput. Dari 10 ribuan Puskesmas, baru 3.000 yang memiliki sistem. Nanti [fasyankes daerah] seperti Puskesmas akan mendapat anggaran khusus [untuk transformasi digital],” ujar Setiaji.

Untuk memudahkan transisi, penyelenggaraan RME pada fasyankes di daerah juga akan dilakukan secara bertahap mengingat kesiapan SDM, infrastruktur, dan budaya kerja berbeda dengan di perkotaan. DTO mengambil peran lebih dalam dengan melakukan edukasi digital dan uji coba integrasi platform Satu Sehat di fasyankes di berbagai kota.

Setidaknya sampai akhir tahun 2022 ini, Kemenkes menargetkan sekitar 12.000 fasyankes akan terintegrasi dengan platform Satu Sehat.

Mengawal transformasi

Lebih lanjut, Ketua Pengurus AHI dr. Gregorius Bimantoro menambahkan bahwa perlu ada kolaborasi pada lima pemangku kepentingan agar dapat merealisasikan peta jalan tersebut. Di antaranya dari (1) pemerintah, baik pusat dan daerah harus onboard, (2) pimpinan faskes primer dan sekunder, (3) mitra rekam medis dan IT rumah sakit, (4) startup dan developer, dan (5) nakes. Pihaknya berupaya menggandeng kampus/universitas untuk ikut dalam mendorong ekosistem healthtech.

“Kami belum pernah melihat roadmap yang salah satunya memprioritaskan ekosistem healthtech, jadi kami sangat senang dilibatkan dalam kolaborasi ini. Ini berarti pemerintah terbuka dengan [enabling] teknologi dalam mencapai ketahanan di bidang kesehatan. AHI berperan untuk membantu pengembangan ekosistem [healthtech] dengan DTO,” papar dr. Gregorius.

Sementara itu, Co-founder dan CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengaku antusias dengan langkah pemerintah. Menurutnya, ini pertama kalinya Kemenkes dan pelaku healthtech memiliki cara berpikir yang sejalan. Ketika penggunaan layanan telekonsultasi diizinkan pada masa pandemi, banyak pihak menyadari perlunya RME untuk memperkaya historical data dari pasien. Sayangnya, saat itu peraturan tentang RME belum ada.

“Struktur roadmap ini bagus karena fokus utamanya dimulai dari keterhubungan data. Namun, roadmap ini harus dikawal bersama untuk memastikan standardisasi tersebut berjalan. Kita bertanggung jawab bagaimana pertukaran data kesehatan terjadi. Bagaimana dari sisi komersial, kami cari use caseDo and don’ts harus dijembatani,” jelas Bimo.

Diakuinya, apa yang dilakukan pemerintah sejauh ini juga sejalan dengan upaya Klinik Pintar untuk mencapai interoperabilitas. Standardisasi dan keterhubungan data memang seharusnya menjadi agenda utama sebelum bicara lebih jauh tentang demokratisasi layanan kesehatan, terutama pada grass root.

Jika melihat riwayat ke belakang, ia menilai tidak mudah bagi pengembang layanan digital untuk beroperasi tanpa produk hukum. Sebetulnya, bisa saja kedua hal tersebut berjalan paralel bagi keduanya. Namun, push back biasanya terjadi ketika ada disrupsi.

Ambil contoh, penggunaan layanan telekonsultasi diperbolehkan ketika pandemi. Pemerintah menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk melegitimasi penggunaan layanan tersebut. Namun, SE kurang memiliki kekuatan untuk jangka panjang karena begitu pandemi selesai, telekonsultasi tak diperbolehkan lagi.

“Jadi DTO ibarat sebuah startup yang sedang membangun Minimum Viable Product. Ketika kita ingin menuju goal keterhubungan data, kita perlu membantu meski belum ada produk hukum.”

Dyota Marsudi: Ekosistem “Offline” Jadi Kunci Rangkul Segmen “Unbanked” dan “Underbanked”

Dalam wawancara perdana DailySocial, Presiden Direktur PT Bank Aladin Syariah Tbk (IDX: BANK) Dyota Marsudi bercerita gagasan dan strateginya menjangkau masyarakat unbanked dan underbanked di Indonesia dengan pendekatan sederhana, yakni menyentuh aspek yang lekat dengan keseharian mereka.

Sebagai langkah awal, Bank Aladin bersinergi dengan salah satu raksasa modern retail PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (IDX: AMRT). Jaringan luas Alfamart menjadi strategi kunci Bank Aladin untuk men-deliver layanannya dengan cara yang efisien dan accessible. Sinergi ini semakin solid kala Alfamart resmi menggenggam sekitar 2,2% saham Bank Aladin.

Bank Aladin sebelumnya bernama Bank Net Indonesia Syariah. Perusahaan resmi berganti identitas pada Juni 2021. Selain Alfamart, perusahaan insurtech asal Tiongkok ZA Tech Global juga masuk menjadi investor Bank Aladin pada April 2022.

Berikut petikan wawancara kami untuk memahami lebih lanjut strategi omnichannel Bank Aladin dalam memperkuat posisinya di industri bank digital.

Ceritakan proses transformasi awal menjadi Bank Aladin?

Jawab: That was a very difficult thing to do. Sebetulnya, kami sudah punya lisensi syariah meski target pasar yang diincar sekarang berbeda. Untuk membangun perusahaan dengan pemilik dan manajemen baru, ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, menjalankan dua bisnis secara paralel. Bisnis legacy tetap berjalan, but don’t put too much effort. Wind down secara bertahap, dalam 2-5 tahun akan mengecil.

Kedua, membangun dari nol. Bagi bank, membangun hal baru cukup sulit. Kalau harus menjalankan dua bank sekaligus, baik legacy maupun bank digital, tentu sulit karena bisnis, sistem, dan timnya berbeda. Nah, kami punya tim baru dengan tim yang menjalankan bisnis dan teknologi sebelumnya.

What we did adalah putuskan semuanya dengan cepat. Istilahnya rip the bandage off. Ini terjadi sebelum saya masuk. Saat itu, pemegang saham pengendali (PSP) dan tim mengambil sejumlah tindakan, yakni mencari buyer untuk take over aset, melihat kembali liabilitas, dan hentikan renew sistem. Ada beberapa orang di-let go, tetapi kami minta mereka reapply lagi supaya kami bisa assess.

Apa hipotesis Anda mengenai target pasar dan strategi Bank Aladin?

J: Sedikit kilas balik, sebelum berganti nama, Bank Net Syariah bermain di segmen korporasi, syndicated loan, yang di-drive oleh Maybank Malaysia. Saat itu mereka ingin mengembalikan license [syariah], tetapi OJK memberi kesempatan bagi mereka yang ingin berinvestasi di sini.

Pemegang saham pengendali (PSP) membuat tesis—nah, saat itu saya belum bergabung—yang kebetulan sama dengan yang saya pelajari saat bekerja di Vertex Ventures. Membangun tech company berarti ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni (1) membuat existing market lebih efisien dan (2) membuka market baru.

Kami melihat segmen corporate atau ultra high network sudah overserved di sektor perbankan, khususnya layanan keuangan. Sudah ada aplikasi dan produk khusus. Banyak wholesale yang memberikan loan. Jadi segmen ini sudah afluent dan relatif nyaman.

Justru segmen terbesar yang perlu menjadi perhatian adalah middle income dan below. Kami sebut sebagai unbanked dan underbanked yang populasinya mencapai 77%. Ada yang punya rekening, tapi belum dipakai sepenuhnya. Ada juga yang akunnya dormant. Mereka tidak punya akses ke layanan keuangan resmi atau formal.

Alasan mereka tidak punya akses ke layanan keuangan adalah mereka butuh simple product, bukan sophisticated atau produk yang strukturnya rumit. Kemudian, soal akses. Sebelum bank digital ada, buka rekening harus ke bank di mana tidak semua lokasi ada dan tidak buka seharian. Terakhir, dalam sebuah survei, syariah menjadi faktor kedua terpenting saat nasabah menentukan bank. Ini tiga hal utama yang menjadi landasan membangun Aladin.

Simple product dan akses tercermin dari produk. Turunannya adalah partner kami. Saat kami bangun Bank Aladin, partner yang kami ajak kerja sama harus punya kontribusi signifikan terhadap tesis tersebut. Nah, Alfamart paling cocok dengan segmen yang kami incar. Setiap bulan puluhan juta orang datang ke Alfamart. Mereka bertransaksi dalam volume kecil. Selain itu, Alfamart punya 17.000 lokasi gerai di Indonesia. Mereka sudah punya trust terhadap Alfamart dan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat setempat. Bagi segmen yang kami incar, interaksi itu penting. Mereka bisa berinteraksi nyaman.

Akses, trust, dan simple product sudah kami dapatkan. Yang kami lakukan selanjutnya adalah amplify those things. We try and make product as simple and accessible sehingga kami bisa menarik 77% ini, termasuk UMKM, yang belum punya akses ke layanan keuangan dan pinjaman.

Bagaimana transformasi teknologi dan pengembangan produk Bank Aladin?

J: Di awal 2021, tim kami baru 30 orang. Lalu, jumlahnya mencapai 200 orang di akhir 2021. Sekitar 50%-60% dari total headcount kami adalah product engineer. Kalau benchmarking bank secara umum, porsi product engineer bisa sepuluh kali lipat. Namun, kami adalah bank. Everything we do harus di-assess dengan baik. Kami harus compy dengan regulasi.

We run a very nimble company. We start simple. We build things as we go. Bukan [menggunakan model] waterfall di mana harus lengkap dulu baru launch. Kami start pengembangan fitur dari kebutuhan yang paling core, seperti aplikasi untuk onboarding dan fitur transfer. Lalu, kami launch [aplikasi] di awal 2022 setelah mendapat lisensi dari OJK dan BI. Artinya, kami membangun bank digital in less than six months. Everything we build is from scratch, with no legacy issues.

Kami bangun semua teknologi sendiri, kecuali core. Dulu kami pakai Silverlake untuk core banking system. Lalu, kami ganti ke Mambu, which is a cloud-based core banking systemWe are culturally more similar to tech company daripada bank, tetapi operationally we are bank. Kami bukan fintech, P2P, atau multifinance.

Bagaimana penerimaan pasar terhadap aplikasi Bank Aladin?

J: Jumlah nasabah kami yang sudah melewati KYC di Dukcapil dan dijamin LPSini akun aktif, bukan download, phone number, atau emailhampir 700 ribu. Dengan catatan, kami belum push marketing kencang, baru di semester II ini.

Produk funding sudah setengah triliun Rupiah, ini liabilities ya. Sementara, produk financing kami baru mulai. Sudah [salurkan] beberapa ratus miliar, tetapi belum optimal. Primarily, produk financing kami untuk supplier Alfamart, sedangkan funding untuk pengguna retail. Sebagian besar nasabah kami adalah retail.

Kami dapat masukan dari nasabah kami. Ternyata, masih ada yang mengira kami pinjol, which is not good for us. When we go down to tier 2 or 3 cities di mana ada cakupan Alfamart, awareness Aladin belum terserap dengan sempurna. That’s why we’re going to push marketing in second half and establish Bank Aladin‘s name even better. We plan a lot of products, hopefully we get it right. Semoga brand awareness kami lebih kuat dan tidak diasosiasikan dengan pinjol. Siapa tahu, 700 ribu nasabah kami dapat berkembang menjadi tujuh juta.

Apakah Bank Aladin akan go cardless?

J: Kami akan tetap pakai kartu. Kami berikan masyarakat opsi untuk memiliki kartu atau tidak saat registrasi.

Kita bisa merasa optimistis dengan teknologi. Perkembangannya cepat sekali. Lihat saja sekarang banyak tech company besar, bahkan ada yang sudah IPO.  Namun, will everything be cardless or cashless in the next 5 or 10 years? Mungkin in unpopular opinion, menurutku ini belum diketahui. Lalu, what do we need to do? We need to be able to serve the customer today. Kita tidak bisa tunggu 5-10 tahun supaya [adopsi teknologi] mereka siap. Ini mengapa kami approach dengan model omnichannel.

Jaringan omnichannel yang kami miliki, with all due respect, at least from the offline side should be the strongest dari [yang dimiliki] bank digital saat ini. Kami bermitra dengan Alfamart untuk tarik-setor tunai. We have access to over 17,000 location. Ekosistem Alfamart besar dan primarly offline. Digitalisasi online ada di Bank Aladin.

Apakah kami tidak berkolaborasi dengan online platform, seperti e-commerce, ride-hailing, atau travelThe answer is yes, but we believe the offline element is more important now considering the target market is unbanked and underbanked. Saat [ekosistem] offline sudah terbentuk, kami bisa mulai fokus ke online. Kami bisa saja full online, nothing stopping us. Namun, the reason we go offline adalah we know our target segment. We know their behavior. We know what they need. Jadi ini adalah go-to market strategy, bukan capabilities issue.

Apakah ada sinergi pembukaan rekening di gerai Alfamart?

J: Pembuatan rekening butuh KYC. Ini sangat regulated karena ada risk assessment. We don’t plan to do onboarding nasabah di gerai Alfamart karena itu akan menjadi cabang, less-efficient, proses ribet, dan investasi tinggi.

Yang kami lakukan lewat sinergi ini adalah kasir di Alfamart dapat membantu mengarahkan calon nasabah untuk mengunduh aplikasi Bank Aladin dan go through e-KYC process sendiri. Artinya, kami ingin membuat calon nasabah merasa nyaman dengan menggunakan pendekatan Alfamart. Kami membangun aset sendiri yang dapat menjadi complimentary bagi aset yang dimiliki partner.

Apa saja fokus Bank Aladin di tahun ini?

J: Fitur yang kami push sejak awal adalah tarik-setor tunai di gerai Alfamart. Kalau hanya opsi transfer saja, bagaimana tariknya? Sementara, segmen unbanked dan underbanked rata-rata belum punya rekening.

Kami coba buka akses yang simple dan tidak ribet, yakni Alfamart. Nasabah bisa menabung atau tarik tunai di kasir apabila tidak ada ATM. Tech integration is done sehingga kami bisa scale dengan cepat. Kasarnya, tinggal dinyalakan saja. Jadi nasabah bisa lakukan di semua Alfamart di Indonesia. Kami juga akan dorong promosi di Alfamart untuk meningkatkan transaksi dan memahami behavior mereka.

Kami juga ingin fokus untuk financing, to make sure our liabilities is productive. In the next semester, we’ll build financing product untuk UMKM karena we can assess UMKM better than retail. Kami adalah bank, bukan P2P atau multifinance. NPL kami betul-betul diawasi investor.

Mengapa bersinergi dengan ZA Tech? Apa saja produk kolaborasinya?

J: Belum banyak yang tahu bahwa perusahaan insurtech ZA Tech Global punya bank digital dan number one di Hong Kong. They have actually built a winning bank. Belajar dari mereka sangat excitingFor us, insurance seems to be a logical next step. Insurance adalah core product mereka dan kami ada pipeline ke sana, baik itu micro insurance, loan insurance, apapun itu.

Saat ini, kami belum bisa diclose dari sinergi ini. Perlu diketahui, semua produk yang kami bangun hanya untuk segmen kita saja, yakni unbanked, underbanked, dan SME. Kami harus disiplin, apakah [yang dibangun] sesuai dengan kacamata unbanked dan underbanked. Jadi, kami tidak akan bikin [produk] yang kompleks. We always try to make decisions based on data we collect.

Partnership tidak mudah karena chemistry, strategi, dan aspek lain harus cocok. Kita sudah align semua dan hanya masalah timeline saja. Jadi, when we find a good partner, we’ll pull the trigger. 

Application Information Will Show Up Here

Setiaji: Standardisasi Jadi “Backbone” Keterhubungan Data di Industri Kesehatan

Tahun lalu saat menduduki posisi Staf Ahli Menteri di bidang teknologi kesehatan, Setiaji mendapat amanat dari Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk menangani pandemi dan menyukseskan program vaksinasi Covid-19 dengan teknologi, serta melakukan transformasi digital di industri kesehatan.

Ia dipercaya memimpin sebuah inisiatif besar–dan mungkin dapat dikatakan pertama kalinya di industri kesehatan–melalui Digital Transformation Office (DTO) untuk mengatasi rangkaian permasalahan sistemik di Tanah Air. Berbekal pengalaman kuat terdahulunya di ranah birokrasi dan teknologi, Setiaji mengawali eksekusinya dengan menyusun standardisasi data sebagai tulang punggung dari seluruh ekosistem kesehatan.

“Tentu fokus awal adalah bagaimana membereskan Covid-19 karena tantangannya setiap hari ada sekitar 400-500 orang meninggal. Bagi saya [menjadi Chief DTO] adalah tugas mulia untuk mengurangi tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 dengan melibatkan teknologi,” ungkapnya.

Bagaimana persiapan awal Anda dalam memimpin DTO?

Jawab: Saat itu sistem, cara kerja, dan tim yang ada, belum mendukung. [Eksekusinya] tidak mungkin ditangani oleh tim internal karena ada keterbatasan SDM, kompetensi, skill set, dan pengalaman untuk menangani sistem besar. Visi dan misi sudah ada, tinggal bagaimana mengakselerasinya dengan tim yang lebih efektif dan tepat sasaran untuk tahu root cause-nya.

Saya bawa pengalaman saya ke DTO, menyederhanakan sistem aplikasi dan membentuk tim agar dapat bekerja lebih efektif. Saya sebelumnya sudah memiliki pengalaman–membentuk startup dalam lingkup pemerintahan–yaitu di Jakarta (Head of Jakarta Smart City) dan Jawa Barat (Head of ICT Digital Services). Nah, di level nasional belum ada.

Tim kami kemudian menyusun roadmap, mulai dari arahnya seperti apa dan bagaimana arsitekturnya. Tentu tantangan akan besar sekali karena kami menyusun roadmap sambil menangani Covid-19. Istilahnya ‘kami berlari sambil mengikat tali sepatu’.

Kami set up organisasi, struktur, dan talent. Kalau di daerah, [organisasi] ini menempel dengan Dinas Kominfo sebagai PT, lalu nanti ada tim govtech. Di Kementerian, istilahnya seperti Pusdatin (Pusat Data dan Teknologi Informasi). Kami pikirkan ini karena kalau levelnya direktorat terkait, eksekusi akan lebih lambat meski berada di bawah Kementerian.

Maka itu, kami dudukan posisi Pusdatin sebagai sekretariat yang akan menyokong berbagai keperluan administratif, seperti pajak dan korespondensi, dipimpin oleh Chief Digital Transformation Officer bersama staf ahli.

Setelah struktur organisasi terbentuk, kami rekrut key hire dulu untuk mengisi posisi C-Level, misalnya CTO, COO, dan CPO. Di awal kami rekrut tim inti, tetapi secara bertahap sambil merekrut tim-tim lain. Saat ini DTO ada 150 orang dan targetnya mencapai 260 orang.

Apakah ada perbedaan signifikan saat memimpin DTO dibanding pengalaman sebelumnya di sektor lain?

Jawab: Sebetulnya, [posisi] sekarang justru lebih spesifik dalam mengatasi problem. Di Jakarta Smart City ada layanan smart health yang terkait dengan Dinas Kesehatan. Kemudian, ada pula sistem penanganan Covid-19 yang saya siapkan di Jawa Barat. Jadi, saya tidak terlalu jetlag. Hanya saja, saya harus mempelajari dan memahami istilah kesehatan, misalnya soal pengukuran data dan proses input. Ini sangat complicated, tetapi saya bisa belajar mengenai end-to-end supply chain hingga rekam medis elektronik.

Pada saat pandemi, memang ruang-ruang regulasi bisa dikesampingkan [agar eksekusi penanganan Covid-19 bisa lebih cepat]. Misalnya, penggunaan telekonsultasi, regulasinya belum klop karena pemeriksaan harus dilakukan secara fisik dan butuh KTP. Justru pada penanganan Covid-19, kami menggabungkan beberapa ekosistem dan menghubungkan ke beberapa sektor agar aktivitas tetap berjalan.

Di DTO, saya bisa eksekusi langsung root cause-nya, sedangkan dulu eksekusinya dilakukan oleh dinas-dinas terkait. Contoh, kalau mau buat smart health, tidak bisa kalau belum bereskan root cause. Dalam konteks standardisasi data, tidak bisa ditransformasi jika data tidak sama. Saya beruntung karena bisa melakukan perubahan itu dengan posisi saat ini di level nasional.

Sulit mendisrupsi industri kesehatan karena tidak ada standardisasi data. Apa upaya DTO untuk mengatasi hal itu?

Jawab: Kami dihadapkan pada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Dulu kami pikir, tinggal connect saja supaya data-data ini bisa masuk ke data center. Setelah kami lihat, pelajari, dan eksplorasi dari studi kasus negara lain, ternyata pendekatan awal salah. Kenapa? Masing-masing direktorat bikin aplikasi untuk kejar pelaporan. Para nakes jadi punya beban tinggi karena harus menginput data berkali-kali.

Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada rekam medis elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data masing-masing. Contoh variabel paling sederhana, format jenis kelamin ada yang sebut L/P, ada juga P/W. Nah, “P” ini maksudnya “Pria” atau “Perempuan”?

Sumber: DTO Kementerian Kesehatan

Tak hanya rekam medis, kami standardisasi data pada obat-obatan hingga laboratorium. Kami akan keluarkan kamus standardisasi yang harus diacu oleh setiap fasilitas kesehatan. Jadi, begitu berobat ke rumah sakit, data langsung terhubung, ada nomor kesehatan nasional, rekam medis, informasi berobat di rumah sakit mana. Semua data ini terekam tanpa perlu input lagi. Ini menjadi semacam single identifier berisi informasi kesehatan masyarakat. Selain itu, rekam medis elektronik bisa terintegrasi di berbagai aplikasi dan perangkat elektronik, seperti wearable device.

Nakes juga diberikan semacam kodefikasi sehingga ketika ingin memberikan rujukan kepada pasien, prosesnya tidak lagi berjenjang, kelamaan. Dengan sistem yang kami bangun, nakes dapat tahu rekomendasi rujukan ke mana. Ini semua kami harap dapat meningkatkan kualitas kesehatan.

Aturan mengenai rekam medis elektronik sedang [disusun] dan turunannya di Kemenko Polhukam. Karena ini bentuknya Peraturan Menteri, [penyusunannya] harus disinkronisasikan dengan Kemenko Polhukam untuk memastikan aturannya tidak bertabarakan dengan aturan lain, dan dapat menunjang aturan mana saja. Kami harap aturan ini bisa terbit pada Juni ini.

Sejauh mana progress dari transformasi digital ini? Bagaimana pengujian regulatory sandbox untuk healthtech?

Jawab: Kami punya tiga agenda transformasi, yaitu data, aplikasi, dan ekosistem. Tahun lalu kami fokus menyiapkan arsitektur untuk Indonesia Health Services (IHS), sekarang kami sedang beta testing platformnya. Kurang lebih ada 91 institusi mendaftar, mulai dari asuransi, peneliti, klinik, hingga laboratorium.

Targetnya, kami bisa kick off platform IHS pada Juli mendatang. IHS dapat diintegrasikan ke fasilitas kesehatan yang sudah siap, tentunya mereka harus punya sistem dulu. Kalau rumah sakit masih menggunakan rekam medis berbasis kertas, tidak bisa [integrasi]. Kami targetkan integrasi IHS dapat mencapai 8000 fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas, dan klinik.

Sumber: DTO Kementerian Kesehatan

Banyak pemilik fasilitas kesehatan yang bertanya bagaimana proses integrasinya dan apa saja yang perlu disiapkan. Kami sedang edukasi supaya mereka paham standardisasi yang kami buat. Salah satunya, kami menggunakan format HL7 FHIR berbasis API sebagai standar terkini untuk melakukan pertukaran data dan informasi kesehatan.

Terkait regulatory sandbox, [pengujian] awal memang dibuka untuk telemedicine dulu karena kami ingin mulai dari yang paling sederhana. Ke depannya kami akan buka untuk lebih banyak penyakit dan layanan lain

Kami tidak punya pengalaman [membuat] ini sebelumnya karena belum pernah ada regulatory sandbox di industri kesehatan. Kami juga belajar dari negara lain, seperti Singapura dan Inggris, dan terus melakukan diskusi tentang bagaimana melakukan regulatory sandbox. Belum lagi ini bicara UU Perlindungan Data Pribadi. Makanya, pengujiannya harus hati-hati karena ini berkaitan dengan nyawa manusia, tidak bisa salah diagnosis.

Kami mendapat dukungan dari universitas dan para pakar. Untuk starting, kami bekerja sama dengan UGM untuk pengujian [regulatory sandbox] ini. Kami sedang selesaikan uji coba telemedicine pada penyakit Malaria.

Salah satu tantangan yang kami lihat, para inovator yang menyusun proposal [pengujian] menganggap bahwa regulatory sandbox adalah sesuatu untuk mewujudkan ide-idenya. Padahal, kami menguji produk yang sudah jadi dan secara langsung. Piloting di suatu tempat, lalu testing bersama. Di sini kami lakukan edukasi karena ini berbeda dengan accelerator. Kira-kira ada 25 proposal masuk, tapi hanya 20 yang siap uji. Selebihnya baru sekadar konsep atau prototype untuk penanganan Malaria, belum ada alatnya.

Adapun, lisensi [healthtech] akan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Tapi, kami sedang pikirkan siapa yang operate ini. Di OJK, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) yang mengoperasikan regulatory sandbox. Nah, bisa saja yang operasikan regulatory sandbox ini asosiasi healthtech atau asosiasi telemedicine. Kami akan lihat mana yang cocok.

Bagaimana pengembangan PeduliLindungi selanjutnya pasca-pandemi?

Jawab: Nantinya PeduliLindungi tidak hanya untuk Covid-19. Kami mulai dari vaksinasi anak, seperti polio atau campak. Sertifikasinya akan muncul di aplikasi. Nanti juga ada semacam buku kesehatan digital, misalnya bagi ibu dan anak atau pasien diabetes.

Penyakit kan ada banyak, kami akan buat PeduliLindungi lebih personalized sehingga tampilannya dapat disesuaikan dengan status kesehatan setiap pengguna. Ada juga fitur untuk pencegahan sakit. Kami akan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mendorong gaya hidup masyarakat lebih sehat. 

Kami sudah siapkan timeline sampai 2022. Secara bertahap, kami akan tambahkan prioritas layanan kesehatannya supaya ini menjadi kebutuhan mereka setiap hari sebagaimana mereka memakai aplikasi PeduliLindungi di masa pandemi.

Bagaimana mengajak ekosistem kesehatan agar onboard dengan transformasi ini?

Jawab: Selama ini developer membuat aplikasi telemedicine sendiri, untuk rumah sakit atau klinik. Jadi mereka punya ekosistem masing-masing sehingga tidak bisa saling bertukar data. Kami mengembangkan platform, seperti halnya operating system (OS), di mana setiap pihak bisa mengembangkan solusi di sini. Maka itu, platform ini akan menjadi roof bagi setiap inovator sehingga lebih inklusif dalam memudahkan ekosistem berinteraksi satu sama lain.

Kami akan kaitkan [transformasi] ini dengan sistem akreditasi. Apabila [fasilitas kesehatan] tidak punya rekam medis elektronik, akreditasinya akan turun. Mirip dengan laboratorium untuk tes Covid-19, jika tidak terhubung dengan PeduliLindungi, bisa ditinggalkan. Fasilitas kesehatan yang terdaftar di sistem IHS akan punya nilai tambah.

Hal-hal ini untuk memastikan ekosistem tumbuh transparan dan saling terhubung. Kami akan dorong proses transisinya selama satu tahun.

Unggulkan Sistem Kelas Dunia, iSeller Bersiap Menjadi Solusi Transformasi Digital Bagi Seluruh Pebisnis

Salah satu kunci penting dalam upaya pemulihan ekonomi adalah melalui transformasi digital. Pergeseran yang komprehensif pada pola dan perilaku konsumsi di masyarakat akibat pandemi, membuat transformasi digital menjadi langkah yang esensial. Tak heran di tahun 2024, pemerintah pun menargetkan ada sekitar 30 juta pelaku ekonomi mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah terdigitalisasi. Dalam merespon isu tersebut, dibutuhkan inovasi dan langkah yang strategis dari para stakeholder.

Berbicara mengenai inovasi, salah satu stakeholder yang memiliki peranan ini datang dari sektor startup teknologi. Hingga kini industri startup teknologi tanah air telah cukup rajin menelurkan berbagai macam inovasi layanan dan produk dalam mendorong kesiapan pebisnis dalam memasuki ekosistem digital. Seperti halnya yang disuguhkan oleh iSeller – startup penyedia platform omnichannel sebagai solusi bisnis yang mampu membantu para pemilik bisnis dalam mengelola sekaligus mendistribusikan beragam kebutuhan bisnis ke berbagai kanal melalui satu platform. Mari kita kenali iSeller lebih lanjut.

Solusi mendigitalisasi bisnis yang paling komprehensif dengan SLA 99.99 persen

Di ranah global, model bisnis dan solusi yang diusung iSeller sekilas hampir serupa dengan Shopify, meski begitu, keberadaan iSeller juga mampu menjadi jawaban bagi tantangan pasar di negara berkembang perihal pemahaman bisnis online – terlebih bagi pasar yang berada di wilayah tier 2 dan 3. Solusi omnichannel yang ditawarkan iSeller bisa jadi memangkas isu tersebut. iSeller memungkinkan pebisnis untuk berjualan dan mengelola semua bisnis baik itu secara online, maupun offline, dengan SLA kelas dunia yang mencapai 99,99 persen, berikut dengan bandwidth dan performa sistem online store yang 10 kali lebih optimal. Sehingga memudahkan pebisnis dalam mengelola, sekaligus memanjakan konsumen dalam berbelanja.

Tingkat SLA yang tinggi dengan jaminan performa sistem yang mumpuni menjadi hal yang menarik, sebab, iSeller pada akhirnya mampu menyuguhkan sistem yang paling lengkap dalam bentuk portal web modern, yang memungkinkan klien bisnis memanfaatkan fitur integrasi, dashboard online untuk mengatur inventori, pemasaran, layanan pelanggan, sampai operasional bisnis, hingga sistem POS (point of sale) yang bisa dimanfaatkan bagi pebisnis luring.

Mendukung pertumbuhan pebisnis melalui teknologi dan layanan yang saling terintegrasi

Integrasi layanan dalam pengelolaan bisnis online menjadi salah satu dari sekian yang diunggulkan iSeller di atas untuk memikat pasar. Fitur integrasi iSeller terpusat pada beberapa elemen yang esensial dalam menjalankan bisnis online seperti; integrasi multi kanal penjualan, integrasi pembayaran digital melalui iSeller Pay, dan juga integrasi layanan logistik yang seluruhnya bisa diakses melalui satu dashboard. iSeller Pay sendiri merupakan fitur yang ditawarkan iSeller dalam membuka akses layanan pembayaran secara lengkap mulai dari pemanfaatan produk e-wallet populer, kartu debit/kredit, platform “pay later” seperti Atome, dan lain sebagainya.

Sistem serba terintegrasi yang ditawarkan iSeller diklaim merupakan solusi terbaik bagi segala jenis bisnis, mulai dari bisnis kuliner, retail, elektronik, dan lain sebagainya. iSeller juga menyediakan akses layanan yang cepat dan mudah dilakukan di mana saja melalui Admin App iSeller yang membantu pelaku bisnis memantau penjualan dan operasional tanpa terkendala lokasi dan waktu.

“Melalui ekosistem iSeller yang lengkap, kami percaya mampu mempercepat proses digital transformasi bangsa dengan menyediakan berbagai inovasi serta pelayanan kelas dunia guna membantu UMKM bertumbuh dan naik kelas” terang Jimmy Petrus, Founder & CEO iSeller Commerce dalam keterangannya.

Melihat inovasi dan pengembangan yang diusung iSeller tadi rasanya tak begitu berlebihan jika iSeller layak memperoleh apresiasi dalam kehadirannya sebagai salah satu startup teknologi yang mampu membantu mempercepat kemajuan ekonomi digital Indonesia, terlebih bagi sektor UMKM yang justru beberapa kali terbukti sebagai sektor yang memberikan dampak pemulihan yang besar di tengah ketidakpastian ekonomi. Meski begitu, dukungan dan dorongan dari stakeholder seperti yang dilakukan oleh iSeller harus tetap lestari di masa mendatang untuk menghadirkan solusi yang efisien bagi dunia wirausaha.

“Semangat untuk berwirausaha di Indonesia ini sangat tinggi, Meskipun begitu, kami melihat masih banyak kendala yang kerap dialami, seperti menjalankan bisnis yang kurang efisien dan berujung pada bisnis yang merugi. Adanya iSeller diharapkan bisa membantu para pebisnis meningkatkan efisiensi dan menumbuhkan bisnis mereka lebih besar lagi”, ujar Kevin Ventura selaku CCO iSeller Commerce.

Dari sisi bisnis, iSeller menutup tahun 2021 dengan apik. Pada Oktober lalu, perusahaan ini dikabarkan telah menerima pendanaan pra-seri B senilai 120 miliar rupiah dengan target ekspansi bisnis yang masif dan pertumbuhan yang diincar hingga 3 kali lipat. Terakhir, iSeller juga mengklaim telah digunakan oleh lebih dari 60 ribu pelaku usaha yang tersebar di 10 kota di Indonesia. Sangat menarik untuk kita nantikan perkembangan selanjutnya dari iSeller.

Advertorial ini didukung oleh iSeller.

Mengenal Aplikasi Spotgue, Bantu Transformasi Mal dengan Teknologi

Akhir tahun menjadi momen yang tepat untuk bisa bepergian bersama keluarga. Salah satu tempat yang bisa digunakan untuk menghabiskan waktu bersama dengan banyak pilihan kegiatan adalah pusat perbelanjaan atau mal. Pengunjung memiliki banyak pilihan aktivitas mulai dari outlet belanja, restoran, supermarket, gym, dan lainnya. Namun, padatnya pengunjung di mal menyisakan permasalahan, seperti lahan parkir yang terbatas atau tempat makan yang full booked.

Melihat permasalahan ini, Founder & CEO Gerry Hasang Spotgue bersama dengan beberapa teman alumni Universitas Tarumanagara berinisiatif mengembangkan sebuah solusi dengan kombinasi teknologi dan gaya hidup mal untuk menghasilkan pengalaman unik. Spotgue memungkinkan pengunjung, tenant, dan pihak mal berinteraksi secara real time dan terintegrasi atau yang disebut sebagai “Mall 4.0 Experience“.

“Sistem reservasi berbasis teknologi menjadi solusi di kondisi ramai di mana pengunjung bisa melakukan reservasi atau waiting list secara aplikasi dan melihat status antreannya dan ketika dipanggil mendapatkan notifikasi di HPnya,” ujar Gerry.

Aplikasi Spotgue akan membantu pengunjung mal untuk melihat ketersediaan area parkir mobil, menandai posisi parkir, mendapatkan rekomendasi dari virtual assistant, melakukan reservasi/waiting list restoran dan layanan favorit. Selain itu, pengguna juga bisa melakukan pemesanan makanan di resto (dine in) secara contactless, menemukan berbagai informasi terkait kupon dan diskon, serta berinteraksi langsung dengan pihak mal maupun tenant.

Dari sisi model bisnis, Spotgue menyediakan berbagai fitur basic yang dapat digunakan 15 mal pertama secara gratis dan bisa digunakan oleh seluruh tenant. Selain itu, platform ini juga menawarkan fitur premium berbayar yang menyediakan laporan analisis terkait perilaku dan preferensi pengunjung atau konsumen sebagai bahan evaluasi mal.

Gerry juga mengungkapkan, “Adapun kami sangat menghargai privasi pengunjung, sehingga semua data analytic sifatnya aggregate dan tidak ada data pribadi yang diberikan. Misalnya, komposisi pengunjung mal A terdiri dari pria dan wanita, rentang usia, domisili, preferensi toko, dll.”

Penawaran gratis diberikan mengingat kondisi pandemi yang sempat memukul industri ritel. Harapannya, solusi ini dapat membantu bisnis ritel kembali pulih. “Itulah mengapa kami memberikan kuota 15 mal pertama di setiap wilayah. Jabodetabek memiliki kuota sebanyak 8 mal, sementara Bandung, Surabaya, Jateng/Jogja, Bali, Medan, dan 2 kota lainnya yang mempelopori masing-masing mendapat kuota 1 mal,” tambah Gerry.

Spotgue menargetkan mal-mal berukuran medium-high beserta seluruh tenant dan pengunjung reguler yang ada di dalamnya. Kesepakatan ini bersifat official partnership, sehingga ketika mal sudah memutuskan bekerja sama, semua tenant akan langsung bisa mendapatkan manfaatnya.

Saat ini, strategi akuisisi yang digunakan Spotgue adalah dengan menawarkan ke mal dan grup perusahaan, mengingat sejumlah grup besar yang memiliki mal di berbagai daerah. Contohnya, Living World ada di Alam Sutera, juga ada di Pekan Baru, serta Living Plaza yang sudah hadir di berbagai wilayah.

Soft launching

Pada bulan November lalu, Spotgue telah mengadakan soft launching di Mal Artha Gading dan Living World Alam Sutera. Ini adalah hasil dari kesamaan visi perusahaan dan mal bahwa ke depannya, pengunjung mal harus bisa merasakan pengalaman yang sedemikian rupa. Timnya juga sudah mencoba menggandeng beberapa mal lainnya.

Pada public preview ini, pengunjung bisa mengakses berbagai fitur yang ada di aplikasi Spotgue, mulai dari informasi produk dan promosi tenant, kegiatan atau acara yang sedang berlangsung, informasi semua fasilitas yang tersedia untuk pengunjung hingga fitur untuk melihat ketersediaan parkir. “Tujuannya adalah untuk kemudahan dan kenyamanan pengunjung dalam mendapatkan semua informasi terkait Living world Alam Sutera.” jelas Adrian Pranata, General Manager Living World Alam Sutera.

Terkait proses verifikasi dan integrasi, semua merchant sudah tercakup dalam aplikasi Spotgue berdasarkan data yang disusun oleh Mal. Namun, informasi dasar seperti lokasi, jenis, atau nama biasanya tidak cukup untuk pengunjung yang menginginkan lebih, seperti info promo, produk terbaru, diskon, acara dan lain sebagainya. Hal ini harus dikelola secara dinamis.

Spotgue memiliki 3 jenis aplikasi: Spotgue Visitor, Spotgue Tenant, dan Spotgue Building (untuk pengelola mal). Melalui fungsi dari masing-masing aplikasi, proses pengkinian informasi dari tenant tidak lagi tersentralisasi ke pihak mal, namun dapat dilakukan secara mandiri dan terdistribusi oleh masing-masing tenant.

Spotgue juga mendukung sistem grouping of tenant, sehingga tenant atau penjual dari group yg sama dapat melakukan mirror content dari salah satu outlet di group tersebut dan pengunjung akan melihat informasi yang sama di semua outlet lainnya. Dalam upaya mencapai hal ini, tim Spotgue harus melakukan sosialisasi, training, membantu proses setup di lebih dari 700 tenant dari mal-mal tersebut.

Transformasi mal 4.0

Industri ritel modern merupakan salah satu sektor yang cukup terpukul akibat pandemi Covid-19. Banyak dari para pemain nasional yang menorehkan penyusutan kinerja di sepanjang tahun 2020. Termasuk di dalamnya para pemain ritel lokal yang cakupan gerainya masih di beberapa daerah saja. Bahkan tak sedikit dari peritel modern lokal yang terpaksa menutup sebagian bahkan seluruh gerainya dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak mendukung.

Gerry mengungkapkan bahwa salah satu tujuan dikembangkan platform ini adalah untuk mendukung visi Presiden dalam transformasi industri ritel. Pihaknya juga tengah mencoba untuk membangun kolaborasi dengan APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia) dan HIPPINDO (Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia) untuk bisa berkontribusi dan mendukung transformasi lebih banyak mal lagi.

Salah satu hal yang cukup menarik dibahas terkait transformasi mal 4.0 ini adalah fitur virtual assistant yang ditawarkan oleh Spotgue. Fitur ini diberi nama Ask Alice, yang membangun sistem rekomendasi baik untuk kado, makanan atau pakaian. Sebagai virtual assistant, Ask Alice dikembangkan secara internal oleh tim Spotgue yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswi terbaik di jurusan Teknologi Informasi Universitas Tarumanagara.

“Namun, di tahap awal ini, Alice belum mengenal preferensi dan perilaku spesifik dari pengguna. Setelah ia punya cukup banyak data, maka kita bisa ajarkan untuk menghasilkan rekomendasi yang semakin personal dan relevan,” sebut Gerry.

Dari sisi pendanaan, saat ini Spotgue masih menggunakan skema bootstrap dari shareholder awal. Nantinya, untuk mendukung ekspansi ke berbagai kota dan jumlah mal yang lebih besar, timnya akan mencari partner investor dan venture capital yang bisa mendukung visi tersebut.

“Kami punya mimpi besar, untuk bisa memperluas cakupan layanan ke seluruh Indonesia, Asia, bahkan dunia. Target kami saat ini adalah untuk mendukung transformasi setidaknya 25-50 mal dalam 1 hingga 2 tahun ke depan,” ungkap Gerry.

Application Information Will Show Up Here

Kemenkes Terbitkan Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2024

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) resmi menerbitkan peta jalan (roadmap) yang tertuang dalam cetak biru (blueprint) transformasi dan digitalisasi sektor kesehatan Indonesia pada periode 2021-2024. Ada tiga agenda utama yang menjadi prioritas Kementerian, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech).

Pada peluncuran yang digelar secara offline dan online ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa transformasi sektor kesehatan Indonesia merupakan salah satu tugas besar yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo. Maka itu, Kemenkes harus membangun platform yang menghubungkan berbagai data dan sistem di ekosistem kesehatan dalam satu kesatuan.

“Kami ingin melakukan transformasi yang fokus pada healthtech, mulai dari layanan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM. Dengan begitu, transformasi ini tak cuma [menghasilkan] sesuatu yang sifatnya pelaporan ke pejabat tetapi menjadi sebuah pelayanan,” ujar Budi.

Ia menilai, sebagai pemilik posisi tertinggi di industri kesehatan, Kemenkes ingin memberikan kesempatan kepada startup dan inovator untuk menciptakan inovasi yang dapat dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan (stakeholder), baik itu Rumah Sakit, farmasi, laboratorium, pemerintah, dan startup .

“Untuk membangun platform yang baik, perlu ada cetak biru ekosistem teknologi kesehatan. Krisis besar ekonomi dan kesehatan di dunia telah memberikan kesempatan untuk melakukan major reform,” tambahnya.

Situasi dan tantangan

Dalam kesempatan sama, Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Setiaji mengatakan pandemi Covid-19 menjadi momentum yang tepat untuk bertransformasi karena memunculkan permasalahan sistemik yang perlu diperbaiki. Di antaranya adalah tantangan pada sistem data serta tidak seimbangnya rasio jumlah tenaga kesehatan dan kapasitas kamar dengan jumlah penduduk.

Saat ini, terdapat ratusan aplikasi yang pengelolaan datanya masih berbasis informasi individu. Di pemerintahan, ada lebih dari 400 aplikasi di bidang kesehatan, dan jumlah ini belum termasuk di tingkat daerah. Ini belum lagi bicara rekam medis milik 270 juta penduduk Indonesia yang belum sepenuhnya berbasis digital.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan 2020 mencatat rasio dokter mencapai 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi di Indonesia.

“Kita telah melihat bagaimana pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada berbagai hal, termasuk mengubah cara masyarakat berkonsultasi. Kami harus mulai transformasi ini dan fokus pada pengembangan platform serta pelaksanaan insiatif yang kolaboratif dengan para pemangku kepentingan. Kami harap bisa wujudkan Indonesia sehat dan membuat platform kesehatan terintegrasi,” paparnya.

Agenda prioritas

Peta jalan bertajuk “Strategi Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2024” memuat sejumlah kegiatan prioritas yang akan dilakukan secara bertahap dan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholder).

Ada tiga agenda utama transformasi yang fokus pada integrasi dan pengembangan, yaitu sistem data, sistem aplikasi pelayanan, dan ekosistem di teknologi kesehatan (healthtech)

Dari ketiganya, transformasi yang akan dilakukan di 2022 adalah mengembangkan sistem big data berbasis integrated electronic health record, platform sistem fasyankes terintegrasi, dan memperluas telemedicine dan implementasi regulatory sandbox.

Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2021-2024 / Sumber: Kementerian Kesehatan

“Kemenkes telah meluncurkan sandbox regulatory sebagai inisiatif awal untuk mengakselerasi industri startup, termasuk memastikan keamanan seluruh platform yang dikembangkan oleh para inovator sesuai regulasi,” tuturnya.

Selain itu, Pemerintah juga akan menyiapkan platform Indonesia Health Services (IHS) yang menjadi payung ekosistem digital kesehatan terintegrasi masyarakat Indonesia. IHS akan menyediakan konektivitas data, analisis, dan layanan untuk mengintegrasikan berbagai aplikasi kesehatan di Indonesia.

Sesuai peruntukkannya, IHS akan dikembangkan dalam dua jenis aplikasi. Pertama, Partner Systems yang ditujukan bagi pelaku industri kesehatan, seperti RS, Puskesmas, klinik, dan laboratorium. Kedua, CitizenHealth atau platform terintegrasi yang menyimpan data kesehatan pribadi secara lengkap untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Contoh penggunaannya, masyarakat dapat mengakses laporan kesehatan pribadi dan mendapatkan rekomendasi secara personal (electronic personal health record, pelayanan dan penggunaan obat, profil asuransi, tracing & testing) melalui CitizenHealth.

Setiaji juga menambahkan, Pemerintah juga berupaya me-nurture ekosistem healthtech di Indonesia melalui Health Tech Space. Wadah ini akan menghadirkan sejumlah program, yakni launchpad (inkubator), creative space, dan pusat bisnis (akselerator).

Bhinneka Tambah Portofolio Produk dan Layanan B2B untuk Segmen UMKM

Platform e-commerce Bhinneka mengumumkan kolaborasi terbarunya dengan sejumlah mitra enabler untuk memperkuat portofolio produk dan layanan bagi segmen UMKM. Di antaranya adalah Mekari, Payrollbozz, Omegasoft, dan Krishand Software.

Dalam keterangan resminya, Chief of Commercial and Omnichannel Vensia Tjhin mengatakan bahwa ia menilai pelaku UMKM umumnya masih memanfaatkan sejumlah kegiatan bisnis secara manual, ambil contoh pencatatan keuangan dan pengelolaan data. Dengan shifting ke digital, pelaku UMKM dapat mengalokasikan waktu dan tenaga untuk aspek produktif lainnya.

Menurutnya, usaha perorangan pasti akan berkembang menjadi menjadi badan usaha yang akan menyerap tenaga kerja baru. Namun, sejalan dengan hal tersebut, pengembangan bisnis UMKM akan memunculkan tantangan baru, terutama terkait pengembangan tata kelola usaha.

Di samping itu, umumnya penghujung tahun menjadi momentum yang tepat bagi pelaku UMKM untuk mengevaluasi dan merencanakan bisnis di tahun depan. Maka itu, penambahan produk dan layanan ini diharapkan dapat mendorong pelaku bisnis untuk mulai bertransformasi digital sehingga mereka dapat menaikkan skala dan kapasitas bisnisnya.

“Penambahan mitra pemampu ini dapat mendorong pelaku bisnis untuk menikmati manfaat optimal dari platform Bhinneka sebagai one-stop-solution center,” ungkap Vensia.

Pada kerja sama ini, Mekari menawarkan sejumlah solusi pengelolaan biaya, pengeluaran, data transaksi pelanggan, pemasok dengan harga Rp199 ribu per bulan. Solusi-solusi tersebut akan menghasilkan sebuah laporan yang dapat membantu pelaku bisnis menyusun dan membuat keputusan strategis.

Kemudian, Payrollbozz menyediakan solusi penggajian (payroll), Krishand Software melayani aspek perpajakan (PPh21, PPN, dll), eFaktur, pengelolaan stok, dan invoice, serta Omegasoft yang menawarkan sistem pengelolaan pembayaran transaksi atau Point of Sales System (POS).

“Untuk itu, dukungan bagi UMKM diperlukan untuk mendorong mereka berinovasi, mempercepat transformasi digital, dan meningkatkan kapasitas produksi,” tambahnya.

Transformasi digital UMKM

Mengacu data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, UMKM termasuk dalam skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), di mana Pemerintah mengalokasikan anggoran PEN untuk UMKM sebesar RP161,2 triliun atau 21% dari total anggaran.

Ini menunjukkan bagaimana UMKM menjadi salah satu pondasi kuat perekonomian di Indonesia. Untuk membantu memulihkan ini, Pemerintah berupaya mendorong UMKM untuk go digital seiring dengan perubahan perilaku konsumsi dari offline ke online sejak pandemi Covid-19 di 2020.

Sejumlah startup SaaS di Tanah Air juga agresif mendorong pengembangan produk untuk mengakomodasi kebutuhan transformasi digital UMKM ini. Salah satunya adalah layanan POS yang dinilai dapat membantu pelaku bisnis untuk memudahkan proses pembukuan.

Dalam wawancaranya kepada DailySocial beberapa waktu lalu, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengungkap bahwa POS menjadi titik mula dari berbagai kebutuhan solusi bisnis UMKM yang bakal muncul dan patut mendapat perhatian.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah UMKM di Indonesia telah mencapai 64 juta. Namun, baru sekitar 14 juta atau 22% yang menggunakan platform e-commerce per Agustus 2021.

Application Information Will Show Up Here

Adi Sarana Armada Memperkuat Transformasi Digital di Sektor Otomotif

PT Adi Sarana Armada Tbk (IDX: ASSA) akan memperkuat digitalisasi layanan di sektor otomotif melalui tiga model bisnisnya di platform JBA Indonesia, Caroline.id, dan Cartalog. Perusahaan memberikan pinjaman kepada Autopedia Sukses Lestari senilai Rp225 miliar untuk merealisasikan rencana tersebut.

Dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu, Direktur Adi Sarana Armada Jany Candra mengatakan bahwa perusahaan berupaya mengakomodasi peningkatan tren jual-beli mobil bekas secara online. Tren ini meningkat sejalan dengan akselerasi adopsi digital sejak pandemi Covid-19 pada tahun lalu.

Dihubungi secara terpisah, Jany mengungkap tengah menyiapkan sejumlah rencana pengembangan ketiga platform tersebut dengan memanfaatkan momentum transformasi digital di Indonesia.

Salah satu fokusnya adalah menghadirkan pengalaman penggunaan layanan yang lebih baik dan meningkatkan ekosistem otomotif berbasis digital yang terintegrasi dengan teknologi terkini. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan operasional ASL di sektor otomotif dan memberikan kinerja positif terhadap induk usaha.

“Saat ini, kami masih fokus untuk mengembangkan bisnis yang sudah ada dan memperkuat fundamental perusahaan dengan melakukan inovasi-inovasi teknologi berbasis digital. Namun, kami masih harus lihat perkembangan bisnis ke depan jika bicara kemungkinan kolaborasi dengan platform yang punya ekosistem digital besar,” ujarnya kepada DailySocial.id.

Adi Sarana Armada mengawali bisnis dari penyewaan kendaraan dengan jaringan nasional. Saat ini, Adi Sarana memiliki berbagai lini bisnis, yakni penyewaan kendaraan, jasa lelang kendaraan, jasa penyediaan juru mudi, dan layanan logistik end-to-end logistic.

Per kuartal ketiga 2021, JBA Indonesia telah melelang sebanyak 75.000 unit kendaraan, lebih dari 20.000 pengguna, dan lebih dari 50.000 unduhan di Google Play Store. Caroline mencatat transaksi lebih dari 100 unit mobil, dan memiliki 1.000 unduhan aplikasi di Play Store, sedangkan Cartalog masih 5.000 unduhan.

Pandemi dorong digitalisasi sektor otomotif

Lebih lanjut, Jany mengungkap bahwa pandemi covid-19 mendorong akselerasi jual-beli kendaraan di Indonesia. Bahkan, minat masyarakat Indonesia terhadap transaksi jual-beli kendaraan bekas melalui marketplace juga turut meningkat.

Ia mencotohkan pencapaian JBA Indonesia yang saat itu sudah menerapkan online auction di 2020. Perusahaan mencatatkan penjualan 44.000 unit mobil di 2020 atau naik 19% dari tahun sebelumnya melalui platform JBA.

“Sejak awal kami tidak menggabungkan ketiga lini ini ke dalam satu platform sekaligus mengingat masing-masing punya model bisnis yang berbeda,” tambahnya. Dengan agenda transformasi digital ini, pihaknya dapat mendorong penguatan masing-masing layanan yang memiliki target pasar berbeda.

Sekadar informasi, JBA merupakan platform lelang kendaraan, baik online maupun offline, yang didukung dengan 34 jaringan lelang offline di seluruh Indonesia. Sebagian besar pasarnya menyasar B2B yang melibatkan perusahaan pihak ketiga, yakni pembiayaan dan dealer.

Kemudian, Caroline.id adalah marketplace C2C dan B2C yang menghubungkan pembeli dan penjual mobil bekas dengan harga transparan. Melalui platform ini, penjual dapat mengirimkan appraisal untuk menilai, melakukan listing, dan memproses mobil yang akan dijual.

Caroline.id menggandeng perusahaan pembiayaan serta menawarkan uang muka 0% dan buyback warranty selama satu bulan sebagai nilai tambah layanannya. Selain itu, Caroline juga memiliki beberapa showroom yang ada di beberapa kota, seperti Jakarta dan Semarang

Adapun, Cartalog adalah platform untuk engine berbasis teknologi AI yang menyediakan daftar harga kepada seluruh pemain di industri otomotif, khususnya penjual dan pembeli mobil bekas. Cartalog dapat dikatakan sebagai support system untuk mendapatkan acuan harga mobil sebelum melakukan transaksi jual-beli mobil bekas, misalnya di Caroline.id.

Application Information Will Show Up Here

Grab, Emtek dan Bukalapak Memulai Program Percepatan Digitalisasi UMKM di Kota-kota Kecil Dengan Vaksinasi

Sebagai salah satu roda penggerak ekonomi bangsa, sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) patut didorong menuju pertumbuhan yang lebih signifikan. Target pemerintah pun tak main-main. Dalam 2024, diharapkan ada sekitar 30 juta pelaku UMKM melakukan transformasi digital demi meraih peluang dan akses pasar yang tak terbatas. Dalam mewujudkan target tersebut, tentu butuh peran dari multi-stakeholder, salah satunya dari entitas teknologi. Adalah sinergi antara Grab, Emtek, dan Bukalapak yang baru-baru ini meluncurkan inisiatif bertajuk “Kota Masa Depan”. Seperti apa?

Dalam rilis yang kami peroleh, inisiatif “Kota Masa Depan” merupakan program akselerator ekstensif bagi para pelaku bisnis UMKM – khususnya yang datang dari daerah tier 2 dan 3 alias kota-kota kecil di Indonesia. Dikatakan, inisiatif ini berfokus pada tiga hal yakni; Vaksinasi, Adopsi Platform Digital (onboarding ke aplikasi Grab dan Bukalapak), dan Pemberdayaan UMKM melalui pelatihan dan pendampingan untuk pengembangan usaha melalui teknologi digital. Program ini juga akan dimulai dari wilayah kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyusul kemudia secara bertahap di Solo, Gowa, Malang, hingga Pekanbaru yang akan berakhir pada Desember 2020 dengan membidik lebih dari 10.000 UMKM.

“Grab bersama Emtek dan Bukalapak ingin merangkul UMKM terutama yang ada di kota-kota kecil. Terutama agar tidak hanya dapat menggunakan teknologi dan memperoleh manfaat dari ekonomi digital namun mereka dapat menjalankan usaha mereka di platform yang aman dan terpercaya. Kami percaya masa depan besar juga ada di kota kecil. Harapan kami, program #KotaMasaDepan dapat membuka pintu ke pasar yang lebih luas bagi UMKM di kota-kota kecil tanpa harus berpindah lokasi, dan pada akhirnya akan memberikan dampak menyeluruh bagi perekonomian daerah,” jelas Neneng Goenadi, Country Managing Director, Grab.

Di tengah harapan pemulihan ekonomi akibat pandemi, vaksinasi menjadi langkah yang esensial. Dalam program akselerator #KotaMasaDepan, vaksinasi menjadi pembuka rangkaian kegiatan dengan menargetkan 1500 UMKM di lima kota tujuan.

Selain vaksinasi, Grab, Emtek, bersama Bukalapak akan berfokus dalam pelatihan dan bimbingan terhadap pelaku UMKM terkait mempersiapkan bisnis dalam memasuki ranah digital. Salah satu implementasi yang ditawarkan tentu penggunaan platform Grab dan Bukalapak, sebagai platform digital yang dapat diadaptasi oleh berbagai macam jenis usaha, mulai dari kuliner, non-kuliner (pengrajin batik, pengrajin kulit, pengrajin perak, dan lainnya), ritel tradisional (warung sembako, toko kelontong, pedagang pasar), hingga usaha agen yang mencakup kios pulsa dan sembako.

Pemanfaatan di atas diharapkan tentu bakal membantu para UMKM, untuk memperoleh peluang pendapatan baru melalui toko digital demi terjaganya stabilitas bisnis di masa pandemi, dan dapat menjadi mitra merchant Grab (GrabFood dan GrabMart) dengan sekian keuntungan yang akan diperoleh antara lain; subsidi layanan selama tiga bulan, akses ke layanan lain dari platform Grab, hingga promosi bebas biaya pengiriman dari Bukalapak dapat dimanfaatkan oleh pebisnis.

UMKM yang bergabung dalam program Kota Masa Depan berpeluang untuk mendapatkan beragam manfaat, di antaranya memperoleh peluang pendapatan baru dengan memiliki toko digital sehingga menjaga stabilitas bisnis mereka meskipun di masa pandemi, selain itu UMKM juga bisa mendapatkan subsidi selama 3 bulan sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku, serta kesempatan untuk mengakses untuk layanan lain di platform Grab untuk meningkatkan performa bisnis lebih pesat. Sementara untuk mitra merchant Bukalapak dapat memanfaatkan promo No Ongkir dengan minimal transaksi Rp25.000 sepuasnya untuk menarik sebanyak mungkin pelanggan.