East Ventures Pimpin Pendanaan Startup Keamanan Siber Peris.ai

Startup keamanan siber lokal Peris.ai berhasil meraih pendanaan baru yang dipimpin East Ventures. Magic Fund berpartisipasi pada pendanaan ini. Peris.ai menawarkan produk dan layanan yang bertujuan untuk memastikan keselamatan dan keamanan data, serta infrastruktur digital di kawasan Indonesia dan Asia Pasifik.

Rencananya, dana segar yang didapat akan difokuskan untuk membangun dan meningkatkan platform keamanan sibernya, meningkatkan kemampuan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan machine learning, serta membina komunitas peretas (hacker) etis.

Co-Founder &  CEO Peris.ai David Samuel adalah mantan Co-Founder & CTO Ritase. Ia mendirikan Peris.ai bersama mantan Cybersecurity Head di perusahaan yang sama, Deden Gobel, yang kini menjabat sebagai CTO Peris.ai. Pengalaman dan keahlian dari keduanya telah terbukti di industri teknologi, utamanya dalam keamanan siber.

Peris.ai menawarkan 4 produk utama yaitu Pandava, Korava, Bima, dan Ganesha. Masing-masing fitur menawarkan solusi yang berbeda. Salah satunya Korava yang menyediakan platform pencari celah keamanan perusahaan (platform bounty) yang didukung oleh peretas etis, pemantauan dan perlindungan tanpa henti terhadap jaringan, sistem, dan data, serta respons insiden dan layanan pemulihan.

Selain itu, perusahaan juga mengintegrasikan AI dan machine learning untuk memungkinkan perlindungan yang lebih efisien dan efektif karena sistem dapat terus belajar dan beradaptasi dengan ancaman baru. Penggunaan AI dan machine learning memungkinkan analisis dan interpretasi data yang masif, menyediakan ragam informasi dan rekomendasi yang lebih dipersonalisasi.

Saat ini, solusi yang ditawarkan oleh Peris.ai berbasis langganan dengan paket Starter seharga $350/bulan dan paket Pro di harga $413/bulan. Sementara untuk paket Enterprise, tingkatan harga akan berbeda disesuaikan kebutuhan organisasi. Perusahaan juga menyediakan platform berbasis SaaS khusus untuk industri berisiko tinggi dan perusahaan dengan infrastruktur TI yang kompleks.

Perusahaan memiliki misi untuk menghubungkan organisasi dengan peneliti keamanan TI independen di seluruh dunia dalam satu platform dengan satu tujuan, untuk menyediakan lingkungan digital yang lebih aman. Beberapa perusahaan yang sudah menggunakan layanan Peris.ai termasuk Xfers, CrediBook, Fita, dan lainnya.

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan, “Tingkat keamanan suatu organisasi hanya sekuat titik terlemahnya. Hal ini membutuhkan pendekatan yang holistik, termasuk relevansi ke pasar lokal. Kami yakin Peris.ai membangun solusi keamanan siber berdasarkan kearifan lokal dan regional.”

Keamanan siber di Indonesia

Indonesia dengan 210 juta pengguna internet saat ini telah menjadi salah satu penggerak ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Meskipun begitu, pertumbuhan digital yang cepat ini juga diikuti dengan ancaman keamanan siber atau cyber security yang juga meningkat secara signifikan.

Berdasarkan data dari Laporan National Cyber Security Index (NCSI), skor indeks keamanan siber Indonesia tercatat sebesar 38,96 poin dari 100 pada 2022. Sementara itu, Indonesia berada di peringkat ke-24 pada Global Cybersecurity Index dari 194 negara di seluruh dunia dengan skor 94,88. Angka ini juga menempatkan Indonesia di posisi ke-6 dari negara-negara di ASEAN.

Di Indonesia sendiri, isu keamanan siber bukanlah hal baru. Mulai dari perusahaan teknologi hingga internal lembaga pemerintahan tidak imun terhadap ancaman siber. Masalah kebocoran data menjadi salah satu yang paling sering terjadi di Indonesia, seperti pada Bukalapak dan Youthmanual di tahun 2019.

Pemerintah melalui BSSN juga telah menyusun strategi keamanan siber Indonesia sebagai acuan bersama seluruh pemangku kepentingan keamanan siber nasional. Fokus dari strategi ini meliputi tata kelola, manajemen risiko, kesiapsiagaan dan keamanan, perlindungan infrastruktur informasi vital, kemandirian kriptografi nasional; pembangunan kapasitas, kapabilitas, dan kualitas; kebijakan keamanan siber; dan kerja sama internasional.

Tepat pada tanggal 20 September 2022, pemerintah juga telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang telah dibahas sejak 2016. Pengesahan ini disebut sebagai sesuatu yang baik dalam hal kepastian hukum. Harapannya, UU PDP ini bisa memberi titik terang bagi kelamnya dunia maya di Indonesia.

Tools Ini Memungkinkan Anda Menghasilkan Model Machine Learning Tanpa Bahasa Pemrograman

Di era teknologi modern, penerapan machine learning (ML) menjadi salah satu elemen yang esensial. Pada umumnya teknologi ML dimanfaatkan untuk memangkas durasi dan proses pengerjaan dalam mengukur analisa dan keakuratan. Seperti pada analisis data misalnya, teknologi ML biasa diterapkan untuk menghasilkan insight yang akurat dalam waktu yang singkat. Dengan proses komputasi yang kompleks, teknologi ML bisa menyajikan insight data yang dibutuhkan, mulai dari visualisasi, hingga model prediksi. Kompleksitas teknologi ML dijalankan melalui proses pemrograman (coding) yang tentu membutuhkan keahlian khusus. Meski begitu, bagi Anda yang tak memiliki coding skill untuk memerintahkan ML dalam menganalisa data yang Anda inginkan, platform cloud solution ternama, Amazon Web Service (AWS) punya solusinya. Ialah Amazon SageMaker, sebuah tools yang memungkinkan siapapun menghasilkan model prediksi berbasis ML tanpa memerlukan bahasa pemrograman. Seperti apa ya?

Amazon SageMaker adalah salah satu dari sekian solusi komputasi awan yang ditawarkan AWS. Melihat kebutuhan penerapan teknologi ML yang terus meningkat, Amazon SageMaker dihadirkan bagi siapa saja yang membutuhkan model analisis dan prediksi data yang dihasilkan dari “kecerdasan” ML dengan tingkat akurasi tinggi, tanpa harus menulis kode pemrograman satu per satu. Dalam laman resminya, infrastruktur Amazon SageMaker dapat digunakan oleh fungsi-fungsi berikut seperti; Business Analyst, MLOps Engineer, hingga Data Scientist.

Terdengar fantastis? Mari kita dalami terlebih dahulu hal-hal yang dibutuhkan seorang Business Analyst secara lengkap. Secara garis besar, Business Analyst membutuhkan tools programming, statistik, software engineering, data wrangling, dan juga data visualization. Dengan Amazon SageMaker Canvas, seorang Business Analyst perusahaan mampu memangkas hard-skill tersebut dan memperoleh model prediksi dan analisa yang akurat cukup dengan memasukkan dataset yang ingin diolah.

Di atas kertas, seluruh kemampuan build, train, hingga men-deploy dataset untuk menghasilkan model prediksi dapat disuguhkan oleh tools teranyar yang baru meluncur pada November 2021 tanpa coding sedikit pun. Amazon SageMaker Canvas memiliki empat pilar fitur dan layanan yang dapat dimanfaatkan tatkala Anda resmi menjajakan solusi cloud AWS. Ke-empat pilar yang dimaksud ialah; kemudahan akses dan persiapan data untuk diolah ke dalam ML, built-in AutoML untuk men-generate prediksi yang akurat, fitur berbagi model ML dan berkolaborasi bersama Data Scientist, hingga yang tak kalah penting adalah pricing yang dapat disesuaikan berbasis penggunaan.

Tertarik untuk mendalami Amazon SageMaker lebih lanjut? AWS Indonesia kembali melalui program #StartupUntukNegeri, bersama dengan DailySocial.id, akan menggelar webinar yang akan memperkenalkan lebih detail seputar penerapan machine learning melalui solusi cloud AWS, yang tentu akan diperkenalkan lebih jauh pula seputar Amazon SageMaker Canvas dalam webinar bertajuk #StartupUntukNegeri: “Langkah Mudah Menciptakan Keunggulan Kompetitif dengan Memanfaatkan Machine Learning” yang akan dibawakan oleh Riza Saputra, Solutions Architect, Amazon Web Services Indonesia pada 26 April 2022 mendatang pukul 19:00 WIB.

Agar tak terlewat, langsung saja daftarkan diri Anda di halaman ini dan sampai jumpa di webinar #StartupUntukNegeri persembahan AWS Indonesia dan DailySocial.id

Mengenal Aplikasi Spotgue, Bantu Transformasi Mal dengan Teknologi

Akhir tahun menjadi momen yang tepat untuk bisa bepergian bersama keluarga. Salah satu tempat yang bisa digunakan untuk menghabiskan waktu bersama dengan banyak pilihan kegiatan adalah pusat perbelanjaan atau mal. Pengunjung memiliki banyak pilihan aktivitas mulai dari outlet belanja, restoran, supermarket, gym, dan lainnya. Namun, padatnya pengunjung di mal menyisakan permasalahan, seperti lahan parkir yang terbatas atau tempat makan yang full booked.

Melihat permasalahan ini, Founder & CEO Gerry Hasang Spotgue bersama dengan beberapa teman alumni Universitas Tarumanagara berinisiatif mengembangkan sebuah solusi dengan kombinasi teknologi dan gaya hidup mal untuk menghasilkan pengalaman unik. Spotgue memungkinkan pengunjung, tenant, dan pihak mal berinteraksi secara real time dan terintegrasi atau yang disebut sebagai “Mall 4.0 Experience“.

“Sistem reservasi berbasis teknologi menjadi solusi di kondisi ramai di mana pengunjung bisa melakukan reservasi atau waiting list secara aplikasi dan melihat status antreannya dan ketika dipanggil mendapatkan notifikasi di HPnya,” ujar Gerry.

Aplikasi Spotgue akan membantu pengunjung mal untuk melihat ketersediaan area parkir mobil, menandai posisi parkir, mendapatkan rekomendasi dari virtual assistant, melakukan reservasi/waiting list restoran dan layanan favorit. Selain itu, pengguna juga bisa melakukan pemesanan makanan di resto (dine in) secara contactless, menemukan berbagai informasi terkait kupon dan diskon, serta berinteraksi langsung dengan pihak mal maupun tenant.

Dari sisi model bisnis, Spotgue menyediakan berbagai fitur basic yang dapat digunakan 15 mal pertama secara gratis dan bisa digunakan oleh seluruh tenant. Selain itu, platform ini juga menawarkan fitur premium berbayar yang menyediakan laporan analisis terkait perilaku dan preferensi pengunjung atau konsumen sebagai bahan evaluasi mal.

Gerry juga mengungkapkan, “Adapun kami sangat menghargai privasi pengunjung, sehingga semua data analytic sifatnya aggregate dan tidak ada data pribadi yang diberikan. Misalnya, komposisi pengunjung mal A terdiri dari pria dan wanita, rentang usia, domisili, preferensi toko, dll.”

Penawaran gratis diberikan mengingat kondisi pandemi yang sempat memukul industri ritel. Harapannya, solusi ini dapat membantu bisnis ritel kembali pulih. “Itulah mengapa kami memberikan kuota 15 mal pertama di setiap wilayah. Jabodetabek memiliki kuota sebanyak 8 mal, sementara Bandung, Surabaya, Jateng/Jogja, Bali, Medan, dan 2 kota lainnya yang mempelopori masing-masing mendapat kuota 1 mal,” tambah Gerry.

Spotgue menargetkan mal-mal berukuran medium-high beserta seluruh tenant dan pengunjung reguler yang ada di dalamnya. Kesepakatan ini bersifat official partnership, sehingga ketika mal sudah memutuskan bekerja sama, semua tenant akan langsung bisa mendapatkan manfaatnya.

Saat ini, strategi akuisisi yang digunakan Spotgue adalah dengan menawarkan ke mal dan grup perusahaan, mengingat sejumlah grup besar yang memiliki mal di berbagai daerah. Contohnya, Living World ada di Alam Sutera, juga ada di Pekan Baru, serta Living Plaza yang sudah hadir di berbagai wilayah.

Soft launching

Pada bulan November lalu, Spotgue telah mengadakan soft launching di Mal Artha Gading dan Living World Alam Sutera. Ini adalah hasil dari kesamaan visi perusahaan dan mal bahwa ke depannya, pengunjung mal harus bisa merasakan pengalaman yang sedemikian rupa. Timnya juga sudah mencoba menggandeng beberapa mal lainnya.

Pada public preview ini, pengunjung bisa mengakses berbagai fitur yang ada di aplikasi Spotgue, mulai dari informasi produk dan promosi tenant, kegiatan atau acara yang sedang berlangsung, informasi semua fasilitas yang tersedia untuk pengunjung hingga fitur untuk melihat ketersediaan parkir. “Tujuannya adalah untuk kemudahan dan kenyamanan pengunjung dalam mendapatkan semua informasi terkait Living world Alam Sutera.” jelas Adrian Pranata, General Manager Living World Alam Sutera.

Terkait proses verifikasi dan integrasi, semua merchant sudah tercakup dalam aplikasi Spotgue berdasarkan data yang disusun oleh Mal. Namun, informasi dasar seperti lokasi, jenis, atau nama biasanya tidak cukup untuk pengunjung yang menginginkan lebih, seperti info promo, produk terbaru, diskon, acara dan lain sebagainya. Hal ini harus dikelola secara dinamis.

Spotgue memiliki 3 jenis aplikasi: Spotgue Visitor, Spotgue Tenant, dan Spotgue Building (untuk pengelola mal). Melalui fungsi dari masing-masing aplikasi, proses pengkinian informasi dari tenant tidak lagi tersentralisasi ke pihak mal, namun dapat dilakukan secara mandiri dan terdistribusi oleh masing-masing tenant.

Spotgue juga mendukung sistem grouping of tenant, sehingga tenant atau penjual dari group yg sama dapat melakukan mirror content dari salah satu outlet di group tersebut dan pengunjung akan melihat informasi yang sama di semua outlet lainnya. Dalam upaya mencapai hal ini, tim Spotgue harus melakukan sosialisasi, training, membantu proses setup di lebih dari 700 tenant dari mal-mal tersebut.

Transformasi mal 4.0

Industri ritel modern merupakan salah satu sektor yang cukup terpukul akibat pandemi Covid-19. Banyak dari para pemain nasional yang menorehkan penyusutan kinerja di sepanjang tahun 2020. Termasuk di dalamnya para pemain ritel lokal yang cakupan gerainya masih di beberapa daerah saja. Bahkan tak sedikit dari peritel modern lokal yang terpaksa menutup sebagian bahkan seluruh gerainya dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak mendukung.

Gerry mengungkapkan bahwa salah satu tujuan dikembangkan platform ini adalah untuk mendukung visi Presiden dalam transformasi industri ritel. Pihaknya juga tengah mencoba untuk membangun kolaborasi dengan APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia) dan HIPPINDO (Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia) untuk bisa berkontribusi dan mendukung transformasi lebih banyak mal lagi.

Salah satu hal yang cukup menarik dibahas terkait transformasi mal 4.0 ini adalah fitur virtual assistant yang ditawarkan oleh Spotgue. Fitur ini diberi nama Ask Alice, yang membangun sistem rekomendasi baik untuk kado, makanan atau pakaian. Sebagai virtual assistant, Ask Alice dikembangkan secara internal oleh tim Spotgue yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswi terbaik di jurusan Teknologi Informasi Universitas Tarumanagara.

“Namun, di tahap awal ini, Alice belum mengenal preferensi dan perilaku spesifik dari pengguna. Setelah ia punya cukup banyak data, maka kita bisa ajarkan untuk menghasilkan rekomendasi yang semakin personal dan relevan,” sebut Gerry.

Dari sisi pendanaan, saat ini Spotgue masih menggunakan skema bootstrap dari shareholder awal. Nantinya, untuk mendukung ekspansi ke berbagai kota dan jumlah mal yang lebih besar, timnya akan mencari partner investor dan venture capital yang bisa mendukung visi tersebut.

“Kami punya mimpi besar, untuk bisa memperluas cakupan layanan ke seluruh Indonesia, Asia, bahkan dunia. Target kami saat ini adalah untuk mendukung transformasi setidaknya 25-50 mal dalam 1 hingga 2 tahun ke depan,” ungkap Gerry.

Application Information Will Show Up Here

Bekerja Sama dengan Militer, Beberapa Pegawai Unity Ungkapkan Kekecewaan

Menyebut nama Unity kepada para gamer tentunya akan mengingatkan mereka kepada salah satu engine game yang telah digunakan oleh banyak game selama hampir 20 tahun. Game-game modern seperti Genshin Impact, Fall Guys, hingga Mobile Legends bahkan juga dibuat dengan Unity.

Di luar industri game, engine ini juga digunakan di beragam keperluan pengolahan grafis seperti film, arsitketur, otomotif, hingga keperluan militer. Untuk yang terakhir, meskipun perusahaan Unity sendiri dengan bangga menyebutkan bahwa mereka bekerja sama dengan militer, namun kabar terbaru ternyata menunjukkan bahwa beberapa pegawai Unity tidak menyukai kerja sama tersebut.

Laporan tersebut diungkap oleh Vice yang melakukan wawancara terhadap tiga narasumber yang berasal dari pegawai dan juga mantan pegawai dari Unity yang meminta disembunyikan identitasnya untuk masalah keamanan.

Menurut pengakuan dari para narasumber ini, proyek-proyek Unity yang bekerja sama dengan militer tersebut akan diberi kode nama “GovTech“. Unity sendiri mengumumkan proyek tersebut kepada publik pada bulan Maret 2021 lalu bahwa mereka mengembangkan teknologi di semua produk mereka untuk membantu pemerintah dalam beradaptasi dengan AI (artificial intelligence) dan machine learning.

Kerja sama antara kedua belah pihak itu menimbulkan kekhawatiran pada para pegawai terkait masalah etika yang muncul dari potensi persilangan antara proyek militer dan non-militer. Mereka mengambil contoh kecerdasan buatan atau AI yang awalnya dikembangkan untuk video game, dapat juga berakhir di dalam proyek militer tanpa mereka ketahui.

Salah satu sumber tersebut juga mengutarakan bahwa dirinya bergabung ke Unity karena percaya mereka memiliki tujuan untuk memberdayakan developer dan juga membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Lebih blak-blakan, sumber tersebut menyebut bahwa dirinya kini tersadar bahwa mencari keuntungan lewat perang merupakan cara tercepat untuk mencari keutungan secara universal di industri teknologi.

unity ipo
Image Credit: Unity

Setelah Vice mencoba menghubungi pihak Unity untuk meminta komentar, sang CEO John Ritccitiello disebutkan langsung mengeluarkan pernyataan internal kepada seluruh pegawai Unity bahwa kontrak mereka dengan militer sangat terbatas. Dan Unity tidak akan mendukung program kerja sama yang mereka tahu melanggar prinsip atau nilai-nilai perusahaan.

Namun ternyata pesan yang disampaikan kepada lebih dari 4.000 karyawan Unity tersebut malah menimbulkan reaksi negatif. Karena kenyataannya hanya segelintir karyawan yang mengetahui keterlibatan Unity dengan militer, sedangkan berkat pernyataan tersebut semua karyawan kini mengetahuinya.

Hal ini akhirnya membuat sang CEO berjanji akan membuat pertemuan terbuka untuk seluruh pegawai Unity yang akan diadakan hari Selasa waktu setempat untuk membahas bersama terkait topik kerja sama militer tersebut.

Berkat On-Device Machine Learning, Generasi Terbaru Google Nest Cam Bisa Lebih Fungsional Tanpa Subscription

Google meluncurkan generasi terbaru kamera pengawas dan bel pintu pintarnya. Total ada empat perangkat yang diperkenalkan: Google Nest Cam (Battery), Google Nest Cam with Floodlight, dan Google Nest Cam (Wired), dan Google Nest Doorbell.

Sebelum membahas fiturnya satu per satu, ada satu hal penting yang perlu kita soroti, yakni bagaimana Google mencoba mengubah model bisnis berbasis subscription yang umum kita jumpai di ranah produk smart home. Google pada dasarnya ingin kamera-kamera pengawas dan bel pintunya ini bisa jadi lebih berguna tanpa harus sepenuhnya bergantung pada layanan berlangganan yang opsional.

Yang paling utama adalah kemampuan perangkat untuk mendeteksi orang, hewan, kendaraan, dan paket kiriman dengan memanfaatkan on-device machine learning. Di generasi sebelumnya, fitur ini sepenuhnya mengandalkan pengolahan berbasis cloud, sehingga hanya bisa dinikmati jika pengguna membayar biaya berlangganan.

Fitur on-device machine learning ini dapat diwujudkan berkat penggunaan chip Tensor Processing Unit (TPU). Sebagai konteks, Google baru-baru ini juga mengumumkan bahwa smartphone Pixel 6 dan Pixel 6 Pro bakal menggunakan chip rancangannya sendiri yang bernama Tensor, dan salah satu tujuannya juga untuk menghadirkan kapabilitas on-device machine learning.

Dipadukan dengan komponen storage internal, keberadaan on-device machine learning pada dasarnya memungkinkan kamera-kamera pengawas baru ini untuk bekerja secara offline, sangat berguna seandainya listrik tiba-tiba mati. Lalu apakah itu berarti layanan subscription sudah tidak relevan lagi di kategori smart home?

Tidak juga, sebab pabrikan tentu masih bisa menawarkan fasilitas ekstra lewat layanan subscription. Dalam konteks Google Nest Cam, salah satu fasilitasnya adalah penyimpanan video hingga 30 atau 60 hari ke belakang, tergantung jenis paket berlangganannya. Tanpa subscription, yang bisa dipantau hanyalah rekaman dari tiga jam ke belakang.

Fasilitas lainnya adalah facial recognition, yang memungkinkan perangkat untuk membedakan mana wajah yang familier dan mana yang tidak, sehingga pada akhirnya dapat memberi peringatan yang lebih tepat sasaran.

Mayoritas produsen perangkat smart home memang tidak pernah mewajibkan layanan subscription, akan tetapi sering kali fungsi-fungsi perangkatnya jadi begitu terbatas. Yang Google lakukan di sini pada dasarnya cuma memperluas batasan tersebut, dan mereka tentu berharap bisa menarik minat lebih banyak konsumen dengan cara ini.

Google Nest Cam (Battery)

 

Google menjual kamera ini seharga $180. Di situsnya, Google mencantumkan kata “battery” pada namanya, sebab secara default perangkat ini memang dirancang untuk beroperasi menggunakan baterai rechargeable meski ditempatkan di luar.

Daya tahan baterainya sendiri bervariasi antara 1,5 bulan sampai 7 bulan per charge, tergantung seberapa sibuk ia mendeteksi pergerakan di area jangkauannya. Perangkat mengandalkan magnet agar bisa dilepas-pasang dari dudukannya dengan gampang untuk memudahkan charging, tapi ini juga berarti ia bisa jadi sasaran empuk para maling — sehingga jadi agak ironis karena ia sebetulnya bertugas untuk mengawasi keamanan rumah.

Itulah mengapa Google turut menawarkan sejumlah aksesori opsional, salah satunya kabel tether untuk mengamankan sang kamera. Alternatifnya, instalasi permanen menggunakan kabel juga dapat dilakukan.

Dari sisi teknis, kamera ini mengandalkan sensor 1/2,8 inci dan lensa dengan sudut pandang seluas 130° untuk merekam video beresolusi 1080p 30 fps. Google tidak lupa melengkapinya dengan dukungan fitur HDR dan night vision. Rangkanya yang tahan air (IP54) turut mengemas komponen-komponen esensial macam Wi-Fi, speaker, dan mikrofon.

Google Nest Cam with Floodlight

Dibanderol $280, kamera yang satu ini pada dasarnya adalah Google Nest Cam yang didampingi oleh sepasang lampu sorot dengan tingkat kecerahan maksimum 2.400 lumen. Ia tidak memiliki baterai dan membutuhkan instalasi permanen. Fisiknya tahan air dengan sertifikasi IP65.

Google Nest Cam (Wired)

Paling murah dengan harga $100, Nest Cam (Wired) tidak dibekali baterai maupun bodi tahan air seperti Nest Cam (Battery), akan tetapi kapabilitas kamera maupun kecerdasannya sama persis. Model ini dimaksudkan untuk pemakaian secara indoor, dan Google menawarkannya dalam empat pilihan warna sehingga dapat diselaraskan dengan interior rumah.

Google Nest Doorbell

Sama seperti Nest Cam (Battery), Nest Doorbell yang dibanderol $180 ini juga dibekali sertifikasi ketahanan air IP54 dan baterai rechargeable. Google bilang daya tahan baterainya berada di kisaran 2,5 bulan per charge, tapi sekali lagi ini sangat bergantung terhadap seberapa sibuk ‘lalu lintas’ di depan pintu rumah masing-masing pengguna.

Mengenai kameranya, Nest Doorbell menggunakan sensor 1/3 inci dan mampu merekam video beresolusi 960 x 1280 pixel di kecepatan 30 fps. Sudut pandang vertikalnya sangat luas di angka 145º, dan ini dimaksudkan supaya pengguna bisa melihat pengunjung dari kepala sampai kaki meski ia berdiri sedekat 8 inci dari pintu. Sama halnya seperti Nest Cam, night vision maupun HDR juga tersedia di sini.

Di Amerika Serikat, Google bakal memasarkan Nest Cam (Battery) dan Nest Doorbell mulai akhir Agustus, sedangkan Nest Cam with Floodlight dan Nest Cam (Wired) akan menyusul.

Sumber: 1, 2, 3.

Zenius to Implement AI Technology by Introducing ZenCore

Edutech startup Zenius introduces ZenCore to improve general knowledge of three fundamental subjects, mathematics, verbal logic, and English. In developing this latest feature, they implemented AI and machine learning technology to learn the capabilities of each user based on their answers to questions in Core Practice.

CorePractice is a site on ZenCore containing hundreds of thousands of questions from three main branches of concentration. Users can take advantage of CoreInsight to learn about existing topics for greater insight as it contains explanations of practice questions, in the form of easy-to-understand concept videos.

Zenius system will automatically determine the user’s basic level of ability from these answers by calculating an algorithm that is designed as accurately as possible. The accuracy of users’ answers will determine their level on the ZenCore scoreboard.

Zenius’ Chief Education Office, Sabda P.S. explained, one of Indonesia’s common problem today is the basic understanding of the community as it is too focused on specific sciences. Moreover, each person has different ability from one another. This is why we cannot create the same subject provision for all, because each person must learn with their respective abilities.

“We equipped ZenCore with a ranking and scoring scheme to ignite a competitive attitude in every user. Through the gamification approach, we expect that users will share their values ​​on social media, and invite friends to compete in a positive way,” he said in an official statement, Thursday (1/7).

This feature is also part of the company’s efforts to optimize retention on its platform because just like games, ZenCore will make users curious to get a better score. With the gamification format, he wants to emphasize that the learning process does not always have to be serious and rigid.

In a study that Sabda quoted from ScienceDirect, the concept of gamification applied in education was proven to be able to increase the average score of students by 34.75%. Meanwhile, students who were educated using gamification-based materials also experienced an increase in performance of up to 89.45% compared to students who only received one-way material.

Sabda also mentioned, ZenCore can be accessed for free. Users who want to deepen their basic skills can try to complete 100 levels containing more than 135 thousand questions. All of these questions are compiled by the curriculum development team at Zenius based on basic questions from mathematics, verbal logic, and English that are familiar in everyday life.

“ZenCore is the beginning of our focus on maximizing the implementation of AI technology into the Zenius platform. Going forward, we will continue to develop features that utilizes AI technology to provide related learning experiences for all users,” Sabda said.

It is said that during the 2019/2020 school year, Zenius has been accessed by more than 16 million users from rural and urban areas throughout Indonesia. Zenius has more than 90 thousand learning videos and hundreds of thousands of practice questions for elementary-high school levels that have been adapted to the national curriculum.

Additional technology in the edtech industry

Prior to Zenius, tmany edutech players have started to use the latest technology to provide added value for its users. Its closest competitor, Ruangguru, has released Roboguru which is designed to help students answer questions from various subjects by providing discussions and recommendations for learning videos.

Roboguru takes advantage of Photo Search and User Generated Content capabilities. Users only need to send photos of questions that they feel are difficult to do, then the system will provide material recommendations that can help solve the problem.

There is also Cakap, which embeds AR-based content to make the learning process more interactive. This technology was developed with AR&Co., through ISeeAR technology. Learning sessions conducted through video teleconferencing are equipped with interesting animations to increase children’s interest in learning.

Furthermore, ELSA Speak which utilizes artificial intelligence combined with voice recognition to help users pronounce English. The application will assess the user’s pronunciation and provide scores or recommendations for improvement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Mulai Terapkan Teknologi AI, Perkenalkan ZenCore

Startup edutech Zenius memperkenalkan ZenCore untuk meningkatkan pengetahuan umum terkait tiga materi fundamental, yakni matematika, logika verbal, dan Bahasa Inggris. Dalam pengembangan fitur teranyar ini, mereka mengimplementasikan teknologi AI dan machine learning untuk mempelajari kemampuan masing-masing pengguna berdasarkan jawaban mereka dari pertanyaan yang ada di Core Practice.

CorePractice ialah tempat latihan yang ada di dalam ZenCore berisi ratusan ribu pertanyaan dari tiga cabang konsentrasi utama. Pengguna bisa memanfaatkan CoreInsight untuk mempelajari tentang topik-topik yang ada agar wawasan lebih luas karena berisi penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan latihan, dalam bentuk video konsep yang mudah dipahami.

Dari jawaban-jawaban tersebut, sistem Zenius secara otomatis akan menentukan tingkatan kemampuan dasar pengguna dengan penghitungan algoritma yang dirancang seakurat mungkin. Akurasi jawaban pengguna akan menentukan kenaikan level mereka di papan skor ZenCore.

Chief Education Office Zenius Sabda P.S. menjelaskan, selama ini salah satu masalah umum yang ditemui di Indonesia adalah pemahaman dasar masyarakat yang belum terlalu terasah karena terlalu fokus pada ilmu-ilmu yang spesifik. Terlebih, kemampuan tiap orang juga berbeda satu sama lain. Hal inilah yang membuat pemberian materi pelajaran tidak bisa dipukul rata, sebab tiap orang harus belajar dengan kemampuan masing-masing.

“Kami melengkapi ZenCore dengan skema peringkat dan penilaian (ranking and scoring) untuk memantik sikap kompetitif pada setiap pengguna. Melalui pendekatan gamifikasi, kami berharap para pengguna akan membagikan nilai mereka di media sosial, dan mengajak teman untuk berkompetisi dalam hal yang positif,” ucapnya dalam keterangan resmi, Kamis (1/7).

Fitur ini juga bagian dari upaya perusahaan untuk mengoptimalkan retensi di dalam platformnya karena selayaknya game, ZenCore akan membuat para pengguna penasaran untuk mendapatkan skor yang lebih baik. Dengan format gamifikasi pula, ia ingin menekankan bahwa proses belajar tidak harus selalu serius dan kaku.

Dalam suatu studi yang Sabda kutip dari ScienceDirect, konsep gamifikasi yang diterapkan dalam dunia pendidikan terbukti mampu meningkatkan rata-rata nilai siswa sebesar 34,75%. sementara itu, siswa yang dididik menggunakan materi berbasis gamifikasi juga mengalami peningkatan performa hingga 89,45% dibandingkan dengan siswa yang hanya menerima materi satu arah.

Sabda melanjutkan, ZenCore dapat diakses secara gratis. Pengguna yang ingin mengasah kemampuan mendasarnya dapat mencoba untuk menyelesaikan 100 level yang berisi lebih dari 135 ribu pertanyaan. Seluruh pertanyaan ini disusun oleh tim pengembang kurikulum di Zenius berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dasar dari matematika, logika verbal, dan Bahasa Inggris yang tidak asing dalam kehidupan sehari-hari.

“ZenCore merupakan sebuah awal dari fokus kami untuk memaksimalkan implementasi teknologi AI ke dalam platform Zenius. Ke depannya, kami akan terus mengembangkan fitur-fitur yang memanfaatkan teknologi AI untuk memberikan pengalaman belajar terkait untuk seluruh pengguna,” pungkas Sabda.

Diklaim sepanjang tahun ajaran 2019/2020, Zenius telah diakses oleh lebih dari 16 juta pengguna dari pedesaan dan perkotaan di seluruh Indonesia. Zenius memiliki lebih dari 90 ribu video pembelajaran dan ratusan ribu latihan soal untuk jenjang SD-SMA yang telah disesuaikan dengan kurikulum nasional.

Teknologi lainnya dalam dunia pendidikan

Sebelum Zenius, pemanfaatan teknologi termutakhir juga mulai dikembangkan banyak pemain edutech untuk memberikan nilai tambah bagi para penggunanya. Kompetitor terdekatnya, yakni Ruangguru merilis Roboguru yang didesain untuk membantu siswa menjawab soal dari berbagai mata pelajaran dengan memberikan pembahasan dan rekomendasi video pembelajarannya.

Roboguru memanfaatkan kapabilitas Photo Search dan User Generated Content. Pengguna hanya perlu mengirim foto soal yang dirasa sulit dikerjakan, kemudian sistem akan memberikan rekomendasi materi yang dapat membantu menyelesaikan soal tersebut.

Berikutnya ada Cakap yang menyematkan konten berbasis AR agar proses pembelajaran jadi lebih interaktif. Teknologi ini dikembangkan bersama AR&Co., melalui teknologi ISeeAR. Sesi pembelajaran yang dilakukan lewat medium telekonferensi video dilengkapi dengan animasi-animasi menarik untuk menambah minat belajar anak.

Selanjutnya, ELSA Speak yang memanfaatkan kecerdasan buatan yang dipadukan dengan voice recognition untuk membantu pengguna melafalkan Bahasa Inggris. Aplikasi akan menilai pengucapan pengguna dan memberikan skor atau rekomendasi perbaikan.

Application Information Will Show Up Here

Janji dari Awan untuk Kemajuan Digital di Indonesia

Pandemi COVID-19 secara tiba-tiba datang dan memaksa manusia untuk menerima dan beradaptasi terhadap berbagai kebiasaan baru. Kebijakan physical distancing mendorong masyarakat untuk beraktivitas secara online demi mengurangi penyebaran penyakit. Perubahan kebiasaan baru ini, secara langsung berdampak pada percepatan penetrasi digital di Indonesia. Banyak perusahaan konvensional yang mulai mempertimbangkan investasi pada infrastruktur dan teknologi demi kelancaran usaha.

Percepatan penetrasi digital tentu tidak terlepas dari janji teknologi komputasi awan sebagai pembuka peluang pengembangan bisnis dengan pemanfaatan dan pengelolaan data dengan lebih optimal. Hal tersebut tampaknya menjadi angin segar bagi bisnis konvensional yang mengharapkan operasional bisnis dapat berjalan efektif dan inovasi-inovasi baru dapat terjadi dengan cepat. Lebih jauh lagi, keinginan pemerintah agar pemulihan ekonomi di Indonesia pasca pandemi juga dapat segera terlaksana. Namun semudah apakah janji tersebut dapat terpenuhi?

Akhir tahun 2020 lalu, Boston Consulting Group (BCG) bersama dengan Amazon Web Services (AWS) mengeluarkan hasil studi yang menyatakan bahwa kehadiran teknologi komputasi awan dibutuhkan dalam membantu perusahaan-perusahaan Indonesia untuk bertransformasi digital. Pemanfaatan komputasi awan dapat memangkas 15-40 persen biaya pembangunan infrastruktur teknologi informasi (TI) di suatu perusahaan. Tidak hanya itu, dengan memanfaatkan komputasi awan, produktivitas perusahaan diperkirakan juga akan melonjak hingga 25-50 persen karena automasi proses bisnis.

Kehadiran teknologi komputasi awan ini di klaim memberikan tiga manfaat dalam transformasi digital yakni efisiensi waktu, efisiensi biaya, dan kecepatan inovasi serta penetrasi pasar yang lebih baik.

BCG memperkirakan jika industri komputasi awan di tanah air tumbuh sesuai dengan jalurnya atau dengan skenario normal, maka dampak terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan mencapai US$36 miliar sepanjang 2019-2023.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebanyak 270,20 juta jiwa dan telah menguasai 40% dari total nilai ekonomi berbasis internet di Asia tenggara pada 2019, semakin menunjukkan potensinya sebagai raja ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara. Indonesia juga memiliki nilai ekonomi berbasis internet Indonesia mencapai 40 miliar dolar atau Rp567,9 triliun. Angka tersebut diproyeksikan bakal melonjak 32 persen menjadi 133 miliar dolar pada 2025 mendatang.

Di era digital, kebutuhan perusahaan terhadap kemudahan akses dan integrasi data menjadi keharusan agar tetap relevan. Ditambah saat pandemi, di mana hampir sebagian besar masyarakat memilih untuk beraktivitas secara online, kebutuhan terhadap penerapan komputasi awan ini menjadi semakin dibutuhkan, dan akselerasi bisnis komputasi awan juga semakin menuju langit. Karena teknologi ini bisa menjadi jembatan di tengah masyarakat memilih untuk tetap produktif di tengah keterbatasan. Komputasi awan sendiri tidak terbatas menyediakan layanan di internet publik, tapi bisa juga untuk mengatur jaringan infrastruktur yang dimiliki oleh perusahaan atau disebut jaringan privat. Walaupun tidak semudah layanan awan publik, tapi perusahaan masih bisa mendapatkan berbagai benefit yang ditawarkan oleh komputasi awan.

Penerapan komputasi awan telah lama diadaptasi oleh perusahaan-perusahaan teknologi. Salah satu kisah yang menarik ada pada Gojek. Kemampuan Gojek untuk beradaptasi dengan cepat menghadirkan solusi bagi masyarakat di tengah pandemi ini juga dimungkinkan dengan kemudahan teknologi untuk pengelolaan dan optimalisasi data, seperti fitur geofencing untuk memastikan layanan tidak dapat beroperasi pada wilayah yang ditetapkan sebagai Wilayah Pengendalian Ketat (PSBB) serta memperingatkan dan bahkan menindak secara otomatis mitra-mitra yang secara sistem terindikasi sedang berkerumun khusus di area Jabodetabek, rekomendasi dan search engine untuk GoFood, mengurangi potensi fraud, contactless delivery, dan masih banyak inovasi lainnya yang dimudahkan berkat layanan komputasi awan.

Komputasi awan juga membantu dalam algoritma penentuan tarif untuk pemerataan supply dan demand di titik-titik tertentu, misalnya tarif di titik tertentu akan menyesuaikan jika demand penggunanya meningkat dan membutuhkan lebih banyak jumlah mitra driver. Dengan adanya penyesuaian tarif tersebut, maka waktu tunggu konsumen menjadi lebih cepat. Pengalaman pengguna menjadi lebih baik dan pendapatan harian mitra driver juga meningkat dengan adanya pemerataan titik demand.

Dengan jutaan pengguna yang menggunakan aplikasi Gojek, maka penting untuk memastikan performa aplikasi berfungsi dengan baik. Dengan menggunakan beberapa fitur keandalan dan keamanan dari luasnya layanan yang disediakan komputasi awan, maka engineers dapat mendeteksi potensi-potensi gangguan dengan cepat. Inovasi juga semakin dimudahkan dengan kemampuan komputasi awan untuk memudahkan pembuatan model machine learning untuk pengolahan data. Pemanfaatan komputasi awan tentunya memudahkan Gojek untuk fokus pada produk inti (core product) dan mendorong percepatan inovasi. Kecepatan Gojek untuk berinovasi mendorong pertumbuhan Gojek secara eksponensial bahkan di tengah situasi yang sulit.

Kesuksesan tersebut tentunya sangat mungkin diadaptasi oleh perusahaan dan organisasi lainnya seperti rumah sakit, banking, layanan transportasi publik, maupun pemerintahan. Sektor pemerintahan pun telah meningkatkan pelayanan publik dengan komputasi awan, terutama demi keamanan siber. Sebagai contoh, website DPR telah memanfaatkan layanan komputasi awan dari Balai Sertifikasi Elektronik, untuk memastikan keamanan informasi elektronik, sehingga potensi peretasan informasi bisa dikurangi.

Namun, dengan berbagai keunggulan dan janji manis yang dihadirkan komputasi awan, ada banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam mengadaptasi komputasi awan. Pertama, tidak sedikit yang meragukan keamanan data pelanggan apabila disimpan dalam komputasi awan karena data harus diserahkan ke pihak ketiga. Padahal, mayoritas penyedia komputasi awan besar sudah memiliki sertifikasi ISO 27001 yang menjamin kerahasiaan data pelanggan dan memastikan kerahasiaan data transaksi dan pembayaran terjamin dan sesuai standar industri.

Dari sisi keamanan siber, komputasi awan telah memiliki keamanan yang berlapis, baik secara fisik di gedung data center mereka, maupun keamanan dari sisi software, sehingga lebih sulit untuk diretas dibandingkan dengan server yang dikelola sendiri di gedung perkantoran. Misalnya, infrastruktur komputasi awan melakukan enkripsi data, mengintegrasikan policy keamanan, dan juga memonitor secara terus-menerus semua aktivitas di sistem, sehingga bisa mendeteksi kejahatan siber sebelum peretas meluncurkan serangannya.

Kedua, regulasi pemerintah terkait penyimpanan dan pemrosesan data Indonesia harus lebih diperjelas untuk mendukung percepatan digital di Indonesia dan menjaga kedaulatan data. Pemerintah saat ini sedang membangun layanan komputasi awan milik negara yang direncanakan rampung pada 2022 untuk menjaga data-data strategis pemerintah dan juga pihak lainnya.

Pemerintah perlu mematangkan perencanaan penyediaan layanan komputasi awan dan mempertimbangkan mengenai apakah rencana tersebut akan efektif untuk menunjang kebutuhan besar di era digital. Membangun infrastruktur komputasi awan sendiri merupakan pekerjaan berat, karena keandalan dan keamanan sistem harus terus dijaga 24 jam setiap harinya, tidak boleh mengalami gangguan sedikit pun, apalagi jika harus diakses oleh puluhan bahkan ratusan juta pengguna di Indonesia. Namun hal ini bukan berarti mustahil untuk direalisasikan demi menunjang percepatan digital dan pemulihan ekonomi pasca pandemi di Indonesia.

Tulisan ini disusun oleh Giri Kuncoro selaku Senior Software Engineer Gojek. Sebelumnya ia pernah bekerja di beberapa perusahaan internasional seperti VMware, General Electric, dan Toshiba Corporation. Ia juga sudah membukukan dua paten terkait algoritma untuk mengontrol distribusi dan efisiensi penambahan daya baterai di sistem penyimpanan.

Gambar Header: Depositphotos.com

YouTube Uji Fitur Video Chapter Otomatis Berbasis AI

Sejak diluncurkan secara resmi pada akhir Mei lalu, fitur video chapter di YouTube sudah membantu saya menghemat banyak waktu dengan memudahkan saya menavigasikan video ke bagian yang ingin saya tonton, terutama pada video-video yang mungkin bagian intronya kelewat panjang.

Sayangnya, hingga kini belum semua channel yang saya ikuti memanfaatkan fitur tersebut. Hal ini dikarenakan masing-masing kreator memang harus menandai videonya secara manual di bagian deskripsi (timestamp), sehingga saya maklum seandainya ada kreator yang tidak sempat atau sekadar kelupaan menambahkan timestamp tersebut.

Kabar baiknya, YouTube saat ini tengah bereksperimen dengan fitur video chapter otomatis dengan mengandalkan bantuan kecerdasan buatan (AI). Idenya adalah, dengan memanfaatkan machine learning untuk mengenali teks dan menghasilkan video chapter secara otomatis, para kreator jadi tidak perlu menambahkan timestamp secara manual.

Saat ini YouTube sedang mengujinya pada sejumlah kecil video saja. Seandainya kreator tidak berkenan videonya dijadikan kelinci percobaan, mereka bebas untuk menolak diikutkan dalam pengujian. Cara mengetahui video yang chapter-nya dihasilkan oleh AI cukup mudah: lihat saja apakah ada deretan timestamp di bagian deskripsinya. Kalau tidak ada, berarti yang membuatkan chapter-nya adalah AI.

Saya pribadi belum menemukan video yang dilengkapi chapter otomatis ini. Jujur saya penasaran seberapa akurat fitur ini bakal bekerja, tapi kalau boleh menebak, akurasinya akan banyak bergantung pada fitur auto caption. Dengan kata lain, kalau caption otomatisnya sendiri sudah tidak sesuai, besar kemungkinan deretan chapter-nya juga akan meleset.

Terlepas dari itu, seandainya fitur ini bisa bekerja dengan baik, yang diuntungkan bukan cuma kalangan kreator, tapi juga para penonton, sebab kita bisa melompat langsung ke bagian yang ingin ditonton. Pada video berdurasi 10 menit misalnya, mungkin kita bisa menghemat sekitar 3 menit dengan melewati bagian intro dan penutupnya. Akumulasikan waktu 3 menit itu di beberapa video, maka waktu yang berhasil dihemat akan terasa cukup signifikan.

Sumber: 9to5Google.

Jaguar Land Rover Kembangkan Teknologi Contactless Touchscreen untuk Mengurangi Risiko Kecelakaan

Layar sentuh yang tidak perlu disentuh sepintas terdengar aneh sekali, tapi itulah teknologi yang baru-baru ini dikembangkan oleh Jaguar Land Rover (JLR) bersama dengan University of Cambridge. Dinamai “predictive touch“, teknologi ini mereka rancang supaya pengemudi tidak terlalu banyak menghabiskan waktunya melihat layar ketimbang jalanan.

Problemnya, kalau menurut JLR, adalah sering kali getaran yang diakibatkan permukaan jalan yang tidak rata bisa menyulitkan pengemudi untuk mengklik tombol yang tepat pada sebuah layar sentuh. Ujung-ujungnya pengemudi harus mengalihkan perhatiannya ke layar, dan tentu saja ini berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Nah, ketika sistem bisa tahu lebih dulu bagian mana yang akan kita klik sebelum jari kita menyentuh layar, pandangan kita pasti tetap akan lebih banyak tertuju ke jalanan. Itulah premis dari teknologi berbasis gesture semacam ini. Konsepnya sendiri bukanlah hal baru, akan tetapi di sini tim peneliti JLR dan Cambridge sudah memanfaatkan artificial intelligence guna mempercepat kinerja sistemnya.

Namun ternyata para peneliti di baliknya punya visi yang lebih besar dari sekadar mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. Mereka percaya teknologi predictive touch juga bisa bermanfaat untuk mengurangi penyebaran bakteri dan virus – topik yang demikian penting di masa pandemi seperti sekarang – mengingat tidak ada kontak fisik antara jari dan permukaan layar.

Jadi ketimbang hanya diimplementasikan di dashboard mobil, teknologi predictive touch ini sebenarnya juga dapat diaplikasikan ke banyak perangkat di tempat umum yang memang dilengkapi layar sentuh. Contoh yang paling gampang tentu saja adalah mesin ATM, mesin check-in mandiri di bandara, mesin ticketing di stasiun kereta api maupun bioskop, dan masih banyak lagi.

Dalam beberapa kasus, predictive touch juga bisa membantu kaum difabel yang memiliki keterbatasan motorik. Tim riset JLR dan Cambridge bilang teknologinya sudah benar-benar matang dan siap diintegrasikan ke berbagai perangkat dengan mudah, sebab predictive touch tidak memerlukan hardware tambahan seandainya suatu perangkat sudah memiliki akses ke berbagai data sensori yang tepat untuk mendukung algoritma machine learning-nya.

Sumber: Engadget dan Jaguar Land Rover.