Intudo Ventures Umumkan Dana Kelolaan Baru Senilai Rp1,9 Triliun

Intudo, perusahaan investasi yang beroperasi di Indonesia dan Silicon Valley, mengumumkan telah berhasil menutup dana kelolaan baru sebesar $125 juta atau setara Rp1,9 triliun melalui dua dana investasi: Intudo Ventures IV, LP dengan total $75 juta dan dana sebesar $50 juta yang difokuskan untuk pengembangan sumber daya alam dan energi terbarukan di Indonesia. Langkah ini menunjukkan komitmen Intudo untuk membawa “bisnis dunia” ke Indonesia dan memperkenalkan Indonesia ke panggung internasional.

Dengan penutupan dua dana ini, Intudo kini mengelola aset senilai lebih dari $350 juta, menjadikannya salah satu pemain kunci dalam investasi tahap awal di Indonesia. Intudo juga telah berinvestasi ke puluhan startup lokal, di antaranya Xendit, Pintu, Pinhome, dan Jago.

Founding Parner Intudo Patrick Yip mengungkapkan bahwa peluang investasi di Indonesia saat ini jauh berbeda dibandingkan beberapa tahun yang lalu. “Dengan perubahan signifikan dalam arus perdagangan global dan meningkatnya permintaan untuk teknologi baru, Indonesia kini menawarkan potensi yang lebih besar untuk menciptakan nilai bagi investor,” jelasnya.

Dana Intudo Ventures IV dirancang untuk mendukung perusahaan-perusahaan lokal Indonesia yang ingin meraih peluang dari peningkatan posisi ekonomi Indonesia di dunia. Perusahaan ini menargetkan investasi pada bisnis yang memiliki keunggulan kompetitif dalam distribusi komersial, regulasi, dan teknologi canggih, serta fokus pada industri yang mengembangkan kekuatan Indonesia secara global.

Dana kelolaan baru ini berhasil menarik investasi dari lembaga-lembaga ternama serta family office besar di Amerika Serikat, Asia, Eropa, dan Timur Tengah, termasuk Orient Growth Ventures dan Black Kite Capital. Melalui strategi investasi terfokus, Intudo akan membentuk portofolio dengan 14-18 perusahaan Indonesia dengan alokasi dana awal senilai $1-10 juta (setara Rp15 miliar sampai Rp150 miliar) untuk setiap perusahaan.

Selain itu, dana investasi $50 juta lainnya difokuskan pada sektor pengelolaan sumber daya alam dan energi terbarukan di Indonesia. Dana ini berupaya menangkap peluang Indonesia sebagai bagian penting dalam rantai pasokan global, terutama di sektor energi baru terbarukan seperti kendaraan listrik, baterai, penangkapan karbon, dan energi surya.

Intudo menargetkan tiga area investasi utama:

  1. Membawa Dunia ke Indonesia: Melihat Indonesia sebagai peluang baru bagi sektor-sektor strategis global, Intudo mendukung investasi yang membawa teknologi dan pengembangan industri ke dalam negeri.
  2. Membawa Indonesia ke Dunia: Mempromosikan produk unggulan Indonesia seperti produk konsumen harian, akuakultur, dan hortikultura yang memiliki daya saing global.
  3. Investasi untuk Pasar Domestik: Mendorong model bisnis yang sesuai dengan karakteristik pasar Indonesia yang didorong oleh konsumsi domestik dan populasi muda.

Intudo juga menawarkan layanan pendampingan terintegrasi melalui “Intudo Platform” untuk menghubungkan investor global dengan mitra lokal di Indonesia. Dengan jaringan yang luas, Intudo memfasilitasi hubungan antara investor global, pendiri perusahaan, serta konglomerat di Indonesia. Hal ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia di rantai nilai global.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

INA dan Granite Asia Jalin Kerja Sama Strategis, Berinvestasi Rp18,9 Triliun untuk Transformasi Digital Indonesia

Indonesia Investment Authority (INA) dan perusahaan investasi multi-aset Granite Asia resmi mengumumkan kerja sama strategis untuk mempercepat transformasi digital di Indonesia. Kemitraan ini ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Kerangka Investasi, yang memungkinkan kedua pihak berinvestasi hingga $1,2 miliar atau setara Rp18,9 triliun dalam berbagai proyek teknologi yang relevan dengan kepentingan nasional Indonesia.

Investasi ini bertujuan untuk menyediakan solusi pendanaan berbasis ekuitas dan hybrid capital solutions yang fleksibel, guna mendukung perkembangan perusahaan teknologi di Indonesia serta usaha lain yang terkait dengan pasar dalam negeri. Dengan pendekatan ini, INA dan Granite Asia berkomitmen untuk memberikan modal yang mendukung inovasi, sekaligus mendorong bisnis tradisional untuk mempercepat adopsi teknologi.

Ketua Dewan Direktur INA Ridha Wirakusumah menyatakan, “Kolaborasi dengan Granite Asia memperkuat misi kami untuk menghadirkan teknologi inovatif ke Indonesia dan mendukung transformasi digital yang menyeluruh di berbagai sektor. Ini adalah langkah penting dalam membangun ekosistem teknologi yang tangguh untuk masa depan Indonesia.”

Senior Managing Partner Granite Asia Jenny Lee menambahkan bahwa kerja sama ini memungkinkan Granite Asia memanfaatkan pengalaman globalnya dalam investasi teknologi untuk membantu pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. “Kami sangat antusias bermitra dengan INA dalam memajukan teknologi dan inovasi di Indonesia, memberikan solusi pendanaan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik bisnis pada setiap tahap perkembangan mereka,” jelas Lee.

Kemitraan strategis ini mencerminkan komitmen jangka panjang INA dan Granite Asia untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam era digitalisasi global, serta memastikan bahwa negara ini siap menyongsong masa depan berbasis teknologi yang dinamis.

Tahun ini Grantie Asia juga telah mendukung sejumlah startup berbasis di Indonesia, di antaranya Chickin dan McEasy.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Genesis Alternative Ventures Kumpulkan $125 Juta untuk Venture Debt Fund Kedua

Genesis Alternative Ventures, perusahaan investasi untuk startup di Asia Tenggara, berhasil mengumpulkan komitmen sebesar $125 juta atau setara Rp1,9 triliun untuk dana utang ventura (venture debt fund) kedua mereka. Dana ini akan difokuskan pada investasi di startup teknologi di wilayah Asia Tenggara.

Sekitar 80% investor dari fund pertama kembali berpartisipasi di dana kelolaan baru ini, termasuk Aozora Bank, Korea Development Bank, Mizuho Leasing, Sassoon Investment Corporation, dan Silverhorn. Investor baru yang bergabung kali ini antara lain Mizuho Bank, bank besar asal Jepang, serta OurCrowd, platform investasi global lainnya.

Pada Agustus 2023, Genesis juga mengumumkan kemitraan dengan Superbank, bank digital Indonesia, untuk menyediakan pendanaan hingga $40 juta sekitar Rp600 miliar bagi startup teknologi yang menjanjikan di Indonesia. Superbank sendiri memiliki pemegang saham besar seperti Emtek, Grab, Singtel, dan KakaoBank.

Selain itu, Genesis mengumumkan penunjukan Philip Yeo, mantan Ketua Dewan Pengembangan Ekonomi Singapura, ke dalam Dewan Penasihat mereka. Yeo merupakan tokoh senior dalam investasi teknologi di Asia Tenggara dan diharapkan memberikan panduan strategis untuk pertumbuhan Genesis ke depan.

Dr. Jeremy Loh, salah satu pendiri dan Managing Partner di Genesis, mengungkapkan rasa terima kasihnya atas dukungan berkelanjutan dari para investor. “Kami juga senang menyambut Mizuho Bank sebagai investor strategis di dana kedua ini, serta kehadiran Philip Yeo di Dewan Penasihat yang memiliki pengalaman dan visi yang luas di sektor teknologi dan investasi,” ujarnya.

Sejauh ini, Dana II telah menyalurkan pinjaman ventura lebih dari $20 juta kepada sejumlah startup di Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Dr. Loh menambahkan bahwa profil startup saat ini lebih berfokus pada struktur yang efisien dan mindset yang mengutamakan profitabilitas. Perusahaan-perusahaan portofolio Genesis menunjukkan arah baru ini, memposisikan diri mereka untuk keberlanjutan jangka panjang.

Sementara itu, Yasuhiro Kubota, Managing Executive Officer dan Co-CEO Mizuho Bank untuk kawasan Asia Pasifik, menyatakan kegembiraannya atas kemitraan dengan Genesis. “Asia Tenggara adalah wilayah yang sangat menarik dengan ekosistem startup yang berkembang pesat. Kami yakin kemitraan ini akan mempercepat pertumbuhan perusahaan-perusahaan yang menjanjikan dengan akses ke modal, jaringan industri, dan keahlian yang dipimpin oleh Genesis,” jelasnya.

Di Indonesia, Genesis miliki sejumlah portofolio investasi, di antaranya Saturdays, HappyFresh, dan RateS.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Pemodal Ventura Jepang W Inc Mulai Tambah Portofolio Startup dari Indonesia

Pemodal ventura berbasis di Jepang, W inc., memperdalam investasinya di Indonesia. Baru-baru ini mereka mengumumkan investasinya ke startup social commerce Dagangan. Satu bulan sebelumnya, mereka juga baru mengumumkan investasinya ke platform proptech Jendela360.

Debut awal W inc. di Indonesia pada Juni 2023 lalu, tepatnya berpartisipasi pada pendanaan awal platform manajemen kreator Slice Group — dalam investasi tersebut Arise (MDI Ventures) dan Intudo Ventures turut terlibat.

Dalam pernyataannya, seperti dikutip dari LinkedIn, mereka berinvestasi ke Dagangan lantaran startup yang dinakhodai Ryan Manafe tersebut telah mencapai EBITDA positif untuk hampir semua operasi pusatnya, menunjukkan model bisnis yang kuat. Setelah mengumpulkan dana sebesar $18,5 juta, Dagangan berencana untuk menjangkau 75.000 desa, menawarkan produk berkualitas tinggi, dan membangun ekosistem ekonomi pedesaan yang komprehensif.

Sementara itu, investasinya di Jendela360 didasari kemampuan startup tersebut dalam menawarkan pengalaman yang terstandardisasi untuk pembelian/penyewaan properti, termasuk memastikan kualitas dan keamanan. Mulai dari penelusuran hingga transaksi, semuanya berjalan lancar di platform Jendela. Jendela berencana memanfaatkan dana ini untuk memperluas layanannya ke kota-kota besar lainnya, seperti Bogor, Surabaya, dan Bali.

Turut disampaikan, bahwa W inc. akan terus mengeksplorasi kemungkinan berinvestasi lebih banyak di Indonesia. Terlebih saat ini modal ventura tersebut juga sudah memiliki tim analis dari Indonesia. W inc. secara umum berinvestasi di startup tahap awal, pra-seri A, dan seri A dalam bidang lifestyle, entertainment, dan sports.

Pada Mei 2023 lalu, W inc. mengumumkan “W Fund 2” yang telah ditingkatkan nilainya ari 5 miliar Yen menjadi 7 miliar Yen, atau setara $45 juta. Lewat dana kelolaan baru ini, W inc. berkomitmen untuk mulai mengeksplorasi peluang investasi di Asia Tenggara. Selain menemukan potensi portofolio baru, diharapkan ini bisa menjadi jalur ekspansi bagi portofolio yang mereka miliki sebelumnya.

Mandiri Capital Indonesia Siap Ekspansi Regional dan Global

Usai menetapkan langkahnya untuk mengelola LP luar, Mandiri Capital Indonesia (MCI), lengan investasi Mandiri Group, mantap untuk memperluas cakupan investasinya ke skala global. Besok (23/4), MCI memboyong sembilan (9) portofolio untuk tampil di konferensi fintech Money 20/20 Asia yang digelar di Bangkok, Thailand.

Bangkok akan menjadi pijakan awal MCI untuk memulai ekspansinya di kawasan regional melalui peluncuran program Xponent pertama di luar negeri. Seluruh portofolio MCI berkesempatan untuk melakukan showcase produk dan layanannya di sana. Ke-9 portofolio ini antara lain Mekari, KoinWorks, Ayoconnect, Delos, iSeller, Kecilin, Fishlog, Imajin, dan AI Rudder.

Adapun, MCI menjadi satu-satunya Corporate Venture Capital (CVC) dari Indonesia yang menjadi exhibitor Money 20/20 Asia yang digelar pada 23-25 April 2024.

“Kami menyiapkan fondasi, framework, sejak 2021 agar MCI bisa berjalan tanpa terus bergantung dari injeksi modal induk usaha. Kami ingin MCI bisa menjadi top of mind, kalau tidak dikenali, bagaimana mau fundraise?” tutur Chief Investment Officer MCI Dennis Pratistha saat diwawancarai DailySocial.id pekan lalu.

Dennis menambahkan bahwa kehadiran Xponent di Money 20/20 Asia akan menjadi langkah strategis untuk mengintegrasikan startup dan perusahaan luar negeri yang aktif dengan jaringan dan sumber daya yang dimiliki oleh Mandiri Group.

Sejak beberapa tahun terakhir, MCI diketahui mulai fokus untuk berinvestasi strategis di sektor beyond fintech, seperti agrikultur, aquakultur, dan manufaktur. Tujuannya tak lagi sebatas penyertaan modal ke startup, tetapi juga penciptaan value creation bagi portofolio dan bisnis unit Mandiri Group.

Sumber: Mandiri Capital Indonesia

Untuk memantapkan posisinya sebagai investor strategis, ujar Dennis, MCI pun menginisiasi program XYZ yang berisikan sejumlah program turunan, yakni Xponent, Xchange, Y-Axis, dan Zenith Accelerator. Seluruh program ini bertujuan untuk mengeksplorasi peluang pertumbuhan startup dan menghubungkan pelaku startup dengan ekosistem kunci.

We only invest in companies where we are confident we can add value to them in terms of business. Kami punya ekosistem besar, Mandiri Group, juga BUMN. Kami bisa leverage, bring value untuk tap ke ekosistem bagi portofolio dan non portofolio. Ini yang mendorong kelahiran XYZ,” tuturnya.

Dana kelolaan untuk ekspansi

Saat ini, dana kelolaan (fund) Global Climate Tech Fund tengah disiapkan sebagai kendaraan investasi global MCI berkolaborasi dengan Investible, VC asal Australia. Dana kelolaan ini ditargetkan bertahap dapat mencapai $150 juta pada penggalangan tahap awalnya tahun ini. Beberapa portofolio yang sudah disuntik modal adalah Greenhope, Cakap, Delos, dan FishLog.

Global Climate Tech Fund menjadi kelanjutaan dari komitmen Indonesia Impact Fund (IIF) untuk mendukung target nol emisi karbon. Ia menilai dana kelolaan sejenis belum banyak di-deploy Indonesia karena ekosistem climate tech masih tahap awal.

“Masalah lainnya, ekosistem sekarang masih menempel dengan ekosistem digital. Kita bicara waste management, circular economy, dan sebagainya, tetapi belum bisa dikatakan climate tech, masih menempel ke digital. Semua ujungnya masih ada aplikasi. Padahal, it’s slightly different. Maka itu, kita harus buat early stage fund untuk bangun ekosistem climate tech,” tambah Dennis.

Ia juga menyoroti bagaimana sulitnya pelaku di ekosistem ini berupaya mengakselerasi bisnisnya padahal telah mengembangkan teknologinya. Salah satu yang ia soroti adalah sektor circular economy. Misalnya, pengelolaan limbah/sampah tak hanya bicara soal aktivitas pengumpulannya saja, tetapi juga memikirkan bagaimana sampah dapat didaur ulang.

Untuk itu, ekspansinya ke regional dan global diharapkan dapat mengeksplorasi teknologi, pengetahuan, dan pengalaman lebih dalam dari negara-negara yang ekosistem climate tech sudah maju. Dengan begitu, upaya tersebut dapat mempercepat pertumbuhan ekosistem climate tech dalam negeri.

Dennis juga menyebut tengah menyiapkan perwakilan MCI di Australia, yang mana diharapkan dapat mempermudah perusahaan untuk mereplikasi program XYZ. “Negara-negara yang ekosistem climate tech-nya sudah maju, mereka sudah mulai puluhan tahun lalu. Kita bisa tap into their knowledge, technology, dan experience. Once the framework is set, we can scale, that’s what we have been doing, we’re replicating the framework. Pasti ada lokalisasinya, itu bisa disesuaikan.”

Sebagaimana ditetapkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), ada enam fokus area untuk mengatasi climate crisis antara lain Energy, Industry, Agriculture and Food, Forests and Land Use, Transport, Buildings and Cities.

Dana kelolaan MCI saat ini:

  1. Balance Sheet Fund dari Mandiri Group (aktif)
  2. BTN Fund (deployment 2024)
  3. Global Climate Tech Fund (initial fundraising)
  4. Merah Putih Fund (deployment 2024)

MCI memiliki dana kelolaan aktif Balance Sheet Fund dari Mandiri Group. Baru-baru ini, MCI juga mengumumkan kolaborasi dengan BTN sebagai fund manager BTN Fund yang fokus pada investasi di ekosistem digital housing, termasuk mortgage, proptech, construction tech, manufacturing tech, dan open banking.

“Kami sedang urus perizinan [BTN Fund] dengan OJK. Semoga bisa diluncurkan segera [tahun ini]. Kami ingin memastikan bisa membantu [BTN] untuk mengakselerasi proses transformasi digital mereka, karena [fund] ini sudah dipersiapkan sejak 2021. Deployment-nya bertahap, kami sudah mulai melakukan pre due dilligence,” ungkapnya.

Saat ini, MCI telah lebih dari 20 startup portofolio yang berasal dari 14 vertikal, mencakup lending, B2B value chain, hingga payment enabler.

Strategi Bank Danamon Tetap Relevan dengan Perkembangan Fintech

Sektor fintech di Indonesia terus menunjukan tren pertumbuhan yang pesat setiap tahunnya. Menurut proyeksi dari Google, Temasek, dan Bain & Company, Indonesia diperkirakan akan menjadi pasar pembayaran digital terbesar di Asia Tenggara dengan proyeksi Gross Transaction Value mencapai $760 miliar pada 2030.

Di saat yang sama, pemerintah mendorong penggunaan fintech untuk mencapai target inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun ini. Gairah ini membuat banyak pihak berlomba-lomba mengadopsi fintech terkini agar makin relevan dengan perkembangan saat ini. Hal tersebut juga dilakukan oleh Bank Danamon.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Chief Strategy Officer Bank Danamon Reza Iskandar Sardjono menyampaikan berbagai strategi dari internal dan eksternal telah ditempuh perseroan untuk terus mendukung industri fintech ini.

“Salah satunya dengan melakukan penempatan dana di Garuda Fund bersama dengan MUFG dan MUIP (MUFG Innovation Partners), dana ventura yang melakukan investasi strategis pada sektor keuangan digital Indonesia, dengan penekanan pada perusahaan fintech,” ujarnya.

Sebagai catatan, Garuda Fund diumumkan pada Januari 2023 memiliki alokasi dana sebesar $100 juta dengan periode investasi terhitung dari 2023-2028. Fokus investasi Garuda Fund adalah pendanaan seri A ke atas, dengan rata-rata investasi $5 juta dengan tujuan strategis untuk meningkatkan bisnis kolaborasi Danamon dengan para pelaku digital dan fintech di Indonesia.

Startup teranyar yang mendapat pendanaan dari Garuda Fund adalah startup insurtech Qoala yang berpartisipasi dalam putaran seri C diumumkan pada 3 April 2024. Ditargetkan ada sebanyak 15 startup yang akan memperoleh dana dari Garuda Fund hingga 2028 mendatang.

Pada Februari, Bank Danamon juga mengumumkan kemitraan strategis dengan Helicap, startup asal Singapura yang berfokus menghubungkan investor global dengan peluang utang swasta di Asia Tenggara. Tujuan perusahaan adalah untuk mengisi kesenjangan pembiayaan sebesar $500 miliar yang tidak dapat dilayani oleh bank dan menyebarkan modal kepada 300 juta orang yang tidak mempunyai rekening bank melalui 1.000 originator di wilayah tersebut.

“Melalui kerja sama ini, Helicap memperkenalkan ekosistem fintech mereka yang ada di Indonesia ke Danamon. Di sisi lain, Danamon menyediakan portal korporat Danamon (Danamon Cash Connect), dan membantu pengelolaan flow of fund yang lancar dengan pengendalian risiko yang lebih baik kepada Helicap,” lanjut Reza.

Ia juga menyampaikan kolaborasi ini cukup unik karena membantu menyediakan kemudahan bagi Helicap dalam melakukan operasional pendanaan, serta memberikan keamanan dalam melakukan transaksi. Tidak menutup kemungkinan ke depannya, kolaborasi ini akan dilanjutkan dengan entitas di dalam MUFG Group, yakni Adira Finance dan Home Credit.

Transformasi digital

Reza melanjutkan, penguatan internal dengan berinvestasi pada Infrastruktur IT & Digital, Sumber Daya Manusia, Branding, dan Branch Network agar tetap relevan sekaligus dalam rangka meningkatkan pelayanan ke nasabah.

Perseroan berupaya meningkatkan kapabilitas channels, baik fisik (Next Generation Branch) maupun digital (D-Bank PRO dan Danamon Cash Connect), serta memperluas kemitraan digital. D-Bank PRO adalah solusi untuk konsumen, sementara Danamon Cash Connect ditujukan untuk nasabah bisnis.

Melalui digitalisasi tersebut, Reza mengklaim pihaknya berhasil meningkatkan produktivitas SDM di cabang melalui migrasi transaksi-transaksi yang bersifat administratif (penggantian PIN, penggantian kartu debit, dan pengkinian data nasabah) ke digital channel (D-Bank PRO) dan self-service channel (Digital CS).

Sementara bagi nasabah, dengan adanya digitalisasi ini memberikan kemudahan akses dalam bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti: pembayaran tagihan, top up, jual/beli valuta asing, QRIS, mengubah transaksi kartu kredit menjadi cicilan (My Own Installment), pengajuan loan dan pembelian wealth management produk, dan berbagai fitur lainnya.

Pihaknya juga secara aktif menyediakan layanan BaaS (Bank-as-a-Service) kepada nasabah di semua segmen melalui pengembangan dan penyempurnaan berbagai layanan API. “Ke depannya, kami berkomitmen untuk senantiasa melakukan pengembangan seluruh channel digital dengan prinsip customer centricity serta memperkuat sinergi dengan jaringan MUFG sehingga dapat memberikan layanan yang komprehensif kepada nasabah.”

Dia beralasan langkah ini ditempuh karena perusahaan merupakan organisasi yang berpusat pada pelanggan, sehingga salah satu strateginya adalah terus engage dengan nasabah dan mengerti kebutuhan mereka. “Dengan interaksi langsung melalui berbagai event maupun melalui research untuk memahami perubahan perilaku nasabah yang berfokus pada berbagai layanan digital perbankan,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

HSBC Buat “Debt Fund” Khusus Startup ASEAN Senilai Rp15,8 Triliun

HSBC mengumumkan debt fund khusus startup “ASEAN Growth Fund” senilai $1 miliar (sekitar Rp15,8 triliun) untuk mengakselerasi ekspansi startup di kawasan Asia Tenggara yang tumbuh pesat. Dana ini dikhususkan pada startup/perusahaan digital, terutama di sektor new economy yang mengincar ekspansi ke Asia Tenggara.

“HSBC sangat antusias dengan berkembangnya ekonomi digital di ASEAN, termasuk Indonesia. Kami bersemangat untuk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan digital untuk mendukung merek memperluas ekspansi bisnis di kawasan ASEAN dan sekitarnya,” ucap Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricourt dalam konferensi pers, kemarin (27/3).

Managing Director, Wholesale Banking HSBC Indonesia Riko Tasmaya melanjutkan, ticket size untuk tiap pinjaman ini dimulai dari $25 juta-$100 juta dengan tenor satu sampai tiga tahun. Bank akan menggunakan metriks saat penilaian dengan mempertimbangkan operasional bisnis terkait portofolio aset generatif arus kas perusahaan, termasuk piutang, dibandingkan hanya berpatokan pada metrik keuangan tradisional.

Hal menarik lainnya, untuk startup yang ingin ekspansi ke kawasan ASEAN dapat menggunakan limit yang mereka terima dan dicairkan sesuai mata uang negara di mana negara yang akan mereka sasar. Sebagai catatan, di kawasan ini HSBC beroperasi di enam negara, yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.

“Karena sebuah bisnis masuk ke region ASEAN, mereka kesulitan mendapatkan financing di masing-masing negara, jadi harus start pitching ke tiap bank di masing-masing negara. Tapi kalau lewat akses Growth Fund cukup dari satu negara, bisa expand ke lima negara di ASEAN. Ini merupakan ease of business yang sangat seamless dan nominalnya juga signifikan,” jelas Riko.

Pihak HSBC tidak membuat rinci untuk porsi di masing-negara untuk penyalurannya, namun diharapkan porsi dari startup Indonesia dapat menempati posisi mayoritas mengingat negara ini punya peluang ekonomi digital terbesar.

“Kita mencari startup yang scalable, juga bergerak di new economy. Sektor ini diestimasi bernilai $218 miliar dan diestimasi angkanya melambung sampai $600 miliar pada 2030 mendatang. Makanya sektor ini butuh funding khusus.”

Sebelum fund ini diumumkan secara resmi, Riko menyampaikan sejauh ini ada delapan pengajuan dari startup di kawasan ini yang sedang diproses. Nilai transaksinya diestimasi bernilai $500 juta dan diharapkan penyaluran dapat selesai paling lambat pada Q2 2024.

Sejumlah startup dari kawasan ini telah mendapat fasilitas pembiayaan dari HSBC, di antaranya Akulaku, Sea Group, eFishery, Atome, dan Funding Societies. Menurut Riko, startup tersebut menggunakan pinjaman tersebut untuk mengembangkan bisnisnya di masing-masing negara di mana mereka sudah beroperasi.

“eFishery ini menarik karena mereka ada social impact, lalu mereka juga berkembang di Singapura dan India. Jadi mereka kita hubungkan dengan network kita yang ada di sana untuk support bisnisnya di luar Indonesia. Nominalnya mencapai $30 juta, sekarang kita juga support mereka untuk ESG roadmap.”

Umumkan Venture Debt

Secara terpisah, di saat yang bersamaan, HSBC mengumumkan dana kelolaan lainnya, yakni Venture Debt khusus di pasar Singapura dengan mengalokasikan $150 juta (Rp2,3 triliun) untuk memberikan pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan berskala besar dengan pertumbuhan tinggi di Singapura yang telah didukung oleh modal ventura atau investor ekuitas swasta.

Venture Debt ini memberikan solusi pembiayaan jangka panjang dan fleksibel bagi perusahaan, mendukung berbagai kebutuhan pendanaan, seperti belanja modal, perpanjangan runway, atau modal kerja dengan tenor hingga tiga tahun. Perusahaan dari sektor new economy juga dapat memperoleh akses ke struktur pembiayaan yang lebih terspesialisasi, termasuk yang melibatkan instrumen jaminan ekuitas.

Head of Commercial Banking for South and Southeast Asia HSBC Amanda Murphy menuturkan, “HSBC memiliki sejarah yang membanggakan dan warisan yang kuat di ASEAN dalam mendukung wirausaha dan meningkatkan skala bisnis. Pengenalan penawaran terbaru kami memungkinkan kami untuk lebih mendukung perusahaan-perusahaan new economy di ASEAN, baik yang baru berdiri maupun yang baru berkembang, seiring dengan ekspansi mereka di kawasan ini dan kemajuan sepanjang siklus hidup perusahaan.”

Dua fund di atas melengkapi fund yang sebelumnya sudah diumumkan HSBC, yakni New Economy Fund senilai $200 juta yang diluncurkan pada 2021 untuk mendukung kebutuhan modal kerja startup tahap awal di Singapura, menciptakan solusi pembiayaan komprehensif untuk klien ekonomi baru di berbagai tahap pertumbuhan.

Living Lab Ventures Luncurkan Dana Kelolaan untuk Startup Healthtech dan Biotech

Sinar Mas Land melalui kendaraan investasinya Living Lab Ventures (LLV) meluncurkan Biomedical Fund, dana kelolaan yang mendukung pelaku startup di bidang biomedis, pusat penelitian, biobank, hingga teknologi kesehatan.

Chief Transformation Officer Sinar Mas Land Mulyawan Gani berharap Biomedical Fund dapat berperan dalam memastikan infrastruktur kesehatan di tanah air.

“Tidak hanya tangguh, tetapi juga berada di garis depan kemajuan teknologi. Melalui partisipasi LLV dalam biomedis, kini BSD City dapat benar-benar menjadi laboratorium yang hidup,” tambahnya dalam keterangan resmi.

Peluncuran ini didorong oleh pasca-pandemi yang memunculkan tren baru di lanskap kesehatan masyarakat Indonesia. Selain memperkuat kesadaran, permintaan terhadap akses layanan kesehatan yang lebih mudah dan murah ikut meningkat.

World Bank melaporkan, persentase pengeluaran kesehatan masyarakat Indonesia terhadap PDB naik dari 2,6% pada 2014 menjadi 3,2% pada 2022. Namun, persentase tersebut masih lebih rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran negara berpendapatan rendah, yakni 4,9%.

“Biomedical Fund akan memberikan pendanaan ke startup yang berpotensi membawa perubahan positif dalam penyediaan layanan kesehatan, termasuk teknologi diagnosis, manajemen data kesehatan, telemedis, dan solusi inovatif lainnya,” tutur Partner Living Lab Venture Bayu Seto.

Sejauh ini, LLV telah berinvestasi di sejumlah startup, seperti Jumpstart, Amoda, Paper.id, dan BRIK. Investasi ini tidak hanya ditujukan ke sektor proptech, tetapi juga mencakup sektor agnostik yang memiliki fleksibilitas dan peluang yang tajam. Hingga saat ini, LLV telah memberdayakan 27 startup yang berfokus pada tiga aspek teknologi utama, yakni smart technologies, digital life, dan mobility.

Inisiatif genomik dan bioteknologi

Belum banyak dana kelolaan yang difokuskan untuk pengembangan teknologi di bidang kesehatan di Indonesia. Dua tahun lalu, Bio Farma sempat meluncurkan Bio Health Fund dengan fokus pada investasi biotech, menggandeng MDI Ventures. Namun, belum diketahui kapan dana tersebut akan di-deploy.

Sementara, East Ventures dilaporkan tengah menggalang dana kelolaan baru sebesar $30 juta untuk Healthcare Fund sejak tahun lalu. Dana ini spesifik akan disuntikkan ke startup tahap awal healthcare dan vertikal turunannya.

Adapun, inisiatif lain untuk pengembangan genomik telah digulirkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi). Targetnya, sebanyak 100 ribu sample dapat terkumpul pada 2025.

AC Ventures Tutup Putaran Akhir Dana Kelolaan Kelima Sebesar Rp3,2 Triliun

AC Ventures (ACV) menutup putaran akhir dana kelolaan kelimanya ACV V L.P (ACV Fund V) dengan total $210 juta (sekitar Rp3,28 triliun). Nilai tersebut sudah termasuk dana co-investasi.

ACV Fund V didukung oleh sejumlah Limited Partner (LP) global, melibatkan IFC dan lembaga keuangan terkemuka dari Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Utara. Dari total nilai ini, 50% dana terkumpul berasal dari investor terdahulu, dan 90% dana berasal dari modal institusional.

Putaran pertamanya ditutup pada 2022 senilai Rp2,4 triliun. Berdasarkan data yang dirangkum DailySocial.id di sepanjang 2023, ACV telah menggulirkan investasi ke sejumlah startup Indonesia, termasuk ALAMI, BRIK, Broom, Maka Motors, dan Rosé All Day Cosmetics.

“Indonesia menjadi pusat investasi yang dinamis, berkembang pesat di tengah pergeseran ekonomi global. Pertumbuhan ini didorong oleh populasi yang muda, peningkatan kesejahteraan, dan pemerintahan yang stabil dan pro-investasi. Indonesia berada di jalur untuk menjadi satu dari sepuluh ekonomi terbesar di dunia dalam dekade mendatang,” ujar Founding Partner ACV Pandu Sjahrir.

Lebih lanjut, ACV mengungkap komitmennya pada dampak berkelanjutan sejalan dengan pencapaian kinerja keuangan yang positif, tak hanya penciptaan nilai ekonomi saja.

Pihaknya menyebut dana kelolaan III menyentuh rasio dampak bersih sebesar 37% oleh The Upright Project, sebuah model berbasis AI buatan Finlandia untuk mengukur dampak bersih perusahaan dan dana kelolaan. Capaian ini disebut telah menempatkan ACV dan portofolionya di atas rata-rata Nasdaq Small Cap Index (NQUSS) sebesar 29%.

“Fokus kami pada keseimbangan hasil finansial dan keberlanjutan, tidak hanya mencerminkan respons pasar saat ini. Hal ini adalah prinsip dasar filosofi investasi jangka panjang kami untuk menciptakan nilai yang substansial bagi semua pemangku kepentingan, dengan pendekatan strategis serta menekankan dampak berkelanjutan dan tata kelola keuangan yang bertanggung jawab,” tutur Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Dalam memberikan nilai tambah portofolionya, ACV memiliki tim penciptaan nilai (value creation) yang mendampingi startup meraih pertumbuhan, inovasi, dan sukses berkelanjutan. Tim juga memiliki keahlian khusus dalam pemasaran, pertumbuhan, humas, dan panduan ESG.

Ekonomi digital Indonesia diperkirakan masih tumbuh dalam beberapa tahun mendatang dengan proyeksi total GMV sebesar $110 miliar pada 2025. Kendati begitu, iklim investasi startup Indonesia pada tahun ini diprediksi masih akan sulit, dipicu oleh ketidakpastian ekonomi global.

Menurut sejumlah investor, tahun 2024 masih akan menjadi momentum startup teknologi dan digital untuk membenahi fundamental bisnisnya. Startup perlu meraih profitabilitas untuk mengembalikan kepercayaan investor terhadap bisnisnya.

Mandiri Capital Mulai Kelola Dana Investasi dari LP Luar Grup Perusahaan

Mandiri Capital Indonesia (MCI), CVC dari Bank Mandiri, mulai membidik posisi sebagai fund manager, seperti model bisnis VC kebanyakan, agar bisa mengelola fund dari LP di luar Mandiri Group. Ambisi tersebut dilancarkan terhitung sejak akhir tahun lalu, ada dua fund yang akan segera aktif pada tahun ini, yakni BTN Fund dan Merah Putih Fund.

CEO Mandiri Capital Indonesia Ronald Simorangkir menyampaikan, dengan mengelola uang investor di luar Bank Mandiri, harapannya MCI dapat lebih mandiri (self-sustain) untuk memenuhi operasionalnya sendiri. “Kita mulai bangun setahap demi setahap, sehingga 1-2 tahun mendatang jadi fund manager yang mandiri bisa self-sustain,” ujarnya saat Media Outlook 2024 di Jakarta, Rabu (17/1).

BTN Fund dengan target dana kelolaan $20 juta (sekitar Rp312 miliar) ditargetkan dapat segera beroperasi setelah pertama kali diumumkan pada awal Desember 2023. MCI akan memperoleh komisi dari pengelolaan dana tersebut. Sementara itu, Merah Putih Fund telah mengumpulkan dana sebesar $300 juta. Dana ini dikelola secara bersama oleh CVC pelat merah lainnya, yakni BRI Ventures, MDI Ventures, Telkomsel Ventures, dan BNI Ventures.

Saat ini MCI mengelola dua fund yang telah aktif digunakan untuk berinvestasi: balance sheet fund dari Mandiri Group sebesar $250 juta dan Global Climate Tech Fund yang saat ini masih dalam proses penggalangan dengan target dana sebesar $150 juta.

Dari keduanya terdapat 23 startup aktif yang telah didanai berasal dari 14 vertikal bisnis, mulai dari lending, B2B value chain, dan fintech & payment enablers. MCI juga sudah exit di tujuh startup (tiga full exit dan empat partial exit), seperti: MOKA, Cashlez, dan DamCorp.

Bila dipisah berdasarkan tiap dana kelolaan, walau Global Climate Tech Fund masih dalam penggalangan dana, sudah ada sejumlah startup yang telah didanai, yakni: Greenhope, Cakap, Delos, dan FishLog. Hal ini dikarenakan dana kelolaan tersebut merupakan kelanjutan dari mandat Indonesia Impact Fund (IIF) yang sudah diluncurkan sejak 2021.

Strategi investasi tahun ini

Ronald melanjutkan, MCI sebagai CVC memiliki mandat untuk terus mendukung strategi Bank Mandiri dengan menciptakan value creation demi mencapai bisnis yang inovatif dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui implementasi program XYZ, meliputi:

  1. Program Xponent untuk business matchmaking startup dengan Mandiri Group;
  2. Program Xchange dengan melakukan innovation benchmark terhadap beberapa innovation lab yang ada di Singapura;
  3. Y-Axis yang mewadahi para startup untuk memperluas jejaring terhadap tech-community, investor, dan korporasi;
  4. Program Zenith Accelerator yang ditujukan untuk pengembangan bisnis dan kolaborasi bersama ekosistem Mandiri Group.

“Kami membina berbagai startup sebelum akhirnya diinvestasi. Ada yang sudah berjalan. Jadi kita benar-benar beri pekerjaan, bentuknya MoU atau piloting, bukan workshop, jadi ada produk yang siap digunakan oleh Mandiri Group,” imbuh Ronald.

Direktur Investasi Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha menambahkan menyeimbangkan keuntungan jangka pendek dengan keberlanjutan jangka panjang dan memanfaatkan sinergi adalah tujuan dari value creation. Penyelarasan strategis ini tidak hanya meningkatkan kesehatan keuangan masing-masing unit bisnis, namun juga memposisikan seluruh portofolio untuk beradaptasi dan berkembang dalam lingkungan pasar yang dinamis, sehingga mendorong kesuksesan yang bertahan lama.

“Kita lihat sesuatu itu secara jangka panjang, makanya bantu startup menumbuhkan bisnisnya. Makanya kita juga enggak ikut FOMO (fear of missing out), enggak ikut ke Web3 atau wealthtech seperti saat pandemi kemarin,” kata Dennis.

CFO Mandiri Capital Indonesia Wisnu Setiadi menyampaikan, karena MCI fokus bangun fundamental bisnis startup sendiri, maka saat likuiditas di pasar sedang kering, valuasi startup akan dinilai dari fundamental yang sudah mereka punya. Jadi angkanya lebih nyata dan terukur secara logis.

“Saat likuiditas kembali normal, dengan inflasi terkontrol dan global tension mendingin. Di situ kita bisa realized-kan gain-gain tersebut dengan aktif divestasi dan lihat potensi baru untuk diinvestasikan,” tambahnya.

Pada tahun ini, sektor yang dinilai MCI menarik dilirik adalah rantai pasok yang masih banyak aspek konvensional dalam proses bisnisnya. Kemudian, sustainable green business juga turut dilirik, sejalan dengan inisiatif dari Global Climate Tech Fund. MCI akan membidik startup dari global untuk membawa teknologinya masuk ke Indonesia.

Climate tech masih sangat baru di Indonesia. Maka untuk memulainya harus bangun ekosistemnya di sini, undang dari luar untuk bawa knowledge-nya yang berguna untuk Indonesia,” pungkas Dennis.