AC Ventures Tutup Putaran Akhir Dana Kelolaan Kelima Sebesar Rp3,2 Triliun

AC Ventures (ACV) menutup putaran akhir dana kelolaan kelimanya ACV V L.P (ACV Fund V) dengan total $210 juta (sekitar Rp3,28 triliun). Nilai tersebut sudah termasuk dana co-investasi.

ACV Fund V didukung oleh sejumlah Limited Partner (LP) global, melibatkan IFC dan lembaga keuangan terkemuka dari Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Utara. Dari total nilai ini, 50% dana terkumpul berasal dari investor terdahulu, dan 90% dana berasal dari modal institusional.

Putaran pertamanya ditutup pada 2022 senilai Rp2,4 triliun. Berdasarkan data yang dirangkum DailySocial.id di sepanjang 2023, ACV telah menggulirkan investasi ke sejumlah startup Indonesia, termasuk ALAMI, BRIK, Broom, Maka Motors, dan Rosé All Day Cosmetics.

“Indonesia menjadi pusat investasi yang dinamis, berkembang pesat di tengah pergeseran ekonomi global. Pertumbuhan ini didorong oleh populasi yang muda, peningkatan kesejahteraan, dan pemerintahan yang stabil dan pro-investasi. Indonesia berada di jalur untuk menjadi satu dari sepuluh ekonomi terbesar di dunia dalam dekade mendatang,” ujar Founding Partner ACV Pandu Sjahrir.

Lebih lanjut, ACV mengungkap komitmennya pada dampak berkelanjutan sejalan dengan pencapaian kinerja keuangan yang positif, tak hanya penciptaan nilai ekonomi saja.

Pihaknya menyebut dana kelolaan III menyentuh rasio dampak bersih sebesar 37% oleh The Upright Project, sebuah model berbasis AI buatan Finlandia untuk mengukur dampak bersih perusahaan dan dana kelolaan. Capaian ini disebut telah menempatkan ACV dan portofolionya di atas rata-rata Nasdaq Small Cap Index (NQUSS) sebesar 29%.

“Fokus kami pada keseimbangan hasil finansial dan keberlanjutan, tidak hanya mencerminkan respons pasar saat ini. Hal ini adalah prinsip dasar filosofi investasi jangka panjang kami untuk menciptakan nilai yang substansial bagi semua pemangku kepentingan, dengan pendekatan strategis serta menekankan dampak berkelanjutan dan tata kelola keuangan yang bertanggung jawab,” tutur Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Dalam memberikan nilai tambah portofolionya, ACV memiliki tim penciptaan nilai (value creation) yang mendampingi startup meraih pertumbuhan, inovasi, dan sukses berkelanjutan. Tim juga memiliki keahlian khusus dalam pemasaran, pertumbuhan, humas, dan panduan ESG.

Ekonomi digital Indonesia diperkirakan masih tumbuh dalam beberapa tahun mendatang dengan proyeksi total GMV sebesar $110 miliar pada 2025. Kendati begitu, iklim investasi startup Indonesia pada tahun ini diprediksi masih akan sulit, dipicu oleh ketidakpastian ekonomi global.

Menurut sejumlah investor, tahun 2024 masih akan menjadi momentum startup teknologi dan digital untuk membenahi fundamental bisnisnya. Startup perlu meraih profitabilitas untuk mengembalikan kepercayaan investor terhadap bisnisnya.

Indies Capital dan AC Ventures Teken Perjanjian Investasi dengan Penjana Kapital

Bertujuan menemukan peluang investasi berdampak pada sektor-sektor baru, Indies Capital Partners dan AC Ventures (ACV) menandatangani kesepakatan investasi lintas negara dengan Penjana Kapital. Kerja sama ini mencakup peluang investasi bersama melalui existing fund maupun terbaru.

Penandatanganan Memorandum of Cooperation (MoC) ini disaksikan oleh Perdana Menteri Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim serta Menteri Perdagangan Internasional dan Senator Industri Tengku Datuk Seri Utama Zafrul Tengku Abdul Aziz di Jakarta.

Sebagai informasi, Penjana Kapital merupakan bagian dari inisiatif pemerintah Malaysia untuk mendorong pengembangan startup teknologi.

“Melalui kerja sama lintas negara, kami memiliki peluang untuk memasuki pasar baru, mengakses sumber modal dan keahlian, serta mendorong inovasi dan pertumbuhan di kedua pasar,” kata Founding Partner ACV dan Managing Partner Indies Capital Partners Pandu Sjahrir.

Selain investasi, kesepakatan ini juga mencakup pertukaran informasi, jaringan, dan teknologi untuk pengembangan startup di Indonesia dan Malaysia pada sejumlah sektor utama, antara lain data center, pendidikan, hospitality, mobility, dan pengelolaan limbah.

Bina relasi

Pandu menambahkan bahwa Penjana Kapital, Indies Capital Partners, dan ACV merupakan pemain utama dalam lanskap investasi Indonesia dan Malaysia. Kerja sama ini diharapkan dapat mempererat hubungan ekonomi antara kedua negara dan mempromosikan keterhubungan kawasan di Asia Tenggara.

Baik Indonesia dan Malaysia telah menunjukkan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan data dari Malaysia External Trade Development Corporation (Matrade), total nilai perdagangan antara Malaysia dan Indonesia naik 43,5% secara YoY menjadi RM95,1 miliar ($21,6 miliar) pada 2021.

Total ekspor Malaysia ke Indonesia naik 32,5% menjadi RM39,22 miliar ($6,9 miliar), sedangkan total impor naik 52,3% menjadi RM55,88 miliar ($12,7 miliar) pada periode yang sama.

Tambahan informasi, Indies Capital Partners merupakan pengelola kredit swasta  di Asia Tenggara yang kini telah berkembang ke aset alternatif dengan dana kelola lebih dari $800 juta. Sementara, AC Ventures telah mengelola lebih dari $500 juta aset yang terbagi dalam lima fund.

Pada akhir 2022, AC Ventures telah mengumpulkan putaran pertama dana kelolaan kelima (Fund V) sekitar $162,5 juta atau setara Rp2,4 triliun yang sebagian besar berasal dari Limited Partner (LP) dana kelolaan sebelumnya. Sejauh ini, AC Ventures telah menyuntik investasi ke 22 startup selama sembilan bulan terakhir di 2022 melalui Fund V, termasuk  SkorLife, KLAR, dan BRIK.

Waste4Change Terima Pendanaan Seri A 76 Miliar Dipimpin AC Ventures dan Barito Mitra Investama

Platform pengelola sampah Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.

Perusahaan akan menggunakan modal segar ini untuk memperluas jangkauan, meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah hingga 100 ton per hari sampai 18 bulan ke depan, serta mencapai lebih dari 2 ribu ton per hari dalam lima tahun ke depan.

Untuk mencapai target tersebut, perusahaan akan melibatkan integrasi dengan lebih banyak teknologi digital dalam proses pemantauan, perekaman aliran pengelolaan limbah, dan otomatisasi fasilitas pemulihan material. Di samping itu, perusahaan berencana untuk memperkuat kemitraan dengan sektor persampahan informal di Indonesia yang saat ini didukung oleh pemulung, bank sampah, kios sampah, dan pengumpul sampah.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (14/10), Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan pemodal ventura terbaik di sektor teknologi. Menurutnya, semua investor di Waste4Change menanggapi ESG dengan serius dan bersedia berbagi wawasan mereka demi menciptakan solusi pengelolaan limbah terbaik.

“Kami lebih dari siap untuk mewujudkan misi bersama kami untuk memberikan dampak positif yang lebih cepat dan lebih besar terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi,” ucap Sano, panggilan akrab Bijaksana.

Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir menambahkan, Waste4Change adalah pionir yang menyediakan solusi pengelolaan sampah end-to-end. Keberlanjutan adalah fokus utama tim dengan komitmen yang ditunjukkan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.

“Perusahaan ini telah mencapai kecocokan pasar produk dan memiliki potensi untuk berkembang di seluruh negeri. Waktu perusahaan juga ideal karena pemerintah Indonesia menginginkan setidaknya pengurangan 30% di sumbernya dengan 70% sisanya ditangani pada tahun 2025,” ujar dia.

Solusi Waste4Change

Waste4Change

Sano menjelaskan, Waste4Change didirikan pada 2014 dengan mengemban misi memecahkan masalah sampah guna mencegah kebocoran ke lingkungan dan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan sampah. Perusahaan didirikan oleh PT Greeneration Indonesia (Ecoxyztem) dan PT Bumi Lestari Bali (EcoBali) di Bekasi, Jawa Barat.

Solusi yang ditawarkan Waste4Change ada empat, yakni Consult, Campaign, Collect, dan Create.

Khusus untuk layanan ketiga ini, pelanggan diminta untuk memilah sampahnya sesuai dengan panduan Waste4Change. Kemudian, Waste4Change akan mengirimkan tim untuk datang ke lokasi mereka guna mengambil sampah secara langsung, kemudian memberikan laporan detail setelah proses selesai. Pelanggan juga memiliki pilihan untuk membawa sampah ke salah satu titik drop-off Waste4Change atau mengirim sampah mereka ke Waste4Change.

Waste4Change hadir di 21 kota di Indonesia, mengelola lebih dari 8.000 ton sampah per tahun. Perusahaan telah mengumpulkan sampah dari 100 klien B2B dan 3.450 klien rumah tangga. Sejak 2017, telah memperoleh skor CAGR 55,1%.

Waste4Change saat ini memiliki 108 karyawan dan 141 operator pengelolaan sampah. Perusahaan berencana untuk menambah 52 orang tambahan ke dalam timnya dan melibatkan lebih dari 300 sektor informal dan UMKM di sektor limbah (sejumlah personel internal dan eksternal) untuk terus mendorong pertumbuhan.

Dengan populasi lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia menghadapi masalah pengelolaan sampah terbesar di Asia Tenggara, dengan tingkat daur ulang berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih sangat rendah, yaitu 11-12%. Namun, tidak menutup kemungkinan jika hal ini akan segera berubah pasca regulasi atau kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah.

Baru-baru ini, pemerintah meluncurkan program Indonesia Bersih Sampah 2025 yang diresmikan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia 97/2017. Aturan ini mewajibkan semua pihak untuk mendukung realisasi pengurangan sampah 30% dari sumbernya (termasuk pemilahan sampah ke tempat sampah terpisah sehingga sampah tertentu dapat diolah menjadi produk daur ulang yang berbeda) dan 70% sampah diolah. Target agresif pemerintah perlu dicapai sebelum akhir tahun 2025.

Program ini juga telah memicu peraturan pengelolaan sampah baru dari pemerintah daerah dan inisiatif pengelolaan sampah dari sektor komersial. Dalam hal permintaan pasar baru, perubahan ini telah menciptakan lonjakan kebutuhan akan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, dengan laporan pengelolaan sampah yang terperinci.

Kiat Startup Bertahan di Tengah “Tech Winter”

Sebagai salah satu VC yang menduduki posisi teratas dalam hal investasi kepada startup di Indonesia, AC Ventures memiliki fokus khusus untuk mendukung pertumbuhan portofolio mereka. Memasuki masa sulit startup yang juga kerap disebut “Tech Winter”, AC Ventures memiliki beberapa catatan penting yang wajib di perhatikan oleh penggiat startup di tanah air.

Mulai dari strategi penggalangan dana yang tepat, potensi untuk melakukan M&A, hingga saat ini menjadi waktu yang tepat untuk merekrut talenta digital terbaik ke dalam tim. Hal ini seusai yang disampaikan Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir dalam sesi webinar yang diadakan Rabu (03/8) lalu.

Efisiensi penggunaan kapital

Masih berlangsungnya perang antara Ukraina dan Rusia, ditambah dengan aturan Zero-Covid Policy yang diterapkan oleh Tingkok, mengakibatkan tertundanya aktivitas bisnis dan penutupan pabrik yang mempengaruhi kepada supply chain di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ditambah lagi dengan inflasi dan meninggkatnya harga berbagai barang dan kebutuhan masyarakat. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi pertumbuhan bisnis kebanyakan startup. Untuk bisa bertahan dan mendapatkan profit, idealnya startup sudah mulai melakukan efisensi dalam hal penggunaan kapital atau modal yang ada saat ini.

Idealnya ketika dana segar sudah didapatkan oleh startup, bisa untuk menggunakan runway tersebut untuk waktu sekitar 36-48 bulan ke depan. Diprediksi pendanaan atau penawaran untuk berinvestasi dari VC akan lebih sulit diberikan. Investasi yang tahun ini kemudian final biasanya sudah dijajaki sejak tahun lalu.

“Jika saat ini Anda mencari nilai valuasi, rata-rata jumlah tersebut sudah menurun sekitar 30% di private market. Di sisi lain untuk public market, nilainya bisa mencapai sekitar 50 hingga 80% berdasarkan di negara perusahaan tersebut beroperasi,” kata Pandu.

Strategi lain yang kemudian juga bisa dilancarkan oleh startup adalah fokus mengembangkan unique value proposition untuk mendapatkan growth. Perhatikan pula unit ekonomi dan hedge risk. Untuk bisa mendapatkan market share, gunakan berbagai macam kanal, salah satunya adalah melakukan merger and acquisition (M&A). Hal ini dinilai lebih efektif dibandingkan jika perusahaan mengambil jalan melalui kanal yang organik. M&A bisa melahirkan keuntungan yang positif bagi startup, jika dieksekusi dengan tepat.

Kondisi sulit saat ini juga mewajibkan startup untuk terus menghadirkan inovasi dengan keterbatasan yang ada. Dengan melakukan cara ini diharapkan menjadikan perusahaan lebih siap ke depannya. Namun yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh startup saat ini adalah, untuk bisa membangun tim yang berkualitas, dengan merekrut tenaga kerja terbaik.

“Saat ini adalah waktu terbaik untuk fokus merampingkan tim. Jika telah memiliki tim dengan nilai B hingga B+, saat ini kemudian menjadi yang tepat untuk kemudian merekrut talenta dengan nilai A+. Satu orang dengan nilai A+ bisa lebih baik didapatkan dibandingkan dengan menambah tim berjumlah 6 orang dengan nilai B+,” kata Pandu.

Perubahan investasi VC saat tech winter

Menurut Pandu jika startup telah memiliki produk yang tepat dan digunakan oleh orang banyak, maka bisa menciptakan less price sensitive. Untuk itu pastikan produk yang dimiliki telah melalui proses product market fit yang tepat. Mindset ini yang baiknya diterapkan oleh semua entrepeneur.

Sementara itu menurut Director Head of Research Credit Suisse, investor saat ini lebih fokus kepada apakah startup telah memiliki revenue model atau tidak. Mereka juga akan memprioritaskan kepada startup yang bisa merekrut target pengguna mereka dengan tepat dan pada akhirnya harus memiliki strategi monetisasi yang jelas.

Jika sebelumnya proses penggalangan dana terbilang cepat waktunya, namun saat ini ketika sudah mulai banyak investor yang melakukan kalkulasi dan due diligence secara ketat, proses penggalangan dana bisa berjalan lebih lama dari biasanya. Untuk mereka yang saat ini sudah berada di tahapan Seri A ke atas, juga harus melalui proses penyaringan yang ketat. Mulai dari latar belakang pendirinya hingga unit ekonomi yang dimiliki startup.

Untuk ukuran investasi juga bakal mengalami perubahan. Tidak lagi menawarkan jumlah yang besar, saat ini investor mulai mengurangi investasi mereka dengan nilai yang lebih kecil dari biasanya. Salah satu alasan adalah, mulai banyaknya Limited Partner (LP) yang melakukan evaluasi saat proses underwriting dilakukan.

Dilihat dari jumlah investor yang masuk ke Asia Tenggara khususnya Indonesia, negara seperti Tiongkok hingga Korea Selatan juga sudah melirik banyak startup di Asia Tenggara.

Melansir dari DealStreetAsia, saat ini sudah mulai banyak VC asal Tingkok yang mendirikan kantor perwakilan mereka di Singapura. Tujuannya adalah untuk memberikan investasi kepada startup di Asia Tenggara. VC besar asal Tiongkok seperti Shunwei Capital, Source Code Capital dan Plus Capital, dikabarkan telah dalam proses melakukan ekspansi membuka kantor perwakilan mereka di Singapura.

Disinggung seperti apa dinamika IPO startup Indonesia ke depannya, Pandu menegaskan IPO yang dilakukan oleh GoTo merupakan salah satu yang terbilang sukses. Namun untuk mempercepat pertumbuhan startup jika memang bisa dilakukan kolaborasi dengan konglomerasi hingga M&A dengan kompetitor, menjadi lebih ideal dilakukan untuk mendapatkan growth yang positif.

Kondisi politik Indonesia yang akan diwarnai oleh Pemilu tahun 2024 mendatang juga diprediksi akan menunda terjadinya aktivitas investasi di tanah air. Namun saat Pemilu sudah selesai digelar, dipastikan kegiatan tersebut akan kembali berjalan normal. Untuk itu manfaatkan 9 bulan waktu sebelum Pemilu untuk kemudian startup mulai aktif melakukan kegiatan penggalangan dana.

AFTECH Paparkan Lanskap Pasar, Tantangan, dan Tren Investasi Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) kembali merilis Laporan Survei Anggota Tahunan 2021 yang memaparkan lanskap layanan fintech di Indonesia, pencapaian pertumbuhan, hingga tren investasi di masa depan.

Sebagai informasi, saat ini AFTECH menaungi pelaku fintech yang terbagi dalam enam model bisnis atau klaster antara lain sistem pembayaran, pinjaman online, neobank, securities crowdfunding, wealth management, dan Inovasi Keuangan Digital atau IKD (terdiri dari 16 sub kluster). Per akhir 2021, jumlah anggota AFTECH tercatat sebesar 352, naik dari periode sama di 2020 dan 2019 masing-masing 302 dan 219 anggota.

Berikut sejumlah pencapaian dan temuan penting dari laporan tahunan AFTECH sebagaimana dirangkum DailySocial.id berikut ini.

Pembayaran digital dan pinjaman online

Survei menunjukkan pembayaran digital dan pinjaman online menjadi dua model bisnis fintech yang sudah memasuki fase matang di Indonesia, turut didorong oleh faktor konsolidasi antar-pelaku pemimpin pasar dan melandainya pertumbuhan.

Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir mengungkap kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan, yang dikarenakan oleh sejumlah faktor, seperti regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan. Kendati begitu, ia menilai layanan fintech tersebut mulai menggalang daya tarik di pasar.

Secara keseluruhan, adopsi layanan fintech di Indonesia meningkat signifikan di sepanjang 2021. Peningkatan ini tercermin dari sejumlah pencapaian antara lain:

  • Nilai transaksi uang elektronik naik sebesar 58,5 persen (YoY) menjadi Rp35 triliun.
  • Adopsi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melampau target 12 juta merchant sebelum akhir 2021.
  • Penyaluran pinjaman melalui platform fintech pendanaan bersama ke lebih dari 13,47 juta rekening peminjam mencapai Rp13,6 triliun per Desember 2021
  • Adopsi fintech untuk berinvestasi di pasar modal dan aset digital ikut meningkat.

Dari kategori pembayaran digital, 28 persen responden telah mengantongi nilai transaksi tahunan sebesar Rp5 miliar-Rp500 miliar, sedangkan 28 persen lainnya mengumpulkan total transaksi tahunan sebesar Rp500 miliar-5 triliun. Mengacu statistik Bank Indonesia per Desember 2021, total transaksi pembayaran digital mencapai Rp35,1 triliun atau naik 60 persen dibanding periode sama tahun lalu. Transaksi ini didominasi oleh pelaku fintech bukan bank.

Dari kategori pinjaman online, data OJK mencatat pertumbuhan sebesar 70 persen menjadi Rp13,6 triliun pada Desember 2021. Fokus penyaluran pinjaman masih terpusat di pulau Jawa di mana hampir 70 persen dari total transaksi berasal dari wilayah tersebut, diikuti luar negeri (28%) dan luar Jawa (1,9%). Kota di luar pulau Jawa masing-masing menyumbang tak sampai 1 persen dari total transaksi, kecuali Sumatera Utara (1,8%) dan Bengkulu (1%).

Saat ini, jumlah lender dan borrower di platform fintech masing-masing sebesar 809.494 dan 73,2 juta per Desember 2021. Sementara, per Desember 2020, jumlah lender dan jumlah borrower masing-masing sekitar 716.913 dan 43,6 juta.

Tantangan pelaku fintech

Data OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3 persen dari 29,7 persen di 2016 menjadi 38 persen di 2019. Dengan pertumbuhan indeks ini, fintech menyadari pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69 persen pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23 persen dan 19 persen responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Terlepas dari kendala di atas, 45 persen pelaku fintech mengaku optimistis dapat melanjutkan ekspansinya lebih banyak ke area luar Jabodetabek sehingga dapat mencapai target inklusi keuangan nasional.

“Terkait infrastruktur, meski teknologi memengaruhi ekspansi layanan fintech di daerah, sebanyak 53 responden memiliki responden positif terhadap pertumbuhan dan perbaikan infrastruktur di masa depan,” tutur Pandu.

Pangsa pasar dan ekspansi

Berdasarkan hasil survei, area Jabodetabek masih menjadi pasar utama fintech, di mana 99 persen dan 75 persen responden masing-masing menjawab Jakarta dan Bodetabek sebagai target utama penggunanya, diikuti oleh Bandung (45%) dan Surabaya (36%).

Sebanyak 69 persen responden mengaku telah melayani daerah pedesaan di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar fintech tak hanya fokus pada wilayah perkotaan saja.

Selain itu, pelaku fintech juga masih mendorong penetrasi pengguna di segmen UMKM, terutama bagi pengusaha perempuan. Sebanyak 42 persen responden mencatat nilai transaksi pengguna UMKM sebesar lebih dari Rp80 miliar. Adapun 12 persen di antaranya memperoleh kurang dari Rp500 juta dari UMKM.

Dari 33 persen responden, 25-50 persen pengguna UMKM dijalankan oleh perempuan, memperkuat anggapan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap industri fintech.

“Maka itu, literasi keuangan dan digital bagi perempuan menjadi semakin penting agar pelaku UMKM dapat memaksimalkan produk dan layanan yang tersedia di industri jasa keuangan untuk mengembangkan usahanya,” papar laporan ini.

Dari sisi pengembangan usaha, responden mengungkap sejumlah poin penting dalam menentukan strategi bisnis untuk mendongkrak pendapatan di masa depan. Di antaranya adalah pelaku fintech ingin fokus pada produk berpenghasilan tinggi (59%), masuk ke pasar baru termasuk luar negeri dan daerah pedesaan (34%), menjajaki lini bisnis baru (52%), dan tidak ada rencana untuk memperluas atau fokus ke produk tertentu (7%).

Selain itu, sebanyak 75 persen pelaku fintech di Indonesia berencana memperluas jangkauan pasarnya ke pedesaan. Temuan ini menunjukkan sinyal positif industri fintech untuk meningkatkan pemerataan layanan keuangan di seluruh Indonesia.

Investasi fintech

Investasi di sektor fintech Indonesia mencatatkan pertumbuhan 13 kali lipat sejak 2017 yang hanya $64 juta menjadi $904 juta di Q3 2021. Jumlah tersebut dua hingga tiga kali lebih tinggi dari investasi yang diperoleh pelaku fintech di negara tetangga.

Apabila dibandingkan dengan total investasi ke sektor lain, baik dari investor domestik maupun asing, investasi fintech di Indonesia dari kuartal I sampai III 2021 lebih tinggi 58 persen di sektor mesin dan elektronik, dan 157 persen lebih tinggi dari sektor tekstil.

Peningkatan iklim investasi ke sektor fintech tak lepas dari meningkatnya jumlah populasi muda yang akrab dengan layanan digital, penetrasi seluler, dan kelas menengah di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan fintech semakin terakselerasi karena pandemi Covid-19.

Dari sudut pandang kebutuhan investasi, saat ini satu dari tiga klaster pembayaran digital, pinjaman online, dan IKD masih membutuhkan lebih dari Rp150 miliar dalam 1-2 tahun ke depan. Di sisi lain, 17 persen responden dari pemain pembayaran digital meyakini hanya membutuhkan investasi kurang dari Rp500 juta dalam 1-2 tahun ke depan.

“Ini menunjukkan bahwa klaster pembayaran digital telah memasuki tahap lebih matang dibandingkan dengan kategori fintech di klaster lain,” ungkap Pandu.

Pandu Sjahrir Leads the Seed Funding for a Local AI Startup “Pensieve”

The artificial intelligence platform “Pensieve” announced the angel funding round from a group of individual investors with an undisclosed amount. Pandu Sjahrir led this round, followed by a number of other angels from Indonesia, Singapore and Brunei Darussalam whom identity are yet to disclose.

The Pensieve solution is an AI-based workflow engine software to help government and corporate institutions optimize business performance with better decision making. The work process starts from data integration/management, implementation of the decision-making engine, to displaying recommendation results into an application that is easy for users to read.

Pensieve plans to use the funding to accelerate product development and expand its market in Southeast Asia. In less than a year, Pensieve has grown with teams in Indonesia, Singapore and India.

This startup was founded in 2021 by Farina Situmorang (CEO). The mission is to empower large-scale organizations and enterprises to transform through AI-powered software. Farina believes that many organizations still have difficulty to optimally use its data.

“We are building an AI-based operational platform to allow better workflows and decision-making in various large-scale organizations,” Farina said.

Huge potential on the way

According to Kearney’s analysis, the application of artificial intelligence can have a significant overall impact on the operations of a business system. It is generally projected to increase 10 to 18 percent of GDP across Southeast Asia by 2030, equivalent to about $1 trillion. The data indicates that AI development and deployment is at an all-time high and Pensieve is poised to spearhead digital transformation in Southeast Asia.

“Pensieve has a very strong foundation and I feel very fortunate together with other angel investors to be able to participate in this angel round. I hope Pensieve can become a company that contributes more to the country and is able to become a large company to further expand in Southeast Asia,” Pandu Sjahrir said.

Pensieve believes that there is huge opportunity in Southeast Asia. “We believe with more support for Pensieve’s growth, we can help organizations in Southeast Asia who are facing the same problem and in need of use cases similar to the ones we have seen in Indonesia,” Farina added.

Indonesian based AI startups

A number of local founders have come up with AI-based solutions for different segments. Some of them have also received funding from investors. Take Datasaur, for example, a startup that focuses on providing data labeling services to help businesses develop more relevant and intuitive databases. This startup has been backed by Y Combinator, GDP Venture, and a number of other investors.

There is also Konvergen.ai, developing artificial intelligence technology for data capture needs – referring to the process of collecting data from paper or digital documents using optical character recognition (OCR) components. For more specific applications, there are Qlue and Nodeflux, the solutions help improve services in the public sector and present smart city-based solutions.

In a more basic level, AI technology has indeed been widely implemented to streamline a company’s business processes – especially digital. For example, fintech platforms that use AI technology in the form of machine learning to perform fraud detection. With the rise of many startups in this segment, it is expected to create a smart technology ecosystem that can provide many benefits for improving the welfare of the wider community through various efficiencies.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pandu Sjahrir Pimpin Pendanaan Awal Startup AI Lokal “Pensieve”

Startup pengembang platform kecerdasan buatan “Pensieve” mengumumkan perolehan pendanaan angel round dari sekelompok investor individu dengan nominal dirahasiakan. Pandu Sjahrir memimpin putaran ini, diikuti sejumlah angel lain dari Indonesia, Singapura, dan Brunei Darussalam yang tidak disebutkan identitasnya.

Solusi Pensieve adalah perangkat lunak workflow engine berbasis AI untuk membantu institusi pemerintahan dan korporasi mengoptimalkan performa bisnis dengan pengambilan keputusan yang lebih baik. Proses kerjanya mulai dari integrasi/pengelolaan data, implementasi engine pengambilan keputusan, hingga menampilkan hasil rekomendasi ke dalam sebuah aplikasi yang mudah dibaca pengguna.

Pensieve berencana menggunakan pendanaan tersebut untuk mempercepat pengembangan produk dan memperluas pasarnya di Asia Tenggara. Dalam waktu kurang dari satu tahun, Pensieve telah berkembang dengan tim di Indonesia, Singapura, dan India.

Startup ini didirikan sejak 2021 oleh Farina Situmorang (CEO). Mereka memiliki misi untuk memberdayakan berbagai organisasi dan perusahaan berskala besar agar mampu bertransformasi melalui perangkat lunak yang didukung oleh AI. Farina percaya bahwa banyak organisasi yang masih belum dapat menggunakan data yang dimiliki secara optimal.

“Kami membangun platform operasional berbasis AI yang mampu menciptakan alur kerja dan pengambilan keputusan yang lebih baik dalam berbagai organisasi berskala besar,” jelas Farina.

Potensi besar yang ingin diraup

Menurut analisis Kearney, penerapan kecerdasan buatan dapat memiliki dampak keseluruhan yang signifikan dalam operasional suatu sistem bisnis. Secara umum diproyeksi dapat meningkatkan 10 hingga 18 persen dalam PDB di seluruh Asia Tenggara pada tahun 2030, setara dengan sekitar $1 triliun. Data tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan serta penyebaran AI berada pada titik tertinggi sepanjang masa dan Pensieve siap menjadi ujung tombak transformasi digital di Asia Tenggara.

“Pensieve memiliki landasan yang sangat kuat dan saya merasa sangat beruntung bersama dengan rekan-rekan angel investor lainnya dapat berpartisipasi dalam angel round ini. Saya berharap Pensieve bisa menjadi perusahaan yang semakin banyak berkontribusi kepada negara dan mampu menjadi perusahaan besar yang bisa ekspansi di Asia Tenggara,” sambut Pandu Sjahrir.

Pensieve percaya bahwa ada peluang yang besar di Asia Tenggara. “Kami percaya bahwa dengan lebih banyak dukungan untuk pertumbuhan Pensieve, kami dapat membantu organisasi-organisasi di Asia Tenggara yang menghadapi masalah yang sama dan membutuhkan use cases yang serupa dengan yang telah kami lihat di Indonesia,” tambah Farina.

Startup AI dari Indonesia

Sejumlah startup dari founder lokal telah hadir dengan solusi berbasis AI untuk berbagai kebutuhan berbeda. Beberapa di antaranya juga sudah mendapatkan pendanaan dari investor. Misalnya Datasaur, startup yang fokus menyediakan layanan pelabelan data untuk membantu bisnis mengembangkan basis data yang lebih relevan dan intuitif. Startup ini telah didanai oleh Y Combinator, GDP Venture, dan sejumlah investor lainnya.

Ada juga Konvergen.ai, mengembangkan teknologi kecerdasan buatan untuk kebutuhan penangkapan data (data capture) – merujuk pada proses koleksi data dari dokumen kertas atau digital dengan menggunakan komponen optical character recognition (OCR). Untuk penerapan yang lebih spesifik, ada Qlue dan Nodeflux, solusinya membantu memperbaiki pelayanan di sektor publik dan menghadirkan solusi berbasis kota pintar.

Di tingkatan yang lebih mendasar, teknologi AI memang telah banyak diimplementasikan untuk mengefisiensikan proses bisnis suatu perusahaan – khususnya digital. Ambil contoh, para platform fintech yang memanfaatkan teknologi AI berupa machine learning untuk melakukan fraud detection. Dengan munculnya banyak startup di kategori ini, harapannya tentu terciptanya ekosistem teknologi cerdas yang dapat memberikan banyak manfaat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat luas melalui berbagai efisiensi yang dihadirkan.

AC Ventures Menutup Dana Kelolaan Ketiga Senilai 3 Triliun Rupiah

AC Ventures (ACV) mengumumkan telah menutup dana kelolaan ketiganya (Fund III) senilai lebih dari $205 juta atau setara 3 triliun Rupiah dalam committed capital. Perolehan ini menjadikan total Asset Under Management (AUM) mencapai $380 juta untuk seluruh dana kelolaannya.

Beberapa limited partner (LP) tergabung ke jajaran investor, mulai dari International Finance Gorup (IFC) milik Bank Dunia dan Disrupt AD yang merupakan lengan ventura dari Abu Dhabi Developmental Holdings.

Sebagian dana dari Fund III telah aktif diinvestasikan sejak penutupan pertama putaran tersebut pada Maret 2020 lalu. Hingga saat ini sudah mengalir ke 30 pendanaan startup, dari 35 yang ditargetkan — ACV mematok target bisa menyalurkan $100 juta hingga akhir 2021.

“Berbekal pengalaman pribadi kami sebagai pengusaha yang membangun bisnis di pasar negara berkembang dari awal hingga akuisisi dan IPO, kami memosisikan diri sebagai mitra untuk para pendiri startup yang menjadi portofolio kami dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan rintisan yang berkembang pesat. Para pendiri ACV memiliki pengalaman yang kuat dan beragam dari pasar Amerika Serikat, Tiongkok, dan Indonesia,” ungkap Founder & Managing Partner ACV Adrian Li.

Adrian melanjutkan, “Lebih dari itu, para pendiri ACV juga memiliki pengalaman investasi yang luas dalam bisnis digital yang sukses, sehingga kami mampu menghadirkan jaringan luas dan wawasan mendalam yang dapat dimanfaatkan oleh para pendiri startup yang menjadi portofolio kami.”

Lanjutkan hipotesis

Turut disampaikan dana kelolaan terbaru masih akan digunakan untuk melanjutkan strategi ACV sebelumnya, yakni fokus pada startup tahap awal di Indonesia. Mereka menggunakan pendekatan tematik yang mendalam dan disiplin yang kuat dalam berinvestasi pada startup dengan latar belakang pendiri yang kuat. ACV turut menggunakan analisis model bisnis dan pendekatan pasar yang tepat untuk membangun keahlian yang mendalam terhadap suatu sektor.

Selain pendanaan, ACV juga membantu para founder untuk membangun perusahaan melalui pengalaman mereka sebagai investor di berbagai perusahaan, serta melalui tim value creation yang terdiri dari para ahli yang memiliki pemahaman mendalam dan pengalaman yang luas di berbagai sektor industri. Tim ini akan mendukung masing-masing portofolio perusahaan ACV dalam hal rekrutmen, pengembangan bisnis, regulasi, dan peningkatan modal.

“Selain memberikan dana investasi, kami membantu para portfolio founder untuk menghubungkan mereka ke dalam ekosistem perusahaan dan platform digital yang lebih luas, serta para domain expert di seluruh dunia,” imbuh Founder & Managing Partner ACV Michael Soerijadji.

Dengan pendekatan tersebut, dana ACV sebelumnya dikatakan terus menunjukkan performa yang luar biasa di kuartil tertinggi dengan vintage fund pada 2015 mencapai 2,99x MOIC (Multiple of Invested Capital), dan vintage fund pada 2018 mencapai 2,41x MOIC. Sementara Fund III sejauh ini telah menunjukkan performa dengan MOIC mencapai 1,94x dalam kurun kurang dari 2 tahun sejak penutupan pertama.

Lahirkan unicorn dan centaur

AC Ventures adalah entitas gabungan dari Convergence Ventures (berdiri sejak 2014) dan Agaeti Venture Capital (berdiri sejak 2018). Keduanya resmi menyatukan entitas bisnis, dana kelolaan, dan tim pada 2019 lalu. Kini mereka telah turut melahirkan beberapa startup unggulan dengan titel unicorn dan centaur.

Dua unicorn yang menjadi portofolionya adalah Carsome dan Xendit. Sementara untuk startup yang telah mencapai tonggak centaur di antaranya Shipper, Stockbit, Ula, Aruna, BukuWarung, dan CoLearn. Dalam 18 bulan terakhir, seiring dengan percepatan adopsi digital akibat pandemi, pertumbuhan portofolio ACV meningkat pesat dan menghasilkan lebih dari $500 juta pendanaan tambahan pada beberapa portofolio terbaru ACV yang turut dipartisipasi oleh investor global, seperti Sequoia, Tiger Global, dan Prosus.

“Pandemi COVID-19 semakin mengakselerasi adopsi dan konsumsi digital di berbagai segmen bisnis di seluruh Indonesia. Ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi kesulitan ini tidak hanya memberi peluang besar bagi sektor internet untuk pulih, melainkan juga membuka kesempatan exit yang semakin menjanjikan seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan teknologi raksasa regional yang go public,” terang Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir.

Sepanjang tahun 2021, hingga bulan November, ACV telah berinvestasi di 18 startup lokal – beberapa partisipasinya di lebih dari 1 putaran. Daftar startup tersebut meliputi:

Startup Putaran Pendanaan
Eden Farm Seri A
Astro Seed
Nama Beauty Seed
majoo Seed
Esensi Solusi Buana Seri A
Legit Group Seed
Alami Seri B
Durianpay Seed
Aruna Seri A
Oy! Seri A
KLAR Seri A
Finantier Seed
Bibit Seri A
CoLearn Seri A
Shipper Seri B
KitaBeli Seri A
Segari Seed
Raena Seri A

 

 

Gojek dan TBS Umumkan “Electrum”, Babak Baru Ekosistem Kendaraan Listrik di Industri Ride Hailing

Meningkatnya tren kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) telah mendisrupsi sektor transportasi secara global. Di Indonesia sendiri, teknologi ini sudah mulai muncul dan berkembang. Bukan hanya dari pemerintah, namun juga perusahaan dari berbagai industri terkait ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekosistem kendaraan listrik ini.

Perusahaan ride hailing Gojek dan perusahaan energi terintegrasi TBS Energi Utama melalui PT Karya Baru TBS resmi mengumumkan kerja sama dalam membentuk usaha patungan atau joint venture (JV) bernama Electrum. Ini menjadi kolaborasi strategis pertama di Indonesia sekaligus dukungan terhadap rencana pemerintah dalam menjadikan pengembangan industri EV sebagai prioritas nasional.

Melalui perusahaan patungan tersebut, Gojek dan TBS akan mengembangkan usaha bisnis dalam bidang manufaktur kendaraan listrik roda dua, teknologi pengemasan baterai, infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.

Bagi Gojek, kolaborasi strategis ini menjadi bagian dari upaya mewujudkan komitmen Sustainability Grup GoTo “Zero Emissions” (Nol Emisi Karbon). Gojek menargetkan menjadi platform karbon-netral dan mentransisi menjadi 100% kendaraan listrik di tahun 2030.

“Kami berharap upaya ini dapat mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan berkontribusi kepada penanggulangan perubahan iklim di Indonesia. Kendaraan listrik merupakan masa depan bagi sektor transportasi dan kami memastikan hal tersebut dapat terwujud lebih cepat melalui kolaborasi ini,” ujar CEO Gojek, Kevin Aluwi.

Sebelumnya, Gojek juga telah mengumumkan kerja sama strategis dengan Gogoro, perusahaan teknologi global di ekosistem baterai swap, untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Dilanjutkan dengan uji coba komersial pemanfaatan 500 unit motor listrik di Jakarta Selatan, yang skalanya akan terus ditingkatkan hingga 5.000 unit dengan jarak tempuh 1 juta kilometer dalam platform Gojek.

Terkait kolaborasi ini, Pandu Sjahrir, selaku Wakil Direktur Utama TBS menyampaikan, “Kolaborasi dengan Gojek ini merupakan salah satu bagian dari komitmen reinvestasi pendapatan usaha TBS ke sektor energi bersih dan energi baru dan terbarukan [..] Pengalaman dan pemahaman kami di bidang energi bersama dengan ekosistem dan teknologi Gojek yang luas, bisa menjadi katalisator pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.”

Potensi kendaraan listrik di Indonesia

Sebelum pandemi Covid-19 mengguncang berbagai macam industri, termasuk otomotif, kendaraan listrik tengah menjadi sorotan. Menurut laporan Deloitte, penjualan tahunan gabungan kendaraan listrik baterai dan kendaraan listrik plug-in hybrid mencapai angka dua juta kendaraan untuk pertama kalinya di tahun 2019.

Meskipun sempat terhambat oleh pandemi, terjadi pola pertumbuhan yang berkelanjutan yang diharapkan dapat dipertahankan di tahun 2020 ke depan. Indonesia sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk memasuki era kendaraan listrik yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan.

Dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik, baterai menjadi komponen penting yang menyumbang 35 persen dari biaya produksi. Meningkatnya kebutuhan baterai kendaraan listrik dinilai akan mendukung peran strategis dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik. Hal ini mengingat posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lainnya seperti cobalt, mangan, dan aluminium.

Menurut laporan Deloitte, perkiraan EV global untuk tingkat pertumbuhan tahunan gabungan adalah mencapai 29 persen selama sepuluh tahun ke depan: Total penjualan EV tumbuh dari 2,5 juta pada tahun 2020 menjadi 11,2 juta pada tahun 2025, kemudian mencapai 31,1 juta pada tahun 2030.

Pemerintah Indonesia juga tengah berupaya menjadi pusat produksi kendaraan listrik di kawasan dengan target produksi 600.000 mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah mengembangkan proyek konversi sepeda motor bekas menjadi kendaraan listrik. Pengembangan proyek ini telah diuji coba pada 10 kendaraan. Pemerintah juga telah melakukan pendekatan dengan industri untuk memproduksi baterai dan konverter dengan harga murah. Hal ini diyakini akan mempercepat pengembangan proyek tersebut.

Dari sisi transportasi umum, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) turut menargetkan PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) untuk bisa sepenuhnya menggunakan bus listrik pada 2025. Wacana tersebut telah dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2020-2030. Uji coba pengoperasian bus listrik Transjakarta telah diadakan sejak tahun lalu melibatkan dua merek bus asal China.

Dari industri ride hailing, Gojek bukan satu-satunya yang memiliki inisiatif dalam hal mengembangkan ekosistem kendaraan listrik. Kompetitor utamanya, Grab, juga sudah lebih dulu mengumumkan uji coba kendaraan listrik roda empat dan dua di Jabodetabek.

Grab juga upayakan kendaraan listrik

Rival utama Gojek, yakni Grab, juga terus menggencarkan inisiatif ke EV. Salah satunya mereka bermitra dengan Hyundai Motor Group juga meluncurkan program percobaan kendaraan listrik baru untuk memungkinkan kepemilikan kendaraan listrik yang terjangkau dan mudah diakses, sembari juga mengembangkan peta jalan untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Asia Tenggara. Selain itu mereka juga mulai bekerja sama dengan beberapa produsen kendaraan roda dua elektrik, termasuk produsen lokal seperti Gesits dan Selis hingga produsen multinasional seperti Hyundai, Honda, Viar, dan Kymco.

Infrastruktur baterai juga dibangun bersama dengan perusahaan BUMN, PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan Pertamina, perusahaan bahan bakar BUMN untuk menghadirkan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum tersedia di SPBU Pertamina di Rawa Bokor, Jakarta. Kerja sama tiga arah itu berupa dukungan listrik PLN dengan tarif khusus; lokasi dan izin Pertamina, aplikasi dan pengoperasian pengisian daya serta Alat Pengisian Daya Kendaraan Listrik Grab bagi pengguna kendaraan roda 4 umum untuk mengisi daya kendaraannya.

Application Information Will Show Up Here

NAMA Beauty Receives 71 Billion Rupiah Funding from AC Ventures, SiCepat and DMMX

D2C startup “NAMA Beauty” received $5 million seed funding or equivalent to 71.1 billion Rupiah. This round was led by AC Ventures, supported by SiCepat Ekspres and DMMX. The company is led by the actress Luna Maya, co-founded by Marcel Lukman since 2019. NAMA Beauty is a D2C brand developer for skin care and beauty products.

“We feel grateful and blessed with the trust and support from AC Ventures, SiCepat, and DMMX, including all partners and teams. This is the right and promising momentum for Indonesia. We believe this synergy can help us to grow together and optimize opportunities and the current momentum,” NAMA Beauty’s CEO, Luna Maya said.

In addition to capital support, SiCepat and DMMX will become distribution partners. It includes utilizing the Sampoerna Retail Community (SRC) network across 20 cities and starting selling products on digital trading platforms. SiCepat will also be the main logistics partner in delivering NAMA products to consumers.

“I’m aware that the beauty industry is one of the most resilient in terms of growth, although it still has its challenges. Through our partnership with SiCepat and DMMX, we will leverage our respective unique strengths to help NAMA Beauty build a high-growth beauty brand and to support the company to reach its full potential,” AC Ventures’ Founding Partner, Pandu Sjahrir said.

D2C startup growth

Based on data from Euromonitor, the potential market for color cosmetics in Indonesia will reach $1 billion by 2023, with a CAGR of 16.9%. Combined with the D2C concept, local brands are expected to be able to optimize this potential.

The D2C or direct-to-consumer model, allows brand owners to reach their market share more efficiently with multi-channels, both offline and online. Technological assistance enables business processes to occur more streamlined, resulting in more efficient production costs to deliver products at affordable prices. In Indonesia, this model has applied in various types of industrial lines, ranging from cosmetics, skin care, fashion, to food.

Currently, a number of local venture capitalists are starting to finalize their hypotheses for D2C startups. The following are list of investors who have started to actively provide funding for D2C players

Venture Capitalist D2C Portfolios
Kinesys Group Saturdays, Dailybox
East Ventures Mohjo, Greenly, Fore
Alpha JWC Ventures Hangry, Kopi Kenangan, Goola, Lemonilo, Mangkokku, Saturdays
AC Ventures Rose All Day, Segari, Fore, KLAR, NAMA Beauty
SALT Ventures SYCA, Hangry, dr soap

NAMA Beauty plans

NAMA Beauty will use the fresh funds for R&D development, marketing and branding, recruiting more talents, and launching new brand lines. By combining Luna Maya’s ability to read the latest beauty trends with a strong R&D team, NAMA Beauty will launch a second brand that targets below market prices, without compromising product quality excellence.

On the other hand, NAMA Beauty’s Co-Founder, Marcel Lukman has more than a decade of experience in the retail world. He is one of the important figures behind Atmos and The 707 Company which is a parent for a number of well-known brands, such as Fred Perry, Nudie Jeans, Superga and Melissa. The two unique backgrounds of the founders are expected to bring the company to the right pace of growth.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian