East Ventures Berinvestasi ke Startup Kuliner Ayam Goreng Terasi Asal Singapura

Har Har Chicken!, kios makanan takeaway yang mengkhususkan diri pada ayam goreng terasi, hari ini mengumumkan keberhasilannya meraih pendanaan yang dipimpin oleh East Ventures.

“Panduan dan dukungan dari tim East Ventures sangat berharga bagi kami dalam perjalanan kewirausahaan ini. Kami menghargai keyakinan mereka terhadap brand Har Har Chicken!, dan menantikan kolaborasi yang lebih banyak ke depannya,” ujar Co-Founder & CEO Har Har Chicken! Bevin Desker.

Har Har Chicken! didirikan oleh Bevin Desker, Han Liguang, Lennard Yeong, dan Tay Jianli, yang semuanya memiliki pengalaman luas di industri restoran. Misi mereka adalah menciptakan brand makanan khas Singapura yang mudah diakses dan memiliki potensi untuk berkembang secara regional.

Pasar unggas di Asia Selatan dan Asia Tenggara menunjukkan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan proyeksi peningkatan sebesar 30% antara 2023 dan 2030. Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya permintaan akan makanan yang mudah didapat, termasuk ayam goreng.

Menangkap peluang dari popularitas ayam goreng dan har cheong gai, Har Har Chicken! menawarkan berbagai pilihan menu seperti sayap ayam, burger, nasi kotak, dan lainnya, lengkap dengan kondimen yang menyempurnakan rasa.

Sektor F&B memang menjadi salah satu hipotesis investasi East Ventures. Selain masuk ke platform digital yang mendemokratisasi operasional bisnis kuliner, East Ventures beberapa kali juga telah berinvestasi ke pengembang produk kuliner. Mulai dari Ismaya Group, SaladStop! Group, UENA, Fore, hingga Dahmakan.

“Kami bersemangat untuk mendukung Har Har Chicken! yang menghadirkan sentuhan inovatif pada hidangan Singapura yang disukai banyak orang. Tim pendiri yang kuat dan berpengalaman diyakini akan membawa kesuksesan besar di bidang F&B,” kata Principal East Ventures Wesley Tay.

Pendanaan ini datang setelah debut Har Har Chicken! di Bishan, Junction 8, Singapura, pada 5 Juli 2024. Sebagian besar pendanaan akan digunakan untuk optimalisasi rantai pasok, memastikan kualitas yang konsisten untuk pelanggan.

Har Har Chicken! berencana memperluas kehadirannya di Singapura dengan menargetkan tiga gerai awal di Junction 8, Vivocity, dan ION Orchard. Pada tahun 2025, mereka berharap dapat meningkatkan jumlah gerai di Singapura dan melakukan ekspansi regional.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Grouu Kembali Terima Investasi dari Teja Ventures, Akan Perkuat Strategi Omnichannel

Startup pengembang produk makanan bayi dan anakGrouu kembali menerima pendanaan dari Teja Ventures. Tidak disebutkan nominal yang diraih kali ini. Sebelumnya Teja menyuntikkan dana untuk putaran baru yang diumumkan pada September 2022.

Pendanaan akan dimanfaatkan untuk mendiversifikasi produk, termasuk mengembangkan produk kemasan yang dirancang khusus untuk pemenuhan gizi anak. Selain itu sebagian dana juga akan dialokasikan untuk meningkatkan kinerja platform Grouu dan memperkuat strategi omnichannel di berbagai kanal e-commerce maupun jaringan ritel offline, seperti supermarket dan toko perlengkapan anak.

Founding Partner Teja Ventures Virginia Tan menjelaskan, pihaknya beralasan menyuntik kembali Grouu karena melihat potensi besar dalam kategori ibu dan bayi di Asia Tenggara, yakni nilai pasarnya mencapai $9,48 miliar pada tahun ini. Diproyeksikan akan tumbuh secara tahunan sebesar 5,38% hingga 2028 mendatang.

“Teja sangat memahami pentingnya nutrisi bagi keluarga, dan kami sepenuhnya mendukung visi Grouu untuk menjadi pemimpin pasar dalam kebutuhan nutrisi untuk ibu dan anak, serta upaya mereka dalam membangun platform eksklusif yang memenuhi kebutuhan,” terang dia dalam keterangan resmi, Selasa (5/9).

Co-founder & CEO Grouu Jessica Marthin menuturkan, startupnya berkomitmen untuk menyediakan produk terbaik bagi generasi muda. Setiap produk Grouu dikembangkan oleh tim mumpuni di bidangnya, seperti ahli gizi & pangan, koki, dan dokter spesialis anak. Mereka semua berkolaborasi untuk menciptakan berbagai produk pilihan dengan cita rasa dan kandungan nutrisi yang tinggi.

“Hubungan erat kami dengan para pelanggan sangat membantu Grouu untuk memahami kebutuhan dan harapan orang tua secara langsung. Untuk memastikan bahwa produk Grouu lebih mudah didapatkan, kami terus memperkuat distribusi melalui berbagai kanal, termasuk platform e-commerce dan jaringan ritel offline, seperti supermarket dan toko perlengkapan bayi,” jelas Jessica.

Grouu dirintis pada Agustus 2020 dengan visi memenuhi kebutuhan nutrisi dan perkembangan anak usia dini. Pada awal berdiri, perusahaan menjadi pelopor dalam menyediakan layanan katering siap santap dan produk konsumen, menawarkan pilihan praktis bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak mulai dari usia enam bulan ke atas.

“Kami merayakan tiga tahun perjalanan kami pada bulan Agustus lalu. Kami akan terus berkomitmen untuk bekerja tanpa henti memenuhi kebutuhan pelanggan dan menciptakan dampak yang berkelanjutan. Kami selalu menyabut hangat ketertarikan investor strategis yang ingin menyumbangkan keahlian, sumber daya, dan visi mereka untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang kami,” tutupnya.

Fokus Chope Indonesia dalam Mendigitalkan Bisnis Restoran

Pandemi telah membawa tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi industri restoran, mengubah cara orang makan di luar dan berinteraksi dengan tempat makan. Di Indonesia, negara yang terkenal dengan budaya kuliner, dampak pandemi terhadap reservasi restoran sangatlah besar. Dengan penurunan jumlah orang yang melakukan dining out atau makan di luar.

Salah satu platform yang ingin membawa kembali kenikmatan makan di luar sekaligus membantu industri F&B untuk mengadopsi teknologi adalah Chope. Berbasis di Singapura, Chope Indonesia mengklaim saat ini telah mengalami pertumbuhan positif dari sisi jumlah mitra restoran hingga pengguna aktif. Kepada DailySocial.id, General Manager Chope Indonesia Karthik Shetty mengungkapkan rencana bisnisnya ke depan.

Dukungan teknologi untuk industri F&B

Chope telah mengembangkan bisnis mereka di Indonesia sejak tahun 2018 lalu. Namun karena masih perlunya memahami pasar yang cukup unik, akselerasi bisnisnya relatif pelan. Perusahaan masih fokus kepada dua pasar utama mereka, yaitu Jakarta dan Bali.

Kini Chope Indonesia memiliki 1800 lebih mitra restoran untuk reservasi online dan deals serta sekitar 120 ribu pengguna aktif. Chope Indonesia juga memiliki rencana untuk melakukan ekspansi ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta.

Core value proposition yang kami hadirkan adalah memungkinkan pelanggan untuk menemukan restoran, dapat melakukan reservasi secara online, dan memungkin mereka untuk melakukan pembelian deals di restoran yang berbeda,” kata Karthik.

Sebelumnya ada sejumlah platform serupa yang telah beroperasi di Indonesia. Zomato dari India adalah salah satunya, namun memutuskan untuk menutup bisnis mereka di Indonesia. Pemain lokal pun ada yang turut andil di sini, termasuk PergiKuliner.

Sementara Qraved yang awalnya fokus kepada reservasi restoran online, kini hanya bermain di ranah listing saja dan memosisikan platform mereka sebagai aplikasi gaya hidup.

Model bisnis

Terdapat beberapa model bisnis yang diaplikasikan Chope kepada mitra restoran mereka. Untuk sistem reservasi Chope memiliki dua opsi, yang pertama adalah online reservation dan yang kedua adalah table management system. Untuk kedua produk tersebut perusahaan kenakan biaya berlangganan per bulan kepada restoran.

Kemudian untuk setiap online reservation yang dilakukan dari semua platform Chope, mereka mengenakan commission fee dari setiap pelanggan yang datang ke restoran. Namun jika pelanggan melakukan reservasi langsung ke website atau media sosial restoran, Chope tidak mengenakan biaya kepada mereka.

Model bisnis perusahaan lainnya adalah melalui penjualan deals. Yaitu setiap ada pelanggan yang membeli deals di platform Chope, akan dikenakan biaya, serupa dengan yang dilancarkan oleh layanan e-commerce kepada mitra merchant mereka.

Revenue terakhir yang didapatkan oleh Chope kepada restoran adalah melalui Paid Marketing Services. Meskipun Chope menawarkan layanan tersebut secara gratis, namun bagi restoran yang ingin melakukan kegiatan pemasaran atau promosi lebih, Chope akan mengenakan biaya untuk layanan tersebut.

“Awalnya restoran yang kami targetkan adalah kelas premium. Namun seiring berjalannya waktu, kami mulai menargetkan restoran kelas menengah. Bagi restoran yang saat ini masuk dalam kategori belum terlalu ideal untuk reservasi online, kami tawarkan layanan untuk kegiatan pemasaran, penjualan deals di platform kami seperti voucher dan lainnya. Restoran skala kecil bisa menjual penawaran tersebut di Chope,” kata Karthik.

Tawarkan layanan data

Chope menawarkan data analytics kepada mitra restoran mereka. Perusahaan juga mencatat sebanyak 70% reservasi restoran paling banyak dilakukan di aplikasi Chope dan sisanya di mobile browser hingga desktop.

“Kami melakukan kegiatan kampanye dan pemasaran untuk semua mitra restoran. Dari kegiatan pemasaran tersebut, kami menunjukkan konversi kepada restoran berdasarkan pemesanan online. Setelah itu kami juga menyediakan analisis data yang bisa membantu restoran untuk menyasar pelanggan yang tepat dan melancarkan kegiatan pemasaran.” kata Karthik.

Hal tersebut yang kemudian diklaim oleh Chope yang membedakan platform mereka dengan platform lainnya. Konsep end-to-end ini menjadi solusi yang Chope coba hadirkan, agar bisa membantu restoran untuk mendapatkan keuntungan lebih.

Saat ini Chope Indonesia sudah memiliki sekitar 52 orang tim. Terdiri dari tim lokal dan tim pendukung dari Singapura. Meskipun masih enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut kapan ekspansi kota lainnya akan dilakukan, namun Chope Indonesia berharap bisa mengakuisisi lebih banyak mitra hingga lebih dari 2000 restoran.

“Untuk Indonesia target kami akhir tahun ingin meningkatkan revenue dengan harapannya tahun depan bisa melakukan ekspansi ke kota baru yang merupakan bagian dari rencana bisnis perusahaan. Dari sisi teknologi juga kami terus kembangkan mulai dari peluncuran fitur dan produk lainnya yang bisa berguna untuk restoran,” kata Karthik.

Application Information Will Show Up Here

Eten Technologies Fokus Hadirkan Platform Manajemen Bisnis F&B Skala Kecil-Menengah

Industri F&B di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang luar biasa, didorong oleh kombinasi berbagai faktor seperti kelas menengah yang berkembang pesat, perubahan preferensi konsumen, dan budaya kuliner yang makin hidup.

Salah satu platform yang ingin memberikan solusi kepada bisnis F&B di Indonesia adalah Eten Technologies. Startup ini didirikan dengan tujuan mengatasi permasalahan yang dialami oleh para pengusaha F&B, terutama UMKM. Platform digital ini mencoba merevolusi cara bisnis F&B beroperasi, menghubungkan konsumen, pemasok, dan pengusaha dalam ekosistem yang seamless.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Eten Technologies Debbie Winardi mengungkapkan alasan diluncurkannya startup tersebut bersama Co-founder Fakhri Guniar.

Perluas kesadaran tentang pengelolaan inventori

Tercatat saat ini sekitar 80% usaha F&B gagal dalam jangka waktu kurang dari 5 tahun karena masalah profitabilitas. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya efisiensi dan pengetahuan tentang pengelolaan inventori. Banyak orang melihat keuntungan usaha F&B sangat besar, karena mereka berasumsi jika mereka menjual nasi goreng, maka mereka hanya perlu membeli nasi, daging ayam, dan bumbu dapur.

Menurut pantauan Eten Technologies, masih banyak komponen lainnya yang harus dipertimbangkan. Misalkan modal mereka Rp10.000 dan mereka jual dengan harga Rp20.000, maka mereka akan untung Rp10.000 atau 50%. Yang seringkali dilupakan adalah biaya lain-lain seperti gas, listrik, tenaga kerja, pemasaran, biaya jasa pengantaran online dan lainnya.

“Keuntungan bersih rata-rata usaha F&B sebenarnya hanya 5%-15%. Dengan kurangnya efisiensi, keuntungan bersih ini bisa berkurang sehingga usaha F&B mengalami kerugian. Ada beberapa usaha F&B yang bahkan mengalami lebih banyak kerugian walaupun penjualannya bertambah,” kata Debbie.

Melihat fakta tersebut, Eten Technologies meyakini bahwa efisiensi pengaturan inventori adalah kunci untuk profitabilitas dan bertujuan untuk menyediakan solusi supply chain management untuk bisnis F&B skala kecil dan menengah. Perusahaan mengklaim mampu menangani 60% dari Profit and Loss (P&L) bisnis F&B dan bertujuan untuk meningkatkan keuntungan hingga 2-3x lipat.

“Kami membantu bisnis F&B untuk memonitor status, perpindahan, dan penggunaan ratusan inventori bahan baku yang dimiliki oleh bisnis F&B sehingga mereka dapat mengetahui area-area yang kurang efisien,” kata Debbie.

Ditambahkan olehnya, saat ini kebanyakan bisnis F&B hanya menggunakan spreadsheet, kertas catatan, dan aplikasi chat untuk mengatur inventori mereka. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk mengetahui status inventori secara real time dan juga kebutuhan inventori mereka.

Persoalan lain yang juga kerap terjadi adalah, seringkali terjadi staf kelupaan untuk memesan bahan baku sehingga terjadi out of stock. Akibatnya mereka tidak dapat menjual menu yang menggunakan bahan tersebut.

Dengan memanfaatkan teknologi Eten, mereka akan mengetahui bahan-bahan yang sudah hampir habis dan mendapatkan rekomendasi jumlah yang harus mereka pesan secara otomatis tanpa perlu menghitung secara manual lagi. Eten juga dapat membantu untuk memonitor perpindahan dan penggunaan bahan baku.

Misalnya saja untuk bisnis F&B yang memiliki beberapa outlet, Eten akan membantu mereka untuk memonitor apakah bahan baku sudah dikirim dari pusat ke outlet dan status inventori akan diperbarui secara otomatis.

“Pelaku bisnis F&B juga dapat mengetahui nilai inventori yang mereka miliki dengan mudah sehingga mereka dapat melakukan analisa untuk mengoptimalkan High Pressure Processing,” kata Debbie.

Fokus mendapatkan product-market fit

Secara khusus Eten Technologies memiliki filosofi produk yaitu sederhana dan spesifik. Sederhana karena Eten dibuat dengan mempertimbangkan pekerja lapangan sehingga siapa saja harus dapat menggunakan platform tersebut dengan mudah. Spesifik karena industri F&B memiliki kebutuhan berbeda dengan industri barang jadi lainnya, sehingga solusinya juga harus spesifik.

“Misalnya, jika kita menjual sampo 1 botol, stok di gudang akan berkurang 1 botol. Namun di F&B, menjual 1 porsi ayam geprek tidak selalu berarti hanya 1 porsi daging ayam mentah yang berkurang di dapur. Jika ayamnya hangus, maka menjual 1 porsi ayam geprek sama dengan mengurangi 2 porsi daging ayam mentah di dapur. Oleh sebab itu, platform general tidak selalu dapat menjawab permasalahan di F&B,” kata Debbie.

Dalam jangka waktu singkat, Eten Technologies sudah berhasil mendapatkan Letters of Intent dari 40 lebih brand dengan lebih dari 500 lokasi. Saat ini Eten Technologies juga telah didukung oleh dua program akselerator yaitu Antler dan Iterative, serta mendapatkan dukungan pendanaan pre-seed di akhir 2022 dan awal 2023.

“Kami sudah menyelesaikan Minimum Usable Product dan saat ini kami sedang fokus untuk mendapatkan Product-Market Fit sembari mendapatkan lebih banyak early adopters,” kata Debbie.

Pemain yang menawarkan solusi untuk industri F&B saat ini, kebanyakan masih fokus di front-end atau order management, namun Eten Technologies akan fokus ke back-end atau supply chain untuk saat ini. Platfom Eten Technologies sudah bisa diakses oleh pengguna yang sudah terdaftar melalui situs. Eten dapat digunakan di seluruh Indonesia dan akan segera tersedia di Google Play Store.

Industri F&B menyumbang lebih dari sepertiga GDP non-migas Indonesia dan diprediksi untuk terus berkembang di tahun-tahun mendatang. Untuk lanskap F&B tech sendiri, Indonesia masih berada di tahap awal karena kebanyakan bisnis F&B masih melakukan operasional secara manual.

Platform yang menawarkan layanan serupa di antaranya adalah startup SaaS Malaysia Food Market Hub (FMH) penyedia platform yang menyederhanakan dan mengautomatisasi operasi back-end untuk bisnis makanan dan minuman (F&B). Platform lainnya yaitu Esensi Solusi Buana (ESB) yaitu penyedia operasional bisnis end-to-end di industri F&B yang terdepan.

Wahyoo Dikabarkan Akuisisi Startup Cloud Kitchen Foodstory

Startup digitalisasi UMKM kuliner Wahyoo dikabarkan telah mengakuisisi startup cloud kitchen Foodstory. Tidak disebutkan nominal transaksi dalam kesepakatan tersebut. Langkah strategis ini dipilih dalam rangka mendukung ambisi Wahyoo yang ingin menyeriusi jaringan cloud kitchen “Wahyoo Kitchen Partner”.

“Semua tim Foodstory sekarang sudah bantu Wahyoo dan brand Foodstory sudah jadi brand-nya Wahyoo,” jelas sumber terpercaya DailySocial.id saat dimintai konfirmasi lebih lanjut, Selasa (28/2).

Konsep Foodstory beririsan dengan Wahyoo. Startup yang didirikan oleh Dennish Tjandra dan Charles Kwok ini mengusung konsep multi-brand F&B group yang membuat, membangun, dan mengoperasikan beberapa brand in-house dalam satu dapur. Mirip dengan yang dilakukan oleh Hangry.

Sejak beroperasi di 2021, terhitung ada tujuh brand di bawah Foodstory, yakni Gaaram, Lahab Chicken, Chicken Pao, Bowlgogi, Aidon, Soto Legenda, dan Gaembull. Lokasinya diklaim tersebar di lebih dari 50 titik di sekitar Jakarta, Tangerang, Bogor, dan lainnya.

Dalam mengembangkan brand baru dan mendukung industri kuliner yang potensial, pada tahun lalu perusahaan mengumumkan pemberian dana investasi, dukungan ekosistem dan tim berpengalaman untuk membantu mereka tetap bertumbuh. Brand Gaaram adalah salah satu realisasinya.

Wahyoo Kitchen Partner

Adapun Wahyoo sendiri sejak November 2022 sudah menyampaikan ambisinya dalam membangun jaringan cloud kitchen sebagai mesin pertumbuhan baru bagi perusahaan. Perusahaan memanfaatkan jaringan kuliner (mitra UMKM kuliner) yang sudah ada ditambah dengan infrastruktur teknologi perusahaan yang sudah mumpuni.

Konsep cloud kitchen yang diadopsi Wahyoo sedikit berbeda dengan kebanyakan dan menjadi nilai lebih. Perusahaan sudah membangun kemitraan dengan UMKM kuliner yang selama ini telah menjadi bagian dari perusahaan. Mitra UMKM kuliner di Wahyoo bisa memaksimalkan potensi dari dapurnya dan karyawan yang sudah ada, selama tetap memenuhi standar dalam hal kebersihan dan kualitas memasak. Tercatat ada 250 restoran kecil dari 27 ribu mitra Wahyoo yang telah bergabung dengan Wahyoo Kitchen Partners ini.

“Khusus kami, ingin bantu UMKM kuliner yang sudah ada di jaringan kami sehingga enggak ada lagi modal tambahan yang harus mereka keluarkan karena dapur dan karyawan sudah ada. Sebab kami ini sharing economy, jadi prinsipnya kami sangat ingin memajukan UMKM,” terang Co-founder dan CEO Wahyoo Peter Shearer.

Sejauh ini Wahyoo, lewat unit Tajir Group, telah mengoperasikan empat merek makanan label privat, yakni Bebek Goreng Bikin Tajir, Ayam Paduka, Bakso Bikin Tajir, dan Senang Hatea. Seluruh suplai produk ini sudah berupa pre-cook agar tidak lama diolah oleh mitra. Alhasil, proses masak jadi lebih ringkas, maksimal lima menit agar lebih cepat sampai ke rumah konsumen.

Dalam ekspansinya ke bisnis baru ini, Wahyoo telah mendapat tambahan dana segar dalam putaran Seri B sebesar $6,5 juta yang dipimpin oleh Eugene Asia Food Tech Fund-1, kendaraan investasi milik Eugene Investement & Securities dan NH Absolute Return Partners dari Korea Selatan. Investor lainnya yang berpartisipasi, di antaranya Global Brains dan Trinity Optima Plus (TOP+).

Application Information Will Show Up Here

Outlook Foodtech 2023: Menyeimbangkan Strategi Brand Aggregator dan Unit Ekonomi Positif

Industri makanan dan minuman (F&B) saat ini terus berkembang, begitu pula dengan perilaku dan preferensi pelanggan. Terlebih di era digital, konsumen lebih terinformasi dan menuntut daripada sebelumnya, sehingga penting bagi pebisnis memahami dan beradaptasi dengan perubahan ini agar berhasil merebut pangsa pasar.

Salah satu tren terbesar yang membentuk perilaku pelanggan di industri F&B adalah aspek kesehatan. Pandemi membuat sebagian besar konsumen semakin tertarik untuk mengetahui bahan dan informasi gizi dari makanan yang mereka makan; dan banyak yang memilih pilihan yang lebih sehat, nabati dan organik.

Di sisi operasional,  pemain F&B yang memanfaatkan omnichannel juga harus mulai memiliki strategi menyeluruh untuk bisa memperluas layanan dan menambah opsi brand mereka. Apakah dengan cara akuisisi atau kerja sama strategis.

Omnichannel memperkuat bisnis F&B

Selain faktor kesehatan, konsumen saat ini juga mulai melihat menuntut kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi. Untuk memenuhi tuntutan ini, banyak bisnis F&B telah mengadopsi pendekatan omnichannel.

Secara khusus omnichannel mengacu pada pengalaman berbelanja yang mulus dan terintegrasi di berbagai kanal, termasuk toko fisik, pengiriman online, dan aplikasi lainnya. Tujuannya untuk memberikan pelanggan pengalaman berbelanja yang konsisten dan kohesif, apa pun cara mereka memilih untuk berinteraksi dengan brand tersebut.

Menurut President Director Dailybox Group Kelvin Subowo, setelah 2 tahun pandemi, pemesanan melalui layanan pesan antar pun sempat stagnan. Hal tersebut dikarenakan karakter orang Indonesia yang lekat dengan kebersamaan, sehingga tidak dapat 100% mengandalkan strategi layanan pesan antar, terutama di kota tier 2 dan 3.

Selama pandemi, perusahaan mencatatkan 80% omzet penjualan Dailybox berasal dari layanan pesan antar makanan online.

“Menurut kami, pembelian produk F&B melalui layanan pesan antar bukan lagi sebuah tren musiman, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja frekuensinya tidak akan setinggi di masa-masa awal pendemi. Karenanya, presence offline juga tetap harus ditingkatkan,” kata Kelvin.

Ditambahkan olehnya, saat ini beberapa outlet Dailybox Group yang hanya berkonsep take-away atau grab&go, secara perlahan diubah menjadi konsep dine-in agar orang bisa datang langsung.

Dalam industri F&B, strategi omnichannel dapat membantu bisnis. Di antaranya  meningkatkan pengalaman pelanggan, dengan menawarkan berbagai cara untuk memesan, membayar, dan menerima makanan mereka, pelanggan dapat memilih opsi yang paling nyaman. Pendekatan tersebut juga dapat membantu bisnis menjangkau pelanggan baru dan meningkatkan penjualan dengan menawarkan variasi produk dan layanan yang lebih luas melalui berbagai kanal.

Menurut Co-Founder & President Hangry Andreas Resha, selama ini perusahaan terus melakukan eksplorasi berbagai kanal yang ideal. Saat ini fokus perusahaan adalah meningkatkan layanan secara online, yang diklaim oleh mereka terus mengalami pertumbuhan yang positif. Namun demikian, saluran offline seperti dine-in atau take away juga mulai menunjukkan pertumbuhan yang masif.

“Meskipun PPKM dicabut dan kantor dibuka kembali, daya tarik dalam channel pengiriman makanan secara online tetap kuat. Hal ini membuktikan bahwa pergeseran preferensi terhadap makanan dan minuman yang lebih praktis, mudah didapat, dan berkualitas baik bukanlah tren sementara atau musiman saja,” kata Andreas.

Hal lainnya yang juga memainkan peranan penting dalam penerapan omnichannel adalah teknologi. Teknologi berperan besar dalam membentuk perilaku pelanggan. Mulai dari pemesanan dan pengiriman online hingga aplikasi seluler dan program loyalitas.

Memanfaatkan aplikasi sendiri, Haus! brand yang berada dalam kategori New Tea & Boba, berharap bisa mendapatkan sekitar 25% dari 50% pelanggan online yang sudah ada saat ini.

Disinggung apakah ke depannya akan lebih banyak pelanggan yang melakukan pembelian dengan opsi pick-up atau offline, menurut Co-Founder & CEO Haus! Gufron Syarif, akan tetap ada pelanggan yang memilih untuk melakukan pembelian secara online, tetapi pilihan pick-up dan langsung ke konter diperkirakan juga makin meningkat.

Potensi brand aggregator

Dilihat dari tuntutan konsumen kepada kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi, tren agregasi brand atau brand aggregator saat ini mulai banyak dilirik oleh pebisnis F&B. Dengan strategi tersebut, perusahaan mengelola beberapa brand makanan dan minuman, biasanya dari kategori produk atau masakan yang berbeda. Selain mengembangkan/menginkubasi unit bisnis sendiri, beberapa pemain melakukan strategi M&A.

Tujuannya agar bisa menawarkan produk dan layanan yang lebih luas kepada pelanggan. Ke depannya, tren agregasi brand di industri F&B diperkirakan akan terus berkembang, sebagai upaya bisnis untuk mencari cara baru yang inovatif untuk menjangkau pelanggan dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, brand aggregator akan menciptakan nilai, jika ada beberapa proses bisnis yang dapat disederhanakan di seluruh brand. Dalam industri F&B, hal ini bisa berarti memusatkan central kitchen atau memusatkan tim pemasaran/branding. Jika tidak ada nilai yang diciptakan oleh proses agregasi, tidak akan berhasil dalam jangka panjang.

Prasetia Dwidharma sendiri saat ini telah berinvestasi kepada Haus! yang telah memperluas produk melalui sister brand “Hot Oppa” yang telah dirilis pada November 2022. Varian produk makanan ke depannya akan menjadi fokus perusahaan untuk meningkatkan growth store dan vertikal penjualan.

Dengan menggabungkan beberapa brand dan produk makanan dan minuman, bisnis dapat memenuhi permintaan dan menawarkan kepada pelanggan untuk semua kebutuhan makanan dan minuman mereka.

Menurut Kelvin, industri F&B di Indonesia saat ini sudah sangat saturated, sehingga dengan hadirnya brand aggregator dapat membantu brand yang ada untuk lebih berkembang dari sisi distribusi, produksi hingga pemasaran.

Untuk pasar seperti Indonesia, pelanggan sangat aktif menggunakan media sosial. Menurut Partner Vertex Ventures SE Asia & India Gary Khoeng, ke depannya masa depan brand aggregator akan lebih banyak memanfaatkan pertumbuhan di media sosial.

Omnichannel sebagai strategi diprediksi juga akan terus tumbuh dan kami melihat bahwa perusahaan akan fokus untuk mendorong pengalaman pelanggan yang konsisten dan terbaik di semua channel. Bisnis juga akan memperdalam kemampuan pengumpulan dan analisis data mereka untuk membuat keputusan berdasarkan data,” kata Gary.

Saat ini Vertex Ventures merupakan salah satu investor strategis yang mendukung pertumbuhan bisnis Dailybox Group. Tercatat pertumbuhan bisnis Dailybox tidak terhalang saat pandemi, pendapatan kotor mereka secara grup pada 2021 tumbuh cukup pesat. Prestasi ini pun membuat Dailybox Group dilirik oleh sejumlah investor dan akhirnya sukses mendapat pendanaan Seri A pada Juli 2021 di masa pandemi.

“Beberapa tahun ke belakang kami telah mengakuisisi brand yang memiliki storefront atau eksis di platform offline, seperti Breadlife dan Lu’miere. Ke depannya, kami akan memperkenalkan beberapa brand baru yang dapat menunjang strategi multi platform kami,” kata Kelvin.

Agar brand aggregator berjalan sukses, perusahaan harus terus mengevaluasi dan mengoptimalkan strategi agregasi brand mereka berdasarkan feedback pelanggan dan analisis data. Hal ini termasuk secara teratur memperbarui teknologi dan penawaran untuk memastikan bahwa layanan dan produk tetap relevan dan memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan. Kesimpulannya, tren agregasi brand di industri F&B akan terus berlanjut di masa mendatang, karena bisnis berupaya memaksimalkan jangkauan mereka dan meningkatkan loyalitas pelanggan.

Unit ekonomi dan faktor pendorong VC berinvestasi

Industri F&B telah menjadi salah satu penunjang ekonomi global, dan dalam beberapa tahun terakhir, telah menarik investasi yang signifikan dari perusahaan modal ventura (VC). Dengan pertumbuhan industri, VC mencari peluang untuk berinvestasi dalam bisnis F&B yang menjanjikan dan memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Hal termasuk perusahaan yang memiliki rekam jejak pertumbuhan pendapatan yang terbukti dan strategi yang jelas untuk memperluas basis pelanggan mereka.

VC juga kerap mencari bisnis F&B dengan unit ekonomi yang kuat, artinya biaya produksi dan pengiriman setiap unit lebih rendah daripada pendapatan yang dihasilkan dari penjualannya. Hal ini memungkinkan bisnis untuk menghasilkan margin positif dan menginvestasikan kembali keuntungan ke dalam pertumbuhan dan ekspansi.

Menurut Arya, setiap brand perlu memahami unit ekonomi mereka. Apakah perusahaan sudah untung di tingkat toko?, toko mana yang tidak menguntungkan dan mengapa?, Berapa break-even sales and break-even unit?.

“Selama masa ekspansi, setiap brand harus bisa memberikan alasan mengapa lokasi yang diusulkan bagus. Data lokasi menjadi faktor penting sebelum berkembang. Merek perlu memahami apa demografi pelanggannya,” kata Arya.

Dalam industri F&B, unit ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan potensi pertumbuhan dan skalabilitas. Dilihat dari bisnis dengan strategi pertumbuhan yang jelas, penawaran inovatif, dan ekonomi unit yang kuat, VC dapat mengidentifikasi dan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki potensi terbesar. Kesimpulannya, fokus pertumbuhan dan unit ekonomi merupakan pertimbangan utama bagi perusahaan VC saat berinvestasi di industri F&B.

Menurut Gary dari Vertex Ventures, bisnis foodtech yang didukung oleh VC pada umumnya terdiri dari komponen online dan offline. Model bisnis online berkembang sehingga VC tidak bisa menentukan target pertumbuhan atau unit ekonomi yang perlu dicapai oleh startup sebelum berinvestasi.

“Secara umum, apa yang kita lihat adalah tingkat pertumbuhan bulanan yang konsisten dan sehat, retensi pelanggan yang sehat dan margin kontribusi laba, jika pendiri startup mampu meminimalkan biaya variabel,” kata Gary.

Ditambahkan olehnya, biasanya layanan secara offline juga melengkapi layanan secara online. Saat pandemi melandai, akan mulai terlihat pelanggan kembali ke toko offline, tidak hanya untuk membeli makanan tetapi juga untuk pengalaman langsung saat menikmati hidangan di lokasi.

Metrik yang kemudian dilihat oleh VC dalam hal ini meliputi, jika terjadi pertumbuhan pendapatan penjualan yang konsisten per toko/restoran, pertumbuhan penjualan (%) per toko/restoran, berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap toko baru untuk mencapai break even dan mencapai profitabilitas, termasuk jumlah pengeluaran modal yang dibutuhkan untuk toko baru.

“Hal ini termasuk strategi distribusi makanan mereka, contohnya model central kitchen, apakah mereka mengoptimalkannya untuk skala ekonomi dan apa yang terjadi ketika mereka mencapai kapasitas maksimum, versus dapur individu di restoran, apakah operasinya dioptimalkan,” kata Gary.

Zomato Tutup Permanen di Indonesia, Pemain Direktori Semakin Tersisih

Aplikasi direktori restoran Zomato resmi menyetop operasional secara penuh di Indonesia. Pengumuman resmi disampaikan perusahaan melalui situsnya sejak pekan lalu. Aplikasinya masih bisa diakses khusus direktori penelusuran di India dan UEA saja. Namun, direktori lokasi di Indonesia kini sudah tidak tersedia.

“Saatnya mengucapkan perpisahan! Kehadiran kami di Indonesia merupakan perjalanan yang hebat, tetapi sayangnya kami harus menghentikan operasi kami di sini!. Tapi kami masih bisa menelusuri berbagai restoran dan memesan makan dari berbagai tempat makanan rekomendasi Zomato di India dan UAE,” tulis perusahaan.

Sebelumnya pada 2020, perusahaan memang sudah mengumumkan menutup kantor cabangnya di Indonesia pada Oktober 2020 lalu. Kala itu, layanan berlangganan Zomato Pro dan Zomato Gold, yang memungkinkan pengguna mendapat sejumlah benefit, seperti kemudahan reservasi restoran dan memilih menu makanan, ikut dihentikan.

Meski demikian, pengguna masih bisa mengakses layanan Zomato untuk menelusuri direktori restoran dan tempat makanan baik itu melalui situs dan aplikasi Zomato. Sebab, pemeliharaan konten di sini dilakukan langsung oleh tim Zomato di kantor pusat di India.

Zomato sendiri masuk ke pasar Indonesia pada November 2013 lalu setelah resmi hadir perdana di India pada Juli 2008.

Fokus perbaiki kinerja

Penutupan bisnis internasional Zomato adalah rangkaian upaya perusahaan yang kini berfokus mencapai pada titik impas. Sejak 2021, perusahaan telah menghentikan hampir semua bisnis internasionalnya, termasuk Amerika Serikat (AS), Inggris Raya (UK), Singapura, dan Lebanon.

Mengutip dari Business Insider India, CEO Zomato Deepinder Goyal, mengatakan, “Kami juga menutup operasi kami di Lebanon, yang merupakan satu-satunya bisnis internasional yang kami miliki (selain bisnis makan di UEA) setelah menutup sisa bisnis internasional kami yang beroperasi tahun lalu.”

Zomato telah mengidentifikasi tiga segmen geografis untuk menandai peta bisnis internasionalnya. Per 10 November 2021, terdiri atas:

  1. India
  2. Uni Emirat Arab (UEA)
  3. Rest of the World (Australia, Selandia Baru, Filipina, Indonesia, Malaysia, AS, Lebanon, Turki, Ceko, Slovakia, Polandia, Qatar, Irlandia)

India adalah pasar terbesar bagi Zomato dalam hal pendapatan, diikuti oleh UEA. Oleh karenanya, keduanya ini dipertahankan hingga sekarang. Di Uni Emirat Arab, Zomato bermain sebagai platform agregator makanan, sementara di kandangnya, sebagai bisnis pengiriman makanan.

Pemain tersisa

Hengkangnya Zomato di bisnis direktori restoran di Indonesia, kini menyisakan Qraved dan PergiKuliner yang kini masih beroperasi dengan model bisnis yang sama. Sisanya juga menyediakan layanan direktori, tetapi bukan jadi bisnis utama, seperti yang dilakukan oleh Chope dan Eatigo. Mereka berdua menyediakan layanan reservasi dan voucher makanan.

Dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder PergiKuliner Oswin Liandow mengatakan bahwa hanya pemain lokal yang mampu bertahan, dan pada akhirnya menjadi juara di bisnis direktori restoran. Dia pun mengklaim bahwa PergiKuliner adalah satu-satunya platform penelusuran kuliner lokal dengan pertumbuhan jumlah ulasan yang objektif dan trafik yang tinggi.

Cakupan ulasan di PergiKuliner tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya, mulai dari kedai kaki lima hingga restoran hotel bintang lima.

“PergiKuliner selama ini berupaya untuk fokus kepada pengguna. Untuk restoran, jika mereka memiliki bisnis yang baik dan makanan yang berkualitas, tentunya sangat relevan menjadi mitra kami karena kami berupaya memberikan ulasan yang obyektif,” kata Oswin.

Sebagai platform media, cara monetisasi PergiKuliner adalah periklanan untuk pemilik restoran. Konsepnya beragam, apakah restoran tersebut ingin di-highlight dari lokasi, menu, dan lainnya. Cara ini sesungguhnya dilakukan oleh berbagai platform sejenis, termasuk Zomato dan OpenRice yang sudah angkat kaki dari Indonesia.

Meskipun demikian, PergiKuliner mengklaim berupaya untuk bekerja sama dengan restoran yang memang telah memiliki popularitas baik, dari sisi harga, lokasi, hingga kualitas rasa makanan. Mereka melakukan proses kurasi terhadap siapapun yang ingin beriklan dan bisa menolak jika tidak sesuai persyaratan.

“Saya berupaya menekankan kepada tim bahwa misi kita adalah memberikan ulasan dan rekomendasi restoran secara obyektif. Menjadikan platform kami sebagai referensi yang akurat bagi pengguna.”

Alasan di Balik DishServe Pivot dari Bisnis Cloud Kitchen

Perubahan model bisnis (pivot) adalah langkah terlogis bagi startup yang ingin berkelanjutan ketika mereka gagal memonetisasi secara maksimal. Malah menjadi langkah yang baik apabila dilakukan oleh startup tahap awal, karena pada akhirnya dapat menguntungkan semua pihak. DishServe adalah salah satunya yang baru-baru ini mengumumkan pivot-nya secara resmi kepada publik.

Kini DishServe fokus menyediakan solusi otomatisasi operasional restoran, kafe, dan dapur khusus layanan pengiriman (delivery only). Sejak berdiri pada Desember 2020, startup ini membantu pebisnis F&B skala UMKM untuk berkembang dengan memanfaatkan jaringan cloud kitchen yang berasal dari rumahan.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-founder &  CEO DishServe Rishabh Singhi menuturkan ada tiga temuan yang ditemukan di lapangan dan mendorong perusahaan untuk mengeksplorasi pendekatan strategis baru, yakni:

  • Margin kecil karena keuntungan diserap oleh aplikasi pengiriman makanan;
  • Pebisnis kuliner skala kecil tidak punya kapasitas untuk scale up produk (R&D) karena minim sumber daya;
  • Tidak konsisten dalam menjaga kualitas makanan karena proses memasak yang manual, alhasil sering kelabakan ketika menerima pesanan dalam jumlah besar.

Singhi menegaskan, ketiga alasan di atas menjadi alasan terkuat untuk pivot, bukan dari inti bisnis cloud kitchen itu sendiri yang dianggap tidak bakal mencetak keuntungan. Menurutnya, implementasi bisnis pada dasarnya tidak berpengaruh oleh perbedaan budaya atau lainnya bila diterapkan di Indonesia atau bukan.

“Kami tidak melihat ada penurunan pesanan di dalam DishServe [alasan lain di balik pivot]. Justru melihat dari perspektif pebisnis F&B bahwa mereka tidak bisa scale up karena limit produksi, tidak punya produk yang konsumen sukai, dan terlalu banyak middleman,” terangnya.

CEO & Co-Founder DishServe Rishabh Singhi / DishServe

Transformasi bisnis baru ini pertama kali terjadi pada Juli 2022, kemudian rampung pada tiga bulan kemudian tepatnya September 2022. Dengan model bisnis baru, kini struktur perusahaan jauh lebih ringan. Jalur menuju profitabilitas pun jadi jauh lebih cepat, bukan kejar titik impas lagi. Laba yang dicetak ini nantinya dapat digunakan perusahaan untuk diputar kembali untuk kebutuhan ekspansi, sehingga tidak terlalu bergantung pada pendanaan eksternal dari investor.

Perusahaan menargetkan dapat cetak untung pada kuartal III 2023 ini. Target ini jauh lebih cepat bila sepenuhnya mengandalkan model bisnis lama yang diprediksi baru akan terjadi pada 2026 alias butuh enam tahun sejak DishServe berdiri.

“Jadi rencana pertama kita adalah cetak untung, sehingga kami tidak bergantung pada pendanaan eksternal untuk mempertahankan bisnis kami. Namun kami akan secara oportunistik melihat penggalangan dana tergantung pada situasi pasar dan rencana ekspansi ke depannya.”

Perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan yang diperoleh dari pra-seri A pada November 2021. Beberapa investor yang terlibat di antaranya, Genting Group, Insignia Venture Partners, Stonewater Ventures, Ratio Ventures, Rutland Ventures, 300x Ventures, MyAsiaVC, dan beberapa angel investor.

Model bisnis baru

Kini DishServe mengembangkan serangkaian inovasi untuk membantu mitra dapur mengoptimalkan penjualan dengan menyediakan solusi satu atap. Mulai dari:

  • Merek F&B berkualitas tinggi, pelatihan, sistem operasional/SOP, peralatan, dan dukungan untuk mitra dapur;
  • Aplikasi terintegrasi yang menyediakan akses bagi mitra dapur untuk mengelola menu, harga, promosi, inventaris, dukungan pelanggan, dan integrasi semua aplikasi pengiriman makanan;
  • Solusi pembayaran komprehensif, meliputi solusi makan di tempat berbasis kode QR yang meningkatkan pengalaman pelanggan, titik penjualan (POS), dan sistem rekonsiliasi keuangan otomatis dan memudahkan rekonsiliasi dari berbagai kanal.

Target penggunanya pun luas, tidak terbatas pada bisnis kuliner rumahan saja, tapi juga bisnis yang berada di skala lebih tinggi. Tak terlepas juga bisnis yang sudah punya kehadiran toko offline juga tak liput dari incaran, sehingga DishServe tidak sepenuhnya bergantung pada bisnis pesan antar makanan saja.

Untuk melayani segmen delivery only, perusahaan telah membangun sederet merek F&B yang fokus untuk memproduksi makanan berkualitas tinggi dengan meningkatkan akses, harga terjangkau, dan cita rasa enak. Merek DishServe diklaim mampu meningkatkan daya jangkau konsumen dengan skema manufaktur massal di dapur terpusat (central kitchen), sehingga menurunkan biaya produksi sekaligus mempertahankan kualitas secara konsisten.

Central Kitchen DishServe / DishServe

Seluruh proses makanan dibuat dan dikemas di dapur terpusat DishServe yang berlokasi di Gambir, Jakarta Pusat. Kemudian didistribusikan ke lebih dari 200 jaringan cloud kitchen yang bergabung tersebar di 10 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan. Radius mitra dapur ini rata-rata sekitar 2 km dari pemukiman konsumen.

Merek DishServe seluruhnya adalah menu makanan sehat. Nama-namanya adalah KitFit, LIT, Uncle Tam, Bing Bing, dan Chickass. Khusus merek yang terakhir ini bakal dirilis resmi ke publik dalam waktu dekat. KitFit adalah merek pertama yang dirilis perusahaan dan diklaim menjadi kontributor pendapatan terbesar sejauh ini.

Singhi menjelaskan alasan pihaknya tertarik masuk ke menu sehat karena masih sulitnya akses masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sehat dengan harga terjangkau. Terlebih itu jumlah pemainnya juga belum banyak.

Maka dari itu, perlu upaya untuk mendemokratisasi makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang sangat mudah menemukan makanan cepat saji. Sebab, mengonsumsi makanan sehat harus dilakukan secara rutin bukan sesekali saat berkunjung ke mal saja, tapi di mana saja konsumen berada.

Menurut data FAO, rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 122 gram sayur dan 92 gram buah setiap hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih rendah dari tingkat asupan harian yang direkomendasikan, yaitu 300-400 gram sayur dan 100-150 gram buah.

“Dari perspektif kita mau menyelesaikan masalah di atas dengan menciptakan menu makanan sehat yang enak, harga terjangkau, dan mudah diakses dari rumah mereka. Anggap kami sebagai McD [McDonald’s], rasanya seperti McD, dan mudah ditemukan seperti McD.”

Perusahaan pun juga akan menambah satu merek sehat yang sedang dipersiapkan untuk tahun ini. Nantinya DishServe akan mengoperasikan enam merek yang siap dipilih konsumen.

Salah satu menu di KitFit / DishServe

Industri pesan-antar makanan

Menurut dia, potensi bisnis dapur delivery only sangat besar dengan lebih dari 300.000 kafe dan restoran UKM di Indonesia. Data internal menunjukkan, mitra dapur DishServe mampu menghasilkan pendapatan tambahan sebesar $2 ribu per bulan. Perusahaan berencana menambah 4 ribu jaringan mitra dapur hingga 2026 untuk mencapai pendapatan tahunan sebesar $100 juta.

Kendati industri pesan antar dihantui dengan tren perlambatan karena aktivitas luar rumah yang kembali tinggi pasca-pandemi menunjukkan penurunan kasus. Seperti yang dipaparkan oleh Momentum Works, industri pesan antar makanan di Asia Tenggara (secara GMV) tumbuh single digit sebesar 5% (year-on-year) atau mencapai $16,3 miliar pada 2022.

Pada dua tahun sebelumnya, industri ini mencetak pertumbuhan double digit, berturut-turut sebesar 11,9% (2020) dan 15,5% (2021). Faktornya tak lain pembatasan aktivitas di luar rumah yang mendorong orang-orang untuk memesan makanan dari rumah.

“Pertumbuhan pengiriman makanan menjadi normal ke tingkat pra-pandemi setelah dua tahun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pembukaan kembali pasca-covid (kembalinya makan di luar rumah, pengurangan subsidi untuk ongkos pengiriman), dan lanjutan dari rasionalisasi pasar, mengakibatkan pertumbuhan rendah,” tulis laporan tersebut.

Di samping itu, bisnis kuliner memang pada dasarnya memerlukan kehadiran fisik agar lebih mudah dikenali masyarakat. Hipotesis tersebut melandasi sejumlah pemain startup cloud kitchen yang awalnya online kini masuk ke segmen tersebut apalagi bila mereka ingin masuk ke kota lapis dua dan tiga yang masyarakatnya masih digandrungi dengan budaya nongkrong sembari kulineran. Beberapa yang sudah menerapkan adalah Hangry dan DailyBox. Bahkan banyak dari mereka yang meluncurkan berbagai merek makanan di dalam dapurnya.

Terkait dengan kondisi tersebut, Singhi menyampaikan, “Seperti yang disebutkan, kami membantu semua jenis dapur, seperti restoran kafe dan dapur delivery only. Sekitar 10% mitra dapur kami adalah bisnis kafe. Fokus kami adalah membantu semua jenis dapur.”

Salah satu keuntungan paling signifikan dari cloud kitchen multi-merek adalah memungkinkan perusahaan menawarkan beberapa masakan berbeda dari tempat yang sama. Karena tidak ada front-of-house sama sekali, cloud kitchen multi-merek telah berevolusi untuk memenuhi selera pelanggan yang berbeda, masing-masing berfungsi di bawah merek terpisah.

Misalnya, satu perusahaan cloud kitchen dapat mengoperasikan tiga merek, masing-masing berspesialisasi dalam masakan India, Italia, dan Cina, dari satu unit. Namun bagi pelanggan, tampaknya ini adalah merek independen dengan operasi independen yang menyajikan masakan berbeda. Karena ini adalah format pengiriman saja, biaya awal dan pemasaran yang rendah sering disebut sebagai pengubah permainan terbesar.

Dengan hambatan masuk minimum dan biaya modal rendah, cloud kitchen multi-merek lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan restoran tradisional atau bahkan cloud kitchen mandiri. Cloud kitchen multi-merek melayani basis pelanggan yang lebih luas dan memiliki kapasitas untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan dari satu unit dapur. Pemanfaatan sumber daya yang efisien, tingkat persediaan yang memadai, dan biaya makanan yang terkendali memberikan prediktabilitas yang lebih baik dalam bisnis.

Konsep DishServe ini kurang lebih mirip juga sudah diterapkan oleh Wahyoo, melalui unitnya Wahyoo Kitchen Partner. Wahyoo memanfaatkan kemitraan dengan UMKM kuliner yang selama ini telah menjadi bagian dari perusahaan, dan menggaet mereka yang ingin mengutilisasi dapurnya yang “senggang”. Dalam arti mereka tidak sibuk dan masih bisa melayani konsumer melewati platform lain. Wahyoo jadi tidak perlu berinvestasi di sisi properti karena sudah punya jaringan UKM.

Wahyoo memasarkan produk-produknya melalui GrabFood, GoFood, dan ShopeeFood. Tak hanya itu, perusahaan juga mempersilakan mitranya untuk menjual secara offline untuk dine-in dan take away. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengandalkan sepenuhnya platform online untuk penjualannya.

Application Information Will Show Up Here

MDI, SMDV, dan East Ventures Dikabarkan Beri Pendanaan Lanjutan ke Legit Group

Perusahaan F&B lokal Legit Group dikabarkan mengantongi pendanaan yang melibatkan MDI Ventures, SMDV, dan East Ventures. Berdasarkan informasi terkini yang dilaporkan ke regulator, penggalangan dana lanjutan ini tersebut telah terkumpul $10,35 juta atau sekitar 155 miliar Rupiah.

Sebelumnya pada akhir 2021, Legit Group telah mendapatkan pendanaan tahap awal sebesar $3 juta (senilai Rp43 miliar) yang dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari AC Ventures.

Kami sudah mencoba meminta konfirmasi pihak terkait mengenai pendanaan ini, namun tidak bersedia berkomentar.

Legit Group merupakan konseptor dan operator cloud kitchen multi-brand yang didirikan oleh Sumarno Ngadiman, Monica Evanti, dan Asrul Abraham Hendrata. Perusahaan juga telah menjalin kerja sama strategis dengan Ismaya Group, Yummy Corp, dan GK Hebat.

Saat ini, Legit Group mengoperasikan tiga brand, yakni Pastaria, Sei’Tan, dan Juju Chikin yang telah tersebar di 45 titik distribusi. Mereka mendesain bisnisnya dengan memanfaatkan solusi pesan-antar yang tengah mendapatkan kesempatan besar sepanjang pandemi ini.

Memanfaatkan momen tersebut Legit Group percaya tren adopsi layanan pesan-antar makanan akan tetap ada hingga pandemi usai. Penjualan Legit Group telah tumbuh 9,5x sejak awal berdiri, dan mengalami peningkatan pendapatan hingga 61% dari Juni hingga Juli 2022 saja.

Bisnis cloud kitchen

Tercatat dalam laporan yang dirangkum oleh e-Conomy 2020, industri transportasi dan pengiriman makanan bakal bernilai $16 miliar (secara GMV) pada 2025 mendatang, dari $5 miliar di 2020. Mesin utama ekonomi digital di negara ini masih didominasi oleh perdagangan lewat platform e-commerce yang diproyeksikan akan bernilai $83 miliar.

Secara khusus konsep cloud kitchen adalah menggunakan dapur komersial untuk tujuan menyiapkan makanan hanya untuk diantar atau dibawa pulang, tanpa pelanggan makan di tempat. Cloud kitchen memungkinkan pemilik restoran untuk memperluas jumlah restoran yang sudah ada atau memulai brand virtual dengan biaya minimal.

Dengan konsep cloud kitchen, biaya operasional bisnis menjadi rendah. Karena tidak diperlukan pengaturan makan di tempat, sehingga dapat menghemat uang untuk ruang duduk, pemeliharaan/desain interior tempat dan lainnya. Konsep ini menjadi menarik untuk diterapkan di Indonesia. Beberapa pemain cloud kitchen yang masih terus eksis hingga saat ini di antaranya adalah Yummy Corp, Hangry, GrabKitchen, DishServe, Dailybox, dan lainnya.

Haus! Rampungkan Pendanaan Baru di 2023, Siap Ekspansi 1.300 Toko

Setelah mengantongi putaran seri B1 pada Juni 2022, startup F&B di segmen new tea & bobba Haus! akan merampungkan pendanaan seri B2 pada awal 2023. Sebelumnya Haus! telah mendapatkan pendanaan seri A senilai Rp30 miliar dari BRI Ventures melalui Dana Sembrani Nusantara.

Kepada DailySocial, CEO Haus! Gufron Syarif mengungkapkan dana segar tersebut akan digunakan untuk eskpansi di Indonesia. Saat ini, Haus! telah memiliki sekitar 229 toko, dan akan menambah sekitar 1.300 toko baru.

“Kami sedang finalisasi penggalangan dana tahapan B2 yang sudah kami jajaki sejak bulan Oktober dan November tahun ini. Harapannya, kami bisa closing putaran pendanaan ini di kuartal I 2023,” katanya.

Tahun depan, Haus! juga berencana meluncurkan aplikasi dan memperluas produk melalui sister brand Hot Oppa yang telah dirilis pada November lalu. Varian produk makanan ke depannya akan menjadi fokus perusahaan untuk meningkatkan growth store dan vertikal penjualan.

Goal kami ke depan adalah menjadi F&B Holding. Berbeda dengan brand lainnya, kami akan fokus pada pasar menengah ke bawah. Dilihat dari model bisnis yang kami terapkan, perhitungannya saat ini adalah setiap square meter ruko yang kami sewa, harus dioptimasi revenue-nya,” tambahnya.

Selama pandemi, perusahaan mengklaim mengalami pertumbuhan yang positif. Salah satu alasan mereka tidak terpengaruh terhadap aturan PSBB adalah, gerai Haus! berlokasi di kawasan perumahan, bukan di dalam mal yang terkena imbas cukup besar saat pandemi.

Meluncurkan aplikasi

Untuk memperluas ekosistemnya, Haus! akan meluncurkan aplikasi di kuartal pertama 2023. Perusahaan memutuskan untuk menggunakan aplikasi karena ingin memahami kebiasaan dan loyalty pelanggan. Secara bertahap, aplikasi akan diluncurkan dengan fokus awal pada pick-up dan delivery, menyusul nanti pada fitur loyalty dan tambahan fitur lain.

Meskipun saat ini Haus! banyak mengandalkan pemesanan dan pengantaran dari agregator pihak ketiga, sejak September hingga sekarang ada pegeseran kebiasaan pelanggan Haus! yang melakukan pembelian secara offline.

“Hal ini berhubungan dengan financial health dari kebanyakan agregator pihak ketiga, yang mulai mengurangi cash burning dan subsidi. Akhirnya subsidi ongkir berkurang demikian juga dengan subsidi diskon. Saat ini kami mencatat porsinya sudah 50-50 antara pembelian offline dan online,” kata Gufron.

Dengan aplikasi sendiri, Haus! berharap bisa mendapatkan sekitar 25% dari 50% pelanggan online yang sudah ada saat ini. Disinggung apakah ke depannya akan lebih banyak pelanggan yang melakukan pembelian dengan opsi pick-up atau offline, Gufron menyebutkan akan tetap ada pelanggan yang memilih untuk melakukan pembelian secara online, tetapi pilihan pick-up dan langsung ke konter diperkirakan juga makin meningkat.

Saat ini perusahaan mengklaim telah profitable meski jumlahnya belum terlalu mature dibandingkan dengan brand yang sudah lebih dulu menjalankan bisnis. Sejak awal berdiri sebagai startup food tech, Haus! akan tetap fokus kepada profitabilitas dan memanfaatkan tren dari coffee chain hingga new tea & bobba.

“Secara kategori new tea & bobba secara global sedang meningkat. CAGR telah berjumlah hingga dua digit setiap tahunnya. Dan Indonesia baru hadir tahun 2010 lalu, tetapi saat ini mulai bergeser dari tren menjadi kebiasaan dan ke depannya akan menjadi kultur.” Tutup Gufron.