Merah Putih Fund Siap Diinvestasikan ke Startup Soonicorn

Dana kelolaan patungan BUMN, Merah Putih Fund (MPF) akan segera dikucurkan ke startup soonicorn di Indonesia dengan komitmen investasi tahap pertama sebesar $300 juta (sekitar Rp4,5 triliun).

Hampir dua tahun direncanakan sejak 2021, MPF kini diresmikan lewat Penandatanganan Perjanjian Partisipasi pada Senin (04/9). MPF merupakan inisiatif pemerintah untuk mengakselerasi startup-startup Indonesia yang mendekati status unicorn atau soonicorn.

Pendirian MPF disebut memakan waktu lama untuk memastikan dana kelolaan tersebut telah memiliki tata kelola dan mengantongi restu dari OJK. Pihaknya menyebut telah menyusun tata kelola bersama dengan pihak independen untuk proses investasi dan pengelolaan MPF memenuhi persyaratan Good Corporate Governance.

Dana tahap pertama MPF dihimpun dari lima BUMN yang akan dikelola oleh lima Corporate Venture Capital (CVC), antara lain Mandiri Capital Indonesia (MCI), MDI Ventures, BNI Ventures, BRI Ventures, dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Pada penandatanganan ini, MCI telah disepakati menjadi Fund Manager, sedangkan Bank Danamon ditunjuk sebagai bank kustodian.

“Selama ini [BUMN] investasi jalan-jalan sendiri. Sekarang ada inisiatif untuk menghimpun dan mengelola bersama. Namun, butuh dana lebih besar untuk investasi ke calon unicorn. MPF akan mengincar growth dan late stage dengan harapan bisa melahirkan unicorn baru,” ujar Ketua Project Management Office (PMO) Eddi Danusaputro saat dijumpai di Penandatanganan Perjanjian MPF 2023 di Jakarta.

Turut diperkenalkan juga anggota Komite Investasi dari perwakilan masing-masing CVC antara lain Eddi Danusaputro (BNI Ventures), Donald Wihardja (MDI Ventures), Nicko Widjaja (BRI Ventures), Dennis Pratistha (MCI), dan Mohamad Ramzy (Telkomsel Mitra Inovasi). Kemudian dua Anggota Independen, yakni Rizal Gozali (eks Credit Suisse) dan Dyota Marsudi (CEO Bank Aladin).

Adapun, startup yang diincar berasal dari sektor agnostik dengan pre-money valuation antara $50 juta-$300 juta. Kriteria lainnya, founder harus asli orang Indonesia dengan perusahaan berkedudukan di Indonesia. MPF tidak akan berinvestasi ke sektor tahap awal karena startup yang diinvestasi harus memiliki rencana exit di Indonesia.

MPF akan memanfaatkan ekosistem BUMN dengan nilai aset BUMN lebih dari $600 miliar di 12 klaster. Ekosistem ini termasuk sektor keuangan, kesehatan, telekomunikasi & media, infrastruktur, dan logistik,

Tawarkan ke LP swasta

Eddi melanjutkan, penggalangan dana MPF nantinya tidak hanya bersumber dari lima CVC saja, tetapi juga akan ditawarkan ke BUMN lain dan pihak swasta. Pihaknya menilai minat investasi dari pihak swasta maupun asing didorong oleh upaya mereka membangun kompetensi digital perusahaan.

“Rencananya, penggalangan dana kedua ditawarkan ke BUMN lainnya dan penggalangan dana ketiga ditawarkan ke pihak swasta,” tutur Eddi.

Selain itu, lanjut Eddi, pihaknya juga akan menempatkan sekitar 10% BUMN di startup untuk mengawal mereka menuju cash flow dan exit. Hal ini dilakukan mengingat industri teknologi tengah merosot dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, investor kian selektif dan startup dituntut untuk memiliki jalur profitabilitas yang jelas.

Namun, pihaknya belum dapat mengungkap kapan investasi pertama akan dikucurkan termasuk target startup yang diincar. “Target [ticket size] sekitar $20 juta hingga $25 juta untuk 1 atau 2 perusahaan. Tentu kami lihat pasarnya karena cukup banyak yang akan diinvestasikan dengan dana $300 juta ini,” tambah CEO MDI Ventures Donald Wihardja dalam kesempatan sama.

Sementara itu, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, “target return harus ambil benchmark dari [investasi] di luar, yakni sekitar 14%-16%. Perlu ada best practice untuk tahu indikator kinerja per portofolio. Kami juga akan melihat potensi sinergi dengan BUMN. Sebetulnya sinergi ini sudah terjalin, tetapi MPF akan dorong untuk scale up sinergi yang sudah terealisasi. Kami akan lihat bagaimana BUMN lain mencari apa yang ditawarkan startup.”

Kementerian BUMN Meluncurkan Tiga Dana Kelolaan untuk Investasi di Sektor Biotech, Energi, dan Agrikultur

Kementerian BUMN meresmikan peluncuran tiga dana kelolaan terdiri dari Bio Health Fund, Energy Fund, dan Agri Fund yang akan menjadi kendaraan investasi pada startup tahap early hingga growth di vertikal terkait. Tidak disebutkan berapa total komitmen investasi awal dari dana kelolaan ini.

Ketiga dana kelolaan tersebut akan disuntik dari PT Bio Farma, PT Pertamina, dan PT Pupuk Indonesia yang masing-masing akan membidik pendanaan di sektor biotech, energi, dan agrikultur di Indonesia. Sebelumnya, Bio Health Fund sudah lebih dulu diluncurkan pada Mei 2022 senilai $20 juta atau Rp292 miliar.

Adapun, peluncuran ini ditandai oleh penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pada pembukaan BUMN Startup Day, Senin (26/9), oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir, dan Direktur Utama Pupuk Indonesia Bakir Pasaman, serta CEO MDI Ventures Donald Wihardja.

Erick Thohir menuturkan ada dua jenis kendaraan investasi yang didirikan BUMN. Pertama, dana kelolaan Merah Putih Fund dengan komitmen investasi sebesar $300 juta untuk startup soonicorn/centaur atau valuasi mendekati $1 miliar. Merah Putih Fund didukung lima BUMN meliputi Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia. Kedua, dana kelolaan yang bersifat vertical-focused dengan inisiasi tahap awal dari Bio Health Fund, Energy Fund, dan Agri Fund.

(Ki-ka) CEO DailySocial.id Rama Mamuaya dan Menteri BUMN Erick Thohir pada pembukaan BUMN Startup Day, Senin (26/9) / DailySocial

Menurut Erick, Merah Putih Fund hadir untuk mengisi kekosongan pendanaan pada startup growth stage. Sementara, tiga dana kelolaan baru ini merupakan upaya transformasi BUMN dalam mencapai ketahanan di bidang pangan, kesehatan, dan energi untuk mendorong kekuatan ekonomi Indonesia.

Di samping itu, perusahaan yang terlibat masing-masing menawarkan kekuatan pada sinergi dan ekosistem, bukan hanya investasi. Bio Farma memiliki go-to market yang kuat, sedangkan Pertamina Power & New Renewable Energy (NRE) fokus terhadap pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Adapun, Pupuk Indonesia dapat mendorong ekspansi bisnis pangan di Indonesia.

“Indonesia merupakan negara penghasil pangan, tapi sinergi agrikultur masih cukup rendah dibandingkan sektor lain. Makanya kami coba bangun masyarakat digital, baru masuk ke pendanaan. Kami melihat pertumbuhan ekonomi harus didasari oleh pertumbuhan ekonomi baru. Sudah seyogyanya kita bersama-sama membangun ekosistem yang dirajut oleh sektor swasta, UMKM, dan BUMN. Ini baru langkah awal,” jelasnya.

Berdasarkan laporan CB Insights, ada lima alasan teratas startup mengalami kegagalan di antaranya salah membaca kebutuhan pasar (42%), kehabisan dana (29%), susunan tim tidak sesuai (23%), kalah berkompetisi (19%), dan harga atau biaya tanggungan (18%).

Membuka akses inovasi

Ditemui usai acara, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengaku belum dapat mengungkap alokasi dari dana kelolaan tersebut. Untuk saat ini, baik Bio Farma, Pertamina, dan Pupuk Indonesia masih bertindak sebagai Limited Partner (LP) utama. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk membuka akses terhadap LP lain di luar.

“Bagi kami yang penting bukan capital gain, tetapi apakah mereka dapat membawa sinergi, produk baru, ke induk usaha. Contohnya, Bio Health Fund itu untuk pharmaceutical product, sudah terlihat produk apa yang dipasarkan. Ini semua upaya Bio Farma untuk mencari inovasi produk baru,” terangnya.

“Investasi [tiga dana kelolaan] ini menyasar tahap seed sampai seri B dan C, tetapi ini vertical-focused ya. Berbeda dengan Merah Putih Fund yang fokus pada startup soonicorn. Saat ini belum dapat saya share, tetapi ada satu deal yang ingin ditandatangani dengan Bio Farma,” ungkap Donald.

Mengutip Bisnis.com, Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai startup biotech belum dapat tumbuh optimal di Indonesia karena sejumlah faktor, seperti aturan yang kompleks dan kurangnya kompetitor.

Rata-rata pemain biotech dipegang oleh perusahaan besar dan konglomerasi. Sementara startup-startup berbasis riset membutuhkan waktu lebih lama untuk go-to market karena kurangnya pendanaan dan tidak punya kepastian pendapatan.

SwipeRx Tutup Pendanaan Seri B 396 Miliar Rupiah, Siap Akselerasi Bisnisnya di Indonesia

SwipeRx (sebelumnya bernama mClinica Pharmacy Solutions) mengumumkan pendanaan seri B sebesar $27 juta atau sebesar 396 miliar Rupiah dalam bentuk ekuitas dan pinjaman. Pendanaan ini dipimpin oleh MDI Ventures serta partisipasi dari Bill & Melinda Gates Foundation, Johnson & Johnson Impact Ventures, Susquehanna International Group (SIG), dan sejumlah investor terdahulu.

Rilis ini sekaligus mengonfirmasi pemberitaan kami pada Desember 2021 lalu. MDI sendiri sudah mendukung mClinica sejak pendanaan awal mereka di tahun 2014, kemudian masuk ke pendanaan lanjutan di tahun 2017. Sementara layanan SwipeRx juga sudah mulai debut di Indonesia sejak tahun 2017.

Disampaikan oleh Founder & CEO SwipeRx Farouk Meralli, dana segar yang didapat akan digunakan untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis mereka di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Rencananya SwipeRx akan menambah jaringan apotek, memperluas layanan logistik kesehatan untuk memenuhi kebutuhan B2B, hingga menambah jumlah talenta baru.

Selain itu, SwipeRx juga fokus untuk memperluas basis komunitas dan solusi pengadaan stok obat-obatan untuk apotek di Asia Tenggara.

“Kami ingin merealisasikan visi kami untuk membangun jaringan farmasi terbesar di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Pendanaan ini memperkuat komitmen kami untuk mendisrupsi dan mendukung sektor farmasi yang sangat tersegmentasi agar dapat meningkatkan layanan kesehatan publik,” ujar Meralli dalam keterangannya resmi.

Sementara itu, CEO MDI Ventures Donald Wihardja menambahkan bahwa SwipeRx memiliki potensi besar untuk dapat menjawab tantangan di industri farmasi dengan menghubungkan berbagai pengusaha/pemilik apotek dalam satu platform.

“Perusahaan farmasi dapat memanfaatkan sistem pembelian ritel, kapasitas logistik bertaraf nasional, opsi pembiayaan usaha, dan platform B2B yang terintegrasi sebagai keunggulan layanan SwipeRx,” tuturnya.

SwipeRx merupakan platform farmasi asal Singapura yang didirikan oleh Farouk Meralli, veteran di industri kesehatan masyarakat dan farmasi. Dengan pengalamannya, Meralli berupaya membawa SwipeRx sebagai aplikasi all-in-one B2B commerce dan komunitas para ahli farmasi terbesar di Asia Tenggara.

SwipeRx menghadirkan fitur untuk meningkatkan kapasitas manajemen apotek dan menjadikan jalan satu pintu untuk berbagai keperluan, mulai dari edukasi, pembelian, hingga pembiayaan inventaris. Layanan ini memungkinkan para pemilik apotek kecil untuk meningkatkan kapasitas, ketersediaan, dan keterjangkauan obat, hingga mengakses opsi pendanaan usaha.

Melalui forum online, pengguna SwipeRx dapat terhubung untuk saling berkomunikasi maupun memperoleh edukasi dan informasi tentang obat-obatan melalui platform. Selain itu, pengguna juga dapat bergabung dalam jaringan pembelian untuk pengadaan stok apotek.

Digitalisasi farmasi

SwipeRx berupaya mengatasi tantangan di industri farmasi, salah satunya adalah terjadi fragmentasi di mana banyak apotek kecil yang belum terdigitalisasi dan bergabung ke dalam jaringan yang lebih luas.

Dihubungi DailySocial.id secara terpisah, Farouk Meralli menyebutkan bahwa digitalisasi di industri farmasi diperlukan untuk dapat meningkatkan akses healthcare kepada konsumen, terlebih jika melihat skala pasar di Indonesia. Di samping itu, perluasan channel pada produk farmasi penting agar pemilik apotek dapat meningkatkan skala bisnis dan kinerja keuangan.

Saat ini, SwipeRx telah merekrut lebih dari 235 ribu mitra apoteker profesional dan bermitra dengan 45 ribu apotek di Asia Tenggara. Di Indonesia, SwipeRX telah memiliki lebih dari 8000 mitra apotek ritel. Adapun 5000 di antaranya tercatat telah bertransaksi di platform B2B. Utamanya, SwipeRx membidik pasar apotek (mom-and-pop store) yang beroperasi secara silo dan belum terdigitalisasi.

“Indonesia merupakan pasar terbesar SwipeRx di Asia Tenggara, di mana 70% dari total tim kami berasal dari Indonesia. Saat ini, SwipeRx mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia berkat akselerasi penambahan jumlah mitra apotek. Mitra kami melihat ada nilai unggul dari solusi yang ditawarkan SwipeRx dan hal ini dapat membantu mereka meningkatkan bisnisnya,” ungkap Meralli.

Lebih lanjut, ia memastikan bahwa SwipeRx bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, BPOM, dan perusahaan farmasi milik BUMN, termasuk Biofarma, Indofarma, Kimia Farma, dan Phapros sehingga memungkinkan SwipeRx untuk memperkuat ekosistem farmasinya di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Zenius Receives Follow on Funding from MDI Ventures

Zenius edtech startup today (7/3) announced follow on funding from MDI Ventures with an undisclosed amount. In total, Zenius is said to have raised over $40 million (more than 576 billion Rupiah) from its investors. Past investors (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) and new investor (Beacon Venture Capital as a venture capital company owned by Kasikorn Bank Thailand) also joined the round.

It is not clear whether this fresh money will classified into a new round or continue the Pre-Series B round last year.

In an official statement, Zenius’ CEO, Rohan Monga said this funding will support the company’s further development and expansion of the learning ecosystem Zenius will be focused on improving personalized learning experiences by increasing students’ learning motivation.

“Through our latest acquisition network, Primagama, we will expand reach to increase the impact we have in education. We strongly believe that a hybrid learning model, which is a combination of offline and online, will provide the best results for students,” Monga said.

He said, backed by strategic investors such as MDI Ventures, the company is capable to expand its network of partnerships and service distribution to have a bigger and deeper impact on Indonesian education.

“Zenius has a proven track record of making an educational impact in Indonesia. Was founded in 2004, Zenius has now developed a comprehensive learning ecosystem,” MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja said.

Since 2004, Zenius has helped more than 1.5 million alumni to get into their state/dream university. Last year, seven out of 10 Zenius’ premium users passed the Computer-Based Written Examination (UTBK), while Zenius’ income increased fourfold, one of which was due to “Live Class” feature.

Following the Primagama acquisition, Zenius completed its learning ecosystem by collaborating with Disney for the elementary school segment, as well as developing ZenPro, a platform for the professional or lifelong learning segment.

“Zenius is a collaborative player. We are confident to realize our mission in creating a smarter, brighter, and cooler Indonesia’s young generation through collaboration, partnership, and synergy with various stakeholders, such as MDI, with the same vision, advancing education in Indonesia,” Rohan said.

Market competition and value proposition

Indonesia’s edtech sector is rapidly growing, especially since the pandemic. There are two players currently dominating the market, Ruangguru and Zenius, with nearly similar sub-product variants.

Zenius always highlight one thing, it is on the material side. Instead of inviting students to just memorize, Zenius emphasized on understanding fundamental concepts and critical thinking through various case studies.

Apart from Zenius and Ruangguru, several edtech platforms also creating maneuvers. Most recently, CoLearn has just secured 244 billion Series A funding. The app focuses on math and science subjects, helping students solve their homework independently. Also, there are Pahamify, Squline, and others.

Primagama’s presence in Zenius’ line of business has the potential to strengthen its value proposition if it truly succeeds in wrapping up a hybrid learning experience – this could also be the first in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Terima Pendanaan Lanjutan dari MDI Ventures

Startup edtech Zenius hari ini (7/3) mengumumkan perolehan pendanaan dari MDI Ventures dengan nominal dirahasiakan. Secara total Zenius disebutkan telah mengumpulkan lebih dari $40 juta (lebih dari 576 miliar Rupiah) dari jajaran investornya. Investor terdahulu (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) dan investor baru (Beacon Venture Capital sebagai perusahaan modal ventura milik  Kasikorn Bank Thailand) turut bergabung dalam putaran tersebut.

Tidak dijelaskan pendanaan segar ini masuk ke dalam putaran baru atau melanjutkan putaran Pra-Seri B yang sudah diumumkan pada tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, CEO Zenius Rohan Monga mengatakan, pendanaan ini akan mendukung pengembangan lebih lanjut dan perluasan ekosistem pembelajaran di Zenius. Pihaknya akan terus fokus pada peningkatan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dengan meningkatan motivasi belajar siswa.

“Melalui jaringan baru yang kami peroleh dari Primagama, kami akan memperluas jangkauan kami untuk meningkatkan dampak yang kami miliki dalam dunia pendidikan. Kami sangat percaya bahwa model pembelajaran hybrid, yaitu gabungan antara offline dan online, akan memberikan hasil terbaik bagi siswa,” kata Monga.

Menurutnya, dengan dukungan investor strategis seperti MDI Ventures, perusahaan mampu memperluas jaringan kemitraan dan distribusi layanan untuk memberikan dampak yang lebih besar dan lebih dalam bagi pendidikan Indonesia.

“Zenius memiliki rekam jejak yang telah terbukti dalam memberikan dampak bagi pendidikan di Indonesia. Sejak didirikan pada 2004, Zenius kini telah mengembangkan ekosistem pembelajaran yang komprehensif,” kata CEO MDI Ventures Donald Wihardja.

Sejak didirikan pada tahun 2004, Zenius telah membantu lebih dari 1,5 juta alumni untuk masuk ke universitas negeri/impian mereka. Tahun lalu, tujuh dari 10 pengguna premium Zenius berhasil lolos Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK), sementara pendapatan Zenius meningkat empat kali lipat, salah satunya ditopang oleh “Live Class”.

Setelah akuisisi Primagama, Zenius juga melengkapi ekosistem pembelajarannya dengan berkolaborasi dengan Disney untuk segmen sekolah dasar, serta mengembangkan ZenPro, sebuah platform untuk segmen pembelajaran profesional atau seumur hidup.

“Zenius adalah pemain yang kolaboratif. Kami yakin dapat mewujudkan misi kami untuk merangkai Indonesia yang lebih cerdas, cerah, dan asik melalui kolaborasi, kemitraan, dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti MDI yang memiliki visi yang sama, yaitu memajukan pendidikan di Indonesia,” kata Rohan.

Kompetisi pasar dan proposisi nilai

Sektor edtech di Indonesia cukup berkembang pesat, apalagi sejak pandemi. Dua pemain yang saat ini mendominasi adalah Ruangguru dan Zenius, dengan varian sub-produk yang dimiliki keduanya juga nyaris memiliki kesamaan.

Satu hal yang selalu digaungkan Zenius adalah di sisi materi. Alih-alih mengajak peserta didik hanya menghafal, materi di Zenius mengedepankan pada pemahaman konsep fundamental dan cara berpikir kritis melalui berbagai studi kasus.

Di luar Zenius dan Ruangguru, sejumlah platform edtech juga terus bermanuver. Yang terbaru CoLearn baru saja membukukan pendanaan Seri A senilai 244 miliar Rupiah. Aplikasinya fokus pada pembelajaran matematika dan sains, membantu para siswa menyelesaikan berbagai PR secara mandiri. Di luar itu masih ada Pahamify, Squline, dan lain-lain.

Hadirnya Primagama di jajaran lini bisnis Zenius berpotensi menguatkan proposisi nilai jika benar-benar berhasil membungkus pengalaman belajar hibrida – ini juga bisa menjadi yang pertama di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Binance dan MDI Ventures Bentuk Konsorsium untuk Bangun Platform Pertukaran Aset Digital

Platform pertukaran mata uang kripto Binance membentuk konsorsium melalui joint venture dengan MDI Ventures untuk mengembangkan platform pertukaran aset digital di Indonesia. Kolaborasi ini merupakan bagian dari strategi lebih luas Binance untuk membangun ekosistem blockchain di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Founder &  CEO Binance Changpeng Zao mengungkap ambisinya untuk mendorong pertumbuhan ekosistem blockchain dan mata uang kripto (cryptocurrency) secara global.

“Dengan kecepatan adopsi teknologi dan potensi ekonomi yang kuat, Indonesia dapat menjadi salah satu pusat ekosistem blockchain dan kripto yang memimpin kawasan Asia Tenggara. Dengan pengalaman mendalam mereka di pasar, kami yakin dapat memberikan produk unggulan bagi pengguna,” ungkap Zao.

Sementara itu, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, sebagai kendaraan investasi Telkom, pihaknya ingin berpartisipasi dalam perjalanan mengembangkan blockchain, aset kripto, mata uang kripto, dan teknologi turunannya. Menurutnya, semua itu akan memainkan peran penting dalam keuangan dan infrastruktur digital lainnya di masa depan.

“Kami tidak sabar untuk tumbuh bersama Binance dan mitra investasi kami, serta menjembatani segala kesempatan dan teknologi dengan Telkom untuk membantu upgrade kapabilitas infrastruktur digital di Indonesia,” papar Donald.

Sebagai informasi, Binance merupakan penyedia infrastruktur blockchain dan cryptocurrency global yang menawarkan berbagai produk keuangan, mencakup pertukaran aset digital berbasis volume. Binance memiliki misi untuk meningkatkan kebebasan uang bagi pengguna dan menampilkan portofolio produk kripto, termasuk trading, keuangan, pendidikan, hingga investasi.

Sementara, MDI Ventures merupakan kendaraan investasi dengan nilai $830 juta milik operator telekomunikasi terbesar di Indonesia PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (IDX: TLKM), yang juga anak usaha BUMN. MDI berinvestasi di vertikal bisnis startup yang bervariasi, mulai dari logistik, fintech, consumer tech, hingga deep IT.

Secara kolektif, konsorsium ini telah mengembangkan ekosistem teknologi digital dan keuangan terbesar di Indonesia, serta memiliki akses ke lebih dari 170 juta konsumen di negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia ini.

Kerja sama korporasi

Menarik melihat upaya Binance merangkul Telkom melalui MDI Ventures. Pasalnya, Binance kebanyakan menggandeng startup, baik melalui aksi akuisisi, kemitraan, dan investasi, untuk beroperasi. Salah satunya adalah investasinya ke platform jual-beli kripto Tokocrypto pada 2020.

Sementara, Telkom termasuk perusahaan korporasi berskala besar yang juga dimiliki pemerintah. Per semester I 2021, Telkom memiliki 8,3 juta pengguna broadband dan 169,2 juta pelanggan mobile dari anak usahanya Telkomsel. Di luar bisnis telekomunikasi, Telkom melalui MDI Ventures telah mendanai lebih dari 50 startup di 12 negara, di mana 28 di antaranya berasal dari Indonesia.

Binance sendiri belum memiliki izin beroperasi di negara manapun. Beberapa negara sudah mengeluarkan peringatan terkait aksi Binance, seperti di Belanda dan Malaysia. De Nederlandsche Bank (DNB) sempat mengeluarkan surat peringatan kepada Binance terkait kegiatan operasionalnya yang dianggap ilegal.

Tindakan serupa juga dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Meski sudah masuk ke dalam Daftar Peringatan Investor pada Juli 2020, Binance telah dianggap beroperasi secara ilegal karena mengoperasikan crypto exchange.

Monika Rudijono Membangun Karier: Ingin Menjadi “Role Model” untuk Putri Tercinta

Perjalanan karier yang dinamis membawa Monika Rudijono dikenal di komunitas startup dan tech scene Indonesia. Berawal dari seorang Account Executive di sebuah advertising agency, kini ia menempati posisi bergengsi sebagai Managing Director di platform OTT lokal terbesar di Indonesia, Vidio.

Sebagai ibu rumah tangga, pengalaman bekerja dan kesibukannya saat ini diklaim tidak mengganggu rutinitas sehari-harinya. Bersama Vidio, Monika ingin memberikan kontribusi terbaik dengan empowering tim agar menjadi lebih baik.

Kepada DailySocial, Monika menceritakan suka duka perjalanan kariernya dan harapan yang ingin ia sampaikan kepada generasi muda perempuan dan tentunya anak-anak tercinta.

Belajar banyak dari agency

Selama 20 tahun Monika bekerja di advertising agency ternama. Dinamika agency yang cenderung fast-paced dan sarat dengan perubahan secara cepat, memberikan kebiasaan positif. Ia menjabarkan, demi memenuhi kebutuhan dan permintaan klien, ia harus bisa beradaptasi dan bekerja dengan tim yang besar jumlahnya. Tim kreatif, produksi, dan lainnya memiliki goal yang sama, yaitu memberikan layanan dan advise yang relevan kepada brand yang menjadi klien.

“Jadi tanpa disadari dalam waku 20 tahun itu juga membuat saya lebih mengerti karakter orang yang berbeda, karena di agency tidak ada output produk yang kita berikan, namun lebih kepada strategi dan kreativitas serta ide. Saat bekerja dengan banyak orang, saya melihat talent is the biggest asset,” kata Monika.

Menurut Monika, kebiasaan tersebut telah membuatnya bisa berpikir dengan cepat dan mengambil keputusan terbaik dalam kurun waktu yang singkat. Bekerja di bawah tekanan dan multitasking merupakan skill set yang dipelajari saat di agency.

Lepas dari agency, Monika memutuskan mengambil kesempatan bekerja di Uber. Meskipun hanya 7 bulan, ia mengklaim belajar banyak saat bergabung dengan perusahaan teknologi asal Amerika Serikat tersebut.

Kehadiran Uber di Indonesia telah mendisrupsi layanan transportasi di Indonesia, meski akhirnya perusahaan harus bersinergi dengan Grab di Asia Tenggara. Meskipun mengaku banyak tanggung jawab dan pekerjaan yang dibebankan sebagai President Uber untuk Indonesia, berkat pengalamannya bekerja di agency dirinya merasa tidak kaget.

“Demikian juga ketika saya akhirnya memutuskan untuk menempati posisi sebagai CMO di Lazada. Saya selalu percaya membangun tim dan individual menjadi penting. Pengalaman saya bekerja di agency juga telah mendidik saya untuk bisa mengelola ekspektasi. Bagi saya apa yang sudah saya lakukan di masa lalu, telah membawa kepada posisi saya saat ini,” kata Monika.

Tumbuh bersama Vidio

Monika Rudijono dengan posisi barunya sebagai Managing Director Vidio / Vidio

Ada beberapa alasan mengapa akhirnya Monika memutuskan bergabung dengan Vidio. Selain besarnya kemungkinan untuk berkontribusi sebagai perusahaan multinasional yang dimiliki Emtek, Monika melihat potensi yang sangat besar di platform ini. Meskipun mengaku masih mempelajari seluk beluk dunia OTT, dengan pengalamannya berkarier di perusahaan sebelumnya Monika yakin bisa memberikan yang terbaik.

“Sebagai Managing Director, tugas saya lebih kepada mengamati dari sudut helicopter view. Dengan memberikan improvement dalam skala kecil bisa terus tumbuh menjadi besar dan tentunya memberikan hasil yang positif,” kata Monika.

Dirinya cukup percaya diri dalam jangka waktu pendek bisa memberikan strategi dan arahan di kegiatan pemasaran. Namun, dalam skala yang lebih besar, Monika juga ingin lebih banyak terlibat dalam people development. Ia percaya talenta yang tepat bisa membawa perusahaan lebih besar lagi.

“Dari sisi inovasi bisa dipastikan Vidio akan terus tumbuh dengan original series-nya. Demikian juga dengan konten olahraga dan Fantasy Team. Kami mengetahui dengan benar seperti apa kesukaan dari pengguna di Indonesia. Kami juga telah meluncurkan sinetron dalam beberapa episode yang hanya bisa dinikmati di platform Vidio,” kata Monika.

Cita-cita membangun negeri

Bagi Monika, karier yang dilakukan harus berharga dan memiliki nilai. Apakah itu dari sisi remunerasi yang sesuai atau ilmu/wawasan yang bisa didapatkan dari perusahaan tersebut. Juga bagaimana memberikan kontribusi dan impact kepada perusahaan.

“Saat saya kuliah dulu di luar negeri, saya memiliki cita-cita untuk kembali ke Indonesia dan membangun negeri. Saat ini, ketika saya telah memiliki 4 anak perempuan, apa yang saya lakukan diharapkan bisa menjadi role model bagi mereka dan membuktikan anything is possible,” kata Monika.

Salah satu kekuatan yang dimiliki Monika adalah dukungan yang diberikan oleh sang ayah dan suami tercinta. Kedua figur tersebut memberikan rasa percaya diri dan keyakinan untuk bisa berkarier hingga saat ini. Hal tersebut yang menjadi pegangan saat memperoleh tanggung jawab di berbagai perusahaan.

Meskipun begitu, ia menyadari tidak semua perempuan Indonesia bisa mendapatkan kebebasan dan kesempatan memperluas wawasan dan membangun karier seperti dirinya.

“Sejak dulu ayah saya selalu mengatakan apa pun yang saya lakukan jangan pernah menjadi hambatan hanya karena saya seorang perempuan. Apapun yang ingin saya lakukan jika fokus pastinya akan tercapai. Hal tersebut yang kemudian menjadi motivasi saya saat berkarier,” kata Monika.

Tidak bisa dipungkiri dunia teknologi dan komunitas startup saat ini masih didominasi pemimpin laki-laki. Monika tidak pernah melihat hal tersebut sebagai tantangan.

“Hingga saat ini masih banyak perempuan muda yang bertanya kepada saya bagaimana saya mampu menyeimbangkan antara karier dengan rumah tangga. Artinya hingga saat ini masih ada tekanan di kalangan perempuan untuk menuruti permintaan suami, orang tua, dan orang terdekat lainnya. Saya cukup beruntung dikeliling oleh support system yang mendukung saya selama ini,” kata Monika.

MDI Ventures and Some Investors Pour 1.79 Trillion Rupiah to Kredivo Through PIPE

Kredivo’s parent company, FinAccel received another investment of $125 million or 1.79 trillion Rupiah from MDI Ventures, Cathay Innovation, and Endeavor Catalyst through Private Investment in Public Equity (PIPE). This additional investment will strengthen its position ahead of the IPO preparation through the SPAC scheme.

In his official statement, MDI Ventures CEO Donald Wihardja said he was impressed with the company’s vision to build an AI-based digital consumer credit platform through the use of its first post-funding alternative data for the series B round. Kredivo is also supported by ongoing partnerships with eight leading e-commerce platforms in Indonesia.

On the same occasion, FinAccel also announced three new ranks to fill the position of the Board of Commissioners of Kredivo Indonesia, Arsjad Rasjid, Darmin Nasution, and Karen Brooks. All three are still waiting for approval from the regulator. Meanwhile, the new Board of Commissioners will play a role in helping to design the strategic growth and expansion of Kredivo’s market.

The brief profiles of the three consist of Arsjad Rasjid currently serving as CEO of PT Indika Energy Tbk and General Chair of the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN Indonesia); Darmin Nasution is a leading economist in Indonesia who is also the former Coordinating Minister for Economic Affairs (2015-2019), and former Governor of Bank Indonesia (2010-2013); and Karen Brooks, who served on the White House National Security Council Officer, with more than a decade of experience in private equity and global investment management.

In a joint statement, the three said that Indonesia is still one of the largest unbanked markets in the world despite an increase in financial inclusion in recent years. “We are committed to helping Kredivo make an impact on tens of millions of customers over the next few years because we are optimistic about their innovative credit scoring system,” he explained.

In general note, FinAccel announced its action to become a public company on the NASDAQ through the SPAC scheme. In order to realize this plan, Kredivo will merge with shell company VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) which is an affiliate of Victory Park Capital (VPC). From the two company merger, FinAccel will obtain a pro-forma equity valuation of $2.5 billion, assuming no redemption.

Digital loan market

According to data quoted by DSInnovate in the report “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021”, paylater services will grow 76.7% compared to the previous year, posting a GMV of $1.5 billion in 2021. It is projected to continue to increase to reach $8.5 billion in 2028. This is also supported by an understanding of the paylater business model which is increasingly familiar in the community.

Besides Kredivo, in Indonesia there are several other players such as Akulaku, Atome, Indodana, Julo, Vospay, Kreditmu, and Home Credit. In addition, the super application has also developed similar services, such as Gopaylater, Traveloka Paylater, and SPayLater from Shopee.

In terms of funding, several startups have also backed by the investors. We have collected the data, Akulaku is one of the players with the largest valuation after Kredivo, its value is close to $1 billion.

Indonesia’s paylater startup funding / DSInnovate


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

MDI Ventures dan Sejumlah Investor Berikan Pendanaan 1,79 Triliun Rupiah ke Kredivo Melalui PIPE

FinAccel selaku induk usaha Kredivo kembali memperoleh investasi sebesar $125 juta atau 1,79 triliun Rupiah dari MDI Ventures, Cathay Innovation, dan Endeavour Catalyst melalui Private Investment in Public Equity (PIPE). Investasi tambahan ini akan memperkuat posisinya menjelang persiapan IPO lewat skema SPAC.

Dalam keterangan resminya, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengaku terkesan dengan visi perusahaan dalam membangun platform kredit konsumen digital berbasis AI lewat pemanfaatan data alternatif pasca-pendanaan pertamanya ke putaran seri B. Kredivo juga didukung dengan kemitraan berkelanjutan dengan delapan platform e-commerce terkemuka di Indonesia.

Dalam kesempatan sama, FinAccel turut mengumumkan tiga jajaran baru yang akan mengisi posisi Dewan Komisaris Kredivo Indonesia, yaitu Arsjad Rasjid, Darmin Nasution, dan Karen Brooks. Ketiganya masih menunggu persetujuan dari regulator. Adapun, Dewan Komisaris baru ini akan berperan untuk membantu merancang pertumbuhan strategis dan perluasan pasar Kredivo.

Profil singkat ketiganya terdiri dari Arsjad Rasjid saat ini menjabat sebagai CEO PT Indika Energy Tbk serta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia); Darmin Nasution merupakan ekonom terkemuka di Indonesia yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (2015-2019), dan mantan Gubernur Bank Indonesia (2010-2013); serta Karen Brooks yang pernah bertugas sebagai Staf Dewan Keamanan Nasional di Gedung Putih, memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di private equity dan pengelolaan investasi global.

Dalam pernyataan bersama, ketiganya mengatakan bahwa Indonesia masih menjadi salah satu pasar unbanked terbesar di dunia meski beberapa tahun terakhir ada peningkatan inklusi keuangan. “Kami berkomitmen membantu Kredivo untuk memberikan dampak kepada puluhan juta pelanggan selama beberapa tahun ke depan karena kami optimistis dengan sistem sistem penilaian kredit mereka yang inovatif,” paparnya.

Seperti diketahui, FinAccel mengumumkan langkahnya menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Untuk memuluskan rencana ini, Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC). Dari peleburan keduanya, FinAccel akan mengantongi valuasi pro-forma ekuitas sebesar $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan.

Pasar pinjaman digital

Menurut data yang dikutip DSInnovate dalam laporan “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, layanan paylater akan bertumbuh 76,7% dibanding tahun sebelumnya, membukukan GMV $1,5 miliar pada 2021. Diproyeksikan akan terus meningkat mencapai $8,5 miliar pada tahun 2028. Hal ini turut didukung pemahaman tentang model bisnis paylater yang semakin akrab di masyarakat.

Selain Kredivo, di Indonesia ada beberapa pemain lainnya seperti Akulaku, Atome, Indodana, Julo, Vospay, Kreditmu, dan Home Credit. Selain itu, aplikasi super juga turut mengembangkan layanan serupa, seperti Gopaylater, Traveloka Paylater, dan SPayLater dari Shopee.

Terkait pendanaan, beberapa startup juga telah menerima dukungan dari investor. Dari data yang kami himpun, Akulaku menjadi salah satu pemain dengan valuasi terbesar setelah Kredivo, nilainya sudah mendekati $1 miliar.

Pendanaan startup paylater di Indonesia / DSInnovate
Application Information Will Show Up Here

Donald Wihardja: Dari Konsultan Bisnis hingga Peran Nyata Membangun Ekosistem Investasi Teknologi di Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Donald Wihardja memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun dalam menerapkan teknologi untuk berbagai industri, dari telco hingga perbankan hingga web startup, sebagai manajer, penasihat, konsultan, manajer investasi, dan wirausahawan di Indonesia. Dirinya percaya untuk bisa membangun ekosistem investasi teknologi, seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan bisnis teknologi.

Beliau sempat memulai perjalanan dengan salah langkah. Ia meninggalkan Silicon Valley pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang akhirnya ia tersadar bahwa perjalanan masih panjang untuk mencapai tahap seperti sekarang ini. Namun, ia telah mengambil keputusan dan masuk ke industri teknologi di Indonesia.

Donald memiliki keahlian di bidang data warehouse atau yang sekarang kita kenal dengan big data. Ia mampu menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Ia juga belajar bagaimana menggunakan teknologi untuk mengubah bisnis. Itulah awal perjalanan karirnya yang melenceng dari latar belakang ilmu komputer teknik elektro menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.

Ia memasuki industri investasi melalui perusahaan Private Equity (PE) dan mendapatkan cukup ilmu untuk akhirnya berhenti dan memulai Venture Capital (VC), Convergence, bersama Adrian Li. Selama lima tahun menjadi partner VC, ia menemukan peluang untuk menyalurkan gaya investasinya. Melalui MDI Venture, usahanya tidak hanya bertumpu pada penggandaan uang perusahaan tetapi juga menciptakan peluang sinergi bisnis di bawah Telkom Group.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Donald yang saat itu sedang cuti dan sedang berada di Amerika Serikat untuk membahas ekosistem investasi teknologi di Indonesia. Ia berbagai banyak insight tentang cara menciptakan lingkungan yang lebih baik di industri teknologi negara kita dalam cuplikan paragraf di bawah.

Ia percaya dalam merekayasa ekosistem investasi teknologi, seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan bisnis

Anda memiliki lebih dari 20 tahun pengalaman dalam penerapan teknologi di berbagai industri. Seperti apa awal mulanya?

Saya memulai perjalanan dengan salah langkah. Saya meninggalkan tanah Amerika pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang terjadi di AS sekitar waktu itu. Saya tidak pernah berpikir harus menunggu selama 20 tahun dan ikut ambil bagian dalam pembangunannya. Namun, saya selalu percaya Indonesia akan menjadi hub teknologi berikutnya dan berada di jalurnya meskipun dengan realisasi yang tidak cepat.

Faktanya, dibutuhkan seratus tahun bagi Silicon Valley untuk mencapai posisinya sekarang. Pengusaha asli Silicon Valley atau Modal Ventura berinvestasi dalam Model-T. Mobil tanpa custom build atau produksi massal dapat membuat usaha yang sukses seratus tahun kemudian. Bankir mulai berinvestasi dalam usaha teknologi dan menciptakan kisah sukses. Semakin banyak penggiat teknologo menjadi kaya dan akhirnya mengambil bagian dalam industri investasi.

Masalah terbesar dalam dunia teknologi adalah risiko teknologi. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya ilusi? Apakah Anda siap atau tidak? Berinvestasi adalah tentang mengenal perbedaan antara mengetahui informasi pribadi dan informasi publik. Semakin banyak Anda tahu, semakin kecil risiko investasinya. Hal ini sebenarnya cukup sederhana. Jika Anda mengetahui resep untuk membangun startup yang sukses, Anda akan tahu bagaimana meramu kesuksesan dalam berinvestasi.

Ada konsep bahwa Indonesia akan menjadi ekosistem teknologi yang signifikan, setidaknya di Asia Tenggara. Saya sudah melewatkan ledakan teknologi di AS, saat ini tugas saya adalah membangun kapal ini sehingga tidak tertinggal untuk kedua kali.

Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam percobaan membangun industri startup/teknologi di Indonesia?

Saya melihat perjalanan saya terjadi di sini. Melihat kembali pekerjaan saya di Amerika, saat itu kami baru saja keluar dari resesi. Kenaikan gaji lambat dan saya bukan orang yang sabar. Saya tahu dan diberitahu akan potensi untuk bisa meraih level manager dalam waktu singkat jika kembali ke Indonesia. Hal itu benar adanya.

Pekerjaan pertama saya di Indonesia adalah sebagai programmer untuk sistem dukungan pelanggan Hewlett Packard (HP). Ketika itu, saya menambah pengetahuan ke konsultasi bisnis dan bergabung kembali dengan perusahaan sebagai project manager. Pekerjaan ini pada dasarnya adalah memecahkan masalah bisnis dengan keahlian business intelligence dan data warehouse atau big data. Hal ini memberi saya eksposur ke bisnis dan masalah teknologi.

Saya belajar cara menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Itu adalah roduk yang saya jual. Dari pengalaman itu, saya mendapatkan sisi teknis bagaimana memanfaatkan teknologi untuk mentransformasi bisnis.

Begitulah cara Donald, lulusan komputer teknik elektro, akhirnya menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.

Pada tahun 1998, terjadi resesi. Semua rekan konsultan saya dikirim ke negara-negara lain. Saya menolak untuk pergi dan lebih memilih untuk membangun perusahaan pengembangan perangkat lunak teknologi sendiri bersama rekan saya saat itu. Selain itu, kami juga mencoba membangun sesuatu yang mirip dengan Tokopedia di tahun ’98. Kita semua tahu itu tidak berhasil karena pasar yang tidak mendukung serta pengguna yang belum siap.

Dari krisis itu, saya belajar bahwa ketika belahan dunia lain telah berevolusi, kita tertinggal satu generasi dalam hal data dan konektivitas. Konsumen pada masa itu terlalu jauh tertinggal, mereka hampir tidak bisa menelusuri web. Perbandingan jumlah penduduk dengan orang yang memiliki akses terlalu jauh. Semua bergerak lambat. Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknik elektro dan ilmu komputer, kemudian beralih menjadi konsultan bisnis. Apa yang mendorong Anda untuk memasuki industri investasi?

Pada tahun 2005, saya diundang untuk bergabung dengan sebuah Private Equity atau PE (ketika itu saya sedang membangun perusahaan pemrograman dan lainnya), bernama Quvat. Saya belajar cara menggalang dana untuk perusahaan beserta semua dokumen terkait perjanjian investasi. Saya bersyukur bekerja di perusahaan dengan budaya yang sangat mendidik. Saya diharuskan mempelajari mata pelajaran di luar bidang pekerjaan untuk meningkatkan kualitas. Inilah momen di mana saya tahu apa yang ingin saya lakukan.

Proyek pertama saya adalah membangun fiber optic cable, memungkinkan Indonesia untuk mengejar dua generasi teknologi. Pada masa itu, Indonesia akhirnya mengalami lonjakan pertama dengan bandwidth penuh. Bandwidth di Indonesia bisa lebih murah hingga 90%. Kemudian, orang-orang mulai tertarik dan bersedia membayar lebih. Setelah sekian lama, akhirnya Indonesia siap.

Tibalah waktunya, saya menyadari bahwa Quvat tidak akan pernah berinvestasi dalam startup. Itulah perbedaan antara PE dan VC. Jika masa depan saya akan terikat dengan revolusi teknologi, PE bukanlah tempatnya. Saya harus berada di startup atau VC. Setelah sekian lama bersama Quvat, muncul pertanyaan “Ke mana Anda ingin pergi setelah ini? Apa yang dapat kami lakukan untuk karir Anda?” lalu saya menjawab bahwa ingin berhenti dan bergabung dengan startup. Saya keluar dari Quvat untuk bergabung dengan Indomog.

Saat itu saya menempati posisi sebagai CTO Indomog. Bagian dari tugas saya adalah membantu perusahaan membangun model bisnisnya. Salah satu masalah terbesar saat itu adalah segala sesuatu di bidang teknologi di-cap gratis. Startup tidak dapat menghasilkan uang di Indonesia karena tidak ada cara untuk mendapatkan bayaran. Sementara di AS sangat mudah, mereka memiliki kartu kredit, tetapi lain hal nya di sini. Oleh karena itu, kami membangun infrastruktur pembayaran tunai, yang spesifik pada industri game.

Itu adalah wujud tesis Indomog. Namun, sejak hari pertama, kami tahu bahwa tesisnya adalah untuk membangun lebih dari sekadar solusi pembayaran untuk game, tetapi untuk perdagangan. Satu hal yang saya sadari, jika ledakan teknologi akan terjadi di Indonesia, saya perlu membantu menyelesaikan masalah tersebut. Dengan startup ini, saya memilih untuk menyelesaikan masalah pembayaran.

Lalu muncul masalah lain, startup Indonesia tidak memiliki pendanaan VC karena kami tidak tahu bagaimana mengumpulkan uang dari investor. Selain itu, kesadaran investor di Indonesia juga masih kurang. Saat melakukan pekerjaan di Indomog, saya turut membantu beberapa startup lain dengan pengetahuan terkait convertible notes dan sebagainya. Saat itulah saya meliha VC sebagai masalah berikutnya yang harus dipecahkan. Lalu, ketika Adrian Li datang dengan ide Convergence, saya memutuskan untuk bergabung.

Saya bergabung dengan Convergence untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk modal ventura di Indonesia. Ketika itu, jumlah VC jauh lebih sedikit daripada orang yang membuat startup. Saya terlalu tua untuk menjadi seorang programmer. Lagipula, Quvat telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk saya menjadi partner. Pada saat itu, pengalaman saya di Quvat dan membangun startup selama bertahun-tahun memberi saya pengetahuan yang cukup untuk menjadi partner di VC.

Selama di VC, saya juga menyadari betapa prematurnya ekosistem VC Indonesia. Oleh karena itu, bersama rekan-rekan VC di lapangan, kami membuat Amvesindo. Ini lebih kepada grup lobi PMV dan VC dan jembatan ke pemerintah.

Bagaimana Anda menggambarkan transisi karir dari Convergence sebagai Modal Ventura ke MDI Ventures sebagai Modal Ventura Korporat?

Di Convergence, kami belajar bagaimana berinvestasi sebagai pemegang saham minoritas. Kami melihat dan yakin bahwa pendiri jauh lebih tahu daripada VC dalam hal menjalankan perusahaan. Selain itu, kami tidak mengambil alih perusahaan. Kami memberi mereka modal untuk berkembang. Ini adalah bisnis yang berisiko tinggi, oleh karena itu, kita perlu menemukan aset yang tepat dan hanya berinvestasi di perusahaan yang benar-benar dapat kita kembangkan.

Ketika memulai sebagai konsultan bisnis, saya selalu bertindak lebih sebagai seorang mentor. Itulah sebabnya, ketika MDI membuka kesempatan, saya merasa lebih cocok di sana. Sebagai CVC, MDI tidak hanya memiliki mandat untuk menggandakan uang, namun juga mendorong bagaimana startup dapat menciptakan pendapatan bagi Telkom. Hal ini memaksa tim untuk memiliki divisi sinergi yang tugasnya sebenarnya menjamin startup-startup tersebut bekerja sama dengan Telkom. Hal ini juga memungkinkan saya untuk memiliki peran aktif dalam mengembangkan startup.

Telkom, di sisi lain, telah menghasilkan lebih banyak pendapatan dari bisnis korporatnya daripada jumlah yang digelontorkan untuk investasi. Oleh karena itu, sebanyak apapun keuntungan modal yang saya hasilkan dalam investasi tidak akan membuat banyak perbedaan bagi grup. Yang sebenarnya mereka butuhkan adalah inovasi dan digitalisasi seperti apa yang bisa kita bawa. Di sinilah saya menyadari bahwa saya ada di sebuah perusahaan di mana saya dituntut untuk berhenti mengkhawatirkan uang berlipat ganda dan mulai dengan menciptakan peluang bisnis untuk startup. Memang, tidak persis bagaimana perusahaan menerjemahkannya, tetapi saya memilih untuk menafsirkannya seperti itu.

Saya ingin mengambil kebutuhan digitalisasi di Telkom lalu menyampaikannya dengan solusi yang telah dibuktikan oleh para startup. Itulah pekerjaan yang ingin saya lakukan. Oleh karena itu, kami fokus pada startup di tahap lanjut. Seiring berjalannya waktu, startup menjadi lebih stabil dan mampu memberikan pendapatan dan sinergi dengan Telkom. MDI sendiri memiliki beberapa dana kelolaan, kami juga memiliki dana untuk tahap awal. Namun, di setiap perusahaan yang kami investasikan, kami berusaha membangun hubungan dan sinergi dengan Telkom. Bagaimana kita dapat dengan nyaman melakukan investasi berkelanjutan, sembari membangun pertumbuhan perusahaan?

Belum lama ini, portofolio MDI, RunSystem, telah mengumumkan IPO-nya. Saya tertarik untuk mengetahui perspektif Anda tentang IPO, apakah ini merupakan jalur exit yang paling ideal?

Di MDI, kami memiliki dua KPI, money multiple dan sinergi. Untuk CVC, kami lebih fokus pada sinergi karena dampaknya lebih besar. Namun, suatu hari kami juga akan menghadapi pertanyaan ini, “Berapa banyak uang yang Anda bawa kembali ke perusahaan?”. Untuk menjawabnya, kami membutuhkan cara untuk bisa membuktikan telah berhasil memberikan dua kali lebih banyak dari uang yang diberikan. Lebih penting lagi, kami bisa membangun exit dalam investasi. Kesuksesan apapun yang bisa dihasilkan oleh sinergi tidak akan berarti jika perusahaan tempat Anda berinvestasi mati. Saya tidak akan lagi dipercaya dengan uang.

Untuk menyeimbangkan keduanya, kami membuat sistem untuk membuktikan estimasi nilai kami di setiap portofolio. Selanjutnya, kami telah berhasil menghasilkan exit, membawa keuntungan nyata ke perusahaan. Menjadi salah satu anak perusahaan Telkom Group dengan kinerja laba bersih tertinggi. Itu tentang exit.

Exit yang ideal adalah yang melipatgandakan lebih banyak uang, tetapi IPO adalah jalan keluar yang berdampak nyata. Ini adalah cara untuk membuktikan kematangan ekosistem teknologi Indonesia karena informasinya akan go public. Semakin matang ekosistem investasi Indonesia dilihat seluruh dunia, semakin banyak investor yang datang, dan semakin cepat kita akan tumbuh. IPO merupakan barometer ekosistem investasi Indonesia yang sehat. Meskipun IPO mungkin hanya dilakukan oleh 10%-20% dari startup dengan track record yang baik.

Di atas kertas, Indonesia memiliki banyak startup dengan valuasi yang terlalu tinggi dan masih terus meningkat. Namun, apa artinya valuasi jika tidak ada cara untuk exit. Itulah sebabnya Indonesia perlu membangun cerita IPO yang lebih sukses, untuk membuktikan bahwa kita memiliki ekosistem teknologi yang dapat diinvestasikan. MDI telah exit melalui IPO dua kali, di Australia dan Jepang. Dengan RunSystem, MDI sudah berada di jalur yang benar. Selain itu, kami juga akan ada beberapa berita baru terkait masalah ini dalam waktu dekat.

Selama bertahun-tahun berkarya, seperti apa tantangan yang Anda hadapi dalam perjalanan hingga titik ini?

Tantangan terbesar selama 20 tahun pengalaman adalah kepercayaan publik. Sulit untuk membuat orang percaya pada ekosistem teknologi Indonesia ketika kita hampir tidak bisa menjelajah internet. Bayangkan negara ini akan menjadi tujuan investasi atau bahkan tujuan teknologi, dan teknologi kita akan memberikan dampak yang signifikan. Ketika kita bisa membangun kepercayaan diri, itu akan memiliki multiplier effect yang baik.

Oleh karena itu, memastikan transformasi digital berdampak besar menjadi sangat penting agar mendapat dukungan yang cukup dari seluruh pemangku kepentingan di tanah air. Agar ekosistem startup digital di Indonesia terus tumbuh, kita perlu memahami dan memperjuankannya bersama. Ini bukan pekerjaan satu orang. Berkolaborasi untuk membangun visi masa depan Indonesia, hal ini harus dikembangkan dan dipasarkan untuk memperkaya ekosistem Indonesia dengan kompetisi dan keragaman.

Adakah yang ingin Anda sampaikan kepada para penggiat teknologi yang tengah berusaha ikut ambil bagian dalam pembangunan ekosistem teknologi Indonesia?

Ini adalah waktu yang tepat, terutama dengan pandemi dan semacamnya. Ada pepatah “Don’t let a good crisis go to waste”. Krisis memang saatnya untuk menunjukkan kemampuan Anda. Ini adalah saat yang tepat untuk bergabung dengan revolusi teknologi dengan cara Anda sendiri baik sebagai VC, perusahaan, pendiri, atau lainnya. Karena belum pernah sebelumnya Indonesia lebih siap untuk transformasi digital. Kami tidak mendekati akhir. Jadikan kami lebih banyak startup dan VC yang lebih matang dengan investor yang lebih matang. Dalam bidang apa pun yang Anda minati, bergabunglah dalam industri. Ini merupakan sebuah panggilan untuk bergerak.

Anda sempat mengungkapkan bahwa kembali ke Indonesia di waktu yang salah. Apakah ada rasa penyesalan? Saat ini adakah hal yang sangat ingin Anda lakukan namun belum ada kesempatan untuk mewujudkannya?

Sebenarnya, saat ini fokus saya adalah menciptakan transformasi digital dalam ekosistem yang didukung oleh banyak BUMN. Bagaimana kita bisa menggunakan pelanggan yang ada untuk didigitalkan oleh pemain startup? Kami dapat mengidentifikasi ekosistem digital mana yang siap untuk dikembangkan berdasarkan peluang bisnis captive market di perusahaan milik negara tetapi juga didukung oleh solusi yang telah terbukti dari startup. Dengan demikian, saya bisa naik level sebagai CVC yang tidak hanya memperkenalkan startup ke grup Telkom tetapi juga menciptakan peluang di luar apa yang dipikirkan startup atau Telkom untuk menciptakan inovasi yang lebih berdampak.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian