Agate Aktif Susun Pedoman Ruang Ramah Perempuan di Industri Game

Agate International (Agate), perusahaan pengembang game lokal dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, mengumumkan peran aktifnya dalam penyusunan Pedoman Ruang Ramah Perempuan dalam Industri Game Indonesia.

Pedoman ini menyediakan kerangka kerja komprehensif untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah perempuan dan inklusif di perusahaan game di Indonesia.

Proses penyusunan pedoman ini dipimpin oleh Indonesian Women in Game (IWIG) dengan dukungan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), serta pelaku industri game lainnya.

Co-Founder & CEO Agate Shieny Aprilia menyatakan, “Agate sangat mendukung inisiatif IWIG dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan ramah perempuan. Kami percaya bahwa keberagaman dalam tim adalah kunci untuk menghasilkan karya yang inovatif dan bermakna. Pedoman ini akan menjadi bagian penting dalam sejarah industri game Indonesia sebagai landasan dalam mendorong kesetaraan dan inklusi.”

Team Lead Agate Academy Restya Winda Astari menambahkan, “Sebagai bagian dari tim penyusun pedoman ini, kami berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap perempuan yang bekerja di industri game memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi. Kami berharap pedoman ini dapat menjadi panduan yang jelas untuk menciptakan ruang kerja yang aman dan mendukung bagi semua.”

Survei terbaru dari International Game Developers Association (IGDA) dan Geena Davis Institute of Gender in Media menunjukkan bahwa perempuan hanya mengisi sekitar 30% dari posisi pengembang game secara global.

Kesenjangan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat inisiatif keberagaman dalam industri ini. Meski perempuan hampir mencakup separuh dari pemain game di pasar global, kesenjangan gender tetap ada dalam industri game.

Di Indonesia, data dari Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa 80% studio game di Indonesia memiliki karyawan perempuan, sementara 20% lainnya tidak memiliki representasi perempuan. Berdasarkan data tersebut, IWIG berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah perempuan melalui penyusunan pedoman ini.

Ketua IWIG Riris Marpaung menyampaikan, “Penyusunan pedoman ini merupakan langkah besar dalam mewujudkan industri game yang lebih inklusif dan ramah perempuan. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi, termasuk Komnas Perempuan, IBCWE, Agate, dan studio game lainnya yang telah memberikan dukungan dan perhatiannya dalam proses pembuatan pedoman ini.”

Pedoman ini mencakup sepuluh poin utama, termasuk kebijakan keberagaman dan inklusi, praktik perekrutan dan penerimaan karyawan, orientasi dan integrasi, pengembangan profesional, waktu bekerja dan akomodasi di tempat kerja, promosi dan peningkatan karier, hak perlindungan kesehatan dan kesejahteraan, budaya dan lingkungan tempat kerja, pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja, serta pemantauan dan pelaporan.

Project Officer IBCWE Esther Yobelita menyatakan, “Kolaborasi antara IWIG, Agate, dan IBCWE dalam menyusun pedoman ini menunjukkan komitmen kita bersama untuk menciptakan industri yang lebih inklusif dan adil. Kami berharap pedoman ini dapat menjadi contoh bagi industri lainnya dalam menerapkan praktik-praktik yang mendukung kesetaraan gender.”

Agate mengundang seluruh pemangku kepentingan termasuk perusahaan game, komunitas, dan lembaga terkait untuk bersama-sama berkomitmen dalam mewujudkan lingkungan kerja yang lebih inklusif bagi perempuan dalam industri game.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Monika Rudijono Membangun Karier: Ingin Menjadi “Role Model” untuk Putri Tercinta

Perjalanan karier yang dinamis membawa Monika Rudijono dikenal di komunitas startup dan tech scene Indonesia. Berawal dari seorang Account Executive di sebuah advertising agency, kini ia menempati posisi bergengsi sebagai Managing Director di platform OTT lokal terbesar di Indonesia, Vidio.

Sebagai ibu rumah tangga, pengalaman bekerja dan kesibukannya saat ini diklaim tidak mengganggu rutinitas sehari-harinya. Bersama Vidio, Monika ingin memberikan kontribusi terbaik dengan empowering tim agar menjadi lebih baik.

Kepada DailySocial, Monika menceritakan suka duka perjalanan kariernya dan harapan yang ingin ia sampaikan kepada generasi muda perempuan dan tentunya anak-anak tercinta.

Belajar banyak dari agency

Selama 20 tahun Monika bekerja di advertising agency ternama. Dinamika agency yang cenderung fast-paced dan sarat dengan perubahan secara cepat, memberikan kebiasaan positif. Ia menjabarkan, demi memenuhi kebutuhan dan permintaan klien, ia harus bisa beradaptasi dan bekerja dengan tim yang besar jumlahnya. Tim kreatif, produksi, dan lainnya memiliki goal yang sama, yaitu memberikan layanan dan advise yang relevan kepada brand yang menjadi klien.

“Jadi tanpa disadari dalam waku 20 tahun itu juga membuat saya lebih mengerti karakter orang yang berbeda, karena di agency tidak ada output produk yang kita berikan, namun lebih kepada strategi dan kreativitas serta ide. Saat bekerja dengan banyak orang, saya melihat talent is the biggest asset,” kata Monika.

Menurut Monika, kebiasaan tersebut telah membuatnya bisa berpikir dengan cepat dan mengambil keputusan terbaik dalam kurun waktu yang singkat. Bekerja di bawah tekanan dan multitasking merupakan skill set yang dipelajari saat di agency.

Lepas dari agency, Monika memutuskan mengambil kesempatan bekerja di Uber. Meskipun hanya 7 bulan, ia mengklaim belajar banyak saat bergabung dengan perusahaan teknologi asal Amerika Serikat tersebut.

Kehadiran Uber di Indonesia telah mendisrupsi layanan transportasi di Indonesia, meski akhirnya perusahaan harus bersinergi dengan Grab di Asia Tenggara. Meskipun mengaku banyak tanggung jawab dan pekerjaan yang dibebankan sebagai President Uber untuk Indonesia, berkat pengalamannya bekerja di agency dirinya merasa tidak kaget.

“Demikian juga ketika saya akhirnya memutuskan untuk menempati posisi sebagai CMO di Lazada. Saya selalu percaya membangun tim dan individual menjadi penting. Pengalaman saya bekerja di agency juga telah mendidik saya untuk bisa mengelola ekspektasi. Bagi saya apa yang sudah saya lakukan di masa lalu, telah membawa kepada posisi saya saat ini,” kata Monika.

Tumbuh bersama Vidio

Monika Rudijono dengan posisi barunya sebagai Managing Director Vidio / Vidio

Ada beberapa alasan mengapa akhirnya Monika memutuskan bergabung dengan Vidio. Selain besarnya kemungkinan untuk berkontribusi sebagai perusahaan multinasional yang dimiliki Emtek, Monika melihat potensi yang sangat besar di platform ini. Meskipun mengaku masih mempelajari seluk beluk dunia OTT, dengan pengalamannya berkarier di perusahaan sebelumnya Monika yakin bisa memberikan yang terbaik.

“Sebagai Managing Director, tugas saya lebih kepada mengamati dari sudut helicopter view. Dengan memberikan improvement dalam skala kecil bisa terus tumbuh menjadi besar dan tentunya memberikan hasil yang positif,” kata Monika.

Dirinya cukup percaya diri dalam jangka waktu pendek bisa memberikan strategi dan arahan di kegiatan pemasaran. Namun, dalam skala yang lebih besar, Monika juga ingin lebih banyak terlibat dalam people development. Ia percaya talenta yang tepat bisa membawa perusahaan lebih besar lagi.

“Dari sisi inovasi bisa dipastikan Vidio akan terus tumbuh dengan original series-nya. Demikian juga dengan konten olahraga dan Fantasy Team. Kami mengetahui dengan benar seperti apa kesukaan dari pengguna di Indonesia. Kami juga telah meluncurkan sinetron dalam beberapa episode yang hanya bisa dinikmati di platform Vidio,” kata Monika.

Cita-cita membangun negeri

Bagi Monika, karier yang dilakukan harus berharga dan memiliki nilai. Apakah itu dari sisi remunerasi yang sesuai atau ilmu/wawasan yang bisa didapatkan dari perusahaan tersebut. Juga bagaimana memberikan kontribusi dan impact kepada perusahaan.

“Saat saya kuliah dulu di luar negeri, saya memiliki cita-cita untuk kembali ke Indonesia dan membangun negeri. Saat ini, ketika saya telah memiliki 4 anak perempuan, apa yang saya lakukan diharapkan bisa menjadi role model bagi mereka dan membuktikan anything is possible,” kata Monika.

Salah satu kekuatan yang dimiliki Monika adalah dukungan yang diberikan oleh sang ayah dan suami tercinta. Kedua figur tersebut memberikan rasa percaya diri dan keyakinan untuk bisa berkarier hingga saat ini. Hal tersebut yang menjadi pegangan saat memperoleh tanggung jawab di berbagai perusahaan.

Meskipun begitu, ia menyadari tidak semua perempuan Indonesia bisa mendapatkan kebebasan dan kesempatan memperluas wawasan dan membangun karier seperti dirinya.

“Sejak dulu ayah saya selalu mengatakan apa pun yang saya lakukan jangan pernah menjadi hambatan hanya karena saya seorang perempuan. Apapun yang ingin saya lakukan jika fokus pastinya akan tercapai. Hal tersebut yang kemudian menjadi motivasi saya saat berkarier,” kata Monika.

Tidak bisa dipungkiri dunia teknologi dan komunitas startup saat ini masih didominasi pemimpin laki-laki. Monika tidak pernah melihat hal tersebut sebagai tantangan.

“Hingga saat ini masih banyak perempuan muda yang bertanya kepada saya bagaimana saya mampu menyeimbangkan antara karier dengan rumah tangga. Artinya hingga saat ini masih ada tekanan di kalangan perempuan untuk menuruti permintaan suami, orang tua, dan orang terdekat lainnya. Saya cukup beruntung dikeliling oleh support system yang mendukung saya selama ini,” kata Monika.

Wanita dan Investasi: Pentingnya Menjadi Pribadi yang Independen Secara Finansial

Untuk satu alasan, masalah keuangan sering kali dianggap sebagai tanggung jawab laki-laki semata. Dengan semakin banyaknya perempuan yang bekerja saat ini, dunia semakin lumrah dengan konsep kesetaraan gender bahkan di bidang investasi. Di era modern ini, banyak wanita telah menghidupi [atau setidaknya menghasilkan uang] untuk keluarga mereka atau paling tidak untuk diri mereka sendiri. Dewasa ini, mereka telah merencanakan investasi agar bisa mandiri secara finansial.

Berdasarkan Laporan Kesenjangan Gender Global 2021 yang dilakukan oleh World Economic Forum, Indonesia disebut telah menutup 68,8% dari total kesenjangan gender, menempati peringkat ke-101 secara global, meskipun kesenjangan tahun ini memiliki presentase lebih besar 1,3 poin dari periode sebelumnya.

Penyebab utama penurunan ini diprediksi karena partisipasi ekonomi dan kesenjangan peluang yang lebih besar. Alasannya adalah penurunan tajam partisipasi perempuan sebagai peran senior. Di luar indikator ini, partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja jauh lebih sedikit daripada laki-laki (perempuan 55,9% dan laki-laki 84%) sementara kesenjangan upah dan pendapatan tetap besar (masing-masing 69,7% dan 51,7%). Selain itu, 81,8% perempuan menempati pekerjaan di sektor informal (dibandingkan dengan 79,4% laki-laki).

Claudia Kolonas adalah salah satu dari sedikit pendiri wanita di industri teknologi Indonesia. Ia mendirikan platform investasi, Pluang, dengan tujuan menggalakkan inklusi keuangan di Indonesia. Sebagai sosok wanita dalam industri fintech, selalu saja ada tantangan yang harus dilewati. Namun, selama menjalankan misinya, Claudia mencoba menghindari semua hal negatif yang menyelimuti potensinya serta menegakkan kepercayaan diri disaat orang lain mungkin meragukan kapabilitasnya sebagai pemimpin wanita.

Menjadi wanita yang independen secara finansial

Berdasarkan Women and Finance: The Rich Thinking Quantitative Survey 2019 oleh Barbara Steward, CFA, kebanyakan wanita memahami pentingnya mandiri secara finansial. Dalam survei tersebut, lebih dari 200 wanita dari 24 negara ditanyai alasan terpenting mengapa mereka berinvestasi, jawaban terpopuler kedua adalah “untuk menjadi lebih mandiri secara finansial”, dan di posisi teratas adalah, “mendanai masa pensiun”.

Dalam masyarakat yang menuntut patriarki seperti Indonesia, perempuan biasanya memiliki kontribusi yang lebih kecil dalam hal dukungan finansial untuk keluarga. Apalagi ketika mereka sudah menikah, aturan yang sering kali diterapkan adalah dia menjadi tanggung jawab suaminya. Mungkin hal ini terdengar melegakan, namun pada kenyataannya ekspresi ini agak menakutkan, untuk menyerahkan tanggung jawab atas diri sendiri demi apa? tidak ada siapapun yang benar-benar dapat menjamin kesejahteraan hidup seseorang.

Claudia berkata, “Saya rasa investasi adalah hal yang esensial bagi wanita. Sangat penting bagi perempuan untuk bisa mandiri secara finansial, terlebih ketika ditinggalkan suami. Ketika wanita sudah menikah, biasanya wanita memiliki beban pengeluaran yang lebih besar, oleh karena itu sangat penting menabung untuk dana darurat. Dana darurat ini akan sangat berguna ketika ada kejadian tak terduga seperti kehilangan pekerjaan, dll.”

Kemandirian finansial adalah tema penting bagi perempuan. Wanita yang berdaya secara finansial tidak hanya lebih percaya diri tetapi juga lebih produktif dan mampu memiliki keseimbangan kehidupan kerja. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang dapat mengukur prospek kesuksesan seorang wanita.

“Yang paling penting adalah memberikan dukungan bagi wanita, terutama untuk mereka yang sudah berkeluarga, yang ingin masuk ke industri teknologi. Penting untuk memiliki platform yang setara untuk bekerja baik bagi pria maupun wanita,” tambahnya.

Dalam hal kapabilitas investasi, penelitian juga menunjukkan bahwa wanita menghabiskan lebih banyak waktu untuk meneliti pilihan investasi mereka. Meskipun mereka mengambil risiko lebih sedikit daripada pria dalam hal investasi, hal itu tidak secara otomatis berarti menghindari risiko. Sebaliknya, wanita lebih cenderung mengambil tingkat risiko yang sesuai dengan investasi mereka daripada laki-laki. Kedua sifat ini akan menghasilkan hasil investasi yang lebih baik.

Investasi di tengah pandemi

Ada beberapa tujuan investasi yang umum di masyarakat. Beberapa orang berinvestasi untuk mempertahankan kesejahteraan [pasca pensiun], menghasilkan pendapatan [untuk keperluan sehari-hari], atau memperoleh keuntungan dari aset modalnya. Faktanya, platform investasi sedang menuai berkah di tengah pandemi ini. Pada dasarnya, karena orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu di internet selama WFH (work from home) dan berinvestasi semakin mudah karena didukung oleh teknologi.

Di Indonesia, beberapa platform tersedia untuk mengakomodasi tujuan-tujuan ini, termasuk Investree, Pluang, Bibit, dan lain-lain. Hal ini memungkinkan orang untuk berinvestasi di emas, pasar modal, reksa dana, dan banyak bentuk investasi lainnya. Semakin mudah dengan satu klik.

Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dalam empat bulan pertama tahun ini jumlah investor pasar modal meningkat 31,11% menjadi total 5,08 juta. Sedangkan investor reksa dana meningkat 38,85% menjadi 4,40 juta investor.

Sumber: Demografi investor KSEI April 2021

Laporan demografinya juga menyiratkan bahwa perempuan berhasil mempersempit kesenjangan investasi menjadi 38,45% dengan perkiraan nilai aset Rp208,84 triliun. Informasi ini didukung fakta bahwa Pluang, salah satu platform investasi terkemuka di Indonesia, mengklaim mayoritas investornya adalah perempuan. Mengikuti statistik dan tren investasi, perusahaan juga berencana menambah produk-produk baru di tahun ini.

“Tahun ini saya pribadi fokus ke pembelian produk utang pemerintah seperti SUN atau ORI, serta investasi di reksa dana dan juga di obligasi BUMN. Menurut saya, masih banyak peluang untuk meningkatkan nilai produk pendapatan tetap di Indonesia, dan risikonya cukup moderat,” jelas Claudia.

Terlepas dari semua kemudahan menanam uang di platform digital, internet tidak kebal dari berbagai upaya penipuan. Ada beberapa kasus yang melibatkan investasi “bodong” yang menyebar melalui gawai. Masalah ini menjadi sangat rumit dan membutuhkan partisipasi dari seluruh ekosistem. Pasar membutuhkan pendidikan lebih lanjut, pemahaman produk serta tidak melanggar moral dasar.

Kabar baiknya, indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan di Indonesia mengalami peningkatan sejak 2019. OJK melaporkan nilai indeks literasi keuangan telah mencapai 38,03%, sedangkan indeks inklusi keuangan telah mencapai 76,19% pada tahun 2020.

Claudia juga menyebutkan bahwa banyak produk investasi menjadi lebih fluktuatif selama pandemi sehingga risiko meningkat. “Kami pikir sangat penting untuk dapat mengedukasi pengguna kami tentang risiko investasi, terutama ketika ada ketidakpastian ekonomi,” tambahnya.

Investasi bukan sekedar permainan. Mesipun terdengar menyenangkan, apakah Anda rela mempertaruhkan uang untuk bertahan hidup? Hanya karena sebagian besar kolega ‘heboh’ tentang industri yang sedang ramai. Investasi memang fundamental untuk mencapai kemandirian finansial. Namun, sangat penting untuk berinvestasi pada sesuatu yang dapat Anda pahami.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Women and Investment: The Essentials of Being Financially Independent

For one so-called reason, financial matters are often positioned as a male sole responsibility. As more women join the workforce today, the world is shifting towards gender equality even in the realms of investments. In this modern era, lots of women have been supporting [or at least making money] for their family or simply themselves. And now, they are planning their investments in order to be financially independent.

Based on the Global Gender Gap Report 2021 conducted by the World Economic Forum, Indonesia is said to close 68.8% of its overall gender gap, corresponding to a rank of 101st globally, although this year’s gap is 1.3 percentage points larger than in the previous edition.

This decline has resulted mainly from wider Economic Participation and Opportunity gaps. The reason is said to be the sharp drop in the share of women in senior roles. Beyond the performance of this indicator, women participate in the labor market significantly less than men (55.9% of women and 84% of men) and wage and income gaps remain large (69.7% and 51.7%, respectively). In addition, 81.8% of the women’s employment is in the informal sector (compared to 79.4% of men).

Claudia Kolonas is one of the few women founders in the Indonesian tech industry. She founded an investment platform, Pluang, with a goal to promote financial inclusion in Indonesia. As a woman in the fintech industry, it’s impossible to go through without facing any challenges. However, during her mission, Claudia tried to dodge all the negativity that blanketing her potential and put on the confidence as people might throw doubt for her as a woman leader.

Being a financially independent women

Based on the Women and Finance: The 2019 Rich Thinking Quantitative Survey by Barbara Steward, CFA, most women understand the importance of being financially independent. In the survey, more than 200 women from 24 countries were asked the most important reason why they invest, the second most popular answer was “to become more financially independent,” and occupying the top of the table, “fund my retirement.”

In a patriarchal-demand society such as Indonesia, women usually have less contribution in terms of financial support for the family. Especially when they’re married, the rule often applied that she’s become her husband’s responsibility. It may sound like a relief while in fact, the expression is kind of terrifying, to give up yourself in return for what? nobody can really guarantee anybody’s safety.

Claudia said, “I think that investment is very important for women. Because it is very important that women can be financially independent, especially if their husbands leave them. When women are married, these women usually have a greater burden of expenses, therefore, it is very important to save for emergency funds. This emergency fund will be very useful when there are unexpected events such as loss of work, etc.”

Financial independence is a critical theme for women. A financially empowered woman is not just more confident but also more productive and capable of a perfect work-life balance. This is one of the main factors that can measure the prospect of a woman’s success.

“The most important thing is to provide support for women, especially those engaged in a family, who want to break into the tech industry. It’s essential to have an equal platform to work for both men and women,” she added.

In terms of investing capabilities, studies also show that women spend more time researching their investment choices. And while they do take on less risk than men when it comes to investing, it doesn’t automatically translate into avoiding risk. Rather, they’re simply more likely to take on appropriate levels of risk with their investments than men. Both of these findings make for better investing outcomes.

Investing in a time of the pandemic

There are several common investment objectives in the public. Some people invest to ensure safety [post-retirement], generate income [for daily purposes], or gain revenue from their capital asset. In fact, investment platforms are harvesting amid this pandemic. Especially since people spending a lot more on the internet during WFH and investing gets easier as powered by technology.

In Indonesia, some platforms are existed to accommodate these objectives, including Investree, Pluang, Bibit, etc. It enables people to invest in gold, capital market, mutual funds, and many other forms of investment, easier through clicks.

Based on the Indonesian Central Securities Depository (KSEI), in the first four months of this year, the number of capital market investors increased 31,11% to a total of 5.08 million. Meanwhile, mutual fund investors increased 38.85 percent to 4.40 million investors.

Source: KSEI Investor Demography April 2021

The demography paper also implied that women are narrowing the investment gap to 38,45% with an estimated asset value of Rp208,84 trillion. This information is backed by the fact that Pluang, one of the leading investment platforms in Indonesia, claimed that the majority of its investor are women. Following the investment statistics and trends, the company also plans to add more products this year.

“This year, my personal focus is on the purchase of government debt products, such as SUN or ORI, as well as investing in mutual funds and also in state-owned bonds. In my opinion, there are still many opportunities to increase the value of fixed-income products in Indonesia, and the risks are quite moderate,” Claudia explained.

Despite all the convenience to plant money in the digital platform, the internet is not immune to fraud. There are several cases involving fraudulent investment that spreading across devices. This is a very complicated issue that requires the whole ecosystem to contribute. The market needs more education, to fathom the investment product and not to violate basic morals.

The good news, the financial literacy index and financial inclusion index in Indonesia had increased since 2019. OJK reported the value has reached 38.03% for the financial literacy index, while the financial inclusion index has reached 76.19% in 2020.

Claudia also mentioned that many investment products become more volatile during a pandemic, resulting in risk increases. “We think it is very important to be able to educate our users about investment risks, especially when there is economic uncertainty,” she added.

Investing is not a game. As fun as it sounds, will you bet the money you can’t afford to lose? Just because most of your colleagues are constantly bragging about the excitement of the market. Investment is indeed fundamental to reach financial independence. However, it’s very important to invest in something you can fathom.

Kepemimpinan Wanita dan Keberagaman dalam Industri Logistik yang Didominasi Pria

Sering dianggap sebagai ruang yang didominasi laki-laki, logistik sebenarnya memiliki peluang besar bagi perempuan sebagai pekerja. Industri ini sangat luas, meliputi proses fisik pengumpulan sumber daya, pengangkutan atau penempatan sumber daya tersebut menuju distribusi akhir. Namun, terkadang ada kerikil kecil ketika orang mencoba bergerak melawan kepercayaan utama dalam masyarakat. Ada bias gender yang tidak disadari yang menempel di pikiran untuk bertindak sesuai dan menahan niat sebenarnya dari ambisi seseorang.

Berdasarkan penelitian International Labour Organisation (ILO) bertajuk Breaking barriers: Unconscious gender bias in the workplace, bias gender yang tidak disadari diartikan sebagai asosiasi mental yang tidak disengaja dan otomatis berdasarkan gender, yang bersumber dari tradisi, norma, nilai, budaya, dan/atau pengalaman. Asosiasi otomatis dimasukkan ke dalam pengambilan keputusan, memungkinkan penilaian cepat terhadap individu menurut gender dan stereotipnya.

Seorang asisten profesor di Departemen Psikologi Universitas Denver yang juga penulis utama makalah tersebut, Daniel Storage mengamati, “Stereotip yang menggambarkan kecemerlangan sebagai sifat laki-laki cenderung menahan perempuan untuk mencapai berbagai karir bergengsi.”

Namun, tidak demikian halnya dengan Roolin Njotosetiadi. Sebagai salah satu dari sedikit mahasiswi di jurusan teknik mesin di Nanyang Technological University, tidak pernah menjadi masalah baginya untuk mendaki jenjang pendidikan yang setara dengan kelompok pria lainnya. Semangat dan upaya tanpa akhir inilah yang membawanya ke posisi C-Suite di salah satu perusahaan logistik terkemuka di Indonesia, Logisly.

Perempuan sebagai tenaga kerja

Secara global, wanita kerap kurang terwakili di perusahaan, dan partisipasi wanita kian menurun semakin menaiki hierarki perusahaan. Namun, banyak perusahaan telah menunjukkan komitmen mereka terhadap kesetaraan gender dengan menetapkan kebijakan yang ramah keluarga dan memfasilitasi karier dan jaringan profesional wanita. Misalnya cuti hamil dan fasilitas kantor lainnya seperti ruang menyusui dan lain sebagainya.

Namun demikian, bias gender yang tidak disadari terus berdampak pada perempuan di tempat kerja, dan lebih banyak yang harus dilakukan untuk memungkinkan perempuan yang sangat terampil untuk menempati posisi sebagai pemimpin. Seperti dikutip dari The Economic Times, pada 2010, perempuan hanya menyumbang delapan persen dari angkatan kerja logistik yang terus meningkat hingga 20 persen pada 2018.

Sejak ditetapkannya Raden Ajeng (RA) Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno tahun 1964, Indonesia telah mengalami perubahan sosial ekonomi dan pertumbuhan yang pesat dalam pencapaian pendidikan perempuan. Namun, selama periode ini, perempuan Indonesia hanya terlibat dalam pasar tenaga kerja, dengan rasio partisipasi angkatan kerja perempuan-laki-laki berada di sekitar 0,6, berdasarkan Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study oleh Cornell University ILR School.

Bagi Roolin, ada dua hal yang patut disoroti. Pertama, ini semua tentang persepsi, wanita tidak pernah bisa lebih pintar dari pria merupakan salah satu hal yang sangat salah. Kedua, ketika orang mulai membangun rumah tangga dan keluarga, mereka akan menghadapi beberapa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keseimbangan kehidupan kerja. Namun, karena ada kewajiban “kodrat” yang ditempelkan pada wanita untuk mengurus keluarga, terkadang hal itu menjadi 10 kali lebih sulit.

“Di Logisly, kami berusaha memberikan ruang aman bagi perempuan untuk membangun karir sekaligus mengampu tanggung jawab dalam rumah tangga. Dengan 40% karyawan kami adalah perempuan, saya pribadi ingin menciptakan lingkungan yang sehat bagi mereka untuk mengembangkan bakat mereka di bidang logistik ,” tambah Roolin.

Faktanya, industri teknologi Indonesia semakin mendapat dukungan dari kehadiran perempuan di dalam ekosistem. Ada juga beberapa inisiatif yang diluncurkan, misalnya gerakan non profit bertujuan untuk mendidik dan memberdayakan perempuan yang memiliki passion di bidang teknologi, Girls in Tech. Belum lagi program Elevate Women untuk memfasilitasi womenpreneur di industri kreatif.

Kehadiran perempuan di industri teknologi akan selalu dinantikan. Masalahnya, masih ada persepsi yang melekat di beberapa industri bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan laki-laki. Roolin juga menyebutkan bahwa banyaknya CEO pria di Indonesia bukan karena lingkungan yang tidak mendukung, namun terkadang wanita memiliki prasangka bawah sadar terhadap diri sendiri, yang menurut mereka kurang mampu. Faktanya, tidak seperti itu.

“Bergabunglah di meja! Jika Anda memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, lakukanlah! Jangan pernah berpikir bahwa Anda tidak pantas menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Tingkatkan kepercayaan diri Anda. Jika Anda berada di tempat itu, Anda berhak berada di sana,” pungkasnya.

Kebangkitan sektor logistik

Dengan naik turunnya kebijakan restriksi di awal krisis pandemi, alih-alih melambat, industri logistik mampu pulih dan berakselerasi, baik dari kinerja bisnis maupun penambahan modal yang dibuktikan dengan berita pendanaan terkini dari banyak pihak platform logistik lokal.

Secara keseluruhan, ada penurunan permintaan logistik di tahun lalu, namun beberapa sektor masih tumbuh. Logisly, sebagai salah satu pemain teknologi yang mencoba melakukan diversifikasi, karena beberapa sektor melemah, secara refleks mereka beralih ke pasar yang ramai. Karena pandemi menciptakan efek yang belum pernah terjadi sebelumnya, perusahaan berusaha mempertahankan arus kas. “Beruntung bagi kami, hal itu yang menjadi proposisi nilai kami untuk transporter,” tambah Roolin.

Roolin, melalui Logisly, sekarang berfokus pada tiga hal, memperluas jaringan dengan pengirim dan pengangkut menggunakan strategi flywheel untuk meningkatkan layanannya; meningkatkan operasi dengan otomatisasi yang tersedia yang didukung oleh teknologi terbaru, dengan model B2B, kinerja sangat penting. Mereka ingin membangun tidak hanya solusi teknologi, tetapi juga kepercayaan dari semua mitra untuk mengelola kinerja ujung-ke-ujung mereka; juga bertumbuh dalam hal pengembangan manusia. Logisly adalah perusahaan teknologi dengan aset ringan, karyawan menjadi aset utamanya.

“Kami melanjutkan upaya kami untuk tidak hanya merekrut orang-orang terbaik untuk bergabung dengan tim kami, tetapi juga memastikan tim kami benar-benar tumbuh bersama Logisly dan merasa bahwa mereka dapat melihat ini sebagai tempat di mana mereka dapat tumbuh dengan potensi terbaik mereka,” tambah Roolin. .

Berdasarkan riset Startus-insights, transformasi digital menyumbang €1,42 triliun investasi di bidang logistik pada tahun 2025. Namun, penetrasi platform digital di industri logistik masih cukup rendah, setidaknya itulah yang diamati Roolin. Dalam hal shipper, inilah saatnya meninggalkan cara pemesanan manual konvensional hingga semua faktur berbasis kertas. Banyak platform tersedia untuk mendukung transformasi digital. Selain itu, bagi transporter, akan lebih leluasa dalam mendapatkan pesanan. Dengan usaha seminimal mungkin, mereka dapat meningkatkan pemanfaatan truk dan pendapatan pokok. Bisnis akan lebih mulus dan sepenuhnya digital, biaya akan semakin berkurang. Namun, dengan semua dukungan otomatisasi yang ada, disrupsi harus selalu terjadi setiap hari di dalam diri masyarakat.

“Disrupsi di bidang logistik sangatlah luas dan ini hanyalah sebagian kecilnya,” tambahnya.

Logistik sebagai industri bersinggungan dengan banyak industri lainnya, terutama e-commerce. Di Logisly, setidaknya ada dua titik untuk menghubungkan titik-titik ke bidang e-commerce. Banyak dari operasinya yang last-mile, tetapi beberapa telah berinvestasi di gudang sendiri, dimana mereka membutuhkan armada yang lebih besar dari gudang ke gudang. Selain itu, pemain jarak jauh membutuhkan dukungan dengan hub mereka di kota-kota tertentu. Selain itu, pembayaran digital juga menjadi salah satu teknologi yang wajib diadopsi. “Sebagai perusahaan teknologi, kita perlu cepat beradaptasi dengan otomasi terbaru guna meningkatkan produktivitas dan kecepatan. Selama ini yang saya tahu, kuncinya logistik adalah kecepatan,” tambahnya.

Karena tenaga kerja adalah elemen penting dari setiap model operasi logistik, maka peluang besar tidak hanya bagi laki-laki tetapi juga bagi perempuan untuk bergabung dengan angkatan kerja, dan sektor logistik sekarang mendukung perempuan berbakat dan energik dengan menumbuhkan budaya di mana perempuan diberikan berbagai platform untuk mengembangkan dan merawat diri mereka sendiri. Banyak perusahaan telah mengambil langkah positif dengan memperkenalkan budaya aman dan berorientasi pada perempuan serta inisiatif keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance).

“Logistik berada dalam posisi untuk melayani semua pihak dengan barang sampai ke tujuannya. Ini melibatkan banyak orang dan mencakup semua bidang. Kami tidak dapat melakukan semuanya sendiri, oleh karena itu, kami membutuhkan mitra, untuk mengembangkan solusi hyperlocal-on-demand. Kuncinya adalah kolaborasi. Jika hanya satu yang membangun semuanya, kita tidak akan memiliki biaya yang cukup dan tidak akan ada cukup waktu,” jelas Roolin.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Champion Women Leadership and Diversity in a Male-Dominated Logistics Industry

Often considered as the male-dominated space, logistics actually holds a big opportunity for women in the workforce. It is a very broad industry, encompasses the physical process of accumulating resources, the transportation or positioning of those resources to the final distribution. However, sometimes it hits different when people move against the major beliefs in society. There’s unconscious gender bias that plastered the mind to act accordingly and hold back the true intention of one’s ambition.

Based on a research by International Labour Organization (ILO) titled Breaking barriers: Unconscious gender bias in the workplace, unconscious gender bias is defined as unintentional and automatic mental associations based on gender, stemming from traditions, norms, values, culture, and/or experience. Automatic associations feed into decision-making, enabling a quick assessment of an individual according to gender and gender stereotypes.

An assistant professor in the University of Denver’s Department of Psychology and the paper’s lead author, Daniel Storage observed, “Stereotypes that portray brilliance as a male trait are likely to hold women back across a wide range of prestigious careers.”

However, that is not the case for Roolin Njotosetiadi. As one of the few female students in mechanical engineering major of Nanyang Technological University, it is never been much of an issue for her to climb the educational ladder along with the other male group. The spirit and unconditional effort are what carried her to the C-Suite position at one of the leading logistics companies in Indonesia, Logisly.

Women in the workforce

Globally, women are underrepresented in corporations, and the share of women decreases with each step up the corporate hierarchy. However, many companies have shown their commitment to gender equality by establishing family-friendly policies and facilitating women’s careers and professional networks. For example, pregnancy leave and other office facilities such as nursing room and so on.

Nevertheless, unconscious gender bias continues to impact women in the workplace, and more must be done to enable highly skilled women to advance into leadership positions. As quoted from The Economic Times, in 2010, women formed only eight percent of the logistics workforce which has steadily increased to 20 percent in 2018.

Since the designation of Raden Ajeng (RA) Kartini as a National Independence Hero based on the Presidential Decree of President Soekarno in 1964, Indonesia has experienced socioeconomic change and rapid growth in women’s educational attainment. However, throughout this period, Indonesian women have remained only moderately engaged in the labor market, with the female-male labor force participation ratio hovering around 0.6, based on Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study by Cornell University ILR School.

For Roolin, there are two things that should be highlighted. First, it’s all about perception, women can never be smarter than men is a very wrong one. Second, as people starting a family, they will face some difficulty adjusting to the work-life balance. However, since there’s this naturalized obligation in women to take charge of the care of familyit sometimes becomes 10 times harder.

“In Logisly, we tried to provide a safe space for women to build a career while also having responsibility in a household. With 40% of our employees are women, I personally want to create a healthy environment for them to develop their talent in logistics,” Roolin added.

In fact, the Indonesian tech industry is getting more support from women’s presence in the field. There are also some initiatives launched, for example, non-profit aims to educate and empower women who are passionate about technology, Girls in Tech. Also, the recent one, Elevate Women program to facilitate womenpreneur in the creative industry.

Women’s presence in the tech industry will always be expected. The thing is, there’s still an inherent perception in some industries that women are less capable than men. Roolin also mentioned that the higher number of male CEO in Indonesia is not due to an unsupportive environment, but sometimes women have their own unconscious bias against themselves, that they think they’re less capable. In fact, they’re not.

“Sit at the table! If you have the opportunity to participate, do it! Don’t ever think that you don’t deserve to be part of something big. Boost your confidence. If you’re there, you deserve to be there.” She added.

The rise of logistics

With the ups and downs due to the restriction policy at the beginning of the pandemic crisis, instead of slowing down, the logistics industry was capable to recover and accelerate, both from its business performance and the additional capital as proven by recent funding news from many local logistics platforms.

Overall, there is a decline in logistics demand last year, but some of the sectors are still growing. Logisly as one of the tech players trying to make diversification, as some of the sectors lay low, they reflexively shifted into the crowded market.  As the pandemic creates unprecedented effects, companies are trying to sustain the cash flow. “Luckily for us, that is our value proposition for the transporter,” Roolin added.

Roolin, through Logisly, is now focused on three things, expanding network with shippers and transporters using the flywheel strategy in order to better its services; improving operations with available automation supported by the latest technology, with the B2B model, performance is essential. They want to build not only tech solutions, but also trust from all our partners to manage their end-to-end performance; growing in terms of people development. Logisly is an asset-light tech company, people are its main asset.

“We continue on our effort to not only recruit really good people to join our team but make sure the team we have actually grown with Logisly and feel that they can see this as a place where they can live to their fullest potential,” Roolin added.

Based on the Startus-insights research, Digital transformation accounts for €1.42 trillion investments in logistics by 2025. However, the digital platform penetration in the logistics industry is still quite low, at least, that is what Roolin observed. In terms of Shipper, it’s time to leave the conventional way of manual ordering to all the paper-based invoicing. Many platforms are available to support digital transformation. Also, for the transporter, it will be more flexible to get an order. With the minimum effort, they can increase truck utilization and basic income. The business will be more seamless and totally digital, cost will be less and less burdening. However, with all the support of all the existing automation, disruption should always happen every day within the people.

“Disruption in logistics is quite extensive and this is just the tip of the iceberg,” she added.

Logistics as an industry intersects with many other industries, especially e-commerce. In Logisly, there are at least two to connect the dots to the e-commerce field. Many of its operations are last-mile, but some are investing in its own warehouse where they need a bigger fleet from warehouse to warehouse. Also, the last-mile players need support with their hub in certain cities. In addition, digital payment is also one of the must-adopted technology. “As a tech company, we need to fastly adapt to the latest automation in order to increase productivity and speed. For as long as I know, the key of logistics is speed,” she added.

As labor is a critical element of any logistics operating model, it holds big opportunities not only for men but also for women to join the workforce and the logistics sector is now supporting talented and energetic women by fostering a culture where women are provided with a various platform to develop and groom themselves. Many companies have taken positive steps by introducing a safe and women-oriented culture as well as work–life balance initiatives.

“Logistics is in a position to serve all parties with goods to its destination. It involves many people and covers all areas. We can’t do everything on our own, therefore, we need partners, in order to develop the hyperlocal-on-demand solution. The key is collaboration. If one should build everything, we wouldn’t have enough cost and there wouldn’t be enough time,” Roolin said.

Mendukung Kesetaraan Gender di Ekosistem Startup

Tahun 2019 bisa dibilang merupakan tahunnya entrepreneur perempuan di Indonesia. Makin maraknya startup yang didirikan perempuan dan menyasar perempuan dan aliran dana segar investor mendukung pertumbuhan bisnis femtech. Ekosistem startup dianggap memberi keterbukaan dan peluang bagi perempuan untuk berkarya. Perlahan tapi pasti, kesetaraan gender di Indonesia terjadi di berbagai startup teknologi.

“Menerima perempuan sebagai pemimpin di perusahaan, bukan hanya tentang mencapai kesetaraan gender. Namun juga berpengaruh kepada hasil yang lebih baik. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa lingkungan pekerjaan yang beragam dan inklusif akan menjadi lebih produktif dan lebih bahagia daripada rekan-rekan mereka yang homogen,” kata Managing Director Digitaraya Nicole Yap.

Di edisi Kartini bulan ini, DailySocial mengupas tantangan dan cara cerdas para perempuan menyelesaikan tugas sambil mengurusi rumah tangga.

Teknologi membuka peluang

Menurut para pemimpin di industri, teknologi secara langsung membuka kesempatan bagi perempuan untuk memberikan kontribusi lebih kepada perusahaan. Menurut CFO Ovo Sharly Rungkat, jumlah perempuan yang bekerja di perusahaan teknologi mulai banyak jumlahnya. Tidak hanya mendirikan startup, para perempuan mulai menyasar lapangan pekerjaan yang sebelumnya banyak didominasi laki-laki.

“Saya melihat industri teknologi mungkin berkembang lebih cepat daripada industri lain dalam menerima pegawai tanpa memandang jenis kelaminnya. Secara pribadi, dari pengalaman bekerja saya di New York atau di Jakarta, saya cukup beruntung untuk dianggap oleh orang-orang yang bekerja sama dengan saya secara adil. Di Ovo, kami tentunya melakukan perekrutan berdasarkan pada meritokrasi. Saya melihat banyak pemimpin perempuan di organisasi kami yang dapat memiliki departemen sendiri tanpa memiliki perbedaan gender,” kata Sherly.

Meritokrasi juga diterapkan CEO Kotoko Cynthia Krisanti. Menurutnya saat ini perusahaan di industri teknologi telah mengadopsi atau bergerak menuju budaya meritokratis. Perusahaan-perusahaan tersebut telah memiliki rencana atau struktur kerja yang berorientasi pada tujuan dan penilaian kinerja berbasis kepada hasil kuantitatif.

Dengan menjadi meritokratis, perusahaan-perusahaan di industri teknologi dapat meminimalkan, jika tidak menghilangkan, bias gender di tempat kerja. Lingkungan kerja yang produktif sudah banyak diterapkan industri teknologi.

Langkah selanjutnya, yang bisa diambil oleh perempuan bekerja, adalah bisa lebih berani mengambil keputusan.

“Saya cukup beruntung mengalami kesetaraan gender sepanjang perjalanan karier saya di industri teknologi. Sebagai seorang pemimpin, saya harus siap untuk membuat keputusan yang tidak sempurna setiap hari, dan belajar darinya. Kesalahan tidak bisa dihindari, tetapi yang penting bagi para pemimpin adalah bagaimana mereka bereaksi terhadap kesalahan ini dan bangkit dengan lebih baik lagi,” kata Cynthia.

Keterbukaan dan peluang yang diberikan startup dirasakan benar oleh SVP Transport Marketing Gojek Monita Moerdani. Dirinya melihat lingkungan kerja yang mendukung dan apresiasi dari rekan kerja laki-laki sehingga mendorong suasana kerja lebih positif.

“Setidaknya di perusahaan teknologi tempat saya bekerja, inklusi perempuan adalah topik utama. Saya melihat upaya nyata dari perusahaan untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam hal kepemimpinan. Di saat yang sama mereka telah memberikan inspirasi kepada generasi muda perempuan menjajaki karier di bidang yang kurang populer di antara mereka [seperti engineering]. Saya pikir itu perlu dilakukan secara dua arah,” kata Monita.

Perusahaan juga perlu memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam proses perekrutan dan pengembangan karier. Mereka memastikan bahwa bidang yang saat ini didominasi laki-laki dapat menarik lebih banyak perempuan.

“Saya juga percaya bahwa industri teknologi adalah tempat di mana seseorang dapat dan harus dievaluasi berdasarkan kemampuannya. Karena itu, fakta bahwa Anda adalah laki-laki atau perempuan, seharusnya tidak relevan. Saya sungguh berharap saya berada di tempat saya sekarang karena saya memiliki kualifikasi dan keterampilan yang tepat untuk pekerjaan, bukan karena saya seorang woman engineer,” kata VP Engineering DANA Ignatia Suwarna.

Peranan sebagai mentor

Tidak hanya kemampuan menyelaraskan anggota tim, pemimpin perempuan di startup teknologi juga harus bisa menjadi mentor untuk memotivasi anggota tim mereka. Peranan tersebut dirasakan benar oleh Software Engineer Lead (Fintech) Tokopedia Vania Christie Chandra. Sebagai seorang Lead, dirinya diberikan kepercayaan membangun dan membekali talenta software engineer dengan perspektif dan keterampilan baru.

“Sebagai seorang mentor yang mengelola 15 talenta digital, saya terus berupaya mengetahui segala kebutuhan tim dari setiap aspek sekaligus memberikan dukungan penuh agar mereka terus berkarya lewat teknologi,” kata Vania.

Peranan sebagai mentor juga dirasakan Sharly yang selama ini bertanggung jawab mendukung pertumbuhan bisnis salah satu ekosistem digital terbesar di Indonesia. Dalam mengelola Ovo, Sharly harus menggabungkan semua strategi bisnis, proses peningkatan dan ketekunan keuangan untuk memastikan pertumbuhan OVO yang berkelanjutan. Mengelola faktor internal dan eksternal akan menjadi sangat penting untuk menjaga perusahaan tetap agile menyesuaikan kondisi ekonomi.

Tantangan terbesar yang masih banyak ditemui entrepreneur perempuan adalah minimnya jaringan. Tidak hanya di Indonesia namun juga secara regional. Dengan alasan itulah  Simona Accelerator diluncurkan pada tahun 2019 yang mempertemukan para entrepreneur perempuan di Indonesia dan regional. Agar lebih banyak perempuan terjun ke teknologi dan startup, Gojek juga memiliki program Gojek Xcelerate yang di salah satu batch-nya berkomitmen mengembangkan 10 startup terbaik oleh perempuan dari Indonesia dan Asia Pasifik.

Mengatur urusan keluarga dan pekerjaan

Salah satu kendala yang kerap dirasakan perempuan bekerja adalah menentukan prioritas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Mereka harus bisa mengelola semua tanggung jawab di rumah dan di kantor. Cara yang banyak diterapkan oleh mereka adalah berbagi tugas dengan suami dan tidak hanya membebankan urusan rumah tangga kepada satu pihak saja.

“Saya cukup beruntung bahwa saya bekerja di sebuah organisasi yang mendukung saya untuk berada di rumah hampir setiap hari ketika anak-anak saya kembali dari kegiatan sehari-hari. Sebelum mereka tidur, saya mencoba untuk memiliki kualitas dan waktu yang menyenangkan bersama mereka. Setelah mereka pergi tidur, saya kembali bekerja,” kata Ignatia.

Setiap orang memiliki keunikannya masing-masing. Yang perlu diperhatikan semua perempuan bekerja adalah tidak perlu khawatir metode pendekatan yang diterapkan untuk mengelola keluarga dan pekerjaan. Lakukan cara yang dianggap paling ideal sebagai istri dan seorang pimpinan di perusahaan.

“Saya pikir bukan hal yang mudah untuk menyeimbangkan karier dan keluarga. Namun, keuntungan yang dimiliki perempuan adalah kemampuan mereka menangani berbagai tugas. Tinggal di Indonesia pasti telah membantu dalam hal memiliki sistem pendukung. Secara pribadi kadang-kadang bisa cukup menantang. Sebagai profesional perempuan, saya pikir kita cenderung memikul tanggung jawab keluarga, rumah tangga, dan pekerjaan secara otomatis. Jadi bagi saya, memiliki hak bekerja dan lingkungan di rumah, dengan pasangan, tim, rekan kerja dan atasan yang mendukung menjadi kunci keberhasilan,” kata Sharly.

Hal yang sama juga dirasakan para perempuan yang sudah menikah dan belum memiliki anak. Kebebasan dan kesempatan untuk menentukan waktu yang ideal berkumpul bersama pasangan dan melanjutkan pekerjaan dirasakan benar selama menjadi pimpinan di startup.

“Secara pribadi, saya belum memiliki pengalaman sebagai orang tua. Saya sudah menikah tetapi belum memiliki anak. Untuk berbagi sedikit pengalaman pribadi, saya dan pasangan telah menyetujui pembagian tanggung jawab yang sama. Kami tidak percaya bahwa merawat rumah adalah hanya tugas istri. Oleh karena itu, bagi saya, dengan keluarga yang terdiri dari dua orang [hanya saya, suami saya, dan 2 anjing], tugas saya sebagai seorang istri cukup sederhana, work-life balance yang dapat dicapai,” kata Cynthia.

Bagi mereka yang masih lajang, fasilitas yang diberikan perusahaan menjadi motovasi tersendiri untuk bekerja. Salah satunya adalah ruang bermain dan penitipan anak saat ibu atau ayah mereka bekerja. Fasilitas ini sudah banyak ditawarkan startup, termasuk Tokopedia.

“Walau saya belum berkeluarga, yang bisa saya sampaikan bahwa selain memberikan fleksibilitas jam kantor dan berbagai fasilitas lainnya, Tokopedia telah menyediakan Kid’s Room yang memudahkan orang tua tetap dapat menikmati waktu berkualitas dengan anak sambil bekerja. Dengan berbagai inisiatif lainnya, harapannya Nakama [sebutan pegawai Tokopedia], baik yang juga berperan sebagai seorang ibu maupun ayah, dapat memenuhi kebutuhan yang beragam dengan menjalankan tanggung jawab karier maupun rumah tangga,” kata Vania.

Hal senada diungkapkan Monita yang melihat fasilitas lengkap di kantor bisa mendukung produktivitas perempuan bekerja. Meskipun belum memiliki pengalaman berkeluarga, dirinya melihat banyak rekan kerja di kantor yang merasakan benar keuntungan kebijakan dan fasilitas yang diberikan perusahaan.

“Saya bersyukur bahwa Gojek secara aktif memfasilitasi kebutuhan tersebut dengan menyediakan tempat penitipan anak untuk orang tua yang bekerja, di mana mereka bisa mendapatkan perawatan dan pendidikan yang tepat untuk anak-anak,” kata Monita.

Partisipasi Perempuan Masih Rendah di Industri Teknologi Indonesia

Tingkat partisipasi perempuan di dunia teknologi yang rendah masih menjadi isu di Indonesia. Meski banyak perusahaan teknologi yang tergolong sebagai startup berisi kalangan milenial yang melek teknologi dan terbilang memiliki kultur modern.

Diskusi panel “She Loves Tech” yang diadakan Cocowork pekan lalu (4/8), menghadirkan Co-Founder Impact Hub at Coworkinc Cynthia Hasan dan Chief Business Development Binar Academy Dheta Aisyah. Mereka saling berbagi tips untuk memulai karier di dunia teknologi dan kondisi terkininya.

Dheta Aisyah bercerita, ketimpangan peserta perempuan untuk kelas engineer di Binar Academy juga terjadi cukup tajam. Dari total peserta, peserta perempuan hanya sekitar 10%-15%. Masih banyak yang menganggap pekerjaan sebagai engineer terasosiasi dengan dunia khusus laki-laki karena erat kaitannya dengan unsur logika.

Padahal, menurutnya, hal tersebut juga berlaku untuk perempuan. Justru karena harus berpikir logis, perempuan punya naluri yang sangat baik untuk menyelesaikan masalah dan akan sangat berguna dalam coding.

“Di Binar Academy, salah satu lulusan terbaiknya justru dari perempuan. Ini menunjukkan bahwa perempuan punya insting yang baik untuk menyelesaikan masalah dan diterapkan saat coding,” ujar Dheta.

Cynthia mencontohkan, Alibaba sebagai perusahaan teknologi raksasa dari Tiongkok memiliki 49% karyawan perempuan dari total karyawannya. Menurut Jack Ma, saat menyaring karyawan yang masuk dirinya hanya melihat apakah setiap calon karyawan mampu melakukan suatu pekerjaan atau tidak, tanpa melihat status gender mereka.

“Pada dasarnya kembali ke diri masing-masing, apakah perempuan itu mampu berkecimpung di dunia teknologi. Enggak ada korelasinya sama sekali dunia teknologi itu isinya harus laki-laki semua.”

Untuk perempuan yang ingin memulai karirnya di dunia teknologi, Cynthia menekankan pada pentingnya mencari sosok mentor. Berikutnya belajar sebanyak-banyak dari mereka, mempraktikkan dalam kehidupan nyata. Bila gagal, ulang lagi dari awal dan begitu seterusnya.

“Usia 20-30 tahun adalah waktu untuk belajar dan buat kesalahan sebanyak-banyaknya. Lalu ketika sudah di usia 40 tahun harus sudah tahu apa yang bisa dilakukan menuju langkah sukses. Saat usia 50 tahun ke atas, saatnya give back dan jadi mentor untuk orang lain. Mentorship itu penting dalam perjalanan hidup seseorang.”

Selain itu, Cynthia juga menekankan kepada para perempuan untuk jadi pemimpin, minimal untuk dirinya sendiri. Apabila bukan tipe yang cocok untuk memimpin orang lain, tidak ada keharusan bagi perempuan untuk jadi sosok leader karena ini tidak bisa dipaksa.

“Bisa cari orang lain yang bisa gantikan kamu untuk jadi leader. Tidak apa-apa kalau memang bukan tipe yang ada di depan. Intinya harus jujur untuk mengakui kesalahan, karena semuanya bisa diperbaiki,” tutup Cynthia.

Riset iPrice tentang manajemen perusahaan e-commerce Indonesia

Kondisi yang dijabarkan Dheta dan Cynthia terpampang jelas dari hasil studi teranyar iPrice yang menganalisis soal partisipasi kedua gender di jajaran manajemen perusahaan e-commerce Indonesia. iPrice menghitung peranan laki-laki dan perempuan di tiga posisi manajemen teratas yakni Founder/Presiden Direktur, Direktur, dan Kepala Divisi/Manager.

Secara keseluruhan, partisipasi perempuan di posisi manajemen perusahaan e-commerce hanya sebesar 31%, sementara laki-laki 69%. Bila dilihat dari posisi manajerial, hanya 21% perempuan yang menduduki posisi Presiden Direktur, 21% posisi Direktur, dan 36% posisi Kepala Divisi/Manager.

Temuan ini menunjukkan kemiripan dengan riset berskala global. Bank Data Dunia menunjukkan pada posisi entry-level professional, perempuan sudah berada di angka 47%. Namun angka tersebut terus mengerucut untuk posisi manajemen tingkat menengah dan tingkat tinggi.

Pada manajemen tingkat menengah, perempuan hanya mencakup 20%, sedangkan pada manajemen tingkat tinggi hanya 5% yang menduduki posisi CEO dan 5% untuk posisi board members.

Lebih jauh, dari temuan iPrice, partisipasi perempuan di posisi manajemen perusahaan e-commerce Indonesia paling rendah se-Asia Tenggara. Filipina menjadi negara yang memiliki partisipasi perempuan di posisi manajemen tertinggi, yakni 55%, diikuti Malaysia (42%), Thailand (40%), Vietnam (37%), dan Singapura (34%).

Dari indeks World Economics Forum, Indonesia berada di posisi ke-10 dalam Indeks Kesenjangan Gender. Artinya Indonesia masih tertinggal dibanding negara berkembang lain seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand dalam kesetaraan gender. Rapor merah ini disebabkan oleh kecilnya partisipasi perempuan di lapangan kerja untuk posisi senior dan manajerial.

Fakta ini semestinya menjadi cukup sorotan, pasalnya berdasarkan studi dari Peterson Institute di tahun 2016 melakukan riset terhadap 21.980 perusahaan di 91 negara. Hasilnya adalah banyaknya kepemimpinan perempuan di manajemen perusahaan menghasilkan kenaikan profit tahunan 2,7% lebih tinggi dibanding mereka yang tidak.

Sektor e-commerce menjadi industri online yang berkembang sangat pesat di Indonesia. Survei Snapcart pada Januari 2018 lalu menunjukkan mayoritas konsumen belanja online adalah perempuan dengan jumlah mencapai 65%. Perempuan menjadi target konsumen yang paling potensial, namun posisi manajerial yang mengambil keputusan penting dalam strategi bisnis e-commerce masih didominasi laki-laki.

Mematahkan Persepsi Bias Eksistensi Wirausahawan Perempuan di Dunia Startup

Persoalan masih rendahnya jumlah entrepreneur perempuan di dunia teknologi hingga masih minimnya jumlah C-Level perempuan di startup menjadi sorotan yang dibahas tuntas dalam sesi diskusi yang digelar Alpha JWC Ventures.

Dalam kesempatan tersebut turut hadir nara sumber seperti, Grace Natalia (pendiri situs AsmaraKu), Dayu Dara Permata (SVP GO-JEK, Head of GO-LIFE), Sonia Barquin (Partner, McKinsey&Company), dan Alyssa Maharani (Google Launchpad Accelerator Startup Success Manager) untuk membahas keseimbangan hidup dan karier, bagaimana mendapatkan dukungan untuk maju, hingga bagaimana cara membawa diri di lingkungan kerja yang didominasi laki-laki.

Di hadapan tamu undangan yang kebanyakan adalah mahasiswa dan pelaku startup kalangan perempuan, terungkap bahwa kurangnya kepercayaan diri dan masih belum banyaknya jumlah entrepreneur perempuan yang berhasil menjadi alasan mengapa belum banyak jumlah entrepreneur perempuan di dunia teknologi saat ini.

Keterbatasan dan persepsi yang miring

Dalam sesi diskusi tersebut para nara sumber menjabarkan beberapa tips menarik hingga pengalaman bekerja selama ini. Catatan menarik yang kemudian disimpulkan adalah masih adanya persepsi miring hingga bias di kalangan masyarakat umum yang menyebutkan perempuan tidak memiliki keseimbangan emosi yang baik hingga prioritas perempuan yang pada akhirnya harus kembali menjadi ibu rumah tangga.

Meskipun persoalan tersebut dibantah narasumber yang hadir, namun sulit untuk meyakinkan rekan kerja hingga pihak terkait lainnya (yang kebanyakan adalah kalangan laki-laki) untuk kemudian menempatkan posisi perempuan lebih baik dan memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan rekan kerja laki-laki pada umumnya.

Menurut Dayu Dara Permata, penting bagi calon entrepreneur perempuan untuk menciptakan pencitraan atau branding yang kuat, sebagai entrepreneur perempuan. Selain itu penting juga untuk membangun jaringan yang solid dengan entrepreneur perempuan lainnya.

Sementara itu menurut Grace Natalia, jangan pernah takut untuk mengungkapkan perasaan dan pemikiran kepada atasan, sampaikan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki agar bisa menemukan work life balance yang seimbang.

Kurangnya tokoh entrepreneur perempuan sukses

Meskipun saat ini sudah banyak pendiri startup hingga CEO perempuan, namun belum banyak di antara mereka yang kemudian berhasil memimpin startup. Hal tersebut yang kemudian diklaim Dayu jadi alasan mengapa tidak banyak kemudian perempuan yang tertarik untuk terjun ke dunia teknologi.

“Kurangnya role model tersebut yang pada akhirnya membuat kebanyakan perempuan enggan untuk terjun ke dunia teknologi dan menjalankan bisnis.”

Dalam survei yang dikeluarkan Linkedin disebutkan saat ini jumlah C-Level yang berasal dari kalangan perempuan berjumlah sekitar 17% saja, dibandingkan dengan kalangan laki-laki. Sementara untuk posisi manager hanya 30%, senior manager 27%, VP 25%, SVP 20%. Selebihnya untuk entry level dari kalangan perempuan berjumlah 36%.

Untuk bisa tampil lebih unggul dibandingkan dengan kalangan laki-laki, menurut Alyssa Maharani, perempuan harus memiliki sponsor, dalam hal ini adalah atasan atau senior yang telah memiliki posisi penting di perusahaan namun melihat besarnya potensi atau kemampuan dari Anda, perempuan bekerja atau entrepreneur. Dengan demikian mereka bisa memperjuangkan posisi Anda untuk selangkah lebih maju.

Jika di perusahaan saat ini Anda kesulitan untuk menemukan sponsor atau mentor tersebut, carilah di tempat atau lingkungan lain, seperti yang diungkapkan Sonia Barquin.

Tuntutan komitmen dari investor

Dalam sesi diskusi tersebut turut dibahas survei Google yang menyebutkan kebanyakan investor lebih tertarik untuk mendengarkan pitching dari pendiri startup laki-laki dibandingkan dengan pendiri perempuan, meskipun konten pitching tersebut adalah sama. Selain itu masalah komitmen juga dipertanyakan investor, jika startup yang ada memiliki CEO perempuan.

“Saya melihat investor hanya ingin melihat seberapa baik komitmen dari CEO perempuan. Mereka khawatir kalangan perempuan kemudian sibuk dengan urusan rumah tangga mereka sehingga meninggalkan komitmen awal, menjadi pemimpin di startup,” kata Grace.

Untuk bisa mematahkan persepsi tersebut, entrepreneur perempuan harus bisa memberikan komitmen yang terbaik kepada investor, dengan cara menentukan prioritas saat waktunya mengambil keputusan yang tepat.

“Selama ini perempuan sudah menjadi decision maker di rumah tangga mereka. Hal tersebut tentunya bisa diterapkan saat menjalankan perusahaan,” kata Dayu.

Selama menjalankan profesinya sebagai Google Launchpad Accelerator Startup Success Manager, Alyssa melihat sudah banyak startup yang mendapatkan revenue yang lebih berkat sentuhan jajaran pimpinan hingga CEO perempuan.

Di akhir sesi diskusi, saran narasumber tentang hal-hal yang harus dilakukan dan wajib untuk dihindari operempuan bekerja dan entrepreneur perempuan saat menjalankan bisnis adalah hilangkan keraguan, jangan takut gagal dan temukan support system, bisa menjadi tempat mengadu sekaligus mendapatkan motivasi saat mendapat tantangan ketika memimpin startup atau bekerja di startup.

Empat Hal yang Wajib Diperhatikan Perempuan Sebelum Bekerja di Startup

Saat ini sudah banyak perempuan yang tertarik untuk bekerja di startup. Apakah untuk mengisi posisi jajaran engineer, pemasaran hingga tim media sosial. Meskipun dominasi tetap ada di kalangan pria, namun dunia startup menawarkan banyak kemudahan dan tentunya suasana kerja yang dinamis, cocok untuk Anda perempuan Indonesia yang ingin bekerja di startup.

Artikel berikut ini akan mengupas 4 hal yang wajib diketahui oleh perempuan, jika tertarik untuk bekerja di startup.

Kultur startup

Saat ini sudah banyak startup yang menerapkan kultur startup di kalangan internal. Hal tersebut memang banyak dianjurkan oleh para pakar hingga praktisi dan penggiat startup. Selain mampu menerapkan kerangka dan struktur perusahaan yang tepat, kultur perusahaan juga bisa menempatkan para pegawai hal-hal yang wajib dilakukan dan dihindari. Jika Anda perempuan tertarik untuk bekerja di sebuah startup baru atau yang sudah establish, baiknya cermati dulu kultur dari startup tersebut. Hal ini penting dilakukan, untuk memastikan karakter dan kebiasaan Anda, apakah cocok dengan kultur startup yang diincar atau tidak.

Perhatikan latar belakang dan berita terkini tentang startup

Cara lain yang wajib dilakukan adalah dengan melakukan pengecekan secara menyeluruh kondisi keuangan dan berapa banyak nilai dari startup yang Anda incar. Jangan hanya tergoda dengan fasilitas, kantor yang terlihat keren dan hip, namun ternyata tidak cukup mampu menghasilkan profit. Idealnya startup yang sehat adalah startup yang memiliki organisasi dan keuangan yang baik, sehingga Anda sebagai pegawai nantinya bisa merasa nyaman dan aman bekerja di startup tersebut.

Usia dan pengalaman dari CEO

Kebanyakan CEO dan pendiri startup adalah pria yang masih berusia muda. Meskipun terbukti sudah banyak startup yang berawal dari pengalaman minim serta usia belia dari CEO namun bisa sukses dan menjadi perusahaan besar saat ini (Facebook, Snapchat, Airbnb), namun hal tersebut bisa juga menyebabkan startup tidak bisa berjalan dengan baik, karena kurangnya pengalaman dari CEO. Untuk itu cari tahu lebih mendalam pengalaman, visi dan misi serta strategi yang dimiliki oleh CEO muda di startup yang Anda incar. Jika mereka mampu memperlihatkan potensi dan peluang yang ada, bisa dipastikan startup akan tumbuh dengan baik.

Perempuan di jajaran manajemen

Sebagai perempuan tentunya Anda bisa menilai secara langsung, kultur serta kebiasaan yang ada pada startup dari jajaran manajemen atau supervisor. Jika di startup tersebut tidak memiliki perempuan yang memegang peranan penting, bisa dipastikan startup tersebut kurang menghargai atau memerlukan peranan perempuan untuk memegang posisi kunci. Hal ini tentunya bisa menjadi penilaian yang krusial bagi Anda perempuan muda, yang berencana untuk bekerja di startup tersebut.