Siapa CEO Perempuan di Balik Beauty Startup Indonesia?

Beberapa tahun terakhir industri kecantikan di Indonesia cukup naik daun. Industri kecantikan juga identik dengan perempuan. Walau tidak dipungkiri laki-laki juga bisa mengambil peran dalam industri ini. Namun, apakah kamu tahu beauty startup kenamaan Indonesia memiliki CEO perempuan?

Ya, saat ini sudah banyak perempuan yang bisa mengambil posisi tinggi dalam sebuah perusahaan. Apalagi dengan hadirnya industri kecantikan, yang membuat startup beauty tech, beauty product lokal, dan komunitas kecantikan kembali naik dan bersaing.

Siapa saja CEO perempuan di balik beauty startup Indonesia? Yuk, simak artikel berikut!

CEO Perempuan di Beauty Startup Indonesia

Chief of executive atau yang lebih sering disebut sebagai CEO adalah posisi tertinggi di sebuah perusahaan rintisan atau startup yang memiliki tanggung jawab untuk menjalankan visi dan misi perusahaan dan juga mengawasi operasionalnya.

Namun, saat ini posisi CEO sudah tidak lagi diisi dengan laki-laki, karena perempuan juga bisa mengembangkan karirnya di posisi chief executive, terutama dalam beauty startup yang sebagian besar masih identik dengan perempuan.

Berikut adalah CEO perempuan di beauty startup yang wajib kamu ketahui!

1. Hanifa Ambadar

Female Daily, salah satu forum wanita yang cukup besar di Indonesia. Kamu juga pasti sudah tidak asing lagi dengan Female Daily. Beautytech ini sudah hadir sejak 2005 di mana saat itu masih berbasis blog. Namun, sekarang Female Daily sudah memiliki aplikasi dan beauty studio dengan 50 juta pengikut dengan 4 juta unique user per bulannya.

Pertumbuhan Female Daily juga tidak lain adanya campur tangan dari Hanifa Ambadar yang memulainya dari sebuah blog untuk berbagi review terkait produk kecantikan, dari sekadar hobi menulis blog hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat blog nya lebih profesional dengan membeli domain dan berkolaborasi dengan Affi Assegaf yang juga seorang blogger.

2. Sreejita Deb

Sreejita Deb adalah founder sekaligus CEO Raena platform reseller produk kecantikan. Dengan gelar MBA dari Harvard Business School dan pengalamannya bekerja di perusahaan raksasa seperti Google, Amazon, dan juga InMobi, Deb memutuskan untuk mendirikan bisnis berbasis sosial commerce di tahun 2018.

Awalnya Deb ingin membuka bisnisnya di dua negara yaitu India dan Indonesia, hal ini karena kedua negara tersebut memiliki jumlah penduduk pengakses media sosial yang besar. Namun, setelah riset terkait penggunaan Instagram dan pengguna media sosial wanita lebih banyak akhirnya ia memilih untuk membukanya di Indonesia.

Raena sendiri akhirnya tercetus di tahun 2019 setelah berganti nama dari bisnis sebelumnya dan memiliki kantor pusat di Singapura, Raena juga sudah memiliki investor dari berbagai nama dan juga ia bekerja sama dengan beauty influencer yaitu Moonella Sunshine Jo.

Kemudian, dengan kerjasama tersebut Raena dan keluarga Jo merilis produk orisinal mereka dengan merk Lalabee.

3. Yaumi Fauziah

Mungkin kamu sudah tidak asing lagi dengan Base, startup produk kecantikan dan wellness direct-to-consumer (DTC). Pendiri dan CEO Base adalah Yaumi Fauziah yang juga eks Head of Marketing Gojek.

Awal mula munculnya Base adalah sebagai situs blog perawatan kulit pada tahun 2017 dan dimulai dari saat itu juga Yaumi aktif untuk berinteraksi dengan anggota komunitas di akun media sosialnya.

Kemudian, akhirnya Base bertransformasi menjadi situs e-commerce dan akhirnya meluncurkan produknya sendiri yaitu rangkaian produk kecantikan yang disesuaikan secara personal dengan kondisi kulit penggunanya. Base juga menggunakan teknologi eksklusif yaitu Smart Skin Test.

Saat ini Base sudah mendapatkan pendanaan pra-seri A yang didapatkan dari berbagai investor lama, investor baru, dan juga angel investor 

Dari ketiga CEO perempuan di atas menunjukkan bila perempuan juga bisa mengisi posisi tertinggi. Kamu juga bisa menjadi seperti mereka karena faktanya potensi kecantikan di Indonesia cukup tinggi mencapai $3 miliar.

Monika Rudijono Membangun Karier: Ingin Menjadi “Role Model” untuk Putri Tercinta

Perjalanan karier yang dinamis membawa Monika Rudijono dikenal di komunitas startup dan tech scene Indonesia. Berawal dari seorang Account Executive di sebuah advertising agency, kini ia menempati posisi bergengsi sebagai Managing Director di platform OTT lokal terbesar di Indonesia, Vidio.

Sebagai ibu rumah tangga, pengalaman bekerja dan kesibukannya saat ini diklaim tidak mengganggu rutinitas sehari-harinya. Bersama Vidio, Monika ingin memberikan kontribusi terbaik dengan empowering tim agar menjadi lebih baik.

Kepada DailySocial, Monika menceritakan suka duka perjalanan kariernya dan harapan yang ingin ia sampaikan kepada generasi muda perempuan dan tentunya anak-anak tercinta.

Belajar banyak dari agency

Selama 20 tahun Monika bekerja di advertising agency ternama. Dinamika agency yang cenderung fast-paced dan sarat dengan perubahan secara cepat, memberikan kebiasaan positif. Ia menjabarkan, demi memenuhi kebutuhan dan permintaan klien, ia harus bisa beradaptasi dan bekerja dengan tim yang besar jumlahnya. Tim kreatif, produksi, dan lainnya memiliki goal yang sama, yaitu memberikan layanan dan advise yang relevan kepada brand yang menjadi klien.

“Jadi tanpa disadari dalam waku 20 tahun itu juga membuat saya lebih mengerti karakter orang yang berbeda, karena di agency tidak ada output produk yang kita berikan, namun lebih kepada strategi dan kreativitas serta ide. Saat bekerja dengan banyak orang, saya melihat talent is the biggest asset,” kata Monika.

Menurut Monika, kebiasaan tersebut telah membuatnya bisa berpikir dengan cepat dan mengambil keputusan terbaik dalam kurun waktu yang singkat. Bekerja di bawah tekanan dan multitasking merupakan skill set yang dipelajari saat di agency.

Lepas dari agency, Monika memutuskan mengambil kesempatan bekerja di Uber. Meskipun hanya 7 bulan, ia mengklaim belajar banyak saat bergabung dengan perusahaan teknologi asal Amerika Serikat tersebut.

Kehadiran Uber di Indonesia telah mendisrupsi layanan transportasi di Indonesia, meski akhirnya perusahaan harus bersinergi dengan Grab di Asia Tenggara. Meskipun mengaku banyak tanggung jawab dan pekerjaan yang dibebankan sebagai President Uber untuk Indonesia, berkat pengalamannya bekerja di agency dirinya merasa tidak kaget.

“Demikian juga ketika saya akhirnya memutuskan untuk menempati posisi sebagai CMO di Lazada. Saya selalu percaya membangun tim dan individual menjadi penting. Pengalaman saya bekerja di agency juga telah mendidik saya untuk bisa mengelola ekspektasi. Bagi saya apa yang sudah saya lakukan di masa lalu, telah membawa kepada posisi saya saat ini,” kata Monika.

Tumbuh bersama Vidio

Monika Rudijono dengan posisi barunya sebagai Managing Director Vidio / Vidio

Ada beberapa alasan mengapa akhirnya Monika memutuskan bergabung dengan Vidio. Selain besarnya kemungkinan untuk berkontribusi sebagai perusahaan multinasional yang dimiliki Emtek, Monika melihat potensi yang sangat besar di platform ini. Meskipun mengaku masih mempelajari seluk beluk dunia OTT, dengan pengalamannya berkarier di perusahaan sebelumnya Monika yakin bisa memberikan yang terbaik.

“Sebagai Managing Director, tugas saya lebih kepada mengamati dari sudut helicopter view. Dengan memberikan improvement dalam skala kecil bisa terus tumbuh menjadi besar dan tentunya memberikan hasil yang positif,” kata Monika.

Dirinya cukup percaya diri dalam jangka waktu pendek bisa memberikan strategi dan arahan di kegiatan pemasaran. Namun, dalam skala yang lebih besar, Monika juga ingin lebih banyak terlibat dalam people development. Ia percaya talenta yang tepat bisa membawa perusahaan lebih besar lagi.

“Dari sisi inovasi bisa dipastikan Vidio akan terus tumbuh dengan original series-nya. Demikian juga dengan konten olahraga dan Fantasy Team. Kami mengetahui dengan benar seperti apa kesukaan dari pengguna di Indonesia. Kami juga telah meluncurkan sinetron dalam beberapa episode yang hanya bisa dinikmati di platform Vidio,” kata Monika.

Cita-cita membangun negeri

Bagi Monika, karier yang dilakukan harus berharga dan memiliki nilai. Apakah itu dari sisi remunerasi yang sesuai atau ilmu/wawasan yang bisa didapatkan dari perusahaan tersebut. Juga bagaimana memberikan kontribusi dan impact kepada perusahaan.

“Saat saya kuliah dulu di luar negeri, saya memiliki cita-cita untuk kembali ke Indonesia dan membangun negeri. Saat ini, ketika saya telah memiliki 4 anak perempuan, apa yang saya lakukan diharapkan bisa menjadi role model bagi mereka dan membuktikan anything is possible,” kata Monika.

Salah satu kekuatan yang dimiliki Monika adalah dukungan yang diberikan oleh sang ayah dan suami tercinta. Kedua figur tersebut memberikan rasa percaya diri dan keyakinan untuk bisa berkarier hingga saat ini. Hal tersebut yang menjadi pegangan saat memperoleh tanggung jawab di berbagai perusahaan.

Meskipun begitu, ia menyadari tidak semua perempuan Indonesia bisa mendapatkan kebebasan dan kesempatan memperluas wawasan dan membangun karier seperti dirinya.

“Sejak dulu ayah saya selalu mengatakan apa pun yang saya lakukan jangan pernah menjadi hambatan hanya karena saya seorang perempuan. Apapun yang ingin saya lakukan jika fokus pastinya akan tercapai. Hal tersebut yang kemudian menjadi motivasi saya saat berkarier,” kata Monika.

Tidak bisa dipungkiri dunia teknologi dan komunitas startup saat ini masih didominasi pemimpin laki-laki. Monika tidak pernah melihat hal tersebut sebagai tantangan.

“Hingga saat ini masih banyak perempuan muda yang bertanya kepada saya bagaimana saya mampu menyeimbangkan antara karier dengan rumah tangga. Artinya hingga saat ini masih ada tekanan di kalangan perempuan untuk menuruti permintaan suami, orang tua, dan orang terdekat lainnya. Saya cukup beruntung dikeliling oleh support system yang mendukung saya selama ini,” kata Monika.

10 Startup “Femtech” Berpotensi di Indonesia

Riset yang dilakukan Frost & Sullivan menyebutkan female technology (femtech) secara global bisa menjadi pasar bernilai $50 miliar hingga tahun 2025 mendatang. Femtech bisa berarti bisnis yang didirikan oleh perempuan dan kebanyakan menyasar kebutuhan khusus untuk kalangan perempuan.

Di Indonesia sendiri, perlahan tapi pasti, sudah mulai banyak startup yang didirikan perempuan. Beberapa startup di antaranya diprediksi bakal meluncur mulus dalam waktu 2 hingga 3 tahun ke depan, termasuk yang menyasar produk kecantikan, layanan e-commerce dan marketplace fashion, kebutuhan produk segar, dan makanan dan keperluan bayi.

Menyambut peringatan hari Kartini bulan April ini, berikut adalah rangkuman 10 startup yang didirikan dan dipimpin perempuan dan menyediakan layanan dan produk untuk perempuan Indonesia.

1. Base

CEO Base Yaumi F. Sugiharta
CEO Base Yaumi F. Sugiharta

Base adalah layanan e-commerce kecantikan yang memberikan rekomendasi produk berdasarkan kondisi kulit pengguna. Rekomendasi akan muncul setelah konsumen mengisi seluruh pertanyaan yang ditanyakan. Startup ini didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari.

Seluruh produk kecantikan Base diproduksi sendiri. Akhir tahun 2019 lalu startup produk kecantikan berbasis metode direct-to-consumer (DTC) ini mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures dan Skystar Capital.

“Industri kecantikan di Indonesia saat ini sedang tumbuh dengan cepat. Hal tersebut terjadi seiring dengan berkembangnya kebutuhan konsumen dan juga kemajuan teknologi. Dengan mudahnya akses informasi dan jual beli produk dari luar negeri, saat ini konsumen memiliki demand produk dengan kualitas tinggi. Fenomena tersebut mendorong para pemain industri kecantikan untuk meningkatkan standar kualitas produknya. Audiens Gen Z dan juga milenial adalah segmen yang dapat kami kategorikan sebagai smart buyer, ingin mengenal dengan cermat tentang produk yang mereka gunakan dan terliterasi dengan baik,” kata Yaumi.

Tahun 2020 ini Base memiliki target pengembangan produk baru sesuai dengan masukan konsumen dan mengenalkan brand serta edukasi kepada audiens yang lebih luas. Perusahaan juga akan melakukan penyempurnaan teknologi untuk mengoptimalkan analisis data menggunakan Artificial Intelligence, yang kemudian digunakan untuk pengembangan produk dan strategi pengembangan perusahaan.

2. Sayurbox

CEO Sayurbox Amanda Cole
CEO Sayurbox Amanda Susanti Cole

Sayurbox hadir mencoba memenuhi kebutuhan buah segar dan produk sayuran berkualitas kepada warga ibukota. Platform online ini menyediakan bahan segar dan produk sehat berkualitas dari petani dan produsen lokal Indonesia. Sayurbox awalnya didirikan Amanda Susanti Cole dan Rama Notowidigdo, kemudian Metha Trisnawati bergabung ke tim sebagai COO.

Sayurbox mengusung konsep bisnis farm-to-table yang memungkinkan konsumen mendapatkan berbagai bahan segar dan produk berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal. Sayurbox merupakan salah satu startup yang telah menerima beberapa putaran pendanaan, termasuk dari Patamar Capital di tahun 2018 dan kemungkinan Tokopedia tahun lalu.

3. Love and flair

Co-founder & CEO LOVE AND FLAIR Emily Jaury
Co-founder & CEO LOVE AND FLAIR Emily Jaury

Didirikan oleh Emily Jaury, Love and Flair merupakan layanan e-commerce multibrand yang dikurasi untuk perempuan Indonesia. Dengan menerapkan bisnis berorientasi konsumen, semua masukan dari konsumen menjadi fokus perusahaan. Selain bisa diakses secara online, Love and Flair juga telah memiliki toko permanen di mall terkemuka Jakarta.

Tahun 2018 lalu Love and Flair tergabung dalam program akselerator besutan Gojek dan Digitaraya, Gojek Xcelerate batch kedua, yang fokus ke startup karya founder perempuan Indonesia dan Asia Pasifik.

4. Kotoko

CEO Kotoko Cynthia Krisanti
CEO Kotoko Cynthia Krisanti

Didirikan di Singapura tahun 2019 lalu oleh Cynthia Krisanti, Kotoko adalah startup di bidang ritel dan teknologi yang menyediakan ekosistem online dan offline bagi brand-brand independen, termasuk DTC, di Indonesia untuk memasarkan produk-produk mereka ke lebih banyak konsumen. Perusahaan mendapatkan dana awal dari Antler.

Saat ini Kotoko telah memiliki sekitar 60 brand independen ternama dengan jumlah kumulatif 1 juta pengikut di Instagram. Perusahaan telah membuka multibrand store pertama di Plaza Indonesia dan mempersiapkan ekspansi ke kota-kota besar di luar Jabodetabek, seperti Bandung, Surabaya, Makassar, dan Bali.

5. Gigel

Co-founder Gigel Putri Arinda
Co-founder Gigel Putri Arinda

Gigel didirikan oleh pasangan suami istri Putri Arinda dan Muhammad Syahdani. Platform ini berisi penyewaan produk yang banyak dibutuhkan pasangan muda yang baru memiliki anak, seperti stroller, mainan, dan lain-lain.

Awal tahun ini Gigel gencar mengembangkan cakupan layanan dan model bisnis marketplace penyewaannya. Tidak hanya produk untuk bayi, pengguna bisa menyewa barang seperti winter jacket, koper untuk wisata, atau kamera. Gigel mengklaim telah memiliki sekitar 500 mitra dan 15 ribu pengguna aktif. Masih terbatas di kawasan Jabodetabek, tahun ini Gigel memiliki rencana untuk memperluas layanan ke kota-kota besar lainnya.

“Saat ini kami telah memiliki angel investor dan belum berencana untuk melakukan penggalangan dana. Masih fokus kepada traksi dan melayani lebih banyak pengguna. Diharapkan tahun ini kami juga bisa menambah pilihan produk untuk pengguna,” kata Arinda.

6. Rata

CMO RATA Drg. Deviana Maria A
CMO RATA drg. Deviana Maria A

Startup Rata didirikan oleh drg. Edward Makmur, Danny Limanto, Jason Wahono, dan drg. Deviana Maria A untuk mengatasi permasalahan estetika gigi yang dibantu teknologi artificial intelligence.

“Kami ingin menciptakan clear aligner yang bisa dijangkau semua orang, dan pastinya much better than using braces. Permasalahan seperti kawat gigi yang menusuk, harus datang ke klinik dental secara rutin dan mengganggu penampilan yang pada akhirnya membuat orang menjadikan permasalahan estetika gigi kebutuhan kesekian,” ujar Deviana.

Mendapat investasi dari Alpha JWC Ventures, Rata juga memberikan kesempatan konsultasi online secara gratis dan melakukan engagement langsung memanfaatkan media sosial.

7. Bubays

CPO Bubays Ifatul Khasanah
CPO Bubays Ifatul Khasanah

Bubays didirikan oleh pasangan suami istri Ifatul Khasanah dan Muhammad Faiz Ghifari. Platform ini menjual produk makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Ide pengembangan usaha tersebut muncul ketika founder mengikuti program startup generator Antler di Singapura. Bubays juga sudah membukukan pre-seed funding dari Antler senilai 1,5 miliar Rupiah.

Bubays menghadirkan makanan bayi sehat untuk keluarga muda di Indonesia, yang bisa diantar hingga ke rumah. Platform ini memastikan makanan yang dibuat dengan bahan-bahan segar, lezat, dan bernutrisi tinggi yang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi. Platform ini memungkinkan pengguna untuk secara khusus memesan makanan bayi mereka berdasarkan usia bayi, alergi, dan juga membantu melacak tumbuh kembang bayi mereka.

Saat ini cakupan pangsa pasar Bubays baru di seputar Jabodetabek.

8. Greenly

Co-founder Greenly Liana Gonta Widjaja
Co-founder Greenly Liana Gonta Widjaja

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah sarjana di bidang nutritional science, dietetics, dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi kesehatan.

Konsep new retail yang diadopsi Greenly menawarkan aneka makanan dan minuman sehat. Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

Memasuki tahun keduanya, Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk menginovasi produk, pengembangan teknologi, dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

9. Style Theory

Co-founder dan COO Style Theory Raena Lim
Co-founder dan COO Style Theory Raena Lim

Diluncurkan pada 2016 di Singapura oleh Raena Lim dan Chris Halim, platform penyewaan produk fesyen Style Theory hadir menawarkan opsi penyewaan lebih dari 50 ribu koleksi busana yang dapat diakses melalui aplikasi. Perusahaan menawarkan langganan bulanan dan resmi hadir di Indonesia sejak tahun 2017 lalu. Perusahaan ingin mengurangi konsumsi busana (dalam bentuk pembelian) di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya diharapkan berpengaruh ke lingkungan.

Saat ini Style Theory telah memiliki lebih dari 13 ribu pengguna yang tersebar di Indonesia, Singapura, hingga Hong Kong. Awal bulan Desember lalu Style Theory mengantongi pendanaan putaran Seri B yang dipimpin SoftBank Ventures Asia.

10. Woobiz

Co-founder Woobiz Putri Noor Shaqina / SWA
Co-founder Woobiz Putri Noor Shaqina / Photo credit : SWA

Woobiz didirikan oleh Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018. Platform ini menawarkan akses teknologi bagi para perempuan Indonesia untuk bisa menjadi pengusaha mikro. Salah satunya adalah menghubungkan mitra, yang kebanyakan ibu rumah tangga, dengan brand. Woobiz mengklaim bisnis yang dijalankan, sebagai social commerce, memiliki misi untuk memberdayakan perempuan Indonesia, khususnya ibu rumah tangga, agar bisa meningkatkan kualitas hidup serta mandiri secara finansial.

“Dalam ekosistem kita, mitra atau user akan berjualan menggunakan channel social neighbourhood community dan kita dukung dengan fitur untuk social sharing secara online,” kata Chief Growth and Marketing Woobiz Putri Noor Shaqina.

Dari sisi pendanaan, Woobiz telah mendapatkan pendanaan sejak akhir tahun 2018. Untuk monetisasi bisnis, pihaknya mengaku juga mendapat bagian dari produk yang berhasil didistribusikan. Sejauh ini, mereka telah bekerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai infrastruktur logistik.

“Ke depannya, kita berencana untuk memperkuat sendiri, membangun hub atau pick-up point,” ujar Putri.

Vanessa Hendriadi of GoWork is chasing her passion for connecting people: Women in Tech

Vanessa Hendriadi wanted to do more than work in her family’s real estate business, so she started one of Indonesia’s major co-working spaces, GoWork.

Indonesia is home to more than 88 million millennials. The country is predicted to be the eighth largest economy in the world in 2020, according to consultancy firm Deloitte. Its major cities are ideal markets for co-working platforms.

After graduating from the University of Southern California in 2002, Hendriadi started to work in 2004 as a marketing director at PT Atlantic Biruaya, a mineral water company that is a subsidiary of her family’s Mikatasa Group, which does business in trading, beverages, chemicals, and more. She was eventually promoted to director of operations at the holding group in 2009. and implemented changes to streamline the business.

In June 2013, she ventured out on her own and built a software system for property management called Gaea. Hendriadi, however, was not satisfied with her professional career, as she always wanted to build a business that related to her hobbies and passions. “I love food and yoga exercises, and I realized that all those industries have one purpose—building a community. So, I finally chose to build a co-working space, which combines my professional experience in property management and my passion for connecting people,” she told KrASIA in a recent interview.

In 2016, with capital from her family, friends, and the Ismaya group, a popular F&B and hospitality chain in Indonesia, Hendriadi established her first co-working space company, Rework, integrating co-working spaces with coffee stores run by Ismaya group in strategic locations in Jakarta.

As a solo founder, she was building Rework from scratch, and the workload was heavy. On top of that, her second son was only nine months old at the time, so she had duties as a mother too. “It felt like burning out, because no matter how much I would do, there would be more things left undone. It was pretty crazy. I felt like I didn’t want to worry too much, but I did. I wondered whether I was supposed to run the startup, but like a woman and a mother, I had to build strong family roots. Luckily, my spouse and family were really supportive and never judged me,” Hendriadi said.

In 2017, she attended the grand opening of co-working startup GoWork, where she met the company’s co-founders, Richard Lim and Donny Tandianus. Hendriadi reconnected with Lim, who was an old friend. The three of them quickly realized that they shared the same goals: to build Indonesia’s largest co-working space. It wasn’t long before the two were exploring opportunities for a partnership.

”When I started Rework, I did not see how big it could become until I dove into the business. I finally decided that I had to find a partner, because I couldn’t do it all by myself. After we shared some discussions and our visions to empower a lot of companies and to become a dominant player, we joined forces in early 2018,” Hendriadi said.

Hendriadi’s Rework along with Lim and Tandianus’ GoWork merged into a new company called Go-Rework, which initially had five locations with a total footprint of 3,500 square meters in Jakarta. The company was later rebranded as GoWork in mid-2018 for marketing reasons.

In October 2018, Go-Rework closed its Series A round and raised USD 9.9 million from Gobi Partners and The Paradise Group, with participation from Mahanusa Capital and 500 Startups’ second Durians fund. GoWork trippled its footprint by 2019, according to CFO Richard Lim.

Today, GoWork operates 18 branches covering over 35,000 square meters, with most of them in the capital and one branch in Bali. The company also announced plans to launch new locations in Surabaya and several cities in Indonesia by mid-2020, expanding its footprint to 65,000 square meters. GoWork only operates in Indonesia and has no plans for international expansion.

According to Hendriadi, GoWork’s locations maintain a high occupancy rate, typically in the range of 90–100%.

GoWork co-working space in Senayan City. Courtesy of GoWork.

To become a dominant player in Indonesia, Hendriadi, Lim, and Tandianus set out a strategy focusing on premium customers who are willing to pay GoWork’s higher subscription rates. Hence, they operate GoWork in places like shopping malls or office buildings, which are easily reachable using public transportation. “Almost 70% of members use more than one location” Hendriadi said. She also claims that customers “can gain more credibility by working in the premium co-working spaces of GoWork.”

“There are a lot of co-working spaces in Indonesia, such as CoHive or Outpost, but there are few players targeting the premium class, which we think is a potentially huge market. By targeting this segment, we are able to get more clients, not only from startup companies, but also from traditional and multinational companies,” Hendriadi said.

Competition mounted quickly. In 2017, WeWork acquired Spacemob, a Singapore-based co-working space, and entered Indonesia by setting up a branch in Jakarta in the third quarter of 2018. Soon after, WeWork opened six locations in the Indonesian capital.

A lesson learned from WeWork: Monetization is key to long-term success
Although GoWork and WeWork have both positioned themselves as premium co-working spaces, Hendriadi claims that GoWork has become profitable in mid-2019. However, she declined to disclose more details. It has 5,000 customers, including employees from companies and freelancers. Monthly fees run at USD 150–200, depending on the services required.

All of GoWork’s co-founders have strong and close relationships with property developers, Hendriadi said. This helps the company seek out spaces that serve their purposes.

“We discuss how GoWork can increase visitor traffic to shopping malls or other properties run by these developers. When developers see our concept and the traffic that comes with each of our locations, they mostly want to secure a partnership and sometimes even invest in GoWork,” she said. So far, the firm counts among its investors the likes of Sinar Mas Land, Indonesia Paradise Property, Agung Podomoro Land, Lippo Group, and MNC Land.

Currently, GoWork has three main focuses: providing flexible co-working spaces with attractive interiors to engage clients; organizing events or workshops, where members can engage with each other; and building user engagement through mobile apps.

GoWork’s clients include big companies and mature startups, such as state-owned pawnbroker PT Pegadaian, Gojek, and Oyo.

“We are making ‘sustainability’ our priority. If we look at the startup landscape, most companies focus a lot on growth and sometimes they burn money. We don’t believe that it’s necessary,” Hendriadi said.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Rencana ANGIN Meningkatkan Peran Perempuan di Dunia Teknologi

Permasalahan masih minimnya jumlah perempuan yang berkecimpung dalam dunia teknologi hingga saat ini ternyata mendapat sorotan dari para pelaku startup hingga jajaran eksekutif di perusahaan teknologi di Indonesia. Namun menjamurnya jumlah startup dan meningkatnya lowongan posisi untuk engineer, ternyata tidak disertai dengan meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja sebagai engineer.

Dalam tulisan yang dimuat oleh JakartaPost, Head of Product Manager Digital of Tokopedia Devy Pranowo mengungkapkan, dunia teknologi tidak pernah melihat jenis kelamin, artinya semua orang bisa belajar dan mencoba untuk berprofesi sebagai engineer.

Namun demikian faktanya hingga kini dunia startup dan teknologi di tanah air, masih kekurangan peminat yang berasal dari kalangan perempuan untuk terjun menjadi engineer. Salah satu cara untuk bisa menarik perhatian para perempuan untuk tertarik mengisi posisi teknis adalah agar perusahaan lebih terbuka dalam hal perekrutan, bukan hanya fokus kepada engineer pria namun juga perempuan.

ANGIN dan Wonder Tech

Melihat persoalan yang ada Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) kemudian menginisiasi kegiatan Wonder Tech. acara yang bertujuan untuk memahami permasalahan dan mencoba mencari solusi terbaik agar lebih banyak lagi perempuan terjun ke dunia teknologi, didukung oleh para pelaku startup di Indonesia.

“Setelah melakukan pertemuan dengan Co-CEO Lazada Florian Holm, Khailee Ng dari 500 Startups dan beberapa teman-teman dari layanan e-commerce, kita memutuskan untuk melakukan sesuatu agar bisa membawa lebih banyak lagi perempuan dalam dunia teknologi terutama di kalangan eksekutif. Florian dari Lazada selalu mengeluhkan sedikitnya jumlah perempuan saat pertemuan eksekutif internal, sebagai langkah pertama kita akan melakukan kegiatan tersebut dalam waktu dekat,” kata Direktur ANGIN David Soukhasing kepada DailySocial.

Dalam kegiatan tersebut akan dihadirkan beberapa tokoh perempuan yang terbilang sukses dengan bisnisnya di Indonesia untuk membahas potensi serta solusi terbaik untuk perempuan di dunia teknologi.

“Kita akan mengundang sekitar 150 orang menghadiri acara sederhana yang nantinya sarat dengan interaksi dan pembahasan menarik tentang isu perempuan di dunia teknologi,” kata David.

Memperluas kerja sama dengan rekanan strategis

Sebagai salah satu jaringan angel investor di Indonesia, ANGIN makin gencar melakukan kerja sama dengan pihak terkait. Selain dengan Garena, Lazada, GO-Jek, dan Facebook, saat ini ANGIN dan 500 Startups telah melakukan kerja sama strategis, salah satunya adalah dengan menempatkan Venture Partner 500 Startups Ashraf Sinclair sebagai angel investor di ANGIN.

“Sebelumnya ANGIN telah melakukan co-invested dengan 500 Startups, berdasarkan rekomendasi dari Khailee Ng (Managing Partner 500 Startups) kami di ANGIN berharap Ashraf bisa menjadi mentor untuk industri fesyen, kuliner, selebriti hingga gaya hidup yang berbasis teknologi dan masuk dalam seed stage,” kata David.

Rencana ke depannya ANGIN dan 500 Startups akan melancarkan kerja samanya dengan mengadakan beberapa kegiatan, salah satunya adalah kegiatan Wonder Tech di Jakarta.

Terapkan Empat Hal Berikut untuk Menarik Minat Developer Perempuan

Saat ini masih banyak startup yang kesulitan untuk menemukan developer perempuan. Mulai dari kurangnya minat dari kalangan perempuan untuk berkarier menjadi seorang developer, hingga belum adanya kesempatan hingga masih minimnya peluang untuk developer perempuan mengembangkan karier. Artikel berikut ini akan membahas 4 hal penting yang wajib dicermati oleh startup, jika berniat untuk menambah jumlah developer perempuan dalam tim.

Perhatikan jumlah developer perempuan

Salah satu alasan pada akhirnya developer perempuan tertarik untuk bekerja di sebuah startup adalah jumlah developer yang saat ini ada. Semakin sedikit jumlah developer yang ada, semakin besar keraguan dari calon developer perempuan tersebut untuk mencoba. Rekrutlah developer perempuan lebih banyak dalam tim Anda, dan ciptakan kolaborasi yang positif agar bisa menarik lebih banyak minat para developer perempuan.

Lingkungan kerja yang nyaman

Saat ini kultur perusahaan, fasilitas yang lengkap sudah menjadi pemandangan yang umum di sebuah startup. Namun demikian jika tidak didukung dengan suasana kerja yang hangat serta kolaborasi yang solid akan menjadi percuma dan tentunya kurang ampuh untuk menarik perhatian developer perempuan. Jika Anda ingin merekrut lebih banyak developer perempuan, pastikan suasana kerja dalam tim akrab dan ciptakan relasi yang positif.

Berikan promosi dengan adil

Berikan kesempatan, penghargaan hingga promosi yang adil bukan hanya untuk developer pria namun juga perempuan. Sampaikan secara langsung jika ada kesalahan yang dibuat atau penghargaan jika kinerja yang baik. Pada umumnya pekerja perempuan, enggan untuk menanyakan perihal promosi, kenaikan gaji dan hal terkait lainnya kepada atasan. Untuk itu jika memang developer perempuan tersebut memiliki skill dan kemampuan di atas rata-rata, berikan promosi yang layak untuk mereka.

Berikan dukungan

Menjadi kaum minoritas dalam sebuah startup sudah menjadi hal yang biasa dialami oleh developer perempuan. Untuk mengimbangi hal tersebut berikan dukungan kepada developer perempuan dengan menunjukkan pendekatan hingga aksi yang positif dan tentunya memberikan impact kepada developer perempuan. Dengan demikian meskipun kalah jumlahnya dibandingkan dengan developer pria, para developer perempuan bisa tetap nyaman bekerja.

Mengukur Potensi dan Kemampuan Perempuan Mengadopsi Teknologi

Dari riset yang dilakukan Accenture bersama Femina, disebutkan saat ini sekitar 73% perempuan di Indonesia telah meninggalkan cara konvensional dalam bekerja dengan memanfaatkan teknologi. Riset tersebut dilakukan di kawasan Jabodetabek untuk perempuan yang berprofesi di industri media, e-commerce, telekomunikasi, PR, dan geo science technology, dengan dua kelompok usia, yaitu kelompok 1 (usia 20-30 tahun) dan kelompok 2 (usia 30-40 tahun). Survei dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki di 29 negara dengan total 900 responden di tiap negara termasuk Indonesia.

Makin maraknya media sosial hingga layanan e-commerce yang memungkinkan perempuan untuk memulai usaha sendiri hanya mengandalkan teknologi. 80% perempuan di Indonesia kemudian memilih untuk bekerja sebagai wirausahawan atau pekerja lepas.

Country Manager Accenture Indonesia Neneng Goenadi mengungkapkan dari hasil survei tersebut dapat dilihat seperti apa perkembangan serta pengetahuan dari perempuan Indonesia dalam hal mengadopsi teknologi.

“Pegawai perempuan lebih mampu memanfaatkan peluang yang berguna untuk meningkatkan karier di era digital. Selain itu pegawai perempuan dianggap lebih mampu untuk menggunakan kemajuan teknologi digital untuk pekerjaan multi tasking.”

Kurang ambisius dan tidak memiliki rencana jangka panjang

Hal menarik yang juga disebutkan dalam survei tersebut adalah perempuan muda, dalam hal ini kalangan millennial, dianggap kurang cerdas untuk menentukan pilihan pendidikan terbaik untuk masa depan dengan persentase 27%. Hal yang membedakan dengan generasi muda pria sebanyak 40%.

Hal lain yang juga menjadi catatan adalah, kebanyakan pekerja muda kalangan perempuan biasanya memiliki pembimbing dibandingkan dengan rekan kerja pria di kantor.

“Perempuan juga dinilai tidak seambisius pegawai pria dalam mencapai posisi kepemimpinan senior. Perempuan menunjukkan ketergantungan lebih besar pada teknologi digital untuk mereka gunakan dalam kehidupan pribadi mereka dan untuk memajukan karier,” kata Neneng.

Dalam memanfaatkan teknologi digital, 71% perempuan Indonesia menggunakannya untuk mencari informasi seputar karier atau peluang baru. Selain itu teknologi juga kerap dilakukan oleh perempuan Indonesia untuk kolaborasi kerja memanfaatkan perangkat digital (skype call dan lainnya) dilakukan 46% perempuan di Indonesia.

Tiga akselerator kunci meningkatkan karier

Dalam paparan tersebut Accenture mengungkapkan tiga akselerator kunci untuk membantu perempuan meningkatkan karier. Di antaranya adalah (a) dengan menguasai teknologi, yaitu sejauh mana mereka mampu menggunakan teknologi digital untuk terkoneksi dengan pihak lain, belajar dan bekerja. Selanjutnya adalah (b) strategi dalam karier, kebutuhan bagi perempuan untuk memiliki cita-cita dan membuat pilihan yang tepat, dan pastinya mengelola karier lebih proaktif.

Yang terakhir adalah (c) peluang untuk mengakuisisi teknologi yang lebih besar dan kemampuan digital yang lebih kuat agar mampu bersaing dengan kalangan pria.