Base Mendapat Pendanaan Seri A 94 Miliar Rupiah Dipimpin Rakuten Ventures

Startup DTC untuk produk perawatan dan wellness “Base” mendapat pendanaan seri A sebesar $6 juta atau sekitar 94,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Rakuten Ventures, diikuti investor terdahulu termasuk Antler, East Ventures, Skystar Capital, dan Pegasus Tech Ventures.

Sebelumnya, Base memperoleh pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Skystar Capital dengan partisipasi East Ventures, Antler, iSeed Southeast Asia, Pegasus Tech Ventures, XA Network, dan angel investor. 

Dalam keterangan resminya, Associate Rakuten Ventures Regina Ho mengatakan, selama ini industri produk perawatan kecantikan di Asia Tenggara masih didominasi oleh merek-merek asing. Selain itu, produknya dijual dengan harga di atas pendapatan rata-rata konsumen.

“Hal ini membuat kami bersemangat dengan kemampuan Base untuk membalikkan ekspektasi konsumen tradisional bahwa produk berkualitas tinggi tidak harus mahal. Kami harap bisa mendukung perjalanan Base untuk mengisi ruang kosong perawatan pribadi yang berkembang di Asia Tenggara,” ucap Regina dalam keterangan resminya,

Base didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari pada 2019 dengan operasi awal melalui strategi Direct-to-Consumer (D2C). Kemudian, Base memperluas distribusi ke online dan offline (O2O) untuk menjangkau kota-kota regional. Kini, Base telah melayani pengiriman produk ke 34 provinsi di Indonesia.

Salah satu misi Base adalah memperjuangkan keragaman dan inklusivitas kebutuhan kecantikan masyarakat Indonesia dengan menawarkan perawatan kulit berbahan vegan dan menghadirkan fitur “Smart Skin Test”.

Partner di East Ventures Melisa Irene menambahkan, “Sejak awal kami percaya dengan inovasi Base. Keahlian dan pendekatan lokalnya menghasikan produk perawatan kulit berkualitas tinggi dan berkelanjutan dalam memenuhipermintaan pasar. Kami menantikan lebih banyak inovasi dan pertumbuhan yang akan dihadirkan oleh Yaumi, Ratih, dan tim Base.”

Produk berbasis bioteknologi

Co-founder & CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta mengungkap bahwa pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan lini produk baru, di antaranya kosmetik, perawatan tubuh dan rambut, edible wellness, dan fragrance. Selain itu, Base berencana berinvestasi lebih lanjut pada inovasi dan pengembangan produk. Salah satunya menggabungkan bioteknologi (biotech) ke dalam metode pengembangan lini produk vegan secara kreatif.

Hal ini sejalan dengan profil konsumen Base yang teridentifikasi sebagai gen Z dan milenial; segmen yang memprioritaskan produk sadar lingkungan, mudah diakses, dan berkelanjutan. Melalui pengembangan produk yang mendalam, pihaknya dapat memperluas pertumbuhan pelanggan.

Mengacu studi Euromonitor, industri kecantikan mengalami pertumbuhan signifikan dibandingkan industri lain selama masa pandemi. Adapun, nilai pasarnya diproyeksikan mencapai $10 miliar pada 2025 yang didorong oleh produk kategori perawatan rambut, tubuh, dan kulit, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 6%. Dengan potensi pasar ini, Base memiliki posisi tepat untuk menjadi pemain terkemuka. Base mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan 10x lipat dalam satu tahun terakhir.

Dalam kesempatan ini, Base juga mengumumkan Muhammad Cipta Suhada yang akan mengisi posisi Direktur People & Culture. Sebelumnya, Cipta sempat berkarier di sejumlah perusahaan teknologi terkemuka, seperti Gojek dan LinkAja. Pihaknya berupaya mendefinisikan kembali bagaimana dunia memandang standar kecantikan sehingga setiap orang dapat merasa berdaya dan bangga dengan keunikan yang dimiliki.

“Ini berlaku juga di Base di mana kami mengantisipasi orang-orang untuk mengeluarkan potensi mereka dan melakukan yang mereka sukai. Seiring pertumbuhan perusahaan, kami senang menyambut lebih banyak anggota kepemimpinan senior untuk meningkatkan jalan base sebagai organisasi kelas dunia yang dapat dibanggakan generasi kami.” Tutupnya.

Siapa CEO Perempuan di Balik Beauty Startup Indonesia?

Beberapa tahun terakhir industri kecantikan di Indonesia cukup naik daun. Industri kecantikan juga identik dengan perempuan. Walau tidak dipungkiri laki-laki juga bisa mengambil peran dalam industri ini. Namun, apakah kamu tahu beauty startup kenamaan Indonesia memiliki CEO perempuan?

Ya, saat ini sudah banyak perempuan yang bisa mengambil posisi tinggi dalam sebuah perusahaan. Apalagi dengan hadirnya industri kecantikan, yang membuat startup beauty tech, beauty product lokal, dan komunitas kecantikan kembali naik dan bersaing.

Siapa saja CEO perempuan di balik beauty startup Indonesia? Yuk, simak artikel berikut!

CEO Perempuan di Beauty Startup Indonesia

Chief of executive atau yang lebih sering disebut sebagai CEO adalah posisi tertinggi di sebuah perusahaan rintisan atau startup yang memiliki tanggung jawab untuk menjalankan visi dan misi perusahaan dan juga mengawasi operasionalnya.

Namun, saat ini posisi CEO sudah tidak lagi diisi dengan laki-laki, karena perempuan juga bisa mengembangkan karirnya di posisi chief executive, terutama dalam beauty startup yang sebagian besar masih identik dengan perempuan.

Berikut adalah CEO perempuan di beauty startup yang wajib kamu ketahui!

1. Hanifa Ambadar

Female Daily, salah satu forum wanita yang cukup besar di Indonesia. Kamu juga pasti sudah tidak asing lagi dengan Female Daily. Beautytech ini sudah hadir sejak 2005 di mana saat itu masih berbasis blog. Namun, sekarang Female Daily sudah memiliki aplikasi dan beauty studio dengan 50 juta pengikut dengan 4 juta unique user per bulannya.

Pertumbuhan Female Daily juga tidak lain adanya campur tangan dari Hanifa Ambadar yang memulainya dari sebuah blog untuk berbagi review terkait produk kecantikan, dari sekadar hobi menulis blog hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat blog nya lebih profesional dengan membeli domain dan berkolaborasi dengan Affi Assegaf yang juga seorang blogger.

2. Sreejita Deb

Sreejita Deb adalah founder sekaligus CEO Raena platform reseller produk kecantikan. Dengan gelar MBA dari Harvard Business School dan pengalamannya bekerja di perusahaan raksasa seperti Google, Amazon, dan juga InMobi, Deb memutuskan untuk mendirikan bisnis berbasis sosial commerce di tahun 2018.

Awalnya Deb ingin membuka bisnisnya di dua negara yaitu India dan Indonesia, hal ini karena kedua negara tersebut memiliki jumlah penduduk pengakses media sosial yang besar. Namun, setelah riset terkait penggunaan Instagram dan pengguna media sosial wanita lebih banyak akhirnya ia memilih untuk membukanya di Indonesia.

Raena sendiri akhirnya tercetus di tahun 2019 setelah berganti nama dari bisnis sebelumnya dan memiliki kantor pusat di Singapura, Raena juga sudah memiliki investor dari berbagai nama dan juga ia bekerja sama dengan beauty influencer yaitu Moonella Sunshine Jo.

Kemudian, dengan kerjasama tersebut Raena dan keluarga Jo merilis produk orisinal mereka dengan merk Lalabee.

3. Yaumi Fauziah

Mungkin kamu sudah tidak asing lagi dengan Base, startup produk kecantikan dan wellness direct-to-consumer (DTC). Pendiri dan CEO Base adalah Yaumi Fauziah yang juga eks Head of Marketing Gojek.

Awal mula munculnya Base adalah sebagai situs blog perawatan kulit pada tahun 2017 dan dimulai dari saat itu juga Yaumi aktif untuk berinteraksi dengan anggota komunitas di akun media sosialnya.

Kemudian, akhirnya Base bertransformasi menjadi situs e-commerce dan akhirnya meluncurkan produknya sendiri yaitu rangkaian produk kecantikan yang disesuaikan secara personal dengan kondisi kulit penggunanya. Base juga menggunakan teknologi eksklusif yaitu Smart Skin Test.

Saat ini Base sudah mendapatkan pendanaan pra-seri A yang didapatkan dari berbagai investor lama, investor baru, dan juga angel investor 

Dari ketiga CEO perempuan di atas menunjukkan bila perempuan juga bisa mengisi posisi tertinggi. Kamu juga bisa menjadi seperti mereka karena faktanya potensi kecantikan di Indonesia cukup tinggi mencapai $3 miliar.

Base Segera Rambah Kategori Produk Baru Setelah Dapatkan Pendanaan Pra-Seri A

Startup direct-to-consumer (DTC) “Base” akan segera melebarkan sayap ke kategori baru untuk melengkapi kebutuhan skincare dan wellness untuk konsumen, setelah mengantongi pendanaan pra-seri A. Putaran tersebut dipimpin oleh Skystar Capital dengan partisipasi dari East Ventures dan Antler, yang merupakan investor sebelumnya.

Tidak disebutkan nominal yang didapat, sejumlah jajaran investor baru turut berpartisipasi, di antaranya iSeed Southeast Asia, Pegasus Tech Ventures, XA Network, serta angel investor yang tidak disebutkan identitasnya.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & Chief Product Officer Base Ratih Permata Sari mengatakan, perusahaan juga akan menggunakan dana segar tersebut untuk mempercepat upaya pertumbuhan dengan fokus utama untuk mendapatkan lebih banyak konsumen di kota-kota regional Indonesia lainnya.

“Saat ini, kami sedang dalam tahap pemetaan dan eksplorasi lebih lanjut dengan beberapa perusahaan portfolio jaringan investor kami untuk upaya sinergi pertumbuhan Base dalam lingkup supply chain dan juga distribusi,” kata dia.

Base diluncurkan pada Januari 2020 dikenal sebagai brand skincare yang menawarkan personalisasi rekomendasi perawatan kulit dengan teknologi eksklusif, yaitu Smart Skin Test. Base menggunakan berbahan dasar berkualitas, vegan, organik, dan halal, untuk pembersih wajah hingga sunscreen yang dapat digunakan generasi muda sebagai target konsumennya.

Ratih melanjutkan, Base ingin menjadi perusahaan tech-beauty yang relevan untuk generasi muda. Oleh karenanya, perusahaan terus mendengarkan dan memperbarui pengalaman digital dan kualitas produk fisik agar dapat terikat erat dengan konsumen.

“Alur distribusi utama Base adalah melalui jalur pemasaran online dan kondisi pandemi membantu kami mempercepat laju adopsi pembelian produk Base karena semakin banyak jumlah konsumen yang berbelanja melalui handphone mereka,” tambah dia.

Produk Base / Base

Dalam keterangan resmi, Partner dari Skystar Capital Geraldine Oetama mengatakan keinginannya untuk dapat memperluas jangkauan Base di Indonesia. Menurutnya, skincare adalah segmen pasar yang berkembang pesat dan Base telah memecahkan masalah umum dalam menemukan produk yang sesuai dengan beragam jenis kulit, goals, dan gaya hidup.

“Base menggunakan teknologi dan data untuk memberikan skincare personalisasi yang efektif, bebas dari parabens, dan juga vegan. Meningkatnya permintaan akan skincare, ditambah dengan pendekatan teknologi dan personalisasi Base yang unik, membuat kami sangat bersemangat untuk membawa Base ke tahap selanjutnya,” terang Geraldine.

Co-founder & CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menambahkan, “Kami sangat bersemangat untuk melanjutkan kemitraan jangka panjang dengan partner investor yang sudah bergabung dengan Base sejak tahap awal, dan memulai kemitraan strategis dengan investor baru untuk memperkuat posisi perusahaan dalam mengembangkan industri kecantikan di Indonesia.”

Dalam kesempatan yang sama, Base menyambut Cissylia Stefani-van Leeuwen sebagai Brand Director perusahaan dalam upaya masuk ke fase pertumbuhan selanjutnya. Sebelumnya, ia memegang peran sebagai VP Brand di perusahaan teknologi raksasa lokal seperti Gojek & Tokopedia. Berbekal pemahaman mengenai teknologi serta pengalaman konsumen yang inovatif, Base menciptakan gebrakan segar untuk kategori kecantikan yang ramai.

Potensi bisnis industri kecantikan

Yaumi melanjutkan, selama pandemi pendapatan tahunan Base tumbuh lebih dari 24 kali lipat yang didorong dengan langkah afiliasi komunitas. Konsumen Base telah membantu penjualan melalui komisi dan melakukan langkah co-creation dengan komunitas, seperti meluncurkan beberapa kemasan limited-edition yang dirancang oleh konsumen dan ilustrator muda ternama lokal.

“Berkat hubungan langsung yang kami miliki dengan konsumen kami, Base menjadi ruang aman bagi para konsumen untuk dapat merasa lebih nyaman dengan kulit masing-masing. Kami menjunjung tinggi keberagaman dan menawarkan produk yang fleksibel, terlepas dari jenis gender, seperti sunscreen yang dapat digunakan oleh siapa saja.”

Penelitian Euromonitor menunjukkan bahwa industri kecantikan tetap tangguh menghadapi pandemi dibandingkan dengan industri lain yang terkena dampaknya. Pasar kecantikan di Indonesia diprediksikan akan mencapai $10 miliar pada 2025, utamanya didorong oleh kategori perawatan diri (perawatan rambut, perawatan tubuh) dan skincare, dengan tingkat pertumbuhan tahunan yang pesat sebesar 6%.

Apa yang dipaparkan Euromonitor, tercermin dengan baik di Indonesia. Yaumi turut memantau bahwa selama pandemi ini, semakin banyak brand kecantikan indie lokal yang bermunculan. Ia menilai kondisi tersebut sangat positif karena memperlihatkan bahwa adanya potensi adanya potensi yang sangat besar dan juga antusiasme dari potensial konsumen yang mulai beralih untuk menggunakan produk lokal.

Meski persaingan mulai ketat, kue bisnis kecantikan ini masih begitu besar karena keberagaman profil konsumen yang membutuhkan opsi jenis produk, misalnya dari harga ataupun usia pengguna dari konsumen. “Dalam hal ini, Base merasa bangga dapat turut serta untuk menjadi salah satu pemain lokal yang dapat menggerakkan ekonomi Indonesia melalui industri kecantikan yang berfokus untuk melayani konsumen Gen-Z dan Millennial,” tutupnya.

Behind VC’s Investment on Local Cosmetics and Beauty Tech Startups

The rise of the beauty and personal care industry in Indonesia was marked by the birth of many new local brands. The government recorded 797 large to small and medium industry (IKM) cosmetic business players in Indonesia in 2019, of which 294 were registered with the Investment Coordinating Board (BKPM). This number is increased from the previous year which was 760.

Quoting Tempo, Social Bella’s CEO, John Marco Rasjid said he was optimistic about the rapid growth of the Indonesian beauty industry market. There are some factors behind the act. First, citing the Euromonitor report, the Indonesian beauty and personal care market is estimated to reach $6.03 billion in 2019 and increase to $8.46 billion in 2022.

Second, as John stated, the total average expenditure for beauty products for Indonesian consumers is around $20 per capita. The number is smaller than Thailand ($56 per capita) and Malaysia ($75 per capita). Third, Indonesia has a very large female population. Bappenas estimates that the total female population will increase to 142 million from the population in 2010 of 118.66 million.

Base’s Co-founder and CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta said to DailySocial that this revival will mark the third wave of startup industry phenomena after the explosion of pioneering verticals, including e-commerce, ride-hailing, and fintech. This trend will be driven by local brands using the Direct-to-Consumer (DTC) approach.

“The technology ecosystem in Asia is getting mature and digital literacy is increasing. We can see that during 2018-2020 the market trend which begun to shift. Startups with higher popularity are consumer-centric and B2B models that help consumer-oriented businesses. In this country, beauty tech is predicted to be part of the revival of the third wave of startups,” Yaumi said.

Is it necessary for cosmetics and skincare business to look for funding from VC?

The emerging era of e-commerce or marketplaces such as Sociolla, Tokopedia, and Shopee contributed greatly to the birth of local beauty brands with the DTC model. With the increasing trend of online shopping, these business people actually benefit because they don’t need to build distribution channels, let alone build retail stores to reach consumers.

Instead, these local brands can allocate their funds for other purposes, such as R&D development, marketing channels, and technology. The thing is, in the last two years, some of the local brands have started looking for external funding to support and strengthen their business in the beauty tech industry.

From our observation, there are four beauty and wellness startups in Indonesia that have successfully obtained venture capital (VC) funding. Those are including Base, Nusantics, SYCA, and Callista. Although targeting different target markets, those three are using technology to develop products and identify consumer needs.

Brand/Startup Category Investor(s) Stage
Base Skincare and wellness Antler
Skystar Capital and East Ventures
Pre-Seed

Seed

Nusantics Biotech East Ventures Seed
SYCA Cosmetics Salt Ventures Pre-Seed
Callista Skincare SKALA Pre-Seed

Source: Revised by DailySocial

Yaumi revealed that his team had received pre-seed funding from Antler in March 2019 and received mentoring for 6 months. Antler is considered to be Base’s initial touchbase for VC before finally securing Seed funding from East Ventures and Skystar Capital.

“We want to bring the best experience and we want to challenge the current norm. Therefore, we need infrastructure to be able to build the project ten times better. At that time, we saw that our financing was not sufficient for capital. It’s also impossible from family, let alone a bank. Our only options are angel investors or VCs,” he said.

The kind of infrastructure referred to is the development of technology to understand consumer needs. Base provides skin profiling services with AI algorithms through the website. This explains why Base is not quite interested in marketing its products through the marketplace.

Because there is quite a journey from pre-purchase to post-purchase, this situation requires Base to rely on only one platform from an algorithmic point of view. The goal is none other than to determine the right skincare ingredients for consumers. This applies to business players using the DTC business model.

In addition, technology has largely helpful for its products to remain relevant to consumers in the next ten years. Therefore, it is important for them to focus on iterations, considering that generation Z tends to be digital savvy and does not want to be dictated to buy products.

“In this industry that relies heavily on product development, we are supposed to make VC believe that the product has been tested on the market. Not to mention the testing formula, with a note that it is constantly iterating. Startups are demanded to be agile. If we wait [funding] until it reaches consumers and monetization, it’ll be too late. In contrast to other verticals that may not have a manufacturing process. That’s why we have bootstrapped since the beginning,” he explained.

Meanwhile, the local startup brand Mad for Makeup admitted that it was not really seeking funding from VC. Two Mad for Makeup’s Founders, dr. Shirley Oslan and Tony Tan revealed that their current capital is still sufficient and they are still focused on pursuing growth in 2021.

With the achievement of business growth this year, Shirley admits that she has been approached by some large VCs. However, she prefers to involve VC as an advisor to prepare for a larger scale, even with zero capital for equity.

“For capital, there are no specific criteria as long as it’s the right strategy. However, for certain markets, we certainly need sources and further capital. We might consider next year [external funding], if we see plans to expand overseas,” he added.

Currently, Mad for Makeup claims to have succeeded in obtaining a good market-fit in the Indonesian beauty and cosmetics market with the DTC approach and affordable prices. With an initial capital of IDR800 thousand, this startup which jargon is rebel beauty has sold 26,000 units of products in its first year.

Indonesia’s beauty tech for VC

Outside Indonesia, the trend of VC investment in skincare and cosmetics businesses is not so brand new. In South Korea, this business has become an easy target for investors. They succeeded in showing their innovation and unique concept in reaching the younger generation who are digital natives. This country has successfully transformed into a mecca for the world’s beauty industry.

For example, South Korean startup Reziena developing an AI-based platform to generate data that can be used to create personalized home care services. Similar to this, Singapore-based startup Yours also strives to bring personalized skincare to its consumers.

Brand/Startup Category Investor(s) Stage Origin
Yours Skincare Surge, Global Founders Capital, Kindred Ventures, angel investors Seed Singapore
LYCL Inc (Unpa.) Skincare and cosmetics Venture Round Series A South Korea
Typology Skincare and cosmetics Firstminute Capital, Alven, Xavier Niel, Mark Simoncini Seed French
Tula Skincare Landis Capital, Great Oaks Venture Capital, L Catterton Series Unknown United States
True Botanicals Skincare Unilever Ventures, Kaktus Capital, etc Series A United States

Source: Several references / Revised by DailySocial

On a separate occasion, MDI Ventures’ Head of Investor Relations & Capital Raising, Kenneth Li said, there are some reasons why beauty startups are attractive to VCs. First, local brands today are using the DTC model to target the digital native segment.

Second, consumers of beauty products tend to have high user stickiness and repeat purchases. This means that this business can quickly reach for business growth. Indeed, getting into this vertical can be a business differentiation for VC. However, investment still requires scalability.

“If investing in technology, scalability can be much faster. They can also [invest] in R&D to create superior products. For example, in South Korea, this is one of their signature businesses. Eventually, the beauty industry is growing rapidly thanks to investment from VC/investors,” Kenneth said.

In addition, he added, scalability strategy can be done by using AI technology to obtain user journeys and user profiling. From the generated data, local brands can actually develop the right marketing channels and create products according to consumer needs.

Meanwhile, Kolibra Capital’s Senior Investment Analyst, William Auwines highlighted another perspective. Many local beauty brands have developed different marketing strategies to build their brand equity. In addition, what is quite striking is that beauty products have low production costs, therefore, it’s easier to decide product purchasing and the business will naturally require constant repurchasing.

He also said that the presence of e-commerce such as Tokopedia, Shopee, and Lazada is a game-changer for this industry because they are able to provide the consumer purchasing journey. As a result, not only are the beauty industry players increasing, but also their supporting businesses, such as sales, marketing, and logistics for the SME segment. Related to this, the beauty industry has become an attractive vertical for VCs as it has managed to show impressive growth in recent years.

“In terms of VC, we usually ignore traditional companies, such as fashion and retail. For us, there are many new technology companies that are growing exponentially by keeping low cost, reaching the market through online marketing, and improving their logistics services for profit. This factor makes the valuation possible. much higher than traditional companies,” he told DailySocial.

Female Daily Network’s Founder and CEO, Hanifa Ambadar said that these local brands could actually survive without the help of VC investment. The beauty business model directly targets end-users, therefore, they can immediately sell and get return capital. The margin from the business is also considered large enough for using a discount strategy to boost sales.

“However, they may scale up not as fast as other brands with large capital. Moreover, if they want to expand by building retail stores. Not to mention the campaign and product endorsements, this strategy will certainly require more capital,” Hanifa said to DailySocial.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengapa VC Berinvestasi di Startup Kecantikan dan Kosmetik Lokal

Kebangkitan industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) di Indonesia ditandai oleh kelahiran banyak brand lokal baru. Pemerintah mencatat terdapat 797 pelaku usaha kosmetik besar dan industri kecil dan menengah (IKM) di Indonesia pada 2019, di mana sebanyak 294 terdaftar di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 760.

Mengutip Tempo, CEO Social Bella John Marco Rasjid mengaku optimistis pasar industri kecantikan Indonesia bakal tumbuh pesat. Ada sejumlah faktor yang mendorong pertumbuhan ini. Pertama, mengutip laporan Euromonitor, pasar kecantikan dan perawatan diri Indonesia diestimasi mencapai $6,03 miliar pada 2019 dan meningkat menjadi $8,46 miliar di 2022.

Kedua, sebagaimana diungkapkan John, rata-rata total belanja produk kecantikan konsumen Indonesia masih berkisar $20 per kapita. Angka tersebut lebih kecil dibandingkan Thailand ($56 per kapita) dan Malaysia ($ 75 per kapita). Ketiga, Indonesia memiliki populasi perempuan yang sangat besar. Bappenas memperkirakan jumlah populasi perempuan bakal melonjak menjadi 142 juta jiwa dari populasi di 2010 yang sebesar 118,66 juta jiwa.

Kepada DailySocial, Co-founder dan CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta mengatakan bahwa kebangkitan ini akan menandai fenomena industri startup gelombang ketiga setelah meledaknya vertikal pelopor, yaitu e-commerce, ride-hailing, dan fintech. Tren ini bakal didorong brand-brand lokal yang menggunakan pendekatan Direct-to-Consumer (DTC).

“Ekosistem teknologi di Asia semakin matang dan literasi digital semakin meningkat. Kita juga melihat bahwa sepanjang 2018-2020 tren pasar mulai bergeser. Startup yang naik daun adalah startup consumer centric dan startup B2B yang membantu pelaku bisnis yang berorientasi ke consumer. Di sini, beauty tech diprediksi menjadi bagian dari kebangkitan startup gelombang ketiga,” ungkap Yaumi. 

Perlukah pelaku bisnis skincare dan kosmetik mencari pendanaan dari VC?

Kemunculan e-commerce atau marketplace seperti Sociolla, Tokopedia, dan Shopee turut andil besar terhadap kelahiran brand kecantikan lokal dengan model DTC. Dengan meningkatnya tren belanja online, pelaku bisnis ini sebetulnya diuntungkan karena mereka tidak perlu membangun jalur distribusi, apalagi membangun toko ritel dalam menjangkau konsumen.

Justru para brand lokal ini dapat mengalokasikan dananya untuk keperluan lain, seperti pengembangan R&D, marketing channel, dan teknologiMenariknya, dalam dua tahun terakhir sejumlah brand lokal mulai mencari opsi pendanaan eksternal untuk mendukung dan memperkuat bisnisnya di industri beautytech.

Dalam catatan kami, ada empat startup beauty dan wellness di Indonesia yang berhasil memperoleh pendanaan dari venture capital (VC). Mereka antara lain Base, Nusantics, SYCA, dan Callista. Meski membidik target pasar berbeda, ketiganya sama-sama memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan produk dan mengenali kebutuhan konsumen.

Brand/Startup Category Investor(s) Stage
Base Skincare and wellness Antler
Skystar Capital and East Ventures
Pre-Seed

Seed

Nusantics Biotech East Ventures Seed
SYCA Cosmetics Salt Ventures Pre-Seed
Callista Skincare SKALA Pre-Seed

Sumber: Diolah kembali oleh DailySocial

Yaumi mengungkapkan bahwa pihaknya sempat menerima pendanaan pre-seed dari Antler pada Maret 2019 dan mendapat mentoring selama 6 bulan. Antler dapat dikatakan sebagai initial touchbase Base terhadap VC sebelum akhirnya mengantongi pendanaan Seed dari East Ventures dan Skystar Capital.

“Kami ingin membawa pengalaman terbaik dan kami ingin menantang the current norm. Maka itu, kami butuh infrastruktur untuk bisa build the project ten times better. Saat itu, kami lihat financing kami tidak cukup untuk permodalan. Dari keluarga juga tidak mungkin, apalagi bank. Opsi kami hanya angel investor atau VC,” ujarnya.

Infrastruktur yang dimaksud salah satunya adalah pengembangan teknologi untuk memahami kebutuhan konsumen. Base menyediakan layanan skin profling dengan algoritma AI melalui website. Ini menjelaskan mengapa Base belum tertarik memasarkan produknya lewat marketplace.

Karena ada journey sedemikian rupa dari pre-purchase sampai post-purchase, situasi ini mengharuskan Base untuk bertumpu pada satu platform saja dari sisi algoritma. Tujuannya tak lain untuk menentukan bahan skincare yang tepat untuk konsumen. Ini berlaku bagi pelaku bisnis yang menggunakan model bisnis DTC.

Di samping itu, teknologi sangat membantu produknya agar tetap relevan kepada konsumen dalam sepuluh tahun kemudian. Maka itu, penting baginya untuk selalu melakukan iterasi mengingat generasi Z cenderung digital savvy dan tidak mau didikte dalam membeli produk.

“Di industri ini yang sangat rely pada pengembangan produk, tentu kami perlu meyakini VC bahwa produk sudah diuji ke pasar. Belum lagi testing formula, dengan catatan terus menerus melakukan iterasi. Startup dituntut untuk agile. Apabila menunggu [funding] sampai dapat konsumen dan monetisasi, tentu tidak keburu. Berbeda dengan vertikal lain yang mungkin tidak ada proses manufaktur. Makanya sejak awal kami sudah bootstrapping,” jelasnya.

Sementara itu, brand rintisan lokal Mad for Makeup mengaku belum tertarik untuk mencari pendanaan dari VC. Dua Founder Mad for Makeup, yakni dr. Shirley Oslan dan Tony Tan, mengungkap bahwa modal yang dimiliki saat ini masih cukup dan pihaknya masih fokus dalam mengejar pertumbuhan di 2021.

Dengan pencapaian pertumbuhan bisnis di tahun ini, Shirley mengakui bahwa pihaknya pernah didekati beberapa VC besar. Namun, menurutnya ia lebih memilih melibatkan VC sebagai advisor untuk mempersiapkan skala lebih besar, meskipun dengan zero capital untuk ekuitas.

“Untuk modal tidak ada kriteria khusus selama strategi yang dipakai tepat. Tapi untuk pasar tertentu, kami tentu butuh sumber dan permodalan lebih lanjut. We might consider next year [pendanaan eksternal], itupun kalau kami melihat ada rencana ekspansi ke luar negeri,” tambahnya.

Saat ini, Mad for Makeup mengaku berhasil memperoleh market-fit yang bagus di pasar kecantikan dan kosmetik Indonesia dengan pendekatan DTC dan harga terjangkau. Dengan modal awal sebesar Rp800 ribu, startup dengan jargon rebel beauty ini telah menjual sebanyak 26.000 unit produk di tahun pertamanya berdiri.

Industri kecantikan Indonesia di mata VC

Di luar Indonesia, tren investasi VC pada pelaku bisnis skincare dan kosmetik bukan lagi hal baru. Di Korea Selatan, bisnis ini menjadi sasaran empuk bagi investor. Mereka berhasil menunjukkan inovasi dan konsep uniknya dalam menjangkau generasi muda yang merupakan digital native. Negeri Ginseng ini berhasil menjelma menjadi kiblat industri kecantikan dunia.

Ambil contoh, startup asal Korea Selatan Reziena mengembangkan platform berbasis AI untuk menghasilkan data yang dapat dimanfaatkan dalam menciptakan layanan personalisasi perawatan diri di rumah. Serupa dengan ini, startup asal Singapura Yours juga berupaya menghadirkan personalized skincare kepada konsumennya.

Brand/Startup Category Investor(s) Stage Origin
Yours Skincare Surge, Global Founders Capital, Kindred Ventures, angel investors Seed Singapore
LYCL Inc (Unpa.) Skincare and cosmetics Venture Round Series A South Korea
Typology Skincare and cosmetics Firstminute Capital, Alven, Xavier Niel, Mark Simoncini Seed French
Tula Skincare Landis Capital, Great Oaks Venture Capital, L Catterton Series Unknown United States
True Botanicals Skincare Unilever Ventures, Kaktus Capital, etc Series A United States

Sumber: Dari berbagai referensi / Diolah kembali oleh DailySocial

Dihubungi secara terpisah, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengatakan, ada sejumlah faktor mengapa pelaku startup kecantikan menarik bagi VC. Pertama, brand lokal masa kini menggunakan model DTC untuk membidik segmen digital native.

Kedua, konsumen produk kecantikan cenderung memiliki user stickiness dan repeat purchase yang tinggi. Artinya, bisnis ini dapat mengantongi pertumbuhan bisnis dengan cepat. Tentu bagi VC, masuk ke vertikal ini dapat menjadi sebuah diferensiasi bisnis. Akan tetapi, investasi tetap memerlukan scalibility.

“Apabila investasi di teknologi, scalability-nya bisa jauh lebih cepat. Mereka juga bisa [investasi] di R&D untuk menciptakan superior product. Ambil contoh di Korea Selatan, bisnis ini merupakan salah satu signature mereka. Pada akhirnya, industri kecantikan di sana berkembang dengan pesat berkat investasi dari VC/investor,” ujar Kenneth.

Selain itu, tambahnya, strategi untuk melakukan scale up dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi AI untuk memperoleh user journey dan profiling pengguna. Dari data yang dihasilkan, brand lokal sebetulnya dapat mengembangkan marketing channel yang tepat dan menciptakan produk sesuai kebutuhan konsumen.

Sementara Senior Investment Analyst Kolibra Capital William Auwines menyoroti perspektif lain. Banyak brand kecantikan lokal mengembangkan strategi marketing yang berbeda untuk membangun brand equity-nya. Selain itu, yang cukup menonjol adalah produk kecantikan terbilang memiliki biaya produksi rendah sehingga keputusan untuk membeli produk menjadi lebih mudah dan nature bisnisnya akan selalu membutuhkan constant repurchasing.

Ia menilai kehadiran e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi game changer bagi industri ini karena mereka mampu mengantongi consumer purchasing journey. Alhasil, tak hanya pelaku industri kecantikan saja yang meningkat, tetapi juga bisnis pendukungnya, seperti sales, marketing, dan logistik untuk segmen SME. Dari paparan ini, industri kecantikan menjadi vertikal yang menarik bagi VC karena berhasil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.

“Sebagai VC, biasanya kami mengabaikan perusahaan tradisional, seperti fashion dan retail. Bagi kami, ada banyak perusahaan teknologi baru yang tumbuh eksponensial dengan menjaga biaya tetap rendah, menjangkau pasar lewat pemasaran online, dan meningkatkan layanan logistiknya untuk memperoleh keuntungan. Faktor ini membuat valuasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tradisional,” paparnya kepada DailySocial.

Founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar menilai para brand lokal ini sebetulnya dapat bertahan tanpa bantuan investasi VC. Model bisnis kecantikan umumnya menyasar langsung end user sehingga mereka bisa langsung berjualan dan mendapatkan modal kembali. Margin dari bisnis juga dinilai cukup besar sehingga mereka bisa menggunakan strategi diskon untuk mendongkrak penjualan.

“Akan tetapi, pastinya mereka tidak bisa scale up secepat brand-brand lain yang punya modal besar. Apalagi, jika mereka mau ekspansi dengan membangun toko ritel. Belum lagi campaign dan product endorsement, strategi itu tentu membutuhkan modal lebih banyak lagi,” kata Hanifa kepada DailySocial.

What Pandemic Means to The Future of Indonesian Beauty Tech

In 2019, the former Minister of Communication and Information, Rudiantara, mentioned that the beauty tech industry would be one of the prima donna in the Indonesian digital economy market.

This is partly due to the beauty and personal care industry that has captured a lot of attention from startups in the last few years. The power of e-commerce in Indonesia opens up opportunities in various new business verticals and this is one of those.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion. However, will this forecast remain valid given the unexpected health crisis that emerged in early 2020?

DailySocial interviewed some beauty tech players and VC actors to find out about future trends in the beauty industry.

The rise of beauty tech in Indonesia

Beauty tech is defined as a new model for the beauty industry players in reaching consumers. Its business model is no longer focused on conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

In Indonesia, the term beauty tech cannot be separated from the emergence of Sociolla in 2015. Its founders, namely John Rasjid, Christopher Madiam, and Chrisanti Indiana, developed a platform that can connect consumers with various kinds of beauty brands. Sociolla may be the only beauty e-commerce platform that has been able to survive and develop until now.

Long before this term became popular, the Female Daily Network (FDN) had appeared and can be said to be the pioneer of the Indonesian beauty tech industry. FDN started as a personal blog about beauty content founded by Hanifa Ambadar and Affi Assegaf in 2005. At that time the penetration of the internet and technology was not as massive as it is now.

Over the past 15 years, FDN has transformed into a platform for beauty junkies to gather. FDN has a strong community base in Indonesia thanks to a rating system that allows anyone to review products from various brands. In fact, FDN is now starting to monetize its business through the Beauty Studio e-commerce platform.

For Co-founder and CEO of Female Daily Network Hanifa Ambadar, the development of beauty tech can accelerate the dissemination of information on beauty products. This means that beauty brands have the opportunity to get the spotlight from a wider audience. Technology actually makes it easier for them to understand the needs of consumers for their products.

“The voice of consumers can not only be used for the next product development, but also to read the tastes and maneuvers of competitors, and to design marketing campaigns,” Hanifa said in the #SelasaStartup session some time ago.

FDN and Sociolla are two clear examples of how technology is changing the beauty industry and becoming a promising business for Indonesia’s digital industry. FDN has received investment injections from several well-known venture capitals (VC), namely Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, and Convergence Ventures. Now, FDN has been acquired by CT Corp, which oversees Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia).

Last July, Sociolla secured $58 million in Series E funding from Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. Meanwhile, East Ventures was also involved in funding the previous series. Crunchbase data records that the total funding raised by Sociolla from 2015 to date has reached $110 million.

The growth of the beauty industry doesn’t stop there. Ease of access to technology and digital platforms in Indonesia also contributes to the birth of new beauty brands in the country. Some of them, such as Rose All Day and Base, use a Direct-To-Consumer (DTC) approach to reach consumers.

Their appearance marks the positive market enthusiasm for beauty products. Market behavior changes. Information dissemination and product marketing are easier to do with the support of digital platforms.

Pandemic changes consumer behavior

The digital economy is predicted to be a sector that will contribute greatly to the Indonesian economy. However, with the current Covid-19 pandemic situation, what does this mean for the beauty tech industry in Indonesia?

According to Sociolla’s Co-founder and CMO Chrisanti Indiana, the pandemic will certainly change the trend of the beauty industry. Over the past six months, Sociolla discovered three new trends. First, the pandemic is driving an increasing trend of online shopping for beauty and personal care products.

Second, users inevitably take advantage of digital channels to buy beauty products. Third, the Work From Home (WFH) policies in many companies motivate people to take care of themselves.

Quoting Analytic Data Advertising (ADA), online shopping activities in Indonesia skyrocketed to 400 percent due to the pandemic in March 2020. Bank Indonesia said the number of e-commerce transactions since March 2020 reached 98.3 million transactions. Meanwhile, the total value of e-commerce transactions increased by 9.9 percent to IDR 20.7 trillion in the same period compared to February 2020.

Referring to the three findings above, Chrisanti said that the beauty sector still has stable growth going forward. In fact, she said that this sector has been a sector that has survived the pandemic era for the past six months.

“There are indeed changes in behavior and consumption, trends in make-up, and health protocols. However, [changes in behavior] actually strengthen the beauty industry in today’s difficult situation. Please note, self-care is a basic human need. We are optimistic that the beauty industry has great potential to grow.” in the future,” she told DailySocial.

Pandemic encourages local brands with DTC approach

As mentioned earlier, the development of the digital ecosystem has also contributed to the growth of new businesses in Indonesia. A number of domestic beauty brands are using the DTC approach to reach consumers easily and efficiently.

In terms of Base, for example, the brand was founded in 2019 and currently relying only on product marketing through the website. Meanwhile, the Rose All Day brand only relies on the marketplace as the front-end of online sales, such as Tokopedia and Shopee.

Generation Z and the millennial segment who are increasingly attached to the seamless lifestyle are considered to be reasons for some of the local brands to adopt this model. Moreover, physical stores are considered no longer relevant for this segment, considering that information and product availability can be accessed anytime and anywhere.

In a time of pandemic, the mushrooming trend of new brands is predicted to continue. The pandemic has indeed limited all kinds of offline activities. However, this can be an opportunity for the emergence of other new brands that apply a similar business model.

“Currently, marketing activities not only owned by big brands and existing players but also young and aspiring brands. For us, new trends will exist and are built on the presence of new brands that are established because of the digital ecosystem. This will continue to shape the beauty industry in Indonesia,” Chrisanti said.

Base’s CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta assessed that Indonesia has a great opportunity to push the domestic beauty market. Especially if you look at the fact that Indonesian consumers are one of the big markets for beauty products in Asia, such as South Korea and Japan.

“Indonesia is one of the largest markets for beauty products in East Asia, for K-Beauty and J-Beauty. About 15 years ago, not many people used these types of products for several reasons; availability and distribution. Therefore, we see that Indonesia has the opportunity to boost penetration of local brands in the region. We have many international standard cosmetic manufacturers,” she explained.

Although this trend will trigger fierce competition, Yaumi believes that it will open up opportunities for consumers that local brands have the ability to create good quality products.

Challenges in the beauty tech

Behind the optimism of local brand growth, Hanifa emphasized that this is also a challenge. He acknowledged that the online platform provides wider access to information on beauty products.

However, consumers have the potential to be easily “distracted” and switch to another brand if they do not have a strong differentiating factor.

“Without it, people will no longer stay only on one website because there are more sources of ‘distraction’. Reflecting on this, we want to become an integrated ecosystem for beauty products,” she added.

Meanwhile, Yaumi sees her business model is having a competitive advantage during the pandemic. Base is positioned as a digitally native vertical brand (DNVB) whose main sales channel is online. Furthermore, a seamless shopping experience becomes big homework for the company.

“Because most consumers are currently not fully mobilized, this has triggered a shift in consumer behavior to shop online. For DNVB like Base, we must ensure that we can provide a seamless shopping experience on all channels, not only the website but also the communication channel,” he said.

Beauty tech optimism in the eye of investors

 

From an investor’s point of view, East Ventures (EV) Partner Melisa Irene sees several findings to validate the optimism of Indonesia’s beauty tech business in the pandemic era.

Based on its track record, EV is one of the VCs with great interest in this sector. Sociolla is the first EV portfolio in the beauty tech sector. In line with Sociolla’s growth and strong position in this sector, EV continues to invest in new DTC brands, namely Base (2019) and Nusantics (2020).

Returning to the matter of findings, Melisa believes her DTC portfolio will grow in the pandemic era. According to him, e-commerce is beneficial for DTC players due to the increasing trend of user screen time during WFH. A number of businesses have also started shifting sales from offline to online. This opens up opportunities for brands to reach receptive consumers.

“In addition, another opportunity is for many brands to diversify their products to meet consumer’s demand during a pandemic. Beauty products are easy to consume. As the industry matures, they have the opportunity to provide a strong shopping experience, especially from wellness/health products,” she said to DailySocial.

No wonder some of the existing and local brands are busy releasing sanitizer and mask products, two health products that have been highly sought after during the pandemic in the last few months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Arti Pandemi Bagi Masa Depan Industri “Beauty Tech” Indonesia

Pada 2019, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sempat menyebutkan bahwa industri beauty tech bakal menjadi salah satu primadona di pasar ekonomi digital Indonesia.

Pasalnya industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) banyak dilirik oleh pelaku startup dalam beberapa tahun terakhir. Kekuatan e-commerce di Indonesia membuka peluang di berbagai vertikal bisnis baru dan ini adalah salah satunya.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar. Namun, apakah perkiraan ini akan tetap valid dengan situasi krisis kesehatan tak terduga yang muncul di awal 2020 ini?

DailySocial mewawancarai sejumlah pelaku beauty tech dan VC untuk mengetahui tren industri kecantikan di masa depan.

Beauty tech dan kebangkitannya di Indonesia

Beauty tech didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Di Indonesia, istilah beauty tech tak lepas dari kemunculan Sociolla di 2015. Para pendirinya, yakni John Rasjid, Christopher Madiam, dan Chrisanti Indiana, mengembangkan platform yang dapat menghubungkan konsumen dengan berbagai macam brand kecantikan. Sociolla mungkin jadi satu-satunya platform e-commerce kecantikan yang mampu bertahan dan berkembang hinggai saat ini.

Jauh sebelum istilah ini populer, Female Daily Network (FDN) sudah lebih dulu muncul dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal pelopor industri beauty tech Indonesia. FDN bermula dari blog pribadi seputar konten kecantikan yang didirikan oleh Hanifa Ambadar dan Affi Assegaf di 2005. Saat itu penetrasi internet dan teknologi saat itu belum semasif sekarang.

Selama 15 tahun terakhir, FDN telah bertransformasi menjadi platform berkumpulnya para beauty junkie. FDN memiliki basis komunitas kuat di Indonesia berkat rating system yang memampukan siapapun untuk mengulas produk dari berbagai brand. Bahkan, FDN kini mulai memonetisasi bisnisnya melalui platform e-commerce Beauty Studio.

Bagi Co-founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar, perkembangan beauty tech dapat mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Artinya, brand kecantikan memiliki kesempatan untuk mendapat sorotan dari audiensi yang lebih luas. Teknologi justru memudahkan mereka memahami kebutuhan konsumen terhadap produknya.

“Suara konsumen tak hanya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk berikutnya, tetapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran,” papar Hanifa di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

FDN dan Sociolla menjadi dua contoh nyata bagaimana teknologi mengubah industri kecantikan dan menjadi bisnis menjanjikan bagi industri digital Indonesia. FDN pernah mendapat suntikan investasi dari beberapa venture capital (VC) ternama, yaitu Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, dan Convergence Ventures. Kini, FDN telah diakuisisi CT Corp yang menaungi Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia).

Sociolla sendiri Juli lalu mengantongi pendanaan Seri E sebesar $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Adapun, East Ventures juga terlibat pada pendanaan seri sebelumnya. Data Crunchbase mencatat total pendanaan yang dihimpun Sociolla sejak 2015 hingga saat ini sudah mencapai $110 juta.

Pertumbuhan industri kecantikan tidak berhenti sampai di situ. Kemudahan akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Kemunculan mereka menandai adanya antusiasme positif pasar terhadap produk kecantikan. Perilaku pasar berubah. Penyebaran informasi dan pemasaran produk semakin mudah dilakukan dengan dukungan platform digital.

Pandemi ubah tren perilaku konsumen

Ekonomi digital digadang menjadi sektor yang bakal berkontribusi besar terhadap perekenomian Indonesia. Namun, dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini, apa artinya bagi industri beauty tech di Indonesia?

Menurut Co-founder dan CMO Sociolla Chrisanti Indiana, pandemi tentu akan mengubah tren industri kecantikan. Selama enam bulan terakhir, Sociolla menemukan tiga tren baru. Pertama, pandemi mendorong peningkatan tren belanja online untuk produk kecantikan dan perawatan diri.

Kedua, pengguna mau tak mau memanfaatkan channel digital untuk membeli produk kecantikan. Ketiga, kebijakan Work From Home (WFH) di banyak perusahaan memotivasi masyarakat untuk melakukan perawatan diri.

Mengutip Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online di Indonesia meroket hingga 400 persen akibat pandemi pada Maret 2020. Bank Indonesia menyebutkan jumlah transaksi e-commmerce sejak Maret 2020 mencapai 98,3 juta transaksi. Sementara, total nilai transaksi e-commerce naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun pada periode sama dibandingkan Februari 2020.

Mengacu pada tiga temuan di atas, Chrisanti menilai bahwa sektor kecantikan masih memiliki pertumbuhan stabil ke depan. Bahkan ia menyebut sektor ini menjadi sektor yang bertahan di era pandemi selama enam bulan terakhir.

“Memang ada perubahan perilaku dan konsumsi, tren make up, dan protokol kesehatan. Namun [perubahan perilaku] justru memperkuat industri kecantikan di situasi sulit saat ini. Perlu diketahui, self care adalah kebutuhan dasar orang. Kami optimistis industri kecantikan punya potensi besar untuk tumbuh di masa depan,” paparnya kepada DailySocial.

Pandemi dorong brand lokal dengan pendekatan DTC

Sebagaimana disebutkan di awal, perkembangan ekosistem digital turut mendorong pertumbuhan bisnis-bisnis baru di Indonesia. Sejumlah brand kecantikan dalam negeri menggunakan pendekatan DTC untuk menjangkau konsumen secara mudah dan efisien.

Pada contoh kasus Base, misalnya, brand yang berdiri pada 2019 tersebut saat ini baru mengandalkan pemasaran produk melalui website. Sementara, brand Rose All Day hanya mengandalkan marketplace sebagai front-end penjualan online, yaitu melalui Tokopedia dan Shopee.

Generasi Z dan segmen milenial yang semakin lekat dengan gaya hidup seamless dinilai menjadi alasan bagi sejumlah brand lokal untuk menerapkan model ini. Terlebih toko fisik dinilai sudah tidak lagi relevan bagi segmen tersebut mengingat informasi dan ketersediaan produk dapat diakses kapanpun dan di manapun.

Dalam konteks pandemi, tren menjamurnya brand baru diprediksi terus berlanjut. Pandemi memang membatasi segala macam aktivitas offline. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kemunculan brand baru lainnya yang menerapkan model bisnis serupa.

“Sekarang kegiatan marketing tidak hanya dimiliki oleh big brand dan pemain existing, tetapi juga young and aspiring brand. Bagi kami, tren baru akan ada dan dibangun dari kehadiran brand baru yang berdiri karena ekosistem digital. Ini akan terus membentuk industri kecantikan di Indonesia,” papar Chrisanti.

Kepada DailySocial, CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menilai Indonesia punya peluang besar untuk mendorong pasar kecantikan dalam negeri. Apalagi jika melihat fakta bahwa konsumen Indonesia termasuk salah satu pasar besar bagi kiblat produk kecantikan di Asia, yakni Korea Selatan dan Jepang.

“Indonesia adalah salah satu pasar terbesar produk kecantikan di Asia Timur, yaitu K-Beauty dan J-Beauty. 15 tahun lalu belum banyak orang yang pakai jenis produk itu karena beberapa hal; ketersediaan dan distribusi. Maka itu, kami lihat Indonesia punya peluang untuk dongkrak penetrasi brand lokal ke regional. Kita punya banyak manufaktur kosmetik berstandar interasional,” jelasnya.

Meski tren tersebut akan memicu persaingan ketat, Yaumi menilai bahwa hal tersebut justru akan membuka kesempatan bagi konsumen bahwa brand lokal memiliki kemampuan dalam menciptakan produk berkualitas baik.

Tantangan bagi industri kecantikan

Di balik optimisme pertumbuhan brand lokal, Hanifa menekankan bahwa hal tersebut juga menjadi tantangan. Ia mengakui bahwa platform online memberikan akses lebih luas terhadap informasi produk kecantikan.

Akan tetapi, konsumen berpotensi mudah “terdistraksi” dan berpindah ke brand lain apabila tidak memiliki faktor pembeda yang kuat.

“Tanpa itu, orang tidak bisa lagi berlama-lama di satu situs karena sumber ‘distraksi’ semakin banyak. Berkaca dari hal ini, kami ingin menjadi satu ekosistem terpadu untuk produk kecantikan,” tambahnya.

Sementara Yaumi melihat model bisnisnya justru memiliki keuntungan kompetitif selama masa pandemi. Base diposisikan sebagai digitally native vertical brands (DNVB) yang channel penjualan utamanya adalah online. Maka itu, pengalaman belanja yang seamless menjadi PR besar bagi perusahaan.

“Karena sebagian besar konsumen saat ini belum sepenuhnya mobilisasi, ini memicu pergeseran perilaku konsumen untuk berbelanja online. Bagi DNVB seperti Base, kami harus memastikan dapat memberikan pengalaman belanja yang seamless di semua channel, tidak hanya website tetapi juga communication channel,” tuturnya.

Optimisme bisnis beauty tech di mata investor

Dari kacamata investor, Partner East Ventures (EV) Melisa Irene melihat ada beberapa temuan yang dapat memvalidasi optimisme bisnis beauty tech Indonesia di era pandemi.

Berdasarkan rekam jejaknya, EV merupakan salah satu VC yang memiliki ketertarikan besar di sektor ini. Sociolla merupakan portofolio pertama EV di sektor beauty tech. Sejalan dengan pertumbuhan dan posisi kuat Sociolla di sektor ini, EV melanjutkan investasinya ke brand DTC baru, yakni Base (2019) dan Nusantics (2020).

Kembali ke soal temuan, Melisa meyakini portofolio DTC-nya akan tumbuh di era pandemi. Menurutnya, e-commerce menjadi beneficial bagi pelaku DTC karena tren screen time pengguna semakin meningkat selama WFH. Sejumlah bisnis juga sudah mulai shifting penjualan dari offline ke online. Ini membuka peluang bagi brand untuk menjangkau receptive consumer. 

“Selain itu, peluang lainnya adalah banyak brand melakukan diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen di masa pandemi. Produk kecantikan itu mudah dikonsumsi. Dengan semakin matangnya industri, mereka punya peluang untuk memberikan pengalaman belanja yang kuat, terutama dari produk wellness/kesehatan,” ungkapnya kepada DailySocial.

Tak heran sejumlah brand lokal existing maupun ramai-ramai mengeluarkan produk sanitizer dan masker, dua produk kesehatan yang sangat dicari selama pandemi beberapa bulan terakhir.

10 Startup “Femtech” Berpotensi di Indonesia

Riset yang dilakukan Frost & Sullivan menyebutkan female technology (femtech) secara global bisa menjadi pasar bernilai $50 miliar hingga tahun 2025 mendatang. Femtech bisa berarti bisnis yang didirikan oleh perempuan dan kebanyakan menyasar kebutuhan khusus untuk kalangan perempuan.

Di Indonesia sendiri, perlahan tapi pasti, sudah mulai banyak startup yang didirikan perempuan. Beberapa startup di antaranya diprediksi bakal meluncur mulus dalam waktu 2 hingga 3 tahun ke depan, termasuk yang menyasar produk kecantikan, layanan e-commerce dan marketplace fashion, kebutuhan produk segar, dan makanan dan keperluan bayi.

Menyambut peringatan hari Kartini bulan April ini, berikut adalah rangkuman 10 startup yang didirikan dan dipimpin perempuan dan menyediakan layanan dan produk untuk perempuan Indonesia.

1. Base

CEO Base Yaumi F. Sugiharta
CEO Base Yaumi F. Sugiharta

Base adalah layanan e-commerce kecantikan yang memberikan rekomendasi produk berdasarkan kondisi kulit pengguna. Rekomendasi akan muncul setelah konsumen mengisi seluruh pertanyaan yang ditanyakan. Startup ini didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari.

Seluruh produk kecantikan Base diproduksi sendiri. Akhir tahun 2019 lalu startup produk kecantikan berbasis metode direct-to-consumer (DTC) ini mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures dan Skystar Capital.

“Industri kecantikan di Indonesia saat ini sedang tumbuh dengan cepat. Hal tersebut terjadi seiring dengan berkembangnya kebutuhan konsumen dan juga kemajuan teknologi. Dengan mudahnya akses informasi dan jual beli produk dari luar negeri, saat ini konsumen memiliki demand produk dengan kualitas tinggi. Fenomena tersebut mendorong para pemain industri kecantikan untuk meningkatkan standar kualitas produknya. Audiens Gen Z dan juga milenial adalah segmen yang dapat kami kategorikan sebagai smart buyer, ingin mengenal dengan cermat tentang produk yang mereka gunakan dan terliterasi dengan baik,” kata Yaumi.

Tahun 2020 ini Base memiliki target pengembangan produk baru sesuai dengan masukan konsumen dan mengenalkan brand serta edukasi kepada audiens yang lebih luas. Perusahaan juga akan melakukan penyempurnaan teknologi untuk mengoptimalkan analisis data menggunakan Artificial Intelligence, yang kemudian digunakan untuk pengembangan produk dan strategi pengembangan perusahaan.

2. Sayurbox

CEO Sayurbox Amanda Cole
CEO Sayurbox Amanda Susanti Cole

Sayurbox hadir mencoba memenuhi kebutuhan buah segar dan produk sayuran berkualitas kepada warga ibukota. Platform online ini menyediakan bahan segar dan produk sehat berkualitas dari petani dan produsen lokal Indonesia. Sayurbox awalnya didirikan Amanda Susanti Cole dan Rama Notowidigdo, kemudian Metha Trisnawati bergabung ke tim sebagai COO.

Sayurbox mengusung konsep bisnis farm-to-table yang memungkinkan konsumen mendapatkan berbagai bahan segar dan produk berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal. Sayurbox merupakan salah satu startup yang telah menerima beberapa putaran pendanaan, termasuk dari Patamar Capital di tahun 2018 dan kemungkinan Tokopedia tahun lalu.

3. Love and flair

Co-founder & CEO LOVE AND FLAIR Emily Jaury
Co-founder & CEO LOVE AND FLAIR Emily Jaury

Didirikan oleh Emily Jaury, Love and Flair merupakan layanan e-commerce multibrand yang dikurasi untuk perempuan Indonesia. Dengan menerapkan bisnis berorientasi konsumen, semua masukan dari konsumen menjadi fokus perusahaan. Selain bisa diakses secara online, Love and Flair juga telah memiliki toko permanen di mall terkemuka Jakarta.

Tahun 2018 lalu Love and Flair tergabung dalam program akselerator besutan Gojek dan Digitaraya, Gojek Xcelerate batch kedua, yang fokus ke startup karya founder perempuan Indonesia dan Asia Pasifik.

4. Kotoko

CEO Kotoko Cynthia Krisanti
CEO Kotoko Cynthia Krisanti

Didirikan di Singapura tahun 2019 lalu oleh Cynthia Krisanti, Kotoko adalah startup di bidang ritel dan teknologi yang menyediakan ekosistem online dan offline bagi brand-brand independen, termasuk DTC, di Indonesia untuk memasarkan produk-produk mereka ke lebih banyak konsumen. Perusahaan mendapatkan dana awal dari Antler.

Saat ini Kotoko telah memiliki sekitar 60 brand independen ternama dengan jumlah kumulatif 1 juta pengikut di Instagram. Perusahaan telah membuka multibrand store pertama di Plaza Indonesia dan mempersiapkan ekspansi ke kota-kota besar di luar Jabodetabek, seperti Bandung, Surabaya, Makassar, dan Bali.

5. Gigel

Co-founder Gigel Putri Arinda
Co-founder Gigel Putri Arinda

Gigel didirikan oleh pasangan suami istri Putri Arinda dan Muhammad Syahdani. Platform ini berisi penyewaan produk yang banyak dibutuhkan pasangan muda yang baru memiliki anak, seperti stroller, mainan, dan lain-lain.

Awal tahun ini Gigel gencar mengembangkan cakupan layanan dan model bisnis marketplace penyewaannya. Tidak hanya produk untuk bayi, pengguna bisa menyewa barang seperti winter jacket, koper untuk wisata, atau kamera. Gigel mengklaim telah memiliki sekitar 500 mitra dan 15 ribu pengguna aktif. Masih terbatas di kawasan Jabodetabek, tahun ini Gigel memiliki rencana untuk memperluas layanan ke kota-kota besar lainnya.

“Saat ini kami telah memiliki angel investor dan belum berencana untuk melakukan penggalangan dana. Masih fokus kepada traksi dan melayani lebih banyak pengguna. Diharapkan tahun ini kami juga bisa menambah pilihan produk untuk pengguna,” kata Arinda.

6. Rata

CMO RATA Drg. Deviana Maria A
CMO RATA drg. Deviana Maria A

Startup Rata didirikan oleh drg. Edward Makmur, Danny Limanto, Jason Wahono, dan drg. Deviana Maria A untuk mengatasi permasalahan estetika gigi yang dibantu teknologi artificial intelligence.

“Kami ingin menciptakan clear aligner yang bisa dijangkau semua orang, dan pastinya much better than using braces. Permasalahan seperti kawat gigi yang menusuk, harus datang ke klinik dental secara rutin dan mengganggu penampilan yang pada akhirnya membuat orang menjadikan permasalahan estetika gigi kebutuhan kesekian,” ujar Deviana.

Mendapat investasi dari Alpha JWC Ventures, Rata juga memberikan kesempatan konsultasi online secara gratis dan melakukan engagement langsung memanfaatkan media sosial.

7. Bubays

CPO Bubays Ifatul Khasanah
CPO Bubays Ifatul Khasanah

Bubays didirikan oleh pasangan suami istri Ifatul Khasanah dan Muhammad Faiz Ghifari. Platform ini menjual produk makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Ide pengembangan usaha tersebut muncul ketika founder mengikuti program startup generator Antler di Singapura. Bubays juga sudah membukukan pre-seed funding dari Antler senilai 1,5 miliar Rupiah.

Bubays menghadirkan makanan bayi sehat untuk keluarga muda di Indonesia, yang bisa diantar hingga ke rumah. Platform ini memastikan makanan yang dibuat dengan bahan-bahan segar, lezat, dan bernutrisi tinggi yang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi. Platform ini memungkinkan pengguna untuk secara khusus memesan makanan bayi mereka berdasarkan usia bayi, alergi, dan juga membantu melacak tumbuh kembang bayi mereka.

Saat ini cakupan pangsa pasar Bubays baru di seputar Jabodetabek.

8. Greenly

Co-founder Greenly Liana Gonta Widjaja
Co-founder Greenly Liana Gonta Widjaja

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah sarjana di bidang nutritional science, dietetics, dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi kesehatan.

Konsep new retail yang diadopsi Greenly menawarkan aneka makanan dan minuman sehat. Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

Memasuki tahun keduanya, Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk menginovasi produk, pengembangan teknologi, dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

9. Style Theory

Co-founder dan COO Style Theory Raena Lim
Co-founder dan COO Style Theory Raena Lim

Diluncurkan pada 2016 di Singapura oleh Raena Lim dan Chris Halim, platform penyewaan produk fesyen Style Theory hadir menawarkan opsi penyewaan lebih dari 50 ribu koleksi busana yang dapat diakses melalui aplikasi. Perusahaan menawarkan langganan bulanan dan resmi hadir di Indonesia sejak tahun 2017 lalu. Perusahaan ingin mengurangi konsumsi busana (dalam bentuk pembelian) di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya diharapkan berpengaruh ke lingkungan.

Saat ini Style Theory telah memiliki lebih dari 13 ribu pengguna yang tersebar di Indonesia, Singapura, hingga Hong Kong. Awal bulan Desember lalu Style Theory mengantongi pendanaan putaran Seri B yang dipimpin SoftBank Ventures Asia.

10. Woobiz

Co-founder Woobiz Putri Noor Shaqina / SWA
Co-founder Woobiz Putri Noor Shaqina / Photo credit : SWA

Woobiz didirikan oleh Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018. Platform ini menawarkan akses teknologi bagi para perempuan Indonesia untuk bisa menjadi pengusaha mikro. Salah satunya adalah menghubungkan mitra, yang kebanyakan ibu rumah tangga, dengan brand. Woobiz mengklaim bisnis yang dijalankan, sebagai social commerce, memiliki misi untuk memberdayakan perempuan Indonesia, khususnya ibu rumah tangga, agar bisa meningkatkan kualitas hidup serta mandiri secara finansial.

“Dalam ekosistem kita, mitra atau user akan berjualan menggunakan channel social neighbourhood community dan kita dukung dengan fitur untuk social sharing secara online,” kata Chief Growth and Marketing Woobiz Putri Noor Shaqina.

Dari sisi pendanaan, Woobiz telah mendapatkan pendanaan sejak akhir tahun 2018. Untuk monetisasi bisnis, pihaknya mengaku juga mendapat bagian dari produk yang berhasil didistribusikan. Sejauh ini, mereka telah bekerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai infrastruktur logistik.

“Ke depannya, kita berencana untuk memperkuat sendiri, membangun hub atau pick-up point,” ujar Putri.

Lanskap Platform Produk Kecantikan dan Perawatan Pribadi di Indonesia

Salah satu industri yang mulai banyak digarap wirausahawan lokal adalah segmen kecantikan dan perawatan pribadi (personal care). Tercatat saat ini industri kecantikan dan perawatan pribadi dunia pada tahun 2019 dikabarkan bernilai $532 miliar.

Tidak dapat dipungkiri, adanya kemudahan akses informasi tentang tren gaya hidup melalui media sosial mendorong adopsi yang lebih masif, meniru apa yang sudah terjadi di sejumlah negara maju.

Di Indonesia sendiri layanan seperti ini, termasuk yang berbasis teknologi, sebagian besar menyasar kalangan perempuan. Meskipun demikian, mulai ada startup perawatan pribadi yang menyediakan produk perawatan untuk laki-laki.

Meskipun masih harus bersaing dengan brand konvensional yang jauh lebih berpengalaman, kehadiran startup yang menyasar produk kecantikan dan  perawatan pribadi bisa menjadi alternatif bagi masyarakat menikmati layanan dan produk dengan harga terjangkau.

Konsep Direct to Consumer

Nilai pasar industri kecantikan di Indonesia diperkirakan mencapai $5,8 miliar. Pertumbuhan tertinggi, sekitar 9,6%, terjadi di kategori produk perawatan kulit.

Startup seperti Base, Callista, Social Bella, dan Neuffa mencoba menyasar pasar ini dan kebanyakan menerapkan konsep Direct to Consumer (DTC).

Penerapan DTC menjadi solusi agar aktivitas di platform memberikan pengalaman berinteraksi yang berbeda, termasuk personalisasi.

“Dengan DTC, sebagai praktisi bisnis, kami dapat memberikan brand experience yang lebih holistik. Selain itu, kami mengembangkan algoritma berdasarkan jurnal-jurnal sains terkini untuk memberikan hasil analisis kulit kepada konsumen. Hasil analisis ini kemudian akan diolah oleh algoritma kami untuk menentukan bahan baku [active ingredient] apa yang dibutuhkan oleh konsumen,” kata CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta.

Untuk membeli produk Base, konsumen, biasa disebut “Base Friends”, terlebih dahulu melakukan konsultasi kulit secara virtual melalui fitur Skin Test sebelum mengirimkan produk yang sesuai dengan kondisi kulit, “skin goals”, dan gaya hidup mereka.

Sementara bagi Callista, penerapan Direct to Consumer, selain secara online, juga secara langsung melalui personal beauty assistant untuk mempermudah pelanggan mendapatkan paket produk personalisasi yang sesuai dengan masalah dan jenis kulit mereka.

“Setiap bulannya beauty asisstant kami akan melakukan follow up melalui WhatsApp untuk melihat progress dan melakukan optimalisasi pada paket perawatan selanjutnya,” kata Co-Founder & CEO Callista Ryan Narendra.

Di sisi lain, HelloBeauty menyediakan teknologi Software-as-a-Service (SaaS) untuk membantu para beauty artist (penyedia layanan kecantikan) mengelola, mempromosikan, dan mengembangkan layanan atau bisnis kecantikan dengan lebih mudah dengan bantuan teknologi. SaaS ini bisa digunakan dengan sistem berlangganan.

“HelloBeauty tentu menerapkan proses Direct to Consumer dalam menciptakan produk, marketing, penjualan hingga user retention karena dibutuhkan edukasi pengguna dengan benar,” kata CEO HelloBeauty Dennish Tjandra.

Model bisnis seperti ini, menurut Dennish memiliki tantangan yang cukup rumit, dilihat dari banyaknya pemain yang tumbang di Asia Tenggara.

Vanitee dan Vaniday di Singapura dan Bfab di Malaysia sudah tidak beroperasi. Bahkan akhir tahun lalu Go-Glam juga menutup layanannya.

“Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa industri layanan kecantikan digital masih sangat early stage dan menjadi tantangan bagi kami untuk mengedukasi pasar secara baik dan benar,” kata Dennish.

Tren dan tantangan startup lokal

Salah satu alasan tumbuhnya pasar di segmen ini adalah masuknya produk dan tren dari Korea Selatan. Apalagi dengan tren K-Pop dan K-Drama di berbagai negara, termasuk Indonesia.

“Audiens kami cenderung mengenal sosial media sejak dini dan terpapar dengan Korean Wave yang masuk ke Indonesia sejak awal 2006. Hal ini, turut membentuk persepsi audiens kami terhadap gaya hidup ataupun kultur. Sampai hari ini, masih banyak brand kosmetik lokal yang mengeluarkan produk kosmetik ala Korea Selatan seperti bedak cushion yang banyak digunakan oleh artis dan penyanyi dari negara ginseng tersebut,” kata Yaumi.

Hal senada diungkapkan Dennish yang melihat masuknya produk asal Korea Selatan ke Indonesia secara langsung ikut mendorong industri kecantikan di Indonesia. Namun Dennish melihat, produk-produk kecantikan lokal di Indonesia saat ini juga tidak kalah hebat.

Kebutuhan kulit orang Indonesia berbeda dengan orang Korea Selatan atau negara lainnya. Produk lokal dianggap memiliki kesempatan yang besar untuk lebih unggul, karena memahami dan sesuai dengan kebutuhan kulit orang Indonesia.

“Yang kadang disayangkan adalah masih banyaknya konsumen di Indonesia yang memandang bahwa brand luar lebih baik kualitasnya dari brand lokal Indonesia. Padahal belum tentu seperti itu. Banyak produk kecantikan lokal Indonesia yang punya kualitas lebih baik dari produk luar,” kata Dennish.

Persoalan tersebut diklaim masih menjadi tantangan startup yang menyasar industri produk kecantikan dan perawatan tubuh. Untuk bisa bersaing dengan produk luar, Yaumi mengajak para pemain lokal untuk bisa lebih kreatif dalam menjangkau pasar dengan bekal kapital atau modal yang efisien.

Strategi lain yang dianggap ampuh menambah jumlah pelanggan adalah melakukan pendekatan personalisasi. Salah satunya dengan layanan konsultasi.

“Saya melihat saat ini personalized skin care merupakan tren yang sedang terjadi di tahun 2020,” ujar Ryan.

Minat investor

Dukungan investor memiliki peranan penting bagi startup. Selain untuk mempercepat pertumbuhan, menemukan investor sebagai mitra yang tepat dan mengerti industri kecantikan penting untuk perkembangan bisnis ke depannya.

Meskipun belum banyak jumlah startup yang menawarkan produk dan layanan kecantikan saat ini, beberapa investor mulai banyak melirik model bisnis yang mereka tawarkan, termasuk venture capital seperti East Ventures dan program akselerasi Gojek Xcelerate.

Salah satu alasan mengapa sejumlah investor tertarik berinvestasi ke startup teknologi yang berkutat di industri kecantikan adalah pendekatan personalisasi ke pelanggan dan pemahaman yang kuat akan industri yang mereka sasar.

Beauty merupakan sektor yang menarik, karena masyarakat indonesia mencari produk-produk beauty inovasi baru yang bagus namun terjangkau. Selain itu, potensinya juga besar, bukan ‘industry winner takes all‘ tetapi bisa ada beberapa pemain besar,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

East Ventures telah memberikan pendanaan tahap awal tahun lalu ke Base, sementara marketplace Social Bella (dengan brand Sociolla) telah mendapatkan sejumlah pendanaan lanjutan dan termasuk dalam jajaran startup bervaluasi di atas $100 juta (centaur).

“Kami mengerti bahwa setiap investor memiliki preferensi masing-masing mengenai jenis industri ataupun lini bisnis yang ingin digeluti. Sampai saat ini, kami sudah bertemu dengan investor yang memang memiliki fokus ataupun ketertarikan di bidang kecantikan, wellness, consumer goods, e-commerce, dan retail. Sejauh ini, kami mendapatkan respon dan masukan positif,” kata Yaumi.

Sementara itu, Gojek Xcelerate melihat pencapaian Callista yang signifikan dalam menciptakan produk dan layanan kecantikan. Mereka terus mendorong Callista untuk memperluas skala bisnis dan mencapai pertumbuhan yang signifikan.

Tahun ini Callista memiliki sejumlah target yang ingin dicapai, termasuk fokus ke jalur offline melalui program beauty ambassador. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman, karena banyak pelanggan yang membeli produk Callista apabila direkomendasikan teman atau keluarganya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Program “Startup Generator” Antler Meluncur di Indonesia Tahun 2020

Didirikan tahun 2017 lalu di Singapura, Antler sebagai startup generator berencana berinvestasi sekaligus membantu calon entrepreneur dan pendiri startup mengembangkan startup mereka di Indonesia. Masih dalam tahapan pencarian individu yang berkualitas, rencananya Antler akan meresmikan batch pertama di Indonesia tahun 2020 mendatang.

Managing Partner Antler Jussi Salovaara mengungkapkan, program yang dilancarkan perusahaannya berbeda dengan program inkubasi atau akselerator yang sudah banyak dikembangkan secara global.

Fokus ke individu yang memiliki visi, pengalaman, serta latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang mendukung, Antler ingin membantu mereka mendirikan bisnis yang sehat dan meminimalisir terjadinya kegagalan saat mendirikan startup.

“Bukan hanya membantu mereka mendirikan startup yang relevan, program yang dihadirkan Antler juga membantu mereka menciptakan bisnis yang tidak terlalu mainstream dan mencoba untuk memberikan solusi dan peluang bisnis yang tepat.”

Antler memiliki rencana membantu 20 startup Indonesia setiap tahunnya dengan memberikan dukungan kepada pendiri startup untuk membentuk tim yang tepat, memberikan pendanaan untuk tahapan awal (pre-seed dan seed), dan memberikan akses ke platform hingga jaringan secara global.

Investasi yang akan digelontorkan Antler adalah $100 ribu per startup.

Antler juga akan memberikan berupa grant atau uang saku setiap dua bulan kepada peserta yang mengikuti program. Mereka yang berhasil bakal mengikuti program lanjutan selama beberapa bulan berikutnya yang fokus untuk meluncurkan dan mulai menumbuhkan perusahaan mereka dengan dukungan dari para mentor, penasihat, dan VC. Tidak melulu didukung mentor asing, Antler juga didukung mentor asal Indonesia yang berkualitas, termasuk CEO GDP Venture Martin Hartono dan Presiden Direktur Blue Bird Noni Purnomo.

Saat ini Antler sudah tersebar di 8 lokasi, yaitu Singapura, London, New York, Sydney, Stockholm, Oslo, Nairobi dan Amsterdam. Sejak program pertamanya di Singapura tahun 2018 lalu, Antler mengklaim telah menghasilkan lebih dari 80 perusahaan teknologi baru.

Menargetkan eks pegawai startup unicorn

Dua contoh startup lulusan program Antler adalah Sampingan yang telah mendapatkan pendanaan tahapan awal dari Golden Gate Ventures dan Base yang telah memperoleh dana tahap awal dari East Ventures dan Skystar Capital. Kedua startup ini memiliki kesamaan, yaitu para pendirinya pernah menjadi pegawai startup unicorn Gojek.

Menurut Jussi, salah satu profil peserta program Antler yang berpotensi adalah memiliki pengalaman bekerja di startup ternama atau memiliki latar belakang pengalaman bekerja di korporasi dan perusahaan besar.

“Saya melihat lulusan atau mantan pegawai startup unicorn menjadi peserta yang paling berpotensi. Seperti yang sudah dibuktikan oleh Wisnu Nugrahadi (Sampingan) dan Yaumi Fauziah Sugiharta (Base) yang sebelumnya pernah bekerja di Gojek.”