Imajin Terima Pendanaan Awal Dipimpin oleh East Ventures [UPDATED]

*Update 25/1 14:00: Kami melakukan pembaruan artikel dengan menambahkan beberapa informasi resmi terkait pendanaan Imajin yang diterima DailySocial.id hari ini dari East Ventures

Startup manufactur hub Imajin resmi mengumumkan pendanaan awal dengan nominal yang dirahasiakan, dipimpin oleh East Ventures serta partisipasi dari 500 Southeast Asia, Init 6, dan sejumlah investor dan angel investor lainnya.

Menurut data yang dilaporkan ke regulator, pendanaan ini turut disuntik oleh Kao Kele Pte. Ltd., Jessica Hendrawidjaja (CMO Shipper), dan Tsuda Yumi. Sebelumnya, Init 6 yang merupakan venture capital bentukan Achmad Zaky ini menjadi investor tunggal pada putaran pendanaan pra-awal Imajin.

“Kami percaya pendanaan ini akan memperkuat kami dalam memaksimalkan potensi pengusaha manufaktur kecil dan menengah. Kami akan terus meningkatkan kualitas platform dan layanan untuk setiap vendor yang bermitra dengan Imajin,” tutur Co-Founder dan CEO Imajin Chendy Jaya dalam keterangan resminya.

Sementara, Partner East Ventures Melisa Irene menambahkan, “kami harap Imajin menjadi solusi yang tepat untuk industri manufaktur, dan mengambil peran aktif dalam mendukung perkembangan industri dan ekosistem digital secara keseluruhan,” ujarnya.

Imajin didirikan oleh Chendy Jaya, Stefanus Hadir (Chief Marketing Officer), dan Joseline Olivia (Chief Product Officer) dengan misi menjadi ekosistem manufaktur kreatif digital.

Melalui platform ini, Imajin mempertemukan manufaktur lokal dengan pelanggan. Imajin juga memfasilitasi pembiayaan proyek (project financing) bagi pemilik usaha yang memiliki keterbatasan dana, dan menawarkan marketplace untuk memasok raw material.

Hingga saat ini, Imajin telah memiliki lebih dari 500 mitra pabrikan lokal, mulai dari mold maker, dies maker, injection, hingga fabrication, serta 100 pelanggan termasuk perusahaan Jepang di Indonesia.

Pada 2020, Imajin ditunjuk oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai manufacturing hub Indonesia. Setahun berselang, Imajin terpilih sebagai salah satu peserta program akselerator Startup Studio Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Ekspansi

Pendanaan baru ini akan digunakan untuk mengembangkan produk, rekrutmen, dan memperluas cakupan pasar di dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah sektor otomotif yang sejalan dengan peningkatan pertumbuhan produksi dalam negeri. Menurut Chendy, industri manufaktur semakin pulih setelah terkena dampak pandemi Covid-19.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia di 2022, industri pengolahan non-migas tumbuh 4,88% (YoY) dengan kontribusi sebesar 16,10% terhadap PDB. Kemudian pertumbuhan sektor otomotif melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Dari sisi produksi, utilisasi industri kendaraan bermotor per Oktober 2022 mencapai 69,20% atau naik sebesar 40% dibandingkan selama pandemi.

Pihaknya berkomitmen untuk mendorong pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) dengan menawarkan pendampingan bagi produsen yang mengembangkan produk baru dari tahap prototipe hingga siap produksi secara massa. Imajin memastikan hasil produksi berkualitas melalui Quality Assurance yang telah terstandarisasi dan pengalaman manajemen proyek dengan solusi Software-as-a-Service (SaaS).

Pada pemberitaan sebelumnya, Imajin berencana ekspansi ke Pulau Jawa dan Batam. Pihaknya juga mempertimbangkan kuat untuk masuk ke Jepang dalam rangka mendorong pelaku industri lokal, terutama pada industri otomotif. Selain itu, pihaknya berupaya mengakselerasi digitalisasi di industri manufaktur melalui pengembangan produk baru.

Diketahui, ekspansi pasar ini dilakukan untuk mendorong penyerapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Sebagaimana diatur pemerintah, TKDN di Tanah Air ditetapkan minimal 35% dan diproyeksi bertambah secara bertahap menjadi 80% di 2026, utamanya pada kendaraan listrik.

Selain Imajin, startup lain di sektor manufaktur adalah Manuva yang baru berganti nama dari sebelumnya Tjetak. Manuva berfokus pada digitalisasi manufaktur dari hulu ke hilir, terutama pada industri kemasan, elektrikal, dan garmen di Indonesia.

Base Mendapat Pendanaan Seri A 94 Miliar Rupiah Dipimpin Rakuten Ventures

Startup DTC untuk produk perawatan dan wellness “Base” mendapat pendanaan seri A sebesar $6 juta atau sekitar 94,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Rakuten Ventures, diikuti investor terdahulu termasuk Antler, East Ventures, Skystar Capital, dan Pegasus Tech Ventures.

Sebelumnya, Base memperoleh pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Skystar Capital dengan partisipasi East Ventures, Antler, iSeed Southeast Asia, Pegasus Tech Ventures, XA Network, dan angel investor. 

Dalam keterangan resminya, Associate Rakuten Ventures Regina Ho mengatakan, selama ini industri produk perawatan kecantikan di Asia Tenggara masih didominasi oleh merek-merek asing. Selain itu, produknya dijual dengan harga di atas pendapatan rata-rata konsumen.

“Hal ini membuat kami bersemangat dengan kemampuan Base untuk membalikkan ekspektasi konsumen tradisional bahwa produk berkualitas tinggi tidak harus mahal. Kami harap bisa mendukung perjalanan Base untuk mengisi ruang kosong perawatan pribadi yang berkembang di Asia Tenggara,” ucap Regina dalam keterangan resminya,

Base didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari pada 2019 dengan operasi awal melalui strategi Direct-to-Consumer (D2C). Kemudian, Base memperluas distribusi ke online dan offline (O2O) untuk menjangkau kota-kota regional. Kini, Base telah melayani pengiriman produk ke 34 provinsi di Indonesia.

Salah satu misi Base adalah memperjuangkan keragaman dan inklusivitas kebutuhan kecantikan masyarakat Indonesia dengan menawarkan perawatan kulit berbahan vegan dan menghadirkan fitur “Smart Skin Test”.

Partner di East Ventures Melisa Irene menambahkan, “Sejak awal kami percaya dengan inovasi Base. Keahlian dan pendekatan lokalnya menghasikan produk perawatan kulit berkualitas tinggi dan berkelanjutan dalam memenuhipermintaan pasar. Kami menantikan lebih banyak inovasi dan pertumbuhan yang akan dihadirkan oleh Yaumi, Ratih, dan tim Base.”

Produk berbasis bioteknologi

Co-founder & CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta mengungkap bahwa pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan lini produk baru, di antaranya kosmetik, perawatan tubuh dan rambut, edible wellness, dan fragrance. Selain itu, Base berencana berinvestasi lebih lanjut pada inovasi dan pengembangan produk. Salah satunya menggabungkan bioteknologi (biotech) ke dalam metode pengembangan lini produk vegan secara kreatif.

Hal ini sejalan dengan profil konsumen Base yang teridentifikasi sebagai gen Z dan milenial; segmen yang memprioritaskan produk sadar lingkungan, mudah diakses, dan berkelanjutan. Melalui pengembangan produk yang mendalam, pihaknya dapat memperluas pertumbuhan pelanggan.

Mengacu studi Euromonitor, industri kecantikan mengalami pertumbuhan signifikan dibandingkan industri lain selama masa pandemi. Adapun, nilai pasarnya diproyeksikan mencapai $10 miliar pada 2025 yang didorong oleh produk kategori perawatan rambut, tubuh, dan kulit, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 6%. Dengan potensi pasar ini, Base memiliki posisi tepat untuk menjadi pemain terkemuka. Base mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan 10x lipat dalam satu tahun terakhir.

Dalam kesempatan ini, Base juga mengumumkan Muhammad Cipta Suhada yang akan mengisi posisi Direktur People & Culture. Sebelumnya, Cipta sempat berkarier di sejumlah perusahaan teknologi terkemuka, seperti Gojek dan LinkAja. Pihaknya berupaya mendefinisikan kembali bagaimana dunia memandang standar kecantikan sehingga setiap orang dapat merasa berdaya dan bangga dengan keunikan yang dimiliki.

“Ini berlaku juga di Base di mana kami mengantisipasi orang-orang untuk mengeluarkan potensi mereka dan melakukan yang mereka sukai. Seiring pertumbuhan perusahaan, kami senang menyambut lebih banyak anggota kepemimpinan senior untuk meningkatkan jalan base sebagai organisasi kelas dunia yang dapat dibanggakan generasi kami.” Tutupnya.

ARIA Kembali Peroleh Pendanaan 74 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Startup agritech ARIA mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $5 juta (lebih dari 74 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures, investor sebelumnya yang berpartisipasi dalam putaran pra-awal pada Maret 2022. Triputra Group dan GK-Plug & Play kembali berpartisipasi dalam putaran ini, bersama dengan investor strategis lainnya, seperti Michael Sampoerna dan Arkana Ventures.

Dana segar ini akan dialokasikan ARIA untuk membantu petani membangun sistem pertanian termekanisasi dengan pemberdayaan drone, menjamin pengembangan produk yang baik dan terarah, dan pengembangan IoT. Sistem ini terus dikembangkan dengan target spesifik para petani demi kemajuan agrikultur di Indonesia.

Co-founder & CEO ARIA William Sjaichudin menyampaikan perolehan dana segar ini merupakan bukti kuat dari keyakinan ARIA untuk mengembangkan sektor pertanian Indonesia dengan pemanfaatan solusi digital. “Kami percaya solusi yang kami hadirkan dapat membuka potensi terbesar dari industri agrikultur di Indonesia, serta menciptakan dampak positif dalam perkembangan Indonesia secara keseluruhan,” ucapnya dalam keterangan resmi, Senin (29/8).

Partner East Ventures Melisa Irene turut menyampaikan keputusan di balik East Ventures untuk melipatgandakan investasinya di ARIA. Menurut dia, pihaknya telah melihat perkembangan yang positif yang dihadirkan ARIA dalam menyediakan solusi digital yang lebih baik untuk para petani.

“Dengan besarnya potensi di bidang agrikultur Indonesia, kami percaya ARIA akan menjadi solusi yang tepat dalam mengintegrasikan solusi digital dan agrikultur untuk memberdayakan lebih banyak petani di Indonesia,” kata Melisa.

Pencapaian ARIA

ARIA Drone / ARIA

Bersamaan dengan pengumuman ini, sambungnya, ARIA turut meluncurkan aplikasi pertamanya, “ARIA TANI”. Aplikasi ini adalah solusi menyeluruh bagi B2C untuk memberikan layanan agrikultur yang terintegrasi. ARIA TANI ditenagai dengan teknologi IoT dan konektivitas untuk meningkatkan produktivitas pada perkebunan skala besar di Indonesia.

“Aplikasi ini menawarkan penggunaan drone sebagai layanan utama dan diintegrasikan dengan layanan produk lainnya, seperti pupuk, agrokimia, serta alat-alat pertanian, untuk memastikan para petani dapat menerima layanannya secara tepat waktu.”

Sebagai catatan, ARIA didirikan pada Oktober 2021 oleh William Sjaichudin, Arden Lim (CPO) dan Yosa Rosario (COO). Mereka menyadari bahwa salah satu permasalahan terbesar dalam sektor agrikultur di Indonesia adalah penurunan jumlah petani yang semakin mengkhawatirkan. Kondisi ini membuat proses penyiraman serta proses panen sulit dilakukan karena keterbatasan tenaga kerja, yang berakibat pula pada turunnya kualitas tanaman, tingginya risiko gagal panen dan menimbulkan kerugian pada petani.

ARIA juga mengembangkan solusi IoT untuk pelacakan para pekerja (worker tracker). pengembangan ini memiliki fokus meningkatkan visibilitas para petani di perkebunan skala besar, serta mengatasi konektivitas yang buruk di kondisi lapangan yang sulit. Solusi ini dikombinasikan dengan mekanisasi pemupukan lewat drone sprayer untuk meningkatkan efisiensi waktu kerja dan pengunaan bahan baku di perkebunan pada tahapan penyemprotan, pemupukan, dan hingga proses panen.

“Dengan pengembangan inovasi IoT dalam penerapan agrikultur, ARIA memberikan sebuah solusi untuk meningkatkan visibilitas dalam kondisi lapangan yang sulit dengan worker tracker yang dapat meningkatkan efisiensi waktu kerja, serta dengan drone sprayer yang memberikan layanan pemupukan secara mekanik. Dengan solusi tersebut, para petani memperoleh hasil analisa lahan dan informasi akurat mengenai kebutuhan pupuk di area-area yang telah ditentukan serta meningkatkan efisiensi pemupukan di lapangan,” ungkap Co-Founder dan CPO ARIA Arden Lim.

“Pada tahun 2022, kami berkolaborasi dengan ARIA untuk mendukung Precision Forestry Project di Provinsi Jambi. ARIA dengan cepat beradaptasi dan mencapai lebih dari 95% pencapaian kuantitatif dalam 3 bulan, yang menjadi bukti performa yang memprioritaskan kepuasan konsumen. Kami berharap pencapaian ARIA dapat ditingkatkan lebih jauh melalui kolaborasi yang saat ini berlangsung dan di masa depan,” ujar Koordinator Remote Sensing Sinar Mas Forestry Umar Hadi Sucipto.

Arden menuturkan, perusahaan akan terus mengembangkan jaringan infrastruktur dan secara cepat membentuk titik distribusi pada 17 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah untuk menjangkau pasar potensial, memudahkan pembelian armada drone dalam jumlah besar, serta pengembangan aset kunci IoT berupa teknologi pelacakan, sehingga menghadirkan nilai tambah dan dampak bermakna bagi para pelanggan ARIA.

Dalam beberapa bulan penerapan, ARIA telah mendapatkan hak eksklusif untuk penyemprotan dengan drone di Indonesia dari Bayer Agrochemicals. Pencapaian ini membuktikan kualitas serta dedikasi yang konsisten terhadap layanan yang dimanfaatkan serta didukung oleh 17 cabang layanan ARIA di seluruh nusantara. ARIA juga mengamankan kontrak pemetaan hutan dengan APP untuk 300 ribu Hektar QC Weeding, dengan hasil terbaik di kelasnya dan memperkuat keunggulan dengan kualitas gambar dan penerimaan sebesar 97%, sehingga menjadi standar terbaru dalam kualitas pekerjaan.

Application Information Will Show Up Here

Logistics Vehicle Management Platform “McEasy” Bags Seed Funding from East Ventures

SaaS startup for logistics vehicle management and tracking McEasy announced a $1.5 million (approximately IDR 22 billion) seed funding from East Ventures. The funds will be used to build logistics technology, recruit marketing and sales teams to reach more users.

“Smart tracking systems are not new in the automotive and industrial world, but we know how to integrate existing hardware, from sensors to GPS, with our platform to be the right solution. With a business plan previously designed, we believe that funds from investors will drive the company’s growth exponentially,” McEasy’s Co-Founder, Raymond Sutjiono said in an official statement, Tuesday (14/9).

East Ventures’ partner Melisa Irene said the application of technology solutions to drive increased asset management efficiency and achieve customer satisfaction is currently the main key in winning the competition in the logistics industry.

“McEasy has succeeded in providing solutions and products that are suitable for various players in the Indonesian logistics industry to help them identify the potential of the logistics market that is currently developing until the post-pandemic. We are delighted to welcome McEasy to the East Ventures ecosystem,” she said.

McEasy team / McEasy

Industry growth momentum

This startup was founded in 2017 by Raymond Sutjiono and Hendrik Ekowaluyo. Both have experience working at Ford. Hendrik is in structural design and in-car program management, while Raymond is an expert in engine electronics, system control, and vehicle data handling.

Both pioneered McEasy as a digitalization catalyst in the B2B logistics and transportation industry. To date, there are still several challenges clouding the logistics transportation management in Indonesia. Among them, the limited integration from one party to another, even though they are still in the same supply chain.

Moreover, business operational processes tend to rely on manual methods with complicated administration, therefore, the digitization process is yet to run smoothly; the same goes with automation and optimization systems to simplify logistics operations.

According to the Indonesian Logistics and Forwarders Association (ALFI), Indonesia’s logistics industry business growth potential from year to year is around 40 trillion Rupiah ($2.8 billion). Based on Redseer’s analysis, the industry has seen up to 100% growth during the pandemic.

Provided solutions

McEasy provides two solutions, Vehicle Smart Management System (VSMS) and Transportation Management System (TMS) & Smart Driver Apps. VSMS is a smart tracker-based digital solution to assist logistics operations and real-time tracking of vehicle locations.

Meanwhile, TMS is a SaaS for integrated planning, implementation, monitoring, and optimization of freight forwarding processes. Through integration in Smart Driver Apps, McEasy customers can track their vehicle position and all operational costs transparently, without the hassle of checking them manually.

Both of these solutions is available for logistics business players, from manufacturing & distribution companies to large brand companies that already have their own fleet or are integrated with logistics service providers.

McEasy’s Co-Founder, Hendrik Ekowaluyo added that the main strength of its service lies in its flexible platform, which is a solution to every customer’s needs. Different from other software providers, they will usually explore the client’s main problem, then explain how to use elements on our platform to solve the problem.

“For example, logistics company A has problem X, next, we will look for the most optimal settings on the platform and guide the client using those settings as a solution. In terms of scalability, this business concept is much more sustainable because we just have to explore the features in the platform without having to create different software every time,” he said.

McEasy uses a subscription-based business model and provides solutions that can be tailored to the scale of the customer’s business, such as 3PL, 4PL, distributor, or brand owner. To date, the areas covered by McEasy’s digital solutions include Java, Bali, Sumatra, Kalimantan and Sulawesi.

Its customer portfolio covers various industries and business sizes, for example MGM Bosco for the cold-chain sector, Rosalia Indah Group for the public transportation sector, as well as RPX and FeDex Indonesia for the last-mile logistics sector in Indonesia.

Since the pandemic, McEasy’s business has also been boosted thanks to digital transformation in the logistics industry. The number of its subscribers has grown 10 times. The company targets in the last quarter of this year to double the total number of vehicles integrated with the system, as well as assist in digitizing the transportation system for corporate customers.

Meanwhile, in the following year, the company will increase its target to achieve four times minimum growth for 2021. McEasy’s ambition is to create an integrated ecosystem that makes it easier for stakeholders to optimize all logistics and supply chain processes.

Logistics startup funding trend

In supporting the digital economy, the logistics industry still has a lot of friction in its business processes. This opportunity encourages startup players to jump in which requires a lot of investment in developing their technology.

Since 2019 to July 2021, the DailySocial research team recorded around 16 announced funding transactions involving technology-based logistics companies. This investment managed to record a total fund value of $586 million. There are at least 4 logistics startups that have a valuation above $100 million, including SiCepat, Waresix, Shipper, and GudangAda.

Company Round Year
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A

Series B

2020

2021

Kargo Technologies Seed Funding

Series A

2019

2020

Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding

Series A

Series B

2019

2020

2021

SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding

Pre-Series A

Series A

Series A+

Series B

2018

2018

2019

2020

2020

Webtrace Seed Funding 2020

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here

Platform Manajemen Kendaraan Logistik “McEasy” Kantongi Pendanaan Awal dari East Ventures

Startup SaaS manajemen dan pelacakan kendaraan logistik McEasy mengumumkan pendanaan tahap awal senilai $1,5 juta (sekitar 22 miliar Rupiah) dari East Ventures. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun teknologi logistik, merekrut tim pemasaran dan penjualan guna menjangkau lebih banyak pengguna.

“Sistem pelacakan pintar memang bukan hal baru di dunia otomotif dan industri, namun kami tahu bagaimana cara mengintegrasikan hardware yang ada, mulai dari sensor hingga GPS, dengan platform kami untuk menjadi solusi tepat. Dengan rencana bisnis yang telah dirancang, kami percaya bahwa dana dari investor akan mendorong pertumbuhan perusahaan secara eksponensial,” kata Co-Founder McEasy Raymond Sutjiono dalam keterangan resmi, Selasa (14/9).

Partner East Ventures Melisa Irene menambahkan, pada masa ini penerapan solusi teknologi untuk mendorong peningkatan efisiensi manajemen aset dan mencapai kepuasan pelanggan merupakan kunci utama dalam memenangkan kompetisi di industri logistik.

“McEasy telah berhasil memberikan solusi dan produk yang cocok dengan berbagai pemain dalam industri logistik Indonesia untuk membantu mereka mengidentifikasi potensi pasar logistik yang tengah berkembang saat ini hingga pasca pandemi. Kami senang bisa menyambut McEasy ke dalam ekosistem East Ventures,” ujarnya.

Tim McEasy / McEasy

Momentum pertumbuhan industri

Startup ini didirikan sejak 2017 oleh Raymond Sutjiono dan Hendrik Ekowaluyo. Keduanya memiliki pengalaman bekerja di Ford. Hendrik di bagian perancangan struktural dan manajemen program dalam mobil, sementara Raymond ahli dalam tata elektronik mesin, kontrol sistem, hingga handling data kendaraan.

Keduanya merintis McEasy sebagai katalis digitalisasi pada industri logistik dan transportasi B2B. Selama ini, manajemen transportasi logistik di Indonesia masih memiliki sejumlah tantangan. Di antaranya, terbatasnya integrasi dari satu pihak ke pihak lain, padahal masih berada di rantai pasok yang sama.

Berikutnya, proses operasional usaha cenderung mengandalkan cara-cara manual dengan administrasi yang rumit, sehingga proses digitalisasi belum berjalan mulus; dan sistem automasi dan optimasi untuk menyederhanakan operasional logistik yang juga belum maksimal.

Menurut Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), potensi pertumbuhan bisnis industri logistik Indonesia dari tahun ke tahun berkisar sekitar 40 triliun Rupiah ($2.8 billion). Berdasarkan analisis Redseer, industri ini telah mengalami pertumbuhan sampai 100% selama pandemi.

Solusi yang ditawarkan

McEasy memberikan dua solusi, yakni Vehicle Smart Management System (VSMS) dan Transportation Management System (TMS) & Smart Driver Apps. VSMS merupakan solusi digital berbasis smart tracker untuk membantu operasional logistik dan pelacakan lokasi kendaraan secara real-time.

Sementara itu, TMS merupakan SaaS untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan optimasi proses pengiriman barang terpadu. Melalui integrasi dalam Smart Driver Apps, pelanggan McEasy dapat melacak posisi kendaraan dan seluruh biaya operasional secara transparan, tanpa perlu repot untuk memeriksanya secara manual.

Kedua solusi ini dapat digunakan oleh para pelaku bisnis logistik, mulai dari perusahaan manufaktur & distribusi hingga perusahaan brand besar yang telah memiliki armada sendiri ataupun terintegrasi dengan vendor-vendor penyedia jasa logistik.

Co-Founder McEasy Hendrik Ekowaluyo menambahkan, kekuatan utama layanannya terletak pada platform yang fleksibel, menjadi solusi setiap kebutuhan pelanggan. Berbeda dari penyedia software lain, biasanya akan mendalami problem utama klien, lalu memaparkan cara menggunakan elemen-elemen pada platform kami untuk mengatasi masalah tersebut.

“Misalnya, perusahaan logistik A memiliki masalah X, maka kami akan mencari pengaturan paling optimal pada platform dan memandu klien menggunakan pengaturan tersebut sebagai solusi. Secara scalability, konsep bisnis ini jauh lebih sustainable karena kita tinggal mengulik fitur-fitur dalam platform tanpa harus membuat software yang berbeda setiap saat,” kata dia.

McEasy menggunakan model bisnis berbasis langganan (subscription) dan memberikan solusi yang dapat disesuaikan dengan skala bisnis pelanggan, seperti 3PL, 4PL, distributor, atau pemilik brand. Hingga saat ini, wilayah yang terjangkau oleh solusi digital McEasy meliputi Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, serta Sulawesi.

Portfolio pelanggannya mencakup berbagai industri dan ukuran usaha, misalnya MGM Bosco untuk sektor rantai pasok dingin (cold-chain), Rosalia Indah Group untuk sektor transportasi publik, serta RPX dan FeDex Indonesia untuk sektor logistik last-mile di Indonesia.

Sejak pandemi, bisnis McEasy turut terdongkrak berkat transformasi digital di industri logistik. Jumlah pelanggannya telah tumbuh 10 kali lipat. Perusahaan menargetkan pada kuartal terakhir tahun ini dapat meningkatkan total kendaraan yang terintegrasi dengan sistem menjadi dua kali lipat, serta membantu digitalisasi sistem transportasi untuk pelanggan perusahaan.

Sementara itu pada tahun berikutnya, perusahaan akan meningkatkan targetnya untuk mencapai pertumbuhan minimal empat kali lipat dari 2021. Ambisi McEasy adalah membuat ekosistem terintegrasi yang memudahkan para stakeholder mengoptimasi semua proses logistik dan rantai pasok.

Tren pendanaan startup logistik

Dalam mendukung ekonomi digital, industri logistik masih memiliki banyak friksi di dalam proses bisnisnya. Kesempatan tersebut mendorong pemain startup untuk terjun yang membutuhkan banyak investasi dalam mengembangkan teknologinya.

Sejak awal tahun 2019 hingga Juli 2021, tim riset DailySocial mencatat ada sekitar 16 transaksi pendanaan yang diumumkan melibatkan perusahaan logistik berbasis teknologi. Investasi ini berhasil membukukan total nilai dana $586 juta. Setidaknya ada 4 startup logistik yang memiliki valuasi di atas $100 juta, yaitu SiCepat, Waresix, Shipper, dan GudangAda.

Perusahaan Putaran Tahun
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A

Series B

2020

2021

Kargo Technologies Seed Funding

Series A

2019

2020

Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding

Series A

Series B

2019

2020

2021

SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding

Pre-Series A

Series A

Series A+

Series B

2018

2018

2019

2020

2020

Webtrace Seed Funding 2020
Application Information Will Show Up Here

East Ventures, Go-Ventures Tambah Portofolio dari Ekosistem Startup di Vietnam

Vietcetera, jaringan media digital berbasis di Ho Chi Minh City, Vietnam, berhasil membukukan pendanaan pra-seri A senilai $2,7 juta. Dipimpin North Base Media, putaran ini juga turut diikuti sejumlah investor lokal, yakni East Ventures dan lengan investasi milik Gojek, Go-Ventures.

Startup media tersebut didirikan sejak tahun 2016 oleh Hao Tran dan Guy Truong; saat ini dikatakan sudah memiliki 20 juta pembaca per bulannya. Secara spesifik mereka menyasar kalangan milenial dan gen Z — jika disamakan dengan pemain dari Indonesia, secara konsep dan bisnis Vietcetera mirip dengan IDN Media.

Bagi East Ventures, ini bukan portofolio pertama mereka di Vietnam. Sebelumnya mereka pernah berinvestasi ke CirCO, operator coworking space; Sendo selaku platform e-commerce; dan Kim An Group pelaku fintech lending setempat. Di Asia Tenggara sendiri, East Ventures saat ini terlihat lebih banyak fokus untuk startup tahap awal di Indonesia dan Singapura, jika dilihat dari kuantitas portofolio yang dimiliki.

Sementara untuk Go-Ventures, sejauh ini dari catatan kami mereka belum memberikan investasi lain ke startup Vietnam. Namun pasar tersebut sudah tidak asing lagi untuk grup perusahaan, pasalnya mereka telah menjelajah ke sana lewat ekspansi layanan Gojek, pun demikian dengan portofolio Go-Ventures, PasarPolis, yang saat ini juga sudah masuk ke pasar tersebut.

East Ventures memandang ekosistem Vietnam

Kendati belum memiliki kantor perwakilan atau partner khusus yang ditempatkan di Vietnam, East Ventures sejauh ini menjadi pemodal ventura lokal dengan portofolio terbanyak di sana.

Kepada DailySocial.id, Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, sebagai negara dengan populasi terbesar kedua di regional, pertumbuhan ekonomi digital di sana cukup kencang. Selain itu, Vietnam dikenal sebagai salah satu pemasok talenta teknis untuk ekosistem digital global; yang berarti memenuhi variabel untuk pengembangan tim lokal yang kuat.

Lebih lanjut Irene memberikan analisisnya dari sisi demografi, “Dibandingkan dengan Indonesia, kedua wilayah tersebut memiliki jumlah penduduk muda yang besar dan memiliki pola yang sama. Vietnam memiliki populasi lebih dari 97 juta dengan penetrasi internet 70,3% pada Januari 2021. Sementara itu, pada periode yang sama, Indonesia memiliki populasi lebih dari 274 juta dan penetrasi internet mencapai 73,7%.”

“Kedua negara tersebut juga memiliki komposisi penduduk yang sama dalam hal kelompok umur, anak muda menempati lebih dari setengah porsi penduduk negara tersebut; Vietnam sekitar 55%, sedangkan Indonesia sekitar 70%.”

Membuka peluang di pasar Vietnam

Menurut laporan e-Conomy SEA 2020, GMV yang dihasilkan oleh pasar Vietnam menempati peringkat ke-3 setelah Indonesia dan Thailand. Tahun 2020 nilai GMV yang dihasilkan dari ekosistem digital setempat sudah mencapai $14 miliar dan diproyeksikan bertumbuh jadi $52 miliar di tahun 2025.

Potensi yang terus bertumbuh membuat pelaku ekosistem di Indonesia tertarik untuk membuka peluang di sana. Dari catatan kami, sejauh ini sudah ada beberapa pemodal ventura lokal yang memiliki portofolio di Vietnam; pun startup lokal yang sudah mulai berekspansi ke sana.

Adanya demografi yang serupa dan potensi penguatan bisnis melalui tim lokal tentu menjadi salah satu komposisi yang memikat bagi bisnis digital untuk melakukan penetrasi di sana – di samping adanya potensi pasar besar dari jumlah populasi yang ada.

Namun demikian, bukan berarti ekspansi ke sana tanpa tantangan. Di kesempatan wawancara berbeda, Irene menyampaikan, “Ada tiga tantangan yang harus diperhatikan [ketika mau ekspansi ke Vietnam], yakni terkait terbatasnya telenta di level mid-management ke atas, peraturan yang masih berubah-ubah, dan praktik bisnis berdasarkan relasi. Ketiganya membutuhkan eksekutor bisnis yang sangat menguasai dinamika lokal.”

Observing Vietnam as Indonesia’s Startup Destination for Expansion

The expansion success story is one of the benchmarks for business growth; It’s no wonder that many founders openly conveyed this ambition on various occasions. Starting from national, regional, then global expansion. In the Indonesian startup ecosystem, several players have enough courage to expand overseas. The level is still regional, trying to work on the market in Southeast Asian countries.

Judging from the existing trend, expansion is generally carried out for two purposes. First is strengthening business operations, Singapore and India are by far the most favorite. Startups create operational offices or R&D centers. Second, the expansion opens up new market shares, increases users, and business traction. For this purpose, Vietnam looks more promising and becomes a priority.

Currently, there are several local startups that are also offering their services in Vietnam. Call it Gojek, Ruangguru, Traveloka, and PasarPolis. In a virtual discussion opportunity held by the Indonesian Embassy in Hanoi on August 12, 2020, Traveloka representatives said that before the pandemic their business had seen good growth and after the pandemic, various plans had been made including collaboration with various parties.

The Indonesian Ambassador to Vietnam, Ibnu Hadi, in the discussion entitled “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” said the government would help “open the door” for Indonesian startups to open markets to Hanoi. Efforts have been made, including to intensively starting collaborations with players in the startup ecosystem there.

Several venture capitalists from Indonesia have also provided funding for Vietnamese startups. In the early stages, there are Venturra, East Ventures, and Alpha JWC Ventures; while at the next stage there are Openspace, Northstar, EV Growth.

About Vietnam market

East Ventures’ partner, Melisa Irene told DailySocial on the promising Vietnam’s internet market. Compared to Indonesia, she said the ecosystem development is 3-4 years behind Indonesia. East Ventures has also invested in two startups there, CirCo (coworking space operator) and Kim An Group (fintech lending for SMEs).

Melisa Irene
Melisa Irene / East Ventures

“Vietnam is potential because its second largest population after Indonesia, the majority age is very young, and Vietnam has recently opened its economy to the global market. This will accelerate the growth of the digital economy in Vietnam in the next few years,” Irene added.

Kim An Group’s Series A funding was successfully closed last week. Apart from East Ventures, Patamar Capital is also involved in the round. Patamar Capital is also a fairly active venture capitalist in the Indonesian ecosystem. They operate in several countries in Southeast Asia and have representatives (partners) in each region.

We had the opportunity to interview Patamar Capital’s partners, Dondi Hananto (Indonesia) and Shuyin Tang (Vietnam).

Working daily with the ecosystem, Shuyin admits that Vietnam are still several years behind Indonesia. However, if you look at the continued development, he feels optimistic about the future of the digital startup. The infrastructure development and solid talent underlie this argument.

Regarding fintech, the most developed business landscape in the region, Shuyin said that in Vietnam, the sector tends to be more controlled compared to other countries. The State Bank of Vietnam released a very limited number of licenses for fintech, both for payment platforms, loans, and other business models.

“Alyhough, digital payments is a fairly active space in Vietnam. Momo recently announced that it has reached 20 million users since it was launched 10 years ago. Other well-known players are Moca (partnered with Grab) and ZaloPay. Gojek also announced to have taken a majority stake in WePay, which means we will finally be able to enjoy GoPay,” Shuyin explained.

The business climate is also different compared to Indonesia. As of August 2020, there are 158 p2p lending startups registered with the OJK in Indonesia. Meanwhile in Vietnam, Shuyin observed the conditions are the opposite, it can be said that fintech lending is more complicated. Related startups must collaborate with existing financial institutions, both from banking and non-banks. There is no “multi-finance enterprise” model in Vietnam, nor is there a specific legal framework for p2p lending.

“I have to say that it is more difficult for lending-focused companies to debut in Vietnam. These companies operate in the ‘gray zone’ or have to partner with banks. And once you reach a certain scale, operating in that zone is not an option, it has to be. find a way to get a license fast. Usually, this process will be long and expensive,” she added.

Shuyin Tang
Patamar Capital’s Partner, Shuying Tang / Patamar Capital

Aside from fintech, in Patamar Capital’s thesis, there are also several startup landscapes that are prioritized in the Vietnamese market, such as healthtech, edutech, logistics, and SME empowerment services.

Vietnam’s market characteristic

Venturra is one of the venture capitalists from Indonesia who has set foot and a dedicated team in that country. Venturra Partner Raditya Pramana reveals his analysis to DailySocial on why Vietnam has become attractive to founders planning expansion.

He said, when talking about market share, once an Indonesian startup wants to expand regionally, they will be presented with two options: the Philippines and Vietnam.

“After Indonesia, a country with a large population are the Philippines and Vietnam. If we compare the two options, the complexity is decisive. The Philippines is an archipelago, separated; while Vietnam is only divided into two large regions, one Hanoi in the north and the other in Ho Chi Minh City. in the South. It’ll become an entry point that makes it easier for companies to build their presence,” Raditya said.

An interesting fact, Raditya also highlighted the talents. Whereas in Indonesia, startups tend to find business talent easier and find it difficult to get technical talent, Vietnam is quite the opposite with less business talent, while technical talent is easier and more affordable. This can also be a consideration for digital startups who want to build a base in the country.

“In terms of market size, it is not as big as in Indonesia, but the development can be very fast. As is known, they also get momentum due to the trade war between the United States and China. There are many manufacturing companies there. The political reforms that have taken place in recent years have provided many opportunities for growth. economy, including making it easier for foreign companies to be there,” Raditya continued.

Raditya Pramana
Venturra’s Partner, Raditya Pramana / Venturra

Venturra’s solid vision has been shown by placing a team in Vietnam since March 2020 to be directly involved in its ecosystem. In Q1 of this year, they have invested in two Vietnamese startups, while the target is to reach 5-7 startups. The pandemic requires Raditya and the team to make many adjustments to their investment plans.

“Our main focus is clearly in Indonesia because we are a local company and understand this market better. However, when talking about foreign markets, we have two targets, Vietnam, then Singapore [because it is a regional business hub],” he said.

As a country with the potential for market expansion, Shuyin gave his view. Vietnam is a naturally growing market that needs to be considered for regional expansion. Interestingly, from his observations in Vietnam, after Covid-19, interest in investing in the country shot up. Including because of Vietnam’s successful strategy in stemming the impact of the pandemic.

“In my opinion, at the top level, yes, Indonesia and Vietnam have similar characteristics. A young population, increasing income, maturing technology ecosystem, etc. However, one thing that the team has seen time and time again is that there are many local nuances and this difference becomes important,” Shuyin said.

Another Patamar Capital partner, Dondi Hananto, added that he agreed with the many similarities. “When you are in Jakarta or Ho Chi Minh City, or in Hanoi or Surabaya, you will find traffic everywhere, and millions of motorbikes. But a closer look, local nuances will be very important in understanding customer behavior.”

“For example, on my trip to Vietnam, I never set foot in a mall. Yes, we have meetings in cafes or restaurants, but not in shopping centers. It’s different from every day in Jakarta, usually before the pandemic I often held meetings at malls, even our offices are in the coworking space inside the mall. While this may seem trivial, I believe things like this affect the way customers behave and may shape how businesses approach the market, “added Dondi.

Tips for startups

With these conditions, there are some tips for startups planning to open a market in Vietnam. First, as Irene said, understanding local business conditions needs to be a strong foundation for each founder. From East Ventures’ analysis, there are three challenges that must be considered, the limited talent at the mid-management level and above, changing regulations, and business practices based on relationships. All three are business executors that is very good at local dynamics.

If you look at the steps of Indonesian startups that are already present in Vietnam, it seems that this is appropriate. For example, what Gojek did by appointing local Phung Tuan Duc as CEO to localize the company’s business strategy there. Ruangguru has done something similar by developing a special brand and platform that is unique to local elements, Kien Guru.

Radit also mentioned that the managerial style must be adjusted for Indonesian startups to expand there. He sees that a community-driven strategy can be relevant, given the existing digital trends. Such as the growth of the social commerce business model, the popularity of Facebook, and others. “What is clear is that the Indonesian playbook cannot be fully replicated there. Customer behavior is different from Indonesia, you must have a strong leader there.”

As Dondi said, based on some of the similarities, founders also need to really understand the similarities in market share between these countries, find out what differences need to be adjusted. “In my opinion, expansion from Java to other islands in Indonesia is already very complicated due to differences in population density, infrastructure, behavior, recruitment, etc. Expanding to other countries is 100 times more complicated because you have to think hard about legal and operational barriers. , including language. ”

Dondi Hananto
Patamar Capital’s Partner, Dondi Hananto / Patamar Capital

And what was also emphasized was the selection of the right local team and partners. The realizations vary, for example through acquisition or acquihire as was done by Traveloka or Gojek, but it does require a high cost.

Why expand to Vietnam?

In Venturra’s portfolio, one startup has arrived in Vietnam, Ruangguru. However, Raditya did not really encourage his startup to quickly expand outside. He will recommend Vietnam as a destination, provided that the startup is really ready and feels that it has reached the best point in running its business on a national scale.

Meanwhile, according to Dondi, it is natural that Indonesian companies must have the will to expand regionally. Businesses must be prepared for these consequences, otherwise, it will be a waste of valuable resources and time. For some businesses, Indonesia’s domestic market is large enough, so that they can increase the maximum scale without expanding to other countries.

“We do have several business portfolios that have grown and are planning to expand to Vietnam, but we want to ensure that this is done carefully,” Dondi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos

Menilik Vietnam sebagai Tujuan Ekspansi Startup Indonesia

Keberhasilan melakukan ekspansi adalah salah satu tolok ukur pertumbuhan bisnis; tak heran banyak founder terang-terangkan menyampaikan ambisi tersebut di berbagai kesempatan. Dimulai dari ekspansi nasional, regional, kemudian global. Di ekosistem startup Indonesia, beberapa pemain telah unjuk gigi melakukan perluasan ke luar negeri. Levelnya masih regional, mencoba menggarap pasar di negara-negara Asia Tenggara.

Melihat dari tren yang sudah ada, umumnya ekspansi dilakukan untuk dua kepentingan. Pertama adalah penguatan operasional bisnis, Singapura dan India sejauh yang paling favorit. Para startup membuat kantor operasional atau pusat R&D. Kedua, ekspansi membuka pangsa pasar baru, meningkatkan pengguna, dan traksi bisnisnya. Untuk kepentingan ini, Vietnam tampak lebih menjanjikan dan menjadi prioritas.

Saat ini, sudah ada beberapa startup lokal yang turut jajakan layanannya di Vietnam. Sebut saja Gojek, Ruangguru, Traveloka, dan PasarPolis. Dalam sebuah kesempatan diskusi virtual yang digelar KBRI Hanoi pada 12 Agustus 2020 lalu, perwakilan Traveloka menyampaikan, sebelum pandemi bisnis mereka mendapati pertumbuhan baik dan setelah pandemi pun berbagai rencana sudah dicanangkan termasuk kolaborasi dengan berbagai pihak.

Dubes RI untuk Vietnam, Ibnu Hadi, dalam diskusi bertajuk “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” tersebut mengatakan, pemerintah akan membantu “membuka pintu” bagi startup Indonesia yang ingin membuka pasar ke Hanoi. Upaya yang sudah dilakukan termasuk secara intensif memulai kolaborasi dengan pemain di ekosistem startup di sana.

Beberapa pemodal ventura dari Indonesia juga sudah lakukan pendanaan untuk startup Vietnam. Di tahap awal ada Venturra, East Ventures, dan Alpha JWC Ventures; sementara di tahap lanjutan ada Openspace, Northstar, EV Growth.

Tentang pasar Vietnam

Kepada DailySocial, Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, potensi pasar internet Vietnam saat ini menjanjikan. Jika dibandingkan dengan Indonesia, menurutnya perkembangan ekosistem di sana berada 3-4 tahun di belakang Indonesia. East Ventures sendiri sudah berinvestasi di dua startup di sana, yakni CirCo (operator coworking space) dan Kim An Group (fintech lending untuk UKM).

Melisa Irene
Partner East Ventures Melisa Irene / East Ventures

“Vietnam potensial karena populasinya kedua terbesar setelah Indonesia, mayoritas penduduk sangat muda, dan Vietnam baru beberapa tahun terakhir membuka perekonomian ke pasar global. Hal tersebut yang akan mengakselerasi  pertumbuhan ekonomi digital di Vietnam dalam beberapa tahun ke depan,” imbuh Irene.

Pendanaan Seri A Kim An Group sebenarnya juga baru berhasil ditutup pekan lalu. Selain East Ventures, Patamar Capital turut terlibat dalam putaran tersebut. Patamar Capital sendiri juga menjadi pemodal ventura yang cukup aktif di ekosistem Indonesia. Mereka beroperasi di beberapa negara di Asia Tenggara dan memiliki perwakilan (partner) di masing-masing wilayah.

Kami berkesempatan untuk mewawancara Partner Patamar Capital, yakni Dondi Hananto (Indonesia) dan Shuyin Tang (Vietnam).

Bekerja sehari-hari dengan ekosistem di sana, Shuyin mengakui bahwa kondisi di Vietnam masih tertinggal beberapa tahun dari Indonesia. Tapi jika melihat lanjut perkembangannya, ia merasa optimis tentang masa depan startup digitalnya. Perkembangan infrastruktur dan talenta yang solid melandasi argumen tersebut.

Terkait fintech, lanskap bisnis yang paling berkembang di regional, Shuyin berpendapat di Vietnam sektor tersebut cenderung lebih terkontrol dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bank Negara Vietnam merilis lisensi untuk fintech dengan jumlah yang sangat terbatas, baik untuk platform pembayaran, pinjaman, dan model bisnis lainnya.

“Meski begitu, pembayaran digital adalah ruang yang cukup aktif di Vietnam, ada Momo baru-baru ini mengumumkan telah mencapai 20 juta pengguna sejak diluncurkan 10 tahun lalu. Pemain lain yang cukup ternama adalah Moca (telah bermitra dengan Grab) dan ZaloPay. Gojek juga mengumumkan telah mengambil saham mayoritas di WePay, yang berarti kami akhirnya akan bisa menikmati GoPay,” terang Shuyin.

Iklim bisnisnya juga berbeda jika dibandingkan di Indonesia. Per Agustus 2020, di Indonesia ada 158 startup p2p lending yang terdaftar di OJK. Sementara di Vietnam, dari pantauan Shuyin kondisinya sebaliknya, bisa dikatakan fintech lending lebih rumit. Startup terkait harus bekerja sama dengan institusi keuangan yang sudah ada sebelumnya, baik dari perbankan maupun nonbank. Tidak ada model “perusahaan multifinansial” di Vietnam, juga belum ada kerangka hukum khusus untuk p2p lending.

“Jadi saya harus mengatakan bahwa lebih sulit bagi perusahaan yang fokus pada pinjaman untuk memulai di Vietnam. Perusahaan ini beroperasi di ‘zona abu-abu’ atau harus bermitra dengan bank. Dan begitu Anda mencapai skala tertentu, beroperasi di zona tersebut bukan pilihan, harus menemukan cara untuk mendapatkan lisensi yang cepat. Biasanya proses ini akan panjang dan mahal,” imbuhnya.

Shuyin Tang
Partner Patamar Capital Shuyin Tang / Patamar Capita

Selain fintech, dalam tesis Patamar Capital juga ada beberapa lanskap startup yang diprioritaskan di pasar Vietnam, yakni healthtech, editech, logistik, dan layanan pemberdayaan UKM.

Karakteristik pasar Vietnam

Venturra menjadi salah satu pemodal ventura asal Indonesia yang sudah injakkan kaki di sana dan memiliki tim yang didedikasikan di negara tersebut. Kepada DailySocial, Partner Venturra Raditya Pramana memberikan analisisnya soal mengapa Vietnam menjadi menarik bagi founder yang merencanakan ekspansi.

Ia berkata, saat berbicara tentang pangsa pasar, setelah suatu startup Indonesia ingin berekspansi secara regional, mereka akan disuguhkan dengan dua pilihan: Filipina dan Vietnam.

“Setelah Indonesia, negara yang memiliki populasi besar Filipina dan Vietnam. Kalau kita membandingkan dua pilihan tersebut, kompleksitasnya menentukan. Filipina berbentuk kepulauan, terpisah-pisah; sementara Vietnam cuma terbagi di dua wilayah besar, satu Hanoi di Utara dan satunya Ho Chi Minh City di Selatan. Jadi itu menjadi entry point yang lebih memudahkan untuk perusahaan membangun kehadirannya,” ujar Raditya.

Hal menarik yang juga disorot Raditya adalah seputar talenta. Jika di Indonesia startup cenderung lebih mudah mendapatkan talenta bisnis dan sulit mendapatkan talenta teknis, Vietnam kebalikannya talenta bisnis yang lebih sulit ditemui di sana, sementara talenta teknis lebih mudah dan terjangkau. Ini bisa menjadi pertimbangan juga bagi startup digital yang ingin membangun basis di negara tersebut.

“Dari segi besaran pasar memang belum sebesar di Indonesia, tapi perkembangannya bisa sangat cepat. Seperti diketahui, mereka juga dapat momentum akibat trade war antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Banyak perusahaan manufaktur di sana. Reformasi politik yang terjadi beberapa tahun terakhir memberikan banyak peluang pertumbuhan perekonomian, termasuk memudahkan perusahaan luar untuk hadir di sana,” lanjut Raditya.

Raditya Pramana
Partner Venturra Raditya Pramana / Venturra

Keseriusan Venturra telah ditunjukkan dengan menempatkan tim di Vietnam sejak Maret 2020 untuk terlibat secara langsung dalam ekosistemnya. Di Q1 tahun inimereka sudah berinvestasi di dua startup Vietnam, sementara targetnya mencapai 5-7 startup. Pandemi mengharuskan Raditya dan tim melakukan banyak penyesuaian rencana investasi mereka.

“Fokus utama kami jelas di Indonesia, karena kami perusahaan di Indonesia dan lebih mengerti baik pasar ini. Tapi kalau berbicara tentang pasar luar negeri, maka target kami ada dua, yakni Vietnam, lalu Singapura [karena merupakan hub bisnis di regional],” kata Raditya.

Sebagai negara berpotensi untuk ekspansi pasar, Shuyin memberikan pandangannya. Vietnam adalah pasar yang tumbuh secara alami yang perlu dipertimbangkan dalam ekspansi regional. Menariknya, dari pengamatannya di Vietnam, setelah Covid-19, minat terhadap investasi di negara tersebut melesat. Termasuk karena strategi keberhasilan Vietnam dalam membendung dampak pandemi.

“Menurut saya di level atas, ya, tentunya Indonesia dan Vietnam memiliki karakteristik mirip. Populasi muda, pendapatan terus meningkat, ekosistem teknologi makin matang, dan sebagainya. Tapi satu hal yang tim kali lihat berkali-kali ada banyak nuansa lokal, dan perbedaan ini penting,” ungkap Shuyin.

Partner Patamar Capital lainnya Dondi Hananto menambahkan, ia setuju tentang adanya banyak kesamaan. “Saat Anda berada di Jakarta atau Ho Chi Minh City, atau berada di Hanoi atau Surabaya, Anda akan menemukan kemacetan di mana-mana, dan jutaan sepeda motor. Namun jika diliat lebih dekat, nuansa lokal akan sangat penting dalam memahami perilaku pelanggan.”

“Misalnya dalam perjalanan saya ke Vietnam, saya tidak pernah menginjakkan kaki di satu mall pun. Ya, kami pernah rapat di kafe atau restoran, tapi tidak di pusat perbelanjaan. Beda dengan sehari-hari di Jakarta, biasanya sebelum pandemi saya sering melakukan meeting di mall, bahkan kantor kami ada di coworking space di dalam mall. Meskipun ini mungkin tampak sepele, saya yakin hal-hal seperti ini mempengaruhi cara pelanggan berperilaku dan mungkin membentuk bagaimana bisnis mendekati pasar,” imbuh Dondi.

Tips untuk startup

Dengan kondisi tersebut, ada beberapa tips yang disampaikan untuk startup yang merencanakan untuk membuka pasar di Vietnam. Pertama, menurut Irene, pemahaman kondisi bisnis lokal perlu menjadi landasan kuat bagi tiap founder. Dari analisis East Ventures, ada tiga tantangan yang harus diperhatikan, yakni terkait terbatasnya telenta di level mid-management ke atas, peraturan yang masih berubah-ubah, dan praktik bisnis berdasarkan relasi. Ketiganya membutuhkan eksekutor bisnis yang sangat menguasai dinamika lokal.

Jika melihat langkah startup Indonesia yang sudah hadir di Vietnam, sepertinya hal tersebut sudah sesuai. Misalnya yang dilakukan Gojek dengan menunjuk orang lokal Phung Tuan Duc sebagai CEO untuk melokalisasi strategi bisnis perusahaan di sana. Hal serupa dilakukan Ruangguru dengan mengembangkan brand dan platform khusus yang khas dengan unsur lokal, Kien Guru.

Radit menambahkan, gaya manajerial memang harus disesuaikan untuk startup Indonesia yang ingin ekspansi ke sana. Ia melihat, strategi community-driven bisa saja relevan, melihat dari tren digital yang ada. Seperti bertumbuhnya model bisnis social commerce, popularitas Facebook, dan lain-lain. “Yang jelas, playbook Indonesia tidak bisa direplikasi sepenuhnya di sana. Customer behaviornya beda dengan Indonesia, harus punya strong leader di sana.”

Menurut Dondi, atas dasar beberapa kemiripan tadi, founder juga perlu benar-benar memahami persamaan pangsa pasar antarnegara tersebut, mencari tahu perbedaan apa yang perlu penyesuaian. “Menurut saya, ekspansi dari Jawa ke pulau lain di Indonesia saja sudah sangat rumit karena perbedaan kepadatan penduduk, infrastruktur, perilaku, rekrutmen, dan lain-lain. Memperluas ke negara lain 100 kali lebih rumit karena Anda harus berpikir keras tentang hukum dan hambatan operasional, termasuk bahasa.”

Dondi Hananto
Partner Patamar Capital Dondi Hananto / Patamar Capital

Dan hal yang juga ditekankan adalah terkait pemilihan tim dan mitra lokal yang tepat. Realisasinya bermacam-macam, misalnya melalui acquisition atau acquihire seperti yang dilakukan Traveloka atau Gojek, tapi memang membutuhkan biaya yang mahal.

Dorongan untuk ekspansi ke Vietnam

Di portofolio Venturra, satu startup sudah hadir ke Vietnam, yakni Ruangguru. Namun Raditya tidak terlalu mendorong startupnya untuk cepat-cepat ekspansi ke luar. Ia akan merekomendasikan Vietnam sebagai tujuan, dengan catatan startup tersebut benar-benar siap dan dirasa sudah sampai titik terbaik dalam menjalankan bisnisnya di skala nasional.

Sementara menurut Dondi, wajar jika perusahaan Indonesia harus punya kemauan melakukan ekspansi regional. Bisnis harus siap menghadapi konsekuensi tersebut, jika tidak maka akan membuang-buang sumber daya dan waktu berharga. Untuk beberapa bisnis, pasar domestik Indonesia sudah cukup besar, sehingga mereka dapat meningkatkan skala maksimal tanpa ekspansi ke negara lain.

“Kami memang punya beberapa portofolio bisnis yang telah berkembang dan berencana untuk melakukan perluasan ke Vietnam, tapi kami ingin memastikan bahwa itu dilakukan dengan hati-hati,” terang Dondi.

Gambar Header: Depositphotos

What Pandemic Means to The Future of Indonesian Beauty Tech

In 2019, the former Minister of Communication and Information, Rudiantara, mentioned that the beauty tech industry would be one of the prima donna in the Indonesian digital economy market.

This is partly due to the beauty and personal care industry that has captured a lot of attention from startups in the last few years. The power of e-commerce in Indonesia opens up opportunities in various new business verticals and this is one of those.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion. However, will this forecast remain valid given the unexpected health crisis that emerged in early 2020?

DailySocial interviewed some beauty tech players and VC actors to find out about future trends in the beauty industry.

The rise of beauty tech in Indonesia

Beauty tech is defined as a new model for the beauty industry players in reaching consumers. Its business model is no longer focused on conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

In Indonesia, the term beauty tech cannot be separated from the emergence of Sociolla in 2015. Its founders, namely John Rasjid, Christopher Madiam, and Chrisanti Indiana, developed a platform that can connect consumers with various kinds of beauty brands. Sociolla may be the only beauty e-commerce platform that has been able to survive and develop until now.

Long before this term became popular, the Female Daily Network (FDN) had appeared and can be said to be the pioneer of the Indonesian beauty tech industry. FDN started as a personal blog about beauty content founded by Hanifa Ambadar and Affi Assegaf in 2005. At that time the penetration of the internet and technology was not as massive as it is now.

Over the past 15 years, FDN has transformed into a platform for beauty junkies to gather. FDN has a strong community base in Indonesia thanks to a rating system that allows anyone to review products from various brands. In fact, FDN is now starting to monetize its business through the Beauty Studio e-commerce platform.

For Co-founder and CEO of Female Daily Network Hanifa Ambadar, the development of beauty tech can accelerate the dissemination of information on beauty products. This means that beauty brands have the opportunity to get the spotlight from a wider audience. Technology actually makes it easier for them to understand the needs of consumers for their products.

“The voice of consumers can not only be used for the next product development, but also to read the tastes and maneuvers of competitors, and to design marketing campaigns,” Hanifa said in the #SelasaStartup session some time ago.

FDN and Sociolla are two clear examples of how technology is changing the beauty industry and becoming a promising business for Indonesia’s digital industry. FDN has received investment injections from several well-known venture capitals (VC), namely Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, and Convergence Ventures. Now, FDN has been acquired by CT Corp, which oversees Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia).

Last July, Sociolla secured $58 million in Series E funding from Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. Meanwhile, East Ventures was also involved in funding the previous series. Crunchbase data records that the total funding raised by Sociolla from 2015 to date has reached $110 million.

The growth of the beauty industry doesn’t stop there. Ease of access to technology and digital platforms in Indonesia also contributes to the birth of new beauty brands in the country. Some of them, such as Rose All Day and Base, use a Direct-To-Consumer (DTC) approach to reach consumers.

Their appearance marks the positive market enthusiasm for beauty products. Market behavior changes. Information dissemination and product marketing are easier to do with the support of digital platforms.

Pandemic changes consumer behavior

The digital economy is predicted to be a sector that will contribute greatly to the Indonesian economy. However, with the current Covid-19 pandemic situation, what does this mean for the beauty tech industry in Indonesia?

According to Sociolla’s Co-founder and CMO Chrisanti Indiana, the pandemic will certainly change the trend of the beauty industry. Over the past six months, Sociolla discovered three new trends. First, the pandemic is driving an increasing trend of online shopping for beauty and personal care products.

Second, users inevitably take advantage of digital channels to buy beauty products. Third, the Work From Home (WFH) policies in many companies motivate people to take care of themselves.

Quoting Analytic Data Advertising (ADA), online shopping activities in Indonesia skyrocketed to 400 percent due to the pandemic in March 2020. Bank Indonesia said the number of e-commerce transactions since March 2020 reached 98.3 million transactions. Meanwhile, the total value of e-commerce transactions increased by 9.9 percent to IDR 20.7 trillion in the same period compared to February 2020.

Referring to the three findings above, Chrisanti said that the beauty sector still has stable growth going forward. In fact, she said that this sector has been a sector that has survived the pandemic era for the past six months.

“There are indeed changes in behavior and consumption, trends in make-up, and health protocols. However, [changes in behavior] actually strengthen the beauty industry in today’s difficult situation. Please note, self-care is a basic human need. We are optimistic that the beauty industry has great potential to grow.” in the future,” she told DailySocial.

Pandemic encourages local brands with DTC approach

As mentioned earlier, the development of the digital ecosystem has also contributed to the growth of new businesses in Indonesia. A number of domestic beauty brands are using the DTC approach to reach consumers easily and efficiently.

In terms of Base, for example, the brand was founded in 2019 and currently relying only on product marketing through the website. Meanwhile, the Rose All Day brand only relies on the marketplace as the front-end of online sales, such as Tokopedia and Shopee.

Generation Z and the millennial segment who are increasingly attached to the seamless lifestyle are considered to be reasons for some of the local brands to adopt this model. Moreover, physical stores are considered no longer relevant for this segment, considering that information and product availability can be accessed anytime and anywhere.

In a time of pandemic, the mushrooming trend of new brands is predicted to continue. The pandemic has indeed limited all kinds of offline activities. However, this can be an opportunity for the emergence of other new brands that apply a similar business model.

“Currently, marketing activities not only owned by big brands and existing players but also young and aspiring brands. For us, new trends will exist and are built on the presence of new brands that are established because of the digital ecosystem. This will continue to shape the beauty industry in Indonesia,” Chrisanti said.

Base’s CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta assessed that Indonesia has a great opportunity to push the domestic beauty market. Especially if you look at the fact that Indonesian consumers are one of the big markets for beauty products in Asia, such as South Korea and Japan.

“Indonesia is one of the largest markets for beauty products in East Asia, for K-Beauty and J-Beauty. About 15 years ago, not many people used these types of products for several reasons; availability and distribution. Therefore, we see that Indonesia has the opportunity to boost penetration of local brands in the region. We have many international standard cosmetic manufacturers,” she explained.

Although this trend will trigger fierce competition, Yaumi believes that it will open up opportunities for consumers that local brands have the ability to create good quality products.

Challenges in the beauty tech

Behind the optimism of local brand growth, Hanifa emphasized that this is also a challenge. He acknowledged that the online platform provides wider access to information on beauty products.

However, consumers have the potential to be easily “distracted” and switch to another brand if they do not have a strong differentiating factor.

“Without it, people will no longer stay only on one website because there are more sources of ‘distraction’. Reflecting on this, we want to become an integrated ecosystem for beauty products,” she added.

Meanwhile, Yaumi sees her business model is having a competitive advantage during the pandemic. Base is positioned as a digitally native vertical brand (DNVB) whose main sales channel is online. Furthermore, a seamless shopping experience becomes big homework for the company.

“Because most consumers are currently not fully mobilized, this has triggered a shift in consumer behavior to shop online. For DNVB like Base, we must ensure that we can provide a seamless shopping experience on all channels, not only the website but also the communication channel,” he said.

Beauty tech optimism in the eye of investors

 

From an investor’s point of view, East Ventures (EV) Partner Melisa Irene sees several findings to validate the optimism of Indonesia’s beauty tech business in the pandemic era.

Based on its track record, EV is one of the VCs with great interest in this sector. Sociolla is the first EV portfolio in the beauty tech sector. In line with Sociolla’s growth and strong position in this sector, EV continues to invest in new DTC brands, namely Base (2019) and Nusantics (2020).

Returning to the matter of findings, Melisa believes her DTC portfolio will grow in the pandemic era. According to him, e-commerce is beneficial for DTC players due to the increasing trend of user screen time during WFH. A number of businesses have also started shifting sales from offline to online. This opens up opportunities for brands to reach receptive consumers.

“In addition, another opportunity is for many brands to diversify their products to meet consumer’s demand during a pandemic. Beauty products are easy to consume. As the industry matures, they have the opportunity to provide a strong shopping experience, especially from wellness/health products,” she said to DailySocial.

No wonder some of the existing and local brands are busy releasing sanitizer and mask products, two health products that have been highly sought after during the pandemic in the last few months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Arti Pandemi Bagi Masa Depan Industri “Beauty Tech” Indonesia

Pada 2019, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sempat menyebutkan bahwa industri beauty tech bakal menjadi salah satu primadona di pasar ekonomi digital Indonesia.

Pasalnya industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) banyak dilirik oleh pelaku startup dalam beberapa tahun terakhir. Kekuatan e-commerce di Indonesia membuka peluang di berbagai vertikal bisnis baru dan ini adalah salah satunya.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar. Namun, apakah perkiraan ini akan tetap valid dengan situasi krisis kesehatan tak terduga yang muncul di awal 2020 ini?

DailySocial mewawancarai sejumlah pelaku beauty tech dan VC untuk mengetahui tren industri kecantikan di masa depan.

Beauty tech dan kebangkitannya di Indonesia

Beauty tech didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Di Indonesia, istilah beauty tech tak lepas dari kemunculan Sociolla di 2015. Para pendirinya, yakni John Rasjid, Christopher Madiam, dan Chrisanti Indiana, mengembangkan platform yang dapat menghubungkan konsumen dengan berbagai macam brand kecantikan. Sociolla mungkin jadi satu-satunya platform e-commerce kecantikan yang mampu bertahan dan berkembang hinggai saat ini.

Jauh sebelum istilah ini populer, Female Daily Network (FDN) sudah lebih dulu muncul dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal pelopor industri beauty tech Indonesia. FDN bermula dari blog pribadi seputar konten kecantikan yang didirikan oleh Hanifa Ambadar dan Affi Assegaf di 2005. Saat itu penetrasi internet dan teknologi saat itu belum semasif sekarang.

Selama 15 tahun terakhir, FDN telah bertransformasi menjadi platform berkumpulnya para beauty junkie. FDN memiliki basis komunitas kuat di Indonesia berkat rating system yang memampukan siapapun untuk mengulas produk dari berbagai brand. Bahkan, FDN kini mulai memonetisasi bisnisnya melalui platform e-commerce Beauty Studio.

Bagi Co-founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar, perkembangan beauty tech dapat mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Artinya, brand kecantikan memiliki kesempatan untuk mendapat sorotan dari audiensi yang lebih luas. Teknologi justru memudahkan mereka memahami kebutuhan konsumen terhadap produknya.

“Suara konsumen tak hanya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk berikutnya, tetapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran,” papar Hanifa di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

FDN dan Sociolla menjadi dua contoh nyata bagaimana teknologi mengubah industri kecantikan dan menjadi bisnis menjanjikan bagi industri digital Indonesia. FDN pernah mendapat suntikan investasi dari beberapa venture capital (VC) ternama, yaitu Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, dan Convergence Ventures. Kini, FDN telah diakuisisi CT Corp yang menaungi Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia).

Sociolla sendiri Juli lalu mengantongi pendanaan Seri E sebesar $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Adapun, East Ventures juga terlibat pada pendanaan seri sebelumnya. Data Crunchbase mencatat total pendanaan yang dihimpun Sociolla sejak 2015 hingga saat ini sudah mencapai $110 juta.

Pertumbuhan industri kecantikan tidak berhenti sampai di situ. Kemudahan akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Kemunculan mereka menandai adanya antusiasme positif pasar terhadap produk kecantikan. Perilaku pasar berubah. Penyebaran informasi dan pemasaran produk semakin mudah dilakukan dengan dukungan platform digital.

Pandemi ubah tren perilaku konsumen

Ekonomi digital digadang menjadi sektor yang bakal berkontribusi besar terhadap perekenomian Indonesia. Namun, dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini, apa artinya bagi industri beauty tech di Indonesia?

Menurut Co-founder dan CMO Sociolla Chrisanti Indiana, pandemi tentu akan mengubah tren industri kecantikan. Selama enam bulan terakhir, Sociolla menemukan tiga tren baru. Pertama, pandemi mendorong peningkatan tren belanja online untuk produk kecantikan dan perawatan diri.

Kedua, pengguna mau tak mau memanfaatkan channel digital untuk membeli produk kecantikan. Ketiga, kebijakan Work From Home (WFH) di banyak perusahaan memotivasi masyarakat untuk melakukan perawatan diri.

Mengutip Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online di Indonesia meroket hingga 400 persen akibat pandemi pada Maret 2020. Bank Indonesia menyebutkan jumlah transaksi e-commmerce sejak Maret 2020 mencapai 98,3 juta transaksi. Sementara, total nilai transaksi e-commerce naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun pada periode sama dibandingkan Februari 2020.

Mengacu pada tiga temuan di atas, Chrisanti menilai bahwa sektor kecantikan masih memiliki pertumbuhan stabil ke depan. Bahkan ia menyebut sektor ini menjadi sektor yang bertahan di era pandemi selama enam bulan terakhir.

“Memang ada perubahan perilaku dan konsumsi, tren make up, dan protokol kesehatan. Namun [perubahan perilaku] justru memperkuat industri kecantikan di situasi sulit saat ini. Perlu diketahui, self care adalah kebutuhan dasar orang. Kami optimistis industri kecantikan punya potensi besar untuk tumbuh di masa depan,” paparnya kepada DailySocial.

Pandemi dorong brand lokal dengan pendekatan DTC

Sebagaimana disebutkan di awal, perkembangan ekosistem digital turut mendorong pertumbuhan bisnis-bisnis baru di Indonesia. Sejumlah brand kecantikan dalam negeri menggunakan pendekatan DTC untuk menjangkau konsumen secara mudah dan efisien.

Pada contoh kasus Base, misalnya, brand yang berdiri pada 2019 tersebut saat ini baru mengandalkan pemasaran produk melalui website. Sementara, brand Rose All Day hanya mengandalkan marketplace sebagai front-end penjualan online, yaitu melalui Tokopedia dan Shopee.

Generasi Z dan segmen milenial yang semakin lekat dengan gaya hidup seamless dinilai menjadi alasan bagi sejumlah brand lokal untuk menerapkan model ini. Terlebih toko fisik dinilai sudah tidak lagi relevan bagi segmen tersebut mengingat informasi dan ketersediaan produk dapat diakses kapanpun dan di manapun.

Dalam konteks pandemi, tren menjamurnya brand baru diprediksi terus berlanjut. Pandemi memang membatasi segala macam aktivitas offline. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kemunculan brand baru lainnya yang menerapkan model bisnis serupa.

“Sekarang kegiatan marketing tidak hanya dimiliki oleh big brand dan pemain existing, tetapi juga young and aspiring brand. Bagi kami, tren baru akan ada dan dibangun dari kehadiran brand baru yang berdiri karena ekosistem digital. Ini akan terus membentuk industri kecantikan di Indonesia,” papar Chrisanti.

Kepada DailySocial, CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menilai Indonesia punya peluang besar untuk mendorong pasar kecantikan dalam negeri. Apalagi jika melihat fakta bahwa konsumen Indonesia termasuk salah satu pasar besar bagi kiblat produk kecantikan di Asia, yakni Korea Selatan dan Jepang.

“Indonesia adalah salah satu pasar terbesar produk kecantikan di Asia Timur, yaitu K-Beauty dan J-Beauty. 15 tahun lalu belum banyak orang yang pakai jenis produk itu karena beberapa hal; ketersediaan dan distribusi. Maka itu, kami lihat Indonesia punya peluang untuk dongkrak penetrasi brand lokal ke regional. Kita punya banyak manufaktur kosmetik berstandar interasional,” jelasnya.

Meski tren tersebut akan memicu persaingan ketat, Yaumi menilai bahwa hal tersebut justru akan membuka kesempatan bagi konsumen bahwa brand lokal memiliki kemampuan dalam menciptakan produk berkualitas baik.

Tantangan bagi industri kecantikan

Di balik optimisme pertumbuhan brand lokal, Hanifa menekankan bahwa hal tersebut juga menjadi tantangan. Ia mengakui bahwa platform online memberikan akses lebih luas terhadap informasi produk kecantikan.

Akan tetapi, konsumen berpotensi mudah “terdistraksi” dan berpindah ke brand lain apabila tidak memiliki faktor pembeda yang kuat.

“Tanpa itu, orang tidak bisa lagi berlama-lama di satu situs karena sumber ‘distraksi’ semakin banyak. Berkaca dari hal ini, kami ingin menjadi satu ekosistem terpadu untuk produk kecantikan,” tambahnya.

Sementara Yaumi melihat model bisnisnya justru memiliki keuntungan kompetitif selama masa pandemi. Base diposisikan sebagai digitally native vertical brands (DNVB) yang channel penjualan utamanya adalah online. Maka itu, pengalaman belanja yang seamless menjadi PR besar bagi perusahaan.

“Karena sebagian besar konsumen saat ini belum sepenuhnya mobilisasi, ini memicu pergeseran perilaku konsumen untuk berbelanja online. Bagi DNVB seperti Base, kami harus memastikan dapat memberikan pengalaman belanja yang seamless di semua channel, tidak hanya website tetapi juga communication channel,” tuturnya.

Optimisme bisnis beauty tech di mata investor

Dari kacamata investor, Partner East Ventures (EV) Melisa Irene melihat ada beberapa temuan yang dapat memvalidasi optimisme bisnis beauty tech Indonesia di era pandemi.

Berdasarkan rekam jejaknya, EV merupakan salah satu VC yang memiliki ketertarikan besar di sektor ini. Sociolla merupakan portofolio pertama EV di sektor beauty tech. Sejalan dengan pertumbuhan dan posisi kuat Sociolla di sektor ini, EV melanjutkan investasinya ke brand DTC baru, yakni Base (2019) dan Nusantics (2020).

Kembali ke soal temuan, Melisa meyakini portofolio DTC-nya akan tumbuh di era pandemi. Menurutnya, e-commerce menjadi beneficial bagi pelaku DTC karena tren screen time pengguna semakin meningkat selama WFH. Sejumlah bisnis juga sudah mulai shifting penjualan dari offline ke online. Ini membuka peluang bagi brand untuk menjangkau receptive consumer. 

“Selain itu, peluang lainnya adalah banyak brand melakukan diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen di masa pandemi. Produk kecantikan itu mudah dikonsumsi. Dengan semakin matangnya industri, mereka punya peluang untuk memberikan pengalaman belanja yang kuat, terutama dari produk wellness/kesehatan,” ungkapnya kepada DailySocial.

Tak heran sejumlah brand lokal existing maupun ramai-ramai mengeluarkan produk sanitizer dan masker, dua produk kesehatan yang sangat dicari selama pandemi beberapa bulan terakhir.