Agate Aktif Susun Pedoman Ruang Ramah Perempuan di Industri Game

Agate International (Agate), perusahaan pengembang game lokal dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, mengumumkan peran aktifnya dalam penyusunan Pedoman Ruang Ramah Perempuan dalam Industri Game Indonesia.

Pedoman ini menyediakan kerangka kerja komprehensif untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah perempuan dan inklusif di perusahaan game di Indonesia.

Proses penyusunan pedoman ini dipimpin oleh Indonesian Women in Game (IWIG) dengan dukungan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), serta pelaku industri game lainnya.

Co-Founder & CEO Agate Shieny Aprilia menyatakan, “Agate sangat mendukung inisiatif IWIG dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan ramah perempuan. Kami percaya bahwa keberagaman dalam tim adalah kunci untuk menghasilkan karya yang inovatif dan bermakna. Pedoman ini akan menjadi bagian penting dalam sejarah industri game Indonesia sebagai landasan dalam mendorong kesetaraan dan inklusi.”

Team Lead Agate Academy Restya Winda Astari menambahkan, “Sebagai bagian dari tim penyusun pedoman ini, kami berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap perempuan yang bekerja di industri game memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi. Kami berharap pedoman ini dapat menjadi panduan yang jelas untuk menciptakan ruang kerja yang aman dan mendukung bagi semua.”

Survei terbaru dari International Game Developers Association (IGDA) dan Geena Davis Institute of Gender in Media menunjukkan bahwa perempuan hanya mengisi sekitar 30% dari posisi pengembang game secara global.

Kesenjangan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat inisiatif keberagaman dalam industri ini. Meski perempuan hampir mencakup separuh dari pemain game di pasar global, kesenjangan gender tetap ada dalam industri game.

Di Indonesia, data dari Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa 80% studio game di Indonesia memiliki karyawan perempuan, sementara 20% lainnya tidak memiliki representasi perempuan. Berdasarkan data tersebut, IWIG berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah perempuan melalui penyusunan pedoman ini.

Ketua IWIG Riris Marpaung menyampaikan, “Penyusunan pedoman ini merupakan langkah besar dalam mewujudkan industri game yang lebih inklusif dan ramah perempuan. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi, termasuk Komnas Perempuan, IBCWE, Agate, dan studio game lainnya yang telah memberikan dukungan dan perhatiannya dalam proses pembuatan pedoman ini.”

Pedoman ini mencakup sepuluh poin utama, termasuk kebijakan keberagaman dan inklusi, praktik perekrutan dan penerimaan karyawan, orientasi dan integrasi, pengembangan profesional, waktu bekerja dan akomodasi di tempat kerja, promosi dan peningkatan karier, hak perlindungan kesehatan dan kesejahteraan, budaya dan lingkungan tempat kerja, pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja, serta pemantauan dan pelaporan.

Project Officer IBCWE Esther Yobelita menyatakan, “Kolaborasi antara IWIG, Agate, dan IBCWE dalam menyusun pedoman ini menunjukkan komitmen kita bersama untuk menciptakan industri yang lebih inklusif dan adil. Kami berharap pedoman ini dapat menjadi contoh bagi industri lainnya dalam menerapkan praktik-praktik yang mendukung kesetaraan gender.”

Agate mengundang seluruh pemangku kepentingan termasuk perusahaan game, komunitas, dan lembaga terkait untuk bersama-sama berkomitmen dalam mewujudkan lingkungan kerja yang lebih inklusif bagi perempuan dalam industri game.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Agate Perkuat Lini B2B, Bentuk Unit Khusus Pengembangan Game 3D

Startup game developer asal Bandung Agate mengumumkan Vertx Break, sub-brand khusus pengembangan game 3D. Sub-brand ini merupakan yang kedua, setelah Level Up yang diumumkan Agate pada 2019.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi Agate memperdalam bisnis B2B2C yang menjadi fokus utama perusahaan, mengingat kontribusinya yang signifikan sebesar 90% dibandingkan segmen B2C dari total bisnis per tahun lalu.

Dalam konferensi pers yang digelar Agate di kantor pusatnya di Bandung pada hari ini (16/1), Co-founder & CEO Agate Shieny Aprilia menyampaikan pembentukan Vertx Break dilatar belakangi oleh naiknya kebutuhan dari perusahaan pengembang game global yang makin bergantung pada pihak ketiga dalam membantu percepat produksi sebuah game.

Demand yang nature paling dicari itu bagian art, sebab dalam lifecycle produksi game butuh partner untuk memenuhi kebutuhan tersebut karena mereka tidak bisa bergantung dari internal saja. Kami melihat kebutuhan tersebut makin besar, terutama untuk 3D dan high quality, ditambah game ready,” ujarnya.

Chief Strategy Officer Agate Cipto Adiguno menambahkan, perkembangan industri game yang pesat secara global, turut menuntut tingginya kualitas konten dari konsumen. Membuat IP (Intellectual Property) baru pun diprediksi makin sulit karena risikonya yang besar. Makanya alternatif tersisa adalah mengembangkan dari IP lama atau membuat sekuel.

Agar mencapai ekspektasi tersebut, perusahaan biasanya membutuhkan kehadiran mitra bisnis dengan kapabilitas dan reputasi baik. Agate menjawab kebutuhan tersebut dengan membentuk Vertx Break yang berfokus pada 3D Stylized Art berkualitas tinggi dan game ready. Layanannya meliputi: 3D Character, 3D Equipment & Outfit, 3D Environment Props, dan 3D Hard Surface.

Kombinasi ini memungkinkan karya yang dihasilkan tidak hanya menawan secara visual, namun juga siap diaplikasikan ke produk game secara keseluruhan. Kelebihan dari Agate ini dinilai belum banyak bisa dihadirkan oleh perusahaan global kebanyakan.

“Umumnya banyak perusahaan yang tidak punya pipeline yang rigid untuk suatu game baru. Harus multi test dan tidak ada struktur untuk memasukkan art secara rigid. Dalam situasi ini kita sudah punya experience yang bisa di-adapt dan di-costumized sesuai kebutuhan mereka,” imbuh Cipto.

Target pengguna yang dibidik adalah perusahaan pengembang game skala AA di Eropa. Menurut Cipto, karakteristik pengembangan dan genre game di kawasan tersebut selaras dengan portofolio game yang selama ini Agate kerjakan, yakni fokus di konsol dan PC.

Sudah ada beberapa klien dari Eropa dan Asia Tenggara yang sedang menggunakan jasa tim Vertx Break. Tim ini terdiri dari delapan orang dengan keahlian teknis dan visi artistik yang memanfaatkan pengalaman Agate dalam membuat sejumlah game menggunakan Unreal Engine dan Unity. Beberapa portofolio game yang telah dikerjakan tim Vertx Break, seperti Street Fighter, Marvel vs Capcom Infinite, World of Tanks, Final Fantasy XIV, dan World Warcraft.

Model bisnis yang dipakai di Vertx Break ini adalah beli putus, paling umum di industri game untuk sebuah external game development. “Namun kami juga sangat terbuka memasukkan services lain milik Agate ke Vertx Break.”

Head of Vertx Break Agate Ar Cahyadi Indra menuturkan, “Fokus ini memungkinkan kami membangun percakapan yang lebih relevan dengan strategi bisnis art outsourcing kami. Melalui pendekatan unik kami sebagai game art development partner yang resourceful dan adaptable untuk kebutuhan 3D Art Development, partner kami dapat menghemat banyak waktu penyesuaian dan perbaikan jika berkolaborasi dengan Agate.”

Rencana Agate

Sebagai bagian dari rencana Agate yang ingin perkuat B2B2C, selain memperkenalkan Vertx Break, perusahaan juga akan melanjutkan ekspansi regionalnya ke pasar Amerika dengan membentuk tim perwakilan di sana untuk perbanyak portofolio bisnisnya (co-development). Sejauh ini, Agate telah hadir di empat negara, yakni Kanada, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.

Di saat yang bersamaan, perusahaan juga terus meningkatkan proses pengembangan internal dan meningkatkan kualitas output melalui inisiatif proyek R&D bersama para mitra sebelumnya yang telah sukses dilaksanakan. Mereka adalah Naver Z, PQube, dan Freedom Games.

Terakhir, Agate berkomitmen mengembangkan keahlian para talenta lokal serta kualitas kepemimpinannya untuk mendorong percepatan pertumbuhan industri game di tanah air melalui Agate Academy. Saat ini karyawan Agate berjumlah 248 orang dengan kantor pusat di Bandung, Jawa Barat.

Pada tahun lalu, Agate secara konsisten berperan aktif dalam mempromosikan industri game lokal. Tercatat ada lebih dari 35 acara di ranah internasional, yang sebagian besar diselenggarakan di Eropa dan Amerika telah dihadiri.

Selain itu, Agate juga menjalin kemitraan baru dengan 5 perusahaan global, yaitu ISKRA, Naver Z (ZEPETO), PQube, Ifland, dan Sekuya. Agate juga merilis 14 proyek global dan memulai 4 proyek game baru, pencapaian ini naik dibandingkan tahun sebelumnya.

Mengutip dari data Statista, memasuki tahun 2024, pasar video game global diproyeksikan akan mencapai pendapatan sebesar $282,30 miliar dengan peningkatan 13%, serta diperkirakan akan tumbuh sebesar 8,76% (YoY) antara tahun 2024 dan 2027, menghasilkan volume pasar yang diproyeksikan sebesar $363,2 miliar pada tahun 2027.

Selain itu, Agate memprediksi beberapa aspek yang akan tumbuh dalam sektor industri game tahun ini, di antaranya franchise games yang akan terus mendominasi; kemungkinan adanya konsol baru yang akan memasuki pasar, sehingga dapat membuka banyak peluang baru bagi para pengembang game di seluruh dunia; serta penggunaan Artificial intelligence (AI) yang dapat membantu mempercepat proses pengembangan game.

Potensi dan Tantangan Game Blockchain di Indonesia

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Newzoo dengan Crypto.com, sebanyak 40% gamers di Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia tertarik dengan game blockchain dan berencana untuk mencobanya di tahun ini. Namun, hanya 5% gamers yang mengaku sangat tertarik dengan game blockchain.

Sementara 35% gamers lainnya mengatakan, mereka hanya cukup tertarik saja. Tapi, hal ini tidak menyurutkan semangat sejumlah developer game Indonesia untuk mengembangkan game blockchain.

Keadaan Industri Game di Indonesia

Pada 2018, total pemasukan industri game di Indonesia mencapai US$1,1 miliar, berdasarkan data dari Newzoo. Sementara pada tahun lalu, total spending gamers Indonesia mencapai US$1,9 miliar.

Hal ini menunjukkan besarnya potensi industri game di Indonesia. Sayangnya, dari total belanja gamers Indonesia, developer lokal hanya mendapatkan US$7 juta, ungkap Arief Widhiyasa, Chairman dari Agate pada GamesBeat.

Pemerintah Indonesia sendiri menunjukkan minat untuk mengembangkan ekonomi digital di Tanah Air, termasuk di ranah game.

Sejauh ini, Indonesia bahkan telah berhasil menelurkan 14 unicorns, yaitu startup yang memiliki valuasi lebih dari US$1 miliar. Hal itu berarti, 38% dari total unicorn di Asia Tenggara berasal dari Indonesia. Hanya saja, tidak ada satu pun unicorn itu yang berasal dari industri game.

Perbandingan ekosistem game di Indonesia dan negara-negara Asia lain.
Perbandingan ekosistem game di Indonesia dan negara-negara Asia lain.

Padahal, jika sukses, perusahaan game juga bisa memberikan kontribusi besar ke ekonomi sebuah negara. Contohnya, Supercell dari Finlandia. Pemerintah Finlandia pernah memberikan pinjaman sebesar US$400 ribu pada Supercell. Dan pada 2018, Supercell membayar pajak sebesar US$122 juta dalam setahun setelah sukses dengan Clash of Clans.

Secara total, industri game Finlandia memiliki total pemasukan sebesar US$3 miliar dan mempekerjakan sekitar 3,6 ribu orang. Sebagai perbandingan, di Indonesia, hanya ada lebih dari 25 perusahaan game yang mempekerjakan lebih dari 2 ribu staff.

Potensi Game Blockchain di Indonesia

Popularitas cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum membuat masyarakat luas semakin kenal dengan blockchain. Dan sekarang, perusahaan game Indonesia tampaknya ingin menggunakan teknologi blockchain untuk mendisrupsi industri game lokal.

Setidaknya, begitulah yang diungkapkan oleh Ivan Chen, CEO dari Anantarupa, kreator dari Lokapala. Dia mengatakan, kebanyakan gamers lokal sudah memiliki cryptocurrency. Hal itu membuatnya optimistis, gamers di Indonesia akan memiliki pikiran yang terbuka untuk mencoba game blockchain.

“Di pasar lokal, saya tidak melihat adanya masalah,” kata Diana Paskarina, COO dan Co-founder dari Anantarupa, dikutip dari GamesBeat. “Saya rasa, orang-orang mengerti bahwa ketika Anda mendapatkan sesuatu di game tradisional, mereka tidak benar-benar memiliki items tersebut. Tapi, dengan blockchain dan NFT, Anda akan mendapatkan nilai lebih banyak dan masyarakat memahami itu.”

Lokalapa buatan Anantarupa. | Sumber: YouTube
Lokalapa buatan Anantarupa. | Sumber: YouTube

“Tren yang kami lihat di Asia Tenggara, orang-orang lebih mau untuk mencoba sesuatu yang baru,” kata Wei Zhou, CEO dari Coins.ph, bursa crypto di Filipina.

“Sebagian besar populasi di ASEAN masih muda dan kebanyakan dari mereka tidak memiliki rekening bank. Semua hal ini membentuk dinamika yang unik. Para developers akan muncul dari Asia Tenggara, yang menciptakan produk untuk konsumen Asia Tenggara. Di era Web2, kamilah yang menghabiskan uang untuk perusahaan-perusahaan game. Dengan Web3, saya mulai merasa bahwa transaksi ekonomi yang terjadi bersifat dua arah.”

Sementara itu, Yat Siu, Executive Chairman dari Animoca Brands, mengatakan, jika dibandingkan dengan gamers asal Amerika atau Eropa, gamers di Asia tidak terlihat memiliki kebencian yang amat sangat pada game blockchain. Faktanya, Axie Infinity bisa begitu populer di 2021 karena game tersebut dimainkan oleh banyak gamers asal Asia Tenggara, termasuk Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.

Pada saat yang sama, Siu melanjutkan, tidak bisa dipungkiri, ada banyak gamers yang sudah terlanjur tidak suka dengan game blockchain. Kekhawatiran mereka akan adanya game blockchain yang bertujuan untuk menipu pemainnya juga merupakan ketakutan yang nyata.

Tantangan di Industri Game Blockchain

Sebagai industri yang relatif baru, game blockchain menawarkan tantangan tersendiri untuk para perusahaan yang berkutat di dalamnya. Melalui blog-nya, Adam Ardisasmita, CEO Arsanesia dan VP dari Asosiasi Game Indonesia (AGI), mencoba untuk menjabarkan beberapa masalah yang ada pada game blockchain saat ini.

Baca selengkapnya di Hybrid.co.id: Potensi dan Tantangan Game Blockchain di Indonesia

Kehadiran Penasihat Baru, Bagaimana Agate Melihat Potensi Industri Game Lokal Berikutnya

Belum lama ini, startup pengembang game Agate menunjuk Raymond Chin sebagai strategic advisor. Raymond adalah Co-founder & CEO dari platform edukasi di bidang keuangan dan investasi Ternak Uang. Dengan penunjukan penasihat baru, Agate punya segudang ambisi yang ingin dicapai, melalui berbagai inisiasi yang sudah dilakukan dan akan segera diumumkan.

Melalui wawancara bersama DailySocial.id, perwakilan Agate menjelaskan ada dua alasan utama di balik keputusan mengapa menunjuk Raymond. Pertama, ia memiliki pengalaman yang kaya di dunia startup lokal, dari berbagai posisi, seperti founder, VP, investor, hingga edukator. Dengan demikian, ia bisa memberikan sudut pandang yang lebih menyeluruh mengenai pengembangan startup, mengingat ekosistem di industri ini terus bergejolak dan berubah setiap saat.

“Kedua, sebagai gamer, Raymond memiliki minat yang besar di dunia game, khususnya industri lokal. Kami dan Raymond punya visi yang sama, bukan sekadar untuk memajukan satu perusahaan saja, tetapi bersama-sama mendorong industri Indonesia,” kata perwakilan perusahaan.

Sebagai strategic advisor, nantinya Raymond akan berdiskusi intens dengan para pemimpin di Agate dan memberikan masukan mengenai pilihan-pilihan strategis yang tersedia bagi Agate demi mencapai visi bersama.

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Co-founder dan CEO Agate Arief Widhiyasa menuturkan, “Sejak pandemi, industri game di seluruh dunia justru terus menunjukkan tren yang positif. Di Indonesia sendiri, nilai industri game pada tahun 2021 mencapai $1,9 miliar. Momentum ini perlu dimanfaatkan dengan baik dan Raymond adalah sosok yang tepat untuk melengkapi roda perusahaan demi menuju arah yang ingin kami capai bersama-sama.”

Menurut Arief, dengan potensi game yang besar Indonesia sebagai dengan pertumbuhan pasar tercepat di Asia Tenggara, sayangnya developer lokal hanya menguasai pangsa pasar 0,5%. Agate perlu mengisi gap kompetensi sumber daya dan dukungan developer lokal yang sedang merintis jalan. Selain itu, Raymond diharapkan dapat terlibat untuk pengembangan produk Agate yang saat ini terbagi ke dalam consumer games (B2C) dan solusi berbasis game (B2B).

“Raymond akan membawa perspektif talenta global dalam pelatihan dan peningkatan sumber daya developer lokal, hingga terlibat langsung dalam pendanaan awal produksi game dengan standar internasional.”

Sebagai gambaran, di Vietnam saja ada lebih dari 150 perusahaan game dengan jumlah pekerja yang mencapai 20 ribu orang. Sedangkan di Indonesia, tercatat hanya sekitar 25 perusahaan dengan total sekitar 2 ribu pekerja yang melayani total populasi 270 juta. Oleh karenanya, isu kekurangan talent berkualitas, serta adanya ekosistem game yang suportif dan terbuka bagi talenta baru merupakan kunci utama agar industri game lokal memiliki daya saing.

Inisiatif Agate

Berkaitan dengan dukungan Agate terhadap industri game lokal, sebelumnya pada September 2021, perusahaan sudah mengumumkan Agate Skylab Fund dengan tiket investasi mulai dari $100 ribu sampai $1 juta. Selain pendanaan, Agate juga menawarkan mentorship, networking, dan unity.

Untuk preferensinya, Agate mencari pengembang game multiplatform PVE (Player vs. Environment) dengan model bisnis free-to-play. Keputusan ini sudah diambil berdasarkan riset perusahaan yang panjang. Misalnya, membangun game multiplatform itu memang sulit, tapi semakin sulit ikhtiarnya, maka semakin sedikit saingannya. Artinya, kesempatan jauh lebih besar.

Terkait kabar terbarunya sejauh ini, pihak Agate mengaku masih meninjau beberapa proposal yang diterima demi memastikan bahwa proyek yang diajukan memang sesuai dengan standar perusahaan. “Saat ini kami masih belum bisa membagikan datanya.”

Menurut Arief, ada dua cara membangun industri game lokal. Pertama, tarik dari atas dengan mengucurkan dana. Kedua, dorong dari bawah melalui program akademi, mengajarkan kepada para pelajar yang mau buat game. Agate Skylab Fund adalah bentuk konkret dari cara pertama.

Perusahaan mematok tolak ukur kesuksesan dari game yang didukung Syklab nantinya berdasarkan revenue per tahun, setidaknya mencapai angka $1 miliar per tahun. Makanya, target konsumen tidak hanya dari Indonesia tapi juga pasar global.

Sebagai catatan, Agate mengelompokkan perusahaan game ke dalam enam level berdasarkan jumlah pemasukan yang diterima tiap tahun. Sebagian besar developer Indonesia ada di level 4 sampai 6 dengan penghasilan sekitar $10 ribu sampai $1 juta per tahun.

Sebagai perbandingan, Valve ada di level 3, dengan pemasukan lebih dari $10 juta, sementara Sega ada di level 2 dengan pemasukan lebih dari $100 juta. Sementara, Nintendo dan Sony ada di level paling tinggi dengan pemasukan lebih dari $1 miliar per tahun.

Berdasarkan riset yang dilakukan Asosiasi Game Indonesia, cara agar perusahaan lokal bisa naik level bila mengandalkan cara organik, statistiknya adalah 25% per tahun. Jika selama 10 tahun mendatang hanya mengandalkan cara ini saja, maka maksimal pemain lokal hanya bisa capai ke level 3 saja.

Tren game play-to-earn

Sebagai perusahaan, Agate punya dua model bisnis, B2C dan B2B. Meski tidak dirinci secara spesifik, masing-masing channel ini punya kontribusi masing-masing. Melalui B2C, perusahaan bisa mengenal langsung dan membangun komunitas gamer. Sekaligus mempelajari tren dan teknologi gaming terbaru yang populer saat ini.

“Sedangkan melalui B2B, kami terus tertantang untuk memahami berbagai tujuan bisnis dan proses bisnis dari berbagai bidang industri. Seiring meningkatnya kesadaran dari industri non-gaming terhadap potensi game-based solution dalam memenuhi kebutuhan bisnis mereka, maka porsi B2B menjadi signifikan bagi kami.”

Salah satu tren global yang kini tengah dicermati Agate adalah game berkonsep play to earn (P2E). Menurut mereka, model game seperti ini perlu disikapi dengan hati-hati karena dapat menjadi pedang bermata dua. Pasalnya, motivasi mendapatkan uang bisa jadi malah mengurangi makna atau keseruan dari sebuah game.

Selain itu, tantangan di model P2E adalah selalu ketergantungan terhadap jumlah pemain baru, sebab selalu perlu ada pemain baru yang mencari dan membeli barang-barang dalam game. Makanya, skema seperti tidak sehat dan tidak sustainable. “Saat ini kami belum bisa membagikan detailnya, tapi tim Agate memang tengah mengeksplorasi bentuk model bisnis ini.”

Maka dari itu, perusahaan justru lebih nyaman menggunakan istilah play and earn, bukan play to earn. “Karena kami berharap orang bisa bermain sambil mendapatkan sesuatu yang konkret, selain tentunya mendapat rasa seru/hiburan, bukan main sekadar mencari sesuatu.”

Agate selalu memegang prinsip membangun creator’s economy (ekonomi kreator). Alasannya, industri creator’s economy berarti memungkinkan pengguna bisa membuat atau mencari aset/barang dalam game, yang kemudian bisa dijual dan diperdagangkan ke pengguna lainnya. Jadi yang bisa bertransaksi tidak hanya antara developer dengan pemain, tapi juga antar pemain.

“Jadi pemain yang fokus bermain demi kesenangan bisa membeli karya pengguna lainnya, demi pengalaman bermain yang lebih seru sehingga terbangun ekosistem yang sehat dan bisa mewadahi semua jenis pemain,” pungkas perwakilan Agate.

PUBG: Battlegrounds Bakal Jadi Gratis di 2022, GTA V Jadi Game Terpopuler di Twitch

Sepanjang minggu lalu, ada beberapa berita menarik terkait dunia game. Salah satunya, PUBG: Battlegrounds akan bisa dimainkan secara gratis mulai Januari 2022. Selain itu, Agate juga telah meluncurkan visual novel baru di platform Memories mereka. Sementara developer asal Malaysia akan merilis game  platformer mereka, The Company Man, dalam bentuk fisik di awal 2022. Terakhir, viewership dari Twitch dan Facebook Gaming naik lebih dari 40% pada 2021.

Agate Punya Visual Novel Baru, Celestia: Chain of Fate

Agate telah meluncurkan judul baru ke platform visual novel mereka, Memories. Game terbaru dari studio asal Bandung tersebut adalah Celestia: Chain of Fate. Memories merupakan platform visual novel yang tersedia di Android dan iOS. Di Memories, Anda akan menemukan banyak visual novel dari Agate. Sejak diluncurkan pada 2020, Memories telah diunduh sebanyak lebih dari 2 juta kali.

Dalam Celestia: Chain of Fate, pemain akan menjadi remaja perempuan yang hidupnya berubah 180 derajat setelah dia mengetahui rahasia tentang orangtuanya. Ternyata, ibunya adalah seorang Angel, sementara ayahnya berasal dari Demon World. Ketika itu, dia juga menjadi tahu akan keberadaan dunia lain, yang menjadi tempat tinggal dari ras-ras non-manusia. Dia pun diundang untuk bersekolah Celestia Academy, sebuah sekolah sihir. Sama seperti visual novel lain, pemain akan dihadapkan pada beberapa karakter yang menjadi Love Interest.

GTA V Jadi Game yang Paling Sering Ditonton di Twitch

Walau diluncurkan pada 2013, Grand Theft Auto V masih sangat populer di Twitch. Buktinya, game itu kini menjadi game dengan total hours watched paling banyak. Sepanjang 2021, total hours watched dari GTA V mencapai 2,1 miliar jam, naik dari 764 juta jam pada 2020, menurut laporan State of Stream 2021 dari Rainmaker.gg dan StreamElements.

Sementara itu, game yang paling sering ditonton ke-2 adalah League of Legends, yang duduk di peringkat pertama pada tahun lalu. Tahun ini, total hours watched dari League of Legends mencapai 1,8 miliar jam, naik dari 1,4 miliar jam pada tahun lalu. Setelah GTA V dan League of Legends, game-game lain yang  masuk dalam daftar 10 game dengan total hours watched tertinggi adalah Fortnite, VALORANT, Minecraft, Call of Duty: Warzone, CS:GO, Apex Legends, dan Dota 2, seperti yang disebutkan oleh IGN.

PUBG: Battlegrounds Bakal Bisa Dimainkan Gratis di Tahun Depan

PUBG: Battlegrounds, game yang mempopulerkan genre battle royale, akan bisa dimainkan secara gratis per 12 Januari 2022. Semua orang yang memainkan PUBG: Battlegrounds secara gratis akan mendapatkan akun Basic, yang memungkinkan mereka untuk mengakses hampir semua fitur dalam game.

Bagi orang yang tidak puas dengan akun Basic dan ingin mengakses lebih banyak fitur dalam game, mereka bisa membayar US$13 untuk mendapatkan akun Plus. Dengan upgrade tersebut, mereka akan mendapatkan Survival Mastery XP +100%, Career-Medal Tab, dan Ranked Mode. Selain itu, mereka juga bisa membuat atau bermain di Custom Match. Pemain yang telah meng-upgrade akunnya juga akan mendapatkan Captain’s Camo Hat, Captain’s Camo Mask, Captain’s Camo Gloves, dan Bonus 1300 G-COIN.

PUBG: Battlegrounds akan bisa dimainkan secara gratis pada tahun depan. | Sumber: Steam

Para pemain yang telah membeli PUBG: Battlegrounds sebelum ia bisa dimainkan secara gratis akan langsung mendapatkan akun Plus. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan PUBG – Special Commemorative Pack, menurut laporan IGN.

2022, The Company Man dari Developer Malaysia Bakal Bisa Dibeli Secara Offline

Developer asal Malaysia, Forust Studio, akan meluncurkan The Company Man dalam bentuk fisik pada awal 2022. Game itu pertama kali dirilis secara digital pada Mei 2021. Sejauh ini, game tersebut telah mendapatkan banyak review positif. Sampai saat ini, Forust Studio juga telah memberikan berbagai updates.

The Company Man adalah game action platformer yang mengharuskan pemain untuk mendaki tangga karir dalam sebuah perusahaan: dari menjadi anak magang sampai menjadi CEO. Untuk itu, para pemain harus menyelesaikan semua level di game, yang digambarkan sebagai lantai di gedung perusahaan. Masing-masing lantai akan didasarkan pada divisi di perusahaan, seperti accounting atau human resources, lapor IGN.

Di setiap lantai, pemain harus mengalahkan manager dan juga para anak buahnya. Untuk itu, pemain akan dipersenjatai dengan keyboard. Para pemain akan bisa menyerang musuh dengan email.

Pertumbuhan Viewership Twitch dan Facebook Tembus 40%

Pada 2021, total hours watched di Twitch menembus 24 miliar jam, berdasarkan laporan State of the Stream 2021 Year in Review dari StreamElements dan Rainmaker.gg. Jika dibandingkan dengan total hours watched di tahun 2020, total hours watched di Twitch tahun ini naik 45%. Sementara itu, viewership dari Facebook Gaming juga mengalami kenaikan. Tidak tanggung-tanggung, viewership Facebook Gaming naik 47%, menjadi 5,3 miliar jam selama 2021, menurut laporan GamesIndustry.

Di Twitch, ada tiga game yang berhasil mendapatkan lebih dari satu miliar jam hours watched pada 2021. Ketiga game itu adalah Grand Theft Auto V, League of Legends, dan Fortnite. Kali ini adalah pertama kalinya total hours watched dari Fortnite menembus satu miliar jam. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, viewership dari Fortnite naik 10,6%, menjadi 1 miliar jam.

Investasi untuk Developer Game, Seberapa Penting?

Sebanyak 67,8% developer game di Indonesia menggunakan dana pribadi sebagai dana operasi, menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini menunjukkan, pendanaan masih menjadi salah satu masalah bagi developer lokal.

Kabar baiknya, skema pendanaan untuk developer game lokal saat ini sudah jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Ada beberapa program pendanaan yang bisa developer incar jika mereka memang membutuhkan kucuran dana segar. Beberapa program tersebut antara lain:

Toge Game Fund Initiative (TGFI), hingga US$10 ribu (sekitar Rp143 juta)
Bantuan Insentif Pemerintah, hingga Rp200 juta
Indigo Game Startup Incubation (IGSI), hingga Rp2 miliar
Agate Skylab Fund, hingga US$1 juta (sekitar Rp14,3 miliar)

BIP merupakan program dana untuk 9 subsektor industri kreatif. | Sumber: Kemenparekraf

Seberapa Penting Modal untuk Developer Game?

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kris Antoni Hadiputra, CEO dan pendiri Toge Productions, mengatakan bahwa bagi developer game, pendanaan itu memang punya peran penting, tapi bukan yang paling penting. Dia bercerita, hanya dengan modal sebesar Rp5 juta dan 1 komputer, dia sudah bisa memulai studio game-nya sendiri. Menurutnya, bagi pendiri studio, memiliki mindset yang tepat justru lebih penting. Sementara modal uang akan berfungsi layaknya safety net.

“Di Indonesia, kita tidak punya mentor. Jadi, semua harus belajar sendiri,” kata Kris. “Kalau punya dana, kita punya waktu lebih lama untuk gagal sebelum membuat produk yang memang sesuai dengan market.” Sementara setelah perusahaan berjalan, dana investasi akan dibutuhkan untuk memperbesar skala perusahaan. Pada dasarnya, semakin besar sebuah perusahaan, semakin besar pula modal yang dibutuhkan.

Sementara itu, CEO Agate International, Arief Widhiyasa bercerita, pada awal berdiri, Agate juga tidak langsung mencari dana investasi. Mereka justru melakukan bootstrapping, yaitu membangun bisnis dengan modal milik sang pemilik, tanpa harus meminjam uang dari bank. Ketiadaan modal memang bukan jaminan kegagalan. Namun, Arief merasa, tanpa modal, kemungkinan perusahaan game gagal juga menjadi lebih besar.

“Analoginya, tanpa modal itu seperti kalau kita main suit, tapi kita cuma punya dua jurus,” ujar Arief. “Kalau batu itu mental fortitude, gunting itu capability, kita nggak pernah punya kertas, yaitu modal. Jadi, kita tidak bisa menampar pasar dengan marketing besar-besaran.”

TGFI tawarkan dana hingga US$10 ribu. | Sumber: Toge Productions

Sementara ketika ditanya kapan waktu yang tepat bagi developer untuk mencari dana investasi, Arif mengatakan bahwa waktu yang tepat adalah ketika developer sudah bisa memperkirakan besar dana yang diperlukan untuk membuat sebuah game. “Ketika tim sudah punya kemampuan untuk deliver game, ketika tim sudah tahu betul funding yang didapat akan digunakan untuk apa dan bisa mempertanggungjawabkan investasi yang didapatkan,” ujar Arif.

Kris menambahkan, jika developer mencari dana tanpa punya rencana yang matang akan penggunaan investasi tersebut, hal ini justru berpotensi membuat uang terbuang sia-sia. “Kadang-kadang, banyak startup yang baru mulai yang mengira kalau mendapatkan funding adalah tujuan akhir,” kata Kris. Padahal, bagi developer game, tujuan akhir mereka tetaplah mendapatkan untung dengan menjual game yang mereka buat. Dan keuntungan yang didapat dari penjualan game itu, idealnya, lebih besar dari dana investasi yang didapatkan perusahaan.

Model Bisnis Apa yang Ideal untuk Developer Game?

Secara garis besar, ada empat model bisnis yang biasa digunakan developer game Indonesia. Setiap model bisnis punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kris mengatakan, karena setiap developer game punya situasi yang berbeda — dengan kemampuan dan minat yang juga berbeda-beda — maka tidak ada model bisnis ideal yang bisa digunakan oleh semua developer game untuk sukses. Namun, dia tetap memberikan saran dalam memilih model bisnis yang tepat untuk sebuah developer game.

“Pertama, know your limit. Saya ini kemampuannya bagaimana, lebih suka game apa, apakah mobile atau PC,” jelas Kris. “Lalu, start small. Mulai aja dulu, membuat game kecil-kecilan. Jangan langsung mau membuat game seperti Mobile Legends. Terlalu mengawang-awang. Kemungkinan gagalnya sangat besar.”

Lebih lanjut Kris menjelaskan, setelah mencoba untuk membuat game, developer bisa mencoba menggunakan model bisnis yang dianggap sesuai. Kemudian, developer bisa mengamati apakah model bisnis yang dipilih memang bisa menghasilkan uang atau tidak. Karena developer harus melakukan trial-and-error, penting bagi mereka untuk tidak membuat game terlalu besar yang membutuhkan waktu pengembangan yang lama. Dengan menekan waktu pembuatan game, diharapkan, sekalipun game gagal, developer akan bisa menyesuaikan diri dengan cepat dan mengubah model bisnis yang mereka gunakan.

Exclusive Interview: Industri VR Indonesia dari Kacamata Developer Game

Berdasarkan data terbaru dari GlobalData, industri Virtual Reality (VR) bernilai US$5 miliar pada 2020. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi US$51 miliar pada 2030. Associate Project Manager, GlobalData, Rupantar Guha mengatakan,  sampai saat ini, teknologi VR belum diadopsi secara massal. Padahal, teknologi VR telah dikembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

“Dalam beberapa tahun belakangan, baik hardware maupun software untuk VR telah berevolusi. Meskipun begitu, masalah seperti latensi, harga hardware yang mahal, masalah privasi, dan ketiadaan konten membuat VR tetap menjadi industri niche,” kata Guha pada GamesIndustry. “Memang, teknologi seperti 5G, cloud, dan motion tracking bisa digunakan untuk mengatasi masalah latensi. Namun, kunci untuk menumbuhan industri VR adalah jaminan privasi untuk para pengguna dan ketersediaan konten yang memadai.”

Bagaimana Keadaan Industri VR di Indonesia?

Lee Marvin, VP of Gamification at Agate International memperkirakan, teknologi VR mulai masuk ke Indonesia ketika Facebook mengakuisisi Oculus pada 2014. Ketika itu, telah ada beberapa perusahaan yang menyediakan headset VR, seperti Oculus, HTC, dan Samsung. Dia bercerita, orang-orang mulai tertarik mencoba VR karena framerate lensa di headset VR sudah mencapai 60 fps sehingga konten bisa tampil dengan mulus. Orang-orang yang masuk dalam kategori early adopters tersebut adalah pelaku industri kreatif dan brand agency. Mereka tertarik dengan VR karena teknologi itu bisa menjadi cara baru bagi brand untuk berkomunikasi dengan konsumen.

“Kendalanya adalah karena kurang kreator konten,” ujar Marvin dalam wawancara dengan Hybrid. “Ketika akses ke teknologi VR terbuka, developer juga masih coba-coba; bagaimana membuat konten/game yang bagus, bagaimana cara memastikan pengguna tidak bingung dengan controller-nya.”

Lebih lanjut, Marvin menjelaskan, di Indonesia, hype akan teknologi VR memuncak pada 2016. Memang, ketika itu, Sony baru saja meluncurkan PlayStation VR. Jika dibandingkan dengan HTC Vive — yang harganya bisa mencapai belasan atau puluhan juta — harga PSVR relatif terjangkau, hanya berkisar Rp5-7 juta. Sayangnya, hype akan VR di Indonesia tetap turun pada 2018.

Hype teknologi VR di Indonesia mulai hilang, karena aksesnya sangat terbatas,” jelas Marvin. “Untuk beli headset-nya sendiri saja masih impor. Tidak ada official store yang menyediakan hardware-nya, khususnya Oculus. Sementara HTC ada toko resmi, tapi harganya mahal.”

Tantangan di Industri VR

Marvin menyebutkan, salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga hardware yang mahal. Dia lalu membandingkan harga headset VR — yang bisa mencapai puluhan juta — dengan harga smartphone. Sekitar tahun 2018, Anda sudah bisa membeli smartphone dengan harga Rp1-2 juta, jauh lebih murah dari headset VR.

Padahal, kata Marvin, untuk bisa bermain game VR, Anda tidak hanya memerlukan headset, tapi juga komputer yang cukup powerful. Karena entry barrier yang cukup tinggi itu, maka jumlah orang yang bisa mengakses teknologi VR pun menjadi sangat terbatas. “Biasanya, pihak yang punya dana untuk beli PC/laptop gaming dan headset VR memang perusahaan,” jelas Marvin. Dan ketika itu, laptop gaming juga baru hype. Jadi memang, pasarnya sangat terbatas.”

Senada dengan Marvn, Nico Alyus, CEO OmniVR, juga mengatakan bahwa harga hardware yang mahal jadi salah satu penghalang utama bagi industri VR di Indonesia untuk tumbuh. “UMR di Indonesia itu hanya Rp3,5-4 juta, sedangkan satu paket alat VR yang complete itu seharga Rp40 juta,” kata Nico pada CNBC Indonesia. “Artinya, orang harus nggak makan selama 10 bulan, baru dia bisa beli alat VR.” Berdasarkan data internal dari OmniVR, selama 3 tahun — sejak 2016 sampai 2019 — total alat VR yang terjual di Indonesia hanya mencapai 228 unit.

HTC Vive bisa dihargai belasan sampai puluhan juta.

Ketika ditanya tentang masa depan industri VR, Marvin mengatakan, selama harga hardware VR masih cukup mahal, maka teknologi VR akan sulit untuk menjadi mainstream. “Hardware seharga Rp7 juta itu, orang-orang yang tidak tinggal di kota besar, seperti nelayan atau petani, mereka tidak bisa afford hardware itu. Bagi mereka, smartphone seharga Rp1-2 juta saja sudah terbilang mahal. Harga Rp7 juta hanya bisa di-afford oleh orang-orang level menengah atas,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah konten. Marvin berkata, “Popularitas VR tergantung konten. Apakah konten yang bisa diakses melalui VR mempengaruhi produktivitas atau tidak. Kalau hanya sebatas entertainment, hardware VR ya akan diperlakukan sama seperti konsol.”

Kabar baiknya, selama pandemi, minat masyarakat Indonesia akan VR naik. Menurut Marvin, hal ini terjadi karena orang-orang yang sudah lama terkurang di rumah tengah mencari metode hiburan baru. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri VR adalah keberadaan Oculus Quest 2. Keberadaan hardware itu membantu karena Anda bisa menggunakan Quest 2 tanpa harus menghubungkannya ke komputer. Dan Anda bisa melakukan setup dengan smartphone.

Siapa Target Pasar VR di Indonesia?

Meski pasar VR tidak sebesar yang diperkirakan beberapa tahun lalu, Indonesia tetap punya pasar VR. Marvin menjelaskan, bisnis VR milik Agate menargetkan perusahaan sebagai klien, berbeda dengan game yang Agate buat, yang ditujukan untuk konsumen.

Marvin menjelaskan, biasanya, perusahaan menggunakan teknologi VR untuk membuat simulasi latihan dari tugas yang punya risiko tinggi. Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. “Dengan VR, biaya latihan bisa menjadi lebih terjangkau. Selain itu, keamanan pegawai pun menjadi lebih terjamin,” ujarnya. Selain perusahaan kontruksi, perusahaan lain yang biasanya menjadi klien Agate adalah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif dan pertambangan

“Perusahaan pertambangan adalah yang paling banyak. Karena, mereka menggunakan alat berat yang besar-besar semua,” jelas Marvin. “Untuk melatih pegawai, daripada menggunakan truk seukuran 10 meter, bisa bahaya kalau terguling, lebih baik menggunakan VR.” Dia menambahkan, pihak lain yang sering menggunakan VR adalah militer. Memang, salah satu proyek VR pertama — yang dikembangkan pada tahun 1960-an — dibuat untuk keperluan militer Amerika Serikat.

Marvin merasa, di masa depan, VR akan terus digunakan sebagai alat latihan perusahaan. Pasalnya, pelatihan menggunakan VR terbukti efektif. Dia memberikan contoh pelatihan menembak.

“Ada yang namanya imaginary training, untuk latihan menembak. Jadi, ada orang yang memang latihan manual, ada yang latihan dengan simulasi menggunakan VR, dan ada yang tidak latihan sama sekali,” ungkap Marvin. “Hasilnya, tingkat akurasi dari orang yang berlatih menggunakan VR hampir sama dengan orang yang latihan secara manual. Sementara orang yang tidak berlatih sama sekali menunjukkan tingkat akurasi paling rendah.”

Mengingat simulasi VR biasanya digunakan untuk latihan dalam sebuah perusahaan, proses pembuatannya pun berbeda dengan proses pengembangan game. Marvin menyebutkan, sebelum membuat simulasi VR untuk sebuah perusahaan, Agate biasanya akan bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk membahas tentang requirement yang mereka butuhkan. “Karena kebutuhan perusahaan adalah untuk latihan, simulasi harus disesuaikan dengan skillset yang diperlukan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan,” kata Marvin.

“Jika perusahaan sudah tahu requirement apa saja yang mereka butuhkan, biasanya mereka akan mengeluarkan request for proposal, yaitu undangan bagi para vendor untuk mengajukan proposal mereka,” ujar Marvin. Menariknya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di dunia VR biasanya adalah developer game atau penyedia solusi VR. Marvin menjelaskan, hal ini terjadi karena perusahaan yang bisa membuat simulasi VR hanyalah mereka yang memang mengerti teknologi VR. Apalagi karena proses pembuatan aplikasi VR akan tergantung pada jenis headset yang digunakan perusahaan.

Selain untuk latihan, perusahaan biasanya menggunakan teknologi VR untuk menyebarkan informasi produk atau melakukan edukasi produk ke konsumen. Meskipun begitu, Marvin menekankan, ketika Agate membuat aplikasi VR, interaksi yang terjadi di simulasi itu tetaplah layaknya game.

Program Reward Google Play Points Resmi Hadir di Indonesia

Google mengumumkan kehadiran program Google Play Points secara resmi di Indonesia pada tanggal 5 November 2021 kemarin. Sebelumnya sudah hadir lebih dulu di beberapa negara lain, program ini dirancang untuk memberikan poin dan reward kepada pengguna perangkat Android atas berbagai aktivitas mereka di Google Play.

Program ini dapat diikuti tanpa biaya, dan pengguna dapat mengumpulkan Play Points dari pembelian aplikasi, film, buku, pembayaran subscription, in-app purchase, dan lain sebagainya. Selama masih dalam konteks Google Play, pada dasarnya semua transaksi dapat dikonversikan menjadi Play Points.

Di awal, peserta program bakal mendapatkan 1 poin di setiap kelipatan Rp1.500. Jadi semisal Anda membeli 250 Diamond di Mobile Legends seharga Rp75.000 (lewat store bawaan game-nya langsung), maka Anda bakal langsung menerima 50 Google Play Points.

Poin tersebut kemudian bisa ditukarkan dengan beragam reward; bisa berupa in-app atau in-game item, bisa berupa kupon diskon untuk membeli in-app atau in-game item, atau bisa juga berupa saldo Google Play Credit.

Seiring poinnya terakumulasi, jumlah poin yang didapat dari setiap transaksi juga bakal bertambah. Pasalnya, pengguna bisa mencapai empat tingkatan (tier) di program ini. Berikut rincian dari masing-masing tier:

  • Bronze: Tier pertama untuk semua peserta program Google Play Points. Tier ini memberikan 1 poin di setiap kelipatan Rp1.500, beserta kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game, atau hingga 2x dari menyewa film dan buku dalam event bulanan.
  • Silver: Jika mengumpulkan setidaknya 300 poin dalam tempo satu tahun, maka pengguna akan naik ke tier yang kedua. Di sini mereka bakal mendapatkan 1,1 poin untuk setiap kelipatan Rp1.500 (bonus 10%), lalu kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game, atau hingga 3x dari menyewa film dan buku dalam event bulanan. Mereka juga bisa mendapat hadiah langsung setiap minggunya dalam bentuk poin (sampai 100 poin).
  • Gold: Jika mengumpulkan paling tidak 1.000 poin dalam tempo setahun, maka pengguna akan naik ke tier yang ketiga. Nilai konversinya naik menjadi 1,2 poin untuk setiap kelipatan Rp1.500 (bonus 20%), dan hadiah mingguannya juga naik menjadi up to 200 poin. Kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game masih ada, tapi tier Gold juga bisa menerima sampai 4x dari menyewa film dan buku selama event bulanan.
  • Platinum: Saat akumulasi poin dalam setahun mencapai 5.000 poin, maka pengguna akan mencapai tier yang teratas. Di tier ini, setiap kelipatan Rp1.500 akan menghasilkan 1,4 poin (bonus 40%), dan hadiah langsungnya bisa mencapai 500 poin per minggu. Pengguna di tier ini juga berkesempatan mendapatkan hingga 4x lebih banyak poin di game, atau sampai 5x dari menyewa film dan buku selama event bulanan, tidak ketinggalan pula respon tercepat dari tim support apabila membutuhkan.

Muriel Makarim, Head of Brand & Reputation, Google Indonesia, menjelaskan, “Kami ingin memberikan masyarakat Indonesia sebuah program yang dapat mengikuti peningkatan minat mereka terhadap berbagai aplikasi seluler. Orang di Indonesia makin banyak mencari hiburan baru, terutama terkait game, dan mereka ingin terus dihibur, aktif, dan berinteraksi dengan aplikasi. Kami ingin memberikan reward atas engagement itu dengan Google Play Points dan memberi mereka pengalaman yang menyenangkan.”

Ditanya mengenai tarif top up Google Play yang lebih mahal jika dibandingkan dengan berbagai layanan pihak ketiga, Muriel berdalih bahwa memberikan pengalaman yang terbaik kepada konsumen itu tidak selalu lewat harga yang murah, melainkan bisa juga dengan cara [top up] yang seamless.

Program Google Play Points ini pada dasarnya juga bisa dilihat sebagai respon Google terhadap kondisi tersebut. Kalau kita gunakan Mobile Legends lagi sebagai contoh, jadi meskipun jumlah Diamond yang didapat lebih sedikit jika top up langsung via Google Play, pengguna akan mendapatkan poin yang dapat ditukar dengan beragam reward itu tadi.

Google mengajak lebih dari 25 developer untuk ikut meramaikan program Google Play Points di Indonesia, termasuk halnya developer lokal macam Agate. Arief Widhiyasa, CEO sekaligus co-founder Agate, optimistis bahwa program ini bisa jadi cara yang bagus bagi developer untuk berinteraksi dengan para pemainnya dan memotivasi mereka untuk terus bermain.

Untuk mengikuti program Google Play Points, pengguna hanya perlu mencantumkan metode pembayaran pada akunnya, lalu buka menu profil pada aplikasi Play Store di perangkat Android. Supaya lebih menarik perhatian, semua anggota baru berhak mendapatkan tiga kali lebih banyak poin di setiap pembelian selama satu minggu pertama.

Berbincang dengan Bos Agate tentang Skylab Fund dan Industri Game Indonesia

Pada awal September 2021, Agate memperkenalkan program pendanaan untuk developer game lokal, bernama Skylab Fund. Melalui program tersebut, Agate menawarkan investasi sebesar US$100 ribu hingga US$1 juta. Tujuan Agate untuk mengadakan Skylab Fund adalah untuk mendorong pertumbuhan industri game di Indonesia.

Hybrid.co.id mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan CEO Agate, Arief Widhiyasa, tentang Skylab Fund dan juga industri game di Indonesia secara keseluruhan.

Bagaimana animo akan Skylab Fund?

Sudah heboh bahkan di H-1 sebelum Skylab Fund diumumkan. Di hari H dan H-1, semua orang di industri game Indonesia ngomongin tentang Skylab Fund. Which is good animo for us. Karena target market kita kan memang developer game lokal Indonesia. Biar kita bisa maju bersama dengan fund ini.

Apa target Agate untuk Skylab Fund?

Kita nggak punya target. Karena dari segi fund, kita bisa naikkan jumlah dananya. Yang kami takutkan adalah dananya ada, tapi nggak ada developer untuk diinvestasikan. Kami juga nggak ada target jumlah developer yang harus diinvestasikan. Maunya sebanyak-banyaknya. Saat ini, di pipeline sudah ada satu.

Animo Skylab Fund bagus, tapi Agate tetap khawatir tidak ada developer yang bisa menerima dana. Apa karena jumlah developer lokal sedikit?

Ini masalah ayam dan telur. Kalau nggak ada investasi untuk buat industri game, wajar jika tidak ada orang yang mau menjadi developer game. Selama 10-15 tahun terakhir, investasi di industri game kecil, otomatis, jumlah developer/tim yang ada juga kecil. Makanya, sekarang kita berusaha untuk mengadakan investasi. Biar bisa scale up industri game lokal.

Apa memberikan investasi adalah cara terbaik untuk mengembangkan industri game lokal?

Salah satunya, iya. Jadi, ada dua cara untuk membangun industri game lokal. Pertama, tarik dari atas, yaitu dengan mengucurkan dana. Kedua, dorong dari bawah. Untuk itu, Agate juga punya program akademi. Kita mengajarkan para pelajar yang mau buat game. Kami juga kerja sama dengan universitas yang ingin mengajarkan game sebagai mata kuliah atau sudah punya fakultas khusus game. Kita bantu mereka. Apa yang mereka butuh, kita pasti kasih. Sejauh ini, kita sudah bekerja sama dengan 50-60 universitas.

Agate punya akademi untuk orang-orang yang tertarik dengan pembuatan game. | Sumber: Agate

Kita sudah mulai kerja sama dengan universitas sejak 2011. Saat ini, kita masih melakukan kerja sama dengan universitas. Dan kita bisa menghasilkan sekitar 2-3 ribu alumni per tahun. Kalau mereka sudah lulus dan mau masuk industri game, mereka perlu safety net. Karena itu, kami bekerja sama dengan Telkom untuk membuat Indigo Game, yang menawarkan funding sampai Rp2,7 miliar. Skylab Fund itu ada di atasnya.

Adakah syarat bagi developer game yang ingin mengajukan proposal di Skylab Fund?

Nggak ada. Saat sebuah developer membuat pitch untuk game X, yang perlu kami pastikan adalah di atas kertas, game X memang bagus. Kedua, developer memang bisa membuat game X. Mereka nggak harus punya track record. Bisa saja mereka fresh graduate. Tapi, selama mereka bisa deliver game X, kenapa tidak? Tapi tentu saja, kami akan adakan assessment.

Misalnya, developer mengklaim bahwa game mereka buat bisa dimainkan oleh seribu orang secara bersamaan karena menggunakan teknologi cloud terbaru. Ya sudah, buktikan. Bagaimana caranya? Kita akan mencari seribu orang untuk memainkan game itu secara bersamaan. Kalau hang, ya langsung game over.

Adakah preferensi platform dari Agate?

Multiplatform. Tapi model bisnisnya, kemungkinan besar game-nya harus free-to-play. Seperti Fortnite, revenue-nya kan lebih besar dari PlayStation, walau ia game free-to-play.

Membuat game multiplatform memang pasti lebih sulit. Tapi, semakin sulit endeavor-nya, semakin sedikit saingannya. Kita sengaja cari yang sulit, biar sedikit pesaingnya. Ngapain kita masuk ke space yang sudah banyak pesaingnya?

Hal-hal yang Agate cari melalui Skylab Fund. | Sumber: Agate

Untuk Skylab Fund, Agate akan lebih memilih game multiplayer PVE, kenapa?

Kita memilih itu (multiplayer PVE) setelah riset selama 9 bulan. Sampai sekarang, kita lumayan percaya diri dengan hipotesa tersebut. Tapi, industri game itu kan hit driven. Jadi, kita juga sebenarnya nggak yakin kalau hipotesa kita benar. Namun, kita punya chance-lah.

Kenapa Agate enggan menyentuk game PVP?

Membuat game PVP sulit, tidak banyak yang berani melakukan. Salah satu masalah di game PVP adalah matchmaking problem. Misalnya, kamu punya tim berisi tiga orang, levelnya sudah jago. Saya bermain berdua dengan teman, tapi kita masih cupu. Kita berlima nggak boleh di-pair. Karena nanti, experience-nya jelek. Kalian bakal marah terus ke kita berdua karena kita cupu.

Artinya, agar game bisa tetap terus berjalan, developer harus bisa mempertahankan sejumlah pemain yang ada di game. Kalau nggak bisa tahan users-nya, jumlah pemain dari game PVP bisa turun drastis. Contohnya, kita janjian untuk main. Setelah tunggu 15 menit, nggak dapat tim. Kesal, kan? Atau dapat tim, tapi dua orang langsung leave atau AFK (Away From Keyboard). Harus ada sistem ban. Sangat kompleks masalahnya.

Masalah teknis, seperti server, malah justru lebih solvable. Karena buat kita, masalah yang bisa diselsaikan pakai uang justru lebih gampang. Tapi, kita kan nggak mungkin bisa membayar users supaya mereka mau main dan nggak AFK. Memang, ada beberapa game yang bisa maintain users base. Tapi, nggak bisa hanya dengan community management.

Lokapala adalah game MOBA buaatan developer Indonesia.

Apa tolok ukur Agate untuk mengukur kesuksesan game yang didukung via Skylab Fund?

Revenue per tahun. Saat ini, target utama kami adalah agar ada game yang mendapat pemasukan per tahun sebesar US$1 miliar. Semoga bisa tercapai dalam 10 tahun.

Jika targetnya adalah pemasukan US$1 miliar per tahun, target pasarnya pasti gamers global. Apa kita bisa bersaing di sana?

Harus bisa. Kalau nggak, ngapain ada industri game Indonesia? Ngapain kita investasi umur sekian tahun kalau kita nggak berani maju ke global. Memang, kita seperti tim sepak bola yang mau masuk World Cup. Hampir nggak mungkin. Tapi ya, nggak apa-apa, kita mau mencoba. Karena itu, kita percaya kita bisa.

Kenapa industri game di Indonesia sulit maju?

Kita kalah ekosistem. Industri game kita baru dimulai sekitar 10-15 tahun. Jepang sudah dimulai dari sekitar 40 tahun lalu, dan Amerika Serikat 50-60 tahun lalu. Masalah lainnya adalah kita punya kebiasaan untuk tidak membangun industri sebagai sebuah negara. Kita lebih suka menjual diri sebagai konsumen. Satu-satunya produk Indonesia yang laku di global adalah mi instan. Sisanya, kita hanya menjual raw materials. Soal industri produk yang kompleks, seperti smartphone dan mobil, kita hanya merakit.

Apa kita bisa mengejar ketertinggalan di industri game?

Mudah-mudahan bisa. Tesis terakhir kita itu adalah Skylab Fund. Begitu program ini nggak jalan, kita akan buat studio di luar. We try our best. Analoginya, tim sepak bola kita isinya pemain naturalisasi semua.

Kita memang punya 2-3 ribu dari alumni program akademi kita, tapi mereka levelnya masih mahasiswa. Kalau kita butuh orang yang punya pengalaman 10 tahun… Dari 3 ribu orang yang lulus pelatihan, yang memutuskan untuk masuk ke industri game mungkin hanya 100 orang dan yang keterima bekerja di industri game mungkin hanya 50 orang per tahun. Berapa banyak orang yang tetap bertahan selama 10 tahun dan bisa menjadi semakin jago?

Bagaimana dengan transfer knowledge?

Kita sudah lakukan itu sejak beberapa tahun lalu. Cuma ada masalah di speed. Misal, kita butuh 100 orang yang sudah ahli. Tapi, dalam setahun, kita cuma bisa menghasilkan 5 orang ahli. Masa kita harus menunggu 20 tahun?

Untuk orang yang hendak memulai karir di dunia game, apa sebaiknya dia bekerja di developer game dulu atau langsung mencoba membuat game sendiri?

Tergantung seberapa kuat safety net-nya. Kalau orang itu terlahir sebagai anak orang super kaya, dikasih modal Rp100 miliar dari orang tua untuk buat game, saran saya adalah langsung nyebur, langsung buat game. Terus, cepat-cepat rilis game-nya. Jangan sampai game pertama baru dirilis setelah 3-5 tahun.

Saya lihat, ada beberapa pelaku industri game yang datang-datang bawa modal. Tapi, kesalahan terbesarnya adalah merilis game terlalu lama. Game pertamanya dirilis setelah tiga tahun. Setelah game dirilis, gagal, perusahaannya tutup. Kalau punya modal, sebaiknya dalam 3-6 bulan, langsung rilis game pertama, entah bagaimana caranya. Kalau nggak punya modal, tapi punya ide dan memang prodigy, boleh langsung pitch ke venture capital, biar bisa dapat fund. Kalau nggak, ya opsi terbaik adalah kerja di tempat lain dulu.

Sumber header: Facebook

Agate Skylab Fund Tawarkan Modal sampai dengan US$1 Juta untuk Developer Game Lokal

Industri game adalah salah satu industri yang kebal terhadap pandemi. Faktanya, industri game global justru tumbuh selama pandemi virus corona. Tidak heran, mengingat semakin banyak orang yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game karena harus diam di rumah. Di Indonesia, nilai industri game pada 2021 diperkirakan mencapai US$1,9 miliar , menurut data dari Statista.

Ke depan, industri game Indonesia juga diperkirakan masih akan tumbuh. Dalam lima tahun ke depan, Compound Annual Growth Rate (CAGR) industri game Indonesia diperkirakan akan mencapai 9,58%. Jadi, pada 2025, industri game Indonesia diduga akan bernilai US$2,8 miliar. Masalahnya, jumlah perusahaan game di Indonesia tidak banyak.

Hari Sungkari, yang baru diangkat sebagai penasehat Agate, menyebutkan bahwa pada 2018, nilai industri game di Indonesia mencapai US$1,6 miliar. Sementara pangsa pasar yang dikuasai oleh developer lokal hanyalah 0,6%. Alasannya, karena jumlah perusahaan game di Indonesia yang memang sangat sedikit, sekitar lebih dari 25 perusahaan. Dan jumlah talenta pembuat game di Indonesia pun tidak banyak. Dari 270 juta orang yang ada di Indonesia, jumlah orang yang bekerja di industri game hanyalah sekitar 2 ribu orang. ada di kisaran dua ribu orang.

Kemudian, Hari membandingkan industri game Indonesia dengan industri game Vietnam. Nilai industri game Vietnam hanya mencapai US750 juta. Namun, perusahaan game lokal menguasai 58% dari pangsa pasar tersebut. Memang, di Vietnam, jumlah perusahaan dan talenta yang bekerja di industri game juga lebih banyak dari di Indonesia. Di Vietnam, ada lebih dari 150 perusahaan game dengan jumlah pekerja di bidang game mencapai lebih dari 20 ribu orang.

Perbandingan industri game Indonesia dengan Vietnam, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Berdasarkan survei yang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) adakan, salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh developer game Indonesia adalah biaya produksi game. Sekitar 67,8% developer di Indonesia masih menggunakan dana pribadi. Alhasil, developer pun tidak bisa membuat game yang membutuhkan biaya produksi terlalu besar. Sekitar 29,23% dari developer Indonesia memiliki biaya produksi kurang dari Rp10 juta per tahun.

Agate lalu mengambil inisiatif untuk membuat Agate Skylab Fund. Melalui program Skylab Fund, Agate menawarkan dana untuk para developer game lokal. Tidak tanggung-tanggung, investasi yang Agate tawarkan melalui Skylab Fund berkisar dari US$100 ribu sampai US$1 juta. CEO Agate, Arief Widhiyasa menjelaskan, tujuan mereka mengadakan program Skylab Fund adalah untuk mendorong pertumbuhan industri game Indonesia. Dengan adanya program pendanaan ini, Agate berharap, developer Indonesia akan bisa membuat game yang lebih besar dari kebanyakan game lokal yang ada di pasar sekarang.

Kebanyakan developer game Indonesia belum bisa mendapatkan penghasilan besar. | Sumber: Agate

Dalam presentasinya, Arief mengelompokkan perusahaan game ke dalam enam level. Yang menjadi tolok ukur dalam pengelompokkan tersebut adalah jumlah pemasukan yang didapat oleh perusahaan setiap tahun. Sebagian besar developer Indonesia adalah di level 4 sampai 6, dengan penghasilan sekitar US$10 ribu sampai lebih dari US$1 juta per tahun. Sebagai perbandingan, Valve ada di Tier 3, dengan pemasukan lebih dari US$10 juta per tahun dan Sega ada di Tier 2, dengan pemasukan lebih dari US$100 juta per tahun. Sementara perusahaan seperti Nintendo dan Sony ada di Tier 1 dengan pemasukan lebih dari US$1 miliar per tahun.

“Kebanyakan game developer kita ada di Tier 4 sampai 6. Kami melakukan riset untuk tahu bagaimana caranya agar kita bisa naik kelas. Berdasarkan AGI, pertumbuhan organik industri game Indonesia adalah 25%. Jika selama 10 tahun ke depan, industri game lokal terus tumbuh secara organik, kita cuma akan naik ke Tier 3,” ujar Arief. Dia menyebutkan, Agate Skylab Fund merupakan usaha agar para developer Indonesia bisa masuk ke Tier 1.

Selain pendanaan, melalui Skylab Fund, Agate juga akan menawarkan mentorship, networking, dan unity. Arief menjelaskan, saat ini, Skylab Fund ditujukan untuk membantu developer-developer lokal yang punya ambisi untuk membuat game besar. “Apakah game konsol atau game mobile, free-to-play atau premium, yang penting mimpinya besar,” ujarnya.

Sumber header: Good News from Indonesia