Apa yang Menarik dari Sebuah Monitor? Wawancara dengan GTiD

Bagi yang mengikuti banyak channel teknologi di YouTube seperti saya, Anda pasti sadar bahwa setiap channel sebenarnya mempunyai spesialisasi atau niche-nya masing-masing. Sebagian besar mungkin menaruh fokus ekstra pada kategori seperti smartphone atau laptop, namun ada juga sebagian lain yang mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda dengan membahas topik spesifik yang mungkin tidak begitu populer karena kurang menarik untuk dibicarakan panjang lebar.

Di kalangan YouTuber lokal, salah satu channel yang masuk kategori tersebut adalah GTiD. Sepintas channel ini mungkin terdengar seperti channel gadget pada umumnya, tapi kalau Anda amati, mayoritas dari video-video yang diunggahnya membahas mengenai monitor. Tidak jarang pembahasannya malah cukup panjang dengan durasi di atas 10 menit. Padahal, buat sebagian orang, monitor mungkin tidak semenarik itu untuk dibahas sampai begitu mendalam.

Saya pun pada awalnya juga punya pandangan yang serupa. Namun pada kenyataannya, sampai artikel ini ditulis, GTiD sudah mempunyai hampir 70 ribu subscriber. GTiD juga sudah memiliki komunitas Discord-nya sendiri yang cukup aktif, dan semua ini menurut saya sudah bisa menggambarkan kalau di luar sana rupanya tidak sedikit yang tertarik dengan pembahasan in-depth mengenai monitor.

Berhubung masih penasaran, saya pun memutuskan untuk menghubungi host sekaligus penggagas channel GTiD, Eldwin, untuk bercakap-cakap secara singkat. Berikut adalah hasil perbincangan kami yang sebagian besar telah disunting agar lebih jelas penyampaiannya.

Kenapa niche monitor? Bisa diceritakan awalnya kenapa GTiD fokus membahas tentang monitor?

Awalnya sebatas iseng mencoba, dan ternyata ada pasarnya yang belum difokuskan di market YouTube, dan itu berlanjut sampai hari ini.

Tidak banyak tech YouTuber Indonesia yang secara spesifik membahas tentang monitor sampai sedetail GTiD. Apa sih sebenarnya yang menarik dari monitor?

Seperti yang saya bilang sebelumnya, justru karena tidak ada yang melakukannya, saya pun berusaha untuk mengisi kekosongan itu sebaik mungkin. Dan sama seperti statement di pertanyaan ini, awalnya saya sendiri juga merasa segmen monitor itu kurang menarik. Namun setelah saya dalami dan pelajari, ternyata ada satu hal yang bisa membuat monitor jadi semakin penting ke depannya untuk semua orang, yaitu kehadiran USB-C.

Saya percaya ke depannya kita cukup punya smartphone dan menghubungkannya ke monitor via USB-C, maka kita bisa memakainya layaknya personal computer kita selama ini. Di sisi lain, kita juga sudah merasakan pentingnya monitor ketika pandemi COVID-19 melanda dan kita harus WFH. Agar WFH bisa berjalan dengan nyaman, kita tentu butuh monitor.

Menurut Eldwin, kenapa konsumen perlu menyimak ulasan merinci tentang sebuah monitor?

Banyak tim marketing brand monitor yang tidak menjelaskan secara merinci plus dan minus monitor mereka. Sebagian mungkin bahkan tidak tahu, tapi sekalipun mereka tahu, mereka terikat dengan etika perusahaan, sehingga tidak mungkin juga mereka menunjukkan kelemahan produk mereka sendiri.

Belum lagi ditambah banyaknya persepsi yang salah mengenai monitor di pasaran. Di sinilah GTiD hadir untuk membantu penonton mendapatkan monitor terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

Apa saja sebenarnya miskonsepsi seputar monitor yang umum beredar di kalangan konsumen?

  • Color gamut tinggi berarti warna yang dihasilkan akurat, padahal keduanya sebenarnya punya makna yang berbeda.
  • Motion blur yang diklaim oleh brand monitor dianggap sudah tepat, padahal kenyataannya semua itu cuma sebatas angka yang tidak bisa menggambarkan keadaan sebenarnya.
  • “Mata manusia cuma bisa melihat 60 Hz, nggak guna lebih tinggi dari itu”, atau “144 Hz dan 240 Hz tidak ada bedanya.” Penjelasan panjang lebarnya pernah saya sampaikan di video review monitor ASUS PG259QN.

Gimmick-gimmick monitor apa saja yang Eldwin kurang suka?

  • Yang saya lihat, brand senang mempromosikan bahwa seakan-akan label “Pantone validated” atau “Callman certified” adalah sesuatu yang luar biasa untuk sebuah monitor profesional. Pada kenyataannya, monitor-monitor tersebut mungkin tidak sesempurna itu. Terkadang hasil warnanya bahkan bisa dikalahkan oleh monitor gaming yang dijual dengan harga lebih murah.
  • Motion blur sebuah panel sering misleading cara penyampaiannya. 1 ms di panel TN berbeda dari 1 ms di panel VA, demikian pula dengan 1 ms di panel IPS. Terkadang malah tulisan angka itu tidak ada artinya sama sekali karena tidak menjelaskan apa-apa terkait kejadian sebenarnya.

Selain ukuran dan resolusi, atribut-atribut apa saja yang harus konsumen perhatikan dalam membeli monitor, baik untuk monitor gaming ataupun monitor profesional?

Untuk monitor gaming:

  • Tipe panel
  • Motion blur
  • Refresh rate

Untuk monitor profesional:

  • Panel bit-depth
  • Akurasi warna
  • Color gamut
  • Brightness
  • Contrast
  • White point

List-nya masih lebih panjang lagi untuk monitor profesional, tapi faktor-faktor berikutnya lebih condong ke preferensi masing-masing konsumen, seperti misalnya ada tidaknya VESA mount, port USB-C, factory-calibrated atau tidak, desain bodi, dan lain sebagainya.

Kriteria monitor yang ideal buat Eldwin itu bagaimana? Monitor gaming bagaimana? Monitor profesional bagaimana?

Kriteria di bawah ini sudah termasuk cukup, tapi tidak bisa dikatakan sempurna karena kalangan sultan sebenarnya bisa membeli yang lebih bagus lagi:

  • Untuk gamer kompetitif: 25 inci, FHD, 240/360 Hz
  • Untuk gamer casual yang sering bermain bersama teman-temannya: 27 inci, QHD, 144 Hz
  • Untuk gamer single-player atau kreator konten: 4K, 60 Hz
  • Untuk editor profesional: spesifikasi monitor mengikuti seberapa profesional masing-masing pengguna, dengan budget yang mungkin tidak terbatas, dimulai dari Apple Pro XDR
Selain monitor, Eldwin sesekali juga mengulas tentang gadget yang lebih umum seperti laptop, mouse, keyboard, dan lain sebagainya / Sumber foto: Dokumentasi pribadi GTiD

Selain tentu saja perbedaan jenis kartu grafis yang didukung, adakah perbedaan lain antara Nvidia G-Sync dan AMD FreeSync?

Bagi saya, kedua teknologi tersebut punya tujuan yang sama, yakni untuk menghilangkan tearing saat bermain game. Pada deretan game casual yang umumnya lebih mementingkan kualitas gambar dengan preset grafik High, Ultra, dan sebagainya, fitur ini mungkin bisa membantu memaksimalkan keindahan itu. Kan tidak enak kalau misalnya kualitas grafik sudah bagus, tapi tiba-tiba ada satu frame yang seperti terpotong di sepanjang layar.

Di sisi lain, kalau konteks yang dibicarakan adalah pro player game PC, banyak dari mereka yang tidak menyarankan untuk menyalakan fitur ini karena ada resiko meningkatnya latensi mouse dan keyboard, yang pada akhirnya bisa membuat kita kalah satu langkah dibanding lawan. Dan lagi ketika bermain di fps (frame per second) yang sangat tinggi, tearing juga hampir tidak terasa.

Pendapat Eldwin tentang Nvidia Reflex? Apakah tren teknologinya berada di jalur yang benar?

Nvidia Reflex keren. Konsepnya jelas dan memang tujuannya adalah untuk membantu para gamer. Namun saya rasa belum begitu relevan untuk pasar Indonesia saat ini. Rakyat Indonesia lebih butuh internet yang stabil dan latensi rendah dari provider internet, yang sejauh ini masih belum merata sama sekali di Indonesia.

Menurut Eldwin, kondisi pasar monitor di Indonesia sekarang bagaimana? Apakah ada satu atau dua brand yang mendominasi, atau persaingannya sudah cukup merata?

Jelas sekali tidak seketat di pasar smartphone. Persaingannya juga masih belum merata, dan banyak brand yang masih menjual dengan harga sangat tinggi, melebihi value dari produk itu sendiri, karena kurangnya persaingan.

Menurut Eldwin, apa alasan penamaan model-model monitor yang selalu terkesan ngawur?

Saya rasa mereka sebatas ingin jadi berbeda saja dibanding brand lainnya. Saking ingin berbedanya, kadang jadi terkesan sangat ngawur saat memberi kode. Salah satu contohnya, ViewSonic VX2705-2KP-MHD (27 inci, QHD, 144 Hz). Kalau melihat dari spesifikasinya, sebenarnya bisa saja dibuat lebih simpel, seperti misalnya VX2705-2K.

Bisa diceritakan seperti apa suka-duka menjadi seorang reviewer monitor?

Suka:

  • Banyak yang terbantu, dan saya mendapat banyak DM positif tentang mereka yang bisa membeli monitor terbaik yang mereka butuhkan.
  • Review-nya tidak seribet produk elektronik lainnya, karena fungsi monitor cuma satu, yakni sebagai display dari sesuatu yang disambungkan sebagai input.

Duka:

  • Terkadang jumlah view tidak sebanyak orang yang mengulas tentang smartphone.
  • Dan itu berimbas pada pemasukan dari YouTube yang tidak terlalu besar.

Jujur saya suka dengan gaya penyampaian Eldwin yang frontal. Selama ini apakah ada pihak yang sempat protes dengan gaya Eldwin?

Dari pihak brand, sempat ada yang datang ke tim kami dan menyampaikan secara langsung bahwa intinya tim kami sudah di-blacklist oleh mereka. Ada kemungkinan juga kami di-blacklist secara diam-diam oleh sejumlah brand yang tidak suka dengan gaya review kami.

Buat saya itu bukan masalah, sebab tujuan GTiD sendiri memang adalah supaya bisa independen tanpa bergantung pada brand tertentu. Saya tidak tahu apakah kami bisa mencapainya atau tidak, tapi yang pasti saya ingin terus memberikan value kepada penonton yang sudah setia memberikan dukungan dari awal.

Kepada para penonton baru, saya berharap bahwa setiap kali mereka menonton review GTiD, mereka bisa menganggap saya sebagai seorang teman yang peduli terhadap uang mereka. Pasalnya, barang-barang yang kami review bukan barang yang murah, dan mungkin ada orang di luar sana yang menabung dalam jangka waktu lama untuk bisa mendapatkan barang tersebut. Jika saya tidak jujur mengenai kekurangan-kekurangan produk tersebut, saya yakin mereka bakal kecewa berat.

Mungkin tidak banyak orang yang bisa terima dengan gaya review saya yang ekspresif. Namun saya tidak ingin mengubahnya karena itu memang adalah saya yang sesungguhnya di dunia nyata, dengan gaya yang sama persis ketika ada seorang teman yang meminta saran soal barang yang ingin mereka beli.

Suka-Duka Seorang Tech YouTuber: Bincang-Bincang Singkat dengan Joshua Timothy

Definisi YouTube buat seorang kreator konten tidak selalu sama. Ada kreator yang sudah sepenuhnya menganggap YouTube sebagai platform untuk mencari nafkah, ada pula yang baru sebatas memperlakukannya sebagai wadah untuk menyalurkan hobi.

Salah satu alasan terpopuler yang datang dari seseorang yang memutuskan untuk menjadi full-time YouTuber adalah supaya ia bisa lebih fokus berkreasi, sehingga pada akhirnya kualitas konten yang dihasilkan menjadi lebih baik. Namun tidak jarang juga ini dijadikan sebuah pembelaan diri, di mana ketika seorang YouTuber merasa belum sukses, alasannya adalah karena ia belum bisa memutuskan untuk full-time dan fokus sepenuhnya ke YouTube.

Namun pernahkah terpikirkan bahwa fokus itu sebenarnya bisa datang dengan sendirinya selama kita melakukan hal yang kita sukai? Sentimen seperti itulah yang saya dapatkan setelah berbincang-bincang singkat dengan Joshua Timothy, tech YouTuber lokal yang belakangan mulai cukup naik daun.

Pemuda introvert yang lebih sering dipanggil Ocha dan mengidolakan PewDiePie ini adalah salah satu contoh kreator yang konsisten menghasilkan konten-konten menarik tanpa harus meninggalkan pekerjaan utamanya. Di saat sedang tidak membuat video YouTube, Ocha adalah seorang fotografer profesional untuk sebuah agensi media sosial.

Topik bahasan yang diangkat pada channel-nya cukup bervariasi, mulai dari hobi di dunia mechanical keyboard; ulasan smartphone, headphone, dan beragam gadget lain; sampai tips merakit PC sekaligus menata meja kerja, serta tentu saja tips fotografi dan videografi.

Berikut adalah hasil obrolan kami yang sudah disunting agar lebih jelas.

Di posisi Ocha sekarang, apakah memungkinkan untuk menjadikan YouTube sebagai pekerjaan full-time?

Untuk sekarang masih belum memungkinkan, dan saya juga belum ada pikiran untuk menjadikan YouTube sebagai pekerjaan full-time. Pasalnya, selain mengulas gadget, saya juga sangat mengapresiasi pekerjaan sebagai fotografer dan masih belum mau melepaskannya.

Saya juga masih belum menganggap YouTube sebagai pekerjaan atau tanggung jawab yang harus saya lakukan, melainkan sebagai komunitas kecil di mana saya bisa sharing pengalaman saya mengenai gadget dan lifestyle yang saya suka di hidup saya.

Kapan Ocha menyadari bahwa prospek di YouTube bagus dan memutuskan untuk mulai lebih fokus?

Sebenarnya sudah sadar dari sebelum memulai YouTube, hanya saja saya belum pernah melakukannya. Ketika pandemi melanda, barulah saya sadar ini mungkin boleh dicoba karena kebetulan ada banyak waktu kosong selagi seharian di rumah saja.

Untungnya saya memang suka dengan kegiatannya, jadi tidak perlu difokuskan karena otomatis bakal fokus sendiri ketika mengerjakan hal yang saya senangi.

Adakah YouTuber lokal yang menjadi inspirasi Ocha? Kalau ada, siapa saja?

Walaupun saya lebih terekspos oleh YouTuber dari luar Indonesia, tapi setelah mencoba YouTube sendiri, saya mulai melihat bahwa ada banyak YouTuber lokal yang sangat bertalenta sekaligus menginspirasi. Salah satunya adalah Malvin dari Bestindotech, yang menjadi salah satu alasan kenapa channel YouTube saya bisa jadi seperti ini.

Malvin sering membantu saya untuk menaikkan eksposur saya di luar sana. Walaupun saya masih terhitung YouTuber yang sangat kecil, tapi dia tetap mau membantu saya. Suatu saat saya berharap saya juga bisa seperti dia, di mana saya bisa membantu YouTuber lain yang baru mulai untuk bisa menaikkan eksposur mereka, sama seperti yang Malvin lakukan kepada saya.

Kalau tidak keberatan, bisa diberikan gambaran persentase pendapatan yang diperoleh dari YouTube?

AdSense 46%, affiliate 34%, dan sponsorship 20%.

Bisa diceritakan pengalaman mencari sponsor video? Apakah Ocha yang approach sendiri, atau sebaliknya, brand yang langsung memberikan penawaran?

Sejauh ini, sebagian besar brand-lah yang mencari saya dan memberikan penawaran sponsorship, baik melalui email maupun DM Instagram, dan saya merasa beruntung sekali ada brandbrand di luar sana yang mau bekerja sama dengan saya dan percaya dengan karya yang saya buat.

Sebelum saya memulai YouTube, tidak pernah sekalipun terpikirkan bakal ada brand yang mau bekerja sama dengan saya, jadi saya sangat berterima kasih.

Beberapa penonton sudah menganggap Ocha sebagai reviewer gadget. Bisa diceritakan bagaimana Ocha menyeimbangkan antara memberikan ulasan yang jujur kepada penonton, dan ‘menyenangkan’ brand?

Saya tidak tahu apakah saya memenuhi kualifikasi sebagai reviewer. Saya lebih merasa sebagai orang yang hanya sharing pengalaman menggunakan barang atau produk tersebut. Makanya kalau diperhatikan, kebanyakan video saya tidak membicarakan spesifikasi secara mendetail, tapi lebih ke user experience-nya saja.

Saya juga akan selalu jujur dengan pengalaman saya, baik untuk produk dari sebuah brand atau produk yang saya beli sendiri. Kalau saya tidak suka dengan sebuah produk, atau pengalaman saya menggunakan produk tersebut tidak memuaskan, saya akan bilang apa adanya.

Selain YouTube, adakah platform sosial lain yang Ocha gunakan yang sejauh ini sudah bisa mendatangkan pendapatan?

Sejauh ini masih belum ada, tapi suatu saat ingin mencoba Twitch untuk konten live gaming, supaya sekalian dapat berinteraksi dengan penonton secara live. Saya merasa itu juga bisa menjadi hal yang seru bagi penonton.

Sebagai seorang fotografer dan YouTuber, seberapa bergantung Ocha terhadap ekosistem aplikasi Adobe?

Ya, betul sekali, tanpa Adobe sepertinya saya tidak bisa apa-apa. Saya sudah terlalu nyaman dengan ekosistem Adobe walaupun tidak sempurna (sering crash dan lain-lain), tapi sejauh ini Adobe-lah yang membuat saya bisa berkarya di bidang fotografi dan YouTube.

Seandainya Adobe tiba-tiba bangkrut dan semua produknya sirna, software alternatif apa saja yang bakal Ocha pakai, dan kenapa alasannya?

Saking nyamannya dengan ekosistem Adobe, saya sampai belum pernah melihat-lihat lagi software alternatif lain. Mungkin dalam video editing ada Final Cut Pro dari Apple, atau juga DaVinci Resolve, tapi sayangnya saya belum pernah mencoba menggunakan softwaresoftware tersebut.

Bisa diceritakan seperti apa suka duka menjadi seorang tech YouTuber?

Buat saya pribadi keluh kesahnya hanya di pembagian waktu antara pekerjaan utama, YouTube, dan personal. Sejauh ini saya hanya bisa memberikan konten baru seminggu sekali, atau maksimum dua kali dalam seminggu, sedangkan banyak tech YouTuber lain yang bisa mengunggah empat sampai lima video dalam seminggu.

Namun saya selalu mencoba untuk tidak membandingkan saya dengan orang lain dan tetap berjalan dengan tempo saya sendiri. Walaupun pada dasarnya manusia itu akan selalu saling membandingkan, tapi saya akan selalu berusaha untuk tidak seperti itu. Saya memang orang yang cukup kompetitif, dan saya paham jika saya selalu membandingkan diri dengan orang lain, maka saya akan merasa insecure dan kehilangan kepercayaan diri.

Di dunia kreasi konten seperti YouTube, di mana ada ribuan orang yang melakukan hal yang sama seperti saya, terkadang memang cukup susah untuk tidak membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Namun saya selalu mengingatkan diri sendiri bahwa tidak ada hal baik yang didapat dari sana, dan untuk tetap fokus saja dengan diri saya sendiri.