Vitality European Open Lanjutkan IGNITION Series di Region Eropa

Perilisan VALORANT yang terbilang masih baru, menunjukkan antusiamenya seakan meningkat seiring waktu. Hal itu dapat terlihat dari berlangsungnya beberapa turnamen VALORANT di beberapa region di dunia.

Masih dalam rangkaian IGNITION Series, kembali akan ada turnamen yang diselenggarakan oleh Team Vitality. Turnamen yang digagas Team Vitality bersama Corsair akan menjadi turnamen kedua di region Eropa setelah gelaran perdana IGNITION Series dimulai oleh organisasi G2 Esports dan Red Bull.

Agent Jett | via: Riot Games
Agent Jett | via: Riot Games

Dalam turnamen bertajuk Vitality European Open, kolaborasi Team Vitality bersama Corsair, telah disiapkan hadiah sebesar 15.000 Euro. Turnamen akan berlangsung di tanggal 5-13 Juli 2020. Bersamaan dengan bermunculannya turnamen VALORANT secara rutin, akan mendukung munculnya lebih banyak lagi talenta esports VALORANT yang baru.

Terlepas dari belum hadirnya sirkuit resmi VALORANT, yang dijalankan langsung oleh Riot Games, banyak tim esports sudah bersiap dan membentuk tim. Meskipun demikian, bukan berarti sepenuhnya Riot Games tidak mendukung lahirnya skena kompetitif VALORANT. Melalui VALORANT IGNITION Series Riot Games membuka diri untuk penyelenggaran rangkaian turnamen dari komunitas dan penggemar VALORANT.

Lebih jauh mengenai IGNITION Series, baik organisasi esports maupun komunitas dapat mengajukan turnamennya kepada Riot Games untuk mendapatkan lisensi IGNITION Series. Dengan adanya sistem lisensi, akan mendukung dan menjamin berjalannya skena kompetitif yang terorganisir.

image-3-1024x546 plevalo
via: Riot Games

Berikut adalah detail informasi untuk turnamen Vitality European Open mendatang. Turnamen akan dibagi ke dalam 3 fase. Di fase pertama, sebanyak 128 slot dibuka dan akan bermain dengan format single elimination. Setelahnya akan diambil 8 tim teratas yang berlanjut ke fase kedua.

Di fase kedua, 8 tim akan dibagi kembali ke dalam 2 grup dan mencari 2 tim terbaik dari masing-masing grup. Fase yang terakhir adalah playoff dengan format double elimination dan babak final best of 5.

Menurut Fabien ‘Neo’ Devide, president and co-founder Team Vitality, dalam peryataannya, “sejak VALORANT dirilis, sangat jelas bahwa VALORANT akan mengguncang skena kompetitif esports.”

Adapun demikian, Indonesia juga tidak terlepas dari rangkaian IGNITION Series. Dalam waktu yang juga dekat akan berlangsung rangkaian turnamen SEA Invitational dan Pacific Open. Keberadaan dua turnamen ini seolah menjadi sinyal baik bagi perkembangan skena VALORANT di Indonesia.

Riot Games Ungkap Masa Depan VALORANT Pasca Peluncuran

Rilis 2 Juni 2020 lalu, game FPS besutan Riot Games ini menjadi salah satu magnet baru bagi komunitas gamers. Dari sisi ekosistem, Riot Games kali ini lebih memanjakan para pemain di Asia Tenggara lewat dua sajian inisiatif esports yang diselenggarakan. Selain itu, komunitas FPS lokal juga menyambut game ini dengan hangat lewat sajian 1z Asia League yang sudah selesai dilaksanakan 22 Juni 2020 lalu, dan GLHF VALORANT Open Cup yang akan bergulir 17 Juli 2020 ini.

Satu bulan berlalu, pertanyaan mulai muncul. Soal ekosistem, Yabes Elia Senior Editor Hybrid.co.id sudah sempat memberikan pandangannya soal masa depan esports VALORANT di Indonesia. Lalu bagaimana dengan masa depan gamenya itu sendiri? Baru-baru ini Anna Donlon Executive Producer VALORANT angkat bicara soal konten apa saja yang akan hadir di masa depan lewat episode serial Dev Diaries yang terbit 29 Juni 2020 lalu.

Dari semua penjelasan, yang paling menarik mungkin adalah soal kehadiran konten-konten terbaru di dalam game. Anna menjelaskan, bahwa nantinya penyajian konten baru di dalam VALORANT akan dibagi ke dalam dua bagian layaknya tayangan serial televisi, yaitu Episodes dan Act (Babak). Satu Episode akan berjalan selama 6 bulan, dengan Act atau Babak baru setiap dua bulan. Setiap Act, VALORANT akan menghadirkan Agent, Battlepass, serta melanjutkan cerita game ini. Anda mungkin masih penasaran, apa yang terjadi setelah duel antara Phoenix melawan Jett yang muncul saat awal perilisan? Kenapa bisa ada pulau mengapung di udara, yang menjadi map Ascent yang selama ini kita mainkan?

Kini, baru satu bulan Act 1: Ignition berjalan, yang artinya Act 2 beserta Agent, Battlepass, dan lanjutan cerita VALORANT akan hadir sekitar bulan Agustus 2020 mendatang. Setelah tiga Act selesai, Episode baru akan muncul yang menyajikan update besar ke dalam game. Anna tidak menjelaskan secara lebih spesifik soal apa saja yang akan muncul setiap pergantian Episode, namun ia memberi gambaran bahwa nantinya mungkin akan ada map atau fitur besar baru yang hadir di Episode baru.

Selain dari hal tersebut, Anna juga menjelaskan soal perbaikan-perbaikan yang menjadi fokus dari tim Riot Games untuk VALORANT. Termasuk di dalamnya soal perbaikan Ranked Mode dan Quality of Life di dalam game, balancing Agents dan Map, serta usaha mereka untuk membuat pengalaman bermain jadi lebih baik lewat komitmen Riot Games untuk mengatasi cheat dan perilaku toxic di dalam VALORANT.

Apa yang Anda tunggu-tunggu dari kelanjutan masa depan VALORANT? Agent baru? Map baru? Saya sendiri sih malah penasaran dengan kelanjutan cerita VALORANT. Kira-kira, kenapa ya sebuah pulau bisa mengapung di udara dan menjadi map Ascent?

GLHF Production akan Menggelar VALORANT Open Cup 2020

Tim creative production GLHF untuk pertama kalinya mengadakan turnamen esports VALORANT. Gelaran yang  bertajuk GLHF Open Cup VALORANT 2020 akan bergulir di pertengahan bulan Juli 2020 mendatang.

Lebih jauh lagi, tujuan diadakannya turnamen GLHF Open Cup VALORANT 2020 adalah bentuk antusiasme GLHF dan dukungan terhadap skena dan gamers VALORANT di tanah air. Dengan adanya turnamen yang digelar secara rutin, tentunya VALORANT akan berkembang lebih pesat dan diterima oleh komunitas gamers secara luas. Tidak menutup kemungkinan juga, gelaran ini memunculkan talenta baru esports VALORANT.

POSTER MEDIA PARTNER BARUresu

Berikut adalah beberapa detail yang perlu diperhatikan untuk mendaftar:

Registration period: 29 Juni – 8 Juli 2020
Matchday: 17-19 Juli 2020
Technical meeting: 11 Juli 2020

Biaya Pendaftaran: Rp 150.000/Tim

Format turnamen:
Double elimination
No multi slot
Max 64 Teams

Narahubung: 081287962469 (CHRIS)
Tautan pendaftaran: bit.ly/registeropencup

Sejauh ini, tampaknya belum ada banyak turnamen game VALORANT di Indonesia. Meskipun demikian, pada turnamen ini ada beberapa nama yang sudah menyatakan ikut berpartsipasi. Salah satu di antara peserta yang sudah mendaftar adalah, Kevin “Eeyore” Gunawan, pemain yang sudah malang melintang di skena internasional CS:GO. Tidak ketinggalan juga ada peserta dari kalangan streamer yang akan berpartisiapasi dalam gelaran turnamen ini.

Dalam gelaran GLHF Open Cup VALORANT 2020, sejauh ini juga didukung oleh beberapa brand. Brand Rexus dengan produk peripheral sudah berpartisipasi dan akan mendukung jalannya turnamen. Tidak ketinggalan juga ada PROS Coffee bergabung sebagai partner.

GLHF | via: Instagram glhfproduction
GLHF | via: Instagram glhfproduction

Sekalipun muncul nama pro player seperti sebelumnya, turnamen ini tetap terbuka bagi siapapun, terlepas dari rank saat  ini. Anda hanya perlu membayarkan biaya pendaftaran, mengumpulkan skuad berisi 5 orang anggota, dan tentu saja berlatih untuk menjadi juara.

Dengan adanya turnamen GLHF Open Cup VALORANT 2020, seakan memberi angin segar dan secercah harapan untuk gamers FPS yang ingin memulai karier sebagai pro player dan juga perkembangan skena esports VALORANT di Indonesia. Jangan lupa untuk menyaksikan keseruan turnamen ini yang akan disiarkan lewat kanal YouTube GLHF Production di youtube.com/glhfproduction

Disclosure: Hybrid adalah media partner turnamen GLHF Open Cup VALORANT 2020

 

Tips Aiming FPS di PC: Grip Style, Aim Style, Latihan, sampai Cara Pilih Mouse

First-Person Shooter adalah sebuah genre game tembak menembak dari sudut pandang orang pertama. Genre ini menawarkan pengalaman yang imersif, karena Anda seperti dibawa masuk ke dalam dunia game tersebut

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, genre ini mengalami pergeseran. Berawal sebagai game single-player, kini kebanyakan FPS seperti Counter-Strike jadi game multiplayer yang fokus pada aspek kompetitif. Dalam ranah single-player, game FPS masih bisa dimainkan secara santai. Lawannya hanya AI, yang kemampuannya ditentukan oleh tingkat difficulty.

Dalam ranah multiplayer? Jangan harap kata ada ampun. Lawan Anda adalah pemain lain yang tidak peduli siapapun lawannya, akan tetap bermain semaksimal kemampuan mereka. Jika lawan sangat jago, bisa jadi Anda sudah wafat sebelum sempat melihat bentuk karakter musuh.

Perasaan menghadapi lawan seperti itu tentu mengintimidasi. Ini mungkin juga menjadi alasan, kenapa beberapa orang patah arang saat main FPS kompetitif. Tapi hal ini juga jadi alasan kenapa beberapa orang ketagihan, karena adrenalin saat bertanding dan kepuasan ketika berhasil menjadi lebih baik dari pemain lain. Apalagi ditambah dengan perkembangan esports dari waktu ke waktu, membuat mengejar skill bermain juga kian kompetitif dari sebelumnya — bahkan buat yang tidak berencana terjun ke skena profesional.

Game kompetitif FPS memang mengintimidasi, tapi di sisi lain juga memancing adrenalin kompetisi. Sumber: win.gg
Game kompetitif FPS memang mengintimidasi, tapi di sisi lain juga memancing adrenalin kompetisi. Sumber: win.gg

Jika Anda sudah terjerumus, dan merasa tidak ada perkembangan dari segi kemampuan aim, jangan khawatir, banyak orang mungkin merasakan perasaan serupa. Kesalahannya mungkin bukan dari Anda, bukan juga dari hardware yang Anda miliki. Bisa jadi kesalahannya adalah dari cara Anda melatih diri.

Sebelum menuju ke pembahasan, mungkin ada baiknya saya menjelaskan lebih dulu bagaimana proses saya jadi menyukai game FPS kompetitif. Jujur saya mengakui, saya bukan yang terbaik di dalam game FPS. Seringkali saya luput dalam adu bidik, yang juga membuat saya kesal dan frustasi. Saya justru baru menekuni FPS beberapa saat setelah Playerunknown’s Battleground hadir di Steam (sekitar tahun 2017-an).

Namun sejak saat itu saya ketagihan belajar untuk menjadi lebih baik dalam game FPS kompetitif, karena ada rasa kepuasan tersendiri ketika menang adu bidik, dan supaya tidak diledeki potato aim oleh sesama gamers… Hehe. Ditambah lagi, belakangan saya juga sedang keranjingan game FPS di PC (Ya benar, VALORANT), yang membuat saya jadi kembali kepada proses ketagihan belajar menjadi lebih baik.

Jadi dalam artikel ini, saya mencoba membagikan beberapa pengetahuan seputar cara menjadi lebih baik dalam bermain game FPS. Informasi ini saya rangkum dari berbagai sumber, dikombinasikan dengan pengalaman saya sendiri. Agar memudahkan Anda, saya juga mengurutkan hal-hal yang perlu Anda ketahui dari yang paling mendasar hingga tingkat lanjutan. Tanpa bermaksud menggurui, mari kita sama sama belajar, dan semoga artikel ini dapat menjadi lahan sama belajar bersama.

Pilih Cara Ternyaman Untuk Pegang dan Gerakkan Mouse

Satu salah kaprah yang sering terjadi saat main game FPS kompetitif adalah, menyalahkan aim yang buruk kepada pengaturan sensitivitas, pemilihan mouse, mousepad, dan segala tetek bengek hardware lainnya. Padahal aim yang buruk adalah salah diri Anda sendiri, ya betul, ANDA SENDIRI.

Ini mungkin kenyataan pahit, namun jadi kenyataan yang harus Anda diterima untuk menjadi lebih baik. Karena menurut saya, faktor terbesar dalam kemampuan aiming game FPS datang dari kemampuan motorik tangan dalam memegang dan menggerakan mouse serta koordinasinya dengan mata Anda. Baru sebagian kecil lainnya datang dari pemilihan mouse, monitor, mousepad, pengaturan DPI, sensitivitas in-game, crosshair, dan lain sebagainya.

Maka dari itu, untuk pertama-tama latih dan biasakan motorik otot tangan Anda dalam memegang dan mengendalikan mouse komputer terlebih dahulu. Seperti saat ingin memegang tangan gebetan, Anda harus kenalan terlebih dulu… Eh, maksudnya kenali cara memegang mouse. Teknik memegang dan mengendalikan mouse disebut juga sebagai Grip Style dan Aiming Style.

Grip Style dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Palm Grip, Fingertip Grip, dan Claw Grip. Palm Grip artinya memegang mouse dengan seluruh telapak tangan Anda. Fingtertip Grip artinya memegang mouse hanya dengan ujung jari saja. Sementara Claw Grip gabungan antar keduanya, telapak Anda tetap menempel pada mouse, namun jari Anda menekuk dan hanya menyisakan ujung jari di tombol klik kiri dan kanan.

Selanjutnya, Aiming Style adalah cara Anda mengendalikan mouse untuk menarget musuh. Secara umum, ada dua gaya membidik, yaitu Arm Style dan Wrist Style. Arm Style artinya menggerakan mouse dengan seluruh bagian lengan Anda. Sementara Wrist Style artinya menggerakan mouse hanya dengan pergelangan tangan.

Masing-masing Grip dan Aiming Style punya fungsinya masing-masing. Mengutip dari pembahasan Cnet, Palm Grip bisa dikatakan menjadi cara memegang mouse yang paling umum dan tidak hanya digunakan untuk bermain game saja. Cara memegang ini biasanya dikombinasikan dengan Arm Aiming Style. Dengan kombinasi ini, Anda mengibaratkan mouse sebagai perpanjangan tangan Anda. Kombinasi Palm Grip dengan Arm Aiming cenderung membuat pergerakan Anda lebih lambat, namun memberikan Anda presisi bidikan yang lebih tajam dalam menggerakan mouse.

Lalu selanjutnya ada Claw dan Fingertip Grip yang keduanya bisa dibilang mirip-mirip. Dua Grip Style tersebut biasanya dikombinasikan dengan Wrist Aiming Style, karena gaya yang satu ini lebih mengutamakan kecepatan daripada akurasi. Claw Grip dan Wrist Aiming Style memungkinkan Anda untuk mengarahkan kursor dari satu titik ke titik lain dengan sangat cepat, namun kelemahannya adalah gaya ini terbatas kepada sudut gerak pergelangan tangan manusia.

Setelah memahami jenis-jenis Grip dan Aiming Style, hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencari yang ternyaman. Jadikan apa yang saya jelaskan sebagai panduan saja. Jika Anda punya Grip dan Aiming Style sendiri yang lebih nyaman bagi tangan Anda, gunakan saja gaya tersebut, lalu biasakan sampai menjadi Muscle Memory (ini akan saya bahas pada sub-bagian selanjutnya). Tapi, jika tangan Anda menjadi sakit, dan kemampuan membidik Anda tidak berkembang, tidak ada salahnya untuk mencoba contoh gerakan yang ada di atas.

Sebagai tambahan informasi, selain dari segi karakteristiknya, Wrist dan Arm Aiming Style juga punya dampak tersendiri terhadap otot tangan Anda. Keduanya sama-sama punya risiko cedera, karena gerakan yang dilakukan pemain FPS cenderung repetitif, dalam durasi yang lama.

Namun Wrist Aiming, terbilang punya risiko cedera yang lebih besar. Wrist Aiming dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko Anda terkena penyakit Carpal Tunnel Syndrome. Penyakit yang umum terjadi di kalangan para gamers ini dapat menyebabkan telapak tangan Anda mati rasa, dan sangat sakit ketika digerakkan. Maka dari itu, melakukan peregangan pada pergelangan tangan, menggerakkan pergelangan tangan setiap satu sesi permainan, jadi hal-hal yang tak kalah penting untuk Anda lakukan, untuk mengurangi risiko cedera.

Setelah memahami bagaimana cara memegang dan mengendalikan mouse. Tahap berikutnya adalah melakukan pembiasaan.

Latih Kordinasi Mata-Tangan dan Bangun Kemampuan Muscle Memory

Setelah menemukan Grip dan Aiming Style ternyaman, selanjutnya adalah melatih koordinasi mata dan tangan agar sinkron. Secara teori, latihan ini mirip seperti latihan mengoper bola bagi pemain sepak bola. Hal ini perlu dilakukan setiap hari, karena mungkin seorang Cristiano Ronaldo sekalipun pernah mengalami masa, ketika tendangannya tidak tepat sasaran gara-gara koordinasi mata dengan otot motorik yang tidak sinkron.

Maka dari itu, pada fase ini, Anda harus betah melakukan tindakan-tindakan yang repetitif. Apa fungsi latihan ini? Kenapa saya harus mengulang-ulang gerakan untuk menjadi lebih baik? Jawabannya adalah untuk membangun Muscle Memory.

Apa itu Muscle Memory? Daripada terlalu njelimet menjelaskan soal Myelin dan istilah neuroscience lainnya, lebih baik saya jelaskan pakai menggunakan analogi saja. Analogi paling sederhana untuk memahami konsep Muscle Memory adalah seperti Anda belajar mengendarai sepeda.

Awal menaiki sepeda, badan Anda pasti terasa limbung. Jangankan jalan, menyeimbangkan sepeda saja sudah sulit. Anda akan sering jatuh awalnya, tapi semakin lama, dan sering bersepeda, kegiatan ini jadi semakin terasa natural, seperti berjalan kaki. Bahkan Anda mungkin bisa bisa melakukannya dengan mata tertutup (jangan dilakukan ya, bahaya), atau tanpa tangan.

Maka dari itu Ada beberapa aplikasi yang bisa membantu Anda membiasakan koordinasi mata-tangan. Salah satunya adalah rhythm game osu! Oke, Anda boleh mulai tertawakan saya karena menggunakan osu! Untuk latihan aiming. Tapi aplikasi ini menjadi satu-satunya lahan saya membiasakan koordinasi mata-tangan dalam mengendalikan mouse, ketika saya bermain PUBG (Steam) di tahun 2017; yang bukan cuma tidak punya training mode tapi juga laggy dan memiliki pengalaman bermain yang buruk ketika itu.

Penggunaan osu! sebagai sarana latihan aim memang menjadi perdebatan sendiri di komunitas game FPS. Alasannya sederhana, karena osu! adalah game 2 dimensi, sementara game FPS bersifat 3 dimensi. Hal ini bahkan menjadi pembahasan tersendiri di forum osu! karena ada seorang pemain yang menanyakan soal lagu osu! terbaik untuk melatih aim.

Saya sedikit setuju dengan pendapat tersebut. Namun menurut saya, tujuan bermain osu! Memang bukan untuk melatih aiming pada game FPS yang dimainkan (CS:GO, Overwatch, PUBG, VALORANT atau apapun), melainkan untuk membiasakan Grip dan Aiming Style yang Anda gunakan, juga untuk mengukur seberapa jauh gerakan tangan yang Anda butuhkan untuk klik satu target ke target lain.

Kembali pada analogi sepeda, memang benar adanya bermain sepeda di jalan landai tidak akan membantu Anda menjadi mahir melakukan trik sepeda BMX. Tapi pada awalnya, Anda tetap harus bisa mengendarai sepeda terlebih dahulu bukan? Maka dari itu, menurut saya latihan di osu! Jadi cara yang paling mendasar, untuk membangun skill mentah dalam aiming, seperti Anda belajar mengendarai sepeda sampai bisa jalan terlebih dahulu.

Selain osu!, ada juga alat untuk berlatih aim berbasis web yang bernama Aimbooster. Dalam Aimbooster, tugas Anda sederhana. Klik target yang muncul di layar satu per satu. Awalnya target muncul secara satu per satu dalam jeda waktu yang lambat. Lama-lama target akan muncul semakin cepat, yang memaksa Anda untuk menggerakan mouse dan merespon lebih cepat lagi. Tidak percaya akan keguanaan Aimbooster? Shroud menggunakan alat latihan ini juga lho.

Oke setelah OSU! dan Aimbooster lalu apa? Anda bisa mulai transfer kebiasaan Grip dan Aiming Style yang dilakukan ke dalam game yang Anda mainkan. Game FPS modern biasanya sudah menyediakan ruang latihan mereka tersendiri, Sementara pada CS:GO Anda bisa mengunduh map latihan buatan komunitas. Maka dari itu, mari kita berlanjut ke tahap latihan berikutnya.

Pelajari Mekanik Game FPS yang Anda Mainkan

Berlatih menggunakan in-game Training Mode sengaja saya masukkan ke dalam tahap ketiga. Kenapa? Karena menurut saya, pada tahap ini yang perlu Anda pelajari bukan cuma cara membidik, tetapi juga termasuk mekanik game yang Anda mainkan.

Apa maksudnya mekanik? Yang paling mendasar dari game FPS adalah Recoil Pattern. Seperti tembakan di dunia nyata, tembakan di game FPS juga patuh pada hukum fisika. Artinya senapan akan terpental ke atas pada saat Anda menembak secara berentet dengan senjata otomatis. Dalam game FPS kompetitif, pentalan atau recoil senapan biasanya memiliki pola.

Maka dari itu, guna dari latihan dengan menggunakan in-game Training Mode adalah untuk membiasakan Grip dan Aim Style anda dengan mekanik internal yang ada di dalam game. Dalam kasus VALORANT, yang saya lakukan adalah menembak secara otomatis, lalu membiarkan senapan tersebut terpental secara alamiah. Dari sana Anda bisa memahami, bagaimana pola recoil dari sebuah senapan, ke mana dia akan terpental, dan pada titik mana pantulannya akan berhenti.

Memahami Recoil Pattern akan membantu tembakan Anda tetap tepat sasaran, walau Anda menembak berentet dengan senapan otomatis. Sebagai contoh, recoil senjata Vandal di VALORANT. Recoil senjata tersebut akan melompat cukup signifikan pada peluru ketiga atau keempat. Jika Anda paham polanya, maka Anda jadi bisa siap-siap menarik mouse dari kepala ke kaki agar peluru dari senapan tetap mengenai badan atau kepala, dan menghasilkan damage yang maksimal.

Jujur saya sendiri sebenarnya tidak begitu rajin mencoba recoil semua senjata satu per satu di mode training. Malah awal main, saya langsung turun lapangan di matchmaking…Hehe. Tapi untuk Anda yang benar-benar serius, Anda harus lebih rajin mempelajari satu per satu elemen permainan, apalagi jika ingin terjun ke ranah esports FPS.

Setelah recoil, baru Anda mempelajari mekanik lanjutan game FPS yang Anda mainkan. Selain aiming, kemampuan spasial jadi kemampuan lain yang perlu Anda pelajari di dalam game FPS. Kemampuan ini sebenarnya di luar dari urusan aiming, tapi jadi hal yang perlu Anda kuasai juga.

Kalau pakai analogi sepak bola, aiming adalah kemampuan mengolah bola paling dasar, dribble, passing, dan shooting. Sementara itu kemampuan spasial adalah kemampuan sang pemain bola memahami setiap sentimeter lapangan, memahami tempat mana yang akan kosong jika ia bergerak ke suatu tempat, dan daerah mana yang cocok untuk diberi umpan terobos.

Dalam game FPS, kemampuan spasial melibatkan pemahaman atas seluk beluk sebuah map dan medan tempat Anda bermain. Cara untuk melatih ini adalah dengan bermain dalam pertandingan sesungguhnya. Tapi satu hal yang perlu jadi catatan adalah, Anda harus fokus, jangan main hanya karena ingin tembak-tembakan saja.

Sebagai contoh saya kembali menggunakan VALORANT. Misal jika Anda ingin mempelajari map Ascent, coba ulang terus satu jalan yang ingin Anda pelajari, sambil melakukan analisis. Misal Anda ingin belajar menyerang B-site, ulang terus jalan Anda lewat B Lobby, sampai Anda hafal arah datangnya ancaman musuh. Memahami lewat permainan jadi cara latihan spasial Micro-Game (apa yang Anda lihat ketika menyerang area B Ascent).

Kemampuan spasial Anda akan semakin lengkap jika Anda bisa memahami Macro-Game (bentuk map secara keseluruhan). Bagian ini bisa Anda pelajari di luar game, entah dengan membaca artikel tips suatu map, menonton video pembahasan map, atau mempelajari map itu sendiri.

Sambil belajar seluk-beluk map dan membentuk kemampuan spasial, Anda juga bisa sambil berlatih Crosshair Placement. Teknik ini merupakan cara meletakkan bidikan agar selalu siap menghadapi musuh. Teknik ini penting untuk dikuasai karena dalam game FPS kompetitif, karena siapa yang menembak lebih dulu dan kena, maka dia adalah pemenangnya. Teknik Crosshair Placement melibatkan beberapa aspek, seperti selalu meletakkan crosshair di area perkiraan kepala musuh berada, selalu membidik ke arah tembok saat memeriksa pojokan, dan juga membidik ke arah di mana musuh biasanya ada.

Seperti melatih kemampuan spasial, teknik Crosshair Placement hanya bisa Anda latih dengan cara terjun langsung ke medan pertarungan. Namun seperti saya bilang sebelumnya, Anda harus main dengan lebih SADAR, bukan sekadar main dan ingin adu mulut saja.

Dalam konteks VALORANT, kemampuan aiming ini juga jadi alasan, kenapa Anda tidak perlu memikirkan siapa Agents yang terbaik. Pada dasarnya VALORANT adalah FPS taktikal, Anda tetap bisa menang walau cuma modal adu tembak saja. Kalau perlu, saat belajar, jangan beli skill saat main. Fokus saja mempelajari map, dan menembak yang benar, tanpa harus terlalu repot memikirkan harus menggunakan skill apa.

Jika Anda sudah melalui tiga tahap di atas, baru kita ke tahap selanjutnya.

Saatnya Khilaf! Pilih Mouse, Mouse pad, dan Monitor Paling Sesuai untuk Anda

Bagian ini sengaja saya letakkan di akhir artikel, karena memang tingkat urgensinya jauh lebih rendah dibanding melatih kemampuan motorik tangan Anda. Ibaratnya sepak bola, masa iya Anda pakai sepatu Nike Mercurial seharga jutaan Rupiah, padahal Anda hanya bermain sepak bola untuk kompetisi tingkat antar-kampung? Ya kalau memang hobi dan punya dana berlebih sih boleh saja, kalau tidak? Latih kemampuan dulu saja deh.

Kalau harus dijelaskan secara terperinci, memilih mouse sebenarnya bisa jadi artikel sendiri karena saya perlu menjelaskan juga soal DPI, Polling Rate, bentuk, dan berat mouse yang tepat bagi Anda. Maka dari itu, pada bagian ini saya hanya akan menjelaskan cara memilih mouse secara singkat saja, berdasarkan karakteristik umumnya.

Bermain FPS kompetitif tentu tidak butuh mouse yang terlihat seperti mimpi buruk saat dipegang dan dikendalikan dalam durasi yang lama ini. Sumber: HowToGeek
Bermain FPS tentu tidak butuh mouse yang terlalu banyak tombol layaknya bermain RPG. Sumber: HowToGeek

Jika mengutip dari howtogeek.com, setidaknya ada tiga jenis mouse yang paling umum. Tiga jenis tersebut adalah Shooter Mouse, yang bentuknya mirip seperti mouse pada umumnya, “MOBA” Mouse yang punya banyak tombol di bagian sisi, dan Ambidextrous Mouse yang bentuknya simetris untuk gamers bertangan kidal.

Saya sendiri cukup setuju dengan artikel tersebut, bahwa mouse dengan bentuk yang minimalis adalah Shooter Mouse. Ini karena, kenyamanan memegang mouse adalah segalanya dalam bermain game FPS. Maka dari itu, Anda tidak perlu gaming mouse yang banyak gimmick, seperti bentuk yang katanya “ergonomis”, atau tombol tambahan yang terlalu banyak. Meski begitu, salah satu yang tak kalah penting juga untuk dipertimbangkan adalah switch yang digunakan untuk klik kiri dan kanan (seperti yang optical switch digunakan Razer Basilisk V2) — karena biasanya mouse gaming cenderung rentan dengan penyakit double click. Kecuali Anda rela membeli mouse gaming baru setiap 3 bulan sekali.

Selanjutnya, kembali lagi kepada bagaimana tipe Grip dan Aiming Style Anda. Jika Anda menggunakan tipe Arm Aiming Style atau tipe Control, maka Anda akan butuh mouse yang sedikit lebih berat. Jika Anda adalah pemain Wrist Aiming Style atau tipe Speed, maka Anda butuh mouse yang ringan, agar tidak terlalu membebani pergelangan tangan Anda.

Pemilihan Mouse Pad juga jadi hal yang tak kalah penting. Jika Anda tipe Control biasanya bisa menggunakan mouse pad dengan permukaan kain. Sementara jika Anda adalah tipe Speed, maka Anda mungkin akan butuh mouse pad dengan permukaan keras atau tipe Hard-Surface. Hal yang juga perlu Anda ketahui adalah, mengganti mouse dan mouse pad berarti harus adaptasi. Jadi jangan khawatir jika setelah mengganti gaming gear, kemampuan Anda jadi sedikit menurun. Juga yang terpenting, kenyamanan tetap jadi hal yang utama.

Selain mouse, jika kemampuan motorik Grip dan Aiming Style sudah terlatih, hal selanjutnya yang perlu Anda pelajari adalah pengaturan sensitivitas di dalam game. Secara umum, pemain Arm Aiming Style biasanya membutuhkan sensitivitas rendah, agar gerakan mouse senada dengan gerakan lengan. Sementara pemain Wrist Aiming Style biasanya membutuhkan sensitivitas tinggi, agar menjadi kompensasi atas sudut gerak pergelangan tangan yang terbatas.

Monitor juga jadi elemen penting lain yang tak kalah penting dalam game FPS. Refresh rate tinggi, seperti yang dimiliki oleh BenQ Zowie XL2746s, sudah jadi elemen wajib. Selain itu yang mungkin juga tak kalah penting adalah kemampuan sang monitor untuk menghasilkan warna. Anda bisa menyimak pembahasan dari techguided.com yang membahas beda panel LCD monitor, mulai dari TN, IPS, dan VA untuk memahami apa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing tipe panel. Namun berhubung monitor dengan kemampuan refresh rate 144Hz cenderung lebih mahal, ini mungkin bisa jadi hal paling belakangan untuk dipenuhi, terutama jika budget Anda terbatas.

Apalagi, frame rate suatu game juga ditentukan dari spesifikasi komputer Anda. Kalau spesifikasi komputer Anda masih pas-pasan, membeli monitor dengan kemampuan refresh rate 144Hz sih sebenarnya hanya buang-buang uang saja.

Semoga setelah membaca artikel ini Anda jadi kembali punya tujuan, karena jadi belajar cara latihan yang tepat untuk menjadi lebih jago main game FPS. Saya sendiri pun masih berlatih dan terus berlatih agar jadi lebih jagi main game FPS. Tentu bukan untuk jadi seorang pemain esports. Tapi kalau saya jadi lebih jago, minimal waktu yang saya habiskan untuk bermain VALORANT bisa menjadi konten yang menarik untuk dilihat pemain lainnya… Hahaha.

[IdeaPlay] Bagaimanakah Solusi yang Tepat untuk Mengurangi Gamer Toxic?

Jika Anda pernah bermain game multiplayer yang kompetitif, khususnya yang gratisan, kemungkinan besar Anda pernah bertemu dengan gamer toxicGamer toxic ini sebenarnya ada banyak jenis-jenisnya seperti para pemain yang lebih suka menyalahkan rekan satu timnya, semaunya sendiri dalam bermain (saat memilih role, misalnya), AFK atau rage quit, menggunakan cheat, ataupun perilaku menyebalkan lainnya.

Faktanya, gamer toxic selalu bisa ditemukan di setiap game kompetitif. Hal ini juga bahkan sudah mulai terlihat di Valorant yang dibuat dengan tujuan esports. League of Legends juga dikenal dengan komunitas yang salty. PB juga masih menjadikan cheater sebagai salah satu prioritas yang harus dibasmi. Dota 2, MLBB, AoV, PUBG Mobile ataupun game-game lainnya juga bisa dipastikan memiliki gamer-gamer toxic yang menyebalkan.

Kami juga sebenarnya pernah menuliskan soal toxicity panjang lebar beberapa waktu yang lalu untuk mencari tahu sejumlah penyebab kenapa banyak gamer toxic di game-game kompetitif.

Faktor-faktor ini saya kira memang harus dicari tahu sebelum mencari solusinya. Dari beberapa faktor yang bisa Anda baca di artikel sebelumnya tadi, menurut saya, memang ada yang bisa dicari solusinya dari sisi game publisher namun juga ada yang mungkin di luar jangkauan game publisher.

Sumber:
Sumber: Riot Games

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap toxic-nya gamer yang mungkin berada di luar jangkauan game publisher itu adalah elemen kompetitif, kultur sosial negatif (sekarang ini), ataupun soal sistem free-to-play.

Elemen kompetitif tentunya tak bisa dihilangkan juga jika memang hal tersebut yang jadi nilai jual utama game-game kompetitif. Sedangkan dari faktor sistem free-to-play, ada beberapa alasan kenapa hal ini juga berpengaruh dalam merebaknya jumlah gamer toxic.

Pertama, karena bisa dimainkan gratis, para pemain toxic jadi tidak merasakan konsekuensi untuk berperilaku seenaknya sendiri. Jika akun mereka di-ban karena terlalu banyak menerima laporan negatif mereka juga bisa dengan mudah membuat akun baru.

Kedua, karena freeto-play dan salah satu tujuan/tolak ukur kesuksesan sebuah game adalah jumlah pemain, mengatur perilaku orang banyak itu jadinya jelas lebih sulit ketimbang mengatur perilaku lebih sedikit orang.

Sistem free-to-play tadi, meski berpengaruh, memang mungkin tak bisa diubah begitu saja. Namun sistem reward and punishment tadi yang mungkin bisa diperbaiki untuk mencegah perilaku toxic.

Sumber: League of Legends
Sumber: League of Legends

Solusi yang bisa dilakukan publisher game dalam mengurangi gamer toxic

Setelah membahas penyebabnya secara singkat tadi, menurut saya, inilah mindset yang bisa dimiliki oleh publisher untuk mengurangi perilaku toxic.

Saya percaya bahwa solusi paling efektif dan paling mudah diimplementasikan adalah dengan lebih menekankan pada hadiah (reward) untuk perilaku baik ketimbang hukuman untuk perilaku toxic. Meski hampir semua game sudah memiliki sistem reputasi, misalnya sistem Honor di League of Legends ataupun Credit Score di MLBB, penekanannya lebih pada hukuman buat gamer toxic. Implementasi hukuman ini yang tidak efektif dan mudah disiasati.

Di MLBB misalnya, para pemain yang memiliki Credit Score rendah memang akhirnya akan dilarang untuk bermain Ranked. Namun batasan minimal Credit Score untuk bermain mode Ranked ini terlalu rendah dan hukumannya pun mungkin tak terlalu berarti. Apalagi, selain bisa dengan mudah membuat akun baru dan menanjak Rank setidaknya sampai Grand Master atau Epic, praktek jual beli akun dan jasa joki juga masih marak ditemukan.

Sistem hukuman Credit Score ini juga masih sangat bergantung pada laporan para pemainnya. Dengan meningkatnya perilaku individualis tiap-tiap orang di zaman modern, sistem laporan tadi juga mungkin tidak efektif. Misalnya saja seperti ini, di MOBA, satu tim berisikan 5 orang. Misalnya saja saya hanya toxic terhadap 1 orang, hanya orang itu saja yang merasa dirugikan dan melaporkan saya — sedangkan 3 orang lainnya mungkin tidak merasa memiliki alasan untuk melaporkan saya.

Sebaliknya, jika penekanan sistemnya lebih kepada reward buat mereka-mereka yang berperilaku baik, hal tersebut mungkin akan lebih efektif untuk membangun kultur positif di dalam komunitas.

Mengubah penekanan pada perilaku terpuji, di bayangan saya, bisa jadi seperti contoh berikut. Jika seorang pemain berhasil mempertahankan reputasi (Honor, Credit Score, atau apapun namanya) di tingkat tertinggi dalam satu bulan penuh, ia bisa mendapatkan mata uang yang bisa dibelanjakan. Memberikan ataupun mendapatkan reputasi baik (Like, misalnya) dari pemain lainnya juga bisa mendapatkan reward.

Contoh konkretnya, jika hal tersebut diterapkan di MLBB, misalnya seperti ini. Jika saya bisa mempertahankan Credit Score di angka 110 terus menerus dalam 30 hari, saya akan mendapatkan 100 Diamond. Di MLBB, kita juga bisa memberikan Like/Love kepada pemain lain setelah setiap pertandingan. Setiap kita memberikan Like ke satu pemain, kita akan mendapatkan 10 Gold. Setiap Like yang kita dapat dari pemain lain, kita juga akan mendapatkan 50 Gold.

Jadi, hanya dengan selalu berlaku positif saja, kita bisa mendapatkan 90 Gold tambahan setiap pertandingan dan 100 Diamond per bulan. Tentunya, nominal dan currency reward tadi bisa saja disesuaikan dengan perhitungan masing-masing publisher. Namun, intinya, publisher game harus memberikan alasan dan tujuan yang jelas dan berharga kenapa kita harus berperilaku positif di game mereka. Selain memberikan konsekuensi untuk perilaku negatif — seperti yang sekarang sudah berlaku. Jika ingin lebih jauh lagi, ada ranking juga buat para pemain yang bisa mempertahankan Credit Score paling lama.

Menurut saya, hal ini sebenarnya mudah diimplementasikan (hanya tinggal menghitung berapa nominal dan currency yang masuk akal saja) dan akan lebih efektif untuk mendorong kultur positif di komunitas game tersebut. Dengan kultur positif yang semakin tinggi, otomatis, perilaku toxic juga akan semakin berkurang.

Penutup

Via: Wellspace
Via: Wellspace

Terakhir, ibaratnya saja seperti ini. Baik dengan orang tua, guru, atau atasan, hukuman, teguran, atau cacian saat berlaku negatif itu memang nyatanya lebih sering kita rasakan ketimbang pujian ataupun hadiah saat berlaku positif. Hal ini jadi lebih membuat kita mencari aman ketimbang mengambil inisiatif untuk berlaku positif.

Game sendiri juga sebenarnya sudah menekankan sistem reward dan punishment yang lebih gamblang dan efektif. Anda harus farming jika ingin mendapatkan uang dan EXP. Sebaliknya, Anda tidak boleh sering mati juga jika tidak ingin kehilangan waktu untuk farming. Sistemnya memang dibuat untuk mendorong yang positif dan menghindari yang negatif.

Gameplay-nya tentu saja jadi tidak akan efektif jika Anda hanya didorong untuk menghindari yang negatif. Jika Anda hanya perlu mencari aman, kemungkinan besar, sebagian besar pemain akan lebih memilih untuk bermain pasif.

Apakah Anda setuju dengan solusi ini? Atau apakah Anda memiliki solusi lain yang lebih efektif dan masuk akal untuk dilakukan dalam mengurangi perilaku gamer toxic?

Riot Games Umumkan Dua Inisiatif Esports VALORANT Asia Tenggara

Beberapa waktu lalu, kita sempat bertanya-tanya, kira-kira bagaimana rencana Riot Games untuk mengembangkan komunitas VALORANT di Indonesia? Mengingat VALORANT kompetitif secara natural, sudah pasti, kehadiran skena esports juga diharapkan? Selain itu, setelah semua yang dibicarakan oleh pihak Riot Games, Senior Editor Hybrid, Yabes Elia, juga sempat memberi sedikit analisisnya soal bagaimana masa depan esports VALORANT di Indonesia.

Kehadiran turnamen komunitas sudah jadi satu pertanda baik, tapi apa selanjutnya? Kini, semua pertanyaan tersebut akhirnya terjawab. Dalam dua hari berturut-turut, Riot Games umumkan dua inisiatif esports untuk skena Asia Tenggara. Dua inisiatif tersebut adalah VALORANT SEA Invitational, dan VALORANT Pacific Open yang tergabung dalam IGNITION Series.

Sumber: VALORANT Official
Sumber: VALORANT Official

VALORANT SEA Invitational sendiri merupakan sebuah turnamen yang menampilkan sosok kreator konten ternama dari Filipina, Malaysia, Singapura, Taiwan, Indonesia, dan Thailand. Dalam kompetisi ini para peserta akan bertanding untuk memperebutkan total hadiah sebesar US$10.000, yang juga akan disumbangkan kepada GlobalGiving.org untuk membantu perjuangan dalam melawan pandemi COVID-19. Dalam rilis disebutkan bahwa Indonesia akan diwakilkan oleh dua sosok kreator konten yaitu Luthfi Halimawan dan Watchout Gaming.

Sementara itu VALORANT Pacific Open merupakan ajang pembuktian terbuka untuk menjadi yang terbaik di Asia Tenggara. Berhubung turnamen ini setingkat Asia Pasifik, jadi ada lebih banyak negara yang bisa mengikuti kompetisi, termasuk: Taiwan, Thailand, Hong Kong, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Memperebutkan hadiah sebesar US$20.000 (Sekitar 284 juta Rupiah), gelaran VALORANT Pacific Open dimulai dari babak kualifikasi regional yang diadakan bulan Juli, dan ditutup dengan gelaran utama yang diselenggarakan mulai dari 17 hingga 23 Agustus 2020 mendatang. Untuk Indonesia, fase registrasi sudah terbuka sejak 23 hingga 30 Juni 2020 mendatang.

Sumber: VALORANT Official
Sumber: VALORANT Official

Dengan batas hanya 32 tim peserta saja, kualifikasi akan dilakukan pada tanggal 1 hingga 3 Juli 2020 mendatang, dengan memperebutkan hadiah juara regional sebesar 14,8 juta Rupiah. Nantinya, hanya sang juara saja, yang berhak bertanding di gelaran utama VALORANT Pacific Open yang diselenggarakan Agustus 2020 nanti.

Dua inisiatif esports ini menjadi bukti bahwa kini Riot Games juga melibatkan Indonesia ke dalam ekosistem esports VALORANT di Asia Tenggara. Bagaimanapun, kehadiran turnamen berjenjang menjadi salah satu elemen penting bagi ekosistem esports, karena memberikan pemain kompetitif tujuan untuk dikejar. Siapa yang tahu, mungkin nantinya juara dari masing-masing regional akan dikumpulkan untuk kompetisi tingkat dunia? Atau mungkin jenjang kompetisinya akan ke tingkat lokal Indonesia, lewat sajian kompetisi yang didukung oleh Riot Games?

Riot Ungkap Soal Ranked Mode VALORANT Untuk Update 1.02

Setelah kurang lebih hampir satu bulan rilis ke pasaran, VALORANT akhirnya mendapatkan ranked mode. Hal ini diumumkan oleh Riot Games lewat sebuah rilis resmi, yang mereka terbitkan pada laman playvalorant.com. Sebelumnya Riot Games sudah sempat membahas soal ini sejak April 2020 kemarin, sebelum game ini akhirnya rilis tanggal 2 Juni 2020 kemarin.

Pada saat masih dalam status beta, Riot Games sebenarnya sudah sempat menyajikan fitur rank dalam waktu yang terbatas. Ketika itu disebutkan bahwa Anda membutuhkan 20 kali permainan mode unranked untuk membuka mode kompetitif. Rank terdiri dari 8 tingkat dengan 3 tier di setiap rank, dengan rank tertinggi diberi nama VALORANT. Anda bisa bermain dengan party berisikan 5 pemain, dengan maksimal beda 2 rank saja.

Sumber: playvalorant.com
Sumber: playvalorant.com

Setelah berbagai feedback yang diberikan oleh para pemain pada fase closed-beta dan juga setelah beberapa pekan perilisan ini, kini akhirnya mode rank akan rilis lewat patch 1.02. Ada beberapa perbedaan dibandingkan dengan rank pada versi closed-beta. Salah satunya adalah perubahan pada ikon, yang kini dibuat jadi lebih berwarna. Selain itu, rank tertinggi diubah namanya menjadi RADIANT.

Selain dari hal tersebut, Riot juga menjelaskan beberapa hal lainnya. Pertama adalah soal pertandingan untuk placement rank. Satu yang menjadi perhatian Riot di sini adalah bagaimana agar Anda bisa bermain dengan kawan-kawan Anda untuk mendapatkan placement rank yang jelas. Jadi nantinya, meski masih dalam placement, Anda tetap bisa bermain mode rank bersama teman.

Selain soal itu Riot juga menjelaskan perhatiannya soal matchmaking antara pemain solo melawan 5-stack atau tim berisikan 5 orang. “Untuk pemain rank Immortal dan Radiant, kami melakukan beberapa perbaikan terhadap sistem matchmaking, namun kami sadar bahwa dalam tingkat tersebut, ada sedikit keuntungan ketika 5 orang dalam satu tim bertemu dengan pemain solo. Kami masih mencoba mencari cara terbaik untuk mengatasi hal ini, dan berencana untuk membagikan rencana kami nantinya.” tulis Ian Fielding, Senior Producer Riot Games dalam rilis.

Ian Fielding. Sumber: LinkedIn
Ian Fielding. Sumber: LinkedIn

Selain itu, mereka juga menjelaskan soal bagaimana perjuangan Anda mencapai rank akan dapat dilihat pada Match History Anda. Lebih lanjut, Ia juga menjelaskan bahwa Riot sadar akan tingginya permintaan terhadap fitur seputar ekosistem kompetitif seperti turnamen in-game, leaderboards dan lain sebagainya. “Untuk sekarang, kami mengutamakan agar Competitive Matchmaking dapat dirilis secara global. Namun, kami tentu ingin dapat menyajikan kebutuhan tersebut kepada komunitas nantinya.”

Jika mengutip dari apa yang dikatakan pada twit Joe Ziegler sang Game Director Riot Games yang ia tulis pekan lalu, maka update VALORANT 1.02 seharusnya akan rilis pekan ini dalam waktu dekat. Sudahkah Anda mempersiapkan untuk bermain kompetitif?

RAGE Invitational dan 1z ASIA LEAGUE Jadi Pembuktian Skena Kompetitif VALORANT di Asia

Akhir pekan lalu, VALORANT Ignintion Series sudah mulai bertanding lewat gelaran RAGE Invitational. Seakan tak mau kalah, kawasan Asia Tenggara juga punya turnamen serupa walaupun tidak tergabung dalam Ignition Series, lewat turnamen bertajuk 1z ASIA LEAGUE VALORANT 1.

Dari RAGE Invitational, tim Absolute JUPITER berhasil menjadi juara setelah berhasil mendominasi jalannya kompetisi. Mereka hampir melibas siapapun yang dihadapi sepanjang perjalanannya untuk mencapai babak final.

Tim ini sendiri berisikan skuad berisikan mantan pemain CS:GO. Tahun 2018, mereka bertanding di dalam skena CS:GO dengan nama Absolute, dan kerap kali dianggap sebagai tim CS:GO terbaik di Jepang. Bertanding di RAGE Invitational, mereka mengalahkan nama-nama besar di skena Jepang seperti AVALON Gaming, SunSister Rapid, dan Nora-Rengo.

Pada babak final, mereka berhadapan dengan tim Lag Gaming, yang berhasil memberikan perlawanan terbaiknya kepada JUPITER. Lag Gaming membuat JUPITER kewalahan sehingga mereka memenangkan map Ascent dengan skor 13-8. Namun setelahnya JUPITER bisa bangkit lagi, dan kembali menunjukkan permainan yang dominan. Takej dari Absolute JUPITER menjadi MVP berkat menunjukkan permainan apik dengan KDA 19/11/1 menggunakan Sage.

Beralih ke 1z ASIA LEAGUE, kompetisi berjalan dengan sangat menarik karena gelaran ini yang banyak diikuti oleh para mantan pemain CS:GO. Kompetisi ini bahkan diikuti oleh tim BoyWithLove, juara INDOESPORTS League CS:GO yang berisikan Blazeking, Sys dan kawan-kawan.

Babak Grand Final mempertemukan tim BoyWithLove dengan tim Penjahat Kelamin, yang juga diisi oleh jagoan-jagoan ex-CS:GO seperti Lurkzz dan Kiddy. Walaupun BoyWithLove akhirnya menjadi juara dengan skor 2-0, namun pertandingan masing-masing map berjalan dengan sangat sengit.

Kedua tim saling bertukar skor, tak ada yang mau kalah, baik BoyWithLove ataupun Penjahat Kelamin. Membahas ini, Wibi Irbawanto (8Ken) yang bertugas sebagai shoutcaster pertandingan tersebut memberikan sedikit komentarnya. “Game selama babak Grand Final sangat penuh aksi dan intens! Sampai-sampai saya sebagai shoutchaster tidak mendapatkan waktu untuk menghela nafas sejenak.” Ucapnya mengatakan apa yang ia rasakan saat mengomentari babak final 1z ASIA LEAGUE VALORANT 1.

“Bahkan dalam ronde anti-eco, (pertarungan yang terjadi ketika ada satu tim membeli senapan sementara tim lainnya hanya membawa pistol) pertandingan tetap bisa dimenangkan oleh tim yang hanya bermodal pistol! Ini juga jadi satu momen memorable menurut gue, ketika zxc dari BoyWithLove berhasil menangkan ronde untuk timnya hanya dengan bermodal Sheriff (pistol besar seperti Deagle di CS:GO) saja!” Wibi menceritakan keseruan babak final 1z ASIA LEAGUE VALORANT 1 kepada saya.

Sumber: Instagram @1z esports
Sumber: Instagram @1z esports

Menarik melihat bagaimana skena VALORANT ternyata mulai bertumbuh di Asia. RAGE Invitational yang merupakan turnamen lokal Jepang saja berhasil mendapatkan 30 ribu penonton terbanyak dalam saat bersamaan saat ditayangkan di Twitch.

Sementara itu dari 1z ASIA LEAGUE mungkin bisa dibilang jadi bentuk usaha komunitas. Terlihat, walau turnamen tersebut tidak mendapat lisensi dari VALORANT Ignition Series, namun perntadingan tetap berlangsung dengan sangat kompetitif. Jika Anda penasaran menyaksikan siaran ulangnya pada kanal Twitch 1z Esports.

Dengan awalan yang baik seperti ini, satu hal yang tetap menjadi pertanyaan adalah, bagaimana masa depan esports VALORANT setelah ini? Akankah ini hanya menjadi kehebohan sesaat?

Bagaimana Masa Depan Esports Valorant di Indonesia?

Valorant memang baru dirilis awal Juni 2020 lalu namun beberapa tim esports profesional besar di luar sana sudah membuat divisi game FPS besutan Riot Games yang satu ini. Nama-nama besar organisasi esports besar yang sudah terjun ke Valorant adalah 100 Thieves, Cloud9, Gen.G, Immortals, TSM, T1, Ninja in Pyjamas, dan G2. 

CEO G2, Carlos Rodriguez Santiago, bahkan memiliki optimisme tinggi dan sentimen yang sangat positif dalam melihat masa depan esports Valorant.

Di Indonesia sendiri, sepengetahuan saya, memang belum ada organisasi esports besar yang memperkenalkan divisi Valorant mereka — sampai artikel ini ditulis. Namun demikian, turnamen Valorant untuk komunitas sudah mulai bermunculan. Beberapa turnamen bahkan digelar dalam waktu yang bertabrakan

Pertanyaan besarnya adalah apakah esports Valorant di Indonesia bisa bertumbuh subur? Untuk menjawab pertanyaan tadi, kita akan mencoba melihatnya dari berbagai segi. Pasalnya, keberhasilan esports satu game tidak hanya bisa dilihat dari satu aspek semata. Ada sejumlah hal yang relevan dan sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya.

Namun demikian, sebelum kita masuk ke setiap bagian, ada beberapa hal yang ingin saya luruskan sebelumnya.

Pertama adalah soal definisi “subur” yang saya maksud sebelumnya. Jika berbicara soal popularitas dan jumlah pemain, patokan yang saya gunakan adalah esports Dota 2 dan Point Blank yang bisa dibilang sebagai ekosistem esports PC paling berhasil di masa kejayaannya masing-masing. Pasalnya, tidak adil juga rasanya jika membandingkannya dengan jumlah pemain PUBG Mobile, MLBB, ataupun Free Fire yang saya anggap paling berhasil jika berbicara soal esports di platform mobile. Meski begitu, faktor esports mobile nanti juga akan berpengaruh jika dilihat dari sisi sponsor. Namun kita akan bahas lebih jauh lagi soal ini nanti.

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Kedua, artikel ini juga sepenuhnya pendapat saya. Sebagai justifikasi dari argumentasi, saya sudah bekerja full-time di industri game di Indonesia sejak 2008 saat saya masih bekerja sebagai jurnalis di salah satu media cetak yang memang fokus di ranah game dan teknologi. Kala itu, selain belum ada RRQ, EVOS, BOOM, ataupun tim-tim esports yang besar sekarang ini (adanya baru NXL dan XCN yang sampai sekarang masih ada), media-media game lainnya bahkan belum familiar dengan istilah esports. Istilah yang dulu lebih sering digunakan adalah ‘turnamen game online’.

Ketiga, mengingat saya memang pada dasarnya skeptis, saya tidak percaya dengan segala hal yang absolut — kecuali Vodk*… Aowokaowkowa… Karena itu, saya juga tidak bisa memberikan kepastian jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’ tentang masa depan esports Valorant di Indonesia. Namun demikian, saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda dengan memberikan persentase peluang keberhasilannya jika ditilik dari masing-masing perspektif.

Dengan penjelasan tadi, mari kita masuk ke tiap-tiap sudut pandang.

Dari sisi game-nya: 80%

Tentunya, faktor pertama yang akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan esports Valorant di Indonesia datang dari game-nya itu sendiri.

Saat saya menulis artikel ini, ukuran storage yang dibutuhkan Valorant hanyalah sebesar 8,5GB. Di sisi lain, Anda juga bisa melihat sendiri screenshot di bawah yang saya ambil dari situs resminya untuk spek PC yang dibutuhkan untuk bermain Valorant.

Sumber: PlayValorant.com
Sumber: PlayValorant.com

Valorant membutuhkan spesifikasi PC yang sangat ramah untuk kaum buruh sekalipun. Di Indonesia, jika kita berkaca dari sejarah industrinya, game-game yang populer adalah game-game yang memang membutuhkan spek rendah. Dota 2 dan Point Blank (PB) yang sempat mencapai puncak kejayaannya juga membutuhkan spek PC yang sangat ramah di kantong. Faktanya, Overwatch, Apex Legends, Rainbows Six: Siege, ataupun PUBG butuh spek yang lebih tinggi ketimbang Dota 2 ataupun PB.

Selain membutuhkan spek rendah, Valorant sendiri juga sebenarnya sangat asyik dimainkan. Apalagi, banyak orang (termasuk saya) merasa bahwa feel CS:GO juga terasa begitu kental di game ini. Sedangkan CS:GO masih jadi salah satu game FPS terlaris di PC, baik di dunia ataupun di Indonesia, sampai hari ini karena memang menawarkan feel dan gameplay yang solid.

Namun demikian, Valorant tetap menawarkan keunikan tersendiri dengan memberikan skill (Special Abilities) ke setiap karakternya (Agents). Inilah nilai jual Valorant, mekanisme dan feel yang familiar namun dengan sentuhan-sentuhan baru yang membuat kompleksitas permainan jadi jauh berbeda.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Sumber: Screenshot Valorant

Selain itu, meski baru dirilis, Valorant sendiri juga sudah memiliki fitur Spectator Mode. Spectator Mode ini sangat krusial buat perkembangan esports-nya. Selain berguna untuk menayangkan pertandingannya, Spectator Mode juga sangat berguna untuk belajar agar permainan kita lebih baik lagi dari sebelumnya — baik dari menonton pertandingan orang lain atau menonton pertandingan diri sendiri sebelumnya. Meski memang Spectator Mode di Valorant masih sangat sederhana, fitur ini sudah ada dan tinggal dikembangkan lebih jauh. Setidaknya Valorant sudah berada di arah yang benar untuk mendukung esports

Jika hanya melihat dari sisi game-nya saja, Valorant memiliki peluang yang sangat besar untuk bisa mencapai tingkat yang dulu pernah dicapai oleh Dota 2 ataupun PB di Indonesia atau bahkan lebih tinggi lagi.

Dari sisi publisher-nya: 50%

Selain dari game-nya itu sendiri, tentunya publisher juga memiliki peranan yang tak kalah penting dalam peluang keberhasilan esports-nya.

Jika kita berbicara soal Riot Games, publisher/developer game yang satu ini memang sangat unik dan hanya satu-satunya di dunia yang memang besar karena esports — setidaknya di kasta tertinggi. Kenapa saya bisa bilang demikian? Karena faktanya Riot Games besar karena esports League of Legends. 

Jika dibandingkan dengan publisher game esports lain, Valve dengan Dota 2 misalnya. Valve itu memang sudah punya nama dari zaman Half-Life, Portal, Left 4 Dead, ataupun Team Fortress 2 yang dirilis sebelum Dota 2. Ubisoft dengan R6:S juga demikian. Ubisoft sudah sukses lewat seri Assassin’s Creed, Splinter Cell, dan Far Cry sebelumnya. Overwatch dan Blizzard? Overwatch bahkan mungkin bisa dibilang bukan game yang paling berpengaruh untuk kesuksesan Blizzard karena ada seri StarCraft, World of Warcraft, dan Diablo. EA pun juga begitu karena punya seri The Sims, Need for Speed, ataupun Battlefield sebelum ada Apex Legends atau esports FIFA. KONAMI, CAPCOM, NAMCO juga sama ceritanya.

Sumber: Chris Yunker - Riot Games
Sumber: Chris Yunker – Riot Games

Developer/publisher kelas kakap di pasar global tadi memang sebelumnya sudah besar lebih dulu sebelum bergeser ke esports. Sedangkan Riot Games akhirnya bisa masuk ke jajaran developer/publisher kasta tertinggi tadi memang karena esports League of Legends. Hal ini berarti Riot Games jadi lebih perhatian soal betapa krusialnya esports terhadap kesuksesan perusahaan.

Sayangnya, meski memang dari sisi expertise Riot Games memiliki semua yang dibutuhkan untuk membuat esports game tersebut bertumbuh subur, belum tentu mereka mau memberikan perhatian lebih untuk Indonesia. Sama seperti ketika banyak orang memprediksi bagaimana kesuksesan Wild Rift nanti di Indonesia, mereka mungkin tidak menyadari bahwa kemampuan dan kemauan itu adalah hal yang berbeda.

Argumen saya seperti ini. Pasar League of Legends di Indonesia itu menyedihkan… Padahal di luar negeri, LoL masih jadi salah satu game terlaris sekarang ini. Saya kira akan lebih masuk akal bagi Riot untuk lebih menaruh perhatian lebih ke pasar yang sudah mereka kuasai sebelumnya (lewat LoL) ketimbang mencoba pasar baru. Ditambah lagi, daya beli pasar gamer di Eropa, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Korea Selatan (yang jadi pasar terbesar LoL) itu lebih besar dari Indonesia. Ibaratnya, jika saya jadi salesman dan bisa berjualan mobil ke para pemilik perusahaan, kenapa saya harus memberikan perhatian lebih ke pasar karyawan atau malah pasar pengangguran?

Memang, saya rasa Riot Games juga ingin game-nya dimainkan di seluruh dunia, di banyak negara — tak terkecuali Indonesia. Namun demikian, resources (baik uang ataupun waktu) itu pasti terbatas. Saat menentukan prioritas penggunaan resource, tentunya lebih masuk akal untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi ke pasar yang punya peluang keberhasilan dan daya beli yang lebih besar.

Maka dari itu, angka peluang yang saya taruh di sudut pandang ini memang hanya 50%.

Di satu sisi, Riot Games punya kemampuan dan rekam jejak yang baik dalam mengembangkan ekosistem esports di banyak region. Namun, di sisi lain, jika mereka bisa melakukannya di Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, dan Korea Selatan, kenapa mereka harus memberikan perhatian lebih ke Indonesia? Indonesia sendiri juga bahkan bukan pasar terbesar LoL atau negara terkaya di Asia Tenggara karena ada negara-negara lain yang mungkin lebih menguntungkan untuk jadi target pasar Valorant seperti Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia, ataupun Singapura.

Dari sisi komponen ekosistem esports tanah air: 30%

Hanya ada 2 komponen utama di ekosistem esports tanah air saat ini, yaitu tim esports dan event organizer. Media ataupun konten kreator memang termasuk komponen pendukung juga namun keduanya mungkin masih termasuk dalam komponen sekunder untuk ekosistem esports — setidaknya untuk sekarang ini.

Meski memang kebanyakan organisasi esports juga membuat konten dan mendapatkan banyak pemasukan dari sana, faktanya, tanpa prestasi yang jelas mereka juga bukan siapa-siapa. Bagaimanapun juga, EVOS, RRQ, BOOM, Bigetron, dan kawan-kawan lainnya tidak akan sepopuler ini tanpa prestasi mereka di berbagai kompetisi.

Sumber: RRQ via Instagram
Sumber: RRQ via Instagram

Sebenarnya sponsor juga menjadi komponen utama dalam hal eksistensi sebuah ekosistem esports namun saya akan membahasnya di bagian tersendiri setelah ini.

Sayangnya, dua komponen utama di ekosistem esports Indonesia tadi biasanya lebih memilih untuk mengikuti tren. Anda boleh pakai istilah latah atau malah market-driven tergantung dari sentimen Anda melihatnya positif atau negatif. Misalnya saja, faktanya, hanya BOOM Esports yang sekarang masih punya divisi Dota 2 dan CS:GO meski kondisi ekosistem esports-nya sudah kering kerontang di tanah air. BOOM malah mengakuisisi tim esports asal Brazil untuk divisi CS:GO mereka yang baru saja memenangkan turnamen Gamers Club Redragon Challenge.

Selain BOOM yang masih idealis dengan CS:GO dan Dota 2, mereka juga satu-satunya organisasi esports besar yang bahkan tidak punya divisi MLBB — pernah punya sebenarnya namun tidak ada lagi saat saya menulis artikel ini.

Dari sisi event organizer di tanah air juga demikian. Game-game esports mobile jauh lebih favorit untuk dipertandingkan dengan skala dan hadiah yang lebih besar.

Tanpa tim esports dan turnamen, tentu saja ekosistem esports sebuah game jadi rontok dengan sendirinya. Namun, seringnya masing-masing komponen tadi jadi saling melemparkan tanggung jawab.

Misalnya saja seperti ini, jika satu organisasi ditanya kenapa tim Dota 2 nya bubar? Jawabannya, seringnya, karena sudah tidak ada turnamen Dota 2 yang besar lagi di Indonesia. Sebaliknya, jika event organizer yang ditanya kenapa tidak ada turnamen Dota 2 lagi di Indonesia, jawabannya juga tidak jauh berbeda. Karena tidak ada tim-tim besar yang bisa menarik banyak penonton.

Selain itu, alasan-alasan lain yang sering saya dengar dari kedua belah pihak adalah sudah tidak ada sponsornya, tidak ada dukungan dari publisher-nya, ataupun sudah tidak ramai penonton atau pemainnya.

Saya bukannya membenarkan atau menyalahkan juga sebenarnya karena mereka semua juga kawan-kawan saya. Faktanya, industri memang bergerak atas dasar keuntungan.

Mungkin memang ada yang berargumen, kenapa tim-tim dan event organizer esports Indonesia tidak fokus mengejar ke pasar internasional atau regional juga karena Dota 2 dan game-game PC atau console lainnya juga masih hidup ekosistemnya di luar sana? Mungkin jawabannya akan berbeda-beda jika ditanyakan langsung namun, logikanya saja seperti ini; jika saya bisa kaya raya dan populer tanpa harus bersaing di pasar global melawan pemain-pemain industri tingkat internasional, kenapa saya harus berjuang di sana? Jika ada yang lebih mudah, kenapa harus menyulitkan diri sendiri?

Sekali lagi, saya kira keputusan tadi adalah hak dari para petinggi di masing-masing tim ataupun event organizer dan saya tidak akan mengatakan benar atau salah. Namun, yang jelas dan yang relevan dengan artikel ini, mindset seperti tadi tidak kondusif untuk mengembangkan esports Valorant di Indonesia. Kenapa?

Pertama, seperti yang saya tuliskan di bagian sebelumnya. Tidak ada alasan bagi Riot Games untuk menjadikan Indonesia sebagai prioritas tertinggi dalam hal penetrasi pasar. Dari sini saja, sudah terbayang jawaban yang akan saya dengar, “karena tidak ada dukungan publisher-nya.” Kedua, faktanya, esports mobile juga masih ramai dan lebih menguntungkan jika hanya berbicara soal lingkup nasional. Tidak ada sponsor dan tidak banyak penonton akan jadi alasan yang kembali terdengar.

Bayangan saya jadinya seperti berikut. Tim esports menunggu turnamen berskala dan berhadiah besar, sekaligus jumlah pemain atau popularitasnya. Sedangkan event organizer menunggu tim-tim esports besar, sponsor (yang akan saya bahas setelah bagian ini), dan jumlah pemain atau popularitas game Valorant. Padahal yang ditunggu, keseriusan Riot Games dalam hal penetrasi pasar untuk Valorant di Indonesia ataupun sponsor lainnya, tidak akan pernah datang. Makanya, peluangnya sama seperti harapan Anda bisa jadi pacar selebgram yang seksi dan cantik jelita itu…

Dengan perilaku yang lebih memilih untuk menunggu (ketimbang mengambil inisiatif) dan mengikuti tren di banyak komponen ekosistem esports (bahkan termasuk komponen pendukung seperti media dan konten kreator), peluang keberhasilan esports Valorant di Indonesia jadi sangat kecil atau nyaris nol besar. Meski begitu, mungkin saja behaviour atau mindset itu tadi yang akan berubah, makanya saya pun menambahkan angka peluangnya jadi 30% dari aspek ini…

Dari sisi sponsor: 10%

Nyatanya, saya juga tidak mau kerja kalau tidak digaji… Wkwakwkakw… Demikian juga industri esports juga tidak akan berjalan tanpa adanya profit buat para pelakunya.

Mengingat baik di Indonesia dan di luar sana, pendapatan terbesar masih dari sponsor, hal ini juga menjadi salah satu komponen utama yang harus dipertimbangkan.

Jika kita berbicara soal sponsor, kategori besarnya dibagi jadi dua: endemic dan non-endemic. Buat yang sudah sering baca Hybrid, harusnya saya tidak perlu menjelaskan lagi bedanya. Namun buat yang belum, sponsor endemic adalah sponsor yang industrinya berkaitan langsung. Misalnya brand gaming peripheralhardware PC, atau gaming laptop bisa disebut endemic untuk industri esports di PC. Karena mereka juga punya kepentingan langsung atas besar tidaknya pasar PC gaming di Indonesia.

Sedangkan brand non-endemic, mereka biasanya tidak punya kepentingan langsung yang terkait. Mereka hanya memanfaatkan esports untuk menjangkau pasar baru yang mayoritas berisikan anak-anak muda. Brand non-endemic ini contohnya bank, perusahaan makanan dan minuman, atau malah pijat plus-plus (kapan buka lagi ya?) wkakkwkaw…

Sumber: FaceIT
Sumber: FACEIT

Dari sisi sponsor endemic, nyatanya memang Indonesia tidak menjadi prioritas utama buat mereka. Hal ini juga sudah terlihat dari ekosistem game-game esports PC lain seperti Dota 2, CS:GO, dan kawan-kawannya. Ada yang bilang bahwa brand endemic PC gaming tidak punya budget namun saya bisa bilang bahwa pandangan itu kurang tepat. Mereka punya anggaran belanja iklan/sponsor hanya saja tidak dialokasikan untuk pasar esports Indonesia.

Intel misalnya. Di luar sana, Intel bahkan punya turnamen sendiri yang jadi paling bergengsi untuk CS:GO tingkat internasional (Intel Extreme Masters). Mereka bahkan memiliki Intel Grand Slam yang menawarkan hadiah sampai US$ 1 juta. Produsen jeroan PC seperti ASUS, GIGABYTE, MSI, atau yang lainnya juga sering terlihat jadi sponsor gelaran LoL di Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Serikat, ataupun negara-negara lainnya.

Analoginya sebenarnya sama seperti Riot Games tadi. Indonesia sendiri memang bukan pasar yang paling menguntungkan untuk industri PC gaming. Jika produk brand-brand global tadi lebih laris dijual di Eropa ataupun negara-negara lainnya, kenapa mereka harus mengeluarkan resources lebih untuk pasar yang tidak terlalu besar seperti Indonesia? Jika mereka tidak mengucurkan dana untuk esports Dota 2 ataupun game PC lainnya di Indonesia, kemungkinan besar hal yang sama juga terjadi untuk Valorant.

Lalu bagaimana dengan sponsor non-endemic? Brand non-endemic yang sudah terjun ke esports di Indonesia kebanyakan lebih memilih pasar dengan volume yang lebih besar karena produk-produk mereka yang lebih berbasis pada mass market, seperti mie instan misalnya. Jika dibandingkan dengan pasar game mobile, tentu saja pasar game PC jadi kalah jauh. Lagi-lagi, resources itu terbatas sehingga mereka pun harus menentukan prioritas. Setahu saya, memang belum ada orang yang punya pohon uang.

Sumber: Le Mans
Sumber: Le Mans

Sponsor non-endemic ini sebenarnya bisa berubah jika mereka datang dari industri yang lebih spesifik atau niche. Misalnya, belakangan ini, PT. Honda Prospect Motor mengadakan lomba balap virtual yang bertajuk Honda Racing Simulator Championship. Lomba balap virtual ini memilih platfom PC, bukan mobile untuk game yang dipertandingkan. Menurut saya, hal ini karena gamer balapan di PC yang lebih beririsan dengan pasar mobil Honda — karena asumsinya gamer PC berada di kelas ekonomi yang lebih tinggi ketimbang gamer mobile — jadi lebih memungkinkan untuk beli mobil Honda.

Sayangnya, brand non-endemic yang mengincar pasar niche untuk kelas ekonomi menengah atas itu memang masih segelintir jumlahnya atau malah nyaris tidak ada (selain Honda tadi) di esports Indonesia.

Dengan demikian, itulah sebabnya saya menaruh angka peluang dari sponsor di sini hanyalah 10% karena memang hanya bisa berharap pada sponsor non-endemic yang mengincar pasar niche ataupun sponsor endemic yang alokasi resource-nya tidak besar untuk pasar Indonesia.

Penutup

Jadi, kembali ke pertanyaan utama dari artikel ini, bagaimana masa depan esports Valorant di Indonesia? Jika angka-angka peluang tadi dicari rata-ratanya, angkanya memang mencapai 42,5%. Namun, sayangnya, menurut saya sendiri bobot antara empat perspektif tadi sebenarnya tidak sama. Contohnya, LoL sendiri sebenarnya juga punya peluang besar untuk sukses di Indonesia dari sisi game-nya namun kenyataannya tidak demikian.

Bobot peluang dari sisi publisher sendiri pun juga tidak sama dengan bobot peluang dari aspek komponen ekosistem esports. Dota 2 jadi contoh yang sangat pas soal ini. Dari dulu, Valve juga tidak melirik Indonesia. Namun tim-tim esports dan event organizer tanah air mengambil inisiatif sendiri dan bergerak di sini semua (setidaknya saat masa kejayaannya) sehingga bisa sampai menghasilkan jagoan-jagoan Dota 2 Indonesia yang sekarang bertarung di luar negeri.

Lalu bagaimana kesimpulannya? Hmmm… Saya juga bingung sih kalau ditanya kwkwkwkw… Namun, satu hal yang pasti, andai komponen-komponen ekosistem esports Indonesia bisa memiliki mindset dan tujuan yang sama seperti saat awal-awal terbentuknya ekosistem esports Dota 2 di Indonesia dulu, besar kemungkinannya Valorant bisa melebihi kejayaan Dota 2 di Indonesia. Sayangnya, kemungkinan mindset dan tujuan yang sama itu yang sepertinya sudah mustahil untuk terjadi lagi…

Daftar Organisasi Esports yang Punya Tim Valorant

Selama lebih dari 10 tahun, Riot Games dikenal sebagai perusahaan game yang hanya membuat satu game, yaitu League of Legends. Namun, dalam satu tahun belakangan, mereka mulai meluncurkan beberapa game baru. Valorant adalah game paling baru yang Riot luncurkan. Meskipun tak terlalu populer di Indonesia, League of Legends sukses menjadi salah satu game esports paling digemari di dunia. Hal ini membuat banyak orang percaya bahwa Riot akan dapat melakukan hal yang sama dengan Valorant.

Valorant diluncurkan pada awal Juni 2020. Namun, bahkan sebelum peluncuran dari game first person shooter tersebut, telah ada sejumlah organisasi esports yang membuat tim khusus untuk Valorant, seperti T1 dari Korea Selatan dan G2 Esports dari Jerman. Valorant begitu populer sehingga mendorong sejumlah pemain profesional Counter-Strike: Global Offensive untuk banting setir menjadi pemain Valorant.

Sejauh ini, ada setidaknya 10 organisasi esports yang telah membuat tim Valorant. Menurut laporan Dot Esports, inilah daftar 10 organisasi esports tersebut:

1. 100 Thieves
2. Cloud9
3. Dignitas Female
4. Gen.G
5. Immortals
6. Lazarus
7. Sentinel
8. Team SoloMid
9. T1
10. Ninjas in Pyjamas

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Mengingat telah muncul sejumlah tim Valorant profesional, tidak heran jika ada pihak ketiga yang tertarik untuk menyelenggarakan turnamen dari game Riot tersebut. Memang, ketika ditanya tentang strategi esports untuk Valorant, Riot sempat mengungkap bahwa mereka akan membiarkan pihak ketiga menyelenggarakan turnamen dari game tersebut. Namun, hal itu bukan berarti Riot lepas tangan sepenuhnya.

Faktanya, Riot baru saja mengumumkan Valorant Ignition Series. Melalui Ignition Series, Riot membiarkan pihak ketiga untuk mengadakan turnamen Valorant dengan format yang meeka inginkan. Namun, mereka harus mengajukan turnamen yang hendak mereka adakan pada Riot terlebih dulu. Jika Riot setuju, maka mereka akan memberikan lisensi pada pihak ketiga tersebut untuk mengadakan turnamen Valorant.

Riot mengungkap, Ignition Series diadakan dengan tujuan agar penyelenggara turnamen pihak ketiga dapat bereksperimen dengan format turnamen Valorant yang mereka adakan. Saat ini, telah ada dua kompetisi yang menjadi bagian dari Valorant Ignition Series, yaitu G2 Esports Valorant Invitational yang ditujukan untuk kawasan Europe, Middle East, dan Africa (EMEA) dan RAGE, yang diselenggarakan di Jepang. Keduanya akan diadakan pada 19-21 Juni 2020.

Turnamen berikutnya dari Ignition Series akan diadakan pada 26-28 Juni 2020. Sayangnya, belum ada informasi apapun tentang turnamen tersebut, termasuk nama atau kawasan tempat turnamen diadakan.