Drew jadi Pemain Ketiga dari Indonesia yang Cicipi Dota 2 Major

DreamLeague Season 13 adalah turnamen Dota 2 Major pertama yang akan digelar di tahun 2020 — meski bukan yang pertama untuk musim ini karena sudah ada MDL Chengdu Major. Turnamen yang nantinya akan digelar di Leipzig, Jerman, pada tanggal 18-26 Januari 2020 ini sudah menyelesaikan kualifikasinya untuk semua kawasan.

Sumber: Liquipedia
Sumber: Liquipedia

Salah satu kawasan yang telah menyelesaikan babak kualifikasinya adalah Asia Tenggara. Kejutannya, ada salah satu pemain asal Indonesia yang turut melaju ke panggung utama Leipzig Major ini. Pemain tersebut adalah Andrew “drew” Halim yang saat ini bermain untuk tim asal Rusia (negara founder)/Singapura, Reality Rift. Tim ini berhasil membukukan 2x kemenangan dan 2x imbang di babak grup meski mungkin awalnya tidak dijagokan karena ada TNC Predator yang baru saja juara MDL Chengdu Major, Geek Fam, ataupun Team Adroit di grup yang sama.

Tim yang baru saja berdiri di bulan Juni 2019 ini berisikan 5 pemain dari 4 negara yang berbeda. Berikut ini adalah daftar pemain dan asal negaranya:

  • Andrew “drew” Halim – Indonesia
  • Hiew “AlaCrity” Teck Yoong – Malaysia
  • Lee “kYxY” Kong yang – Malaysia
  • Ravdan “Hustla” Narmandakh – Mongolia
  • Wong “NutZ” Jeng Yih – Singapura

Selain Reality Rift, Fnatic dan TNC Predator juga berhasil mengamankan kursinya lewat jalur yang sama. Sayangnya, BOOM Esports yang sebelumnya harus menerima absennya Muhammad “InYourDream” Rizky dan menggantinya dengan Brizio “Hyde” Adi Putra gagal mengamankan kursi pertama mereka mencicipi Dota 2 Major. Mereka hanya bisa finis di peringkat 3 fase grup — di bawah Fnatic dan Cignal Ultra.

Sumber: Liquipedia
Sumber: Liquipedia

Drew, yang sebelumnya bermain untuk Alter Ego, merupakan pemain ketiga asal Indonesia yang berhasil masuk ke Major. Dua pemain Indonesia pertama (karena satu tim di turnamen yang sama) sebelum Andrew adalah Muhammad “InYourDream” Rizky dan Kenny “Xepher” Deo saat membela TNC Tigers di turnamen Kuala Lumpur Major (9-18 November 2018).

Sampai saat artikel ini ditulis, masih ada 6 slot tersisa untuk peserta Leipzig Major. Selain 3 tim dari Asia Tenggara tadi, 12 tim lainnya datang dari kualifikasi tertutup sejumlah wilayah. Sedangkan sisa slot terakhir akan diberikan untuk juara WePlay! Bukovei Minor 2020.

Berikut adalah daftar tim yang sudah memastikan kursi ke Leipzig Major alias DreamLeague Season 13:

  • Team Liquid – Kualifikasi Eropa
  • Team Secret – Kualifikasi Eropa
  • Alliance – Kualifikasi Eropa
  • Invictus Gaming – Kualifikasi Tiongkok
  • Vici Gaming – Kualifikasi Tiongkok
  • Team Aster – Kualifikasi Tiongkok
  • Reality Rift – Kualifikasi Asia Tenggara
  • Fnatic – Kualifikasi Asia Tenggara
  • TNC Predator – Kualifikasi Asia Tenggara
  • Virtus Pro – Kualifikasi CIS
  • Na’vi – Kualifikasi CIS
  • Chaos Esports – Kualifikasi Amerika Utara
  • Evil Geniuses – Kualifikasi Amerika Utara
  • PaiN Gaming – Kualifikasi Amerika Latin
  • beastcoast – Kualifikasi Amerika Latin
  • 1 slot untuk juara WePlay! Bukovei Minor 2020

Riot Games Gelar Festival dan Kompetisi League of Legends di Arab Saudi dengan Total Hadiah US$2 juta

Riot Games nampaknya kian garang melebarkan sayapnya, melakukan penetrasi ke wilayah-wilayah baru. Akhir pekan ini, Riot akan menggelar turnamen dan festival bertajuk League of Legends di Arab Saudi. Gelaran yang bertajuk Nexus Arabia ini akan hadir di kota Riyadh pada tanggal 5-7 Desember 2019. Acara ini ditujukan untuk menyasar pasar timur tengah dan negara-negara Afrika utara.

Konsep acara Nexus Arabia ini menarik karena ada semacam festival yang bisa digunakan untuk aktivitas bersama keluarga. Ada banyak permainan dalam festival kali ini seperti labirin bertema Teemo ataupun gulat sumo ala Gragas. Anda bisa melihat daftar lengkap aktivitasnya di situs resmi Nexus Arabia.

Sumber: League of Legends
Sumber: League of Legends

Selain berbagai aktivitas bersama keluarga yang semuanya kedengaran menyenangkan, Riot Games juga menyuguhkan konser dari Dj Mako dan Crystal Method. Di hari terakhir (7 Desember 2019), Riot Games akan menyuguhkan konser dari Jason Derulo.

Tentu saja, ada berbagai kompetisi League of Legends dalam rangkaian acara ini. Turnamen utamanya adalah 5v5 Summoner’s Rift yang berhadiah total US$850 ribu. Ada lagi turnamen 1v1 berhadiah US$100 ribu dan juga turnamen Teamfight Tactics (TFT) dengan jumlah hadiah yang sama. Tak ketinggalan ada juga turnamen untuk influencer yang berhadiah US$650 ribu (untuk LoL) dan US$100 ribu (untuk TFT). Plus, ada juga cosplay competition yang berhadiah total US$200 ribu.

Sumber: League of Legends
Sumber: League of Legends

Harga tiket tiga hari untuk ke acara ini berkisar antara US$30 (Rp300 ribu) sampai US$193 (US$2,7 juta). Sedangkan untuk tiket per harinya berkisar antara US$7 (Rp98 ribu) sampai US$123 (Rp1,7 juta). Anda bisa melihat lebih detail soal tiketnya di tautan ini (barangkali ada yang mau jalan-jalan ke Arab Saudi akhir pekan ini).

4 Dampak Negatif Esports untuk Kaum Muda di Indonesia

Biasanya, opini-opini tentang dampak negatif esports dan game datang dari kalangan konservatif ataupun masyarakat awam. Sebaliknya, para pelaku yang punya kepentingan di esports seringnya, jika tak mau dibilang selalu, meneriakkan betapa mulianya pengaruh esports bagi kaum muda.

Saya? Saya memang aneh… Saya pribadi memang punya kepentingan dan keinginan melihat industri dan ekosistem esports di Indonesia maju karena kebetulan saya sudah berkarier di industri game dan sekitarnya dari 2008. Namun demikian, saya tak ingin terjebak dengan bias-bias kognitif yang biasanya terlihat jelas pada dikotomi pilihan politik.

Lagipula, saya percaya betul bahwa setiap hal pasti punya dampak positif dan negatif di saat yang sama. Demikian juga dengan dampak esports yang kini sedang hingar bingar di kalangan anak muda ataupun industri. Lalu apa tujuannya? Saya hanya berharap dengan menyuguhkan wacana ini, kita, semua yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports, bisa setidaknya menyadari atau bahkan menentukan sikap lanjutan.

Tanpa panjang lebar lagi, inilah 4 dampak negatif esports bagi kaum muda di Indonesia.

Pemupuk Arogansi Dosis Tinggi

Sumber: Escape Artist
Sumber: Escape Artist

Sepanjang perjalanan saya jadi seorang jurnalis dari 2008, inilah keanehan yang saya temukan. Atlet ataupun selebriti esports seringkali lebih arogan ketimbang petinggi perusahaan internasional sekalipun. Kebetulan saja, saya sudah mewawancarai sejumlah petinggi perusahaan, bahkan yang kelasnya internasional ataupun konglomerasi. Kebanyakan dari mereka justru lebih ramah menjawab ataupun merespon pertanyaan saya ketimbang saat saya mewawancarai atlet esports ataupun beberapa selebriti sosmed yang berkecimpung di sini.

Memang, ada banyak juga pro player ataupun mereka-mereka yang sering tampil di industri esports itu begitu terbuka dan ramah terhadap media — setidaknya ke saya… Di sisi lain, saya juga beberapa kali menemukan petinggi perusahaan yang jelas menunjukkan keengganannya berinteraksi dengan media — atau mungkin, spesifik ke saya saja juga kwkakwka…

Di satu sisi, hal tadi memang aneh mengingat petinggi perusahaan biasanya punya kuasa, kapasitas, dan pengalaman yang lebih berharga ketimbang para atlet esports yang memang relatif muda. Meski demikian, di sisi lainnya, saya juga memahami kenapa hal ini bisa terjadi.

Ketika seseorang yang masih berusia 20an (atau bahkan belasan) sudah merasa berada di puncak dunia, arogansi itu memang mungkin tak bisa dibendung. Setidaknya saya pribadi juga dulu merasakan hal tersebut. Komunitas esports memang punya kecenderungan mengelu-elukan dan memuja-muja jagoan atau idolanya masing-masing. Hal inilah yang memupuk arogansi ego masing-masing dengan dosis tinggi.

Kenapa saya bisa bilang arogansi jadi sebuah dampak negatif? Karena, saya kira setiap manusia punya kecenderungan untuk memilih lebih banyak berinteraksi dengan mereka-mereka yang menerima dengan tangan terbuka. Ditambah lagi, arogansi membuat kita kehilangan empati dan kian sempit melihat dunia.

Indoktrinasi Budaya Instan

Dengan pesatnya industri dan ekosistem esports di Indonesia, hal ini menyebabkan para pelaku di dalamnya terbiasa dengan budaya instan. Hal ini sebenarnya pernah dibahas di artikel yang saya tulis soal regenerasi esports namun izinkan saya menjelaskannya singkat di sini.

Ekosistem dan industri esports kita saat ini memang bisa saja meroketkan karier seseorang dengan begitu cepat. Atlet esports yang tadinya bukan siapa-siapa bisa jadi idola sejumat ‘umat’ dalam sekejap. Dibandingkan dengan atlet olahraga, menurut penjelasan Yohannes Siagian yang saat ini jadi Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD (saat kami berbincang soal regenerasi tadi), karier instan ini lebih jarang terjadi. Pasalnya, di olahraga ‘tradisional’, mereka yang ingin jadi atlet pelatnas harus melewati berbagai fase seperti mewakili sekolah, kota, ataupun provinsi.

Sayangnya, hal ini juga terjadi tak hanya untuk pro player tapi para profesional yang berkecimpung di esports. Dengan antusiasme pasar esports yang memang sedang tinggi-tingginya, tak sedikit juga banyak orang yang jadi merasa ‘ahli’ di esports padahal pengalamannya baru seumur jagung. Tak sedikit juga para pelaku esports di Indonesia sekarang ini yang hanya bermodal passion.

Sumber: Acadia Software
Sumber: Human Resource Online

Mungkin memang saya yang terlalu konservatif soal hal ini namun saya sangat percaya bahwa belajar itu mengalami. Saya juga percaya betul bahwa setiap keahlian, apapun itu bidangnya, butuh proses yang panjang, melelahkan, dan tak jarang membosankan.

Sebenarnya indoktrinasi budaya instan ini juga terjadi tak hanya karena esports tapi juga karena kemajuan industri digital dan teknologi yang kerap kali menyuguhkan gratifikasi instan.

Meski begitu, menurut saya, indoktrinasi budaya instan ini aneh karena justru bertentangan dengan apa yang coba diajarkan dari kegiatan bermain gameGame itu justru memberikan penekanan bahwa semua hal pasti butuh proses. Anda tidak mungkin tiba-tiba level 100 saat mulai bermain. Anda harus membasmi ribuan atau bahkan jutaan musuh untuk mengumpulkan EXP yang dibutuhkan untuk naik level di RPG. Anda juga harus bertahap mendaki competitive ranks di game-game multiplayer yang kompetitif.

Menjadikan Uang Sebagai Tujuan Akhir

Sumber: Every Geek
Sumber: Every Geek

“Kenapa harus terjun ke esports? Karena Anda bisa mendapatkan banyak uang dari sana…”

Mungkin itulah argumentasi yang paling sering saya temui di banyak talkshow soal esports yang belakangan juga mulai menjamur. Di luar acara-acara kampus dan sekolah, seperti di artikel, video, postingan sosmed atau apapun itu, uang jugalah yang dijadikan motivasi utama kenapa generasi muda harus terjun ke esports. Saya sendiri juga harus mengaku ‘dosa’ karena menyuguhkan argumentasi yang sama di beberapa kali kesempatan.

Tidak, saya tidak akan berargumen soal uang yang tidak bisa membeli semua hal. Saya sendiri cinta uang (wkwkwkwk) dan percaya banyak, jika tidak semua, hal bisa dibeli dengan uang. Kita bisa mempercepat proses belajar dengan uang. Kita juga bisa memperkaya pengalaman dengan membayar. Bahkan cinta pun katanya juga bisa dibeli dengan uang.

Argumentasi soal uang tadi sebenarnya wajar karena jadi jawaban paling mudah yang bisa dipahami semua orang. Namun sekarang, saya akan mencoba menawarkan argumentasi yang lebih jauh lagi.

Di sini, saya lebih berargumen bahwa yang negatif adalah menjadikan uang sebagai tujuan akhir. Muasalnya, uang hanyalah salah satu alat untuk mencapai tujuan, bukannya tujuan akhirnya itu sendiri. Lalu, apa contoh tujuan akhir yang lebih konkret kalau bukan uang? Banyak…

Ingin membelikan rumah untuk orang tua atau untuk membiayai orang tua agar bisa naik haji adalah tujuan akhir yang lebih masuk akal — meski jadinya overused untuk jadi konten… Kuliah bahkan sampai S3, beli rumah atau apartemen mewah, ataupun modal mendirikan startup sendiri adalah contoh-contoh lain dari tujuan akhir yang memang butuh uang. Bahkan menikah pun juga butuh uang, apalagi bagi yang berniat poligami ataupun poliandri — I won’t judge.

Beberapa contoh yang saya sebutkan tadi lebih positif karena hal tersebut membuat kita punya rencana yang lebih panjang dan terarah. Lagipula, sejumlah tujuan akhir tadi juga tak hanya butuh uang namun juga menuntut hal-hal lainnya untuk bisa diwujudkan.

Izinkan saya menutup bagian ini dengan sebuah analogi. Di game MOBA, kita juga harus mengumpulkan gold/uang dari creeping, jungling, atau bahkan membunuh lawan. Namun apakah tujuan akhirnya hanyalah sekadar mengumpulkan gold? Bisa dipastikan Anda akan kalah dan menanggung malu jika Anda hanya mengumpulkan gold sebanyak-banyaknya tanpa mengubahnya jadi item/equipment yang lebih pragmatis.

Seperti tadi saya sebutkan soal uang yang hanya jadi alat untuk meraih tujuan akhir, demikian juga hal ini berlaku di MOBA. Tujuan akhirnya adalah mengalahkan lawan — menghancurkan base/nexus tim musuh. Untuk sampai ke sana, selain butuh gold, juga butuh kerja sama, strategi, dan mental juara.

Ruang Sembunyi atas Kemalasan

Sumber: University of Rochester
Sumber: University of Rochester

Sebelum esports berkembang sampai ke titik ini, profesi yang bisa dikembangkan dari hobi bermain game itu memang sungguh sangat terbatas — seperti jadi jurnalis media game, game master di publisher, tukang farming gold dan item langka, atau joki level/rank.

Sekarang, dengan perkembangan esports, ada banyak sekali ruang-ruang profesional baru yang bisa dikejar oleh komunitas gamer. Sayangnya, hal ini kadang jadi alasan atau bahkan kambing hitam atas kemalasan.

Misalnya, seorang pelajar jadi melupakan atau meninggalkan kewajibannya demi bermain game dengan alasan ingin menjadi pro player. Saya juga beberapa kali menemukan judul berita seperti ini, “seorang anak mencuri uang orang tuanya demi membeli game.” Ada juga bentuk tindak kriminal lain yang lebih parah yang menjadikan game sebagai kambing hitam.

Selain itu, berhubung saya juga sudah lumayan lama bekerja di industri game dan sekitarnya (yang kebanyakan para pekerjanya memang gamer), saya juga beberapa kali menemukan para pekerja yang gagal memenuhi tanggung jawabnya karena terlalu lama/sering bermain.

Entah kenapa, saya paling tidak suka melihat yang seperti itu… Saya juga gamer dan saya bahkan tidak jarang menghabiskan waktu 2-8 jam sehari untuk bermain game (bahkan weekdays sekalipun). Tahun ini, saya bahkan menghabiskan anggaran sampai Rp30 juta agar PC saya bisa menghasilkan performa yang mulus dengan setting rata kanan saat bermain game.

Dokumentasi Pribadi
Pamer PC kesayangan boleh yak… Dokumentasi: Pribadi

Namun demikian, saya selalu mencoba untuk bisa diandalkan dari sisi profesional — yang akhirnya waktu tidur yang biasanya saya korbankan — meski memang saya sendiri juga mengaku masih punya banyak sekali kekurangan soal ini.

Lagi-lagi, kemalasan ini juga bertolak belakang dengan filosofi hidup yang coba diajarkan dari game. Kembali ke analogi MOBA, Anda harus farming lebih cepat dari yang lain jika ingin cepat kaya. Reward & punishment di game itu dijabarkan dengan gamblang dan diimplementasikan dengan lebih adil.

Bagi saya pribadi, mungkin inilah kekurangan utama hidup dibanding game. Saya tahu betul bahwa kadang orang yang lebih pintar, rajin, dan selalu berbuat baik kepada sesamanya bisa saja kalah sukses dengan yang beruntung. Meski demikian, bukan gamer juga namanya jika kita mengasihani diri, menyalahkan keadaan, dan menyerah pada tantangan.

Akhirnya

Saya di sini hanya ingin menyuguhkan pendapat saya tanpa bermaksud menggurui atau malah menghakimi. Saya hanya berharap dengan industri esports yang semakin besar, hal tersebut tidak mengingkari sejumlah pelajaran hidup yang sebenarnya bisa ditawarkan dari sebuah permainan.

Sumber Feature Image: MPL Indonesia

Victim Esports Juarai MIC 2019

Mobile Legends Intercity Championship 2019 alias MIC akhirnya merampungkan seluruh rangkaian acaranya di Jakarta, tepatnya di Gandaria City, Jakarta Selatan. Jakarta menjadi kota terakhir gelaran MIC setelah sebelumnya digelar di 7 kota besar: Medan, Palembang, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar.

MIC sendiri adalah sebuah turnamen resmi dari Moonton dan digarap oleh RevivalTV, yang ditujukan untuk tim-tim non-MPL ataupun tingkat amatir. Konsepnya juga cukup menarik. Pasalnya, juara dari MIC kota sebelumnya dibawa untuk melawan juara dari kota selanjutnya. Misalnya, juara MIC dari Medan dibawa ke Palembang untuk melawan juara di sana. Karena itulah, di MIC Jakarta, ada MLV Makassar yang siap menunggu juara dari MIC Jakarta.

MIC Jakarta. Dokumentasi: Hybrid
MIC Jakarta. Dokumentasi: Hybrid

Lius Andre, Esports Manager Moonton Indonesia, mengatakan, “MIC kami adakan karena ada banyak dari para pemain luar kota ataupun luar pulau Jawa yang menginginkan merasakan scene esports di kotanya masing-masing. MIC ini juga bagian dari solusi kami untuk masalah regenerasi pro player. Tahun depan (2020), kami juga akan menggelar turnamen untuk para pemain kelas amatir ataupun semi-pro.”

Di MIC Jakarta kali ini, ada 4 tim besar yang bertanding di babak semifinal. Di semifinal pertama, ada Siren Esports yang bertemu dengan Island of Gods. Sedangkan Victim Esports harus berhadapan dengan Flash Wolves ID. Ada beberapa hal menarik yang terjadi di babak 4 besar MIC Jakarta kali ini.

Pertama, Siren Esports yang diprakarsai oleh Eiduart dan diperkuat oleh beberapa nama seperti Shamot dan Hinelle justru kalah oleh IOG yang berisikan pemain yang relatif lebih baru. Kedua, pada pertandingan final antara Victim dan IOG, pemain Victim memberikan kejutan dengan menggunakan Eudora.


Setelah mengalahkan IOG, Victim pun harus bertanding melawan juara MIC dari kota sebelumnya (Makassar) yaitu MLV Makassar. Pada pertandingan kali ini, Victim sempat terganjal jawara dari Makassar pada game ketiga. Meski demikian, Victim tetap bisa meraih kemenangan dengan skor akhir 3-1. Atas kemenangan tersebut, Victim pun berhak mendapatkan hadiah sebesar USD$3000.

Mampukah Ekosistem Game Blizzard di Indonesia Bertumbuh Subur?

Buat para gamer multiplayer yang seleranya tidak murahan apalagi gratisan, harusnya Anda sudah tidak asing dengan nama besar Blizzard. Khususnya buat mereka-mereka yang sudah mencicipi PC gaming sejak tahun 90an. Pasalnya, jika Bioware adalah trendsetter RPG singleplayer di tahun 90an, Blizzard adalah developer game yang jadi kiblat semua developer lainnya soal multiplayer.

Era Kejayaan Blizzard

Mereka menciptakan seri StarCraft (1998) dan WarCraft (1994) yang kemudian jadi kiblat genre RTS (Real-time strategy). Dua game ini jugalah yang jadi cikal bakal dari MOBA yang sekarang bisa dianggap mendominasi genre esports. Sedikit belajar sejarah, cikal bakal genre MOBA pertama kali dipopulerkan dari sebuah Custom Map untuk StarCraft yang bernama Aeon of Strife — meski memang, jika lebih panjang lagi dirunut, bibit genre ini sudah hadir di game Herzog Zwei yang dirilis untuk SEGA Genesis tahun 1989.

Beberapa tahun berselang, Kyle Sommer alias Eul merilis Custom Map untuk Warcraft 3: Frozen Throne yang bertajuk Defense of the Ancients (DotA). Steve “Guinsoo” Feak pun melanjutkan pengembangan Custom Map tadi di 2004. Di 2005, Feak pun melemparkan tongkat estafet kembali ke IceFrog. Buat yang ingin belajar lebih detail, Anda bisa membaca sejarah lengkapnya di artikel dari Venture Beat ini.

Selain jadi pelopor genre MOBA, perkembangan sejarah industri game dunia juga berhutang pada Blizzard dalam genre Action-RPG dan MMORPG. Adalah seri Diablo (1996) yang menjadi kiblat dari segala jenis Action-RPG dan berbagai jenis varian barunya. Sedangkan World of Warcraft (2004) menjadi panutan berbagai developer game dalam mengembangkan MMORPG. WoW bahkan menyandang Guiness World Record 2009 untuk game MMORPG paling populer di dunia. Di 2014, Blizzard mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan 100 juta akun pelanggan yang berbeda untuk WoW.

Anda boleh percaya atau tidak, namun faktanya tidak ada developer game lain yang lebih sukses dari Blizzard di tahun 1990an akhir dan 2000an awal. Sayangnya, hidup itu memang penuh liku karena Blizzard yang sekarang mungkin harus melepaskan titel jawara developer game multiplayerGame dengan jumlah pemain terbanyak selama beberapa tahun terakhir dipegang oleh LoL dari Riot Games dengan total 80 juta pemain dan 27 juta pemain setiap harinya. Di sisi esports, turnamen dengan hadiah terbesar dipegang oleh The International untuk Dota 2 besutan Valve; terakhir adalah The International 9 yang menyuguhkan total hadiah sebesar US$34,3 juta (atau setara dengan Rp483 miliar).

Lalu apa yang bisa dilakukan Blizzard untuk bisa kembali ke masa kejayaannya? Nanti kami juga akan membahasnya.

Blizzard di Indonesia

12 September 2019 yang lalu, AKG Games (publisher game yang berada di bawah Salim Group) mengumumkan kerja sama mereka dengan Blizzard. Pada konferensi pers yang digelar di CGV Grand Indonesia Paul ChenManaging Director regional Taiwan/SEA, menjelaskan, “saat ini ada 40 juta pemain Overwatch dan 100 juta pemain Hearthstone secara global. Lewat kerjasama ini kami ingin mengembangkan komunitas di Indonesia, meningkatkan pengalaman bermain mereka, dan membangun perkembangannya mulai dari tingkat grassroots.”

Sumber: AKG Games
Sumber: AKG Games

Tak lama berselang, 13 November 2019, AKG Games menggelar konferensi pers untuk mengumumkan dukungan mereka terhadap atlet StarCraft 2 yang akan bertanding ke SEA Games 2019. Bentuk dukungan mereka adalah mengirimkan 2 pemain StarCraft 2 yang jadi perwakilan Indonesia ke Korea Selatan. Kedua pemain tersebut adalah Bondan “Deruziel” Lukman dan Emmanuel “Quantel” Enrique. Keduanya akan dikirim untuk berlatih di bawah  Jake “NoRegreT” Umpleby.

Sampai artikel ini ditulis, AKG Games, yang juga merupakan pemegang lisensi resmi trading card game untuk Pokemon, sudah cukup rutin menggelar berbagai turnamen untuk game-game Blizzard secara berkala. Silakan cek Facebook Page dari AKG Games atau Instagram mereka untuk informasi terbaru untuk turnamen-turnamen game Blizzard di Indonesia seperti Hearthstone, Overwatch, dkk.

Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh AKG Games sampai hari ini memang sangat positif. Namun ada satu strategi yang, menurut saya, harus dilakukan untuk membesarkan ekosistem game Blizzard di Indonesia.  Saya akan membahas lebih detail tentang strategi tadi di bagian selanjutnya. Namun sebelumnya, mari kita lihat tantangan apa yang mereka hadapi dengan kondisi pasar gaming PC ataupun console di Indonesia — khususnya PC yang jadi platform yang membawa Blizzard ke puncak kejayaannya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Banyak para pelaku industri yang memang mengatakan bahwa mobile gaming lebih populer di Indonesia ketimbang platform lainnya. Namun, tidak banyak yang mampu menjabarkan alasannya. Maka dari itu, izinkan saya mencoba menjawabnya.

Pertama, menurut data dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguna internet di Indonesia tahun 2019 itu menembus angka 171 juta jiwa. Di sisi lain, angka pelanggan Indihome — yang seharusnya memiliki market share terbesar untuk internet kabel di Indonesia — hanya ada di 6,5 juta pelanggan. Jika kita berasumsi marketshare Indihome ada di 60% untuk pasar internet kabel di Indonesia, berarti total pengguna internet kabel di Indonesia hanya sekitar 10 juta orang atau 5% dari total semua pengguna internet.

Kenapa angka tadi jadi penting? Karena, normalnya, para gamer PC ataupun console memang akan menggunakan koneksi internet kabel. Seberapa banyak dari Anda yang menggunakan koneksi 4G atau malah GPRS untuk bermain Overwatch, Dota 2, Tekken 7, ataupun game-game non-mobile lainnya?

Selain itu, nyatanya, anggaran belanja rata-rata penduduk Indonesia memang masih rendah. Mengingat ponsel sekarang jadi perangkat wajib dan PC gaming ataupun console jadi perangkat mewah buat sebagian besar masyarakat, hal ini membuat keterbatasan akses juga ke banyak game-game Blizzard — yang bahkan bisa dibilang lebih cocok untuk pasar menengah ke atas.

Sumber: DataReportal
Sumber: DataReportal

Masa Depan Ekosistem Game Blizzard

1-2 November 2019, bertempat di Anaheim Convention Center, California, Amerika Serikat, Blizzard pun menggelar konferensi tahunan mereka; Blizzcon 2019. Di acara ini, mereka mengumumkan banyak update termasuk game-game baru yang akan datang seperti Overwatch 2 dan seri terbaru dari franchise legendaris Blizzard, Diablo IV.

Sebelum membahas strategi apa yang bisa dilakukan di Indonesia, saya ingin membahas dulu peluang mereka di pasar global.

Apakah semua update dan game-game baru yang diumumkan di Blizzcon 2019 akan membuat Blizzard kembali ke puncak kejayaannya seperti dulu? Menurut saya pribadi, andaikan mereka menyadari apa yang hilang dari game-game mereka dulu, Blizzard masih punya peluang untuk kembali jadi jawara game multiplayer.

Bagi saya, ada 2 aspek penting yang tak bisa ditemukan lagi dari game-game Blizzard saat ini; yang dulu jadi keunggulan utama mereka.

Pertama, mari kita berkaca dari World of Warcraft. Ada buanyaaak sekali hal yang membuat WoW sukses besar sebenarnya. Pengalaman bermain yang autentik dan inovatif, penekanan pada aspek teamwork, konten yang sungguh kaya dan sangat variatif, dan cerita yang begitu berkesan. Aspek cerita dari WoW, menurut saya pribadi, adalah pembeda terbesar game tersebut dari kebanyakan MMO lainnya. Pasalnya, kebanyakan MMO bahkan tidak menggarap aspek ini dengan serius. Sedangkan WoW menawarkan aspek cerita yang sulit terlupakan.

Sayangnya, Diablo 3, Overwatch, ataupun Hearthstone, belum mampu menawarkan pengalaman bermain yang benar-benar selengkap WoW. Update dari WoW belakangan pun juga masih belum bisa menyamai kekayaan update-update sebelumnya. Pada Blizzcon 2019, Blizzard juga mengumumkan tentang expansion terbaru untuk WoW, yaitu Shadowlands.

Dari penjelasannya, Shadowlands kedengarannya memang sangat menjanjikan. Saya pribadi berharap ekspansi ini mampu mengobati kerinduan semua pecinta MMO. Semoga saja eksekusinya sesuai dengan apa yang dijanjikan dan ekspektasi para fans beratnya.

Andai saja Blizzard bisa kembali menyematkan berbagai keriangan di segala aspek yang membuat WoW istimewa di zamannya ke game-game lainnya (ataupun terbarunya), tidak mustahil juga mereka bisa kembali ke puncak kejayaannya. Namun demikian, WoW bukanlah game yang seistimewa itu jika ia mudah direplikasi — bahkan oleh developernya sendiri. Karena itu, ada satu hal lain yang bisa mereka coba untuk kembali menjadi developer yang begitu dekat dengan komunitas hardcore gamer-nya.

Jawabannya adalah game modding. Buat yang belum tahu apa itu game modding, fitur ini adalah sebuah akses (yang memang sengaja diberikan oleh sang developer ataupun yang ditemukan sendiri oleh komunitasnya) untuk memodifikasi file game yang digunakan. Modding paling sederhana misalnya adalah mengganti value dari file konfigurasi untuk game tersebut, seperti yang bisa dilakukan untuk Pillars of Destiny 2: Deadfire.

Faktanya, game modding jugalah yang sebenarnya berjasa membawa esports sampai ke titik ini. Seperti yang saya bilang tadi, genre MOBA berawal dari Custom Map untuk StarCraft dan Warcraft 3. Tanpa akses ke Custom Map di 2 game tadi, mungkin tidak ada yang namanya Dota 2 dan LoL hari ini. Selain itu, esports FPS yang paling laris sampai hari ini, CS:GO, juga berawal dari game modding untuk Half-Life.

Tak hanya StarCraft dan Warcraft 3, salah satu franchise legendaris dari Blizzard yaitu Diablo juga sebelumnya ramah terhadap modding. Sayangnya, semakin ke sini, semakin banyak developer dan publisher game yang meninggalkan ataupun bahkan menutup akses ke game modding — termasuk Blizzard. Meski memang belum ada yang mengatakannya terang-terangan, kian langkanya akses ke game modding mungkin disebabkan karena fitur ini dianggap tak mampu mendatangkan revenue lebih atau bahkan mengurangi pendapatan.

Padahal, di sisi lain, modding mengijinkan sebuah game bertahan jauh lebih lama dan membuat komunitasnya tetap hidup dan aktif selama bertahun-tahun. Diablo 2, misalnya, meski sudah dirilis 19 tahun silam masih ada mod baru yang dirilis bulan November 2019. Borderlands 2, besutan Gearbox, masih dimainkan oleh 1 juta orang dalam sebulan meski sudah berusia 6 tahun — yang menurut saya diakibatkan juga oleh aktifnya komunitas modding mereka. Komunitas modding Skyrim juga masih aktif yang membuat game tersukses besutan Bethesda tersebut masih eksis meski dirilis 8 tahun silam. GTA V yang juga punya koleksi mods begitu besar bahkan mencetak rekor sebagai produk media terlaris sepanjang masa — mengalahkan semua produk game, film, ataupun musik dalam sejarah dengan angka penjualan sekitar US$6 miliar. Sebagai perbandingan, Avengers: Endgame (2019) ‘hanya’ mencetak angka penjualan sebesar US$2,7 miliar. Apalagi contoh lainnya? Tahu seberapa populer Minecraft? Menurut laporan dari Business Insider di September 2019, Minecraft punya 112 juta pemain setiap bulannya. Game ini punya 52.579 mod (setidaknya saat artikel ini ditulis) di salah satu komunitasnya.

Strategi untuk Ekosistem Game Blizzard di Indonesia

Jujur saja, saya sendiri berpikir bagian sebelumnya dari artikel ini tadi terlalu muluk-muluk… Karena seakan mustahil saja Blizzard mendengarkan pendapat seorang gamer jarang mandi yang satu ini. Namun demikian, mungkin yang lebih realistis adalah soal strategi yang bisa dilakukan oleh AKG Games sebagai publisher game Blizzard di Indonesia.

Dari pilihan kata yang digunakan di sini, mungkin sudah terlihat jelas 2 aspek yang harus ada. Saya memilih kata “ekosistem” bukan tanpa alasan yang gamblang. Definisi ataupun konsep ekosistem menekankan pada keragaman entitas yang saling berinteraksi satu sama lainnya.

Jadi, menurut saya, salah satu strategi yang bisa dilakukan AKG dalam mengembangkan ekosistem game Blizzard adalah merangkul lebih banyak pihak dan menjadikan mereka sebagai stakeholders. Misalnya, mereka bisa memberikan motivasi kepada sejumlah media untuk mengambil peran publikasi, memberikan proyek event ke MET Indonesia atau EO lainnya, dan menugaskan RevivalTV untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan talent. Dengan demikian, pihak-pihak yang kebagian rezeki tadi jadi merasa turut memiliki dan peduli atas keberhasilan ekosistemnya di Indonesia.

Mari kita lihat sebuah studi kasus tentang sejarah ekosistem League of Legends (LoL) di Indonesia. Kala itu, LoL memang hanya digarap oleh satu pihak. Aliran dananya hanya di pusaran itu-itu saja. Otomatis, banyak pihak jadi tak peduli dengan hidup dan matinya. Sederhananya, pola pikirnya seperti ini, “jika saya tidak mendapatkan keuntungan ataupun pendapatan dari sana, kenapa saya harus peduli?” Sebaliknya, di periode yang sama, banyak pihak lebih diuntungkan menggarap Dota 2. Makanya, Dota 2 lebih dipilih oleh kebanyakan para pelaku esports kala itu.

Menurut saya, banyak orang belum menyadari bahwa ada 2 kategori faktor bagaimana sebuah game bisa berkembang di satu negara yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ditemukan dari game itu sendiri, seperti platform-nya, mekanisme gameplay, kebutuhan spek, ataupun yang lainnya. Sedangkan faktor eksternal adalah soal komunitas, ekosistem esports, talent, tim, media, dan segudang hal lain.

Jika kita bandingkan antara LoL dan Dota 2, faktor internalnya tidak berbeda jauh. Sama-sama di PC, sama-sama tak butuh spek tinggi, sama-sama gratis, dan sama pula genre-nya. Perbedaan yang besar ditemukan di faktor eksternalnya karena semua orang bisa saja menggarap event Dota 2 dan meraup keuntungan dari sana.

Di sisi lain, jika kita ingin membandingkan salah satu game Blizzard, yaitu Overwatch; game lainnya yang bisa dianggap sekelas adalah Rainbow Six: Siege (R6S). Setidaknya, keduanya ditujukan untuk kelas atas. Nyatanya, saat ini R6S bisa dibilang lebih hidup dibandingkan dengan Overwatch di Indonesia. Buktinya, ada Aerowolf (organisasi esports asal Indonesia, meski untuk tim R6S nya tidak ada lagi pemain asal Indonesia) dan Team Scrypt (tim Indonesia yang juga seluruh pemainnya dari Indonesia) ikut R6S Pro League Season 11 bersama dengan tim-tim lain asal Asia Tenggara.

Turnamen yang digarap dan ditujukan untuk komunitas juga sudah rutin dilakukan untuk R6S dari tahun 2017. Jika faktor internal antara kedua game tersebut tidak berbeda jauh, apa yang membedakan? Menurut saya, faktor eksternal tadilah jawabannya. Komunitas R6S lewat R6 IDN yang digawangi oleh Bobby Rachmadi Putra sudah aktif sejak lama. Komunitas R6 IDN juga bekerja sama dengan kami di HYBRID ataupun sejumlah pihak lain (ESL, ESID, dkk) dalam berbagai kesempatan.

Satu contoh lagi, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang paling bagus saat ini adalah Mobile Legends: Bang Bang (MLBB). Ekosistem MLBB saya bilang bagus karena hidup dan masih positif sejak 2017. Proyeksi trennya pun juga harusnya masih positif setidaknya sampai 2 tahun ke depan. Memang, banyak yang mengatakan bahwa MLBB punya ekosistem esports yang subur berkat dirilis di platform mobile dan butuh spek ringan. Saya tidak menafikkan argumentasi tersebut namun itu baru dari sisi internalnya. Ada banyak orang yang tidak melihat apa yang terjadi dari sisi faktor eksternalnya. Moonton mengajak MET Indonesia untuk menggarap MPL ID S3 dan S4. Di sisi lain, mereka juga mengajak RevivalTV untuk menjalankan MIC di 2019 ini. Sebelumnya, RevivalTV juga yang menjalankan MPL ID S1 dan S2. Masih ada sejumlah pihak lain yang dirangkul dan kebagian rezeki dari ekosistem esports MLBB. Karena itulah, semua pihak-pihak tadi tentunya tidak ingin juga kehilangan salah satu sumber pendapatannya.

MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia
MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia

Mungkin memang terlalu naif juga jika berharap game-game Blizzard bisa selaris MLBB di Indonesia. Bukan karena kualitasnya, namun karena target pasarnya dan faktor internal tadi. Bahkan Hearthstone yang tersedia di platform mobile pun punya target pasar kelas menengah ke atas atau setidaknya di atas pasar MLBB yang menargetkan semua golongan. Apalagi jika kita berbicara soal game-game PC dan console milik Blizzard. Ini juga relevansinya kenapa saya tadi menjabarkan beberapa tantangan untuk game-game di platform non-mobile. Tentunya, masih ada PR besar soal infrastruktur ataupun kebijakan ekonomi makro yang mungkin memang jauh dari jangkauan.

Namun demikian, seharusnya game-game Blizzard di Indonesia mampu mengalahkan Rainbow Six: Siege (karena sama-sama ditujukan kelas high-end) dan bersaing popularitasnya dengan Dota 2, Tekken 7, FIFA, PES, ataupun CS:GO (yang cocok untuk kelas menengah) — karena ada publisher yang turun tangan langsung ke pasar Indonesia.

Penutup

Akhirnya, salah satu alasan kenapa Dota 2 punya ekosistem yang paling bergairah di Indonesia pada zamannya adalah karena banyaknya stakeholders yang mau menggarap ekosistem tersebut. Penurunan trennya pun belakangan juga diakibatkan oleh berkurangnya stakeholders di ekosistem ini. Ditambah lagi, tidak ada juga publisher Dota 2 di Indonesia yang akan mendapatkan insentif dari perkembangan komunitas dan hidupnya ekosistem esports tanah air.

Saya pribadi sungguh berharap ekosistem game Blizzard bisa tumbuh subur di Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut dapat memancing publisher barat lainnya untuk turut terjun langsung ke sini. Plus, kesuksesan itu sekaligus membuktikan juga bahwa ekosistem esports Indonesia itu tak hanya cocok untuk kalangan kelas bawah namun juga untuk kelas menengah ataupun atas.

Berapa Banyak Pengunjung dan Penonton M1 World Championship 2019?

Axiata Arena, Kuala Lumpur, Malaysia, menjadi lokasi pengukuhan EVOS Esports jadi tim MLBB (Mobile Legends: Bang Bang) terbaik di dunia musim ini berkat kemenangan mereka di M1 World Championship 2019 (11-17 November 2019).

Selain drama pertandingan 7 game yang fantastis antara EVOS melawan rival beratnya, RRQ, M1 juga ternyata menjadi turnamen dengan penonton terbanyak sepanjang sejarah esports MLBB — setidaknya menurut data dari Esports Charts.

Menurut data yang dihimpun oleh Esports Charts tadi, sebuah layanan analisa data yang mengikuti perkembangan esports, penonton M1 World Championship 2019 yang menyaksikan lewat live streaming mencapai angka peak viewers sebesar 648.069Peak viewers ini maksudnya adalah jumlah penonton yang menonton di saat yang sama (biasanya juga disebut concurrent viewers).

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Selain angka tadi, ada 2 hal menarik yang bisa kami temukan dari kumpulan data mereka.

Pertama, pertandingan El Classico di Negeri Jiran yang terjadi 2x (Grand Final dan Upper Bracket Final) menjadi 2 pertandingan dengan peak viewers terbesar. Pertandingan Grand Final di hari terakhir yang berakhir dramatis menyumbang angka peak viewers tertinggi sepanjang pertandingan (648.069 ribu). Sedangkan pertandingan Upper Bracket Final antara EVOS dan RRQ jadi pertandingan dengan peak viewers tertinggi kedua dengan 558.985 penonton.

Selain itu, karena memang kejuaraan dunia, Moonton pun menyediakan streaming-nya dalam berbagai bahasa. Namun demikian, nampaknya Indonesia memang menjadi pasar terbesar MLBB di dunia.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Dari data di atas, penonton dari stream berbahasa Indonesia bahkan nyaris 5x lipat jumlahnya dibandingkan dengan penonton berbahasa Malay ataupun Inggris.

Itu tadi jika kita berbicara soal online viewers. Bagaimana dengan jumlah orang yang hadir? Angka ini kami terima sendiri dari pihak Moonton, sebagai yang punya acara, yang langsung kami wawancarai di lokasi. Inilah angkanya yang dibagi per hari acara:

  • Hari pertama (Jumat, 15 November 2019): 3.000 orang
  • Hari kedua (Sabtu, 16 November 2019): 5.000 orang
  • Hari ketiga (Minggu, 17 November 2019): 10.000 orang

Jumlah tadi mungkin memang kelihatannya besar namun, berhubung Axiata Arena punya kapasitas sampai 16.000 orang, venue acara jadi tetap tak terlihat penuh. Bahkan dengan 10ribu pengunjung, jumlah tersebut hanyalah 2/3 dari total kapasitas gedung.

Akhirnya, Moonton berencana menggelar M2 di 2020 di Indonesia. Apakah angka pengunjung dan penontonnya akan lebih besar lagi di tahun depan?

EVOS Esports Juara Dunia di M1 World Championship 2019

Gegap gempita ribuan pengunjung di Axiata Arena, Kuala Lumpur, Malaysia, jadi saksi pertandingan paling bergengsi untuk para jawara Mobile Legends dari seluruh penjuru dunia. M1 World Championship 2019 (11-17 November 2019) akhirnya sukses menyelesaikan pertaruhan gengsi antara 16 tim dari 14 negara untuk menyebut diri mereka yang terbaik di seluruh dunia.

M1 Group Stage

Sekilas ke belakang, 16 tim yang bertanding awalnya terbagi dalam 4 grup (masing-masing 4 tim) dalam babak Group Stage dengan pembagian berikut ini:

Grup A Grup B Grup C Grup D
EVOS SG (MPL MY/SG) Burmese Ghouls (MPL MYANMAR) Sunsparks (MPL PHILIPPINES) EVOS LEGENDS (MPL INDONESIA)
RRQ (MPL INDONESIA) AXIS Esports Club (MPL MY/SG) Todak (MPL MY/SG) ONIC Esports PH (MPL PHILIPPINES)
IMPUNITY KH (M1 Cambodia Qualfiier) Candy Comeback (M1 Thailand/Laos Qualfiier) GEO Esports (M1 Brazil Qualifier) Deus Vult (M1 Rusia Qualifier)
VEC Fantasy Main (M1 Vietnam Qualifier) Team Gosu (M1 US Qualifier) Evil Esports (M1 Turkey Qualifier) 10Second Gaming (M1 Japan Qualifier)


Ada beberapa hal menarik yang terjadi dari hasil pertandingan babak Group Stage.

Pertama, dari 8 tim yang lolos ke babak Playoffs, hanya 2 tim non-MPL yang ada di sini; yaitu 10Second Gaming+ dari Jepang dan VEC Fantasy Main dari Vietnam. Sisanya, ada EVOS Legends (ID) dan RRQ dari MPL ID, Sunsparks dari MPL PH, Todak dan Axiata Esports dari MPL MY/SG, dan Burmese Ghouls dari MPL Myanmar.

Kedua, EVOS SG yang merupakan juara MPL MY/SG dan ONIC PH yang merupakan juara MPL PH justru gagal menunjukkan performa terbaik mereka. Ketiga, dua tim non-MPL yang lolos juga menarik — meski memang 10Second Gaming mungkin lebih menarik karena jadi satu-satunya tim dari luar regional Asia Tenggara yang berhasil lolos ke Playoff.

Sumber: MET Indonesia
Sumber: MET Indonesia

M1 Playoff

Babak Playoff pun berjalan. Peringkat pertama dari masing-masing grup, yaitu RRQ, Burmese Ghouls, Todak, dan EVOS Legends mengawali perjalanan Playoff dari Upper Bracket. Sedangkan peringkat kedua dari masing-masing grup yakni VEC Fantasy Main, AXIS Esports, Sunsparks, dan 10Second Gaming harus berjalan dari Lower Bracket.

RRQ dan EVOS dari Indonesia berhasil memenangkan pertandingan mereka masing-masing dengan hasil yang cukup telak. RRQ menaklukan Todak sedangkan EVOS menggulingkan Burmese Ghouls — dengan skor masing-masing 2-0 tanpa balas. El Classico Mobile Legends Indonesia pun terjadi di panggung dunia, di Negeri Jiran. 

Di sisi Lower Bracket, VEC Fantasy Main harus pulang pertama setelah digunduli oleh Sunsparks. Sedangkan 10s Gaming berhasil memupuskan harapan salah satu tim tuan rumah AXIS Esports. Pertandingan tim Lower Bracket pun berlanjut. Kejutan pun terjadi. Burmese Ghouls berhasil menaklukan Sunsparks dengan skor 2-1. Hal ini mengejutkan karena Filipina biasanya dikenal cukup baik dalam bermain game-game MOBA.

Dengan hasil tadi, pupus sudah semua perwakilan dari Filipina. Hal ini juga menarik mengingat, baru 1 tahun yang lalu di MSC 2018, tim-tim Filipina benar-benar mendominasi turnamen tersebut dengan mengirimkan 2 timnya ke pertandingan final (all-Philippines final) — Bren Esports (Aether Main) dan DigitalDevils Pro Gaming.

Di pertandingan Lower Bracket lainnya, 10s Gaming harus dipaksa pulang oleh tim favorit tuan rumah, Todak. Dengan ini, semua tim yang tersisa adalah 4 tim asal Asia Tenggara; 2 tim Indonesia (EVOS dan RRQ di Upper Bracket), 1 tim Myanmar (Burmese Ghouls), dan 1 tim Malaysia. Meski begitu, perjalanan 10s Gaming di turnamen ini membuktikan bahwa MLBB juga ternyata jadi perhatian serius oleh gamer mobile di sana. 

Burmese Ghouls pun harus berhadapan dengan Todak. Namun tim dari Myanmar ini nampaknya memang masih belum dapat mengalahkan tim tuan rumah yang bermain di depan ribuan pendukungnya. Sedangkan di Upper Bracket, EVOS masih melanjutkan tren baik mereka sejak MPL ID S4 dengan memukul mundur RRQ.

RRQ pun harus turun ke Lower Bracket menghadapi Todak. Untungnya, Lemon, Tuturu, dan kawan-kawannya memang terbukti lebih ganas dibanding Cikuuuuu dan pasukan Todak lainnya. All-Indonesian final pun terjadi, mengulang sejarah MSC 2019 (19-23 Juni 2019). Uniknya, meski sama-sama mempertandingkan 2 tim Indonesia, keduanya berbeda. Pada MSC 2019, finalnya terjadi antara ONIC Esports melawan Louvre — dengan kemenangan telak untuk ONIC. Belum satu tahun berjalan, kedua tim terkuat dari Indonesia dan Asia Tenggara sudah berganti. Selain itu, yang tak kalah menarik dari pertandingan final kali ini adalah terulangnya grand final dari MPL ID S4 (26-27 Oktober 2019) antara RRQ melawan EVOS Esports. 

Dengan terulangnya all-Indonesian final di 2 turnamen internasional, hal ini membuktikan bahwa memang Indonesia menjadi kawasan terkuat untuk dunia persilatan Mobile Legends, tak hanya tingkat Asia Tenggara namun juga tingkat dunia di 2019.

EVOS vs RRQ

Pertandingan antara EVOS dan RRQ pun terjadi sebagai penutup M1 World Championship. Pertandingan kedua antara dua tim besar ini pun lebih menarik dibanding yang pertama. Muasalnya, RRQ bahkan berhasil mencuri poin pertama di pertandingan final dengan format Best-of-seven (Bo7). Game kedua, EVOS pun menyamakan kedudukan. Namun demikian, permainan Tuturu, Lemon, Xin, Vyn, dan Liam ternyata lebih ganas dari pertandingan mereka sebelumnya. Mereka pun meraih 2 poin kemenangan berturut-turut. Kedudukan sementara 3-1 untuk RRQ. Pertandingan pun berlanjut ke game kelima. Oura dan kawan-kawannya berhasil mencuri poin lewat permainan cepat mereka. Skor berubah jadi 3-2, masih dengan keunggulan untuk RRQ. 

Bisa jadi, inilah pertandingan MLBB paling mendebarkan sepanjang masa. Pasalnya, EVOS menolak untuk kalah di game keenam dan mereka berhasil menyamakan kedudukan 3-3. Game ketujuh pun harus dijalankan. Siapapun pemenangnya, ketujuh pertandingan final kali ini layak untuk disaksikan kembali oleh semua fans esports ataupun gamer MLBB. Game terakhir, EVOS tampil begitu brutal dan memenangkan pertandingan dengan cepat.

Kemenangan ini pun menorehkan cerita yang begitu berkesan untuk EVOS. Muasalnya, setelah 3x gagal membawa pulang piala MPL ID, mereka tak hanya berhak menyandang gelar tim terbaik se-Indonesia tapi juga sedunia.

Sumber: M1 World Championship
Sumber: M1 World Championship

Dengan hasil tadi, M1 pun selesai digelar. Berikut ini adalah distribusi prize pool-nya:

Juara 1 (EVOS Esports): USD 80,000

Runner-Up (RRQ): USD 40,000

Peringkat 3 (Todak): USD 20,000

Peringkat 4 (Burmese Ghouls): USD 12,000

Peringkat 5-6 (10s Gaming dan Sunsparks): USD 8,000

Peringkat 7-8 (VEC Fantasy Main dan AXIS Esports): USD 6,000

Peringkat 9-12 (EVOS SG, Team GOSU, Evil Esports, Deus Vult): USD 4,000

Peringkat 13-16 (Impunity KH, Candy Comeback, GEO Esports, ONIC PH): USD 3,000

Dominasi tim-tim Indonesia kali ini membuat Indonesia akan jadi tuan rumah dari M2 tahun depan. Apakah Indonesia masih bisa mempertahankan gelar juara mereka? Apakah wilayah Asia Tenggara masih mendominasi ajang esports MLBB? Apakah ada tim-tim di luar Asia Tenggara yang akan memberikan kejutan layaknya 10s Gaming dari Jepang kali ini?

EVOS Esports Raup Rp150 juta Lewat Penjualan Merchandise di M1 dan MPL ID S4

M1 World Championship 2019 yang merupakan kejuaraan dunia untuk Mobile Legends: Bang Bang sedang berlangsung di Axiata Arena, Kuala Lumpur Malaysia (11-17 November 2019).

Pada babak Playoffs yang terbuka untuk umum, di stadion yang mampu menampung sekitar 16000 orang ini, EVOS Esports pun menggelar booth untuk menjual berbagai merchandise mereka; mulai dari kaos, jaket, jersey, ataupun produk apparel lainnya. Sebelumnya, EVOS juga menggelar booth penjualan merchandise saat Playoffs MPL ID S4 (26-27 Oktober 2019) yang digelar di Tennis Indoor Stadium Gelora Bung Karno. Menurut penuturan Yansen Wijaya, Merchandise Manager EVOS, mereka berhasil meraup pendapatan Rp150 juta dari penjualan merchandise di kedua event besar tadi.

Menariknya lagi, angka pendapatan tersebut harusnya bisa lebih besar. “Item-nya sold out semua di 2 event tadi (MPL ID S4 dan M1). Kalau engga kehabisan, mungkin bisa sampai Rp200 juta.” Ujar Yansen saat kami berbicang di depan hotel PARKROYAL Kuala Lumpur.

Mungkin memang faktanya, EVOS adalah salah satu organisasi esports dengan jumlah fans terbanyak di Indonesia, apalagi tim MLBB-nya. Namun ternyata, selain jumlahnya yang besar, loyalitas fans mereka pun layak diacungi jempol. Hal ini juga menarik mengingat penonton esports kita masih sedikit enggan membayar jika ‘hanya’ menonton saja. Meski begitu, mereka malah mau membeli merchandise yang harganya lebih mahal dari tiket — mengingat harga tiket esports di Indonesia untuk turnamen MLBB memang belum ada yang seharga kaos.

Di sisi lainnya, pendapatan mereka yang juga besar di Malaysia bisa berarti 2 hal. Pertama, karena EVOS juga mengikuti MPL MY/SG, bisa saja para pembeli merchandise di sini juga memberikan dukungan ke tim tersebut. Namun demikian, ada kemungkinan bahwa tim EVOS Esports dari Indonesia, yang berisikan Oura, Donkey, Rekt, dan kawan-kawannya, punya fans yang tidak sedikit juga di Negeri Jiran.

Satu hal yang pasti, sumber pendapatan dari merchandise ternyata memang menarik untuk ditekuni oleh organisasi esports. EVOS sendiri memang bisa dibilang organisasi esports yang paling fokus menggarap lini merchandise mereka. Sebelumnya, 9 Agustus 2019, EVOS bahkan sudah membuka flagship store pertama mereka Mall One Belpark, Jakarta Selatan.

Nobar Final Worlds 2019 Bersama Hasagi dan Armored Project

World Championship 2019, turnamen dengan kasta tertinggi di dunia untuk League of Legends (LoL), akan menggelar babak pamungkasnya antara jagoan lama dari Eropa (G2) melawan jagoan baru asal Tiongkok (FunPlus Phoenix) di hari Minggu tanggal 10 November 2019.

Pertandingan antara kedua tim tadi di final mungkin memang tak banyak diprediksi sebelumnya. Pasalnya, masing-masing kandidat harus bertarung melawan tim-tim yang, di atas kertas, lebih diunggulkan. SK Telecom T1, tim yang paling sering juara Worlds, yang diperkuat oleh Faker dan Khan harus menelan kekalahan pahit kembali setelah tahun sebelumnya bahkan absen dari kejuaraan ini.

Sumber: G2 Esports
Sumber: G2 Esports

Di sisi lainnya, Invictus Gaming yang jadi juara bertahan (pemenang Worlds 2018) juga harus menanggung malu karena kalah dari FPX yang baru pertama kali merasakan megahnya panggung Worlds. Pertarungan final nanti akan sangat mendebarkan karena jadi pertaruhan gengsi antara wilayah barat melawan timur.

Untuk turut memeriahkan acara ini, HASAGI bekerja sama dengan Armored Project menggelar event nonton bareng final Worlds 2019. Selain itu, ajang ini juga akan jadi tempat berkumpulnya para pemain LoL.

Buat para pemain LoL dari Indonesia, tentunya Anda sudah tidak asing dengan nama HASAGI. Sebelumnya, HASAGI merupakan media sekaligus komunitas di bawah Garena yang memang khusus membahas soal LoL. Sekarang, meski esports LoL di Indonesia sudah diasingkan — termasuk oleh yang ‘berwajib’ — HASAGI kembali muncul dan berjalan sendiri.

Sedangkan Armored Project adalah salah satu organisasi esports yang memang berangkat dari game LoL dan digawangi oleh Florian “Wolfy” George yang juga mencuat namanya dari LoLa

Nobar final Worlds 2019 akan digelar pada tanggal 10 November 2019 (pukul 15:00 WIB) di Ballroom MAQNA Residence, Kembangan Jakarta Barat. Jika Anda tertarik untuk ikut, Anda bisa membeli tiketnya via daring atau langsung di tempatnya.

Ada 2 jenis tiket yang tersedia:

Dokumentasi: HASAGI
Sumber: HASAGI
  • Standar: Rp40 ribu, yang termasuk tiket nobar, makanan, dan 1 buah skin gratis
  • Bundle: Rp120 ribu, yang termasuk tiket nobar, makanan, 1 buah skin gratis, dan 1 kaos eksklusif HASAGI.

Selain itu, akan ada undian berhadiah kaos dan jaket persembahan dari SK69, action figure LoL, dan kaos HASAGI. Tak lupa juga, akan ada lelang action figure Caitlyn; yang hasil pendapatan lelangnya akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai nobar kali ini.

Acara yang didukung oleh beberapa sponsor (Seteduh Kopi, SK69, dan Garena) ini, benar-benar acara komunitas untuk komunitas. Muasalnya, setiap anggota komunitas LoL bekerja sama melakukan tugasnya masing-masing dari mulai mencari tempat, mengurus konsumsi, promosi, desain, dan lain-lainnya. Acara ini bisa jadi bukti bahwa komunitas LoL di Indonesia memang masih kompak dan solid meski esports-nya sudah di… (Isi sendiri ya…)

EVOS Esports Dapatkan Pendanaan Sebesar Rp61 Miliar

EVOS Esports mungkin memang bisa dibilang sebagai salah satu organisasi / startup esports paling sukses yang berasal dari Indonesia. Meski baru berdiri dari tahun 2017, mereka langsung mencuri perhatian banyak pelaku industri dari dalam dan luar negeri. Sekarang, mereka juga bisa dianggap sebagai salah satu yang paling berhasil di kawasan Asia Tenggara.

Saat artikel ini ditulis, EVOS memiliki 13 tim di 6 game berbeda (dengan total 62 pemain), yang berada di 5 negara. Saat ini, EVOS juga sudah memiliki sekitar 120 karyawan, 100 di antaranya berasal dari Indonesia.

Bagi Anda yang ingin cari tahu lebih jauh mengenai perjalanan EVOS Esports jadi sebesar ini, Anda bisa membaca sendiri terjemahan tulisan dari Ivan Yeo, CEO dan Co-Founder EVOS Esports yang terbagi jadi 4 bagian.

Menurut Business Times, tahun ini (2019), mereka bahkan berhasil mendapatkan pendanaan seri A dengan jumlah fantastis sebesar US$4,4 juta (atau setara dengan Rp61 miliar). Pendanaan pertama, yang hampir mencapai angka US$3 juta, mereka dapatkan dari Insignia Venture Partners di awal tahun. Sedangkan sisanya, US$1,4 juta, mereka dapatkan dari sekelompok angel investor yang terdiri dari sejumlah konglomerasi asal Indonesia dan juga petinggi dari pemain ecommerce asal Tiongkok.

Menariknya, meski sebagai klub esports yang kompetitif, EVOS tak bisa dipandang remeh di AOV (yang langganan juara nasional dari musim pertama ASL), MLBB (yang baru saja memenangkan MPL ID S4 dan juga MPL MY/SG), Free Fire, ataupun PUBG Mobile, pendanaan ini justru difokuskan untuk EVOS sebagai manajemen influencer.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Manajemen influencer dari EVOS sendiri saat ini diklaim sudah mengatur 50 influencer eksklusif dan bekerja sama dengan 250 talent. Menurut Ang Teng Jen, Chief Strategic Officer EVOS, saat diwawancarai oleh Business Times, “Agustus lalu, influencer gaming papan atas dunia, Tyler “Ninja” Blevins, meninggalkan Twitch untuk kontrak eksklusif dengan Mixer dari Microsoft; dengan nilai kontrak yang perkiraannya mencapai US$20-30 juta.

Kami melihat tren yang sama di Asia Tenggara, dengan influencer papan atas di kawasan ini yang mendapatkan sekitar US$30-60 ribu sebulan — seratus kali lebih besar dari gaji kebanyakan fresh graduate.”

Ivan Yeo juga sempat memberikan pendapatnya di artikel yang sama. Menurutnya, esports memang jadi salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat secara global. Namun ada banyak potensi yang belum dimaksimalkan di wilayah Asia Tenggara. Untungnya, sekarang lebih banyak brand yang mulai melirik esports — nilai sponsorship sekarang sudah lebih dari US$500 ribu, dibandingkan dulu yang masih di kisaran US$10 ribu saat EVOS baru mulai.

“Intinya, Ivan dan timnya memiliki rencana yang gamblang untuk mendominasi pasar Asia Tenggara, memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak-pihak penting di kawasan ini.” Ujar Tan Yinglan, Founding Managing Partner dari Insignia Ventures Partners.

Sumber Feature Image: ESL Indonesia