Riot Games Luncurkan Revenue Sharing League of Legends di Liga Amerika dan Eropa

Sebagai salah satu cabang esports terpopuler di dunia, rasanya tak afdal bila League of Legends tidak memiliki program untuk mensejahterakan para pemainnya. Seperti Dota 2 atau Rainbow Six: Siege yang menyediakan berbagai in-game item hasil kerja sama dengan tim-tim profesional, Riot Games baru-baru ini meluncurkan fitur yang memungkinkan penggemar untuk mendukung tim kesayangan secara langsung.

Fitur pertama adalah Fan Pass, sebuah item yang memberikan misi-misi tertentu pada pemain dengan berbagai imbalan menarik, termasuk emotes, icons, skins, dan sebagainya. Fan Pass ini dijual seharga 980 Riot Points, atau setara US$10. Tersedia di wilayah Brasil, Turki, Amerika Latin, Jepang, dan Oseania, hasil penjualan Fan Pass akan dibagi 50:50 dengan seluruh tim profesional di wilayah-wilayah tersebut.

Fitur baru kedua yaitu Team Pass. Mirip seperti Fan Pass, Team Pass juga memberikan misi dengan berbagai imbalan. Bedanya, imbalan-imbalan Team Pass ini memiliki tema yang berkaitan dengan tim yang dipilih. Setiap pemain hanya boleh membeli satu Team Pass untuk kompetisi LCS (League of Legends Championship Series) dan satu Team Pass untuk kompetisi LEC (League of Legends European Championship). Hasil penjualan Team Pass ini akan dibagi 50:50 dengan tim-tim dalam liga yang bersangkutan.

League of Legends - T1 x G2
Sumber: LoL Esports

Sebetulnya ini bukan pertama kalinya League of Legends menyediakan fitur serupa “Battle Pass” begini, namun biasanya Battle Pass itu hanya berlaku untuk satu turnamen saja. Sebaliknya, Fan Pass dan Team Pass berlaku selama satu musim. Ini merupakan salah satu cara bagi tim-tim profesional untuk mendapatkan penghasilan yang tidak bergantung pada uang hadiah turnamen saja.

“Kami rasa penting, seiring olahraga ini tumbuh, agar liga-liga, tim, dan para pemain saling berbagi dalam kesuksesan bersama,” demikian tulis tim LoL Esports dalam blog resminya. “Kami sangat gembira dengan peluncuran program ini dan akan terus mempelajari sebanyak-banyaknya aspek apa yang paling dihargai oleh penggemar esports seluruh dunia seiring kami melebarkan sayap lebih luas di masa depan!”

Satu fitur lagi yang baru diumumkan adalah fitur unik bernama Pro View. Tersedia untuk kompetisi LEC dan LCS mulai bulan Juni, fitur ini memungkinkan penggemar untuk membeli semacam keanggotaan premium untuk dapat melihat jalannya kompetisi secara lebih mendetail. Contohnya kemampuan mengganti sudut pandang dari kesepuluh pemain yang sedang bertanding, menampilkan pertandingan dalam empat layar sekaligus secara split-screen, dan sebagainya.

Team Liquid
Sumber: LoL Esports

Pro View juga menyediakan fitur untuk menyimpan momen-momen penting turnamen dalam bentuk video, statistik para pemain profesional, hingga fitur sosial untuk berinteraksi dengan sesama pemilik keanggotaan Pro View. Pada awalnya Riot Games hanya menyediakan Pro View dengan caster bahasa Inggris, tapi di masa depan dukungan bahasa lain juga akan diberikan.

Lebih mahal dari dua fitur sebelumnya, Pro View dijual seharga US$14,99 untuk masing-masing liga, atau bundel seharga US$19,99 untuk LEC dan LCS sekaligus. Hasil pembelian Pro View juga akan dibagi dengan tim-tim di liga terkait, namun Riot Games tidak menjelaskan pembagiannya secara detail.

Sumber: The Esports Observer, LoL Esports

Hasil Mobile Legends Intercity Championship di Medan, Palembang, dan Bandung

Turnamen esports tentunya sudah bukan hal asing lagi bagi para penggemar Mobile Legends: Bang Bang. Game bergenre MOBA karya Moonton ini sudah beberapa tahun memiliki kompetisi level profesional, baik Mobile Legends Professional League (MPL) yang berskala nasional ataupun Mobile Legends Southeast Asia Cup (MSC) yang berskala regional Asia Tenggara.

Dengan maraknya turnamen tersebut, tak heran bila kemudian banyak juga pemain Mobile Legends amatir yang terinspirasi untuk bertanding juga. Banyak organizer independen sudah mengadakan turnamen, baik secara lokal di daerah-daerah maupun secara online. Tapi itu semua skalanya masih kecil dan tak resmi. Kini, Moonton menyediakan wadah kompetisi amatir resmi yang bernama Mobile Legends Intercity Championship (MIC).

Luis Andre
Luis Andre, Esports Manager Moonton | Sumber: Dokumentasi Moonton

“Dengan rangkaian acara skala besar yang disiapkan pada tahun 2019 seperti MPL Season 3, MSC 2019, kami tidak pernah melupakan penggemar MLBB di Indonesia. MIC adalah jawaban untuk para penggemar semua kota di Indonesia!” demikian pernyataan Luis Andre dari Moonton dalam siaran pers.

MIC memang dirancang agar tak kalah heboh dengan turnamen profesional resmi. Bukan hanya satu lokasi, kompetisi ini digelar di 8 kota besar berbeda Indonesia yaitu Palembang, Medan, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Turnamen digelar 1 bulan sekali di masing-masing kota, sehingga total periode kompetisi MIC adalah 8 bulan.

Tim yang berhasil menjadi juara nantinya akan mendapat gelar “Legends of Nusantara”. Moonton juga menyediakan hadiah total senilai US$5.000 (sekitar Rp72 juta) dan Diamond MLBB sebanyak 162.000 Diamond. Uniknya, pemenang dari turnamen sebuah kota akan ditandingkan melawan pemenang kota berikutnya dalam ronde yang bernama City Fight, seperti perjalanan pendekar yang berkelana untuk mencari lawan terkuat.

MIC Pengunjung
Suasana pengunjung MIC | Sumber: Dokumentasi Moonton

Hingga kini sudah ada 3 kota yang telah menyelenggarakan MIC, yaitu Medan, Palembang, dan Bandung. Untuk MIC Medan, acara diadakan di Centre Point Mall dan telah rampung pada tanggal 23 – 24 Maret 2019 kemarin. Pemenangnya yaitu tim Xavier Maze. Selanjutnya adalah MIC Palembang yang berlokasi di OPI Mall Palembang tanggal 20 – 21 April lalu. Di sini tim Kaizer Coeg keluar sebagai juara, namun ketika beradu melawan Xavier Maze di babak City Fight, Kaizer Coeg harus takluk.

Turnamen ketiga yaitu MIC Bandung, bertempat di Istana BEC pada tanggal 18 – 19 Mei. Tim OPI Bandung keluar sebagai juara, dan mereka juga berhasil mengalahkan tim Xavier Maze dalam babak City Fight. Artinya OPI Bandung berhak maju ke City Fight berikutnya untuk menantang juara kota lainnya.

MIC Palembang
Juara MIC Palembang | Sumber: Dokumentasi Moonton

Masih ada 5 kota lagi akan kedatangan turnamen Mobile Legends Intercity Championship. Bila Anda ingin berpartisipasi syaratnya cukup mudah, hanya perlu memiliki tim beranggota minimal 3 orang dan Kartu Tanda Penduduk yang sesuai dengan lokasi kota MIC berikutnya. Kemudian setelah mendaftarkan diri Anda akan mengikuti babak kualifikasi online dulu sebelum maju ke babak utama.

Untuk info lengkapnya Anda dapat mengunjungi media sosial Instagram di akun @mlbbesport.id. Siapakah yang akan menyandang gelar Legends of Nusantara di tahun 2019 ini?

Observer dan Referee, Pekerjaan Penting yang Tersembunyi di Balik Hingar Bingar Esports

Masih banyak yang salah kaprah bahwa karier di esports hanyalah soal menjadi atlet saja. Sebagai wajah dari esports, tak aneh jika sosok atlet adalah sosok paling disorot. Namun nyatanya, ada ragam karier yang bisa dikerjakan di dalam ekosistem esports. Selain dari pekerjaan caster yang bekerja di depan layar, ada juga banyak pekerjaan lain yang tersembunyi di balik layar. Sosok yang akan kita bahas kali ini punya tanggung jawab yang besar di dalam mempertahankan integritas sebuah event esports.

Sosok tersebut adalah observer dan juga referee. Dua sosok ini bekerja di belakang layar, yang membuat mereka kerap tidak mendapat sorotan, walau peran pekerjaanya sangat penting. Jadi apa sebenarnya tugas dari seorang observer dan referee? Bagaimana peran mereka di dalam sebuah event esports? Bagaimana nasib jenis pekerjaan yang satu ini di dalam ekosistem esports Indonesia? Kali ini Hybrid akan mengupas tuntas seputar dua pekerjaan tersebut.

Apa itu Observer dan Referee di dalam Esports?

Sebelum lebih jauh membahas pekerjaan ini di dalam ekosistem esports Indonesia, mari kita terlebih dahulu mengenal apa tugas-tugas observer dan referee. Mulai dari observer lebih dahulu, sederhananya pekerjaan ini bertugas untuk mengendalikan in-game camera di dalam sebuah tayangan esports.

Lebih lanjut tentang tugas Observer, British Esports Association menjelaskan bahwa tugas mereka termasuk: mengidentifikasi momen-momen penting di dalam permainan, memastikan kamera menyoroti aspek paling menarik di dalam suatu pertandingan, dan menyoroti momen penting untuk dijadikan replay.

Sumber: British Esports Association
Sumber: British Esports Association

Pada sebuah laman perekrutan, Riot Games mendeskripsikan beberapa kualitas diri yang perlu dimiliki dari seorang observer. Ada dua hal yang penting, salah satunya adalah mata Anda harus lihai. Maksudnya lihai adalah Anda harus memiliki tingkat fokus yang tinggi, serta mata yang terlatih supaya dapat menjaga kamera tayangan langsung in-game selalu menyorot momen yang penting, dengan keakuratan yang disebut sebagai pixel perfect accuracy.

Seorang observer juga harus fasih terhadap game yang diawasi: paham luar dalam game yang akan disoroti. Kalau dalam hal MOBA misalnya, seorang observer harus paham macro play dan alasan di balik pergerakan seorang hero. Dalam beberapa hal, sebagai indikator tingkat pemahaman sang observer terhadap game yang mereka soroti, kadang-kadang observer juga perlu memiliki rank yang tinggi terhadap game yang disoroti, 

Lalu bagaimana dengan pekerjaan referee atau wasit? Sebenarnya pekerjaan ini kurang lebih sama dengan wasit di dalam olahraga. Kembali mengutip British Esports Association, tugas dari seorang wasit adalah menjaga jalannya sebuah pertandingan, memastikan para pemain mentaati peraturan, dan berani tegas menindak tim atau oknum yang melanggar peraturan tersebut.

Sumber: British Esports Association
Sumber: British Esports Association

Selain itu, tugas wasit kadang juga termasuk, set-up perlengkapan di atas panggung, test server, merapihkan bracket, dan memastikan semuanya berjalan sesuai dengan jadwal. Referee juga punya tanggung jawab untuk menyelesaikan isu yang terjadi di atas panggung, contohnya seperti, PC yang freeze, keyboard rusak, masalah internet, atau mungkin masalah earphone yang rusak.

Maka dari itu, seorang wasit juga harus paham game yang akan mereka awasi. Mungkin tak harus paham luar dalam seperti Observer, namun setidaknya paham dasar-dasarnya. Seorang wasit juga dituntut harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, bisa menyelesaikan isu dan mengambil keputusan dengan cepat, dan tentunya berani tegas menindak segala pelanggaran.

Observer dan Referee di Ekosistem Esports Indonesia

Oke, setelah kita bicara soal definisi, tugas-tugas, serta kemampuan yang perlu dimiliki dari seorang observer dan referee; pembahasan selanjutnya adalah soal pekerjaan ini di dalam ekosistem esports Indonesia. Saya mencoba membahasnya dari dua sisi, pertama dari sisi event organizer sedangkan kedua dari sisi praktisi pekerjaan observer dan referee itu sendiri.

Untuk perwakilan dari EO, saya mewawancara Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV. Bicara soal pekerjaan ini, pertanyaan pertama yang muncul adalah, seberapa dibutuhkan pekerjaan ini di ekosistem esports Indonesia? Kalau di luar negeri, observer dan referee sudah menjadi standar, dan harus selalu ada di dalam setiap event esports. Kalau di Indonesia bagaimana?

Irliansyah Wijanarko saat presentasi di Press Conference MPL ID S2. Sumber: MLBB
Irliansyah Wijanarko saat presentasi di Press Conference MPL ID S2. Sumber: MLBB

Irli mengatakan bahwa konteks Indonesia sama dengan luar negeri. Peran dua pekerjaan ini sangatlah penting, terutama referee yang tugasnya menjaga integritas sebuah kompetisi. “Peran referee ini sangatlah vital, apalagi untuk kompetisi high level seperti MPL, MSC atau PINC. Kalau di luar negeri, perlu lisensi tertentu untuk menjadi referee esports. Kalau di Indonesia sih masih belum seketat itu, dan kebanyakan referee di Indonesia juga masih bersifat freelance.”

Walau demikian, sebagai salah satu EO besar di ekosistem esports Indonesia, Irli mengaku memiliki divisi tersendiri untuk soal referee ini. Divisi tersebut bernama League Ops Division. Divisi tersebut berisi orang-orang yang berdedikasi untuk mengurus sistem turnamen, berbagai macam hal seputar operasional sebuah kompetisi, dan termasuk mengurusi soal referee. Tetapi walau ada divisi khusus untuk wasit dan admin, Irli mengaku bahwa ia sendiri tetap butuh pekerja referee freelance.

“Salah satu contohnya sih untuk event kaya MPL, biasanya kita hire referee freelance juga. Tapi untuk liga yang sifatnya reguler seperti MPL, biasanya kita pakai sistem kontrak satu musim. Supaya integritas acaranya terjaga, dan referee-nya bisa mengikuti dari awal hingga akhir turnamen.” jawab Irli membahas soal sistem perekrutan referee RevivalTV.

Lalu, apakah mencari freelance referee atau observer itu adalah hal yang sulit? Apalagi mengingat jadwal event esports Indonesia yang sempat tumpang tindih, seperti saat ESL Clash of Nations 2019 dan Piala Presiden Esports 2019 kemarin. “Susah!” jawab Irli.

Menurutnya, mencari referee jadi sulit karena tidak banyak orang yang punya seperangkat kemampuan yang dibutuhkan. “Susahnya adalah mencari orang yang punya nyali untuk tegas, dan berani memegang teguh peraturan, walau ditekan oleh berbagai pihak.” Cerita Irli.

onic win mpl id s3
Untuk event seperti MPL, kehadiran referee ataupun observer kontrak selama satu seri biasanya menjadi penting, demi menjaga integritas acara. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Lalu bagaimana dengan pekerjaan observer? Jawabannya masih cukup senada, yaitu sulit. Irli mengatakan bahwa mencari observer biasa itu mudah, tapi yang sulit adalah mencari observer yang mahir. Menurut Irli, tantangan mencari observer adalah karena sulitnya mencari orang yang paham luar dalam terhadap gamenya, dan dapat bekerja di dalam tim bersama dengan tim produksi. “Basically dia mesti bisa baca game. Makanya menurut gue, seorang observer harus punya rank tinggi pada game yang ia kuasai. Kalau di RevivalTV, observer Mobile Legends minimal harus rank mythical glory bintang 100++.”

Setelah mendengar dari sisi EO, kami juga mewawancara salah satu praktisi observer dan referee di Indonesia. Bicara soal tantangan pekerjaan, Fadhel “ROSESA” Irawan, salah satu observer ternama di Dota 2, cerita tentang tantangan pekerjaan menjadi observer. “Kalau di event, mau itu besar ataupun kecil, tanggung jawab seorang observer itu sangat besar. Kenapa? Karena tugas observer juga menjaga mood penonton. Kalau kita miss moment, pastinya kita yang bakal disalahin. Makanya untuk observer baru biasanya belum bisa pegang event besar. Karena organizer kompetisi besar pasti butuh talenta yang berkualitas, termasuk dalam hal observing.”

Tanggung jawab pekerjaan observer memang sebegitu tinggi, begitu juga dengan referee. Seperti sudah disebutkan pada bagian awal artikel ini, bahwa referee harus menjaga pertandingan berjalan mulus dan menegakkan rules yang berlaku di dalam kompetisi tersebut.

Lebih lanjut, kami menanyakan Daniel Manurung, referee yang sudah cukup lama malang melintang di ekosistem esports Indonesia. Ia menjelaskan bahwa seorang referee harus memahami rules semua game dan tentunya juga harus netral di dalam setiap keadan. Lalu selain itu, ia juga cerita sedikit pengalamannya menjadi referee di ekosistem esports Indonesia. “Jadi referee risikonya cukup besar, dan pasti ditekan dari berbagai pihak. Contohnya kalau game telat, kadang-kadang referee yang disalahin, padahal yang telat adalah player-nya. Kalau bicara tantangan paling besar, hal tersebut adalah saat harus memberi keputusan jika ada sengketa tertentu. Hal tersebut jadi tantangan paling besar karena, kalau kita (referee) salah memberi keputusan, dampaknya sudah pasti bakal sangat fatal.”

Melihat tanggung jawab pekerjaan seorang referee dan observer yang sebenarnya sangat berat, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah bayarannya sepadan? Kalau kita kembali mengutip penjelasan British Esports Association, bayaran seorang observer dan referee sebenarnya cukup lumayan di luar negeri sana.

Sumber: Tilt Report
Pekerjaan observer tentu bukan sesuatu yang mudah. Bayangkan Anda harus terus fokus memperhatikan momen yang terjadi di dalam game, selama sekitar 30 menit untuk game jenis MOBA. Sumber: Tilt Report

Observer dikatakan bisa menerima 250 Pound (Rp4,5 juta) sampai dengan 400 Pound (Rp7,3 juta) dalam satu seri pertandingan. Referee terbilang cenderung lebih kecil, yaitu mulai dari 50 Pound (Rp900 ribu) sampai dengan 100 Pound (Rp1,8 juta) per hari kerja. Namun bayaran seorang referee bisa sangat besar jika sifat pekerjaannya full-time. Dikatakan di sana, full-time referee bisa menerima sampai dengan 20.000 Pound (Rp365 juta) per tahun, atau sekitar 1600 Pound per bulan (Rp29 juta).

Bagaimana kalau di Indonesia? Kami pun mencoba menanyai observer dan referee lain yang tidak bisa kami sebutkan namanya di ekosistem esports Indonesia. Mereka mengakui bahwa bayaran dua pekerjaan tersebut masih terbilang kecil untuk ukuran Indonesia sekalipun. Pekerjaan observer freelance dibayar dengan cukup beragam, mulai dari Rp250-300 ribu sampai Rp500-750 ribu per harinya. Menariknya, bayaran sebesar Rp250-300ribu itu ternyata malah datang dari salah satu event esports tingkat internasional di Indonesia.

Pekerjaan referee malah lebih parah. Menurut pengakuan dari referee yang kami tanyai, ia hanya mengambil pekerjaan referee freelance yang bayarannya minimal Rp300 ribu per hari. Tapi ia juga cerita bahwa dirinya pernah dibayar sebesar Rp750 ribu ketika menjadi wasit kepala, dan mengatakan ada juga event yang membayar wasit sebesar Rp500 ribu per hari. Lalu apakah ada event yang membayar referee lebih kecil dari Rp300 ribu. Sang referee lalu menceritakan salah satu pengalamannya, “paling kecil waktu itu saya pernah dibayar Rp125 ribu lalu dipotong pajak 5%. Jadi saya terima bersih Rp115 ribu per hari, pada salah satu event esports di Indonesia.”

Seiring berkembangnya ekosistem esports di Indonesia, pekerjaan seperti esports referee atau observer kini jadi lebih dibutuhkan. Pekerjaan ini juga seperti pekerjaan shoutcaster yang jadi perangkat wajib dalam sebuah event esports offline.

Namun demikian, cukup miris melihat pengakuan dari observer dan referee soal bayaran yang mereka terima. Memang, perputaran uang di ekosistem esports Indonesia tidak sama besarnya dengan perputaran uang di ekosistem esports luar negeri. Namun, menurut saya, bayaran tersebut harusnya bisa lebih besar lagi; mengingat tanggung jawab besar yang diemban dua pekerjaan tersebut.

Akhirnya, harapannya, dengan artikel ini orang-orang mulai menyadari betapa pentingnya dua pekerjaan ini dan bayaran minimal tak akan membuat banyak orang terpacu untuk menjadi lebih baik ataupun tertarik untuk menggelutinya.

Karena idealnya, sebuah industri dapat memberikan bayaran yang sepadan dengan segala jerih payah yang dikeluarkan dan dapat menyejahterakan semua pihak yang terkait di dalamnya…

Super Evil Megacorp Umumkan Akan Hanya Beri “Dukungan” Untuk Esports Vainglory

Esports telah menjadi salah satu marketing tools yang efektif untuk memasarkan game ke berbagai khalayak belakangan ini. Apalagi untuk jenis game yang sifatnya kompetitif, seperti genre MOBA. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jenis game tersebut terasa tidak lengkap, jika tidak ada esports yang membantu memupuk perkembangan game tersebut.

Kendati demikian, Super Evil Megacorp, pengembang yang pertama kali merilis MOBA untuk perangkat bergerak, kini memutuskan untuk tidak lagi mengembangkan esports Vainglory secara aktif. Dalam sebuah post ia mengatakan bahwa SEMC akan mengambil peran suportif atau hanya memberi dukungan saja di dalam scene esports Vainglory.

Foto tim dev Super Evil Megacorp tahun 2017, saat baru pertama kali menerima pendanaan. Sumber: SEMC Official Media
Foto tim dev Super Evil Megacorp tahun 2017, saat baru pertama kali menerima pendanaan. Sumber: SEMC Official Media

Lebih lanjut, dalam postingan blog resmi tersebut, SEMC mendorong penyelenggara pihak ketiga untuk tetap menyelenggarakan kompetisi Vainglory. Nantinya, SEMC akan memberikan dukungan apapun yang bisa diberikan kepada sang penyelenggara, sementara mereka akan memfokuskan diri untuk mengembangkan game Vainglory itu sendiri.

Kejadian ini mungkin bisa dibilang sebagai puncak dari rentetan kejadian tidak menguntungkan yang menimpa Super Evil Megacorp saat mengembangkan Vainglory. Dalam artikel Hybrid yang berjudul “Senjakala Esport Vainglory: Sang Pionir yang Kini Kian Tertinggal”, saya menjelaskan bagaimana perjalanan Vainglory mulai dari puncak masa kejayaannya, sampai memasuki masa-masa berat yang dialami setelah perilisan 5v5.

Vainglory memulai perjuangannya sebagai pionir yang menciptakan scene esports pada perangkat bergerak, namun kini jadi yang paling tertinggal di antara semua MOBA perangkat bergerak lainnya. Menanggapi hal ini, Herry “Herrboy” Sudharma yang dahulu sempat aktif di komunitas Vainglory Indonesia dengan menjadi caster dan bahkan sempat menjadi pemain, turut memberikan komentarnya.

Herrboy (left) with 2 VG shoutcasters. Source: revivaltv.id
Herrboy (kiri) dengan 2 shoutcasters VG lainnya. Sumber: revivaltv.id

“Jujur gue sendiri sangat sedih mendengar ini, karena Vainglory adalah game yang mengubah hidup gue. Jadi bisa kenal banyak orang mulai player Indonesia dan internasional, kenal dengan beberapa orang SEMC dan beberapa orang yang terlibat di belakang layar event esports. Terlebih juga karena Vainglory gue dapat kesempatan berkecimpung di dunia esports sebagai player dan caster. Gue cukup yakin ini adalah keputusan sulit yang harus diambil SEMC. Tapi yang gue yakin, ini adalah keputusan terbaik untuk saat ini, baik untuk SEMC ataupun para pro player” Jawab Herry sedikit sentimental dengan pengalamannya di scene esports Vainglory.

Lalu apakah dengan ketiadaan esports akan membuat Vainglory benar-benar menjadi dead game? Pendapat Herry senada dengan apa yang saya pikirkan, bahwa esports nyatanya hanyalah sebagian kecil dari game itu sendiri. “Banyak game yang bisa bertahan meski tanpa esports. Contohnya saja seperti Clash of Clans yang bertahan hanya karena dikelola dengan baik. Positifnya adalah, walau SEMC tidak lagi mengadakan esports, namun mereka tetap mendukung gelaran esports dari komunitas; yang harapannya akan menjaga para player Vainglory untuk tetap main. Lebih jauh, kalau melihat dari sekarang memang masa depan Vainglory jadi makin sulit mengingat genre MOBA kalah pamor dengan battle royale. Tapi gue yakin SEMC pasti punya strategi agar game ini bisa tetap survive di masa depan.”

Awal senjakala Vainglory adalah tahun 2018, ketika mereka merilis 5v5. Setelah itu, mereka cukup kewalahan untuk menyeimbangkan mode baru tersebut, sampai akhirnya memutuskan untuk memberikan kepercayaan esports Vainglory pada pihak ketiga. Transisi tersebut tidak berjalan dengan baik, sampai akhirnya SEMC memutuskan mundur perlahan dari aktivitas esports Vainglory. Kristian Segerstale, CEO SEMC, bahkan mengakui bahwa tahun 2018 adalah tahun yang berat bagi esports Vainglory. Ia mengatakan kepada The Esports Observer bahwa tahun 2018 sebagai “a painful year of adjustment” atau tahun transisi yang sangat berat.

Tumbangnya scene esports Vainglory memunculkan pertanyaan tersendiri bagi kita yang mungkin hanya bisa mengamati ekosistem esports. Jadi, apakah sebuah game harus ramai untuk menjadi esports, atau harus ada esports supaya game tersebut menjadi ramai?

Bagaimana Ubisoft Membesarkan Rainbow Six: Siege dari Game Tak Laku Menjadi Esports

Dewasa ini bila kita mendengar nama Rainbow Six, biasanya judul game yang dimaksud adalah Tom Clancy’s Rainbow Six: Siege. Tapi mereka yang mengikuti perkembangan dunia game sejak lama tahu, bahwa dulu sebenarnya franchise Rainbow Six punya karakteristik yang jauh berbeda dari Rainbow Six: Siege.

Rainbow Six dulu dikenal sebagai franchise yang berasal dari novel karangan Tom Clancy berjudul sama, yang menceritakan tentang unit anti terorisme internasional dengan nama tim “Rainbow”. Karena diangkat dari novel, seri game Rainbow Six pun umumnya punya fokus yang besar di porsi permainan single player, lengkap dengan cerita yang unik di setiap entrinya. Ketika Rainbow Six: Siege diluncurkan tahun 2015, banyak penggemar kaget karena unsur naratif ternyata dihilangkan.

Gameplay inti Rainbow Six: Siege memang mendapat banyak pujian, namun kurangnya konten single player serta model bisnis game as a service (GaaS) membuat Rainbow Six: Siege kurang diminati di pasaran. Tapi Ubisoft tidak menyerah. Mereka terus mendukung game ini, dan perlahan tapi pasti, Rainbow Six: Siege tumbuh menjadi salah satu esports paling populer dunia.

Mengapa Ubisoft tidak putus asa ketika Rainbow Six: Siege kurang laku, dan bagaimana strategi mereka membesarkan Rainbow Six: Siege dari game yang tidak laku menjadi esports besar? Polygon baru-baru ini mengadakan wawancara dengan Che Chou, Senior Director of Esports di Ubisoft, tentang rahasianya.

Rainbow Six Siege - Screenshot 1
Tom Clancy’s Rainbow Six: Siege | Sumber: Steam

Percaya pada sebuah visi

Untuk mencari akar kesuksesan Rainbow Six: Siege, kita harus menengok cukup jauh ke belakang, yaitu ketika pertama kali Rainbow Six: Siege dikembangkan pada tahun 2013. Game Designer Rainbow Six: Siege, Andrew J. Witts, pernah mengatakan bahwa proyek pengembangan game ini lahir dari sebuah studi mendalam yang diadakan dengan tujuan mencari inti seri Rainbow Six yang paling mendasar, baik dari segi setting maupun gameplay. Pada akhirnya Ubisoft Montreal menyimpulkan bahwa inti seri Rainbow Six adalah tentang merasakan keseruan dan ketegangan menjadi Operator alias agen anti terorisme terbaik di dunia, bekerja sama dengan tim, serta menjalakan misi-misi berbahaya di berbagai negara.

Konsep tersebut kemudian menjadi visi utama dalam pengembangan Rainbow Six: Siege. Ubisoft Montreal sendiri mengakui bahwa mereka cukup was-was ketika mengumumkan game ini, karena perubahannya cukup drastis dibanding seri sebelumnya. Apalagi Rainbow Six: Siege sebetulnya merupakan “sisa” dari pengembangan game lain berjudul Tom Clancy’s Rainbow Six: Patriots yang dibatalkan. Franchise Rainbow Six sendiri pun merupakan salah satu seri paling terkenal yang dimiliki Ubisoft, jadi proyek ini adalah sebuah pertaruhan besar.

Meski ada rasa was-was, Ubisoft Montreal tetap teguh pada pendirian. Mereka kemudian menciptakan suatu “core loop experience” yang pada dasarnya menyerupai sebuah kompetisi atau olahraga. Memang kesuksesannya tidak datang secara instan. Namun berkat komunitas yang loyal, serta perilisan konten dan Operator baru secara rutin, pelan-pelan Rainbow Six: Siege mulai diakui sebagai sebuah olahraga sungguhan.

Karena dari awal Rainbow Six: Siege dirancang sebagai sebuah esports, mereka harus bisa menciptakan gameplay yang seimbang. Che Chou berkata, filosofi yang dipegang oleh tim developer Rainbow Six: Siege adalah bahwa game yang dimainkan di level kasual serta level profesional haruslah merupakan game yang sama. “Pada akhirnya tujuan akhir kami bukan untuk komunitas esports dan komunitas Rainbow Six kasual. Kami ingin semua pemain Rainbow Six untuk bermain bersama dan mengenal satu sama lain,” ujarnya.

Masukan dari para pro player memang menjadi salah satu pertimbangan, namun Ubisoft tidak hanya memfasilitasi kebutuhan pro player saja. Mereka ingin supaya setiap permainan terasa nyaman. Ketika seseorang memainkan Rainbow Six: Siege, ia akan bermain di level yang sesuai dengan kemampuan dia, merasakan bahwa ini benar-benar sebuah game PvP, dan merasa dirinya mengalami peningkatan skill perlahan-lahan.

Rainbow Six Siege - Screenshot 2
Rainbow Six: Siege adalah shooter yang mengutamakan elemen taktis | Sumber: Steam

Anda yang main Rainbow Six: Siege tentu tahu bahwa game ini punya sistem Matchmaking yang unik. Contohnya larangan bermain Ranked Match sebelum pemain mencapai level yang cukup tinggi, sistem “playlist” yang membuat pemain hanya bisa mengakses map tertentu tergantung mode yang dipilih, dan sebagainya. Bahkan konten single player yang ada di dalamnya pun sebenarnya merupakan tutorial terselubung yang dirancang untuk mengajari pemain memahami gameplay Rainbow Six: Siege secara menyeluruh.

Setiap cabang esports punya karakter berbeda

Rainbow Six: Siege bukanlah cabang esports terbesar di dunia. Malah tergolong kecil jika dibandingkan dengan judul-judul lain seperti Overwatch atau League of Legends. Tapi bagi Ubisoft ini bukan masalah. Justru bagi mereka memang esports Rainbow Six: Siege lebih cocok dengan gaya seperti ini, setidaknya untuk sekarang.

“Salah satu hal yang Anda pelajari seiring Anda menggeluti industri ini seperti saya adalah bahwa sebenarnya tidak ada formula yang cocok untuk semua cabang esports. Semua sangat bergantung pada game itu sendiri, komunitasnya, dan apa yang bisa mereka lakukan. Untuk kami, cara kami menangani Rainbow Six adalah dengan mengembangkan akar rumput. Jantung dari dukungan yang kami dapat datang dari komunitas; justru esports adalah komunitas itu sendiri. Jadi kami ingin memastikan kami punya fondasi yang kuat untuk para pemain di komunitas-komunitas kompetitif, dan kami mendukung mereka dalam semua ini,” papar Chou.

Rainbow Six Siege - Team Empire
Team Empire saat bertanding di Rainbow Six Pro League Season IX | Sumber: Rainbow Six Esports

Kepedulian yang kuat pada komunitas itu bisa dilihat dari struktur liga dan turnamen Rainbow Six: Siege yang diterapkan Ubisoft. Mereka memang memiliki kompetisi terbuka di mana semua orang bisa berpartisipasi, tapi mereka juga melakukan pendekatan untuk memunculkan suatu “cerita” atau hiburan tersendiri bagi komunitas Rainbow Six. Karena itulah mereka menciptakan sistem Pro League yang menyerupai liga olahraga tradisional.

Dalam sistem Pro League, tim-tim profesional bisa dipastikan akan tetap ada dalam kompetisi, namun mereka memberi ruang bagi tim-tim penantang baru untuk berjuang dan masuk ke dalam sistem. Chou berkata, “Siklus pemain baru sangat vital di dalamnya. Siklus itu vital untuk terus mendorong pergerakan akar rumput dan mendorong pemain untuk mengincar level yang lebih tinggi.” Berbeda dengan cabang-cabang esports yang mementingkan pertumbuhan cepat, Rainbow Six sejak awal sudah mengutamakan masalah regenerasi dan sustainability—dua hal yang belakangan malah baru disentuh oleh banyak cabang esports lainnya.

Ini bukan berarti Rainbow Six: Siege akan terus menggunakan pendekatan yang sama. Tergantung dari besarnya peminat dan viewership, bisa saja Ubisoft nanti menerapkan strategi berbeda. Tapi dengan ukuran esports Rainbow Six: Siege sekarang, menurut mereka taktik seperti ini adalah taktik paling cocok. Ubisoft mengerti bahwa tidak semua game harus menjadi raksasa. Di tengah demografis penggemar shooter yang begitu besar, ada ruang untuk shooter kasual seperti Fortnite maupun shooter hardcore seperti Rainbow Six: Siege.

Dari setting militer berevolusi ke fantasi

Faktor komunitas selalu menjadi perhatian besar bagi Ubisoft. Ini bukan hanya soal memanfaatkan komunitas untuk melariskan produk, tapi juga soal membuat mereka nyaman sehingga mereka menjadi basis penggemar yang loyal. Ubisoft terus bekerja untuk mengatasi masalah-masalah dalam komunitas, seperti burnout, perilaku toxic, sportivitas, hingga kesejahteraan para pemain profesional.

Rainbow Six Siege - Hibana Elite Set
Desain Rainbow Six: Siege telah berevolusi, dari militer serius ke arah fantasi | Sumber: Reddit

Chou tidak menjelaskan strateginya secara mendetail, namun yang pasti adalah bahwa Ubisoft selalu bekerja sama secara erat dengan organisasi-organisasi esports partner mereka. Ubisoft terus memastikan bahwa organisasi-organisasi tersebut paham tentang standar sportivitas serta perilaku yang mereka inginkan. Oleh karena itu, di ekosistem Rainbow Six: Siege, sikap positif pemain profesional adalah salah satu unsur penting untuk menjadikan mereka brand ambassador.

Di sisi kesejahteraan, sudah bukan rahasia bila Ubisoft sangat getol mengadakan program revenue sharing dengan tim-tim profesional. Penjualan item kosmetik, pembagian keuntungan, hingga program sponsorship kolektif adalah sebagian cara Ubisoft untuk memastikan bahwa atlet-atlet Rainbow Six: Siege punya taraf hidup yang layak. Ubisoft juga terbuka akan kemungkinan adanya atlet-atlet yang mendirikan perserikatan, namun belum merancang wujud kerja sama pasti bila itu terjadi.

Ada satu hal unik yang membedakan Rainbow Six: Siege dari game bergenre military shooter lainnya, terutama dalam dua tahun terakhir. Sebetulnya, mungkin tanpa disadari oleh para penggemar, Ubisoft telah mengganti arahan nuansa Rainbow Six: Siege dari sebuah game yang serius menjadi game yang mendekati fantasi. Ini dapat dilihat dari desain para Operator yang semakin bergaya, semakin punya karakter unik, dan semakin fiktif. “Saya mengibaratkannya seperti G.I. Joe, yaitu sebuah koalisi ‘pelangi’ berisi para prajurit yang menarik dan beraneka warna, yang berlatih bersama-sama,” cerita Chou berkelakar.

Evolusi ke arah fantasi berhasil menjadikan Rainbow Six: Siege game yang lebih aksesibel. Desain estetika di dalamnya menjadi lebih beragam, sehingga dapat menarik pemain dari lebih banyak kalangan. Ini tercermin dalam komunitas penggemar Rainbow Six: Siege secara langsung. Misalnya bila kita pergi ke acara Rainbow Six, kita akan melihat adanya komunitas-komunitas penggemar yang terdiri dari para cosplayer perempuan. Banyak pemain Rainbow Six: Siege perempuan yang sangat passionate terhadap game ini, dan hal itu bukan hal yang lazim kita temui dalam sebuah komunitas penggemar first person shooter yang taktis dan serius.

Rainbow Six: Siege saat ini telah menginjak tahun keempat. Sebagai sebuah produk, Rainbow Six: Siege telah tumbuh menjadi game yang sangat kompleks, dengan 46 Operator serta lebih dari 20 map berbeda. Sebagai cabang esports, game ini juga masih terus tumbuh, dengan turnamen yang kian besar serta jumlah penggemar yang kian banyak.

Dalam perjalanannya Ubisoft pasti akan menemukan berbagai tantangan baru, dan mungkin mereka butuh gebrakan besar untuk menghadapinya. Kita tidak tahu akan seperti apa ekosistem esports Rainbow Six: Siege dalam satu atau dua tahun ke depan. Akan tetapi selama Ubisoft terus berpegang teguh pada visi mereka, dan terus menaruh perhatian besar pada kebutuhan komunitas baik kasual maupun profesional, saya rasa kita bisa optimis bahwa Ubisoft pasti bisa menanganinya dengan baik. Semoga saja Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang memiliki iklim esports Rainbow Six: Siege yang sehat, dan menghasilkan tim-tim berprestasi baik di tingkat lokal ataupun internasional.

Sumber: Polygon

Evil Geniuses Ikat Kontrak Kerja Sama Dua Tahun Bersama Razer

Perusahaan gaming peripheral Razer baru-baru ini mengumumkan kerja sama dengan salah satu organisasi esports ternama dunia, Evil Geniuses (EG). Lewat kerja sama ini, Razer akan menyediakan segala perlengkapan gaming berkualitas tinggi untuk keperluan-keperluan latihan serta turnamen Evil Geniuses selama dua tahun ke depan. Termasuk di antaranya headset, keyboard, mouse, serta mousemat esports grade.

Ini bukan pertama kalinya Razer dan Evil Geniuses menjadi partner. Di tahun 2013 lalu, Razer pernah juga menggandeng mereka untuk meluncurkan sederet produk gaming bertema Evil Geniuses. Produk yang dimaksud mencakup keyboard BlackWidow, mouse Taipan, serta mousemat Goliathus. Karena itulah Razer berkata, “Welcome home Evil Geniuses,” saat mengumumkan kerja sama kali ini lewat media sosial.

“Team Razer bangga berpartner dengan Evil Geniuses di level tertinggi esports. Kami selalu terinspirasi oleh passion dan komitmen mereka, dan kerja sama kami akan didorong oleh keahlian serta teknologi esports terbaik,” demikian kata David Tse, Global Director of Esports Razer, dilansir dari Esports Insider.

Sejak didirikan di Singapura pada tahun 2005, Razer terkenal berani melakukan inovasi-inovasi di bidang gaming serta punya fokus yang tinggi pada kualitas. Kini, sebagai salah satu perusahaan manufaktur perangkat gaming terbesar di dunia, Razer juga sangat mendukung ekosistem esports global. Tak hanya Evil Geniuses, Razer juga mensponsori tim Alliance, Los Angeles Valiant, Gen.G Esports, dan lain-lain. Razer juga merupakan official esports partner acara SEA Games 2019.

Razer x Evil Geniuses - Products
Produk Razer bertema Evil Geniuses | Sumber: Engadget

“Kerja sama dengan Team Razer ini memberikan nilai yang sangat besar,” kata Phillip Aram, COO Evil Geniuses. “Perlengkapan gaming Razer yang berperforma tinggi adalah top-tier dan memberikan keuntungan performa baru pada pemain-pemain kami. Razer adalah brand yang sempurna untuk menikmati sukses berkelanjutan bersama dan untuk bertanding mengincar kemenangan ulang di The International.” Evil Geniuses memang pernah menjadi juara dunia Dota 2 saat mereka meraih trofi The International 2015.

Prestasi Evil Geniuses pun belakangan terbilang cukup baik, sehingga Razer tidak perlu khawatir tim ini kekurangan popularitas. Misalnya peraihan juara 3 di acara MDL Disneyland Paris Dota 2 Major, juara 1 di Call of Duty World League Championship 2018, dan juara 2 di MDL Macau 2019. Selain Dota 2 dan Call of Duty, saat ini Razer memiliki tim yang bertanding di banyak cabang esports, termasuk Fortnite, Rocket League, Rainbow Six: Siege, hingga Street Fighter V.

Sumber: Evil Geniuses, Esports Insider

PMCO SEA Week 2: EVOS Konsisten, Bigetron Tampil Membaik

Pekan lalu jadi pekan kedua dari fase liga PUBG Mobile Club Open (PMCO) SEA Spring Split. Pada pekan kedua ini, format pertandingan masih tetap sama, yaitu league round robin. 24 tim yang menjadi peserta dibagi ke dalam tiga grup, lalu setiap pekannya masing-masing grup akan saling bertemu dengan urutan berupa, grup A vs B, grup B vs C, dan grup C vs A.

Pada pekan kedua ini kejutan datang dari salah satu tim asal Thailand yang bernama ILLUMINATE The Murder (iLMN TM). Walau pekan lalu dominasi masih bisa dipegang oleh RRQ.Athena, tetapi pekan ini iLMN TM berhasil muncul ke permukaan berkat permainan mereka yang konsisten.

Sebenarnya permainan tim iLMN TM terbilang sudah konsisten dari hari ke hari, pekan ke pekan. Pekan pertama, walau mereka masih belum bisa taklukkan RRQ.Athena, namun GODDARD dan kawan-kawan masih menempel di posisi klasemen kedua. Pekan ini, entah apa yang terjadi, performa RRQ.Athena cenderung menurun. iLMN TM yang masih cukup konsisten memanfaatkan momentum ini untuk membungkam sang raja. Terbukti pada saat grup A vs B, sementara iLMN TM berjaya, RRQ.Athena hanya harus puas berada di posisi klasemen 5 dengan perolehan 120 poin saja.

Pada sisi lain, tim-tim Indonesia yang bertanding dalam gelaran ini juga tampil dengan cukup konsisten., terutama tim EVOS. Setelah mereka tampil ngotot di pekan pertama, EVOS ternyata berhasil pertahankan performa mereka di pekan kedua ini. Kendati harus berhadapan juga dengan iLMN TM , namun mereka tak gentar, dan bahkan sempat mencuri chicken dinner saat ronde ke-7.

Florian “Wolfy” George, selaku shoutcaster bahasa Indonesia yang bertugas selama gelaran liga PMCO SEA, juga turut memberi komentarnya melihat performa tim Indonesia belakangan ini. Ia memberi komentar senada, mengatakan bahwa memang performa tim Indonesia cenderung meningkat pada week 2 ini. “Peningkatan terbesar terlihat pada tim Victim. Pekan lalu mereka masih kurang maksimal. Pekan ini, menariknya mereka betul-betul naik tingkat, step-up dan mengumpulkan banyak poin, walau terasa kurang lengkap karena belum mendapat chicken dinner.” jawab Wolfy membahas performa tim Indonesia.

Sumber: Hasagi.gg
Florian “Wolfy” George, ex-pemain semi-pro League of Legends, yang kini menjadi caster bahasa Indonesia dalam gelaran PMCO SEA Spring Split. Sumber: Hasagi.gg

Untuk sementara ini, dua tim Indonesia masih mengisi posisi top 5 pada klasemen total perolehan poin. EVOS yang masih konsisten berada di peringkat 4 dengan perolehan 741 poin, sementara Bigetron yang permainannya berangsur membaik berada di peringkat 5 dengan perolehan 640 poin. Sementara itu Victim dan Onic Esports sementara ini posisinya cukup terpuruk di klasemen, walau masih di zona aman. Victim saat ini berada di peringkat 9 dan Onic Esports berada di peringkat 13.

Pertandingan pekan ketiga sudah dimulai sejak hari rabu kemarin, dan akan berlangsung sampai akhir pekan ini. Perjuangan tim Indonesia di ajang PMCO SEA dapat langsung Anda tonton pada kanal Youtube PUBG Mobile ID. Mari kita doakan para tim Indonesia agar bisa mendapat hasil yang terbaik dan mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional!

 

DreamHack Gelar Turnamen Counter-Strike: Global Offensive Khusus Kaum Hawa

Organizer kompetisi esports terkemuka dunia, DreamHack, baru-baru ini mengumumkan peluncuran turnamen Counter-Strike: Global Offensive (CS:GO) khusus perempuan yang dinamai DreamHack Showdown. Turnamen ini akan digelar bersamaan dengan ajang DreamHack Valencia yang berlangsung pada tanggal 5 – 7 Juli 2019 nanti. Dalam pelaksanaannya, DreamHack bekerja sama dengan perusahaan teknologi ZOWIE dan platform tim esports online Esport-Management.

“Inklusivitas dalam event kami adalah bagian besar dari DreamHack—kami ingin menjadi festival esports dan gaming di mana semua kalangan merasa diterima,” kata Co-CEO DreamHack AB Marcus Lindmark, dilansir dari Esports Insider. “DreamHack Showdown adalah sebuah langkah untuk membantu menciptakan momen-momen inspiratif bagi para calon kompetitor esports perempuan seluruh dunia,” lanjutnya.

DreamHack Open Tours 2019 - Mousesports
Mousesports saat menjuarai DreamHack Open Tours 2019 | Sumber: DreamHack

DreamHack menawarkan hadiah sebesar US$100.000 (sekitar Rp1,45 miliar) dalam turnamen ini. Para tim serta pemain yang turut berpartisipasi juga akan mendapat pelayanan layaknya atlet profesional, termasuk fasilitas event kelas profesional serta promosi sepanjang turnamen. DreamHack akan mengadakan kualifikasi secara online maupun offline di Amerika Utara dan Eropa, dengan jadwal kualifikasi online pada tanggal 8 – 9 Juni 2019. Dari para peserta kualifikasi, diambil 8 tim terkuat untuk tampil di panggung utama DreamHack Showdown di Valencia, Spanyol.

Katherine Amoukhteh, VP of Global Marketing Esport-Management, berkata, “Fokus kami adalah mendukung esports di level akar rumput dan menciptakan diversitas di esports lewat kerja sama dalam inisiatif yang mengubah industri seperti DreamHack Showdown. Kami percaya akan ekosistem esports di mana setiap gamer dapat berjuang untuk menjadi gamer kompetitif di lingkungan yang profesional dan suportif, dan DreamHack Showdown adalah kesempatan untuk menunjukkan hal ini di berbagai level: untuk merayakan para wanita yang saat ini ada di industri gaming, menginspirasi mereka yang ingin berpartisipasi, dan—lewat platform kami—melengkapi mereka dengan tools untuk menjadi juara berikutnya.”

ZOWIE juga berencana memberikan kesempatan kompetisi bagi para pemain Asia lewat event bertajuk ZOWIE DIVINA Women’s Asia CS:GO Championship 2019. Acara ini akan digelar di kota Shanghai, Tiongkok, pada tanggal 20 – 23 Juni, dan berperan sebagai kualifikasi LAN Asia untuk DreamHack Showdown. Dua tim terbaik di turnamen ini berhak untuk tampil live di babak final di Valencia.

“Pada tahun 2012, ZOWIE memulai inisiatif DIVINA untuk mendukung esports perempuan. Tujuannya adalah memberikan kaum perempuan lebih banyak kesempatan untuk menunjukkan talenta mereka dan menjembatani jarak untuk mengejar karier esports profesional,” kata Chris Lin, Director of Esports BenQ.

“Kami terus melanjutkan tujuan itu, tidak hanya lewat kerja sama ini tapi juga dengan memberikan tim-tim di wilayah Asia kesempatan untuk bertanding di lingkungan LAN. Asia adalah salah satu wilayah di mana exposure demikian masih sangat kurang, dan kami rasa pengalaman yang didapat tim dari turnamen ini akan sangat berharga dalam mengembangkan skena esports di negara dan komunitas masing-masing. Kami sangat gembira dapat bekerja dengan DreamHack untuk menghadirkan kejuaraan CS:GO paling profesional bagi perempuan hingga saat ini,” paparnya.

Sumber: Esports Insider

Daigo Umehara Ingin Unsur “Gambling” Dihilangkan dari Street Fighter

Dengan jumlah penjualan mencapai 3,1 juta kopi serta iklim kompetitif yang masih ramai hingga sekarang, Street Fighter V dapat dibilang termasuk judul yang cukup sukses bagi Capcom. Tapi game ini juga diselimuti oleh segudang kontroversi. Mulai dari praktik DLC yang dirasa terlalu banyak, masalah teknis seperti waktu loading yang lama, hingga unsur gameplay yang dirasa terlalu memanjakan pemula, keluhan penggemar seolah jadi menu sehari-hari media sosial Street Fighter dalam 3 tahun terakhir.

Di tengah diamnya Capcom terhadap konten Street Fighter V Season 4, gosip tentang dikembangkannya Street Fighter VI pun muncul. Apakah Street Fighter VI dapat memperbaiki semua kekurangan yang ada di Street Fighter V, saat ini kita belum bisa memastikan. Tapi para penggemar berat seri fighting game ini tentu punya ekspektasi tertentu. Termasuk Daigo Umehara, sang atlet esports dan ikon Street Fighter yang melegenda.

Daigo Umehara - NorCal 2019
Daigo melawan Tokido di turnamen NorCal Regionals 2019 | Sumber: Daigo Umehara

Daigo menyampaikan beberapa harapannya terhadap Street Fighter VI dalam siaran live streaming yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh channel YouTube FGC Translated. Hal utama yang disebutkannya adalah bahwa jika kita ingin Street Fighter VI menjadi sebuah esports, maka fitur yang memungkinkan “comeback” secara mudah haruslah dihilangkan.

Bukan berarti Street Fighter VI tidak boleh memiliki faktor comeback sama sekali. Menurut Daigo, bila faktor comeback itu hanya berpengaruh sedikit maka tidak apa-apa. Tapi faktor comeback yang besar membuat Street Fighter jadi memiliki unsur keberuntungan (gambling), dan ini menjadikannya bukan sebuah “olahraga” sungguhan. Contohnya adalah sistem meter Revenge Gauge (Ultra Combo) di Street Fighter IV. Meter seperti ini tidak terisi ketika kita menyerang, tapi justru terisi ketika kita diserang lawan.

Ultra Street Fighter IV
Ultra Street Fighter IV | Sumber: Steam

“Anda mengisi faktor comeback terus-menerus dengan cara terpukul. Ini kan, tidak masuk akal. Ini kebalikan dari olahraga pertarungan pada umumnya,” demikian ujar Daigo. Ia merasa bahwa meter super seperti Critical Art atau V-Trigger seharusnya terisi ketika kita menyerang, sehingga pemain akan mendapat imbalan dari permainan ofensif. Fighting game zaman dulu sudah menggunakan konsep seperti ini, jadi penerapan konsep serupa seharusnya tidak mustahil.

Daigo berkata bahwa fitur-fitur comeback dikembangkan untuk membuat Street Fighter lebih mudah diterima oleh pemain baru. Hal ini wajar, karena ada masa di mana fighting game kurang diminati dan jumlah pemainnya menurun drastis. Tapi sekarang fitur tersebut sudah tidak diperlukan lagi. “Sekarang, banyak pemain muda yang kuat. Dulu mungkin sulit bagi pemain-pemain muda untuk masuk ke dalam komunitas fighting game. Tapi saya rasa sekarang sudah tidak demikian,” kata pria yang dijuluki “The Beast” ini.

Rumor yang beredar di GameFAQs mengatakan bahwa Street Fighter VI dan Marvel vs. Capcom 4 sedang dalam pengembangan untuk console generasi berikutnya. Itu artinya mungkin kita tidak akan mendengar kabar resmi tentang dua game tersebut dalam waktu dekat. Akan tetapi usulan yang diberikan Daigo terdengar bagus dan cocok untuk membuat Street Fighter VI jadi game yang seru untuk dinikmati secara kompetitif. Semoga saja Capcom mengabulkan harapan-harapan tersebut.

Sumber: EventHubs, FGC Translated

SFI Queen, Sang Srikandi Mobile Legends, Juarai FSL Indonesia Qualifier

Prestasi di kancah esports sebenarnya bukan monopoli para Arjuna saja. Walau jumlahnya tak banyak, namun juga ada para Srikandi esports yang tak mau kalah dengan para lelaki. Selain dari EVOS.Galaxy Sades yang sebegitu kuat di kompetisi ladies, sampai dinobatkan sebagai ratunya kancah Point Blank Indonesia, ternyata baru-baru ini juga ada SFI Queen yang menunjukkan tajinya. Tim Mobile Legends ladies yang satu ini baru saja lolos ke tingkat Asia Tenggara setelah menjadi juara di Female Esports League Indonesia Qualifier 2019.

Akhir pekan lalu (19 Mei 2019), mereka berhasil lolos dari kualifikasi Indonesia dengan catatan yang sangat baik, tak terkalahkan satu kalipun oleh tim lain yang berusaha menjatuhkan mereka. Padahal penantang mereka datang dari nama-nama yang cukup besar di esports Indonesia. Dari 16 tim peserta FSL Indonesia Qualifier, terselip tim seperti Saints Ladies atau tim campuran Winda “Earl” Lunardi yang bernama Pokemon.

Sumber: Instagram @sfiesportsteam
Sumber: Facebook @FSLMobileGames

Lolos dari kualifikasi Indonesia, perjuangan SFI Queen berlanjut pada 8-9 Juni 2019 mendatang. Mereka akan bertanding dalam kompetisi FSL Elite, yang akan diselenggarakan di Singapura, melawan tim Mobile Legends perempuan terhebat dari berbagai negara di regional Asia Tenggara. Saat ini sendiri sudah ada Bren Esports Victress dari kualifikasi Filipina dan Venus Vixens dari kualifikasi Myanmar, yang siap menghadang mereka di gelaran utama FSL Elite 2019.

Selain dari dua tim tersebut, masih tersisa satu kualifikasi terakhir sebelum menuju gelaran final, yaitu kualifikasi SG/MY yang diselenggarakan pada 25-26 Mei. Menghadapi kompetisi yang cukup besar dan melihat torehan prestasi SFI Queen pada gelaran kualifikasi Indonesia, saya cukup penasaran dan mewawancara kapten tim SFI Queen, Violetta “Caramel” Aurelia.

Bercerita tentang asal usul terciptanya SFI Queen, Caramel mengatakan bahwa tim Mobile Legends perempuan dari SFI Esports ini sudah terbentuk sejak Agustus 2018. “Awalnya kami terbentuk untuk wacana akan diadakannya MPL Ladies. Walau MPL Ladies akhirnya belum juga terlaksana, tapi kami tetap mempertahankan tim ini, dan coba ikut turnamen umum. Sampai akhirnya ada pengumuman kompetisi FSL yang bikin tim kami excited, dan latihan lebih giat lagi.” Jawab Violet.

SFI Queen terbilang cukup getol latihan sehari-harinya. Violetta bercerita bahwa tim mereka sudah punya jadwal latihan rutin tersendiri. “Tapi setelah mendengar pengumuman FSL, latihan kami diperketat, durasinya ditambah, dan meningkatkan komitmen antar player juga.” cerita Violet.

Sumber: Instagram @sfiesportsteam
Sumber: Instagram @sfiesportsteam

Ternyata berkat latihan keras tersebut, terbukti SFI Queen bisa menang sapu bersih, tak terkalahkan satu pertandingan pun sepanjang fase kualifikasi. “Pas menang, kita seneng banget, apalagi kita menang mulus tanpa kecolongan skor, mulus sampai final. Tapi sebenarnya kami juga sudah cukup percaya diri bakal lolos, karena tahu nggak semua tim punya komitmen latihan seperti tim kami.” kata Violetta.

Jelang FSL Elite, bagaimana persiapan SFI Queen menghadapi kompetisi tersebut. Violetta mengatakan, salah satunya adalah dengan latihan yang lebih intensif. Intensif yang bagaimana? Yaitu dengan fokus bootcamp, alias latihan bersama di dalam satu tempat, supaya lebih fokus, bisa lebih mantap, dan membangun chemistry antar anggota tim SFI Queen.

Caramel juga bercerita, bahwa ia dan kawan-kawannya cukup optimis untuk kompetisi ini. “Walau kami was-was dengan tim Bren Victress, tapi kami tetap optimis untuk FSL Elite nanti. Pastinya kami akan berusaha yang maksimal agar Indonesia bisa menjadi juara satu di kompetisi setingkat Asia Tenggara.”

Sumber: Instagram @sfiesportsteam
Sumber: Instagram @sfiesportsteam

Terakhir, Violetta juga bercerita soal harapannya terhadap scene esports perempuan dan juga para srikandi esports yang ada di luar sana. “Kalau soal harapan terhadap scene, tentunya kompetisi seperti FSL ini bisa terus ada. Bahkan kalau bisa, pada suatu hari nanti ada liga format liga seperti MPL untuk para ladies. Kalau bicara pesan-pesannya untuk para srikandi esports lainnya, kembangkan terus skill individu, teamwork, dan chemistry. Harus pantang menyerah!”

Mari kita doakan agar Caramel dan kawan-kawan SFI Queen bisa mendapatkan hasil yang terbaik di gelaran FSL Elite 2019, yang akan diselenggarakan pada 8-9 Juni mendatang. Maju terus Srikandi esports Indonesia!