The Settlers Versi Reboot Siap Menyapa Para Penggemar Game RTS pada Bulan Maret

The Settlers, seri game RTS lawas yang cukup populer di tahun 90-an, bakal kembali menyapa para penggemar game strategi tahun ini. Setelah mengalami beberapa penundaan, reboot The Settlers ini akan resmi meluncur pada tanggal 17 Maret 2022 mendatang.

Tanpa menghitung sejumlah judul spin-off-nya, total ada tujuh game The Settlers yang diluncurkan dari tahun 1993 sampai 2010, sebelum akhirnya franchise ini vakum selama satu dekade lebih. Di tahun 2014, Ubisoft sebenarnya sempat menggarap game The Settlers yang ke-8, akan tetapi game tersebut batal dirilis setelah menerima respons negatif selama masa pengujian closed beta-nya.

The Settlers versi reboot ini pertama kali diumumkan pada event Gamescom 2018, dengan rencana awal perilisan di tahun 2019. Jadwalnya lalu mundur hingga kuartal ketiga 2020, namun seperti yang kita tahu, pandemi COVID-19 melanda, dan di bulan Juli 2020 Ubisoft memutuskan untuk kembali menundanya. Well, semoga saja kali ini tidak mundur lagi.

Dibandingkan game-game RTS lain, The Settlers memang tidak terlalu mengedepankan aspek kompetitif dan bisa dimainkan secara cukup santai. Hal ini semakin dimantapkan berkat visualnya yang apik dan mendetail, dan di versi reboot-nya ini, The Settlers digarap menggunakan engine Snowdrop yang terkenal punya visual beserta tingkat detail yang memukau.

Selain campaign dengan cerita yang mendalam, The Settlers juga menawarkan beberapa mode permainan lain seperti mode skirmish dan onslaught, termasuk halnya mode multiplayer yang mendukung hingga 8 pemain. Ada tiga faksi berbeda yang dapat dimainkan — Elari, Maru, dan Jorn — serta beberapa bioma yang bisa dieksplorasi di The Settlers.

Bagi yang sudah tidak sabar dan ingin segera memainkannya, Anda bisa mengikuti program pengujian closed beta The Settlers yang akan segera berlangsung mulai tanggal 20 sampai 24 Januari 2022. Selama masa closed beta, hanya ada mode skirmish 1v1 dan 2v2 yang bisa dimainkan di dua map yang berbeda. Kalau tertarik, Anda bisa mendaftarkan diri di situs resminya.

Sumber: PC Gamer dan Ubisoft.

Acara Awards dan Penghargaan Tahunan di Industri Game, Pentingkah?

Jika industri film punya Academy Awards alias Oscars, industri game punya The Game Awards. Namun, sementara penyelenggaraan Oscars 2021 sempat ditunda karena lockdown, TGA 2021 tetap diselenggarakan seperti biasa. Salah satu alasannya adalah karena sejak pertama kali diadakan pada 2014, TGA memang lebih fokus pada siaran online daripada siaran di TV.

Faktanya, TGA 2021 justru baru saja memecahkan rekor jumlah penonton terbanyak, menurut laporan ScreenRant. Pada tahun ini, jumlah penonton TGA 2021 mencapai 85 juta orang, lebih banyak 2 juta daripada jumlah penonton pada tahun lalu. Selain itu, TGA 2021 juta memecahkan rekor Watch Time di YouTube, dengan total viewership mencapai 1,75 juta jam di platform video tersebut.

Pertanyaannya: seberapa penting The Game Awards untuk industri game?

Awal Mula The Game Awards

The Game Awards pertama kali diadakan pada 2014. Geoff Keighley, jurnalis game asal Kanada, merupakan kreator di balik awards show tersebut. Kali pertama Keighley melibatkan diri dalam acara penghargaan game adalah pada 1994, yaitu dengan Cybermania ’94: The Ultimate Gamer Awards. Walau acara tersebut dianggap kurang sukses, ia berhasil membuat Keighley tertarik untuk membuat acara game awards-nya sendiri.

Pada 2003, Keighley bekerja untuk Spike, saluran televisi kabel dan satelit asal Amerika Serikat. Ketika itu, dia menjadi produser dari Video Game Awards (VGA). Selain sebagai produser, dia juga sering menjadi host dalam acara tersebut. Tujuan dari VGA adalah untuk memamerkan game-game yang diluncurkan dalam satu tahun.

Spike memberikan dukungan besar untuk penyelenggaraan VGA. Pada 2012, mereka bahkan mengajak Samuel L. Jackson sebagai host dari acara itu. Namun, pada 2013, dukungan Spike untuk VGA surut. Alasannya, karena mereka ingin mengurangi program yang ditujukan untuk penonton laki-laki. Setelah itu, Spike mengubah nama VGA menjadi VGX, untuk menunjukkan bahwa acara itu akan fokus ke konsol terbaru saat itu, yaitu PlayStation 4 dan Xbox One.

Samuel L. Jackson di VGA. | Sumber: USA Today

Acara VGX di 2013 dianggap mengecewakan, karena porsi iklan yang sangat besar. Meskipun begitu, Spike tetap menawarkan Keighley untuk mengadakan VGX di tahun 2014, dengan syarat, acara itu hanya akan ditayangkan secara online, tapi tidak di TV. Keighley akhirnya memutuskan untuk keluar, sementara hak kepemilikan atas VGX tetap dipegang oleh Spike. Di 2014, Spike mengumumkan bahwa mereka memutuskan untuk berhenti mengadakan VGX sama sekali.

Sementara itu, Keighley mencari dukungan dari perusahaan konsol — Microsoft, Nintendo, dan Sony — serta beberapa publisher ternama untuk membuat awards show baru. Dan lahirlah The Game Awards. Di awards show itu, Keighley juga menanamkan modal sebesar US$1 juta.

Sejak awal, Keighley fokus untuk menayangkan TGA di platform streaming. Sekarang, awards show itu disiarkan di lebih dari 45 platform streaming di dunia, termasuk lebih dari 20 platform di Tiongkok, 7 di India, dan 4 di Jepang. Keputusan Keighley untuk fokus pada siaran online berbuah manis. Dari tahun ke tahun, jumlah penonton TGA menunjukkan tren naik. Sebaliknya, jumlah penonton Oscars justru terus turun. Tahun ini, jumlah penonton Oscars hanya mencapai 9,23 juta orang, turun 51% dari 18,7 juta orang pada 2020.

“Saya ingin menjadikan The Game Awards sebagai awards show terbesar di dunia,” kata Keighley pada Protocol. “Oscars punya reputasi cemerlang. Dan walau game punya industri yang lebih bsear dan merupakan media yang lebih powerful dari media hiburan lain, game tetap tidak mendapatkan penerimaan yang sama dari masyarakat. Banyak orang yang memiliki persepsi yang salah akan game dan tetap tidak mau menganggap game sebagai media yang powerful. Jadi, kami punya kesempatan untuk tidak hanya menunjukkan bahwa game punya arti penting bagi para core gamers, tapi juga menampilkan sisi terbaik dari industri game.”

Walau The Game Awards sering disebut sebagai “Oscars untuk game“, TGA punya beberapa perbedaan dengan awards show di industri film itu. Salah satunya, TGA tidak hanya fokus untuk mengumumkan game-game yang berhasil memenangkan berbagai kategori, awards show itu juga menjadi ajang bagi perusahaan game untuk memberikan pengumuman penting akan rencana mereka di tahun berikutnya. Misalnya, Microsoft mengumumkan rencana mereka untuk meluncurkan Xbox Series X pada TGA 2019. Selain itu, keberadaan sejumlah game diungkap dalam TGA, seperti Far Cry New Dawn dari Ubisoft, Marvel: Ultimate Alliance 3 dari Nintendo, dan Mortal Kombat 11 dari Warner Bros. Interactives.

“The Game Awards berhasil menjadi salah satu acara tahunan terbesar dalam industri game karena acara tersebut berhasil membangun hubungan erat dengan komunitas gamers di seluruh dunia,” kata David Haddad, President, Warner Bros. Interactive pada The Hollywood Reporter. “Kami memilih untuk mengumumkan Mortal Kombat 11 di Game Awards karena kami ingin menarik perhatian banyak gamers di dunia.”

Tak hanya peluncuran game baru, TGA juga bisa menjadi ajang promosi untuk sejumlah film. termasuk Shaft, Aquaman, dan Birds of Prey dari Warner Bros. Andrew Hotz, Executive VP Global Digital Marketing dan Chief Data Strategist, Warner Bros. menjelaskan, alasan mereka mempromosikan film mereka di TGA adalah karena setiap kali mereka melakukan hal itu, film yang mereka promosikan akan menjadi bahan pembicaraan di media sosial.

Mekanisme The Game Awards

“Best Game of The Year” adalah penghargaan paling tinggi yang diberikan dalam The Game Awards. Pertanyaannya: bagaimana cara untuk mengukur kualitas game, ketika penilaian gamers akan game yang mereka mainkan sangat subjektif? Gamers yang memang suka dengan game dengan narasi berbobot cenderung suka dengan game-game single-player. Namun, gamers yang menganggap gaming sebagai kegiatan sosial justru akan lebih sering memainkan game-game multiplayer.

Menentukan game terpopuler justru lebih mudah daripada game terbaik. Karena, popularitas bisa diukur menggunakan pemungutan suara. Sayangnya, popularitas bukan jaminan kualitas. Game yang menjadi pembicaraan banyak orang belum tentu sudah sempurna. Mari kita jadikan Cyberpunk 2077 sebagai contoh. Walau game itu dibicarakan banyak orang — sebelum dan sesudah diluncurkan — game itu dipenuhi dengan banyak bugs ketika diluncurkan. Bahkan, game buatan CD Projekt itu sempat ditarik dari PlayStation Store oleh Sony, meski game tersebut kemudian kembali tersedia di toko digital itu.

Jadi, bagaimana cara TGA untuk memilih “Best Game of The Year” atau game pemenang dalam kategori lain? Dalam situs resminya, TGA menjelaskan bahwa pemenang penghargaan ditentukan berdasarkan pemungutan suara dari para juri dan juga masyarakat umum. Gamers bisa memberikan suaranya melalui situs TheGameAwards.com atau melalui media sosial. Bagi gamers Tiongkok, mereka bisa ikut dalam pemungutan suara melalui Bilibili. Satu hal yang harus diingat, bobot penilaian para juri jauh lebih besar daripada suara para gamers. Pemungutan suara para juri memiliki bobot 90%, dan voting dari para gamers 10%.

Beberapa proses dalam TGA. | Sumber: TheGameAwards

Di situs resminya, TGA juga mengungkap mengapa mereka tidak menentukan pemenang penghargaan berdasarkan pemungutan suara para gamers. Salah satu alasannya, karena hal ini dianggap tidak adil bagi game yang hanya diluncurkan dalam satu platform. Jika sebuah game diluncurkan secara eksklusif untuk satu platform, maka jumlah pemain dan fans dari game itu pun akan lebih sedikit dari game yang diluncurkan di banyak platform. Jadi, game-game eksklusif akan punya kemungkinan yang lebih kecil untuk menang, jika TGA menggunakan sistem voting. Selain itu, TGA juga ingin memastikan bahwa pemenang dari TGA tidak bisa dimanipulasi melalui media sosial.

Sama seperti Oscars atau awards show lainnya, The Game Awards juga punya daftar nominasi untuk setiap kategori. Menentukan game-game yang masuk nominasi melibatkan lebih dari 100 juri. Para juri terdiri dari perusahaan media dan influencer gaming. Jika juri merupakan perusahaan media, maka daftar nominasi yang mereka berikan merupakan cerminan dari pendapat semua karyawan perusahaan. TGA memilih para juri berdasarkan rekam jejak mereka dalam memberikan penilaian pada sebuah game.

Setiap juri bisa menominasikan lima game dalam satu kategori. Setelah suara para juri dikumpulkan, TGA akan memilih lima game yang mendapatkan suara paling banyak dari para juri untuk masuk nominasi. Bobot suara dari masing-masing juri sama. Jadi, tidak ada juri yang memiliki hak veto. Untuk kategori khusus — seperti esports dan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas — TGA akan meminta bantuan dari juri-juri khusus.

The Game Awards menganggap, menggabungkan sistem voting antara para juri dan masyarakat umum merupakan cara paling efektif untuk bisa memberikan penilaian kritis akan sebuah game. Meskipun begitu, saya percaya, setiap juri dalam TGA tetap punya bias subjektif. Selain itu, kemungkinan besar, para juri akan memilih game AAA atau game indie yang memang tengah populer. Alasannya, mereka tidak mungkin bisa mengetahui — apalagi memainkan — semua game yang diluncurkan dalam satu tahun. Di Steam saja, jumlah game baru yang diluncurkan sepanjang 2020 mencapai lebih dari 10 ribu game. Dan angka itu belum mencakup game-game yang diluncurkan untuk konsol.

Jumlah game yang diluncurkan di Steam dari tahun ke tahun. | Sumber: Statista

Selain subjektivitas para juri, masalah lain yang mungkin muncul di The Game Awards adalah tentang metode pengelompokkan game. Genre menjadi salah satu cara untuk mengategorikan game. Hanya saja, belakangan, semakin banyak game yang mencampuradukkan genre yang sudah ada. Sebagai contoh, Borderlands. Game itu masuk dalam kategori FPS karena ia memang merupakan game shooter dengan sudut pandang orang pertama. Di sisi lain, Borderlands juga bisa dikategorikan sebagai RPG karena game itu memiliki sistem progression, seperti level karakter dan skills.

Padahal, TGA punya kategori Best Action Game, Best Action/Adventure Game, dan Best Role-Playing Game. Jika sebuah game menggabungkan beberapa genre tersebut, apakah hal itu berarti mereka bisa dinominasikan dalam semua kategori itu?

The Game Awards vs Oscars

Jumlah penonton Academy Awards menunjukkan tren turun, menurut data dari Statista. Pada 2010, jumlah penonton Oscars mencapai 41,62 juta orang. Angka ini turun menjadi 9,85 juta orang pada 2021. Meskipun begitu, Oscars punya fungsi tersendiri di industri film. Salah satunya, sebagai bukti pengakuan industri akan bakat seseorang atau kualitas dari sebuah film. Bagi aktor atau aktris, memenangkan atau hanya masuk dalam nominasi Oscars bisa membantu mereka untuk mengembangkan karir mereka. Sementara bagi studio film, menjadi pemenang atau nominasi Oscars bisa menjadi alat untuk mempromosikan film mereka.

Jumlah penonton Oscars di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

“Pertanyaan akan relevansi dari Academy Awards telah muncul sejak lama,” kata seorang awards strategist yang memberikan konsultasi pada sejumlah studio besar pada Washington Post. Dia rela diwawancara, tapi enggan untuk disebutkan namanya. “Para pelaku industri film ingin mendapatkan penghargaan demi memuaskan ego mereka dan karena penghargaan itu bisa membantu karir mereka. Sementara pihak studio ingin membantu para talents di industri film karena hal itu akan membantu mereka.”

Menariknya, Academy Awards pertama kali diadakan untuk mencegah para pekerja di industri film — seperti sutradara, aktor, dan penulis skenario — untuk membentuk perserikatan. Tujuan lainnya adalah untuk membangun reputasi Hollywood di mata masyarakat umum. Jadi, walau Oscars merupakan bentuk apresiasi industri film pada orang-orang berbakat di dalamnya, penghargaan itu juga penuh dengan intrik politik di belakang layar, ungkap analis film industri film, Stephen Follows.

Follows menegaskan, film yang memenangkan Oscars tidak selalu merupakan film terbaik yang dirilis pada tahun itu. “Semakin banyak data yang saya amati, semakin banyak orang yang saya ajak bicara, semakin saya sadar bahwa para pemimpin politik industri film selalu mempekerjakan orang-orang terbaik,” katanya pada Washington Post.

Salah satu orang yang memperlakukan Oscars seperti pemilihan umum adalah Harvey Weinsten, seorang produser yang memiliki dua perusahaan: Miramax dan Weinstein Company. Saat ini, karirnya sudah hancur karena dia terbukti sebagai pemerkosa. Namun, sebelum itu, dia memiliki taktik khusus untuk membuat film dari perusahaannya menang Oscars. Dikabarkan, dia menyebarkan kabar negatif tentang film-film yang menjadi pesaing dari film di bawah perusahannya. Dia juga berusaha untuk memenangkan hati para pemilih.

Taktik Weinsten terbukti sukses. Pasalnya, Shakespeare in Love — film buatan John Madden yang didistribusikan oleh Miramax — berhasil mengalahkan Saving Private Ryan — dari Steven Spielberg — pada Oscars 1999. Padahal, film buatan Spielberg diperkirakan akan memenangkan penghargaan Best Picture. Dan walau Weinstein kini tak lagi punya tempat di industri film, strategi yang dia gunakan untuk mempopulerkan film-film dari perusahaannya tetap digunakan sampai sekarang.

Shakespeare in Love. | Sumber: IMDB

Bagi aktor atau aktris, memenangkan atau masuk dalam nominasi Oscar merupakan pengakuan industri akan kemampuan mereka. Matt Damon bercerita, karirnya menanjak pesat setelah dia memenangkan Best Original Screenplay pada Oscars 1997. Hal yang sama terjadi pada Jennifer Lawrence, yang mulai dikenal setelah dia masuk nominasi Best Actress pada 2010.

Sayangnya, bagi sebagian aktor atau aktris, memenangkan Oscar justru merupakan bencana. Salah satu aktris yang mengalami hal ini adalah Halle Berry, aktris berkulit hitam pertama yang memenangkan penghargaan Best Actress. Dia bercerita, dia justru kesulitan untuk mendapatkan peran yang berbobot setelah memenangkan Oscars. Kepada Variety, dia menyebutkan bahwa apa yang terjadi pada dirinya sebagai “kutukan Oscar”.

Hal yang sama juga terjdi pada Rita Moreno, aktris Latina pertama yang memenangkan Oscar berkat perannya di West Side Story. Dia bercerita, walau dia mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan meriah ketika dia memenangkan Oscars, dia tidak mendapatkan banyak tawaran peran setelah itu.

“Saya mendapatkan tawaran untuk bermain di beberapa film. Kebanyakan dari film itu bercerita tentang gang, tapi dalam skala yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan West Side Story. Tentu saja, hal ini sangat megencewakan bagi saya,” ujar Moreno. Dia menambahkan, memenangkan Oscar tidak memberikan perubahan berarti untuk karirnya. Dia juga mengatakan, dia tidak berusaha untuk menjelekkan Oscars atau awards show lain, tapi, memang ada perlakuan tidak adil pada kelompok minoritas di industri film.

Secara teori, keberadaan Oscars seharusnya memberikan kesempatan bagi aktor atau aktris yang belum dikenal, membantu mereka untuk dikenal lebih banyak orang dan meningkatkan kesempatan mereka untuk mendapatkan peran penting dalam film. Dan jika mereka bisa memainkan peran penting, kesempatan mereka untuk kembali memenangkan atau masuk dalam nominasi Oscars akan menjadi semakin besar.

Hanya saja, aktor atau aktris dari kelompok minoritas justru mengalami kesulitan untuk masuk nominasi Oscars. Dan terkadang, masuk dalam Oscars justru merusak karir mereka. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam Academy Awards, menurut Franklin Leonard, produser dan pendiri dari Black List. Adanya ketidakadilan ini berarti, Oscars bisa menguntungkan kelompok tertentu, tapi justru mempersulit kelompok yang lain.

Nominasi dari Best Game of The Year.

Sekarang, mari kita bandingkan apa yang terjadi di industri film dengan industri game. Kabar baiknya, sejauh yang saya tahu, tidak perusahaan game yang breusaha melakukan lobbying untuk membuat game mereka menang atau masuk dalam nominasi di The Game Awards.

Namun, hal itu tidak mengubah fakta bahwa perusahaan-perusahaan game besar lebih diuntungkan dengan keberadaan TGA daripada developer indie. Kenapa? Seperti yang sudah dibahas di atas, ada ribuan game yang diluncurkan setiap tahun. Karena para juri di TGA tidak mungkin menilai semua game tersebut, maka kemungkinan, mereka akan menaruh perhatian pada game-game yang banyak dibicarakan oleh gamers. Dan cara perusahaan memasarkan game punya dampak langsung pada popularitas game tersebut. Tentu saja, perusahaan besar akan punya dana yang lebih besar pula untuk mempromosikan game mereka.

Jadi, pada akhirnya, walau TGA punya tujuan untuk “merayakan keberadaan game-game terbaik”, game-game yang mungkin memenangkan penghargaan di awards show itu akan terbatas pada game-game populer, yang kemungkinan dibuat oleh perusahaan game AAA.

Kesimpulan

Setiap orang punya selera masing-masing. Sebagian orang suka dengan teh, sebagian yang lain kopi atau cokelat. Bahkan di kalangan pecinta kopi pun, mereka punya selera beragam. Ada orang yang sudah puas dengan kopi sachet, ada pula yang sangat memerhatikan biji kopi yang hendak dia minum, serta cara penyajiannya. Hal ini juga berlaku untuk film dan game. Sebagian orang menonton semua film dan seri TV yang menjadi bagian dari Marvel Cinematic Universe, sementara sebagian yang lain merasa film-film superhero cenderung membosankan.

Secara pribadi, saya merasa, tidak ada yang salah dengan selera pribadi seseorang. Penyuka kopi tidak lebih baik dari penyuka teh atau cokelat. Orang yang menyukai film-film science-fiction tidak memiliki derajat yang lebih tinggi dari pecinta film romantis. Begitu juga dengan gamers. Orang-orang yang senang memainkan game-game soulslike tidak mendadak punya kasta yang lebih tinggi dari pemain game kasual. Perbedaan antara keduanya hanya waktu — dan mungkin uang — yang mereka dedikasikan untuk hobi mereka.

Mengingat selera orang berbeda-beda, maka jenis game yang mereka mainkan pun tentu saja beragam. Karena itu, saya merasa, penghargaan dalam The Game Awards bisa menjadi bukti apresiasi industri, tapi ia tidak bersifat absolut.

Misalnya, hanya karena It Takes Two memenangkan penghargaan Best Game of The Year bukan berarti semua orang yang memainkan game itu akan menyukainya. Sebaliknya, game-game yang tidak menang, atau bahkan tidak masuk nominasi di The Game Awards, juga tetap bisa dinikmati banyak orang. Buktinya, walau TGA tidak punya kategori untuk game kasual, toh game kasual seperti Candy Crush tetap bisa mendapatkan pemasukan hingga lebih dari US$1 miliar.

Esports Tourism: Bagaimana Game dan Esports Bisa Memajukan Pariwisata

Valve menyediakan 26,8 ribu tiket untuk The International 2019. Dan tiket tersebut terjual habis dalam waktu kurang dari satu menit. Hal ini menunjukkan, walau kompetisi esports bisa ditonton melalui platform streaming secara gratis, sebagian fans tetap punya minat tinggi untuk menonton kompetisi esports secara langsung. Pemerintah Indonesia melihat fenomena ini sebagai kesempatan untuk memulihkan sektor pariwisata, yang terpuruk karena pandemi COVID-19. Karena itulah, mereka hendak menggenjot sports tourism.

Apa Itu Sports Tourism dan Apa yang Sudah Pemerintah Lakukan?

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengartikan sports tourism sebagai kegiatan wisata yang digabung dengan olahraga. Sementara United Nation World Tourism Organization (UNWTO) mengatakan, ada kaitan erat antara olahraga dengan industri pariwisata. Karena, keduanya bisa mendorong jutaan orang untuk berpergian, baik untuk mengunjungi sebuah atraksi wisata atau untuk menonton kompetisi olahraga. UNWTO bahkan menyebutkan, sports tourism merupakan salah satu sektor pariwisata dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi.

Di Indonesia, Kemenparekraf mengungkap, potensi nilai sektor sports tourism mencapai Rp18.790 triliun. Sejak lama, Indonesia memang punya beberapa kegiatan olahraga yang menjadi atraksi wisata, seperti lompat batu di Nias. Sekarang, pemerintah ingin mendorong sports tourism untuk menghidupkan kembali industri pariwisata.

Salah satu ajang olahraga tingkat dunia yang digelar di Indonesia belum lama ini adalah World Superbike. Kompetisi balap motor itu diadakan di Mandalika International Street Circuit. Menurut Direktur Operasi & Inovasi Bisnis, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), Arie Prasetyo, keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan balapan tingkat dunia di sirkuit Mandalika bisa mencapai Rp500 miliar. Keuntungan itu didapat dari penjualan tiket, merchandise, reservasi hotel, serta kuliner.

“Kami melakukan studi bahwa dampak pelaksanaan event itu membawa pertumbuhan ekonomi hingga Rp500 miliar di setiap gelaran event. Dari pembelian tiket, belanja, hotel, membeli merchandise, makan minuman, dan sebagainya,” kata Arie, dikutip dari Medcom.id.

Selain itu, pemerintah juga menggelar babak final dari Piala Presiden Esports (PPE) 2021 di Bali. Harapannya, hal ini akan meningkatkan jumlah wisatawan yang pergi ke Bali. Setidaknya, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Baparekraf, Rizki Handayani Mustafa mengatakan, Bali akan dikunjungi oleh pemain, penyelenggara, dan penonton dari PPE 2021.

Perempuan yang akrab dengan panggilan Kiki itu mengatakan, memang, biasanya, pihak penyelenggara atau atlet akan langsung pulang setelah acara berakhir. Namun, pemerintah bisa bekerja sama dengan biro perjalanan untuk menyediakan paket perjalanan yang membuat para pengunjung tinggal di Bali lebih lama. Hal ini diharapkan akan meningkatkan konsumsi layanan pariwisata, seperti hotel dan kuliner.

Cokorda Raka Satrya Wibawa, Kepala Seksi Peningkatan Prestasi Olahraga, Pemerintah Provinsi Bali bercerita, dampak pandemi pada sektor pariwisata di Bali memang luar biasa. Sekitar 90% industri pariwisata di Bali terkena dampak pandemi, yang membuat kegiatan pariwisata menjadi jauh berkurang. Dengan adanya acara olahraga — termasuk Piala Presiden Esports — dia berharap, industri pariwisata di Bali akan bisa hidup kembali.

Sementara itu, Mamit Hussein, Assistant Vice President of Business Innovation, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) merasa, esports punya potensi untuk menjadi bagian dari sports tourism. Pasalnya, jumlah penonton esports saat ini sudah mencapai ratusan juta orang. Dan angka itu masih akan terus naik. Di dunia, jumlah penonton esports diperkirakan mencapai 472 juta orang. Sementara di Asia Tenggara, Niko Partners memperkirakan, jumlah penonton esports mencapai sekitar 100 juta orang.

Pemerintah memang menggelar babak final PPE 2021 di Bali dengan tujuan untuk membuat industri pariwisata kembali bergeliat. Namun, Sekretaris Jenderal Piala Presiden Esports 2021, Matthew Airlangga memastikan bahwa mereka akan tetap menekankan protokol kesehatan. Dia menyebutkan, sistem bubble akan digunakan selama PPE 2021 berlangsung.

“Sampai pertandingan selesai, kami juga akan memastikan bahwa atlet dan semua pihak yang terlibat sudah mendapatkan vaksin,” ujar Matthew. “Sebagi bagian dari sistem bubble, kami juga akan mengadakan rapid test berkala secara rutin di semua lokasi. Semua pihak yang sudah masuk ke lokasi tidak akan bisa keluar-masuk sampai pertandingan berakhir.”

Potensi Pemasukan dari Esports/Game Tourism

Kompetisi olahraga — dalam kasus ini, turnamen esports — terbukti bisa mengundang wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Pertanyaannya, berapa besar dampak ekonomi yang didapat oleh sebuah kota jika ia menjadi tuan rumah dari kompetisi esports?

Menurut data dari agensi media dan esports Big Block, turnamen Rainbow Six, Major Raleigh, memberikan dampak ekonomi langsung sebesar US$1,45 juta (sekitar Rp20,9 miliar) ke Raleigh, ibukota dari negara bagian North Carolina di Amerika Serikat. Dari segi jumlah wisatawan, Major Raleigh berhasil mendatangkan sekitar 2,6 ribu orang per hari. Sekitar 70% dari seluruh pengunjung berasal dari luar North Carolina atau bahkan dari luar Amerika Serikat. Padahal, turnamen Major Raleigh hanya diadakan secara offline selama 3 hari, yaitu 16-18 Agustus 2019 di Raleigh Convention Center.

Data tentang pengaruh dari Raleigh Major. | Sumber: The Esports Observer

Mari kita mengambil contoh lain. League of Legends European Championship (LEC) Finals diadakan di Rotterdam, Belanda pada Juli 2019. Walau hanya diadakan selama 2 hari, LEC Finals berhasil memberikan kontribusi sebesar EUR2,4 juta (sekitar Rp38,8 miliar) ke ekonomi lokal Rotterdam, menurut Riot Games. Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Riot, sebanyak 87,13% dari pengunjung yang datang untuk menonton LEC merupakan pengunjung dari luar Rotterdam. Setiap harinya, para pengunjung menghabiskan biaya rata-rata sekitar EUR52,6 (sekitar Rp850 ribu).

Semakin besar sebuah turnamen esports, semakin besar pula dampak ekonomi yang ia berikan. Ketika The International 8 digelar di Rogers Arena, Vancouver, Kanada selama 6 hari, kompetisi itu memberikan dampak ekonomi langsung sebesar CA$7,8 juta (sekitar Rp87 miliar), menurut perkiraan dari Tourism Vancouver. Penjualan tiket menjadi salah satu sumber pemasukan dari TI8. Untuk hari kerja, harga tiket dari TI8 diharga CA$75 (sekitar Rp837 ribu). Sementara tiket untuk menonton babak final di akhir pekan diharga CA$280 (sekitar Rp3,1 juta).

Jeff Lockwood, Assistant Manager, The Pint, salah satu bar yang terletak tidak jauh dari Rogers Arena mengatakan bahwa pihak event organizers sempat menghubungi The Pint untuk menyewa bar tersebut selama satu minggu. Pada akhirnya, keduanya setuju untuk menayangkan The International di bar tersebut. Lockwood mengatakan, kedatangan para fans Dota 2 membuat The Pint menjadi lebih sibuk dari biasanya.

“Para fans sangat sopan dan mereka memberikan tip yang besar,” kata Lockwood, seperti dikutip dari Vancouver Sun. “Para pekerja saya sangat senang. Karena lingkungan kerja juga jadi lebih menyenangkan.” Dia tidak menyebutkan berapa besar pemasukan ekstra yang dia dapat dengan kedatangan para fans Dota 2. Namun, dia mengaku, pendapatan The Pint memang “meningkat tajam” selama The International.

The International 8 di Roger Arena, Kanada. | Sumber: Wikipedia

Kompetisi esports besar memang bisa menarik ribuan atau bahkan puluhan ribu wisatawan. Hanya saja, turnamen esports biasanya tidak berlangsung lama. Selain itu, turnamen-turnamen besar seperti The International atau League of Legends World Championship biasanya memilih kota yang beda setiap tahun sebagai tuan rumah. Kabar baiknya, ada cara lain untuk membuat gamers tertarik mengunjungi sebuah kota sebagai turis. Ialah gaming hotel.

Di dunia, ada beberapa hotel yang menjadikan gaming hotel sebagai brand mereka, menargetkan gamers sebagai pelanggan mereka. Salah satunya adalah Arcade Hotel. Hotel yang terletak di Amsterdam, Belanda itu diklaim sebagai gaming hotel pertama. Apa yang membedakan Arcade Hotel dari hotel biasa? Di setiap kamar di Arcade Hotel, Anda akan menemukan berbagai konsol game, mulai dari konsol baru sampai konsol lawas. Tak hanya itu, Arcade Hotel juga menyediakan headset berkualitas dan internet cepat untuk para pengunjung.

Sama seperti hotel lain, Arcade Hotel punya kamar dengan ukuran yang berbeda-beda, mulai dari kamar dengan satu tempat tidur sampai kamar yang menyerupai kamar asrama dan dapat menampung hingga empat orang. Harga Single Room — untuk 1 orang — di Arcade hotel adalah EUR68,4 (sekitar Rp1,1 juta) per malam. Sementara untuk Friends Quad Room — yang bisa menampung hingga 4 orang — dihargai EUR133,2 (sekitar Rp2,2 juta) per malam. Arcade Hotel juga dilengkapi dengan Game Room, yaitu ruangan sebesar 270 kaki persegi yang dilengkapi dengan 6 PC gaming, semua konsol baru, serta bagian khusus untuk virtual reality.

Contoh gaming hotel lainnya adalah I Hotel, yang ada di Taoyuan District, Taiwan. Sama seperti Arcade Hotel, I Hotel juga menyediakan perlengkapan gaming di setiap kamar, berupa dua konsol modern dan dua PC gaming. PC gaming di hotel tersebut menggunakan prosesor i5-7400 dan GPU GTX 1080 Ti. Setiap kamar juga memiliki gaming chair serta TV 46 inci. Lobi dari I Hotel bahkan memiliki gaming arena yang bisa digunakan untuk main bersama.

Bahkan, Hilton Panama juga punya kamar khusus untuk para gamers. Memang, Hilton Panama bukanlah gaming hotel. Namun, hotel itu memiliki gaming room, yang seperti namanya, ditujukan untuk memanjakan para gamers. Kamar bernomor 2425 di Hilton Panama tidak hanya menawarkan pemandangan indah dan layanan mewah, tapi juga berbagai peralatan gaming lengkap. Di kamar itu, Anda akan menemukan TV 4K OLED, PC Alienware dengan prosesor i7-7800 dan GPU GTX 1080 Ti, konsol Xbox One Elite, laptop Alienware yang bisa dihubungkan ke monitor 34 inci, serta kursi gaming.

Gaming room yang ada di Hilton Panama. | Sumber: The Verge

Contoh gaming hotel lainnya adalah Atari Hotel, yang masih dalam tahap pembangunan. Hotel yang didesain oleh perusahaan arsitektur global Gensler itu akan dibuka di Las Vegas, Amerika Serikat, pada 2022. Hotel itu memiliki bentuk menyerupai A yang ada pada logo Atari. Konsep Atari Hotel sendiri datang dari Napoleon Smith III, pengusaha dan juga rekan dari GSD Group. Sebelum hadir dengan konsep Atari Hotel, dia memang dikenal sebagai orang yang senang menghidupkan kembali merek lama, menurut laporan Fast Company.

Smith mengatakan, Atari Hotel akan memiliki desain dengan tema gabungan antara cyberpunk dystopia dan 80s-era low-bit nostalgia. Setiap kamar akan dilengkapi dengan berbagai platform gaming dan banyak game. Kamar di Atari Hotel juga akan memiliki TV berukuran besar serta internet cepat. Smith mengatakan, target market untuk Atari Hotel adalah hardcore gamers serta keluarga.

Taman Bermain dan Kafe Bertema Game

Jika gaming hotel dirasa masih tidak cukup menarik sebagai objek wisata untuk membuat para gamers keluar rumah, taman bermain bisa menjadi opsi alternatif. Banyak gamers yang bermimpi untuk bisa masuk ke dalam dunia game favoritnya. Kabar baik bagi para fans Super Mario, mereka bisa berkunjung ke Super Nintendo World untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di dunia Super Mario.

Terletak di Universal Studios Japan, Super Nintendo World memang didesain dengan tema Super Mario. Misalnya, gerbang dari taman bermain itu merupakan pipa hijau yang menyerupai Warp Pipes dalam game Super Mario. Selain itu, pengunjung juga akan menemukan question blocks, yang bisa dipukul untuk mendapatkan koin virtual. Super Nintendo World juga punya berbagai atraksi yang menyerupai gameplay dari game Super Mario, seperti Koopa’s Challenge, yang menyerupai Mario Kart.

Tentu saja, di Super Nintendo World, para pengunjung juga akan menemukan karakter-karakter ikonik dalam Super Mario, seperti Mario, Luigi, dan Princess Peach. Mereka bisa mengambil foto bersama dengan karakter-karakter tersebut. Hanya saja, selama pandemi, pengunjung dilarang untuk menyentuh karakter-karakter itu. Selain itu, selama pandemi, Super Nintendo World juga membatasi jumlah pengunjung yang boleh masuk. Setiap hari, jumlah maksimal pengunjung dari Super Nintendo World adalah 10 ribu orang, setengah dari kapasitas maksimal taman bermain itu.

Keputusan Nintendo untuk membangun Super Nintendo World menunjukkan bahwa mereka ingin mencari cara baru dalam memonetisasi intellectual proprety (IP) mereka, seperti Super Mario.

“Nintendo memiliki strategi untuk mengalihkan bisnis mereka dari bisnis game ke bisnis hiburan. Dan strategi itu bisa memakan waktu puluhan tahun,” kata David Gibson, analis di Astris Advisory, perusahaan asal Tokyo, Jepang, seperti dikutip dari CNN.

Super Nintendo World bisa menghasilkan miliaran rupiah setiap harinya. Di hari kerja, harga tiket masuk dari taman bermain tersebut adalah 7,8 ribu yen atau sekitar Rp980 ribu. Sementara di akhir pekan, harga tiket naik menjadi 8,4 ribu yen atau sekitar Rp1,1 juta. Dengan asumsi jumlah pengunjung hanya mencapai 5 ribu setiap hari — setengah dari kapasitas yang diperbolehkan — maka setiap harinya, Super Mario World bisa mendapatkan sekitar Rp4,9 miliar atau Rp5,5 miliar. Namun, membangun taman bermain itu juga tidak murah. Untuk membangun Super Nintendo World, dibutukan waktu selama 6 tahun dan biaya sebesar US$500 juta (sekitar Rp7,2 triliun).

Sayangnya, tidak semua perusahaan game bisa melakukan apa yang Nintendo lakukan. Untuk membuat dan menyukseskan taman bermain sebesar Super Mario World, sebuah perusahaan tidak hanya harus memiliki dana yang cukup, tapi mereka juga harus memiliki IP yang dikenal oleh banyak orang. Karena itu, sebagian perusahaan game memilih untuk “hanya” membuat kafe bertema game. Dua contohnya adalah Capcom Cafe dan Square Enix Cafe yang terletak di Tokyo, Jepang.

Pada Desember 2019, Capcom Cafe mengadakan kolaborasi dengan Devil May Cry, salah satu franchise game milik Capcom. Bentuk kolaborasi ini adalah Capcom Cafe akan menyediakan menu khusus yang terinspirasi dari game Devil May Cry. Kolaborasi itu diadakan untuk merayakan Devil May Cry 5, yang dirilis pada Maret 2019. Berikut beberapa menu yang menjadi bagian dari kolaborasi Capcom Cafe dan Devil May Cry:

1. Bloody Palace BBQ Plate ~Vergil Mode~ (1,580 yen + pajak)
2. Ciacco’s Pizza Hamburger ~Dante Mode~ (1,580 yen + pajak)
3. V’s Book Chocolate Cake (1,480 yen + pajak)
4. Devil’s Chocolate Parfait ~Nero Mode~ (1,280 yen + pajak)
5. Dante (880 yen + pajak)
6. Nero (880 yen + pajak)

Menu khusus di Capcom Cafe. | Sumber: Siliconera

Di Capcom Cafe, selain makanan yang terinspirasi dari karakter-karakter Devil May Cry, pengunjung juga bisa membeli stirring sticks — yang menampilkan karakter-karakter dalam Devil May Cry — seharga 700 yen jika mereka membeli minuman. Namun, pengunjung tidak bisa memilih karakter yang muncul di stirring sticks yang mereka dapatkan, menurut laporan Siliconera.

Di Indonesia, setahu saya, tidak ada kafe khusus bertema game seperti Capcom Cafe atau Square Enix Cafe. Namun, pada November 2021 lalu, MiHoYo — developer dari Genshin Impact — mengadakan event offline, HoYo Fest, di Jakarta. Bekerja sama dengan Warung Koffie Batavia, MiHoYo membuat kafe yang bertema tiga game mereka: Genshin Impact, Honkai Impact, dan Tear of Themis, seperti yang disebutkan dalam Medcom.id.

Bagi pengunjung yang menghabiskan uang dengan nominal tertentu, mereka akan mendapatkan mystery gift box alias gacha di dunia nyata. Kotak itu berisi artwork, pin, figurine, atau merchandise lainnya. Hanya saja, orang yang mendapatkan kotak itu tidak akan tahu apa yang ada di dalam kotak tersebut sampai mereka membukanya. Selain di Indonesia, MiHoYo juga mengadakan event offline tersebut di beberapa negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia dan Singapura.

Sayangnya, eksekusi HoYo Fest di Indonesia masih kurang maksimal. Menurut laporan Risa Media, sejumlah pengunjung mengajukan protes karena kafe bertema di HoYo Fest dianggap kurang memberikan nuansa game. Dekorasi dalam kafe hanya berupa tempelan karakter dan jejeran merchandise. Tak hanya itu, penyajian makanan juga dianggap kurang memuaskan. Memang, jika Anda membandingkan tampilan pempek yang ada di HoYo Fest dengan menu makanan hasil kolaborasi Capcom dengan Devil May Cry, akan terlihat perbedaan cara penyajian makanan antara keduanya.

Kesimpulan

Dimana ada gula, di situ ada semut. Pepatah ini juga berlaku untuk para fans esports. Dimana ada kompetisi esports besar, para fans pasti akan berkumpul. Tren ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong industri pariwisata. Semakin besar turnamen esports yang diadakan, semakin besar pula massa yang mungkin datang. Hanya saja, semakin besar turnamen esports yang hendak digelar, semakin banyak pula persyaratan yang harus dipenuhi kota tuan rumah.

Sebagai contoh, sebelum pandemi, Valve sempat hendak melelang posisi kota tuan rumah dari The International. Beberapa persyaratan yang mereka ajukan antara lain koneksi internet yang cepat, transportasi umum yang baik, bandara bertaraf internasional, dan stadion dengan kapasitas sebanyak 15 ribu sampai 80 ribu orang.

Selain turnamen esports, gaming hotel atau taman bermain juga bisa menjadi objek wisata yang menarik para gamers. Hanya saja, membangun gaming hotel atau taman bermain seperti Super Nintendo World membutuhkan biaya yang besar. Alternatif yang tersedia adalah membuat kafe bertema game. Memang, kafe bertema game kemungkinan tidak akan menarik pengunjung dari luar negeri. Namun, setidaknya, keberadaan kafe bertema akan bisa membuat gamers lokal tertarik untuk datang dan menghabiskan uangnya.

Satu hal yang harus diingat, pengunjung dari kafe bertema game biasanya sudah tahu bahwa harga makanan dan minuman di kafe itu akan lebih tinggi dari biasanya. Dan mereka bersedia untuk membayar harga tersebut. Sebagai gantinya, mereka ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan selama mereka ada di kafe, baik dari nuansa yang ditampilkan oleh kafe, menu makanan/minuman, sampai gyang ada.

Remake Splinter Cell Orisinal Mulai Digarap Menggunakan Engine Milik The Division

Kabar gembira bagi para penggemar seri game stealth Splinter Cell. Setelah delapan tahun sejak terakhir melihat aksi Sam Fisher di Splinter Cell: Blacklist, kita akhirnya bakal bisa bermain sebagai agen rahasia veteran itu kembali. Namun ketimbang di sebuah game baru, Sam justru akan kembali ke game yang menjadi debut perdananya, yakni Splinter Cell orisinal.

Lewat sebuah siaran pers, Ubisoft mengumumkan bahwa mereka telah memulai pengembangan remake dari game Splinter Cell yang pertama. Berhubung ini remake dan bukan remaster, otomatis perubahan yang dibawa bakal sangat signifikan. Utamanya, remake Splinter Cell ini bakal digarap menggunakan engine Snowdrop, engine yang sama yang dipakai untuk mengembangkan seri game The Division maupun game Avatar yang akan datang tahun depan.

Meski dikerjakan dari nol, remake ini tentu masih akan tetap mempertahankan jalan cerita game aslinya. Ubisoft bahkan memastikan bahwa alurnya bakal tetap linear dan tidak dibuat menjadi open-world seperti kebanyakan game Ubisoft belakangan ini. Fokus utamanya adalah menghadirkan visual yang jauh lebih baik, serta beberapa penyempurnaan mekanik agar game bisa memenuhi ekspektasi gamer modern.

Ubisoft tidak lupa menekankan bahwa remake Splinter Cell ini bakal tetap memprioritaskan elemen stealth ketimbang action. Pemain sekali lagi bakal diajak untuk mengobservasi dan merencanakan langkah-langkahnya secara matang guna menyelesaikan misi sebisa mungkin tanpa terdeteksi oleh lawan. “Stealth Action Re-redefined,” mungkin seperti itu slogan yang bakal dipakai oleh remake-nya.

Tentunya bakal sangat menarik melihat esensi game Splinter Cell orisinal dikawinkan dengan engine Snowdrop. Game aslinya yang digarap menggunakan Unreal Engine 2.0 sudah tergolong ciamik dalam hal implementasi efek bayangan dan pencahayaan yang dinamis (karena ini merupakan bagian dari gameplay, bukan sekadar pemanis visual saja), dan itu semestinya bakal disempurnakan lebih jauh lagi di remake-nya berkat penggunaan engine yang jauh lebih modern.

Pengembangan Splinter Cell Remake ini dipimpin oleh Ubisoft Toronto, studio yang sebelumnya bertanggung jawab atas Splinter Cell: Blacklist. Meski saat ini Ubisoft Toronto sedang aktif merekrut karyawan baru, mereka memastikan bahwa beberapa sosok veteran yang sebelumnya punya pengalaman dengan game Splinter Cell bakal ikut berpartisipasi dalam pengembangan remake ini.

Juga menarik adalah bagaimana Ubisoft melihat remake ini sebagai fondasi yang solid untuk masa depan franchise Splinter Cell. Apakah ini berarti mereka ke depannya juga akan me-remake Pandora Tomorrow dan Chaos Theory, atau lanjut mengerjakan game Splinter Cell yang benar-benar baru? Well, kita harus ekstra sabar menunggu jawabannya, sebab remake Splinter Cell yang pertama ini pun juga masih belum punya estimasi jadwal rilis sama sekali.

Semoga saja Ubisoft bisa memberikan update yang lebih banyak soal ini tahun depan, bertepatan dengan perayaan ulang tahun Splinter Cell orisinal yang ke-20 pada November 2022.

Sumber: Ubisoft.

Assassin’s Creed Valhalla Kedatangan Expansion Ketiga dan Konten Crossover dengan AC Odyssey

Dirilis pada November 2020, Assassin’s Creed Valhalla sejauh ini telah menerima dua story expansion, yakni “Wrath of the Druids” dan “The Siege of Paris”. Namun seperti yang sempat diumumkan di event Ubisoft Forward pada bulan Juni kemarin, Valhalla masih akan menerima expansion lain lagi di tahun keduanya.

Tanpa harus menunggu lama, Ubisoft baru saja mengungkap bahwa expansion ketiga untuk Valhalla, “Dawn of Ragnarok”, akan resmi dirilis pada 10 Maret 2022. Ubisoft bilang ini merupakan expansion paling ambisius yang pernah mereka buat di sepanjang sejarah franchise Assassin’s Creed, dengan konten yang diperkirakan cukup untuk menyita waktu bermain selama sekitar 35 jam, dan lokasi baru dengan luas sepertiga dari lokasi di base game-nya.

Seperti yang bisa ditebak dari judulnya, Dawn of Ragnarok bakal berfokus pada mitologi Norse. Sang lakon utama, Eivor, bahkan bakal berperan sebagai Odin di sini, di dunia mitos bernama Svartalfheim. Kisah yang diangkat adalah perjalanan Odin menyelamatkan anaknya, Baldr, dan di sepanjang perjalanannya, tentu saja bakal ada sejumlah makhluk mitologi yang menghadang, mulai dari makhluk api dari Muspelheim, sampai Frost Giant dari Jotunheim.

Dawn of Ragnarok juga bakal menampilkan Surtr, iblis raksasa dengan api yang menyala di sekujur tubuhnya (yang juga muncul di film Thor: Ragnarok). Namun tentu saja, Eivor turut dibekali sejumlah kemampuan baru sebagai Odin, dari kemampuan untuk menyerap kekuatan musuh, teleportasi, sampai shape-shifting.

Dawn of Ragnarok digarap oleh tim Ubisoft Sofia, tim yang sama yang bertanggung jawab atas expansion Curse of the Pharaoh untuk Assassin’s Creed Origins, yang berarti ini bukan pertama kalinya mereka diminta mendalami sekaligus menyajikan narasi dari suatu mitologi populer.

Namun Dawn of Ragnarok bukan satu-satunya kejutan yang Ubisoft siapkan.

Assassin’s Creed Crossover Stories

Selagi menanti kedatangan expansion ketiganya tadi, pemain juga bisa menikmati konten ekstra bertajuk Assassin’s Creed Crossover Stories mulai 14 Desember 2021. Sesuai namanya, Crossover Stories bakal mempertemukan Eivor dengan Kassandra, lakon perempuan dari game sebelumnya, Assassin’s Creed Odyssey.

Kok bisa keduanya bertemu padahal ada jarak ribuan tahun? Well, kalau Anda sudah pernah menamatkan Odyssey, Anda pasti paham bagaimana ceritanya. Jadi ada baiknya alasannya tidak disebutkan di sini demi menghindari spoiler. Satu hal yang pasti, Crossover Stories ini merupakan DLC gratis untuk Odyssey dan Valhalla sekaligus.

Di Odyssey, DLC berjudul “Those Who Are Treasured” ini bakal bisa langsung dimainkan setelah menyelesaikan chapter pertama. Namun seperti yang saya bilang, sebaiknya Anda menamatkan main story-nya dulu secara menyeluruh supaya terhindar dari spoiler. Sementara di Valhalla, DLC-nya mengambil judul “A Fated Encounter” dan dapat dimainkan setelah membuka Valka the Seer sekaligus mencapai settlement level empat di Ravensthorpe.

Sumber: GamesRadar.

Ubisoft Luncurkan Quartz, Platform NFT untuk Deretan Game-nya, Dimulai dari Ghost Recon Breakpoint

Suka atau tidak, tren game NFT tidak akan ke mana-mana. Malahan, sekarang sudah ada salah satu nama terbesar di industri video game yang resmi terjun ke segmen baru ini: Ubisoft. Perusahaan asal Perancis itu baru saja memperkenalkan Quartz, sebuah platform yang dirancang agar para pemainnya bisa mendapatkan aset NFT bernama Digit.

Melalui siaran pers, Ubisoft menjelaskan bahwa Digit merupakan in-game item unik yang hanya akan dirilis dalam beberapa edisi dengan jumlah terbatas. Digit bersifat kosmetik dan tidak akan berpengaruh sedikit pun ke gameplay, bisa berupa skin kepala, senjata, atau bahkan kendaraan. Setiap Digit bakal dilengkapi nomor serinya masing-masing yang bisa dilihat oleh pemain lain di dalam game.

Sebagai aset NFT, setiap Digit pastinya datang membawa sertifikat kepemilikan yang tersimpan di blockchain. Tentu saja, Digit juga bisa dijual ke pemain lain jika mau, dan blockchain akan selalu mencatat nama setiap pemain yang sempat memiliki aset tersebut.

Untuk sekarang, Quartz masih berstatus beta, dan Digit baru tersedia buat game Tom Clancy’s Ghost Recon Breakpoint di PC. Untuk bisa mendapatkan Digit, pemain harus mencapai setidaknya XP Level 5 dan berusia 18 tahun ke atas. Ini berarti Digit tidak bisa dimiliki sembarang orang yang bukan pemain.

Kalau ingin mendapatkan atau membeli Digit, Anda harus memainkan game-nya dulu selama beberapa waktu. Hal ini sengaja dilakukan demi menghindari mereka yang hanya mengejar nilai investasi Digit semata. Setiap pemain juga hanya bisa memiliki satu unit Digit dari suatu edisi, dan ini tentu bakal berkontribusi langsung ke nilai kelangkaan tiap aset Digit.

Quartz sebagai langkah awal membangun metaverse

Quartz merupakan hasil riset dan pengembangan Ubisoft selama empat tahun. Satu aspek penting yang tidak lupa mereka perhatikan adalah terkait efisiensi energi. Itulah mengapa mereka memilih menggunakan blockchain Tezos ketimbang Ethereum. Sebagai informasi, Tezos mengandalkan mekanisme Proof-of-Stake yang memerlukan lebih sedikit energi untuk beroperasi ketimbang mekanisme Proof-of-Work yang digunakan Ethereum maupun Bitcoin.

Didier Genevois, Blockchain Technical Director Ubisoft, menjelaskan bahwa satu transaksi di Tezos mengonsumsi energi yang kurang lebih sama besarnya seperti streaming video selama 30 detik. Ini kontras dengan Bitcoin, yang satu transaksinya diestimasikan mengonsumsi energi yang sama besarnya seperti streaming video nonstop selama setahun penuh. Dengan kata lain, konsumsi energi Tezos sekitar satu juta kali lebih rendah ketimbang Bitcoin.

Quartz kabarnya bakal resmi beroperasi mulai 9 Desember 2021, tapi berhubung statusnya masih beta, yang memiliki akses baru pemain-pemain di beberapa negara saja, dan sayangnya Indonesia masih belum termasuk. Ke depannya, ekspansi Quartz bakal ditentukan juga oleh regulasi masing-masing negara demi menghindari problem seputar legalitas.

Tanpa harus terkejut, Quartz juga dikaitkan dengan topik metaverse. “Ubisoft Quartz adalah batu fondasi pertama untuk visi ambisius kami dalam mengembangkan metaverse yang sesungguhnya,” ucap Nicolas Pouard selaku Vice President of Strategic Innovation Lab di Ubisoft dalam siaran pers.

Namun pernyataan yang lebih menarik lagi datang dari Blockhain Product Director Ubisoft, Baptiste Chardon. Menurutnya, inisiatif seperti ini ke depannya bisa membuka peluang-peluang baru, salah satunya interoperabilitas antar game.

Bayangkan saja satu skin kepala bisa kita pakai di Ghost Recon Breakpoint, Riders Republic, atau bahkan game Assassin’s Creed yang berikutnya. Di titik itu, konsep metaverse tentu dapat semakin terbentuk dengan matang.

Baptiste juga bilang bahwa ini baru awal dari rencana besar mereka. “Ini bukanlah proyek sekali jalan. Ini merupakan bagian dari strategi global Ubisoft untuk mencoba dan menguji hal baru,” terangnya.

Sumber: 1, 2, 3.

Sony Bakal Luncurkan Lebih Banyak Game di PC, Assassin’s Creed Valhalla Jadi Game Paling Menguntungkan ke-2 Ubisoft

Minggu lalu, Sony mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game untuk PC. Karena itu, mereka mengubah nama dari publishing label mereka, menjadi PlayStation PC LLC. Sementara itu, Ubisoft mengumumkan laporan keuangan mereka. Mereka mengungkap, Assassin’s Creed: Valhalla sekarang merupakan game mereka yang paling menguntungkan kedua. Pada minggu lalu, developer World of Warcraft juga mengumumkan studio barunya, Notorious Studios.

Krafton Akuisisi Developer Subnautica

Pemilik PUBG Studios, Krafton, mengakuisisi Unknown Worlds, studio di balik game Subnautica. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai akuisisi tersebut.  Tidak banyak perubahan yang terjadi pada Unknown Worlds setelah akuisisi. Mereka tetap mempertahankan struktur perusahaan mereka dan mempekerkajan semua pegawai mereka. Tak hanya itu, mereka juga tetap akan beroperasi sebagai studio mandiri. Ke depan, Unknown Worlds juga akan tetap merilis update untuk Subnautica. Selain itu, mereka juga akan mengembangkan proyek baru yang akan tersedia dalma early access pada 2022.

Developer Subnautica akan tetap beroperasi mandiri.

“Unknown Worlds adalah developer yang tidak hanya mumpuni, tapi juga penuh dengan semangat. Mereka berhasil menunjukkan kreativitas mereka dan membuat game dengan dunia yang fokus pada pemain,” kata CEO Krafton, CH Kim, dikutip dari GamesIndustry. “Krafton akan memberikan semua yang kami bisa untuk mendukung mereka. Selain meningkatkan kemampuan kami dalam membuat game, Unknown Worlds juga punya tujuan yang sama dengan kami, yaitu menciptakan game yang unik semua gamers di dunia.”

Assassin’s Creed Valhalla Jadi Game Paling Menguntungkan ke-2 Ubisoft

Assassin’s Creed: Valhalla diluncurkan pada November 2020. Dan sekarang, game tersebut telah menjadi game dengan pemasukan terbesar kedua untuk Ubisoft. Informasi itu diungkap oleh Ubisoft ketika mereka mengumumkan laporan keuangan untuk semester pertama dari tahun fiskal ini. Dalam periode Maret-September 2021, Ubisoft mengungkap bahwa total pemasukan mereka turun 1% dari tahun lalu, menjadi EUR751 juta. Namun, pemasukan perusahaan pada kuartal dua naik 21%, menjadi EUR399 juta.

“Kami punya performa yang memuaskan pada Q2, dengan pemasukan melebihi perkiraan kami,” ujar CEO Ubisoft, Frédérick Duguet, menurut laporan GamesIndustry. “Pemasukan kami naik berkat kualitas dari Intellectual Property (IP) kami, termasuk Assassin’s Creed Valhalla yang sangat sukses.”

Sony Ganti Nama Publishing Label untuk Game PC Jadi PlayStation PC LLC

Sony baru saja mengubah nama publishing label untuk game PC mereka. Sekarang, game yang Sony luncurkan di Steam akan ada di bawah label PlayStation PC LLC. Keputusan Sony ini merupakan cerminan dari keinginan Sony untuk meluncurkan lebih banyak game di PC. Belum lama ini, PlayStation mengumumkan bahwa God of War — yang tadinya eksklusif untuk konsol PlayStation — bakal diluncurkan untuk PC pada Januari 2022.

Tak hanya itu, Uncharted: Legacy of Thieves Collection — berupa dua game Nathan Drake — juga bakal diluncurkan di PC pada awal 2022. Keputusan Sony untuk lebih serius di industri game PC tidak aneh. Pasalnya, selama ini, para eksekutif PlayStation memang telah menyebutkan bahwa mereka berencana untuk meluncurkan lebih banyak game untuk PC, lapor VentureBeat.

God of War bakal diluncurkan untuk PC.

Kepada GO, PlayStation Head, Jim Ryan berkata, “Kami punya kesempatan untuk memberikan akses dari game kami ke lebih banyak gamers dan meringankan beban ekonomi pengembangan game, yang tidak selalu sesederhana yang dikira banyak orang. Biaya untuk membuat game terus naik, seiring dengan meningkatnya kualitas IP. Selain itu, sekarang, kami juga bisa meluncurkan game untuk non-konsol gamers dengan lebih mudah.”

Mantan Developer World of Warcraft Buat Studio Baru

Mantan game designer dari World of Warcraft, Chris Kaleiki mengumumkan bahwa dia telah membuka studionya sendiri, yang dinamai Notorious Studios. Dia mengumumkan hal tersebut melalui Twitter pada minggu lalu. Dia juga menyebutkan, melalui studio barunya, dia akan fokus untuk membuat game RPG.

“Memutuskan untuk meninggalkan Blizzard adalah salah satu keputusan tersulit dalam hidup saya,” kata Kaleiki, menurut laporan NME. “Saat mempertimbangkan langkah saya berikutnya, saya tahu bahwa saya ingin membuat sesuatu dengan tim yang lebih kecil, tapi punya prinsip yang sama dengan Blizzard. Contonya, prinsip untuk mengutamakan pengalaman para pemain. Saya tahu, hal ini bukan hal yang mudah.”

Developer Genshin Impact Punya Game Baru, Ubisoft Perkenalkan Ghost Recon Frontline

Minggu lalu, ada beberapa berita menarik di dunia game. Salah satunya, Electronic Arts mengungkap bahwa mereka tengah mempertimbangkan untuk mengganti nama dari seri game sepak bola mereka, FIFA. Selain itu, Ubisoft juga memperkenalkan Ghost Recon Frontline. Game yang bisa dimainkan oleh lebih dari 100 orang itu mengusung genre FPS PvP dan bisa dimainkan dengan gratis. Sementara itu, developer Genshin Impact, miHoYo, baru saja membuka pendaftaran closed beta dari game baru mereka, Honkai: Star Rail.

Tapjoy: Mobile Jadi Platform Favorit Gamers Milenial

Perusahaan riset mobile Tapjoy baru saja merilis laporan tentang kebiasaan bermain game dari para milenial. Menurut laporan tersebut, mobile merupakan platform pilihan bagi para gamers milenial. Buktinya, sekitar 82% milenial bermain game di smartphone mereka. Sebagai perbandingan, hanya 37% gamers milenial yang bermain di konsol serta handheld dan 27% milenial yang bermain game di PC.

Dari laporan tersebut, juga diketahui bahwa 70% gamers milenial memainkan mobile game setiap hari. Tanggapan mereka akan iklan mobile game juga cukup positif, khususnya iklan yang menawarkan hadiah dalam game. Menurut Lauren Baca, Senior Director of Marketing, Tapjoy, alasan mengapa gamers milenial senang bermain game di mobile adalah karena milenial merupakan salah satu generasi pertama yang bisa menikmati kemudahan yang ditawarkan oleh mobile internet, menurut laporan VentureBeat.

Developer miHoYo Buka Pendaftaran Closed Beta untuk Game Baru

Minggu lalu, miHoYo, developer Genshin Impact mengumumkan bahwa pendaftaran untuk closed beta dari game baru mereka — Honkai: Star Rail — telah dibuka. Star Rail akan mengambil setting dunia seperti Honkai Impact 3rd. Dalam Honkai Impact 3rd, dunia sudah diambang kehancuran. Para Valkyries — sebutan untuk para perempuan yang punya kekuatan super — harus melawan sebuah kekuatan yang tidak hanya bisa menciptakan monster, tapi menyebabkan bencana alam. Star Rail akan bisa dimainkan di PC dan mobile.

Dari video trailer-nya, Star Rail terlihat menggabungkan elemen action game dengan tactical game. Namun, berdasarkan screenshot di situs resminya, para pemain akan bisa memainkan hingga empat karakter pada saat bersamaan, mengimplikasikan bahwa Star Rail merupakan turn-based RPG. Sementara dari segi visual dan art style, Star Rail tampaknya lebih menyerupai Genshin Impact daripada Honkai, menurut laporan Kotaku.

Universal Studios Jepang Kerja Sama dengan The Pokémon Company

Universal Studios Jepang bekerja sama The Pokemon Company untuk membuat wahana bertema Pokemon, serupa Super Nintendo World. Saat ini, keduanya memiliki beberapa proyek untuk membuat “hiburan bertema Pokemon yang inovatif”. Rencananya, wahana pertama hasil kerja sama Universal Studios Jepang dan The Pokemon Company sudah terpasang di taman hiburan di Osaka pada akhir 2022.

“Kami bangga karena bisa menjalin kerja sama dalam jangka panjang dengan The Pokemon Company untuk membuat wahana bertema Pokemon di Universal Studios Jepang, baik untuk para fans Pokemon maupun para pengunjung taman bermain kami,” kata CEO dan presiden Universal Studios Jepang, J.L. Bonnier, seperti dikutip dari Games Industry.

Ghost Recon Frontline Sudah Bisa Dicoba oleh Masyarakat Umum

Minggu lalu, Ubisoft memperkenalkan game baru mereka, Ghost Recon Frontline. Game FPS itu akan mengadu lebih dari 100 pemain, seperti kebanyakan game battle royale. Mode utama dari Ghost Recon Frontline adalah Expedition. Dalam mode itu, 102 orang pemain akan dibagi ke dalam kelompok berisi 3 orang.

Ghost Recon Frontline jadi mobile game PVP yang bisa dimainkan secara gratis.

Untuk menang, setiap tim harus mengumpulkan tiga informasi. Setelah itu, mereka bisa pergi ke drop zone untuk memanggil helikopter dan pergi dari medan perang. Hanya saja, ketika sebuah tim berhasil memanggil helikopter, pemain lain akan mendapatkan peringatan. Jadi, mereka akan bisa pergi ke drop zone dan menyerang tim yang memanggil helikopter.

Ghost Recon Frontline sudah bisa dicoba oleh masyarakat umum pada bulan ini. Namun, masih belum diketahui kapan Ubisoft meluncurkan game tersebut, lapor IGN.

EA Pertimbangkan untuk Ganti Nama Franchise FIFA

Electronic Arts mengungkap bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk mengubah nama dari franchise game sepak bola mereka, FIFA. Namun, meski mereka memutuskan untuk mengganti nama FIFA, mereka akan tetap menjalin kerja sama dan membeli lisensi agar bisa menampilkan atlet, tim, dan liga sepak bola yang sebenarnya.

EA pertama kali bekerja sama dengan FIFA pada 1993, ditandai dengan peluncuran game FIFA International Soccer. Sejak saat itu, EA selalu merilis setidaknya satu game FIFA baru setiap tahunnya. Saat ini, tidak diketahui kenapa EA ingin mengubah nama franchise game sepak bola mereka. Menurut laporan IGN, ada kemungkinan, EA tidak lagi ingin menggunakan nama FIFA karena muncul berbagai berita kontroversial terkait organisasi sepak bola tersebut. Salah satunya adalah keterlibatan FIFA dalam skandal korupsi.

Franchise Drivers Akhirnya Dihidupkan Kembali oleh Ubisoft

Menghidupkan kembali seri game yang lama vakum mungkin menjadi salah satu strategi yang banyak dilakukan oleh para developer dan publisher game saat ini. Ubisoft ternyata juga mulai mencari seri lama mereka untuk dihidupkan kembali.

Driver ternyata menjadi salah satu judul yang terpilih untuk dibawa kembali. Namun dengan sebuah twist karena Ubisoft ternyata membawa judul ini untuk menjadi sebuah seri live-action alih-alih sebuah game baru.

Seri ini kini dikerjakan oleh Ubisoft Film & Television dan disebut akan tetap berfokus pada cerita dari agen rahasia polisi dan mantan pembalap John Tanner yang berusaha untuk menangkap sindikat kriminal lokal.

Credit: Ubisoft

“Misi kami di Ubisoft adalah menghidupkan game-game kami dengan cara yang baru dan menarik serta membuat konten yang berlatar di dunia, kultur, dan juga komunitas game,” ujar Danielle Kreinik, Kepala Pengembangan Ubisoft Film & Television.

Serial TV Driver ini nantinya akan ditayangkan eksklusif di platform streaming baru Binge.com. Binge sendiri memang ingin menjadi platform streaming yang menampilkan konten-konten premium original yang mengambil inspirasi dari dunia video game dan konten kreator paling populer.

Film seri ini akan diproduseri oleh Jason Atman, Danielle Kreinik, dan Genevieve Jones dari Ubisoft Film & Televisioin, bersama dengan Allan Ungar dan Vincent Talenti dari Binge. Sayangnya film ini belum menunjuk para pemeran dari karakter-karakter yang akan muncul nantinya.

Protagonis Driver, John Tanner. Credit: Ubisoft

Namun Allan Ungar menjamin bahwa proyek yang mereka kerjakan ini akan original, premium, dan akan memiliki pengalaman naratif yang kaya. Mereka juga berjanji akan membawa para penggemar lama dan juga para penonton baru ke dalam perjalanan yang menegangkan.

Melihat bahwa serial TV ini masih berada di tahap awal, maka kemungkinan besar serial Driver ini akan tiba paling cepat pada 2022 mendatang. Serial ini juga dikabarkan akan dapat diakses secara gratis di Binge nantinya.

Driver sebenarnya bukan satu-satunya judul game milik Ubisoft yang juga dibawa menjadi serial. Karena Ubisoft juga telah berkolaborasi dengan Netflix untuk memproduksi judul-judul mereka lainnya seperti Tom Clancy’s The Division, Beyond Good & Evil, Far Cry, hinga Assassin’s Creed.

Far Cry 6 Nantinya Akan Kedatangan DLC Danny Trejo Hingga Stranger Things

Meskipun masih akan dirilis kurang dari satu bulan lagi, Ubisoft ternyata tidak mau menunggu untuk menunjukkan apa saja konten yang akan pemain dapatkan setelah game open world FPS terbarunya Far Cry 6 dirilis nanti.

Lewat trailer yang berjudul “Post-Launch Overview Trailer“, Ubisoft langsung menunjukkan rencana post-launch content untuk Far Cry 6. Sebelumnya, Ubisoft memang telah memberikan sedikit gambaran bahwa game-nya akan mendapatkan ekspansi yang memungkinkan pemain memainkan musuh-musuh ikonik dari seri Far Cry seperti Vaas, Pagan Min, dan Joseph Seed.

Namun dari trailer barunya, terlihat bahwa Ubisoft ternyata telah mempersiapkan jauh lebih banyak konten dan juga DLC yang bisa dinikmati oleh para pemain nantinya. Sekaligus beberapa detail baru tentang ekspansi terhadap musuh-musuh ikonik Far Cry yang ternyata akan memiliki episode penuhnya masing-masing.

Vaas: Insanity akan dirilis pada bulan November mendatang, sebulan setelah game-nya dirilis. Pagan: Control akan tiba pada Januari dan Joseph: Collapse di Maret tahun depan. Ekspansi ini juga ternyata akan menjadi ekspansi berbayar yang bisa dibeli oleh pemain secara terpisah ataupun sekaligus di dalam Season Pass.

Yang paling menarik tentunya adalah konten-konten selanjutnya yang mayoritas akan menjadi crossover atau kolaborasi dengan franchise lain. Berita baiknya, misi-misi ini bisa diaminkan oleh para pemain secara gratis.

Pertama adalah kehadiran aktor veteran Danny Trejo yang ikut menjadi dirinya sendiri di dalam game-nya. Tetap ditemani dengan machete ikoniknya, Danny Trejo akan bekerja sama dengan pemain untuk menyelesaikan misi-misinya.

Kemudian akan ada juga kolaborasi dengan Rambo yang akan hadir pada Februari tahun depan. Sayangnya konten kolaborasi ini tidak akan menampilkan Sylverster Stallone namun seorang karakter yang disebut “Rambo Superfan” yang memang akan tampil dengan kostum lengkap ala Rambo.

Dan yang kelihatannya paling menarik dari ekspansi-ekspansi yang ditampilkan adalah konten kolaborasi dengan serial Netflix Stranger Things yang disebut “The Vanishing”. Tidak banyak yang ditampilkan dari ekspansi ini, namun harusnya akan berisi petualangan sang protagonis Danny Rojas menuju dunia Upside-Down dan melawan Demogorgon. DLC ini akan meluncur pada Maret tahun depan.

Istimewanya, para pemain yang membeli Season Pass juga akan mendapatkan game Far Cry 3: Blood Dragon dan juga beberapa kosmetik tematis termasuk companion eksklusif bernama K-9000 yang diprediksi akan menjadi anjing cyborg.

Selain itu, Far Cry juga memiliki beberapa mode permainan yang nantinya akan menyibukkan para pemain setelah menyelesaikan cerita utamanya antara lain Special Operation dan Weekly Insurgencies. Bahkan, Ubisoft mengatakan bahwa mereka memiliki konten-konten lainnya yang belum diumumkan.