Strategi Tencent Menjadi Perusahaan Terbesar di Industri Game Dunia

Tencent kini menjadi publisher game terbesar di dunia. Padahal, game sebenarnya bukan bisnis utama Tencent. Konglomerasi asal Tiongkok itu memiliki bisnis di berbagai bidang, mulai dari hiburan — yang mencakup game, televisi, komik — media sosial, sampai e-commerce. Pada 2019, total pendapatan Tencent mencapai 377,8 miliar yuan (sekitar Rp856 triliun), naik 21 persen dari pendapatan mereka pada 2018. Pertanyaannya, bagaimana Tencent bisa menjadi publisher game paling besar di dunia?

Sejarah Tencent

Tencent didirikan oleh Ma Huateng — yang akrab dengan panggilan Pony Ma — bersama empat temannya pada 1998. Mereka meluncurkan produk pertama mereka pada 1999, berupa layanan instant messaging bernama OICQ, yang kemudian namanya diganti menjadi QQ. Satu tahun sejak diluncurkan, instant messaging buatan Tencent itu berhasil mendapatkan satu juta pengguna. Namun, ketika itu, Tencent masih belum mendapatkan untung. Mereka mendapatkan untung untuk pertama kalinya pada 2001, setelah peluncuran platform pengirim pesan Mobile QQ. Saat itu, mereka mendapatkan pemasukan sebesar US$5,9 juta dengna laba sebesar US$1,2 juta. Tiga tahun kemudian, pada 2004, Tencent menjadi perusahaan terbuka yang terdaftar di Hong Kong Stock Exchange.

Pada 2005, Tencent memperkenalkan Qzone, layanan jaringan sosial multimedia. Pony Ma memutuskan untuk mengizinkan developer lain untuk membuat aplikasi di Qzone. Lima tahun kemudian, pada 2010, Qzone menjadi platform jejaring sosial terbesar di Tiongkok dengan 492 juta pengguna aktif. Pada 2011, industri mobile mulai berkembang. Melihat ini sebagai kesempatan, Tencent meluncurkan WeChat. Pada awalnya, WeChat hanyalah aplikasi pengirim pesan, sama seperti WhatsApp atau LINE. Namun, Tencent terus menambahkan berbagai fitur baru ke aplikasi tersebut, mulai dari game sampai layanan pembayaran. Sekarang, WeChat menjadi aplikasi super yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari warga Tiongkok.

WeChat bahkan dilengkapi dengan game.
WeChat bahkan dilengkapi dengan game.

Valuasi Tencent sebagai perusahaan terus naik. Selama lima tahun, mulai 2011 sampai 2016, valuasi Tencent tumbuh 40 persen per tahun. Pada April 2017, mereka masuk ke dalam daftar 10 perusahaan yang paling bernilai di dunia, menurut laporan The Conversation.

Strategi Tencent di Industri Game

Tencent membuat divisi khusus gaming, Tencent Games, pada 2003. Satu tahun kemudian, mereka meluncurkan game untuk platform instant messaging mereka sendiri, QQ. Sejak saat itu, mereka meluncurkan sejumlah game lain untuk QQ, seperti Dungeon Fighter Online, sebuah game side-scrolling beat ’em up dan QQ Sanguo, game RPG yang mengambil setting waktu di Tiga Kerajaan di Tiongkok.

Selain membuat game sendiri, Tencent juga menjadi perusahaan yang menjembatani developer asing yang ingin masuk ke Tiongkok, negara dengan populasi terbesar. Misalnya, ketika Activision Blizzard (perusahaan asal Amerika Serikat) ingin meluncurkan game Call of Duty di Tiongkok, mereka harus menggandeng perusahaan lokal sebagai rekan. Inilah peran Tencent. Begitu juga ketika perusahaan kreator game lain — seperti Riot Games, EA, Sony, dan Ubisoft — ingin masuk ke pasar Tiongkok, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal Tiongkok. Biasanya, perusahaan tersebut adalah Tencent.

Usaha Tencent untuk mengembangkan bisnis game-nya tak berhenti sampai di situ. Mereka juga mulai melakukan akuisisi atau membeli saham dari sejumlah developer game ternama. Pada 2011, Tencent menghabiskan US$400 juta untuk membeli 93 persen saham dari Riot Games, developer League of Legends. Empat tahun kemudian, Tencent membeli 7 persen saham Riot yang tersisa. Dengan begitu, Riot Games sepenuhnya menjadi milik Tencent. Tidak heran jika Tencent membeli Riot, mengingat League of Legends adalah salah satu game PC terpopuler di dunia. Pada tahun 2019, 10 tahun setelah diluncurkan, League of Legends, masih bisa mendapatkan pemasukan sebesar US$1,5 miliar. Game MOBA tersebut juga merupakan salah satu game paling berpengaruh di ekosistem esports.

League of Legends Pro League telah kembali digelar. | Sumber: Riot Games via Rift Herald
League of Legends Pro League telah kembali digelar. | Sumber: Riot Games

Menurut laporan PC Gamer, meskipun saham Riot dikuasai penuh oleh Tencent, Riot mendapatkan kebebasan penuh atas pengembangan League of Legends. Meskipun begitu, hubungan antara Riot dan Tencent juga tak selamanya berjalan mulus. Pada 2015, Tencent meminta Riot untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Alasannya, karena ketika itu, mobile game tengah booming dan Tencent ingin memanfaatkan momentum tersebut. Riot menolak. Namun, Tencent tetap berkeras dan membuat mobile game MOBA bernama Honor of Kings. Inilah yang membuat hubungan mereka dengan Riot memburuk.

Ketika diluncurkan, game Honor of Kings hanya tersedia di Tiongkok. Pada 2017, Tencent meluncurkan Honor of Kings ke pasar internasional dengan nama Arena of Valor. Meskipun begitu, sekarang, Tencent tak lagi berusaha untuk memasarkan Arena of Valor di negara-negara Barat dan Riot telah setuju untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Dan sekarang, hubungan Tencent dan Riot sudah kembali membaik.

Developer-Developer Game yang Dibeli Tencent

Dalam dunia investasi, ada pepatah untuk tidak menaruh semua telur Anda di satu keranjang. Tencent memahami ini. Karena itu, mereka tidak hanya berinvestasi di Riot. Mereka juga membeli saham dari sejumlah developer dari game populer lainnya.

Pada Juni 2012, Tencent membeli 40 persen saham Epic Games, developer Fortnite, senilai US$300 juta. Tak hanya modal, Tencent juga berbagi insight mereka tentang mengoperasikan game online. Dari Tencent, CEO dan pendiri Epic Games, Tim Sweeney belajar tentang model bisnis game as a service. Epic lalu mulai membuat Paragon dan Fortnite: Save the World. Kedua game itu dianggap gagal. Meskipun begitu, ini justru membuka kesempatan bagi Epic untuk meluncurkan Fortnite, game battle royale yang kini menjadi salah satu game paling populer di dunia. Pada 2018, Fortnite menghasilkan US$2,4 miliar. Pendapatan Fortnite mengalami penurunan pada 2019 menjadi US$1,8miliar. Meskipun begitu, game tersebut masih menjadi game gratis dengan penghasilan terbesar.

Tencent juga membeli saham dari Epic, developer Fortnite.
Tencent juga membeli saham dari Epic, developer Fortnite.

Setelah mendapatkan investasi dari Tencent, Epic juga mengubah bisnis model mereka untuk Unreal Engine 4, game engine buatan mereka. Mereka tak lagi memungut biaya berlangganan bulanan untuk pemakaian game engine tersebut. Sebagai gantinya, Epic menggunakan sistem royalti. Jadi, jumlah uang yang harus dibayarkan oleh developer yang menggunakan Unreal Engine tergantung dari kesuksesan game mereka. Memang, jika developer membuat game yang sukses, maka mereka harus membayar royalti yang lebih besar pada Epic. Namun, ini memudahkan developer indie untuk menggunakan Unreal Engine dalam mengembangkan game mereka. Selain itu, ini juga membuat persaingan antara Unreal dengan Unity — yang saat itu dianggap sebagai game engine terbaik untuk developer indie — menjadi semakin panas.

Fortnite bukan satu-satunya game battle royale yang sukses. Di Indonesia, para gamer lebih menyukai Player Unknown’s Battleground buatan Bluehole. Menariknya, meskipun Tencent sudah menjadi investor dari Epic, mereka juga menanamkan modal di Bluehole. Lucunya, di Tiongkok, Tencent menjadi publisher untuk Fortnite dan PUBG. Tencent membeli 1,5 persen saham Bluehole pada 2017. Kemudian, mereka membeli lebih banyak saham dari Bluehole. Diperkirakan, total saham Bluehole yang dimiliki oleh Tencent kini mencapai 11,5 persen.

Tencent juga menanamkan investasi sebesar US$8,6 miliar di Supercell, developer asal Finlandia yang terkenal berkat beberapa mobile game-nya, seperti Clash of Clans, Clash Royale, dan Brawl Stars. Menurut PC Gamer, investasi Tencent di Supercell merupakan salah satu investasi terbesar di sejarah industri game. Namun, mengingat 60 persen dari total pendapatan Tencent pada 2018 berasal dari mobile game, tidak heran jika Tencent rela mengeluarkan uang besar demi membeli saham Supercell. Pada Oktober 2019, Tencent menjadi pemegang saham mayoritas dari konsorsium yang memiliki Supercell. Dengan begitu, Tencent memiliki kendali atas Supercell. Meskipun begitu, sama seperti Riot, Supercell juga tetap mendapatkan kebebasan dalam mengelola game buatan mereka.

Salah satu franchise di bawah Ubisoft adalah Assassin's Creed.
Salah satu franchise di bawah Ubisoft adalah Assassin’s Creed.

Selain itu, Tencent juga memiliki saham sebanyak lima persen di Ubisoft dan Activision Blizzard. Pada 2018, Vivendi ingin mengambil alih Ubisoft secara paksa (hostile takeover), yang berarti ribuan karyawan Ubisoft terancam dipecat. Ubisoft lalu membuat perjanjian dengan Vivendi untuk menjual saham mereka ke berbagai investor, termasuk Tencent. Namun, Tencent tidak bisa membeli saham kepemilikan atas Ubisoft. Selain mendapatkan saham minoritas di Ubisoft, Tencent juga mendapatkan hak untuk merilis game Ubisoft di Tiongkok.

Masih pada tahun 2018, Tencent membeli 80 persen saham dari Grinding Gear Games, developer yang membuat game Path of Exile. Ini sempat memunculkan kekhawatiran bahwa Tencent akan mengimplementasikan sistem microtransaction yang lebih agresif. Untungnya, ketakutan itu tidak menjadi nyata. Sama seperti developer lain yang sahamnya dibeli oleh Tencent, Grinding Gear Games bebas untuk menentukan apa yang akan mereka lakukan pada game buatannya.

Tencent juga memiliki saham di Platinum Games dan Yager, meski tidak diketahui berapa banyak saham yang dipegang oleh konglomerasi Tiongkok tersebut. Selain itu, Tencent memiliki 9 persen saham di Frontier Developments, developer dari Elite Dangerous dan Planet Zoo. Setelah kesuksesan Warhammer 2: Vermintide, Tencent juga tertarik untuk membeli 36 persen saham dari sang developer, Fatshark. Salah satu investasi terbaru Tencent adalah pada Funcom. Mereka membeli 29 persen saham dari developer Conan Exiles tersebut. Belum lama ini, mereka juga mengumumkan rencana mereka untuk mengakuisisi Funcom sepenuhnya.

Tak hanya di  developer game, Tencent juga menanamkan saham di Kakao, perusahaan internet asal Korea Selatan. Tencent menguasai 13,5 persen saham dari Kakao, yang juga merupakan publisher PUBG di negara asalnya. Pada 2018, Discord mendapatkan kucuran dana sebesar US$158 juta. Tencent merupakan salah satu investor yang turut serta dalam pengumpulan dana itu. Sayangnya, tidak diketahui berapa banyak dana yang Tencent kucurkan.

Laporan Keuangan Terbaru Tencent

Dalam daftar 2000 perusahaan terbesar dunia dari Forbes, Tencent duduk di peringkat 74 dengan kapitalisasi pasar (total nilai saham yang beredar) sebesar US$472,06 miliar. Sementara menurut Bloomberg, perusahaan Tiongkok itu memiliki lebih dari 62,8 ribu pekerja. Belum lama ini, Tencent juga mengeluarkan laporan keuangan mereka untuk Q4 2019. Pada Q4, Tencent mendapatkan pemasukan sebesar 105,8 miliar yuan (sekitar Rp240 triliun), naik 25 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara total pendapatan untuk tahun 2019 mencapai 377,8 miliar yuan (sekitar Rp856 triliun), naik 21 persen dari pendapatan pada 2018.

Peacekeeper Elite adalah
Peacekeeper Elite adalah PUBG Mobile yang telah di-rebrand untuk Tiongkok.

Divisi gaming Tencent menyumbangkan 30,3 miliar yuan (sekitar Rp68,7 triliun). Angka ini naik 25 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan tersebut didorong oleh kesuksesan mobile game, baik di pasar Tiongkok maupun di pasar internasional. Beberapa mobile game yang memberikan pemasukan paling besar antara lain Peacekeeper Elite, PUBG Mobile, dan juga game-game buatan Supercell. Sayangnya, pendapatan dari segmen game PC justru mengalami sedikit penurunan. Dalam laporan pada investornya, Tencent menjelaskan, tiga game yang membuat mereka sukses mengembangkan bisnis mereka di luar Tiongkok adalah PUBG Mobile, Call of Duty Mobile dan Teamfight Tactics.

“Pendapatan kami dari pasar game internasional naik lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya, memberikan kontribusi sebesar 23 persen pada total pendapatan untuk divisi game online untuk Q4 2019,” tulis Tencent, seperti dikutip dari The Esports Observer. Selain itu, Tencent juga membanggakan fakta bahwa 5 dari 10 game dengan jumlah pengguna aktif harian paling banyak merupakan game buatan mereka.

Bisnis Tencent yang Lain

Selain gaming, Tencent juga memiliki beberapa divisi lain, termasuk hiburan yang mencakup seri TV dan film bioskop, komik, serta musik. Pada Januari 2020, Tencent membeli 10 persen saham dari Universal Music. Namun, dalam laporan keuangannya, Tencent mengatakan bahwa bisnis hiburan mereka mengalami perlambatan karena perubahan regulasi oleh pemerintah.

Ini menyebabkan mereka harus menunda beberapa seri TV. Meskipun begitu, mereka mengaku bahwa mereka masih menjadi pemimpin di industri hiburan. Sementara itu, jumlah pengguna WeChat juga masih terus bertambah. Total pengguna WeChat naik 6 persen menjadi 1,16 miliar orang. Sebagai perbandingan, Facebook memiliki total pengguna mencapai 2,5 miliar orang per Desember 2019.

“Kami mengalami perlambatan pertumbuhan jumlah pelanggan dan pemasukan untuk layanan video langganan kami pada 2019 jika dibandingkan dengan pada 2018. Penyebabnya adalah keterlambatan peluncuran sejumlah konten penting,” tulis Tencent dalam pernyataan resmi, seperti dikutip dari Variety. “Namun, jumlah pelanggan berbayar Tencent Video kami mencapai 106 juta orang dan kami masih menjadi pemimpin industri berdasarkan kualitas konten, jumlah pengguna, dan dari segi finansial. Ini menekan kerugian operasional pada 2019 menjadi 3 mliiar yuan.”

Tencent juga tak diam saja melihat pertumbuhan Bytedance, yang dikenal berkat aplikasi video pendeknya, TikTok. Untuk menyaingi Bytedance, Tencent fokus untuk mengembangkan aplikasi video pendeknya, Weishi. Jumlah pengguna aktif harian dari aplikasi tersebut naik 80 persen sementara jumlah video yang diunggah naik 70 persen pada Q4 2019.

Kesimpulan

Tencent sukses menjadi publisher terbesar di dunia meskipun mereka bukanlah perusahaan yang fokus pada bisnis gaming. Sampai sekarang, Tencent dikenal sebagai perusahaan teknologi dengan WeChat sebagai salah satu produk utamanya. Namun, sejak didirikan pada 2003, Tencent Games berhasil untuk memberikan kontribusi yang signifikan pada total pendapatan konglomerasi ini. Berbeda dengan perusahaan seperti Nintendo yang berusaha untuk membangun franchise dari nol, Tencent lebih memilih untuk membeli saham atau mengakuisisi developer dari game yang sudah terbukti populer. Menariknya, Tencent biasanya tidak banyak ikut campur dalam operasional perusahaan game yang mereka akuisisi.

Sumber header: The Register

Pendapat dan Tips PUBG M Royale Pass Season 12 dari Mochalatte dan Pasta

PUBG M Royale Pass Season 12 telah dirilis beberapa hari yang lalu. Mengingat Season 12 kali ini akan berakhir pada tanggal 11 Mei 2020, para pemain setia PUBG M mungkin bertanya-tanya apakah Royale Pass musim ini layak dibeli? Jika layak dibeli, hadiah-hadiah apa saja yang menarik? Apakah ada tips untuk meningkatkan level Royale Pass dengan cepat?

Kami pun menghubungi Riantoro “Pasta” Yogi dan Icha “Mochalatte” Annisa untuk berbagi pendapatnya untuk membantu Anda memutuskan. Buat yang suka menonton esports PUBG Mobile tentu sudah tidak asing dengan dua orang shoutcaster ini. Bersama dengan Florian “Wolfy” George dan kawan-kawannya, Mochallate dan Pasta turut memandu jalannya pertarungan tim-tim papan atas PUBG M dalam pertarungan sengit PUBG Mobile Professional League 2020 Season 1.

Sumber: PUBG Mobile Esports Indonesia
Sumber: PUBG Mobile Esports Indonesia

Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah perbincangan kami dengan dua shoutcaster kondang tadi.

Apa yang unik dari Royale Pass Season 12 kali ini?

Menurut Pasta, yang unik di Royale Pass Season 12 ada di level 100 karena kita bisa memilih set costume (dari 2 opsi) yang kita inginkan. Sedangkan Mochalatte mengatakan keunikan Royale Pass kali ini adalah temanya yang colorful, yang terlihat dari skin senjata, kendaraan, ataupun aksesoris lainnya.

Hadiah level berapa saja yang layak dikejar?

Icha pun berkata, “kalau gua pribadi tentunya ngincar level 100 karena ada Phantom Cat Girl yang bagus banget. Di level 50 juga ada Foxy Maiden Set. Buat yang lain, mungkin juga tertarik dengan skin Red Line M416 tapi gua kurang tertarik karena bukan pengguna senjata itu.”

Pasta juga memiliki pendapat yang tak jauh berbeda. “Level yang harus dikejar itu jelas level 100. Tinggal pilih mau pakai cara cepat atau lambat. Hahaha…” Katanya sembari berseloroh.

Lalu untuk siapa saja Royale Pass Season 12 kali ini cocok untuk dibeli?

Pasta pun menjawab, “Cocok buat semuanya yang suka main PUBG Mobile dong. Cuma gua sih sukanya karena memang penuh warna di Season ini.”

Sedangkan Mochalatte berpendapat jika, meski cocok untuk semua kalangan, dari segi tema warna yang ditawarkan di Season 12 ini; mungkin lebih cocok buat para ladies. “Tapi, di level 100 kita dikasih pilihan juga sih antara mau Phantom Cat Girl yang girly atau Hardened Veteran yang gahar.”

Apakah kalian beli Royale Pass (RP) setiap musim? Kenapa?

“Kalau gua sih tipe orang yang beli RP tergantung dari isi RP nya juga. Biasanya, gua bakal cek dulu apa ada skin yang gua incer. Kalau ada, baru gua isi. Kalau ga ada, gua bakal skip RP Season itu. Tapi selama ini sih 90% gua selalu isi RP setiap Season.” Cerita Icha.

Sedangkan Pasta, ia mengatakan bahwa ia hanya beli RP kalau ada rezeki. “Ga setiap musim juga beli. Sambil liat-liat juga isinya bikin matanya tertarik apa enggak. Hehehe…”

Mochalatte (kiri). Pasta (kanan). Sumber: Dokumentasi pribadi
Mochalatte (kiri). Pasta (kanan). Sumber: Dokumentasi pribadi

Sebenarnya, menurut kalian fungsi Royale Pass di PUBG M itu apa sih?

“Fungsinya apa ya… Buat gaya-gaya aja sih. Biar waktu di pesawat kelihatan namanya. Wkwkwkw.” Pasta menjawab penuh canda. “Tapi, kalau mau serius, beli Royale Pass ini bisa jadi bentuk dukungan kita juga ke game yang kita sukai sih.”

Mochalatte pun menambahkan bahwa ada fungsi lain juga sebenarnya yang bisa disuguhkan dari Royale Pass. “Buat gua yang punya banyak kegiatan selain main game, RP jadi kasih gua target yang harus dipenuhi. Misalnya, kelarin misi RP setiap minggunya. Jadi, gua bakal login buat kelarin minimal 1 misi. Cara itu berguna banget buat gua supaya tetap main PUBG M. Selain itu, RP juga bisa meminimalisir rasa bosan kok.”

Ada tips biar lebih cepat menaikkan level Royale Pass?

Sumber: Razer Gold
Sumber: Razer Gold

“Tips dari gua biar cepet naikin level RP, tanpa harus bayar, bisa dengan bermain mode Solo/Duo. Soalnya, kita bisa lebih fokus ke misinya. Satu lagi, gua sih biasanya ngejar misi di server lain selain Asia karena musuhnya ga terlalu barbar jadi bisa lebih fokus dan cepat kelarin misi. Hahahaha…” Jawab Icha.

Icha pun menambahkan, “kalau ada UC, bisa juga purchase rank sih. Tapi, kalau menurut gua, purchase rank lebih baik dilakukan di akhir Season aja kalau mau lebih irit dalam penggunaan UC.”

“Tips naik level RP dengan cepat? NABUNG dan KERJA yang rajin biar bisa langsung level 100. Wkwkwkwk…”

Manfaatkan promo dari Razer Gold untuk dapat lebih banyak dari Royale Pass Season 12

Buat Anda yang sudah rajin menabung atau bekerja seperti kata Pasta tadi dan Anda ingin mendapatkan lebih banyak bonus dari pembelian Royale Pass Season, Razer Gold memberikan bonus khusus untuk Season 12 kali ini.

Selain memberikan harga terbaik, Razer Gold juga memberikan bonus yang bisa Anda dapatkan hanya dengan mengisi UC minimal US$10 atau membeli Royale Pass Season 12. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

Bonus Razer Gold Jumlah Pemenang
US$100  3
 US$50  5
 US$25  25
 US$10 100

Jika Anda tertarik, untuk mendapatkan harga miring dan bonus di atas, Anda bisa mengunjungi tautan ini untuk cara top-up UC menggunakan Razer Gold.

Disclosure: Artikel ini disponsori oleh Razer Gold, layanan virtual credit terbesar di dunia dari Razer untuk para gamer. #StayHomeGameOn #StayCleanStayHealthy #DiRumahAja

Sumber header: PUBG Mobile Official

Mengurai Masalah Game Pay to Win: Definisi, Motivasi, dan Konsekuensi

Seiring dengan meningkatnya popularitas game free-to-play, muncul juga istilah game pay-to-win. Konsep pay-to-win sebenarnya sudah bisa ditemukan saat jaman-jaman keemasan MMO gratisan di PC saat awal-awal tahun 2000an. Namun, sayangnya, di platform mobile, game-game semacam ini seakan beranak pinak kian banyak.

Sebagian besar isi dari tulisan ini memang opini saya. Namun, sebagai justifkasi opini, saya telah mengeluarkan uang setidaknya puluhan juta di game-game free-to-play, yang kebanyakan pay-to-win. Saya juga sudah berkecimpung di industri game sejak 2008, termasuk bekerja di publisher game ataupun aplikasi yang memiliki micro transactions alias in-app purchases. Karena pekerjaan saya di industri ini juga, saya telah menamatkan setidaknya 2000 game single-player (yang biasanya premium) dan mencoba belasan ribu game-game free-to-play (baik di mobile ataupun PC).

Definisi game pay-to-win

Sebelum kita mengurai lebih jauh tentang masalah sistem bisnis ini, mungkin ada yang belum tahu apa itu game pay-to-win. Buat Anda yang sudah tahu, Anda tetap bisa membaca bagian ini untuk mendeteksi ‘gejalanya’ sebelum terlanjur basah merogoh kocek.

Game pay-to-win adalah game-game yang menjadikan advantage di game sebagai komoditas. Bentuk advantage tadi bisa berupa barang premium (baik itu equipment, karakter, item, pet, dan kawan-kawannya) yang fungsinya lebih baik dari barang gratisan ataupun yang berupa semacam ‘steroid’ untuk mempercepat progresi di game.

Mungkin memang sejumlah game terang-terangan menjual barang premium yang fungsinya lebih baik dari yang gratisan dan barang tersebut memang tak bisa didapatkan tanpa membayar. Namun, tidak sedikit juga publisher dan developer game gratisan sekarang yang kian pintar untuk tidak terang-terangan menjual barang-barang tersebut dan mengaburkan konsep pay-to-win. Inilah yang saya maksud dengan ‘steroid’ di paragraf sebelumnya.

Mungkin bisa jadi Anda tidak setuju dengan ini, namun bagi saya, istilah game ‘free-to-play‘ itu saat ini sudah bisa dibilang menyesatkan (bahasa gaulnya, misleading). Kenapa? Karena sebagian besar game-game free-to-play sekarang sudah membatasi jatah Anda bermain setiap harinya — dengan sistem stamina, energi, atau apapun istilahnya. Bahkan untuk bermain saja, Anda harus membayar jika ingin waktu yang lebih lama. Setidaknya, dulu di jaman game gratisan di PC, sebagian besar mengizinkan Anda grinding/farming 24 jam non-stop.

Credits: Dorkly via Cheezburger
Credits: Dorkly via Cheezburger

Sistem pembatasan waktu bermain dan menjual kesempatan untuk bisa bermain lebih lama, bagi saya, sudah masuk kategori pay-to-win. Inilah satu hal yang mungkin harus Anda sadari jika ingin menghindari game-game pay-to-win.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Setiap game gratisan (hampir) selalu ada sistem progresi (bisa berupa level, koleksi karakter, equipment rarity, dan lain sebagainya) yang membutuhkan berbagai macam resources (gold, exp, dkk.) termasuk waktu bermain. Jadi, semakin lama Anda bermain, semakin cepat Anda mengumpulkan resource tadi.

Misalnya saja seperti ini, jika Anda bermain gratis sepenuhnya, Anda hanya bisa bermain 10x sehari. Namun, buat yang bayar, mereka bisa bermain sampai 30x sehari. Kira-kira, pemain mana yang bisa mengumpulkan resource lebih banyak dalam sebulan?

Istilah yang sering digunakan para publisher atau developer untuk berkilah adalah “pay for convenience” karena semua barang-barang atau resource juga bisa didapatkan secara gratis. Namun, di game-game yang punya sistem progresi, biasanya juga ada yang istilahnya “snowball effect“.

Mari kita kembali ke pengandaian antara pemain yang bisa bermain 10x dan 30x sehari tadi. Untuk bisa sampai ke level 10 misalnya, kita butuh 300x main. Pemain gratisan memang bisa mencapai level 10 dalam waktu 30 hari. Namun dalam waktu 30 hari, pemain yang bermain 30x sehari mungkin sudah mencapai level 15-20. Semakin lama, jarak antara dua pemain tadi, akan semakin besar sampai ada batasan konten (level cap, misalnya) di game tersebut.

Credits: Cheer Up Emo Kid
Credits: Cheer Up Emo Kid

Jadi, silakan percaya saya atau tidak, jika ada yang bilang game-nya tidak pay-to-win namun menjadikan kesempatan bermain sebagai komoditas, Anda yang bermain gratis akan (hampir) selalu ketinggalan langkah dengan yang bayar.

Kenapa ada sistem pay-to-win?

Ada beberapa alasan dan tujuan kenapa sistem ini ada. Pertama adalah pendapatan atau profit yang lebih cepat untuk publisher/developer. Game-game yang tidak punya micro-transaction hanya punya 2x kesempatan untuk mendapatkan uang dari penggunanya. Pertama adalah saat game tersebut dirilis. Kedua adalah saat game tersebut mengeluarkan premium add-on atau DLC. Sedangkan membuat game ataupun merilis DLC baru juga tidak secepat mengimplementasikan item untuk dijadikan in-app purchase.

Sedangkan game-game yang punya micro-transaction, apalagi yang jualan stamina, energi, dan kawan-kawannya tadi, bisa mendapatkan uang setiap harinya selama game tersebut masih ada pemainnya. Tidak sedikit dari game-game gratisan yang dibuat hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Via: 9Gag
Via: 9Gag

Kedua, pergeseran tren konsep game sebagai produk retail jadi game as a service (GaaS). Dulu, game memang hanya bisa dijual layaknya produk retail alias jual putus. Setelah Anda beli game-nya, Anda bebas melakukan apapun dengan produk tersebut. Mau dimainkan, dibuang, dikasihkan, atau dipinjamkan ke orang juga silakan. Game-game yang diperlakukan layaknya produk retail ini (yang jual putus) sekarang juga masih ada tapi seringnya single-player atau mencari pemasukan dari penjualan DLC secara berkala (tidak setiap hari).

Sedangkan untuk GaaS, yang Anda bayarkan adalah akses/layanan ke game tersebut (atau fitur yang ada di dalamnya). Nah, karena yang dijual adalah layanan (service), tentunya butuh biaya juga untuk bisa terus mempertahankan layanan itu ada. Misalnya biaya untuk sewa server, biaya untuk membayar para pekerjanya, biaya untuk beriklan ataupun yang lain-lainnya.

Para pekerja untuk publisher yang produknya GaaS juga biasanya lebih banyak. Misalnya, salah satu publisher Indonesia yang dulu dikenal dengan MMO gratisannya bahkan bisa memperkerjakan ratusan orang hanya untuk sebagai Game Master (orang-orang yang mengawasi para pemain di dalam game) — belum termasuk untuk divisi-divisi lainnya.

Game-game single-player yang tidak punya micro-transaction (yang jual putus), biasanya, juga tidak punya anggaran iklan setiap bulan — hanya saat rilis game atau DLC baru. Sedangkan untuk GaaS, biaya marketing atau user acquisition bisa jadi pengeluaran terbesar mereka setiap bulannya.

Oh iya, berhubungan dengan GaaS ini, saya juga ingin mengingatkan Anda untuk tidak mudah terbuai atau memberikan penilaian terlalu cepat. Setiap yang namanya produk layanan, kebijakannya bisa berubah sewaktu-waktu. Misalnya, game-game gratisan yang tadinya mungkin tidak terlalu parah soal aspek jualannya (pay-to-win-nya) bisa jadi berubah setelah setahun kemudian.

d25

Kenapa bisa begitu? Saya tahu (meski saya tidak bisa sebut nama) memang ada yang strateginya seperti jual narkoba. Kasih gratis dulu, setelah kecanduan baru diperas habis-habisan.

Contohnya dari pengalaman saya saja dengan salah satu game. Awalnya, salah satu game yang saya mainkan dulu tidak menekankan pada sistem gacha (alias random chances atau RNG) sebagai cara utama mendapatkan keuntungan. Jujur saja, saya memang benci yang semacam itu karena saya tidak suka beli kucing dalam karung. Saya pun bermain selama setahun dan mengeluarkan biaya sampai sekitar Rp30 juta untuk game tersebut. Masuk tahun kedua, semuanya berubah. Barang-barang baru di tahun kedua hanya bisa didapatkan lewat sistem gacha.

Awalnya, saya jadi berat meninggalkan game tersebut karena saya merasa sudah investasi uang dan waktu yang tidak sedikit. Meski akhirnya saya pun merelakan dan mengingatnya sebagai bahan pembelajaran atas kebodohan saya. Setelah berbincang dengan beberapa orang di balik layar, ternyata strategi semacam itu memang sengaja digunakan.

Credits: Sandra and Woo
Credits: Sandra and Woo

Alasan terakhir kenapa sistem pay-to-win ada adalah, sama seperti setiap produk yang ada di muka bumi ini, karena ada pasarnya. Sistem pay-to-win memanfaatkan sifat dasar manusia yang memang lebih senang saat menang dan cenderung memilih jalan pintas. Sifat ini mungkin memang naluriah di setiap manusia. Saya sendiri juga tidak menafikkan kepuasan batin yang saya dapatkan saat bisa membantai para pemain gratisan dengan sangat mudah setelah mengeluarkan jutaan Rupiah di satu game.

Jika kita analogikan dengan olahraga, klub bola yang kaya raya rela mendatangkan pemain bintang yang mahal demi mendapatkan lebih banyak kemenangan. Namun, sayangnya, ada lebih banyak aturan di sepak bola untuk menjaga semangat fair-play. Jika sepak bola lebih terang-terangan menggunakan sistem pay-to-win, pemain yang bayar lebih mahal boleh lari lebih lama ketimbang yang tidak bayar sama sekali.

Di luar game, ada norma-norma (sosial, budaya, dan hukum) ataupun etika yang menjunjung tinggi nilai keadilan sosial sehingga mungkin jadi tak terlalu kelihatan. Sedangkan di game pay-to-win, sistem tersebut malah dijadikan komoditas dan fitur utama.

Jual-beli ijazah atau jasa pembuatan skripsi misalnya, meskipun mungkin memang ada, tidak diiklankan segamblang itu. Sedangkan in-app purchase bahkan ditunjukkan lewat pop-up di depan mata.

Apakah sistem pay-to-win memang yang terbaik untuk publisher/developer game?

Jika memang sistem pay-to-win bisa menghasilkan uang dengan cepat, tidak dilarang (setidaknya setahu saya belum ada aturannya seperti di sepak bola tadi), dan memang memanfaatkan sifat dasar manusia, apakah sistem ini memang yang terbaik buat publisher/developer game?

Well, tergantung tujuannya. Jika tujuannya adalah mengeruk uang sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya, sistem ini memang terbukti efektif — saya tidak menyangkalnya. Namun jika tujuannya adalah membangun bisnis jangka panjang, menurut saya, sistem ini tidak bisa digunakan.

Kenapa?

Pertama, game-game yang terlalu berlebihan dalam menyodorkan sistem pay-to-win mungkin memang hampir selalu bisa menemukan segelintir pemain sultan (atau whales istilah bahasa Inggrisnya) yang mau merogoh koceknya dalam-dalam. Namun, sifat naluriah manusia jugalah yang nantinya akan jadi masalah. Meski kita memang suka dengan kemenangan mudah, kita juga suka mencari tantangan. Kita akan cepat bosan jika tidak menemukan tantangan baru. Namun di sisi lain, harapan jugalah yang membuat kita untuk terus berjalan. Memang sifat-sifat manusia itu seringnya kontradiksi satu dengan yang lainnya.

Ibaratnya, Messi atau Ronaldo pasti akan bosan bermain bola melawan Anda terus-terusan karena Anda tidak akan bisa memberikan tantangan yang berarti untuk pemain sekelas mereka. Anda juga pasti malas terus-terusan melawan mereka karena tahu tak ada harapan untuk bisa menang.

Hal itu jugalah yang terjadi di game-game pay-to-win yang sudah tutup usia. Pemain sultan lama-lama bosan mem-bully pemain gratisan. Sebaliknya, pemain gratisan juga malas di-bully terus-terusan. Menyeimbangkan antara tantangan dan harapan para pemainnya adalah kunci dari game-game gratisan yang berumur panjang.

Kedua, sepanjang karier saya dari 2008 tadi, tanggung jawab utama saya adalah mengurus user/pengguna (bagaimana memberikan konten yang berkesan dan bermanfaat, menyuguhkan pengalaman yang menyenangkan, menarik perhatian, dkk.). Jadi, saya tahu setiap pengguna itu akan bertambah pintar cepat atau lambat. Bedanya hanyalah ada yang bisa dibodohi 1x tapi ada juga yang bisa dibodohi berkali-kali wkakwkakwka… Demikian juga dengan game-game pay-to-win.

Cyberpunk 2077. Credits: CD Projekt
Cyberpunk 2077. Credits: CD Projekt

Buat yang menantikan rilisnya Cyberpunk 2077, saya yakin betul mereka pernah memainkan The Witcher. Demikian juga dengan mereka-mereka yang dulu menantikan RDR2, kemungkinan besar adalah para fans dari seri GTA. Maksudnya, para gamer itu juga tidak sebodoh itu. Kita tahu produk dari siapa saja yang memberikan kita kenangan manis untuk dikenang.

Game-game yang memberikan kesan positif yang di akhir permainan membuat para pemainnya menantikan produk-produk baru dari para pembuat game-game tersebut.

Sedangkan game-game pay-to-win, buat saya, lebih mengingatkan saya pada kebodohan diri saya sendiri dan bagaimana mereka berhasil membodohi saya. Jadinya, saya akan menghindari game-game dari rilisan publisher yang sama. Makanya, tidak sedikit juga publisher game pay-to-win yang mencoba mengaburkan/mengganti namanya karena sudah tahu banyak orang jera dengan produk mereka. Kalaupun ada yang masih menggunakan brand yang sama, popularitas game-game baru mereka sudah jauh berkurang dibanding yang sebelum-sebelumnya.

Penutup

Credits: Fabrik Brands
Credits: Fabrik Brands

Jadi apakah game-game pay-to-win masih akan terus ada? Menurut saya, iya. Hal ini sama saja dengan pertanyaan apakah kebanyakan media daring masih akan terus menggunakan click-bait dan trik-trik picisan lainnya untuk mencari perhatian. Faktanya, akan selalu ada para pelaku industri yang memilih uang atau hasil cepat ketimbang membangun brand loyalty untuk jangka panjang.

Namun demikian, Anda sebagai user/pengguna juga tentunya sudah mulai bisa lebih jeli dalam memilih produk seperti apa yang ingin Anda gunakan ataupun berikan dukungan. Apakah Anda lebih suka produk yang memanfaatkan kebodohan Anda? Atau Anda memilih produk yang memang bertujuan memberikan pengalaman yang terbaik? Jawabannya sepenuhnya di tangan Anda.

Feat image: via Pinterest

5 Tim Penantang Juara Dunia di PMPL ID Season 1 Versi Wolfy

Babak Regular Season PUBG Mobile Pro League Indonesia Season 1 (PMPL ID Season 1) sudah dimulai sejak 6 Maret 2020 lalu. 24 tim peserta PMPL ID Season 1 akan bertanding selama 4 pekan sampai 29 Maret 2020 mendatang memperebutkan gengsi sebagai tim terbaik di kancah PUBG Mobile Indonesia.

Sebagai liga PUBG Mobile kasta satu di Indonesia, PMPL Indonesia 2020 tentu akan menyajikan persaingan ketat antar tim, pertandingan-pertandingan berkualitas dengan tingkat kemampuan yang tinggi. Sang juara dunia PUBG Mobile, Bigetron Red Aliens, sudah pasti menjadi sorotan utama PMPL Indonesia 2020. Namun demikian, PMPL Indonesia 2020 bukan hanya tentang Bigetron Red Aliens saja.

Berbincang dengan shoutcaster serta analis PUBG Mobile, Florian George (Wolfy) berpendapat setidaknya ada 5 tim dari total 24 peserta, yang patut disorot selama babak Regular Season PUBG Mobile Pro League 2020 nanti, selain Bigetron RA. Siapa saja mereka? Berikut daftarnya:

1. Red Rocket Cosmic

Sumber: Instagram @redrocket.id
Sumber: Instagram @redrocket.id

Nama Red Rocket Cosmic mungkin terdengar sangat baru di kancah kompetitif PUBG Mobile, namun bukan berarti tim yang satu ini bisa diremehkan begitu saja. Lolos dari Playoff Qualifier Group A, Wolfy menyebut bahwa tim Red Rocket Cosmic merupakan salah satu tim potensial, yang perjuangannya patut disorot selama babak Regular Season PMPL Indonesia Season 1.

Mengapa demikian? Salah satu alasannya datang dari roster tim mereka. Menghadapi PMPL Indonesia Season 1, anggota Red Rocket Cosmic adalah, Kingzz, Rocky, Teddy, dan RedFaceN. “Mereka tampil dominan banget pada saat qualifier, ditambah lagi mereka juga punya Kingzz. Dia dulu sempat bermain untuk Bigetron, dan punya banyak pengalaman, termasuk sempat mewakili Indonesia di gelaran PMSC 2018 yang diselenggarakan di Dubai.” ucap Wolfy.

Sempat merasakan kejayaan pada awal-awal musim kompetitif PUBG, Kingzz mengatakan ingin rehat sejenak saat itu. Kini ia kembali bersama Red Rocket Cosmic, dan ingin mendapatkan kejayaannya kembali. “Menghadapi PMPL Indonesia Season 1, gue sih nggak punya keinginan untuk mengalahkan suatu tim tertentu, gue cuma ingin jadi juara lagi. Apalagi pemain-pemain di dalam tim gue punya kemampuan bidikan yang tajam. Setelah sebulan main sama Red Rocket, hal tersebut kelihatan sekali, cuma mungkin memang harus meredam ego, agar tidak ada perselisihan di dalam tim.” cerita pria dengan nama asli Galang Yoga Adhitama tersebut.

Red Rocket Cosmic memang masih harus membuktikan banyak hal. Setelah week 1 PMPL ID Season 1 usai, mereka menempati peringkat 12 dengan perolehan satu kali Chicken Dinner dan 111 poin.

2. NFT Esports

Sumber: Instagram @nft_esports
Sumber: Instagram @nft_esports

Organisasi yang berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan, terbilang sudah cukup lama malang melintang di kancah kompetitif PUBG Mobile Indonesia. Tahun lalu, mereka berhasil mencapai beberapa kompetisi tingkat tinggi, seperti PINC 2019 bahkan PMCO SEA Fall Split 2019. Namun memang, tim yang beranggotakan MasGaga, Flippy, Liquid, dan PalaGimpe ini masih harus membuktikan banyak hal.

Sejauh ini perolehan terbaik mereka adalah saat PINC 2019, berhasil mendapat posisi 5 besar bersama RRQ dan EVOS. Namun demikian, setelahnya mereka mengalami hasil yang kurang optimal, seperti pada PMCO SEA Fall Split 2019 saat mereka harus puas bertengger di peringkat 15 dan hanya memperoleh 82 poin saja.

“Menurut gue NFT harusnya berpotensi tampil baik di PMPL 2020 nanti. Apalagi mereka juga juga baru membongkar roster. Ada Liquid yang comeback ke NFT, dipinjam dari BTR, lalu juga masih ada pemain lama mereka, MasGaga. Lalu untuk dua pemain lagi, Flippy dan PalaGimpe sebenarnya masih pemain baru. Pengalaman 2 pemain lama yang pernah mewakili Indonesia di PMCO SEA Fall Split 2019 ditambah 2 pemain baru, harusnya roster ini bisa saling melengkapi.” Ucap Wolfy.

Sayangnya, MasGaga malah terbilang masih cukup ragu dengan roster saat ini, dan masih menganggapnya sebagai salah satu tantangan terberat bagi NFT Esports. “Sejauh roster memang jadi salah satu kendala bagi kami untuk menghadapi PMPL Indonesia Season 1. Sebelumnya kami beberapa kali berganti roster, jadi untuk PMPL masih banyak yang harus dibenahi, membangun chemistry dan lain sebagainya.”

Performa NFT Esports terbilang kendor pada pertandingan perdana. Setelah week 1 PMPL ID Season 1 usai, mereka menempati peringkat 19 dengan perolehan satu kali Chicken Dinner dan 80 poin.

3. Siren Esports

Instagram @sirenesports
Instagram @sirenesports

Merupakan pendatang baru di kancah kompetitif PUBG Mobile, Siren Esports sebenarnya belum punya terlalu banyak pengalaman bertanding di tingkat lokal, nasional, apalagi internasional. Baru diumumkan 9 November 2019 lalu, Siren Esports juga masih seumur jagung secara organisasi. Namun, Siren Esports menjadi tim underdog yang patut diantisipasi penonton menurut Wolfy.

Tim yang beranggotakan Sinon, Barrier, Jacks, Rey2000, dan Ekozu ini harus berjuang keras melalui Playoff Qualifier B untuk dapat bertanding di PMPL Indonesia Season 1. Selain karena itu, Wolfy mengatakan bahwa hal lain yang membuat Siren Esports jadi istimewa adalah karena kehadiran sosok pemain senior di skena PUBG Mobile Indonesia, StMichael, sebagai pelatih.

Selain itu, untuk tim yang terhitung baru, Siren Esports terhitung punya chemistry tim yang cukup solid. Jacks sempat bercerita soal ini, ketika ia bersama Siren Esports menghadapi Playoff Qualifier. “Gue sendiri sebenarnya adalah pemain baru di dalam tim, tapi ketika kualifikasi kami bisa cepat saling menyesuaikan permainan, padahal ketika itu waktu persiapannya hanya 4 sampai 5 hari saja.”

Menghadapi PMPL, Jacks sendiri mengaku optimis dan berambisi untuk dapat menumbangkan sang raja, Bigetron RA. “Karena mereka adalah juara dunia, gue tidak ingin kompetisi PUBG Mobile terus-terusan didominasi Bigetron RA. Gue tahu ini cukup ambisius, tapi gue ingin dapat menumbangkan rajanya PUBG di pertandingan PMPL Indonesia Season 1 ini.”

Siren Esports tertinggal cukup jauh dibanding dengan kawan-kawannya pada pekan pertama. Mereka menempati peringkat 22 dengan perolehan 66 poin tanpa satu kalipun mendapatkan Chicken Dinner.

4. Dranix Avenger

Sumber: Dokumentasi PUBG Mobile Indonesia
Sumber: Dokumentasi PUBG Mobile Indonesia

Untuk berikutnya, Wolfy menyebut nama tim Dranix Avenger. Secara pengalaman internasional, tim yang satu ini mungkin bisa dibilang cukup ketinggalan. Namun pengalaman mereka bertanding di kancah lokal terbilang sudah cukup banyak, termasuk juga pernah mengikuti PINC 2019. Pada kompetisi tingkat nasional tersebut, mereka berhasil mendapatkan peringkat 6 dengan perolehan poin yang beda tipis dengan NFT Esports.

Menghadapi PMPL Indonesia Season 1, roster Dranix Avenger adalah, Ucup, MOZZAD, Vinz, Cryzen, dan Lyzerg. Dari roster ini, hanya Cryzen dan Lyzerg yang masih membela Dranix Esports sejak dari zaman PINC 2019. Namun demikian, kombinasi pemain lama dengan pemain baru ini yang membuat Dranix Avenger berpotensi jadi kuat pada gelaran PMPL Indonesia Season 1. “Dranix sekarang mulai stabil permainannya, apalagi dia punya pemain yang punya aim jitu seperti Cryzen, ditambah pemain yang gerakannya lincah seperti Ucup.”

Brian Caramoy (MOZZAD) sempat berbagi ceritanya soal persiapan PMPL ini. “Kebetulan ini adalah roster baru, jadi memang masih dalam proses untuk menyatukan pikiran. Sejauh ini kami biasanya bermain bersama-sama untuk menyatukan pikiran, entah itu rank ataupun scrim dengan tim lainnya. Kami cukup percaya diri menghadapi PMPL 2020 ini, karena walaupun roster kami baru, namun masing-masing pemain punya pengalamannya tersendiri menghadapi kompetisi besar baik dalam skala lokal maupun nasional.”

Masih banyak ruang bagi Dranix untuk jadi lebih baik lagi. Setelah pekan pertama usai, mereka menempati peringkat 17 dengan perolehan 87 poin dan tanpa satu kalipun Chicken Dinner.

5. MORPH Team

Sumber: Instagram @morph.team
Sumber: Instagram @morph.team

Terakhir ada tim yang sedang hangat menjadi perbincangan, yaitu MORPH Team. Merupakan tim esports iterasi kedua besutan Youtuber ternama, Reza Arap, MORPH Team sudah menunjukkan performa yang tidak disangka-sangka pada pertandingan debutnya. Maka dari itu, tak heran jika Wolfy juga menyebut MORPH Team sebagai salah satu tim paling berpotensi di PMPL Indonesia Season 1.

Tim ini beranggotakan pemain-pemain penuh pengalaman seperti Jeixy, Rensky atau Takanome, nMrcy,dan zBrol. Pemain yang paling menjadi sorotan di sini mungkin adalah Herli Juliansyah (Jeixy) mantan pemain PUBG Mobile EVOS Esports. Reputasi Jeixy di dunia kompetitif PUBG Mobile memang sudah cukup ternama. Sampai saat ini, ia mungkin bisa dibilang masih menjadi penantang berat si kembar Zuxxy Luxxy dan tim Bigetron Red Aliens. Saat bersama EVOS Esports, ia berhasil melibas Bigetron RA, dan membawa si harimau biru menjuarai PINC 2019.

Bersama MORPH tentu saja ia ingin dapat mengulang kesuksesan tersebut. “Permainan MORPH sedang luar biasa, gaya bermain mereka mirip seperti EVOS waktu juara PINC 2019 lalu. Apalagi dari sisi pemain, mereka punya NoMercy, yang punya bidikan luar biasa tajam.” Wolfy memberikan komentarnya terhadap MORPH Team.

Menghadapi PMPL Indonesia Season 1, Jeixy mengaku masih bereksperimen dengan role masing-masing pemain. “Kita masih mencoba mencari role terbaik dari masing-masing pemain. Jadi ada kendala-kendala seperti salah satu pemain dicoba untuk memainkan suatu role tapi belum bisa. Sampai sekarang kami masih dalam proses, sampai menemukan pembagian role yang paling pas bagi roster kami.”

Salah satu pemain MORPH Team, Rensky (dulu dikenal dengan nickname Takanome), juga sempat mengakui kekurangan ini saat mereka berhasil menjuarai DG League 2020. “Masih banyak hal yang bisa kami improve sih. Performa kami masih banyak sekali kekurangan, apalagi jika menghadapi skenario-skenario terburuk seperti pada ronde terakhir pertandingan DG League 2020 kemarin.”

MORPH Team menunjukkan tajinya sebagai penantang terkeras dari Bigetron RA di pekan pertama PMPL ID Season 1. Mereka berhasil mendapatkan 149 poin, walau tidak memperoleh Chicken Dinner.

Pekan kedua PUBG Mobile Pro League Indonesia 2020 Season 1 sudah dimulai sejak hari Rabu (11 Maret 2020) kemarin. Memperebutkan hadiah sebesar US$150.000 (sekitar Rp2,2 miliar), 24 tim bertanding memperebutkan slot 16 besar untuk laga puncak PMPL ID Season 1 yang akan diselenggarakan 4-5 April 2020 mendatang, dan kembali bertanding untuk memperebutkan tiket menuju laga interasional.

Kira-kira, siapakah tim yang bisa menunjukkan performa paling konsisten selama 4 pekan PMPL ID Season 1 ini?

[Guide] Sniper Dota 2: Item Build, Skill Build, dan Talent Build

Walaupun terbilang sebagai hero populer, Sniper Dota 2 memiliki pick rate yang rendah. Setidaknya di rank Legend ke atas, Sniper hanya memiliki pick rate sebesar 10.26% saja. Tetapi di rank Herald sampai Crusader, Sniper cukup sering dipakai oleh para pemain baru. Alasannya, Sniper adalah hero yang sangat mudah untuk dimengerti dan dimainkan. Betul memang, Anda hanya membutuhkan right click dan dua skill yang dilemparkan ke musuh.

Skill Shrapnel-nya memberikan efek slow dan Assasinate-nya berguna untuk membunuh musuh ketika HP mereka sekarat. Tetapi, Sniper bisa saya sebutkan sebagai hero yang easy to learn but hard to master. Pemain Sniper yang handal bahkan tidak pernah merelakan dirinya untuk terlihat di pertempuran karena ia tidak memiliki escape ability sama sekali dan sangat mudah untuk dibunuh.

Genre game MOBA atau lebih spesifiknya yang sedang saya bahas adalah Dota 2, adalah game yang sangat dinamis. Semua skill dan item build bergantung pada situasi yang sedang dialami pemain. Melalui guide ini, saya akan memberikan beberapa opsi yang bisa Anda terapkan ketika bermain Sniper.

Skill Build

Full Shrapnel

BUILD 1

Pilihan skill build pertama adalah memaksimalkan level Shrapnel Anda. Pilihan ini berguna di situasi ketika Anda dapat mengeluarkan damage tanpa ada musuh yang bisa mendekati Anda. Contohnya, apabila Anda berada di safe lane ditemani support dan hanya melawan satu offlaner saja. Apabila offlaner musuh ditemani oleh support mereka, saya tidak menyarankan untuk menaikkan Shrapnel secara maksimal. Karena, besar kemungkinannya musuh akan balik menyerang Anda. Dengan demikian, Anda akan sia-sia mengeluarkan Shrapnel. Build ini juga bagus dipakai untuk Sniper di posisi mid lane yang memutuskan untuk farming di hutan. Dengan level Shrapnel yang besar, Anda dapat menghabiskan neutral camp dengan cepat dan kembali ke lane. 

Full Headshot

2

Build ini membutuhkan setidaknya satu Wraith Band dan Phase Boots untuk bisa efektif. Idenya di build ini adalah Anda bisa memberikan damage terus menerus terhadap musuh tanpa harus mengorbankan apapun (skill atau posisi). Headshot memiliki bonus damage yang cukup besar untuk early game. Dengan Headshot, Anda juga lebih mudah untuk mengadu last hit dengan musuh yang ada di lane. Secara pribadi, saya paling sering memakai build ini.

Item Build

ITEM

Dua Wraith Band di awal game sangatlah membantu Anda di banyak aspek. Memberikan damage tambahan sehingga Anda bisa melakukan harass lebih maksimal kepada musuh dan juga memenangkan adu last hit. Penambahan HP dari atribut strength yang akan memberikan sustainability bagi Anda. Alasan saya lebih memilih Phase Boots dibandingkan Power Thread adalah bonus movement speed-nya. Seperti yang saya bilang, Sniper tidak memiliki escape ability sama sekali. Dengan demikian, bonus movement speed dari Phase Boots sangatlah berguna untuk melarikan diri atau mengejar musuh. Armor yang didapat dari Phase Boots juga berguna untuk menahan serangan right click dari musuh ketika laning phase. 

Maelstorm adalah item yang wajib Anda buat. Barang ini sangat membantu Anda untuk farming di lane ataupun hutan dengan lebih cepat. Maelstorm juga tergolong item yang murah sehingga bisa dibeli di awal game. Hurricane Pike adalah item kedua setelah Maelstorm yang harus Anda beli. Bonus attribute agility dan strength sangat membantu Anda di awal game untuk bertahan hidup dan memberikan damage. Force staff-nya juga berguna untuk menyelamatkan diri Anda dari musuh yang mengejar. Jangan lupa bonus attack range-nya, apabila digabungkan dengan Take Aim, Anda bisa menyerang musuh dari jarak yang sangat jauh.

Defensive items bisa menjadi pertimbangan apabila Anda kesulitan untuk bertahan hidup ketika peperangan terjadi. Silver Edge bisa menjadi pilihan ketika Anda membutuhkan satu escape item setelah Hurricane Pike. Silver Edge juga sangat berguna untuk memilih posisi ketika peperangan terjadi tanpa terlihat oleh siapapun. Sehingga Anda bisa melancarkan damage secara maksimal tanpa khawatir akan didatangi oleh musuh. Apabila Anda menghadapi musuh yang memiliki banyak crowd control, Black King Bar merupakan item wajib untuk bertahan hidup. Bonus damage dari BKB juga setidaknya memberikan Anda sedikit damage ketika berperang.

Pemilihan antara Heart of Tarrasque atau Satanic cukuplah mudah. Apabila Anda masih bisa melakukan right click ketika berperang, maka buatlah Satanic untuk bertahan hidup dan mengadu damage dengan carry musuh. Namun apabila Anda benar-benar ditekan oleh musuh dengan crowd control dan magic damage, saya menyarankan untuk membuat Heart of Tarrasque. Mungkin beberapa dari Anda akan mengerutkan alis ketika membaca Heart of Tarrasque ada di item build Sniper. Tetapi percayalah, dengan item ini musuh akan membutuhkan waktu yang lama untuk membunuh Anda.

Offensive items sangat mudah untuk dipertimbangkan. Apabila Anda melawan musuh dengan jumlah HP yang banyak, Daedalus bisa menjadi pilihan. Dengan critical, Anda bisa menghabiskan musuh yang memiliki jumlah HP yang besar dengan cepat. Desolator berguna untuk menghancurkan bangunan milik musuh dengan armor reduction-nya. Desolator juga tergolong murah sehingga bisa diselesaikan di saat mid game. 

Talent Build

TALENT

Hanya ada satu pilihan untuk talent build di guide ini. Saya masih percaya bahwa build ini adalah yang paling efektif untuk segala situasi. Di level 10, +20 damage adalah pilihan yang jauh lebih berguna dibandingkan +25% cooldown reduction. Pasalnya, Anda tidak membutuhkan cooldown reduction apabila bermain Sniper dengan physical damage.

+20% Shrapnel slow akan sangat membantu Anda memberikan crowd control tambahan di peperangan. Menuju ke akhir game, +30 Shrapnel damage membuat Shrapnel tetap efektif ketika musuh memiliki HP yang relatif lebih besar. +35 knockback distance headshot berpotensi untuk menyulitkan rekan tim Anda untuk menghabisi musuh. Pilihan paling berat terjadi di level 25. +125 attack range akan membuat Anda nyaman ketika melakukan serangan ke base musuh atau bertahan saat musuh menyerang base Anda. Tetapi, apabila Anda memang sedang dalam keadaan tertekan dan kalah. Saya menyarankan untuk mengambil +6 Shrapnel charges. Tambahan Shrapnel charges berguna untuk menghabiskan creep wave ketika musuh ingin menghancurkan base Anda.

Worst Enemies

Spectre

Di late game, hampir tidak mungkin Anda bisa mengalahkan Spectre dengan Sniper. Spectre memiliki skill ultimate Haunt yang memungkinkan dia untuk berada tepat di samping Anda. Positioning adalah kunci ketika memainkan Sniper. Spectre akan dengan mudah menghancurkan positioning Anda. Selain itu, rekan tim Anda akan kesulitan ketika Anda memberikan damage kepada Spectre. Pasalnya, Spectre memiliki skill Dispersion yang dapat memantulkan damage yang ia terima ke sekitarnya.

Phantom Assassin

Hero dengan gap closing adalah lawan terberat Sniper. Phantom Assassin memiliki Phantom Strike dan juga Coup de Grace. Selain ia bisa menghampiri Sniper dengan mudah, Phantom Assassin juga dapat membunuh Sniper dengan cepat. Adanya Blur juga memaksa Anda untuk membuat Monkey King Bar guna membunuh Phantom Assassin. Sehingga, Anda harus mengorbankan 1 slot di inventory.

Best Support Teammates

Ogre Magi

Lagi-lagi Ogre Magi masuk daftar support terbaik untuk membantu carry. Tidak bisa dimungkiri, Bloodlust miliknya memang skill terbaik untuk membantu carry guna mengeluarkan damage yang lebih besar di peperangan. Fireblast-nya juga berguna untuk menghadang musuh yang sedang mengincar Sniper. Ketika laning phase, Ogre Magi juga berguna untuk menahan damage ketika peperangan kecil terjadi. Sehingga Sniper bisa bebas melakukan right click tanpa khawatir terkena damage dari musuh.

Abaddon

Melee support adalah pilihan terbaik untuk mendampingi Sniper. Agar Sniper bisa berada di posisi yang aman, sementara support-nya menahan semua damage di depan. Berkat Aphotic Shield, Abaddon memiliki kemampuan untuk menyelamatkan Sniper dari segala macam crowd control yang ia terima. Mist Coil juga berguna untuk memberikan sustainability bagi Sniper di awal game. Walau tidak memiliki damage, Abaddon bisa memberikan efek slow terhadap musuh dengan Curse of Avernus. Dibantu dengan Shrapnel, mereka berdua akan memberikan efek slow yang besar terhadap musuh.

Mengintip Bisnis Perusahaan Voucher Game Digital di Indonesia

Dalam 10 tahun belakangan, industri game telah banyak berubah. Tidak hanya dari segi teknologi, tapi juga model bisnis. Jika dulu Anda harus membeli game dalam bentuk fisik — cartridge atau kepingan CD — sekarang, Anda bisa membeli game di toko digital, seperti Steam. Setelah game dibeli, Anda cukup mengunduhnya ke komputer atau konsol.

Sementara itu, dari segi model bisnis, kreator game sekarang tidak hanya mendapatkan pemasukan dari penjualan game. Terkadang, game bisa dimainkan secara gratis, tapi ada microtransaction dalam game. Item yang dijual dalam game memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang memang berfungsi sebagai powerup, ada juga yang hanya menjadi item kosmetik. Dota 2 dan PUBG Mobile adalah contoh game yang bisa dimainkan gratis tapi menawarkan pembelian dalam game. Selain itu, publisher game sekarang juga bisa menggunakan sistem berlangganan, sehingga sebuah game masih bisa terus menghasilkan pendapatan walau telah diluncurkan beberapa tahun lalu.

Segala sesuatu yang serba digital memang memudahkan gamer untuk membeli game atau item dalam game. Masalahnya, kartu kredit adalah salah satu metode pembayaran utama. Sementara, di Indonesia, pengguna kartu kredit masih sangat sedikit. Menurut Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, per 2019, jumlah pengguna kartu kredit Indonesia hanya mencapai 17,48 juta orang. Sementara populasi di Indonesia mencapai 267 juta orang. Itu artinya, jumlah pengguna kartu kredit di Indonesia hanya mencapai 6,55 persen dari total populasi. Untungnya, seiring dengan berkembangnya teknologi, opsi pembayaran untuk membeli game atau item game di Indonesia juga bertambah.

Pada awalnya…

Pada awal tahun 2000-an, ketika game-game MMORPG sedang populer, voucher game masih berupa voucher fisik. Anda bisa membelinya langsung di warnet tempat Anda bermain. Setelah itu, mulai muncul berbagai situs yang menjual voucher game, seperti GudangVoucher, Indomog, dan UniPin. Kemudian, perusahaan telekomunikasi mulai menawarkan metode pembayaran dengan potong pulsa. Sekarang, metode pembayaran untuk membeli game atau item dalam game sudah semakin beragam, mulai dari voucher fisik (ya, ini masih ada), pembayaran di Indomaret/Alfamart, internet/SMS banking, sampai berbagai layanan pembayaran digital, seperti GoPay dan OVO.

Kali ini, kami akan mengintip dari 3 pelaku industri payment gateway yang menjual voucher game sebagai produk layanan mereka.

Pada awalnya, UniPin hanya menjual voucher fisik untuk game. Sekarang, bisnis utama UniPin masih tetap menjual voucher game, hanya saja, dalam bentuk digital. Dengan kata lain, UniPin adalah salah satu tempat untuk top up game. Saat mengobrol dengan Poeti Fatima Arsyad, Senior VP Marketing, UniPin di kantor tempatnya bekerja, dia menjelaskan, UniPin adalah agregator, mempertemukan para publisher game dengan payment channel. Ini memudahkan para gamer untuk membeli item dalam game menggunakan metode pembayaran apapun mereka mau. Selain top up game, Anda juga bisa melakukan pembayaran untuk berlangganan produk digital lain di UniPin, seperti Netflix dan Spotify.

UniPin menjadi situs aggregator. | Sumber: UniPin
UniPin menjadi situs aggregator. | Sumber: UniPin

Perempuan yang akrab dengan panggilan Poeti ini menjelaskan, untuk dapat menjadi agregator, UniPin harus menggandeng berbagai perusahaan penyedia layanan pembayaran. Namun, mereka tidak mau sembarangan menerima metode pembayaran baru yang ada. “Ngomongin soal payment channel, kita nggak serta merta semua dimasukin. Kalau misalnya, ada yang tidak lulus OJK (Otoritas Jasa Keuangan), kita nggak mau. Kita nggak sembarangan,” katanya. Walau sudah pilih-pilih sekalipun, dia mengaku, metode pembayaran di Indonesia memang sangat banyak, lebih dari lima puluh metode pembayaran. “Kita kan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, jadi sangat normal kalau metode pembayarannya banyak.”

Selain pengakuan OJK, ada beberapa hal lain yang UniPin perhatikan sebelum mereka menerima metode pembayaran. Dua di antaranya adalah traction dan model bisnis dari sebuah payment channel yang hendak bekerja sama. Meskipun begitu, Poeti mengatakan bahwa mereka tidak memiliki persyaratan tertentu terkait jumlah transaksi atau jumlah pengguna sebuah ewallet.

“Kita nggak punya persyaratan jumlah pengguna. Itu tergantung dari proses negosiasi untuk commercial term-nya bagaimana. Karena, bagi kami, mereka adalah strategic partner kami. Tanpa mereka, kami juga tidak bisa jalan,” katanya.

GoPay mengumumkan ketersediaan sebagai opsi pembayaran terbaru di Google Play Store
GoPay mengumumkan ketersediaan sebagai opsi pembayaran terbaru di Google Play Store.

Dari semua metode pembayaran yang ada di Indonesia, Poeti bercerita bahwa OVO dan GoPay adalah metode pembayaran yang paling sering dipakai. Alasannya karena dua metode pembayaran sangat simpel. Anda bisa melakukan pembayaran via smartphone Anda. Sementara untuk bank, BCA adalah bank yang paling sering digunakan di kalangan pengguna UniPin. Dia menjelaskan, “Di sini, bank paling besar itu apa? BCA. Ya itu juga paling sering dipakai.” Rata-rata jumlah top up pengguna UniPin adalah Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sementara umur pengguna UniPin biasanya ada di rentang 18 tahun sampai 40 tahun.

Poeti juga mengungkap, jika ada sebuah publisher asing hendak masuk ke Indonesia, maka mereka akan harus menjalin kerja sama dengan semua payment channel yang ada, mulai dari bank, convenient store, ecommerce, dan ewallet. “Sementara fokus mereka itu ya mengembangkan dan merilis game,” katanya. Dengan bekerja sama dengan UniPin, pihak publisher tak lagi perlu repot-repot untuk menghubungi setiap payment channel.”Kami ingin mempertemukan publisher dengan payment channel,” ujarnya.

UniPin dan Bisnis Esports

Setelah sukses menjadi aggregator, UniPin mulai masuk ke dunia esports. Awalnya, Poeti bercerita, UniPin hanya mengadakan turnamen skala kecil dan menengah. “Sebelum esports diakui di Asian Games dan SEA Games, kami sudah membuat turnamen esports yang kecil-kecil,” ungkap Poeti. Menurutnya, UniPin beruntung karena bekerja sama dengan Indomaret. “Mereka kan bisnisnya sudah seperti real estate. Di mana ada perumahan atau gedung baru, di sana ada Indomaret,” katanya. Tak hanya Indomaret, UniPin juga bekerja sama dengan sejumlah warung internet seperti High Ground dan juga restoran seperti Upnormal. Selain mengadakan turnamen, UniPin juga mulai melakukan roadshow secara gerilya dengan tujuan untuk memperkuat komunitas esports.

Pada 2018, UniPin mulai membuat turnamen dalam skala yang lebih besar. Di tahun itu, mereka menyelenggarakan SEACA (South East Asia Cyber Arena), dengan hadiah mencapai Rp1,4 miliar. Pada tahun 2019, UniPin kembali mengadakan SEACA. Kali ini, total hadiah dari turnamen tersebut naik menjadi Rp2,4 miliar. Ketika ditanya tentang alasan UniPin masuk ke esports, Poeti menjelaskan bahwa mereka mengadakan turnamen esports sebagai cara untuk mendukung ekosistem game dan esports.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
SEACA 2019. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

“Kenapa kita adain turnamen esports? Karena kalau kita dukung ekosistem, kalau ekosistem terbentuk dengan baik dan stabil, bisnis kita jalan,” jawab Poeti saat ditanya alasan UniPin untuk ikut masuk ke dunia esports. Dia mengaku, mengadakan turnamen esports memberikan dampak langsung pada bisnis mereka sebagai aggregator. “Impact dari esports ke bisnis, aku bisa bilang lebih dari 100 persen, lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan ketika tidak ada event,” ujarnya.

Poeti menjelaskan, jika ekosistem esports tumbuh, ini akan mendorong orang untuk semakin sering bermain atau bermain dengan lebih kompetitif, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah uang yang dihabiskan oleh para gamer dalam game. “Esports mengajarkan para penontonnya untuk berkompetisi dengan sehat. Karena ada perlombaan, jadi para gamer mau mengasah skill mereka. Dengan adanya esports, spending juga jadi lebih besar,” aku Poeti.

GoPay

Walau pada awalnya GoPay tersedia hanya untuk melakukan pembayaran dari berbagai layanan GoJek, sekarang GoPay bisa digunakan untuk membeli berbagai hal, termasuk top up game. Senior Marketing Manager GoPay, Reza Putranta menjelaskan, industri game memiliki potensi besar di Indonesia. Tidak heran, mengingat jumlah gamer di Tanah Air yang memang tidak sedikit. “Jumlah gamers di Indonesia diperkirakan mencapai 60 juta pada 2019, meningkat menjadi 100 juta gamer pada tahun 2020 ini,” kata Reza dalam pernyataan resmi pada Hybrid. “Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat satu di Asia Tenggara dan peringkat enam di Asia.”

GoGames jadi fitur terbaru GoJek. | Sumber: YouTube Gojek
GoJek targetkan gamer dengan GoGames. | Sumber: YouTube Gojek

Selain UniPin, GoPay juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak dalam rencananya untuk menyasar gamer, seperti Codashop, GOC, dan, uPoint. “Sejak Agustus 2019 lalu, pengguna juga sudah bisa top up game dan membayar beragam aplikasi pakai GoPay di Google Play,” ujar Reza. “Ke depan, kami terbuka untuk berkolaborasi dengan semua pihak yang memiliki kesamaan visi.” Reza mengatakan, sejak itu, transaksi GoPay terkait game terus naik. “Jumlah transaksi GoPay di Google Play naik hingga tiga kali lipat dari Agustus hingga Desember 2019. Sebanyak 60 persen transaksi didominasi oleh game, 40 persen sisanya untuk pembayaran aplikasi streaming dan webtoon,” dia mengaku.

Sementara itu, game yang paling populer di kalangan pengguna GoPay adalah Free Fire, Mobile Legends, PUBG Mobile, Game of Sultan, Gardenscape, Homescape, dan Hago. Selain menjadi channel pembayaran, Reza mengatakan, GoPay juga tertarik untuk mendukung industri esports. Salah satu caranya dengan menjadi title sponsor dari GoPay Mobile Legend Campus Championship 2020. Tahun lalu, GoPay juga mensponsori salah satu tim esports terbesar Indonesia, RRQ.

Razer

Sejak awal, UniPin memang perusahaan yang menjual voucher game dan GoPay adalah payment channel yang kemudian memutuskan untuk melayani para gamer. Sementara itu, Razer adalah perusahaan peripheral gaming yang kemudian mencoba untuk menyediakan layanan finansial, salah satunya metode pembayaran. Razer pertama kali meluncurkan zGold dan zSilver pada 2017. Ketika itu, Razer zGold adalah mata uang digital yang dapat digunakan untuk membeli item dalam game, sementara zSilver adalah platform untuk reward ssytem. Pada Desember 2018, Razer mengubah nama kedua produknya menjadi Razer Gold dan Razer Silver, walau fungsi keduanya masih sama.

Selain itu, Razer juga menyediakan Razer Pay, sebuah ewallet. Razer pay pertama kali diluncurkan di Malaysia pada 2018. Menurut laporan The Drum, per 30 Juni 2019, jumlah pengguna Razer Pay telah mencapai satu juta orang. Sayangnya, saat ini, Razer Pay hanya tersedia di Malaysia dan Singapura.

Razer Gold merupakan mata uang digital untuk membeli item dalam game. | Sumber: Razer
Razer Gold merupakan mata uang digital untuk membeli item dalam game. | Sumber: Razer

“Beberapa tahun belakangan, kami terus menciptakan produk baru untuk menjadi bagian dari generasi muda dan milenial di dunia. Ini memberikan kami kesempatan untuk mencoba masuk ke berbagai industri baru,” kata Lee Li Meng, Chief Strategic Officer Razer dan CEO Razer Fintech, dikutip dari The Drum. Salah satu industri baru yang diminati Razer adalah finansial. Sekarang, mereka bahkan memiliki Razer Fintech, divisi yang khusus mengembangkan layanan finansial.

Pada awal tahun ini, Razer mengungkap rencananya untuk membuat bank digital. Di bawah Razer Fintech, mereka meminta lisensi bank digital pada Monetary Authority of Singapore (MAS). Tujuannya adalah untuk menyediakan produk finansial yang transparan untuk generasi muda. Selain itu, dengan menyediakan berbagai layanan finansial, Razer juga berharap, generasi muda akan semakin melek akan literasi keuangan. Memang, Razer mengklaim bahwa 80 persen dari total pengguna mereka — yang mencapai 80 juta orang di dunia — berumur kurang dari 35 tahun.

“Razer Fintech akan fokus pada segmen generasi muda dan milenial yang masih kesulitan mendapatkan layanan finansial. Kami percaya, membuat Razer Youth Bank adalah keputusan yang masuk akal untuk memperluas bisnis pembayaran digital kami,” kata Lee Li Meng.

Kesimpulan

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka model bisnis developer game juga terus berubah. Kini, semakin banyak game yang menggunakan model berlangganan atau free-to-play dengan microtransaction di dalamnya. Ada pihak yang diuntungkan dengan model ini, walau tentu saja, juga ada pihak dirugikan (tapi topik itu akan dibahas dalam artikel lain).

Kartu kredit menjadi metode pembayaran utama yang disediakan oleh publisher game. Sayangnya, di Indonesia, tak banyak orang yang punya kartu kredit. Jadi, mulai bermunculan alternatif metode pembayaran mulai dari mobile banking, ewallet, sampai penjualan voucher di convenient store. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menyediakan payment channel adalah kabar baik bagi konsumen. Ini memberikan Anda kebebasan untuk memilih metode yang memang paling nyaman untuk Anda.

Sumber header: Flickr/Hloom Template

[Opini] 7 Hal yang Perlu Disadari Untuk Membangun Karier di Esports


Salah satu pertanyaan yang seringkali saya dengar adalah “bagaimana caranya agar saya bisa berkarier di esports?” Beberapa kali saya mendapatkan pertanyaan ini baik ketika saat saya jadi pembicara ataupun melalui chat.

Di sisi lain, jika pertanyaan tadi mungkin lebih sering dilontarkan bagi mereka-mereka yang baru lulus ataupun belum pernah bekerja sama sekali, saya juga beberapa kali menemukan beberapa profesional dari industri lain yang bergeser ke industri esports namun beranjak keluar lagi dari industri ini meski baru sebentar.

Karena itulah artikel ini saya buat untuk membantu mereka-mereka, baik yang belum pernah bekerja ataupun para pekerja dari industri lain, lebih jauh mengenal industri esports — sebelum terlanjur basah.

Oh iya, artikel ini ditujukan buat Anda yang ingin membangun karier di esports namun bukan sebagai pro player. Anda bisa membaca artikel kami lainnya jika cita-cita Anda adalah menjadi pemain profesional dan direkrut tim esports.

Terakhir, sebelum kita masuk ke pembahasan, sebagian besar dari artikel ini adalah opini saya pribadi namun saya juga meminta pendapat dari beberapa kawan saya tentang perjalanan karier mereka di esports. Namun saya tidak akan menyebutkan nama mereka di sini karena mungkin sensitif dengan perkembangan kariernya masing-masing.

1. It’s not always rainbows and butterflies

IEM Katowice 2020 diselenggarakan tanpa penonton.
Dokumentasi: ESL

Saya kira inilah hal pertama yang harus disadari buat semua orang, termasuk buat mereka yang di luar industri esports dan game. Faktanya, bagi saya pribadi, tidak ada pekerjaan yang mudah dan menyenangkan layaknya surga yang penuh dengan bidadari.

Kenapa? Karena yang namanya pekerjaan pasti ada target yang harus dicapai dan tantangan yang harus diselesaikan. Jika Anda merasa pekerjaan Anda saat ini mudah, menyenangkan, dan tanpa tantangan, kemungkinan besar Anda bekerja seenak perut… Pasalnya, saya percaya bahwa pekerja yang baik adalah mereka-mereka yang mencoba melampaui capaian-capaian terbaik mereka sebelumnya.

Sedangkan spesifik untuk industri esports dan game, berhubung saya memang dari zaman fresh graduate di tahun 2008 sudah bekerja di media & game, lontaran yang paling sering saya dengar adalah “enak ya kerja di industri game. Kerjanya main game.” Silakan percaya saya atau tidak namun kenyataan itu tak pernah seindah yang dibayangkan. Jangankan industri game, industri pornografi juga tidak seindah yang kelihatannya… Kayaknya sih…  Wkwkkwakawk…

Sumber: Georgia State University
Sumber: Georgia State University

Hal ini saya taruh pertama karena saya tahu kebanyakan orang berkecimpung di sini karena memang suka dengan game dan esports. Saya sendiri juga gamer dan masih bermain game 2-4 jam setiap harinya. Namun bermain game dengan tujuan sekadar bermain dan dengan tujuan review ataupun riset itu nyatanya memang berbeda rasanya.

Memang, saya tidak menihilkan juga kesenangan dan nikmat yang bisa didapat saat bisa bekerja di industri yang sesuai hobi. Namun seperti kata Maroon 5, “it’s not always rainbows and butterflies.” Inilah yang penting untuk disadari pertama kali buat semua yang ingin membangun karier di esports. Jika Anda hanya ingin bersenang-senang tanpa berupaya sekuat tenaga di sini, industri esports dan game tidak butuh Anda. Plus, kemungkinan besar, Anda juga tidak akan sukses di sini.

2. Pick your poison, with passion

Sumber: Inc.com
Sumber: Inc.com

Saya sebenarnya pernah menuliskan ini panjang lebar sebelumnya. Namun saya kira hal ini juga masih penting untuk disadari buat yang ingin membangun karier di sini. Tidak sedikit orang-orang yang terjun ke esports dengan hanya bermodal passion, tanpa tujuan expertise yang jelas.

Sebelum salah kaprah, saya juga tidak menihilkan pentingnya peranan passion dalam membangun karier. Nyatanya, ketika kita suka dengan seseorang, tanpa dibayar ataupun bahkan dilarang, kita biasanya nekat untuk mendekati atau setidaknya memelajari orang tersebut lebih jauh. Demikian juga dengan bidang yang kita geluti secara profesional. Meski begitu, passion hanyalah fondasi dasar semata dalam membangun karier. Tak sedikit juga orang-orang yang bahkan tidak menyarankan untuk menggeluti karier yang berbasis pada passion.

Saya kira hal ini juga berlaku (dan mungkin berguna) di semua aspek hidup, sering-seringlah menyadari hidup agar tak terdampak dengan keterasingan diri. Bagi saya, menyadari kelebihan dan kekurangan diri adalah hal penting yang harus dilakukan di setiap aspek hidup.

Sayangnya, di esport, tidak sedikit pekerja, pencari kerja, ataupun malah pemberi pekerjaan yang hanya menitikberatkan pada ketertarikan di game dan esports tanpa tuntutan keahlian yang jelas atau spesifik.

Di sisi lain, saya juga sebenarnya percaya setiap manusia sebenarnya bisa belajar keahlian apapun yang kita inginkan. Namun, setiap orang butuh waktu yang berbeda-beda untuk memelajari keahlian yang berbeda-beda. Padahal, waktu beradaptasi dan belajar adalah tuntutan profesional yang, bagi saya, jadi salah satu prioritas tertinggi. Dengan kata lain, jika Anda lamban belajar di satu bidang, mungkin baiknya Anda mencari profesi lain yang sesuai dengan keahlian.

3. Behind the bling-bling of esports

Sumber: Venture Beat
Sumber: Venture Beat

Dengan megahnya panggung, gemerlap lampu, dan dentuman suara kencang di setiap event esports, mungkin memang membuat industri esports terlihat lebih megah dari aslinya. Padahal, di balik megahnya setiap event esports, ada orang-orang yang dibayar dengan tarif recehan — seperti observer dan referee yang pernah saya tuliskan beberapa waktu yang lalu.

Tidak sedikit juga kawan-kawan saya di sini yang memang gajinya sangat terbatas, di bawah atau di kisaran UMR Jakarta meski sudah beberapa tahun di sini. Di satu sisi, survivorship bias itu memang selalu ada di industri mana pun. Kita memang lebih cenderung melihat dan mengambil contoh dari orang-orang yang sukses di industri tersebut dan tak melihat berapa banyak yang gagal.

Namun di sisi lain, kenyataannya, industri esport saat ini memang belum memiliki sumber pendapatan yang sustainable. Sebagian besar atau bahkan sepenuhnya (jika di Indonesia), pendapatan di industri ini datang dari sponsor. Makanya, perputaran uang di industri ini memang masih belum luas dan cepat. Douglas Rushkoff percaya bahwa kunci sukses sebuah industri adalah velocity of the money (bagaimana caranya agar uang terus berputar antar pelaku satu dengan yang lain) dan saya mengamini hal tersebut. Nilai industri ini di Indonesia juga sebenarnya masih kalah jauh dengan industri lain yang sudah lebih dulu matang.

Memang, satu hal yang tak kalah penting untuk disadari, sama seperti layaknya industri lainnya — setidaknya dari industri yang legal di Indonesia — jangan berharap Anda bisa tiba-tiba kaya raya dari industri esports. Jangan berharap juga Anda bisa mendapatkan gaji besar jika pengalaman Anda masih minimalis atau posisi Anda buat perusahaan masih gampang tergantikan.

4. There is no such thing as easy kills

Selain soal ‘enak’ tadi, tidak sedikit juga orang-orang awam yang menganggap industri game dan esports itu mudah. Menurut saya pribadi, faktanya, tidak ada yang mudah jika pembelajarannya ingin ke tingkat profesional — baik itu dari sisi industri yang digeluti ataupun profesinya.

Misalnya soal cakupan wilayah esports. Banyak orang mungkin belum sadar bahwa esports tidak bisa disamakan dengan satu cabang olahraga. Esports itu sendiri adalah olahraga yang punya banyak cabang/game.

Dari platform-nya saja sudah ada 3, yaitu PC, console, dan mobile. Belum lagi jika kita berbicara soal game esports-nya yang sampai puluhan jumlahnya dari LoL, Dota 2, R6S, Assetto Corsa, rFactor 2, Tekken, Street Fighter, FIFA, PES, MLBB, FreeFire, PUBGM, dan kawan-kawannya.

Mungkin memang platform mobile yang saat ini sedang naik daun namun bukan berarti yang lain tidak penting untuk dipelajari. Selain itu, banyak juga yang mungkin tidak menyadari bedanya industri game dan esports — meski memang keduanya terkait erat. Saya bahkan mendengar salah satu tokoh politik yang mengatakan bahwa pemain esports mencapai 60 juta orang (saat diwawancarai salah satu televisi swasta).

Buat yang belum tahu, faktanya, pasar esports itu berbeda dengan pasar gamer. Sedangkan angka 60 juta tadi adalah jumlah pasar gamer (menurut data dari Statista). Padahal jumlah pasar esports itu lebih kecil dari pasar gamer — setidaknya Lucas Mao, Director of Operations dari Moonton yang juga Commissioner of MPL Indonesia juga setuju dengan hal ini.

Dari sisi game sendiri juga ada banyak kategori seperti game singleplayer dan multiplayer yang membuat tujuan bermain game-nya juga jadi berbeda. Saya menyebutnya dengan istilah competitive vs. leisureItu tadi masih secuil dari segudang pengetahuan yang, idealnya, harus dipahami buat mereka-mereka yang ingin terjun di sini.

Belum lagi soal skill dan expertise bidang yang Anda geluti. Berhubung saya memang sudah jadi penulis/jurnalis sejak 2008, tidak sedikit yang berkata ke saya, “menulis itu kan mudah…” Nyatanya, sekali lagi jika boleh saya tekankan, tidak ada yang skill yang mudah jika ingin dikuasai.

Jika yang dimaksud menulis adalah kemampuan dasar seperti yang Anda pelajari di SD, mungkin memang hanya sekitar 4% penduduk Indonesia yang buta huruf — setidaknya dari data tahun 2017. Namun menulis secara profesional bukanlah hanya sekadar memahami arti kata ataupun kalimat… Keahlian lain, memasak, misalnya, juga tidak semudah yang dibayangkan. Masak air atau mie instan itu mungkin memang sederhana namun tentu akan berbeda tuntutannya untuk jadi koki hotel atau bahkan sekelas Gordon Ramsay ataupun Joël Robuchon.

Pasar gaming Indonesia pada 2017 | Sumber: Newzoo
Pasar gaming Indonesia pada 2017 | Sumber: Newzoo

5. Stairway to heaven or highway to hell?

Setelah 4 hal yang perlu disadari tadi, saya juga akan memberikan ‘bocoran’ ke kantor mana Anda bisa memulai membangun karier di esports. Satu hal yang pasti, bagian kali ini memang sepenuhnya pendapat pribadi saya, berdasarkan pengalaman saya juga mengenal sekian banyak orang-orang yang bekerja di industri ini.

Jika Anda adalah seorang fresh graduate atau bahkan masih kuliah, Anda bisa mencoba ke RevivalTV. Pasalnya, kawan-kawan saya di sana memang ada yang masih kuliah ataupun belum pernah kerja kantoran di industri lain sebelumnya. RevivalTV juga punya banyak divisi mulai dari event organizer, media, ataupun talent management.

Sebaliknya, jika Anda sudah mengantongi pengalaman bekerja di luar industri esports, mungkin Anda lebih cocok bergabung bersama MET Indonesia. Karena, tidak banyak kawan-kawan saya di MET yang masih kuliah ataupun fresh graduate seperti di RevivalTV tadi. Selain sebagai event organizer, MET Indonesia juga punya talent management.  

Pertimbangan tadi memang hanya sebatas kawan-kawan saya yang saya tahu bekerja di sana. Karena, asumsi saya saja, Anda yang sudah punya pengalaman profesional mungkin akan lebih cocok bekerja dengan rekan yang juga punya pengalaman. Namun, bisa jadi asumsi saya salah dan Anda punya preferensi yang berbeda.

Lalu bagaimana jika Anda ingin bekerja di tim esports? Nah, kalau ini saya tidak terlalu tahu perbedaan yang mencolok antar tim-tim esports di Indonesia seperti halnya antara RevivalTV dan MET. Soal fresh graduate atau tidak untuk di tim esports, sepertinya tergantung dengan posisi yang ingin Anda tuju. Namun demikian, ada beberapa informasi yang saya tahu dari beberapa tim esports yang mungkin bisa Anda jadikan pertimbangan.

EVOS Esports adalah organisasi esports dengan karyawan terbanyak di Indonesia. Sedangkan RRQ merupakan organisasi esports yang berada di bawah naungan MidPlaza Holding. Di sisi lain, Aura Esports mendapatkan modal awalnya dari Wicaksana Group. BOOM Esports adalah yang paling ‘idealis’ dengan PC gaming dan fokus pada game-game esports yang mainstream di barat (Dota 2, CS:GO, R6S). Sedangkan pemilik tim Alter Ego juga pemilik event organizer bernama Supreme League.

Lalu bagaimana caranya mendapatkan informasi lowongan pekerjaan di esports? Sayangnya, informasi lowongan kerja di esports memang masih sedikit di situs-situs lowongan kerja. Saya hanya menemukan 15 lowongan di JobStreet, 7 lowongan di Kalibrr, 6 lowongan di Glints, dan 4 lowongan di LinkedIn (setidaknya saat saya menulis artikel ini). Sosial media masing-masing pelaku industri esports juga beberapa kali membuka lowongan lewat sana. Jadi, Anda yang tertarik bekerja juga bisa mulai follow akun-akun tersebut.

Mungkin memang esports sendiri belum terlalu banyak menyerap tenaga kerja seperti industri lainnya namun tidak sedikit juga lowongan kerja di esports yang hanya lewat belakang, alias dari mulut ke mulut.

Lalu bagaimana dengan mereka-mereka yang ingin memulai bisnis sendiri di esports? Apakah kelihatannya menjanjikan? Apalagi mengingat belakangan ada banyak tim-tim esports baru bermunculan seperti The Pillars besutan Ariel Noah ataupun Team Elvo dari Andrew Tobias. Mungkin lain kali kita akan bahas hal itu dan saya akan mengajak beberapa owner tim esports untuk berbagi pendapatnya.

6. Roles in the META

Setelah tempat bekerja, posisi apa saja yang tersedia di industri esports Indonesia jika Anda ingin berkarier di sini?

Well, buat yang belum menyadarinya, esports juga bisa dibilang sebagai industri hiburan. Jadi, pekerjaan-pekerjaan untuk produksi konten selalu dibutuhkan di setiap pelaku industri esports — dari tim, event organizerpublisher, apalagi media. Konten video mungkin jadi format paling favorit saat ini, mengingat semua orang nampaknya ingin kaya raya dari YouTube. Konten gambar (image) juga selalu diproduksi oleh semua pelaku industri esports — mengingat setiap mereka pasti punya media sosial yang kebanyakan isinya gambar-gambar.

Bagaimana jika Anda suka atau bisa menulis? Selamat, Anda adalah anak tiri di industri konten jaman milenial dengan pasar Gen Z… Wawkwakwakaw… Selain direndahkan oleh orang-orang yang bahkan tidak bisa membedakan antara kata depan dan kata keterangan ataupun antara frasa dan kalimat, kemungkinan besar, Anda akan dibayar murah — sebelum mungkin akhirnya menemukan orang-orang yang menghargai keahlian menulis Anda tadi. Jadi, selamat berjuang kawan! Nyahaha…

Selain para pekerja kreatif pembuat konten, event mungkin bisa dibilang sebagai hasil produksi esports yang paling besar biayanya dan juga usaha yang dibutuhkan. Jadi, event juga, setahu saya, membutuhkan banyak para pekerja; mulai dari mereka-mereka yang menjalankan dari sisi turnamennya, memastikan semuanya berjalan tanpa kendala saat di acara, ataupun bertugas menayangkan turnamen tersebut.

Selain itu, profesi-profesi lain yang memang butuh keahlian spesifik juga sebenarnya masih banyak dibutuhkan — seperti orang-orang (digital) marketing yang tahu lebih dari sekadar eksploitasi gadis-gadis cantik sebagai penarik massa, orang-orang sales, bisnis, humas, SDM (HRD), ataupun posisi-posisi lainnya yang bertugas layaknya kantor di luar esports. Namun demikian, menurut saya, posisi-posisi tadi tidak menarik SDM sebanyak untuk event ataupun konten.

7. Esports is young and dangerous?

Terakhir, industri esports di Indonesia adalah industri yang sebagian besar diisi oleh anak-anak muda generasi milenial. Hal ini jadi memberikan keuntungan dan kekurangan tersendiri.

Salah satu kekurangan terbesarnya adalah, karena usia para pekerjanya yang masih muda dan hanya mengenal industri esports, masih banyak wawasan dan keahlian yang bisa digali dari luar ataupun dalam industri esports. Harus disadari juga bahwa keahlian dan wawasan tadi tidak sedangkal yang dibayangkan. Baik dari pencari kerja ataupun pemberi kerjanya, saya kira kita harus sudah mulai menyadari betapa krusialnya keahlian dan wawasan terhadap keberlangsungan sebuah indsutri — selain soal passion.

Namun demikian, jika melihat kondisi saat ini dengan keterbatasan wawasan dan keahlian tadi, potensi esports Indonesia berarti juga bisa dibilang besar — selama memang kekurangan tadi disadari dan dibenahi.

Sumber: Business Insider
Sumber: Business Insider

Di sisi lain, ada yang bilang juga esports is meritocratic. Industri yang diisi dengan banyak generasi muda seperti esports memang cenderung menggunakan sistem meritokrasi. Sistem seperti ini memang jadinya mendegradasi nilai-nilai lama seperti senioritas, latar belakang pendidikan, dan kawan-kawannya. Belum lagi, di jaman post-postmodernism ini, meragukan expertise (atau bahkan merasa jadi expert dengan mengomentari segala fenomena yang terjadi lewat sosial media) seakan jadi tren filosofi baru buat generasi muda.

Saya pribadi juga setuju dengan sistem meritokrasi, selama masing-masing dari kita bisa meminimalisir bias-bias kognitif yang mungkin terjadi saat kita menilai sesuatu dan mengambil keputusan. Apalagi, faktanya, tidak semua nilai-nilai lama itu harus ditinggalkan dan tidak semua yang tua itu sudah tidak punya nilai pragmatis.

Sebagai penutup, mungkin memang saya old-school soal ini namun, saya mengamini betul jika salah satu tolak ukur untuk menakar kesuksesan karier ataupun industri adalah dengan usia seberapa lama ia bisa bertahan.

Sumber: NYTimes
Sumber: Telegraph

Bagi saya, orang yang sukses bukanlah orang yang bisa jadi hype sesaat, punya jutaan followers, subscribers, atau apapun namanya; namun kemudian tak relevan lagi 10 tahun ke depan. Demikian juga dengan industri esports ini. Segala macam gegap gempita dan hedonisme yang bisa disuguhkan, tak akan ada artinya jika ia tak bisa terus bertahan untuk waktu yang lama.

Sumber header: GGEngine

Eksploitasi Industri Esports Terhadap Para Pekerjanya

Gamer mana yang tidak pernah bermimpi untuk menjadi pemain profesional, menjadikan hobinya sebagai mata pencaharian? Memang, sekarang, menjadi atlet esports tak sekadar mimpi di siang bolong, mengingat pesatnya perkembangan industri esports. Masalahnya, menjadi pemain profesional tidak mudah. Ada berbagai masalah yang harus siap dihadapi. Selain itu, umur karir pemain profesional juga relatif pendek.

Untungnya, ada berbagai lowongan pekerjaan lain di industri esports, mulai dari manager tim, analis, sampai caster. Menurut data dari Hitmarker, jumlah lowongan pekerjaan di indsutri esports pada 2019 naik hingga 87 persen jika dibandingkan dengan pada 2018. Tak berhenti sampai di situ, dalam waktu dua tahun belakangan, total investasi yang telah ditanamkan di industri esports oleh investor dikabarkan mencapai US$6,5 miliar. Sementara Forbes memperkirakan, secara total, 10 organisasi esports terbesar dunia memiliki nilai sampai US$2,4 miliar.

Inilah mengapa banyak generasi muda yang tertarik untuk terjun ke dunia esports. Bekerja di dunia competitive gaming memang terkesan indah. Namun, kenyataannya tidak semanis itu.

Berkarir di dunia esports tidak mudah

Saya pernah bertanya pada Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV tentang apa yang diperlukan untuk memulai karir di dunia esports. Ketika itu, dia mengungkap bahwa untuk bekerja dan bertahan di dunia esports, memiliki passion saja tidak lagi cukup. “Ini bukan lagi masalah passion atau keinginan untuk berkontribusi dalam esports,” katanya. “You need skills and determination to survive here. Nggak ada yang instan di sini dan industrinya masih belum stabil. Jadi, jika mau terjun ke sini, harus komitmen.” (Pst, kami juga pernah membahas soal itu di sini.)

Ada banyak hal yang dipersiapkan untuk menggelar turnamen esports besar. | Sumber: ESL via Inven Global
Ada banyak hal yang dipersiapkan untuk menggelar turnamen esports besar. | Sumber: ESL via Inven Global

Irli bercerita, tidak jarang dia harus bekerja hingga larut malam. Selain harus siap untuk bekerja keras, masuk ke dunia esports juga tidak serta merta membuat Anda mendapatkan gaji tinggi. Tidak semudah itu, Ferguso. Uang yang berputar di dunia esports memang besar. Sayangnya, hanya segelintir orang saja yang bisa mendapatkan uang besar dari industri esports. Orang-orang itu antara lain investor, eksekutif publisher game, dan sejumlah pemain profesional yang bermain di game esports populer.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang di balik layar yang bekerja keras untuk memastikan turnamen esports berjalan lancar? Yah, mereka harus puas dengan gaji pas UMR (Upah Minimum Regional) atau bahkan lebih rendah dari itu.

Ialah Ryan Mejia, pria yang memilih untuk menjadikan penyelenggara turnamen esports sebagai pekerjaan tetapnya sejak 2016. Dia telah turun tangan dalam beberapa acara esports terbesar, seperti Evolution Championship Series. Di acara ini, ribuan orang bertanding di game arcade klasik seperti Street Fighter dan Mortal Kombat. Total hadiah yang ditawarkan mencapai US$200.000. “Saya merasa istimewa karena saya bisa melakukan ini. Dan ketika saya masih menjadi penyelenggara turnamen esports, saya masih tinggal bersama orangtua saya,” katanya, dikutip dari The Nation.

Ketika Mejia bekerja untuk menyelenggarakan Evolution Championship Series, dia mendapatkan bayaran beberapa ratus dollar per hari selama akhir pekan. Oh, itu mungkin terdengar besar, tapi, angka itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan total pemasukan turnamen tersebut. Pada Evolution Championship Series yang digelar tahun lalu, setidaknya ada 9.000 orang yang menjadi peserta. Masing-masing peserta harus membayar uang registrasi sebesar US$90. Artinya, total pemasukan Evolution Championship Series mencapai setidaknya US$810 ribu, tak termasuk uang yang didapatkan dari kerja sama dengan perusahaan seperti Samsung dan PlayStation.

evo vg274
Evolution Championship Series alias EVO. | Sumber: VG274

Selain ikut turun dalam penyelenggaraan Evolution Championship Series dan berbagai turnamen lokal di Miami, Amerika Serikat, Mejia juga pernah bekerja di ESL, salah satu perusahaan esports terbesar di dunia. Ini seharusnya menjadi bukti bahwa karir Mejia sebagai penyelenggara turnamen esports sukses. Namun, uang yang dia dapatkan masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah dia tak lagi tinggal bersama orangtuanya, dia harus menggantungkan diri pada pemasukan kekasihnya untuk membayar biaya sewa rumah. “Pekerjaan saya di esports seperti pekerjaan semiprofesional,” ungkapnya, “karena uang yang saya dapat tidak cukup untuk membayar keperluan saya.”

Eksploitasi pekerja lepas di dunia esports

Data is the new oil. Jika sebuah perusahaan bisa mengumpulkan data dan menganalisanya, mereka bisa memanfaatkan insight yang mereka dapat untuk menekan biaya operasional atau meningkatkan pendapatan perusahaan. Di dunia esports, data bisa dianalisa baik untuk mengetahui kebiasaan musuh atau untuk kepentingan pembuatan konten. Di organisasi esports, analis bisa membantu tim untuk mengetahui pola permainan musuh atau kebiasaan buruk musuh yang bisa dieksploitasi. Ketika dua tim yang sama-sama mumpuni bertemu, maka hal-hal kecil, seperti kebiasaan buruk musuh, menjadi faktor penentu siapa yang keluar sebagai juara. Dan analis bisa membantu sebuah tim esports untuk menemukan detail kecil ini.

Walau memiliki peran penting, gaji seorang analis tim esports bisa sangat tidak manusiawi, hanya ratusan ribu rupiah di Indonesia. Keadaan di Amerika Serikat masih lebih baik. Seorang analis yang menjadi pekerja lepas dari salah satu tim League of Legends mengatakan, dia mendapatkan gaji US$2.000 per bulan. Menurut CNBC, gaji rata-rata seorang pekerja tetap di AS adalah US$3.600 per bulan. Namun, gaji rata-rata juga dipengaruhi oleh umur sang pekerja. Untuk remaja pada rentang umur 16-19 tahun, gaji rata-rata per bulan hanyalah US$1.840. Sementara gaji rata-rata pekerja pada rentang umur 20-24 tahun mencapai US$2.356 per bulan.

Meskipun begitu, analis yang enggan untuk disebutkan namanya ini mengaku bahwa gaji yang dia dapatkan tidak mencukupi kebutuhan hidupnya jika dia tidak tinggal bersama orangtuanya. “Ketika itu, saya pikir bahwa pekerjaan sebagai analis hanyalah batu loncatan untuk mendapatkan karir yang lebih baik di industri esports,” akunya. Pada akhirnya, dia merasa tidak bisa meneruskan pekerjaannya sebagai analis dan memutuskan untuk mencari pekerjaan di bidang lain. Selain gaji yang dianggap kurang memadai, alasan lain dia mencari pekerjaan lain adalah karena bekerja sebagai analis membuatnya merasa terisolasi.

Analis di League of Legends. | Sumber: Dot Esports
Analis di League of Legends. | Sumber: Dot Esports

Tak berhenti sampai di situ, wartawan esports pun mengalami masalah serupa. Taylor Cocke, mantan jurnalis esports, mengatakan bahwa dia telah melihat banyak pekerja lepas yang masuk dan keluar dari industri esports. “Ketika Anda melihat perusahaan esports, kebanyakan wartawan esports, kebanyakan pemain profesional, umur mereka rata-rata sekitar 24-25 tahun,” kata Cocke. “Alasannya karena tidak semua orang bisa bertahan di industri esports dalam jangka waktu lama. Misalnya, setelah bekerja sebagai wartawan esports selama lima tahun, saya sudah dianggap sebagai senior.”

Masalahnya, ketika para pekerja senior hengkang, pelaku industri dituntut untuk melatih kembali para pekerjanya. Saat ini, jika ada pekerja di dunia esports yang pindah dan bekerja di bidang lain, mungkin mudah untuk mencari penggantinya. Tapi, jika budaya eksploitasi pekerja dibiarkan, apa akan ada pekerja yang mau berkarir di esports?

Oke, esports memang bukan satu-satunya industri yang memanfaatkan pekerja lepas, menggaji mereka dengan upah minimum tanpa keuntungan lain seperti asuransi. Namun, saat ini, esports adalah industri yang mendulang untung besar dari eksploitasi pekerja muda yang masih punya idealisme untuk bekerja di bidang yang memang mereka sukai. Selain itu, hanya karena industri lain juga mengeksploitasi para pekerjanya, bukan berarti mengeksploitasi pekerja boleh saja dilakukan.

Eksploitasi pemain profesional

Dulu, pemain profesional menggantungkan diri pada hadiah turnamen untuk menyambung hidup. Namun sekarang, selain hadiah turnamen, pemain profesional juga mendapatkan gaji dari organisasi esports yang merekrutnya. Dan gaji bulanan yang diterima oleh pemain esports tidak kecil, apalagi mereka yang bermain di game yang scene esports-nya yang diatur ketat oleh sang publisher. Misalnya, Activision Blizzard menetapkan bahwa gaji minimal pemain Overwatch League adalah US$50.000 per tahun. Selain itu, tim esports juga harus menyediakan asuransi kesehatan, tempat tinggal, serta uang pensiun bagi pemain.

Contoh pemain esports yang sangat sukses adalah Lee “Faker” Sang-hyeok. Dia tidak hanya bisa mendapatkan gaji besar — dikabarkan, ada tim yang menawarkan cek kosong — tapi dia juga akan mendapatkan saham atas tim esports tempatnya bernaung, T1, setelah dia pensiun.

Faker.
Lee “Faker” Sang-hyeok dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik di dunia.

Sayangnya, tidak semua pemain esports seberuntung itu. Karena, ada juga game esports yang tidak mendapatkan dukungan dari publisher, seperti Super Smash Bros. Untuk mengetahui bagaimana dukungan publisher bisa memengaruhi scene esports sebuah game, Anda bisa membandingkan total hadiah dari turnamen Super Smash Bros. dengan turnamen esports lain. Smash Summit 5, turnamen Smash Bros. dengan total hadiah tertinggi, hanya menawarkan total hadiah sebesar U$83.758. Sementara Fortnite World Cup memiliki total hadiah US$100 juta. Ini menunjukkan bagaimana total hadiah turnamen Super Smash Bros. jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan turnamen esports bergengsi lainnya. Dan ini tentu saja berdampak pada kehidupan para pemain profesional.

Avery “Ginger” Wilson telah menjadi pemain profesional Super Smash Bros. Melee selama dua setengah tahun. Dalam Genesis 6, turnamen Smash Bros. Melee terbesar pada 2019, Wilson duduk di peringkat 7 dan dia hanya mendapatkan US$300. Sebagai perbandingan, tim yang ada di peringkat 7-8 dalam The International mendapatkan US$858.252. Sementara tim yang duduk di peringkat 5-8 dalam League of Legends World Championship 2018 mendapatkan hadiah US$258.000.

Selain itu, ketika Wilson direkrut oleh tim esports, dia tidak dianggap sebagai pekerja tetap. Sebagai gantinya, lama waktu dia bertahan di sebuah organisasi esports tergantung pada kontrak. Paling singkat, kontrak dengan sebuah tim esports hanya berlangsung selama empat bulan. Untuk hidup, Wilson menggantungkan diri pada pendapatan yang dia dapatkan dengan melakukan streaming di Twitch.

“Pendapatan saya dari streaming biasanya lebih besar dari uang yang saya dapatkan dari bermain Smash,” kata Wilson. Karena sumber pendapatannya dari streaming, dia harus membagi perhatiannya antara mengikuti turnamen esports dan membuat konten. “Agak sulit untuk tahu apa yang akan saya lakukan di masa depan karena saya ada di industri yang masih belum stabil,” kata Wilson.

Avery "Ginger" Wilson. | Sumber: Twitter
Avery “Ginger” Wilson. | Sumber: Twitter

Di Indonesia, gaji pemain esports juga tidak bisa dipukul rata. Atlet esports yang bermain di game-game populer seperti Mobile Legends atau Free Fire dan berhasil memenangkan berbagai turnamen mungkin bisa dengan mudah mendapatkan gaji di atas UMR (Upah Minimum Regional). Jika pintar mengelola uang yang didapat, mereka bisa membeli mobil atau rumah. Namun, tidak semua pemain esports seberuntung itu.

Bagi seorang pemain baru yang belum memiliki nama dan prestasi, mereka bisa saja digaji dalam rentang ratusan ribu rupiah. Untungnya, jika pemain berhasil membuktikan diri — membawa timnya menang di sebuah turnamen misalnya — dia bisa mendapatkan kenaikan gaji yang signifikan. Tentu saja, gaji dan insentif yang diterima pemain tergantung pada kontrak yang pemain buat dengan tim.

Kesimpulan

Di balik gemerlap dunia esports, ada sisi gelap yang tidak diketahui banyak orang. Salah satunya adalah eksploitasi para pekerja di dalamnya. Memang, esports bukan satu-satunya industri yang melakukan itu. Namun, hanya karena ada banyak pihak melakukan eksploitasi pekerja, ini tidak membenarkan tindakan eksploitasi itu sendiri. Selain itu, jika masalah ini tidak diselesaikan, cepat atau lambat ini justru akan menghancurkan industri esports, layaknya luka yang tak pernah diobati dan menjadi terinfeksi.

Apa ini berarti esports adalah industri jahat yang tidak seharusnya didukung? Tidak juga. Walau berpotensi besar — Newzoo memperkirakan bahwa nilai industri esports akan mencapai US$1 miliar pada tahun ini — esports adalah industri yang masih relatif muda, jadi tidak heran jika masih ada berbagai masalah yang harus dihadapi oleh para pelakunya. Namun, selama para pelaku industri esports — mulai dari pemain, pemilik organisasi esports, penyelenggara turnamen, bahkan hingga pemerintah — bahu-membahu untuk menyelesaikan masalah yang ada, esports bisa tumbuh menjadi industri yang besar, merealisasikan potensi yang ada.

Sumber header: Inven Global

[Guide] Phantom Assassin Dota 2: Item Build, Skill Build, dan Talent Build

Apabila Anda senang bermain MMR seorang diri di Dota 2. Anda membutuhkan hero yang bisa menggendong seluruh tim. Phantom Assassin Dota 2 adalah hero yang tepat untuk kebutuhan tersebut. Berikan dia waktu untuk farming, maka Phantom Assassin bisa menghabisi semua musuh di mid game. Berikut akan saya berikan panduan untuk memainkan Phantom Asssassin di Dota 2.

Hero Skill Build

pa

Phantom Assassin merupakan hero yang tergolong lemah di early game. Ia tidak memiliki escape ability yang bisa diandalkan dan damage early game-nya sangat rendah. Dengan demikian, Anda harus memanfaatkan Stifling Dagger-nya untuk bermain offensive guna mengusir musuh di laning phase. Pastikan Anda memaksimalkan level Stifling Dagger terlebih dahulu. Dengan Stifling Dagger, Anda bisa memberikan damage cukup besar dan juga efek slow terhadap musuh. Anda bisa bekerja sama dengan support untuk mendapatkan kill di early game. Stifling juga bisa diandalkan di mid game sampai late game. Pasalnya, damage dari Stifling Dagger merupakan persentase dari jumlah attack damage Phantom Assassin. Sehingga, damage dari Stifling Dagger akan scaling seiring bertambahnya attack damage Anda.

Phantom Strike adalah skill kedua yang harus Anda naikkan level-nya. Dengan bonus attack speed sebesar 100 di level 1, skill ini sangat berguna untuk bermain aggressive di awal gameStifling Dagger dan Phantom Strike adalah kekuatan utama Phantom Assassin di laning phase. 

Sebisa mungkin bermainlah agresif di laning phase karena Phantom Assassin harus mengusir lawannya di lane agar mendapatkan farming yang maksimal. Apabila Anda tidak mengusir lawan, Phantom Assassin akan terus menerus menerima harassment dari musuh. Phantom Assassin bukan hero yang memiliki sustainability yang bagus.

Blur adalah skill yang Anda butuhkan di saat laning phase sudah selesai. Karena itu saya menyarankan Anda tidak menaikkan level dari Blur terlebih dahulu. Blur memberikan evasion yang besar terhadap Phantom Assassin. Tetapi, Blur lebih berguna untuk melancarkan farming Anda. Selepas laning phase, kemungkinan musuh melakukan ganking sangatlah besar. Mereka pasti mengincar Phantom Assassin yang sedang melakukan farming. Musuh akan memasang offensive ward di hutan Anda. Dengan mengaktifkan Blur, Anda tidak akan terlihat di mini map ataupun di kamera musuh sehingga Anda akan aman melakukan farming di hutan atau di lane. 

Item Build – Early Game

early

Early game item lebih berfokus untuk membuat farming Phantom Assassin lebih mudah. Quelling Blade adalah item yang wajib Anda beli. Sebelum menyelesaikan Phase Boots, Anda lebih baik untuk menyelesaikan dua Wraith Band untuk sustainability dan damage. Karena Wraith Band akan menambah armor dan attack damage Anda dari agility yang diberikan. Apabila lawan Anda di laning phase lebih mengandalkan skill yang mereka keluarkan, lebih baik melewatkan dua Wraith Band dan langsung membuat Magic Wand. Phase Boots juga item wajib bagi Phantom Assassin. Dengan armor tambahan dari Wraith Band dan Phase Boots, Anda akan memiliki sustainability yang sangat baik ketika melakukan farming. Ada trik Phase Boots yang saya pelajari dari permainan pro player yaitu jangan memakai Phase Boots sebelum efek slow dari Stifling Dagger menghilang. Trik ini akan membantu Anda untuk membantu Anda untuk mengejar musuh guna memastikan kill yang diinginkan.

Item Build – Final

final

Desolator adalah item yang tergolong murah dan cepat untuk diselesaikan bagi Phantom Assassin. Saya menyarankan untuk menyelesaikan Desolator terlebih dahulu sebelum item lain. Dengan Desolator, Phantom Assassin bisa memberikan damage besar terhadap musuh dan membantunya menghancurkan tower lebih cepat di pertengahan game. Dengan demikian, Phantom Assassin bisa membantu rekan timnya lebih awal untuk mendapatkan objektif.

Pembuatan item selanjutnya tergantung permasalahan yang Anda hadapi di dalam game. Ada dua keadaan yang biasa dihadapi oleh Phantom Assassin, yaitu musuh dengan crowd control yang banyak atau Phantom Assassin menerima damage yang terlalu besar dari musuh. Apabila crowd control adalah permasalahannya. Anda harus menyelesaikan Black King Bar secepatnya. Guna membebaskan pergerakan Anda ketika peperangan. Apabila musuh memiliki hero dengan damage yang besar. Abyssal Blade adalah jawaban yang tepat. Anda harus menghentikan musuh tersebut dengan Abyssal Blade dan membunuhnya dengan cepat.

Pemilihan item selanjutnya juga bergantung pada kebutuhan Anda. Anda harus bisa menganalisa keadaan yang Anda alami di peperangan. Ada dua keadaan, yaitu apakah Anda membutuhkan sustainability atau damage. Apabila Anda membutuhkan sustainability, Satanic adalah jawaban yang tepat untuk keadaan ini. Lifesteal dan strength yang diberikan cukup untuk menjaga Phantom Assassin tetap bertahan di peperangan. Apabila Anda merasa kekurangan damage, Monkey King Bar bisa membantu Anda untuk mendapatkan damage dan attack speed tambahan. Monkey King Bar juga akan membuat carry lawan berpikir untuk membeli item dengan efek evasion seperti Butterfly.

Nullifier juga bisa menjadi pilihan apabila Anda ingin menghilangkan satu musuh dengan cepat. Nullifier sangat efektif untuk berhadapan dengan core hero musuh yang menggunakan Black King Bar. Dengan begitu, rekan tim Anda bisa melancarkan skill tanpa takut musuh menggunakan Black King Bar-nya. Anda merasa masih kekurangan damage? Divine Rapier adalah pilihan terakhir Anda untuk permasalahan ini. Tetapi saya menyarankan untuk menganalisa terlebih dahulu keadaan yang Anda alami di peperangan. Apakah Anda mudah untuk terbunuh? Kalau iya, Anda tidak disarankan untuk membuat Divine Rapier.

Talent Build

Sumber: Dotafire
Sumber: Dotafire

Talent +15 damage dan +15% lifesteal adalah yang paling tepat untuk Phantom Assassin. Menurut saya, tidak ada keadaan yang memaksa Anda untuk memilih talent lain di level 10 dan 15. Pada level 20, ada dua keadaan yang harus Anda pertimbangkan untuk memilih talent. Apakah mayoritas musuh memiliki physical damage yang besar? Apabila iya, Anda saya sarankan untuk mengambil talent +30% Blur evasion. Apabila musuh tidak memiliki physical damage yang besar, Anda dapat mengambil talent -4 armor corruption. Sehingga Anda memiliki total -11 armor corruption ditambah dari Desolator yang sudah Anda buat sebelumnya. Untuk talent level 25, triple strike Stifling Dagger adalah pilihan yang lebih baik dibanding +10% Coup de Grace. Anda bisa memberikan area crowd control dengan damage yang besar dari tiga Stifling Dagger yang dilemparkan.

Best Support Allies

Ogre Magi

Sumber: Dota 2 Wiki
Sumber: Dota 2 Wiki

Hero berkepala dua ini sangat berguna bagi Phantom Assassin dari awal sampai akhir game. Ogre Magi bisa membantu Phantom Assassin untuk mengusir siapapun yang ada di saat laning phase. Dengan skill Ignite-nya, Ogre Magi melakukan harassment terhadap musuh. Efek stun dari Fireblast-nya bisa membantu Phantom Assassin mendapatkan kill di awal game. Bloodlust dari Ogre Magi memberikan tambahan attack speed bagi Phantom Assassin. Dengan jumlah strength yang besar, Ogre Magi bisa menahan banyak damage di awal game guna membantu Phantom Assassin dalam mendapatkan kill di laning phase. 

Magnus

Sumber: Dota 2 Wiki
Sumber: Dota 2 Wiki

Magnus adalah hero yang berguna untuk setiap melee carry hero yang ada di Dota 2. Empower dari Magnus sangat membantu untuk mempercepat Phantom Assassin dalam menghabiskan jungle camp atau creep wave. Sehingga Phantom Assassin bisa melakukan farming dengan cepat.

Perencanaan segala hal di Dota 2 adalah berupa antisipasi dan adaptasi mengenai keadaan yang Anda hadapi sehingga tidak ada hal yang pasti di Dota 2. Semuanya harus sesuai dengan keadaan yang sedang berjalan. Dengan demikian, dalam guide Phantom Assassin ini saya memberikan pilihan untuk beberapa keadaan yang mungkin terjadi.

CEO BOOM Esports Bicara Soal Rencana Ekspansi Internasional

Kemarin (25 Februari 2020), khalayak esports Indonesia cukup dibuat tercengang oleh keputusan ekspansi dari salah satu organisasi esports besar di Indonesia. Setelah sempat menjadi spekulasi sebelumnya, BOOM Esports akhirnya mengeluarkan pengumuman yang menggemparkan, yaitu melakukan ekspansi ke skena kompetisi CS:GO barat dengan mengakuisisi roster ex-INTZ.

Ini sebenarnya bukan kali pertama bagi BOOM Esports melakukan ekspansi ke luar negeri. Sebelumnya, tepatnya tanggal 23 Februari 2020 lalu, mereka juga mengumumkan tim terbarunya yang bernama BOOM EXP, tim Free Fire asal Thailand. Namun demikian, akuisisi INTZ jadi menarik untuk dibahas karena posisi BOOM Esports, yang mungkin bisa dibilang, sebagai organisasi esports Indonesia pertama yang melakukan ekspansi ke barat. Maka dari itu, terkait soal ini, Hybrid mencoba berbincang singkat membahas soal keputusan ini bersama Gary Ongko Putera, Founder dan CEO BOOM Esports.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Gary Ongko Putera (Kiri) Founder dan CEO BOOM Esports. Sumber: Dokumentasi Hybrid

Mungkin salah satu yang kerap dipertanyakan khalayak esports Indonesia adalah alasan BOOM Esports mengambil tim luar negeri, dan secara lebih spesifik, mengambil roster CS:GO sekelas INTZ yang sudah termahsyur, dan berlokasi jauh sekali dari Indonesia. Menjawab ini, Gary kembali mengulang pernyataan seperti yang tertuang dalam rilis BOOM Esports.

“Impian saya adalah membuat BOOM menjadi tim nomor satu di dunia. Toh, saya juga merasa bahwa BOOM bisa memberi lebih banyak jika dibanding dengan organisasi esports negara lain, untuk membimbing dan memberi kesempatan kepada bibit-bibit pemain di luar Indonesia”. ucap Gary kepada Hybrid.

Ketika mengganti jenama BOOM ID menjadi BOOM Esports, pendapat serupa sudah sempat disuarakan oleh Marzarian Sahita (Ojan) General Manager BOOM Esports. Ketika itu ia mengatakan, “Perubahan nama ini dilakukan sebagai usaha untuk menyelaraskan brand dengan visi dan tujuan kami, yaitu menjadi tim nomor 1 di Indonesia dan tingkat dunia.”.

Lebih lanjut, Gary lalu mengatakan alasannya mengincar menjadikan pemain-pemain Brazil sebagai bagian dari keluarga Hungry Beast. “Alasan tim Brazil sih karena kami entah kenapa klop sama mereka. Mereka juga fair dalam urusan hak dan kewajiban, negosiasi juga enak, dan mereka sepertinya memang punya visi yang sama dengan kita, yaitu untuk membuktikan diri.”

“Selain itu secara line-up pemain, saya juga merasa mereka sangat potensial. Ada bibit muda CS:GO Brazil di sana, yang dilengkapi dengan Felps serta Boltz yang menyeimbangkan dari sisi pengalaman. Terlebih saya juga merasa fanbase Brazil bisa dibilang sama passionate seperti fanbase Indonesia. Dukungan mereka pun sangat luar biasa overwhelming di Twitter kami semenjak pertama kali melakukan announcement.” Gary membahas beberapa alasan mengambil roster asal Brazil tersebut.

Lalu, hal lain yang juga membuat kita penasaran adalah soal nasib roster CS:GO Indonesia BOOM Esports? Akankah BOOM Esports tetap berusaha membawa idealisme Indo Pride untuk membawa roster Indonesia ke kancah dunia? Kalau soal Indo Pride, Gary mengatakan “Saya tetap memegang idealisme Indo Pride dan mencoba untuk membuat juara dunia dari talenta lokal.”

Tetapi lebih lanjut soal mempertahankan roster CS:GO Indonesia, Gary menceritakan. “Untuk saat ini, saya menegaskan bahwa BOOM Esports tidak memiliki roster CS:GO Indonesia. Saya sudah mencoba susah payah selama 3 tahun, tapi sepertinya memang masih sulit untuk mencapai tingkat dunia dengan roster lokal. Ada banyak faktor sebetulnya, salah satunya karena memang scene lokal dan region SEA itu kurang.”

“Ada ucapan yang mengatakan ‘You are only as good as your opponnents’ dan menurut saya ini sangat terlihat di Asia. Kita bisa lihat sendiri contohnya seperti BnTeT yang akhirnya keluar dari Tyloo dan masuk scene Amerika Serikat demi meningkatkan kemampuannya. Namun kalau bicara idealisme Indo Pride, BOOM Esports  masih mempertahankan Jason Susanto (f0rsakeN). Saya merasa dia punya potensi jadi pemain terbaik dunia, tapi untuk sekarang masih harus menyelesaikan studinya dan menunggu dia mencapai usia 16 tahun agar dapat mengikuti kompetisi di luar negeri.” tukas Gary.

Alasan Gary sebenarnya cukup masuk akal. Apalagi mengingat skena kompetitif CS:GO di Indonesia dan Asia Tenggara terbilang sangat minim. Saya jadi teringat apa yang dikatakan salah satu caster CS:GO ternama Indonesia, Antonius Wilson (Wooswa), saat berbincang dalam salah satu episode Hybrid Talk. Ia mengatakan bahwa memang jalur menuju internasional dari regional SEA itu sangat sulit. Menurutnya ada dua hal yang menyebabkan hal tersebut.

Pertama karena Indonesia tidak punya lawan bermain yang mumpuni untuk mengembangkan kemampuan, kita hanya bisa berlatih tanding melawan Thailand ataupun Filipina. Ditambah lagi, Alpha Red sebagai tim terbaik SEA sekalipun, kesulitan ketika harus berhadapan dengan tim kelas dua di eropa, Grayhound. Faktor kedua yang juga penting adalah, karena memang kesempatan menuju panggung CS:GO dunia dari regional SEA lebih sempit jika dibandingkan dengan regional lainnya.

Setelah pengumuman ini, pertanyaan yang jadi menggelitik bagi kita mungkin adalah, apa langkah berikutnya BOOM Esports? Terutama jika bicara ekspansi scene luar negeri. Satu yang menarik dan mungkin cukup ditunggu adalah ekspansi BOOM Esports ke dalam skena kompetitif Rainbow Six: Siege.

Ini mengingat Rainbow Six sedang mendapatkan momentum positif belakangan ini, baik dari sisi game itu sendiri ataupun dari sisi esports. Dari sisi game, pada 25 Februari lalu Rainbow Six Siege berhasil memecahkan rekor jumlah pemain, dengan jumlah concurrent player sebesar 180.463 pemain. Secara esports, Six Invitational juga mengalami peningkatan jumlah penonton dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 58.509 orang.

“Jujur, kami sebetulnya malah lebih dulu tertarik sama Rainbow Six daripada mengambil roster CS:GO Brazil.” Gary mengatakan. “Karena waktu itu INTZ belom available, dan nggak ada opsi lain yang lebih baik. Akhirnya sempat terpikir mau mengambil tim R6, tapi ternyata cost-nya sangat luar biasa. Biaya buyout atau membeli tim R6 kurang lebih setara dengan 2 slot MPL (sekitar Rp30 miliar) ketika itu. Karena nggak cost effective, jadi saya mengurungkan niat lebih dahulu. Tapi R6 definitely in my sight, tinggal cari opportunity aja, karena saya personal mengikuti perkembangan scene game tersebut.” ucap Gary.

Six Invitational 2019 - G2 Esports
Rainbow Six jadi salah satu game dan esports yang sedang bertumbuh positif belakangan ini. Sumber: Ubisoft

Gary lalu membahas lebih lanjut soal rencananya masuk ke dalam skena kompetitif R6. “Karena kita punya tim di Brazil sekarang, mungkin akan sekalian ambil tim R6 atau bahkan mungkin Free Fire juga dari sana. Karena scene di Brazil itu besar, bahkan tim kelas satu R6 juga beberapa asal Brazil seperti Ninja in Pyjamas, FaZE Clan, atau Team Liquid.”

“Dari apa yang saya pelajari lewat mengembangkan tim CS:GO Indonesia, ekspansi besar seperti ini butuh tim yang sudah terkenal. Untuk scene lokal, masih tidak apa-apa kalau ambil pemain bibit. Tapi untuk game seperti R6, rasanya harus mengambil tim yang bisa langsung kompetitif.” ucap Gary Ongko menutup pembahasan.

Jadi dari pembahasan ini kita mungkin sudah bisa menebak, ke arah mana ekspansi internasional berikutnya yang akan dilakukan oleh BOOM Esports. Bagaimanapun, walau memainkan roster pemain asing, namun saya merasa apa yang dilakukan BOOM Esports tetap membanggakan Indonesia karena membawa brand organisasi esports lokal kepada penonton internasional.