Perjuangan Perempuan di Industri Esports: Eksplorasi Tubuh Sebagai Daya Tarik Utama Selebriti Gaming Perempuan [Bagian 1]

Meski perjalanan para perempuan melawan budaya patriakal sudah cukup panjang, faktanya, masih banyak industri yang menomorduakan kaum hawa. Industri kreatif adalah salah satu ranah yang biasanya masih didominasi oleh kaum pria.

Tak hanya di Indonesia, industri kreatif di negara-negara barat yang perjuangan feminismenya lebih agresif pun masih memarginalkan perempuan. Sampai dengan 2018, para aktris Hollywood mendapatkan bayaran yang lebih rendah ketimbang aktornya. Di industri komedi juga demikian. Komedian pria dianggap lebih lucu dibanding yang perempuan di Amerika sana. Industri esports internasional ataupun lokal juga tak berbeda jauh dari industri tadi.

Berbicara mengenai perjuangan perempuan di industri yang seringkali dibalut dengan maskulinitas ini memang panjang dan kompleks. Karena itulah, kami ingin membagi pembahasannya menjadi beberapa bagian. Untuk bagian pertama ini, kami pun memilih untuk membahas topik yang mungkin paling kontroversial; yakni soal menjadikan paras dan tubuh sebagai daya tarik utama.

Untuk mendapatkan perspektif lebih soal hal ini, kami pun menghubungi Nicole Constance yang merupakan seorang Cluster Category Manager Gaming untuk Logitech. Buat yang tidak terlalu familiar dengan industri gaming ataupun teknologi, Logitech adalah salah satu brand tertua dan terbesar di kategori produk peripheral (mouse, keyboard, headset, dkk.) yang didirikan di Swiss tahun 1981.

Ditambah lagi, Nicole juga punya pengalaman unik yang mungkin tak dimiliki oleh kebanyakan perempuan yang bergelut di bisnis. Ia merupakan salah satu pendiri dan anggota pertama dari NXA Gaming. NXA Gaming adalah pionir dari tren gamer girl di Indonesia, dengan Nixia Monica sebagai ujung tombaknya. Karena itulah, Nicole pernah merasakan di dua posisi yang berbeda dan mungkin bertolak belakang.

Selain Nicole, kami juga menghubungi Wida Arfiana, yang merupakan General Manager dari Techpolitan. Techpolitan sendiri adalah sebuah pusat edukasi yang kental dengan ranah teknologi, termasuk game. Kawan kami yang satu ini juga sudah malang melintang di industri game dan teknologi sejak 2010. Ia pernah bekerja di salah satu distributor komponen PC terbesar di Indonesia, Nusantara Jaya Teknologi (NJT), dan juga pernah di ASUS Indonesia. Ia juga salah satu dari segelintir orang di industri ini yang benar-benar peduli dengan isu seputar perjuangan perempuan – setidaknya berjuang dengan caranya sendiri, menurut pengakuannya hahaha…

Eksplorasi Tubuh Sebagai Nilai Jual Utama, Salahkah?

Gamer girl atau tak jarang juga disebut influencer (meski tidak tepat juga istilah itu) adalah gadis-gadis muda yang biasanya hobi bermain game, memiliki banyak fans di media sosial, dan memanfaatkan akun mereka tersebut untuk mencari nafkah (biasanya sebagai marketing channel ataupun produksi konten).

Kontroversinya, sekarang ini, kebanyakan dari gamer girl tadi menggunakan paras dan tubuh sebagai daya tarik utama mereka. Beberapa di antaranya bahkan sengaja memamerkan bagian tubuh tertentu untuk mendapatkan lebih banyak penonton.

Paham patriakal primitif menganggap perempuan memang hanya sebagai perhiasan, pajangan, penggembira atau apapun itu namanya. Stereotipe itu justru semakin diperkuat dengan perilaku eksplorasi tubuh itu tadi (istilah yang digunakan oleh Wida). Namun demikian, Wida juga menegaskan bahwa setiap perempuan punya kebebasan untuk mengekspresikan tubuhnya masing-masing. Bertindak represif dengan melarang keras hal-hal semacam itu akhirnya juga terjebak kepada perilaku partriakal yang inginnya mengatur semua hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan.

Lagi pula menurut Wida, berperan seperti seorang polisi moral juga tidak akan berdampak apapun. Pasalnya, industri game adalah industri yang mayoritas pasarnya anak laki-laki. Jadi, eksplorasi tubuh adalah salah satu strategi paling mudah yang bisa digunakan para gamer girl untuk mencuri perhatian. “Demand-nya ada dan pasarnya juga ada. Jadi, pasti ada yang lainnya lagi yang akan menggunakan strategi eksplorasi tubuh jika salah satu berhenti.” Ujar Wida.

gamer girl1

“Walau memang, ketentuan soal age restriction tetap harus dipatuhi karena ada kewajiban moral yang harus dilaksanakan.” Tambahnya.

Nicole juga sependapat soal ini. Ia memang menyayangkan hal tersebut namun Nicole merasa hal ini terjadi karena ada demand-nya juga. Ia juga percaya bahwa para gamer girl itu sebenarnya bisa memberikan konten yang lebih kreatif ataupun edukatif.

Wida pun menambahkan pendapat yang senada. Menurutnya, meski memang-memang sah-sah saja, eksplorasi tubuh tadi adalah level yang yang paling rendah dalam hal strategi konten. “Jadi pro player, misalnya, adalah level yang lebih tinggi.” Katanya. Karena, strategi eksplorasi tubuh tadi memang tidak dapat digunakan terus menerus.

Karena Paras dan Tubuh adalah Aset Terdepresiasi

Mungkin, banyak kaum muda yang tidak menyadari hal ini. Namun, faktanya, raga kita adalah aset yang mutlak menurun nilainya dari waktu ke waktu. Memang, kita bisa saja menggunakan berbagai cara dan peralatan untuk menjaga paras dan tubuh namun harga yang harus dibayarkan akan semakin besar dari waktu ke waktu.

Maksudnya seperti ini, mungkin penampilan kita memang akan berada di puncak nilainya saat kita berusia 20an. Ketika kita menginjak usia 30an, usaha ataupun modal yang dikeluarkan untuk menjaga penampilan tadi akan lebih besar lagi dari sebelumnya. Tuntutan ini akan semakin besar lagi ketika kita masuk ke usia 40an dan seterusnya.

Sumber: ArtStation
Sumber: ArtStation

Contohnya, di usia 20an, mungkin kita tidak butuh berolahraga agar tetap ramping. Namun, di usia 30an (apalagi di era teknologi yang semakin memanjakan manusia sekarang ini), pola makan yang sehat dan olahraga teratur dibutuhkan agar perut tidak buncit. Percayalah, hal ini berlaku baik untuk laki-laki ataupun perempuan (sembari melihat perut saya yang semakin ‘offside’).

Hal ini yang mungkin harus disadari oleh para gamer girl yang mengandalkan strategi eksplorasi tubuh. Sayangnya, tak sedikit (karena memang tidak semuanya), mereka-mereka yang berparas rupawan merasa tak butuh lagi skill atau nilai jual lain karena beranggapan modal tadi sudah cukup untuk menghantarkan mereka mendapatkan semua yang mereka inginkan.

“Eksplorasi tubuh tadi memang level pertama tapi harus mau belajar ke level yang selanjutnya.” Ungkap Wida. Level yang lebih tinggi dari eksplorasi tubuh tadi, menurut Wida, adalah eksplorasi potensi. Lebih lanjut ia menjelaskan, eksplorasi tubuh tadi sebenarnya lebih ideal jika digunakan sebagai salah satu sarana untuk ke posisi yang lebih safe; yang tidak terlalu bergantung pada penampilan semata.

Salah satu solusi karier yang lebih aman untuk jangka panjang tadi adalah dengan pindah ke belakang layar ataupun bergabung dengan korporasi raksasa macam Logitech, seperti yang dilakukan oleh Nicole.

Kenapa? Pertama, otak atau ketajaman berpikir (yang biasanya lebih diutamakan untuk orang-orang belakang layar) adalah aset kita yang lebih mudah meningkat nilainya seiring waktu – kebalikan dari penampilan kita. Kedua, korporasi besar memang punya rencana jangka panjang yang matang – atau setidaknya sudah ada; berbeda seperti kebanyakan selebriti media sosial.

Sumber: oliversalgames via Reddit
Sumber: oliversalgames via Reddit

Nicole pun sempat bercerita kepada kami kenapa ia dulu memilih untuk melepaskan statusnya sebagai selebriti gaming. Ia memang mengaku tertarik untuk mengembangkan industri game dan esports sejak dulu dan ia tak pernah berpikir bahwa menjadi selebriti gaming sebagai impian utamanya. Lagipula, ia beranggapan memajukan industri ini tak bisa dari satu sisi saja.

Menurut Nicole, mereka-mereka yang menggunakan strategi eksplorasi tubuh tadi sebenarnya masih punya peluang untuk bergabung ke korporasi nantinya. Asalkan, mereka punya skillset yang mendukung.

Meski demikian, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah kita, manusia, semua punya waktu yang sangat terbatas. Mengasah kemampuan itu juga butuh waktu. Menurut cerita Nicole, ia bergabung bersama Logitech setelah 7 tahun meninggalkan NXA. Inilah yang mungkin penting dicatat untuk mereka-mereka para selebriti media sosial.

Anggap saja seperti ini, popularitas sebagai selebriti tadi bisa jadi baru menurun setelah menginjak usia 30an. Namun, jika mereka baru belajar keahlian lain di usia tersebut, mereka baru akan menginjak level yang sama seperti Nicole sekarang di usia 37. Jika hal itu yang terjadi, kemungkinan besar, perusahaan besar tidak akan akan memilih orang-orang minim pengalaman di usia yang nyaris 40 tahun.

Minimnya Ruang Eksplorasi Potensi untuk Perempuan Muda di Industri Game

Sumber: Medium
Sumber: Odyssey

Kenyataannya, jika kita ingin lebih fair, perjuangan para figur publik perempuan di industri game dan esports yang tidak mengandalkan eksplorasi tubuh memang jauh lebih berat. Sebagian besar pasar di industri game sendiri yang kebanyakan laki-laki memang seringnya menilai selebriti media sosial hanya dari tampilannya semata. Kami setuju dengan pendapat Wida di atas.

Mereka-mereka yang punya paras dan bodi menarik bisa mendapatkan popularitas dengan lebih cepat dan lebih mudah. Sebaliknya, mereka-mereka yang tak mau eksplorasi tubuh harus berjuang jauh lebih keras untuk bisa sampai ke tingkat popularitas yang sama. Hal inilah yang mungkin harus disadari dan diedukasikan kepada para laki-laki yang mendominasi pasar gaming.

Untuk itu, mungkin kita perlu melihat lebih jauh kenapa tren gaming girl meningkat pesat beberapa tahun terakhir. Kenapa eksplorasi tubuh dan paras bisa jadi jalan pintas mendapatkan popularitas? Karena, yang ditawarkan (baik disengaja ataupun tidak) oleh para selebriti media sosial tadi adalah sebuah ilusi atau impian atas pasangan idaman yang punya ketertarikan yang sama.

Sjokz, salah satu selebriti gaming yang tak hanya mengandalkan paras muka rupawan. Dokumentasi: Riot Games
Sjokz, salah satu selebriti gaming yang tak hanya mengandalkan paras muka rupawan. Dokumentasi: Riot Games

Maksudnya seperti ini, jika hanya berbicara soal paras, selebriti layar kaca ataupun layar lebar macam Raisa dan kawan-kawannya juga tidak kalah. Namun kebanyakan pengguna media sosial mungkin sadar bahwa mereka ada di tingkat awan-awan. Kecuali Anda juga seorang selebriti besar, pengusaha kaya raya, ataupun punya nilai jual yang sangat berharga dan langka, selebriti di kelas tadi kemungkinan besar tak mungkin Anda raih. Sedangkan selebriti kelas media sosial mungkin memang seolah lebih achievable.

Karena itulah, biasanya, para selebriti media sosial yang terang-terangan mengaku sudah memiliki pasangan akan menurun cepat popularitasnya; sebab hal tersebut menghancurkan ilusi para penggemarnya.

Jadi, buat para pengguna sosial media, khususnya laki-laki dan jomlo, percayalah para selebriti sosial media itu juga tidak mau sama Anda jika yang Anda lakukan hanyalah sharelike, retweet, swipe up, ataupun yang lainnya tanpa interaksi dan komunikasi yang lebih berarti. Tak ada salahnya juga untuk melihat dan menilai lebih jauh seorang selebriti gaming dari sekadar paras dan bodi, seperti kemampuan mereka bermain, kreatifitas konten, pengetahuan yang luas, ataupun yang lain-lainnya.

Karena, bagaimanapun juga, pasar juga turut menentukan kedewasaan konten seperti apakah yang menjadi tren baru di sebuah industri.

Menilik Peran Komunitas Dalam Esports Lewat Gelaran Kaskus Battleground

Akhir pekan kemarin (17 Maret 2019) menjadi penutup dari gelaran Kaskus Battleground Season 4. Mempertandingkan game Arena of Valor, tim EVOS AOV kembali menjadi raksasa yang tak terkalahkan dalam kompetisi ini. Gelaran turnamen AOV ini juga menjadi penutup Kaskus Battleground seri 2018-2019 yang membawa tema “Mobile Game Festival”

Dalam gelaran babak Grand Final, EVOS berhasil membantai habis tim DG Esports 3-0. Walaupun begitu, perjalanan DG Esports di Kaskus Battleground Season 4 ini sebenarnya cukup memukau. Glenn “DG.Kurus” Richard dan kawan-kawan berjuang keras untuk bisa bangkit dari lower bracket. Harus berhadapan dengan nama besar di jagat kompetitif AOV, yaitu GGWP.ID juga Saudara Esports, mereka tak gentar dan berhasil kalahkan mereka.

Namun pada gelaran final, permainan EVOS ternyata masih terlalu solid. Alhasil DG Esports jadi kalang kabut melawan Wiraww dan kawan-kawan. Akhirnya Ran23 dan kawan-kawan DG Esports harus menerima kekalahan yang cukup telak, dengan setiap game bisa diselesaikan dalam waktu sekitar di bawah 15 menit.

Ridwan Gunawan, Brand Manager Kaskus. Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Ridwan Gunawan, Brand Manager Kaskus. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Sudah kurang lebih sekitar dua tahun, Kaskus Battleground menjadi wadah bertanding bagi atlet-atlet esports nasional. Tetapi setelah seri ini selesai, bagaimana kelanjutan dari Kaskus Battleground nantinya? Untungnya saya berkesempatan berbincang dengan Ridwan Gunawan, Brand Manager Kaskus, membicarakan hal tersebut. Berikut hasil perbincangan saya dengan Ridwan.

Mengawali obrolan, saya sebenarnya cukup penasaran dengan awal mula terciptanya Kaskus Battleground. Maka dari itu saya pun menanyakan hal tersebut kepada Ridwan. Ia lalu menjawab bahwa Kaskus Battleground sebenarnya adalah inisiatif kumpu-kumpul dari komunitas forum 46 (forum games) Kaskus.

“Jadi dahulu kala, anak-anak forum game itu ceritanya minta dibikinin turnamen. Mereka berpikir daripada cuma ngobrol doang, akan lebih enak kalau kita ada wadah untuk berkompetisi dan kumpul. Akhirnya dari situ terciptalah Kaskus Battleground” jawab Ridwan.

Kaskus Battleground pertama kali diselenggarakan pada awal tahun 2017 lalu. Ketika itu kompetisi ini mempertandingkan salah satu game kompetitif terpopuler pada masanya, Dota 2. Brand kompetisi ini terus berlanjut sampai ke tahun 2018, namun membawa tema yang berbeda yaitu “Mobile Games Festival”.

Speed Drifeter menjadi salah satu hidangan sampingan yang juga menyedot keramaian gamers di Kaskus Battleground kemarin. Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Kompetisi Speed Drifter menjadi salah satu hidangan sampingan yang juga menyedot perhatian gamers di Kaskus Battleground kemarin. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Kaskus Battleground – Mobile Games Festival berlangsung selama 2018-2019. Selama satu musim tersebut, kompetisi dibagi menjadi 4 season, dengan mempertandingkan berbagai mobile game yang sedang populer. Ada Vainglory, Rules of Survival, PUBG Mobile, dan Arena of Valor sebagai sajian utama dari Kaskus Battleground.

Tapi acara Kaskus belum lengkap kalau tidak melibatkan komunitas di dalamnya. Maka dari itu, selain sajian utama, ada juga hidangan sampingan” berupa kompetisi dari komunitas. Jadi selain empat game tersebut, ada juga pertandingan serta ajang kumpul komunitas game seperti: game sepakbola FIFA dan PES 2019, lalu ada juga Tekken 7, Let’s Get Rich, Speed Drifters, dan lain sebagainya.

Sampai sejauh ini, prestis Kaskus Battleground terbilang cukup tinggi, karena kompetisi ini kerap diikuti oleh berbagai tim esports papan atas Indonesia. Lebih lanjut soal ini Ridwan, sejujurnya ingin mengarahkan agar Kaskus Battleground bisa menjadi panggung bagi pendatang baru di dunia esports.

“Menurut pandangan saya, sebenarnya saya ingin Kaskus Battleground bisa jadi panggung bagi para newcomer dari dunia esports. Maka dari itu untuk ke depannya, saya punya rencana untuk mengemas Kaskus Battleground agar tidak cuma sekadar kompetisi, tapi juga jadi wadah sharing ilmu dari pro player kepada komunitas, kepada newcomer jagat kompetitif game” Ridwan menambahkan.

Tentu akan sangat menyenangkan melihat pemain pro bisa bersandingan dengan komunitas dan saling sharing pengalaman seputar esports. Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Tentu akan sangat menyenangkan melihat pemain pro bisa bersandingan dengan komunitas dan saling sharing pengalaman seputar esports. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Lebih lanjut soal masa depan Kaskus Battleground, saya cukup penasaran dengan satu hal. Adakah kemungkinan Kaskus akan menyediakan panggung utama Kaskus Battleground, kepada komunitas-komunitas kecil nan solid? Contohnya seperti komunitas rekanan Hybrid, seperti R6 IDN dan komunitas game Fighting yang diwakili Advance Guard.

“Seperti apa yang saya katakan sedari awal, fokus Kaskus memang adalah komunitas. Jadi kalau bicara soal rencana, kita selalu menyediakan rencana tersebut untuk komunitas. Tetapi kami harus memastikan terlebih dahulu, apakah komunitas tersebut aktif berkumpul? apakah pemain aktifnya cukup banyak? Kalau iya, mengapa tidak.” Jawab Ridwan kepada saya.

Kurang lebih itu sedikit obrolan saya dengan Ridwan Gunawan seputar esports dan komunitas dari sudut pandang kaskus. Kurang dan lebihnya, saya cukup setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ridwan. Komunitas bisa dibilang juga merupakan salah satu elemen penting dalam ekoisistem esports. Sebab tanpa dukungan komunitas, esports mungkin tidak akan sebesar dan semegah seperti saat ini.

Akankah SEA Tour Menjadi Cikal Bakal Kebangkitan Esports LoL di Asia Tenggara?

Baru-baru ini Riot Games, lewat Garena, mengumumkan sebuah format kompetisi League of Legends baru untuk regional Asia Tenggara. Format ini diberi nama League of Legends SEA Tour (LST), yang merupakan usaha Riot Games untuk menyatukan semua kegiatan ekosistem esports di Asia Tenggara.

SEA Tour mengubah format kompetisi dari liga lokal, menjadi format turnamen antar negara dalam satu regional Asia Tenggara. Dalam format turnamen baru ini, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Indonesia akan langsung ditandingkan di dalam satu wadah besar. Alur kompetisi SEA Tour dibagi menjadi empat fase yaitu: Kualifikasi ranked online, kualifikasi nasional, National Minor, SEA Tour Spring/Summer Major.

Nantinya tim yang berhasil jadi juara di SEA Tour Spring/Summer Major, berhak untuk lolos ke fase global, entah itu Mid-Season Invitational 2019 atau Worlds 2019.

Sumber
Sumber: Garena Indonesia

Sebelumnya, ekosistem kompetisi LoL di Asia Tenggara menggunakan sistem liga lokal. Beberapa negara di Asia Tenggara sudah melakukannya lewat program seperti: League of Legends Garuda Series (LGS) Indonesia atau Vietnam Championship Series dan lain sebagainya. Sistem ini sebenarnya mencoba mereplikasi apa yang sudah sukses dilakukan di beberapa regional, contohnya ada liga LoL AS yaitu LCS atau liga LoL Korea yaitu LCK.

Namun selama liga lokal ini diselenggarakan, Asia Tenggara entah kenapa masih kurang bisa berkompetisi dalam program esports LoL Global. Dengan format tersebut, perwakilan SEA kerap terhenti ketika mencapai fase International Wildcard Qualifier atau fase yang kini disebut sebagai Worlds atau MSI play-in.

Walaupun begitu, dua tahun belakangan pencapaian regional SEA di jagat kompetitif LoL internasional meningkat. Hal tersebut tercatat lewat lolosnya Gigabyte Marines (Filipina) ke MSI 2017 dan EVOS (Vietnam) ke MSI 2018. Kendati demikian, keduanya tetap tidak berhasil lolos dari fase grup di MSI, babak belur oleh Korea, Tiongkok, Amerika, dan Eropa; empat regional yang memang adalah powerhouse jagat kompetisi LoL.

Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Melihat perubahan format yang terjadi ini, muncul pertanyaan di kepala saya. Apakah perubahan ini akan membuat tim LoL SEA jadi lebih bersinar di kancah internasional? Bagaimana dampaknya kepada pemain, iklim kompetitif, serta ekosistem esports LoL di Asia Tenggara?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut, saya mewawancara dua sosok yang pegiat esports LoL di Indonesia. Mereka adalah Yota dan Florian “Wofly” George. Yota sendiri sebenarnya sudah cukup lama malang melintang di dunia esports Indonesia, bahkan sebelum program esports LoL Indonesia ada. Namun dalam salah satu portofolio karirnya, ia sempat menjadi bagian dari tim produksi League of Legends Garuda Series (LGS) yang diselenggarakan oleh Garena.

Sementara nama Wolfy selama ini dikenal sebagai sosok shoutcaster di dalam gelaran seri liga LoL lokal Indonesia tersebut. Bukan sekedar shoutcaster, tapi Wolfy juga terkenal sebagai sesosok analis yang brilian yang kerap memperhatikan perkembangan esports LoL baik lokal maupun internasional. Tak berhenti sampai situ, ia juga sempat menjadi pemain, mewakili Indonesia dalam gelaran kompetisi LoL antar universitas dengan membawa nama kampus UPH.

Sumber:
Sumber: Facebook Yota

Kembali ke pembahasan soal SEA Tour, mari kita dengarkan pendapat dari Yota terlebih dahulu. Menurut pendapat dia, sebenarnya perubahan format dari liga lokal menjadi SEA Tour, tidak banyak membantu perkembangan ekosistem esports LoL di Asia Tenggara. “Playerbase League di SEA sekarang masih declining dan rasanya itu sulit dihindari. Salah satunya juga disebabkan karena trend mobile gaming di SEA yang terus meningkat” Tambah Yota.

Wolfy juga memberi pendapat soal dampak perubahan format ini dari sisi iklim kompetitif League di SEA. Menurutnya sistem baru ini memberi satu nilai positif, yaitu memungkinkan tim kuda hitam atau tim baru untuk muncul dan menjadi pemenang.

Mengapa demikian? Penyebabnya karena SEA Tour merupakan kompetisi tanpa kasta, memungkinkan siapapun melawan tim manapun. “Tapi jujur, gue pribadi lebih prefer sistem liga, karena membuat pemain ataupun organisasi jadi lebih terjamin” Wolfy kembali menambahkan.

Yota (kiri) dan Wolfy (kanan) saat jadi shoutcaster untuk PvP Esports
Yota (kiri) dan Wolfy (kanan) saat jadi shoutcaster untuk PvP Esports

Lalu apakah perubahan format ini bisa menghidupkan kembali scene esports di SEA? Terkait topik ini keduanya cukup kompak menjawab tidak.

Wolfy menjelaskan lebih lanjut soal jawabannya, “Jujur sebenarnya sulit untuk menghidupkan kembali scene LoL terutama di Indonesia. Jumlah organisasi yang punya niat terhadap scene LoL sudah sangat sedikit, turnamen League juga sangat terbatas, apalagi ditambah viewership LoL di Indonesia serta Asia Tenggara yang sangat rendah. Gue rasa sih tiga hal itu adalah faktor utama kenapa LoL di SEA jadi sulit berkembang.”

Pada sisi lain jawaban Yota cenderung lebih optimis, walaupun sebenarnya tetap skeptis dengan perkembangan scene LoL di Asia Tenggara. “Butuh lebih dari sekedar SEA Tour untuk bisa menghidupkan kembali scene esports League di SEA” jawab Yota tegas.

“Tapi kehadiran LST menjadi sinyal bahwa LoL di SEA itu belum mati. Ini adalah salah satu langkah positif dari Riot Games menurut gue. Juga, kehadiran LST tentu memberi jalan kepada pemain kompetitif yang punya mimpi bisa bermain MSI atau Worlds” Yota menjelaskan lebih lanjut kepada saya.

Sumber:
Sampai saat ini, pusat kegiatan esports LoL masih terpusat di empat regional. Eropa salah satunya, yang hadir lewat program LoL European Championship (LEC). Sumber: LoL Esports EU

Sebenarnya inisiasi liga lokal diselenggarakan oleh Riot Games melalui Garena merupakan inisatif yang baik untuk mengembangkan ekosistem esports LoL di Asia Tenggara.. Sayang kenyataan pahit yang harus diterima Garena adalah kecenderungan pemain Asia Tenggara memilih Dota 2 dalam hal game MOBA di PC, atau lari ke MOBA yang ada di mobile.

Kendati demikian, saya cukup setuju dengan apa yang dikatakan Yota. Walaupun jagat kompetitif League di SEA bisa dibilang sudah hampir mati suri, kehadiran SEA Tour adalah bukti nyata kepedulian Riot Games.

Kalau boleh jujur, sebenarnya cukup adil jika Riot Games memutuskan lepas tangan, lalu membiarkan jagat kompetitif LoL di Asia Tenggara terombang-ambing. Toh Riot Games juga sudah kesulitan mendapat keuntungan dari LoL di Asia Tenggara bukan?

Semoga saja kehadiran SEA Tour bisa kembali membangkitkan jiwa-jiwa kompetitif dari pemain LoL di Asia Tenggara. Tapi jangan berharap banyak ini bisa menghidupkan kembali scene LoL di SEA. Saya sangat skeptis dengan hal tersebut, apalagi mengingat era MOBA yang sudah selesai, dan pergeseran gaming culture di Asia Tenggara dari PC ke Mobile.

[Guide] Menerapkan Latar Belakang Sejarah Minsitthar dalam Strategi Mobile Legends

Dewasa ini, Mobile Legends: Bang Bang semakin galak menunjukkan taringnya sebagai salah satu game MOBA terpopuler dunia. Meski banyak dicibir haters dan sempat tersandung kasus hak cipta, Moonton tetap tak gentar. Mereka terus memberikan perbaikan serta konten-konten baru yang kian lama kian menarik. Mulai dari pembaruan model 3D karakter secara bertahap, perubahan meta yang dinamis, hingga desain hero-hero baru yang selalu kreatif.

Salah satu hero yang tergolong unik itu adalah Minsitthar, sang raja dari Myanmar. Dari semua hero Mobile Legends yang ada hingga Season 11, mungkin Minsitthar adalah hero yang memiliki latar belakang cerita (lore) paling berkaitan dengan elemen gameplay. Ada kesenangan tersendiri saat memainkannya, karena kita tidak hanya berkelahi di MOBA, tapi seolah-olah sedang melakukan role-playing juga.

Di tangan yang tepat, Minsitthar dapat menjadi Fighter sangat berbahaya, bahkan JessNoLimit menyebutnya sebagai hero Fighter terkuat kedua di Mobile Legends Season 11. Akan tetapi Minsitthar memiliki gaya main yang sedikit tricky, tidak seperti Fighter pada umumnya. Mengetahui lore di balik karakter Minsitthar dapat membantu Anda memahami strategi penggunaan karakter ini dengan lebih optimal. Simak penjelasannya di bawah.

Early game: masa muda terkucilkan

Mirip seperti hero-hero seperti Gatotkaca, Zilong, atau Kadita, Minsitthar juga diambil dari tokoh sejarah yaitu raja Myanmar kuno yang bernama Kyansittha. Catatan sejarah tentang masa kecil Kyansittha sebenarnya tidak begitu lengkap, namun ada satu hal yang pasti: ia tumbuh besar bersama ibunya di dalam pengasingan, jauh dari lingkungan istana.

Sama seperti Kyansittha yang waktu kecilnya tidak punya apa-apa, Minsitthar adalah hero yang nyaris tak bisa apa-apa di early game, setidaknya bila sendirian. Ia memiliki serangan yang lemah, HP yang kecil, serta tidak memiliki burst damage yang dapat membantunya unggul dalam pertarungan. Keahlian Minsitthar hanyalah menarik musuh dari jarak jauh kemudian melakukan stun. Ini lebih mirip gaya main hero Support dibanding Fighter.

Minsitthar - Spear of Glory
Minsitthar di early game sangat lemah, bahkan perannya mirip hero Support | Sumber: Moonton

Minsitthar tidak cocok untuk permainan agresif di awal permainan. Namun ia tetaplah pangeran yang berhak atas harta warisan keluarga kerajaan. Skill pasifnya yang bernama All United akan memberikan Gold kepada Minsitthar bila ada teman yang berhasil membunuh lawan. Jadi tugas Anda di early game bukan mencari kill, tapi mencari assist sebanyak-banyaknya agar cepat kaya.

Rekomendasi item: Wizard Boots, Magic Necklace

Mid game: karier sebagai panglima

Kyansittha akhirnya dipanggil kembali ke kerajaannya dari pengasingan ketika menginjak usia remaja. Sesuai tradisi Myanmar saat itu, seorang pangeran berhak untuk masuk ke pasukan militer sebagai salah satu komandan pasukan walaupun masih muda. Ini tercermin dari jurus ultimate King’s Calling, di mana Minsitthar memanggil empat orang pasukan untuk mengeroyok musuh bersama-sama.

King’s Calling adalah sumber damage utama Minsitthar di mid game, tapi damage yang dihasilkan oleh skill ini sangat bergantung pada stat Physical Attack milik Minsitthar sendiri. Satu hal penting untuk Anda perhatikan adalah bahwa pasukan yang muncul dari King’s Calling mempunya Attack Speed yang tetap. Itu artinya membeli item Attack Speed untuk Minsitthar di mid game tidak optimal, jadi lebih baik fokus pada Physical Attack saja.

Minsitthar - King's Calling
Attack Speed pasukan yang muncul dari King’s Calling tidak bisa ditingkatkan | Sumber: Moonton

Bila Anda berhasil memperoleh banyak assist di awal permainan, Anda bisa menempati peringkat satu net worth meski tanpa melakukan kill. Jadi jangan ragu-ragu untuk langsung membeli item mahal yang dapat meningkatkan Attack Power secara drastis. Karena Minsitthar sangat tergantung pada Physical Attack dan skill (terutama King’s Calling), saya merekomendasikan Anda untuk menggunakan emblem yang dapat meningkatkan Physical Attack ketika hero mengeluarkan skill.

Rekomendasi item: Blade of Despair, Endless Battle, Malefic Roar

Rekomendasi emblem: Common Physical Emblem (Talent: Open Fire)

Late game: pahlawan pemusnah pemberontakan

Puncak kepahlawanan dalam kisah hidup Kyansittha terjadi ketika ayahnya, raja Anawrahta, sudah meninggal dunia. Meski Kyansittha merupakan seorang pangeran, dia bukanlah putra mahkota yang akan mewarisi posisi raja. Posisi itu dipegang oleh kakaknya yang bernama Saw Lu. Sayangnya, di bawah kepemimpinan Saw Lu, kerajaan Myanmar ternyata mengalami pemberontakan dari gubernurnya sendiri.

Kyansittha menjadi salah satu panglima perang yang ditugaskan Saw Lu untuk menekan pemberontakan. Setelah peperangan yang berjalan kurang lebih satu tahun lamanya, Kyansittha akhirnya berhasil menumpas pemberontak-pemberontak tersebut. Sayangnya Saw Lu sendiri tewas di tangan sang pemimpin pemberontak. Usai peperangan tersebut, Kyansittha naik takhta dan memimpin Myanmar menuju kesejahteraan, kekuatan militer, serta kekayaan budaya.

Minsitthar - Build Recommendation
Build nomor 2 cocok untuk segala situasi

Setelah memiliki cukup item, Minsitthar pun akan berubah dari seorang “hero Support” menjadi petarung yang menyeramkan. Kemampuannya mengeroyok musuh serta melakukan stun membuatnya sangat hebat di pertarungan satu lawan satu, apalagi melawan hero-hero yang tidak punya HP tebal. Late game adalah waktu terbaik untuk Minsitthar melakukan gank dengan agresif.

Bagaikan panglima yang memusnahkan para pemberontak, Minsitthar adalah mimpi buruk bagi hero-hero Assassin. Hero Assassin biasanya sangat mengandalkan mobilitas untuk membunuh musuh dan lari dari pertarungan dengan cepat. Namun bila terkena King’s Calling, mereka akan terkena status “grounded” dan tidak bisa mengeluarkan skill mobilitas (Blink) sama sekali. Sesuai dengan kisah sejarah yang menjadi inspirasinya, Minsitthar merupakan hero anti Assassin terbaik dalam Mobile Legends.

Kyansittha and Yazakumar
Lukisan raja Kyansittha (kanan) dan anaknya, Yazakumar (kiri) | Sumber: Art of Lwin

Skill pertama Minsitthar yaitu Spear of Glory juga memiliki keunikan karena dapat menarik musuh tanpa terhalang obyek-obyek lain di hadapannya. Ketika bertarung 5v5, gunakan kombinasi Spear of Glory dan King’s Calling untuk menculik Assassin atau Marksman lawan. Setelah itu, jangan bernafsu untuk adu pukul di tengah keramaian. Lebih baik mundur sejenak, lalu baru maju kembali ketika Spear of Glory sudah selesai cooldown. Ulangi hingga lawan rata tak bersisa.

Rekomendasi item: Scarlet Phantom, Berserker’s Fury

Rekomendasi spell: Flicker

Itulah strategi penggunaan Minsitthar, salah satu hero Mobile Legends yang terinspirasi dari tokoh-tokoh sejarah dunia. Hero ini memang agak aneh karena tidak bisa seagresif hero-hero Fighter lainnya, tapi bila sudah paham cara menggunakannya, Minsitthar bisa menjadi sangat merepotkan di medan perang. Terutama bagi hero-hero yang mengandalkan mobilitas seperti Fanny, Hayabusa, Harith, dan sejenisnya.

Jangan lupa terus pantau Hybrid untuk mendapatkan informasi menarik seputar Mobile Legends: Bang Bang dan esports lainnya. Kira-kira, hero apa yang perlu kami buatkan guide berikutnya?

Hybrid Day: Berbagi Cerita tentang Karier di Dunia Esports

Seiring semakin besar hingar-bingar esports di Indonesia, industri yang satu ini tentu terlihat lebih seksi bagi berbagai pihak. Alhasil kini banyak orang, terutama mereka para gamers, jadi ingin terjun ke dalam industri yang satu ini.

Namun pertanyaan awalannya adalah, bagaimana? Bagaimana kita bisa masuk dan terjun bekerja di dunia esports? Hybrid Day yang diadakan di SMA 1 PSKD pada 6 Maret 2019 kemarin, mencoba kupas tuntas soal cara mendapatkan karir di dunia esports; yang mengundang narasumber dari berbagai macam perspektif.

Sebelum menuju ke pembahasan utama, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan para narasumber kita.

Marzarian “Ojan” Sahita – General Manager BOOM.ID

Sumber: Facebook Page @owljan
Sumber: Facebook Page @owljan

Mengawali karirnya sebagai seorang graphic designer di dunia esports, sosok yang satu ini awalnya dikenal dengan nama panggilan “Owljan”. Ojan menjajaki dunia esports lewat berbagai lini, mulai dari jadi shoutcaster, tournament admin, bahkan pernah mencoba menjadi player. Kini Ojan adalah General Manager dari salah satu tim esports Indonesia yang paling haus prestasi, BOOM.ID.

Sampai saat ini, organisasi esports tempat Ojan bernaung sudah memilih kurang lebih 9 divisi dari berbagai game, dengan divisi Dota 2 sebagai salah satu divisi terkuat. Dengan pengalaman kurang lebih 9 tahun di dunia esports, Ojan sudah mencicipi berbagai pahit-manis berjuang di dunia ini.

Dimas “Dejet” Surya Rizki – Professional Shoutcaster

Sumber: Facebook Page @dejetttt
Sumber: Facebook Page @dejetttt

Penggemar esports Dota tentu kenal dengan shoutcaster yang satu ini. Ia mengawali karir di dunia esports sebagai pemain esports pada era warnet. Satu tahun mencoba peruntungan di gaming kompetitif, berbagai kegagalan membuka mata Dimas “Dejet” Surya Rizki untuk peluang karir lain, yakni shoutcaster.

Sempat tidak dibayar ketika jadi caster, Dimas kini sudah mengecap manisnya buah perjuangan yang ia jalani di dunia esports. Terbilang sebagai salah satu top shoutcaster di jagat esports Indonesia, ia sudah mengomentari berbagai event esports besar di Indonesia seperti: Indonesia Games Championship, Acer Predator League, IeSF World Championship, dan lain sebagainya.

Andrew “Ndruw” Tobias – Esports Manager Tencent Games

Sumber: Facebook Page @ndruwgg
Sumber: Facebook Page @ndruwgg

Sebagai gamers zaman dahulu, saya sudah mulai mengetahui nama “Ndruw” sejak zaman kuliah (sekitar tahun 2013an). Dahulu sosok ini terkenal kerap menjual berbagai voucher game dengan harga yang miring. Namun selain itu ia juga dikenal sebagai sosok community handler di berbagai game yang ia geluti.

Portfolio karir Andrew Tobias di dalam dunia gaming termasuk: menjadi founder dari event organizer esports World of Gaming, sempat bekerja untuk peripheral gaming Logitech, juga brand chip grafis NVIDIA. Kini Andrew bekerja sebagai Esports Manager di Tencent Games, yang tugasnya adalah merawat perkembangan ekosistem esports PUBGM di Indonesia.

Suka Duka Mencari Sesuap Nasi di Industri yang Bernama “Esports”

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Mitos soal bahwa kerja di esports itu sama dengan hanya main games, sudah berkembang cukup lama di kalangan umum atau gamers itu sendiri. Membuka pembicaraan, Ojan pun sedikit  menjelaskan sedikit kenyataan yang harus dipahami soal menjadi player esports atau bekerja di esports.

Salah satu yang ia tegaskan adalah soal definisi esports yang merupakan sebuah kompetisi. Jadi jika bicara untuk menjadi seorang player esports, yang harus diingat esports adalah kompetisi untuk menjadi yang terbaik. Maka jika ingin jadi esports player Anda harus siap segala aspek tubuh Anda ditempa habis-habisan, mulai dari fisik, mental, sampai ketangkasan bermain.

Namun setelahnya Ojan melanjutkan bahwa masuk ke dunia esports tidak selamanya harus menjadi player. Bidang-bidang yang dikerjakan oleh para narasumber adalah beberapa contoh bidang lain yang bisa dikerjakan di esports.

Lanjut bicara soal suka-duka, Ojan mengatakan bahwa salah satu keuntungan menjadi manajer adalah ia bisa pergi ke negara-negara yang belum pernah dikunjungi. Bonus tambahan lainnya adalah, ia jadi bisa bertemu dengan berbagai orang hebat yang menginspirasi di dunia esports.

Dimas lalu menambahkan dari sisi shoutcaster, menurutnya keuntungan terbesar yang kini dia dapatkan adalah adalah punya pendapatan besar hanya dengan bicara soal game. Selain itu bonus tambahan bagi Dimas adalah popularitas yang kini ia dapatkan, menurutnya hal itu adalah suatu kenikmatan yang patut disyukuri dari menjadi seorang shoutcaster.

Sumber: Facebook Page @PUBGMOBILE.ID.OFFICIAL
Sumber: Facebook Page @PUBGMOBILE.ID.OFFICIAL

Andrew sedikit berbeda, ia secara singkat membicarakan pengalaman hidupnya. Dia bercerita bahwa dirinya dahulu seorang introvert dan menurutnya esports berhasil memunculkan potensi dirinya. Dengan jabatan yang ia emban saat ini, salah satu yang menurutnya paling menggembirakan adalah sosoknya yang kini kerap dicari dan dibutuhkan orang-orang.

Tadi kita sudah bicara soal keuntungan, sisi suka dari bekerja di industri esports. Bagaimana dengan tantangan atau duka yang harus dialami dari bekerja di industri esports? Kalau Andrew menjawab bahwa menurutnya pekerjaan tetap adalah sebuah pekerjaan, yang menurutnya tidak semuanya bisa dianggap enak.

Jadi meskipun Anda bekerja di bidang yang anda sukai, rasa bosan atau lelah pasti bisa kapan saja muncul. Kenapa? Salah satunya bisa karena pekerjaan adalah sebuah kewajiban, beda dengan hobi yang bisa dikerjakan kapanpun tanpa ada tekanan apapun.

Lalu bagaimana kalau jadi shoutcaster? Enak bukan bisa punya penghasilan besar serta popularitas? Namun hal itu tidak sepenuhnya benar. Kenapa? Karena menurut cerita Dimas, untuk bisa sampai titik ini ia harus melakukan perjuangan yang sangat keras. Melanjutkan cerita, Dimas mengatakan bahwa dahulu caster bukanlah suatu kebutuhan acara kompetisi game. “Caster dalam turnamen esports jaman dulu itu dianggap, ada syukur nggak ada juga nggak apa apa” kata Dimas.

Tapi ia tidak menyerah dengan keadaan dan tetap bersikukuh melakukan hal yang ia suka tersebut. Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi Dimas sendiri adalah, kejadian saat ia jadi caster dan hanya dibayar dengan dua kata, “Terima Kasih”. Padahal, event yang ia komentari ketika itu adalah sebuah event yang cukup besar karena diadakan di JCC. Apalagi Dimas juga harus mengomentari kompetisi tersebut seharian, yang tentu bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan.

Disiplin Ilmu Terbaik Untuk Bekerja di Industri Esports?

Dokumentasi Hybrid - Aji
Dokumentasi Hybrid – Aji

Pembicaraan pun berlanjut ke topik berikutnya, disiplin ilmu apa yang dibutuhkan untuk bisa bekerja di dalam ke ekosistem industri esports? Seperti ekosistem industri lainnya, esports juga membutuh seperangkat ilmu tertentu tergantung dari bidang yang dikerjakan.

Kendati demikian, menurut Ojan beragam jurusan kuliah sebenarnya bisa cocok bekerja di ekosistem industri Esports. Mengapa? Karena menurutnya esports tak beda jauh dari kebanyakan industri digital lain. Jadi jika Anda mengincar pekerjaan belakang layar, kemampuan seperti mengelola media sosial, desain grafis, videografi, atau bahkan psikologi, ada ruang-ruang tersendiri di dalam ekosistem esports.

Dimas punya pendapat lain yang sebenarnya cukup menarik. Pertama-tama ia menceritakan soal latar belakang dirinya. Ia mengatakan bahwa walaupun pekerjaannya adalah seorang shoutcaster, Dimas merupakan seorang sarjana jurusan Psikologi.

Dokumentasi Hybrid - Aji
Dokumentasi Hybrid – Aji

Walau tidak ada sangkut-paut antara psikologi dengan shoutcaster, menurut Dimas, passion menjadi salah satu faktor penting untuk bisa terjun bekerja di ekosistem esports. Hal ini mungkin tepat jika kita bicara soal pekerjaan depan layar, seperti jadi player ataupun shoutcaster.

Kuliah tidak selalu menjadi faktor penentu, tapi bukan berarti Anda harus melupakan kewajiban kuliah. Tapi dalam artian, jika Anda punya passion dan keuletan, apapun kuliah yang Anda jalani, Anda tetap bisa menjadi player atau shoutcaster. Andrew lalu menegaskan sambil mencoba melengkapi jawaban dari Ojan dan Dimas.

Menurutnya jika passion dipasangkan dengan ilmu yang tepat, tentu akan mendorong karir Anda lebih cepat maju di ekosistem industri esports. Lebih jauh, Andrew juga menekankan bahwa setidaknya ada 3 faktor pendukung bagi Anda yang ingin terjun ke dunia esports, yaitu soft-skill,  expertise, dan passion.

Soft-skill adalah soal kepandaian Anda untuk berhadapan dengan orang-orang secara profesional. Expertise adalah soal bidang ilmu yang Anda kuasai entah itu dipelajari lewat kuliah atau otodidak. Passion adalah soal kecintaan Anda di bidang gaming kompetitif, yang menjadi bahan bakar atau semangat Anda untuk bisa bekerja dengan sepenuh hati di industri ini.

Tantangan dan Harapan Terhadap Ekosistem Industri Esports Dalam Negeri

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Kesuksesan esports hari ini pastinya akan diiringi dengan harapan bisa terus bertahan esok dan nanti. Tetapi “esok dan nanti” mungkin bisa dibilang sebagai tantangan sesungguhnya dari ekosistem industri esports dalam negeri.

Membuka jawaban soal topik ini, Ojan menegaskan, bahwa kalau dari segi manajemen tim esports tantangan terbesarnya adalah mencari pemain dengan skill dan attitude yang baik. Bagaimanapun jago seorang atlet esports, Ojan menganggap attitude tetap merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam merekrut atlet esports.

Seperti yang sempat Hybrid bahas, regenerasi merupakan topik besar yang harus dicari solusinya bersama. Kenapa? Tentu seperti apa yang tadi saya sebut di awal, demi ekosistem esports “esok dan nanti”. Dimas lalu mengamini apa yang dibahas bersama oleh Ojan dan para narasumber lainnya.

Dimas yang sudah menggeluti dunia gaming kompetitif sejak tahun 2007, merasa bahwa talenta di dunia esports selalu itu-itu saja sampai tahun 2019 ini. “Kami yang menjadi pembicara saat ini, sebenarnya berharap bisa digantikan suatu saat nanti oleh generasi penerus, oleh kalian para murid-murid SMA 1 PSKD ini contohnya” tambah Dimas.

Andrew mencoba menjawab dari sisi lain, dari sisi kualitas industri ekosistem esports di Indonesia. Menurutnya salah satu tantangan ekosistem esports Indonesia adalah, bagaimana agar standar hiburan esports di Indonesia bisa punya standar seperti esports di luar negeri.

Kalau menurut opini saya pribadi, sebenarnya kuaitas hiburan esports Indonesia kini sudah jauh lebih maju jika dibandingkan dengan di masa lalu. Tapi saya cukup setuju dengan apa yang dibilang Andrew, bahwa kualitasnya masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain.

Mungkin ini disebabkan oleh beberapa faktor. Apa saja faktornya? Mungkin karena perputaran uang di dunia hiburan esports Indonesia yang belum sebanyak seperti di luar negeri. Bisa jadi juga mungkin karena faktor infrastruktur Indonesia yang belum setara dengan luar negeri.

Dokumentasi Hybrid - AJi
Dokumentasi Hybrid – AJi

Menutup obrolan, membahas soal harapan terhadap generasi muda, Yabes Elia selaku Senior Editor dari Hybrid serta moderator acara kembali menekankan soal attitude dan cara komunikasi.

“Apapun industri yang digeluti, attitude dan cara komunikasi merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Sebagai contoh saja, sebuah permintaan yang sama bisa memberi hasil yang berbeda, tergantung dengan cara komunikasi dari masing-masing individu.” Yabes memperjelas soal pentingnya attitude dan cara komunikasi di dunia kerja bidang esports atau bidang apapun.

Andrew lalu juga menambahkan harapan terhadap para generasi muda. Menurutnya faktor penting lain adalah soal bahasa. “Sebisa mungkin kalian juga harus belajar bahasa, karena esports cenderung terlibat dengan dunia internasional. Jadi pastikan kalian juga bisa bahasa internasional, yaitu bahasa Inggris.” Jawab Andrew menambahkan.

Itu tadi sedikit bincang-bincang seputar “How to Kickstart Your Career in Esports” dalam acara Hybrid Day yang dilaksanakan di SMA 1 PSKD. Hybrid Day akan kembali hadir di kampus serta sekolah-sekolah lainnya di waktu yang akan datang.

4 Pandangan Negatif tentang Game yang Lemah Argumentasinya

Consistency is contrary to nature, contrary to life. The only completely consistent people are dead.” – Aldous Huxley

Kontradiksi dan paradoks mungkin adalah elemen yang membuat kita manusiawi. Kita memuja perubahan namun takut dengan hal-hal baru. Teknologi adalah ruang yang biasanya kental dengan kontradiksi itu tadi, termasuk game. Kita selalu ingin disebut logis dan punya akal budi. Namun tak jarang kita malas memelajari hal-hal asing dan memilih untuk menempelkan sejumlah stigma negatif ke sana.

Berbicara mengenai pandangan negatif tentang game, hal ini mungkin memang sudah jadi PR lama bagi para penggiat industri di sini untuk dipecahkan. Mirisnya, tak sedikit juga para gamer yang terbawa arus mainstream tentang stigma negatif tadi dan tidak menyadari realita bagaimana dunia selayaknya berputar.

Karena itu, ijinkan saya kali ini membawa sejumlah paradigma negatif tentang gamer tadi ke tingkat kesadaran; dari perspektif seorang gamer yang terobsesi dengan segala hal yang berbau filsafat.

1. Game Sebagai Candu Hidup

Sumber: Compound Interest
Sumber: Compound Interest

Kecanduan game kalau kata orang-orang di luar sana. Salah satu paradigma negatif paling populer adalah soal game yang bisa menjadi candu bagi kaum muda atau bahkan orang tua sekalipun.

Faktanya, segala hal yang mampu membuat tubuh kita memproduksi dopamin bisa jadi candu bagi hidup kita. Silakan baca artikel ilmiah (PDF) di tautan ini jika Anda ingin belajar lebih jauh tentang dopamin. Namun singkatnya, dopamin adalah hormon yang diproduksi tubuh kita saat kita bahagia atau bisa juga dihasilkan dari obat-obatan.

Bermain game hanyalah satu dari jutaan atau miliaran hal lainnya yang bisa memicu tubuh kita menghasilkan hormon tadi. Buktinya, banyak orang kecanduan media sosial, nonton serial TV (baik itu sinetron lokal, Korea, atau malah Game of Thrones), belanja, bekerja, dan yang lainnnya yang akan terlalu banyak disebutkan di sini semuanya.

Bahkan, ketika kita jatuh cinta, tubuh kita juga akan memproduksi dopamin. Makanya sekarang ada istilah bucin. Buat yang pernah jatuh cinta pasti tahu betul rasanya: tak ingin terpisahkan oleh jarak, ruang, dan waktu, lupa segala-galanya (kalau kata orang jaman generasi saya, serasa dunia milik berdua), ataupun rela menyeberangi lautan, memindahkan gunung, dan mengambilkan bulan untuk sang dambaan hati.

Tidak, saya memang tidak menyangkal bahwa game itu dapat mengakibatkan kecanduan. Namun, nyatanya, ada banyak hal lainnya yang bisa buat kita kecanduan. Apakah segala hal yang bisa membuat kita kecanduan harus dimusnahkan dari dunia ini? Termasuk pekerjaan (karena ada juga yang namanya workaholic) dan perihal asmara?

Naif saja rasanya jika semua hal yang bisa membuat orang bahagia itu harus dihilangkan sampai ke akar-akarnya… Saya pribadi lebih percaya bahwa membawa candu itu ke tingkat kesadaran dan berpikir bagaimana memanfaatkannya agar jadi bermakna justru jauh lebih realistis, jika tak mau disebut lebih bijak.

2. Game Berbahaya Bagi Kesehatan

Sumber: Pinterest
Sumber: Pinterest

Di sebuah artikel di Beritagar, ada sebuah cerita tentang orang tua yang menemukan anaknya kejang-kejang dan demam tinggi setelah anak tersebut bermain game di laptop. Anak tadi ternyata memang mengidap epilepsi. Apakah game-nya yang bersalah atas kejang-kejangnya anak tadi?

Coba kalau ceritanya seperti ini, ada anak-anak yang alergi dengan kacang dan ada juga yang alergi dengan kucing. Apakah semua kacang dan kucing itu yang bersalah jika ada anak-anak alergi yang bersentuhan dengan kedua barang itu?

Saya kira banyak orang tua lebih suka mencari kambing hitam lain atas tanggung jawabnya membesarkan buah hatinya. Tak hanya game sebenarnya, internet, musik (tahu soal pemblokiran Bruno Mars dan kawan-kawannya?), sekolah, bahkan presiden pun dibawa-bawa jadi kambing hitam atas ketidakmampuan (atau ketidakmauan) orang tua membagi waktu dan memberikan perhatian lebih ke anak-anaknya.

Saya juga sudah jadi orang tua selama 11 tahun (saat artikel ini ditulis) namun saya tidak akan menyalahkan objek atau orang lain jika anak saya nakal ataupun terjadi sesuatu padanya. Saya dan istri saya yang bertanggung jawab penuh atas apa yang dilakukan dan terjadi pada anak saya, setidaknya sampai dia berumur 18 tahun. Siapa bilang punya anak itu gampang? Eh punya anak memang gampang sih, yang susah adalah mendidik dan membesarkannya.

Credits: Pixar
Credits: Pixar

Ada lagi yang bilang game itu membuat orang jadi malas bergerak, terlalu lama di depan layar jadi buat sakit mata, dan lain sebagainya. Faktanya, manusia itu mungkin memang pemalas dan kemajuan teknologi berhasil mengakomodasi itu lebih jauh dari sebelumnya.

Bayangkan saja jaman sebelum ada mobil. Semua orang harus mau tidak mau berjalan atau mengeluarkan tenaga untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Internet yang memudahkan kita berkomunikasi satu sama lain sehingga bisa pesan makanan ataupun barang-barang lainnya dari ranjang. Apakah teknologinya yang harus dihapuskan supaya kita harus langsing dan berotot lagi? Silakan saja coba sendiri untuk hidup tanpa teknologi modern…

3. Game Memicu Perilaku Kekerasan

Ini satu lagi paradigma negatif yang kerap dilemparkan oleh orang-orang yang takut dengan hal-hal baru. Saya masih ingat jaman saya kecil, orang-orang tua jaman dulu juga menganggap musik rock mengajarkan kekerasan.

Faktanya, tindakan kekerasan dan kriminalitas sudah ada sejak jaman dahulu kala bahkan sebelum manusia bisa mengolah listrik ataupun api. Apakah tindakan kekerasan dan kriminalitas meningkat dengan adanya game? Jika kita mau berpikir, permasalahan kriminalitas adalah masalah yang kompleks dan tak bisa dikaitkan hanya dengan satu faktor saja.

Lagipula, sempit sekali pikiran kita jika hanya karena ada segelintir orang yang mengaku bertindak kejahatan karena game, kita jadi melihatnya sebagai sebuah hubungan sebab akibat yang mutlak. Maksud saya seperti ini, faktanya, ada juga segelintir orang yang mengatasnamakan agama sebagai justifikasi mereka bertindak kekerasan. Apakah agamanya yang salah?

Kecuali untuk seorang psikopat ataupun sosiopat, saya kira semua orang tahu mana yang benar dan salah terlepas dia bermain game atau tidak. Jika sampai ada orang yang tidak sadar bahwa menyakiti orang lain itu salah, saya kira terlalu naif saja jika menganggap satu hobi sebagai kausal utamanya. Karena faktanya, ada miliaran hal di hidup yang menentukan bagaimana cara kita mengambil keputusan dan memperlakukan orang lain.

4. Game Tidak Berguna untuk Mencari Nafkah

Sumber: The Verge
Sumber: The Verge

“Mau makan apa kamu jadi gamer?” Mungkin itulah yang sering terlontar dari banyak orang yang berpandangan negatif tentang game. Untuk hal ini, sekali lagi, mungkin memang ada benarnya. Namun, untuk semua hal yang berhubungan dengan karir dan profesionalitas, kita juga tidak akan jadi siapa-siapa kalau kita tak belajar dan berusaha sekuat tenaga.

Misalnya, pekerjaan apa yang menurut Anda paling besar pendapatannya? Pengusaha? Pegawai bank? Progammer? Selebriti? Semuanya punya rumus yang tak jauh berbeda. Pengusaha yang bangkrut itu nyatanya lebih banyak daripada yang sukses. Pegawai bank dan programmer juga karir dan pendapatannya tak akan beranjak naik jika ia bermalas-malasan. Selebriti bahkan bisa hilang begitu saja karirnya dalam waktu singkat jika ia tak mampu menawarkan gaya yang khas.

Di game juga sama saja. Mereka-mereka yang berusaha sekuat tenaga juga bisa bertahan lama dan hidup berkecukupan atau malah berlebihan, tergantung bidangnya. Saya pribadi sudah hidup dan berkarir di industri game Indonesia (khususnya media) sejak 2009.

Industri, apapun itu, memang kejam. Mereka-mereka yang tak bisa belajar dengan cepat dan memberikan nilai unik sebagai seorang profesional, tak akan survive di mana pun mereka berada. Penyebabnya karena memang industri sendiri adalah sebuah kompetisi, saat kita bersaing dengan profesional-profesional lainnya di bidang yang sama.

Besarnya pendapatan industri game dunia. Sumber: Newzoo
Besarnya pendapatan industri game dunia di 2018. Sumber: Newzoo

Akhirnya, jika kita mau berpikir dewasa atau terbuka (terserah Anda mau pilih diksi yang mana), semua hal yang ada di dunia ini memang punya efek baik dan buruknya masing-masing. Menghilangkan semua hal yang punya pengaruh negatif berarti mengurung diri di kamar tanpa ada interaksi apapun dengan dunia luar. Karena bahkan sekolah (saat mendapatkan guru yang sekadar tak punya pilihan profesi lain), bekerja (ketika karir itu juga faktanya memabukkan), agama (jika dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadi), ataupun yang lainnya bisa memberikan efek yang tak positif.

Demikian juga dengan teknologi, game, sosial media, dan segudang hal-hal baru lainnya. Saya lebih percaya dengan apa yang dikatakan oleh Socrates jika, “hidup yang tidak disadari, tidak layak dijalani.” Menyadari hal-hal negatif yang mungkin terjadi dari kegiatan bermain game, internet, ataupun yang lainnya memang wajib dilakukan. Namun bagaimana cara mengolahnya menjadi hal-hal positif adalah kunci perjalanan kita sebagai manusia berevolusi sebagai mahluk yang lebih komprehensif.

Mengintip Sekilas Pengorbanan Para Atlet Esports dalam Menjalani Karier

Video game kompetitif telah berkembang sangat pesat, dari sekadar persaingan di game center menjadi industri bernilai jutaan dolar. Para pemain, yang kini sudah layak menyandang gelar “atlet”, menyandang reputasi serta popularitas layaknya selebritas. Esports membuat video game berubah bukan hanya hiburan lagi tapi juga menjadi mata pencaharian yang menjanjikan.

Begitu gemerlap dunia esports terlihat di permukaan. Tapi mungkin kita tidak sadar bahwa di balik semua itu ada harga yang harus dibayar. Ketika seseorang terjun menjadi atlet profesional, ia harus mencurahkan seluruh energinya, terkadang sampai harus mengorbankan banyak aspek kehidupan lain.

Stasiun berita CBS baru-baru ini merilis dokumenter singkat yang mengisahkan tentang perjuangan atlet esports dengan judul Esports: The Price of the Grind. Mereka mewawancara orang-orang dari berbagai elemen esports, termasuk di antaranya Doublelift (Yiliang Peng) yang merupakan atlet League of Legends di Team Liquid, SPACE (Indy Halpern) yang bermain di tim Overwatch Los Angeles Valiant, hingga Thresh (Dennis Fong) yang tercatat di Guinness World Record sebagai gamer profesional pertama di dunia.

Risiko menjadi atlet esports

Para pegiat esports ini sepakat bahwa karier di dunia esports adalah karier yang berisiko. Ada berbagai hal yang dapat membuat profesi tersebut terasa sangat berat, bahkan bisa menghancurkan karier seseorang sewaktu-waktu. Berikut ini di antaranya.

Masalah kesehatan

Anda yang sering bermain MMORPG pasti mengenal istilah “grinding”, yaitu melakukan suatu kegiatan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama untuk meningkatkan level karakter kita. Banyak atlet esports percaya bahwa untuk menjadi pemain yang baik, mereka pun harus melakukan grinding di dunia nyata. Seorang gamer profesional bisa menghabiskan waktu hingga 12 jam sehari hanya untuk bermain, berlatih, dan meningkatkan keahlian.

Pola hidup seperti ini pada akhirnya bisa berujung pada cedera, terutama cedera tangan. SPACE misalnya, berkata, “Bila saya bermain terlalu lama, saya akan merasa sakit (di pergelangan tangan) pada malam harinya.” Begitu pula dengan bagian tubuh lain seperti punggung atau pundak. Gamer profesional rawan terkena cedera otot, sindrom carpal tunnel, dan berbagai kondisi medis lainnya. Padahal SPACE baru berusia 18 tahun.

Stres dan burnout

Bermain game itu memang menyenangkan. Tapi ketika sudah menyandang gelar profesional, game tak lagi hanya hiburan melainkan juga profesi. Ada tuntutan yang harus dipenuhi, dan seorang pemain harus menghabiskan banyak waktu memainkan satu game saja hingga mahir. Ini bisa menimbulkan rasa bosan, bahkan burnout yang membuat atlet jadi kehilangan motivasi bermain.

“Dulu ketika saya bermain di SMP atau SMA, rasanya tidak terlalu stres karena saya tidak berkompetisi begitu keras. Tapi ketika saya memasuki esports, tingkat tekanannya jauh berbeda karena saya bermain melawan para profesional,” ujar SPACE. Isu stres ini menjadi masalah besar terutama ketika menjelang pertandingan besar. Atlet esports punya banyak penggemar, dan keinginan untuk tidak mengecewakan mereka adalah beban tambahan yang dapat membuat atlet susah tidur. Apalagi bila mereka bermain di tim yang mewakili kota atau negara tertentu.

SPACE
SPACE (Indy Halpern) mengaku sering mengalami sakit di pergelangan tangan | Sumber: Altletics

Stigma negatif masyarakat

Saat ini esports memang sudah sangat populer, bahkan mungkin mendekati mainstream. Di negara seperti Amerika Serikat sudah banyak kampus-kampus yang menawarkan program pendidikan esports, begitu pula di Indonesia sudah mulai ada beberapa. Akan tetapi, mereka yang belum tenar sering kali masih dipandang sebelah mata. Mereka dianggap hanya buang waktu, atau dianggap hanya sekumpulan nerd yang tidak bisa bersosialisasi.

Padahal pada kenyataannya, kehidupan sebagai gamer profesional menuntut atlet untuk bisa bekerja dengan baik dalam tim, malah mungkin menjadi pemimpin di antara kawan-kawannya. Program pendidikan esports pun tidak hanya mengajarkan soal cara bermain, tapi juga cara komunikasi serta penyusunan strategi.

Sulit menjalani percintaan

Tim esports sering kali tinggal di satu rumah yang sama, baik itu sebagai asrama tetap ataupun bootcamp sementara. Selain itu mereka juga banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan. Sulit bagi atlet dengan pola hidup seperti ini untuk berkenalan dengan orang lain dan menjalin hubungan asmara. Mereka yang sudah memiliki kekasih pun, akan merasa teruji ketika salah satu pihak masuk ke dunia esports.

“Ketika Anda tinggal bersama dengan 6-7 lelaki lain, dan semuanya begitu serius berlatih, mana mungkin akan pergi bersantai selama akhir pekan? Saya rasa ada tekanan sosial seperti itu, bahkan meskipun tidak ada yang mengatakan atau membuat aturan tertulis,” kata Thresh.

Sebuah game bisa mati kapan saja

Jurnalis esports senior Richard Lewis memaparkan bahwa esports berbeda dengan olahraga biasa. “(Pemegang kekuatan terbesar) adalah para developer. Mereka yang membuat game, dan game itu adalah properti intelektual mereka. Tidak ada asosiasi pemain, tidak ada perserikatan… Tidak ada orang yang menjaga Anda,” jelasnya.

Tidak ada pemain sepak bola yang perlu takut bahwa tahun depan sepak bola akan punah. Begitu juga cabang-cabang olahraga lainnya. Mereka juga memiliki lembaga-lembaga yang memayungi seperti NFL, FIFA, atau NBA. Tapi hal ini beda dengan esports. Bayangkan bila Valve tiba-tiba memutuskan untuk menutup server Dota 2. Ke mana para atlet Dota 2 harus berpulang? Jangankan menutup server, menutup kompetisi Dota Pro Circuit saja sudah bisa membuat banyak orang kehilangan mata pencaharian. Wajar bila kemudian karier atlet esports sering berumur pendek.

Thresh
Thresh dikenal sebagai pro gamer di seri Quake | Sumber: Thresh

Wujud dukungan yang dibutuhkan atlet esports

Atlet esports telah berkorban begitu banyak, dan hasilnya, mereka pun mendapat penghasilan serta ketenaran yang layak. “Saya selalu berkata bahwa ya, terkadang (esports) menyebalkan, karena semua masalah yang ada. Tapi pada akhirnya, semua itu sungguh setimpal, dan bagi banyak orang hidup saya adalah mimpi yang jadi kenyataan,” kata Doublelift.

Akan tetapi meski pengorbanannya “worth it”, bukan berarti masalah-masalah di atas lalu kita biarkan begitu saja. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak sekitar atlet untuk mendukung perjuangan mereka, yang pada akhirnya juga akan berdampak positif pada ekosistem esports keseluruhan.

Dukungan orang tua

Esports adalah sebuah karier. Profesi. Cita-cita. Sama seperti cita-cita lainnya, seorang anak tidak akan bisa mencapainya dengan maksimal apabila tidak mendapat restu orang tua. Sudah banyak legenda-legenda esports yang membuktikan bahwa dukungan orang tua sangat penting. Sumail dari tim Evil Geniuses misalnya, orang tuanya bahkan rela memboyong seluruh keluarga dari Pakistan ke Amerika agar sang anak dapat bermain Dota. Begitu pula dengan atlet-atlet lain, seperti misalnya JessNoLimit yang selalu berkata bahwa ia ingin membanggakan orang tua.

Salah satu orang tua itu adalah Kara Dang Vu, ibu dari pemuda bernama Conner Dang Vu yang sedang berusaha menjadi pemain Overwatch profesional. Ia sadar bahwa zaman sudah berubah, dan orang tua harus memahami perubahan tersebut. “Mungkin sudah waktunya bagi kita, sebagai generasi yang berbeda, untuk melihat dunia dari mata mereka,” ujarnya.

Kara Dang Vu
Conner Dang Vu dan Kara Dang Vu, keluarga esports | Sumber: CBS

Dokter dan psikolog dalam tim

Kesehatan atlet sangat penting untuk diperhatikan, jadi tim esports sebaiknya memiliki dokter atau kru medis yang bertugas memantau kondisi para anggotanya. Akan tetapi kesehatan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal mental.

Tim esports seperti Los Angeles Valiant memiliki psikolog tersendiri yang dapat membantu para pemain mengatasi stres. Metodenya bisa bermacam-macam, bahkan sebagian melibatkan aktivitas fisik juga. Olahraga memang telah lama dipercaya dapat meredam emosi negatif, karena dengan berolahraga, tubuh akan terangsang untuk memproduksi hormon yang bersifat sebagai antidepresan. Dengan penanganan seperti ini, diharapkan atlet dapat berlatih dengan lebih nyaman dan tidak sampai burnout.

Pendidikan atau beasiswa

Saat ini kita sedang berasa di “generasi pertama esports”. Ekosistem ini muncul dengan menjanjikan jumlah uang yang besar, dan masih terus berevolusi untuk menuju industri yang sustainable. Agar esports bisa menjadi sesuatu yang berkesinambungan layaknya olahraga konvensional, kita butuh regenerasi. Bukan hanya atlet tapi juga peran-peran lainnya. Esports adalah sebuah profesi, dan profesi tidak bisa dilakukan tanpa adanya keahlian sebagai bekal.

Karena itulah, munculnya pendidikan esports di SMA dan kampus-kampus merupakan langkah yang sangat baik. Saat ini kita masih meraba-raba. Tapi di generasi esports berikutnya, mereka akan menjalankan industri ini dengan ilmu serta pengalaman yang terakumulasi dari generasi sebelumnya. Saya pun yakin esports akan terus ada untuk waktu yang lama, tapi tidak ada yang bisa menebak bentuknya nanti seperti apa.

SPACE - Therapy
Kesehatan adalah aset terbesar seorang atlet | Sumber: CBS

Catatan Tambahan: Sebuah pelajaran dari Daigo Umehara

Ada satu hal yang membuat saya merenung setelah menonton Esports: The Price of the Grind. Bila kita kerucutkan, sepertinya masalah utama esports saat ini ada pada sustainability. Semua pihak sedang berusaha menuju ke sana. Penyelenggara turnamen ingin agar kompetisi bisa lebih sustainable, atlet ingin terus bisa bermain dalam waktu yang lama, dan developer ingin game mereka tetap hidup dan dimainkan oleh banyak orang.

Namun untuk mencapai tahap sustainable itu, sepertinya “grinding” bukanlah jawaban yang tepat. Ketika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu secara terus-menerus, nilai tambah dari kegiatan itu justru makin mengecil (diminishing result). Kita bisa belajar sedikit tentang sustainability ini dari salah satu atlet esports paling veteran di dunia, Daigo Umehara.

Dalam bukunya yang berjudul The Will to Keep Winning, Daigo berkata bahwa berlatih dan bermain terlalu banyak itu adalah hal yang buruk. Atlet esports seharusnya tidak memforsir diri demi mengejar target jangka pendek, karena itu akan membuat mereka hancur baik secara fisik maupun secara mental.

Daigo sendiri memiliki rutinitas latihan yang berkisar hanya antara tiga sampai enam jam sehari. Menurutnya, kualitas latihan lebih penting daripada kuantitas. Lebih baik menghabiskan sedikit waktu namun berhasil mempelajari hal baru, daripada bermain belasan jam tapi tidak mendapat peningkatan apa-apa.

Mungkin para pegiat esports bisa belajar dari prinsip ini, bahwa untuk menciptakan ekosistem yang sustainable kuncinya adalah dengan menciptakan rutinitas yang sustainable pula. Ini tidak hanya berlaku bagi atlet. Organizer turnamen juga harus merancang jadwal kompetisi yang sustainable, yang memberi ruang bagi tim-tim esports untuk beristirahat serta mengeksplorasi hal baru. Sementara developer game harus bisa menyeimbangkan kecepatan update konten dengan stabilitas meta. Jangan sampai developer terlalu bernafsu merilis konten baru demi monetisasi, sementara para pemain kelabakan dengan meta yang berubah terlalu cepat.

Masalah sustainability di dunia esports ini bisa jadi bahan diskusi panjang sendiri, dan saya rasa para pegiat esports pun sudah banyak yang memikirkannya. Mudah-mudahan artikel ini dan dokumenter dari CBS bisa menjadi pengingat, atau pemicu munculnya ide baru yang akan memajukan ekosistem esports, terutama di Indonesia.

Sumber: CBS

Esports Fighting Indonesia: Yang Terkucilkan Namun Menolak untuk Tergeletak

Tahun 2018 mungkin boleh dibilang sebagai tahun kebangkitan gairah esports di ibu pertiwi. Namun esports sendiri sebenarnya mencakup banyak sekali cabang game dari mulai MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, dan yang lainnya.

Sayangnya, faktanya, kebangkitan gairah esports ini tidak merata di semua game. MOBA adalah yang paling laris berkat jumlah pemain yang masif dari Mobile Legends dan Dota 2. Game Fighting adalah salah satu genre esports yang boleh dibilang masih dimarginalkan.

Lain kali, kita akan berbincang untuk genre lainnya namun kali ini saya telah mengundang salah seorang dedengkot dari cabang game fighting untuk berbagi ceritanya. Ia bernama Bramanto Arman yang merupakan Co-Founder Advance Guard.

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Buat yang tidak terlalu familiar dengan dunia persilatan esports, ijinkan saya mengenalkannya terlebih dahulu. Advance Guard merupakan icon dari esports fighting di Indonesia. Di kala kebanyakan event organizer di Indonesia ramai-ramai menggarap MOBA, Bram bersama Advance Guard nya memang setia membesarkan genre tersebut sejak didirikan dari 2012.

Menurut cerita Bram, Advance Guard sendiri juga sebenarnya merupakan tempat berkumpulnya beberapa komunitas game fighting. Misalnya, untuk komunitas Tekken, mayoritas berasal dari IndoTekken. Sedangkan untuk Street Fighter, kebanyakan dari IndoSF.

Berkat ketekunan dan jerih payah mereka di sini, beberapa turnamen garapan Advance Guard bahkan mendapatkan sertifikasi resmi dari CAPCOM (untuk Street Fighter series) dan Bandai Namco (untuk seri Tekken) sebagai turnamen kualifikasi di tingkat internasional.

Jadi, perwakilan Indonesia yang ingin bertanding untuk CAPCOM Pro Tour dan Tekken World Tour harus melalui turnamen besutan Advance Guard.

Tentu saja, prestasi Advance Guard tersebut sudah tak dapat dipandang remeh lagi. Plus, kenyataannya, memang tidak ada lagi ‘otoritas’ yang lebih tinggi selain mereka di dunia persilatan esports fighting Indonesia.

Mari kita masuk ke obrolannya.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports fighting di Indonesia

Seperti yang saya tuliskan di atas tadi, exposure esports fighting di Indonesia memang masih kurang. Hal ini juga dirasakan oleh Bram.

“Minim sekali dibandingkan dengan game-game mainstream yang punya player base sangat besar di Indonesia.” Ungkapnya. Menurutnya, hal ini terjadi juga berkat ada faktor game-nya itu sendiri.

Bram pun menjelaskan bahwa game-game esports yang laris di Indonesia itu memang nyatanya game freemium yang adiktif sehingga bisa membuat banyak orang ‘khilaf’ dengan in-app purchase-nya. 

“Dari situ, akhirnya mereka melihat banyak pemain Indonesia yang memainkan game tersebut dan membuat event berskala besar. Itu untuk game Mobile Legends, AoV, dan PUBG Mobile.”

Sedangkan untuk PUBG (PC), Bram melihat ada wadah yang menaungi para gamer itu, seperti berbagai jenis iCafe. Karena itulah, banyak gamer bisa mencoba game tersebut tanpa membeli; cukup perlu membayar billing di warnet (bahasa kerennya iCafe). Hal ini dirasakan sama seperti yang terjadi di Dota 2.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports figthing di luar Indonesia

Jika popularitas esports fighting di dalam negeri memang masih minim, bagaimana dengan di luar sana?

Bram pun mengatakan bahwa popularitas esports fighting juga masih kalah dengan game-game mainstream di sana. Ia bahkan bercerita bahwa salah satu ajang esports fighting terbesar di dunia, EVO, juga berawal dari cerita yang sama dengan Bram.

Mereka juga awalnya membuat acara untuk komunitas dan penuh dengan passion. Namun seiring berkembangnya esports, EVO sekarang sudah bisa sebanding dengan ajang esports kebanyakan yang bertanding di stadium dengan production yang hingar bingar, dan dapat dukungan banyak sponsor.

Berkat perjuangan EVO itu tadi, EO-EO besar yang sebelumnya tidak menjamah fighting pun akhirnya ikut tergoda.

Bram pun menambahkan esports fighting sebenarnya juga seharusnya bisa populer karena lebih mudah dinikmati oleh orang-orang yang tidak memainkan game tersebut. Saya pribadi setuju sekali. Pasalnya, menonton pertandingan MOBA sebenarnya juga tidak menarik jika kita sendiri tidak memainkannya.

Meski masih kalah populer, di luar sana esports fighting sudah jauh lebih besar. Ia pun bercerita pengalamannya berkunjung ke REV Major, turnamen game fighting terbesar di Filipina. Di sana, ia melihat antusiasme yang begitu tinggi tidak hanya dari para pemainnya namun juga para penonton yang rela datang meski harus membayar tiket yang harganya tidak murah.

Sumber: VG247
Sumber: VG247

Di luar sana, esports fighting juga bahkan sudah didukung oleh beberapa selebriti seperti atlit wrestling Kenny Omega dan Saviour Woods. Ada juga rapper Amerika, Lupe Fiasco.

Perjuangan Advance Guard menggarap esports fighting Indonesia

Lalu, pertanyaannya, dengan popularitas yang masih minimal, kenapa Bram dan Advance Guard masih setia dengan esports fighting? Kenapa tidak bergeser ke game-game lain yang populer seperti kebanyakan Event Organizer (EO) lainnya?

“Karena approach kita memang berbeda.” Jawab Bram lugas.

Lanjutnya, “tak bisa dipungkiri, EO lain kan umumnya komersil jadi mereka melihat pasar yang sudah matang. Kalau saya kan dari komunitas. Jadi, saya berjuang agar komunitas ini bisa survive. Memang berat sih karena bisa dibilang minim support, jika dibanding dengan game mainstream pada umumnya.”

Ia pun memberikan pengandaian seperti ini, kebanyakan orang merasa menyirami tanaman tandus itu sia-sia; lebih baik memetik buah yang sudah ada. Sedangkan Bram memilih untuk terus menyirami tanah tandus, sampai akhirnya muncul satu helai daun. Hal ini ia lakukan karena kecintaannya terhadap game-game fighting.

Sumber: Polygon
Sumber: Polygon

Hasilnya pun sekarang Advance Guard punya jati diri dan ikonik di esports fighting. Mereka yang tadinya hanya mengerjakan skala kecil dari komunitas, sekarang mereka ‘kiblat’nya standar internasional.

Meski demikian, dari sisi bisnis, Bram mengaku perjalanan Advance Guard masih jauh jika berbicara soal profit (dibanding dengan  sejumlah EO yang menggarap game-game populer tadi).

Menurut ceritanya, untuk esports fighting di luar negeri, EO-EO besar biasanya kolaborasi dengan mereka yang sudah biasa di ranah itu. Hal ini terjadi di Malaysia, Filipina, dan Thailand.

“Jadi, idealnya, inginnya seperti itu ya. Tapi kadang-kadang di sini malah jadinya rebutan kue… Hahaha,” ujar Bram sembari berseloroh.

Apa saja yang dibutuhkan oleh esports fighting di Indonesia

Lalu apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh esports fighting Indonesia saat ini?

Pertama, dari sisi exposure, masih banyak media game dan esports yang minim sekali memberitakan dari ranah esports fighting. “Hanya media yang memang memiliki ketertarikan terhadap game fighting yang cenderung lebih banyak membahas. Media umumnya menuliskan berita esports fighting jika cukup besar skalanya. Sepengetahuan saya, IGX (Indonesia Game Xperience) termasuk yang banyak tulisannya dari media.”

IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard

Menurut Bram faktor pembaca game fighting sendiri juga masih segmented dibanding dengan game lain yang lebih populer. Padahal, di satu sisi, banyak hal yang sebenarnya bisa dibahas dari game fighting. Para pemain profesional nasional ataupun luar bisa jadi bahan artikel.

Apalagi, menurut Bram, para pemain game fighting dari Indonesia sebenarnya sudah bisa bertarung di tingkat Asia Tenggara. Bram pun bercerita bahwa beberapa waktu lalu, di Filipina, perwakilan Indonesia sempat meraih juara 1 untuk kompetisi BlazBlue Cross Tag Battle dan BlazBlue Central Fiction.

Meski demikian, Bram pun menambahkan bahwa untuk mengejar prestasi di tingkat Asia atau dunia, para pemain Indonesia masih perlu banyak belajar. Prestasi ini perlu diacungi jempol mengingat esports fighting memang masih minim exposure dan dukungan.

Lalu bagaimana dengan dukungan organisasi esports dalam negeri? Apakah hal tersebut dapat membantu perkembangan esports fighting? Apalagi mengingat belum banyak organisasi esports Indonesia yang punya divisi game fighting.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

“Kalau menurut saya pribadi, bisa saja; selama ada potensi dan passion dari pemainnya. Sponsor bisa memberikan kesempatan bagi para pemain untuk bertanding di luar negeri untuk menambah pengalaman.” Jelas Bram.

Ditambah lagi, “mau tidak mau, mereka harus bertanding di luar negeri untuk menaikkan standar.”

Kebetulan, belakangan ini salah satu pemain game fighting diajak bergabung dengan Alter Ego. Jadi, hasilnya mungkin bisa dilihat dari hasil kerja sama tersebut.

Selain mendapatkan sponsor, bagaimana jika para pemain game fighting juga mendapatkan gaji bulanan layaknya para pemain Dota 2 ataupun Mobile Legends? Apakah hal tersebut bisa membantu prestasi? Saya pun bertanya.


Menurut cerita Bram, para pemain game fighting saat ini sudah mendapatkan semacam gaji namun dari streaming yang jumlahnya relatif kecil. “Tapi ini bisnis ya, saya rasa mungkin yang win-win saja buat kedua belah pihak.”

Bram pun menambahkan bahwa kondisi yang ada sekarang lebih cocok untuk mereka yang masih kuliah / fresh graduate dan sangat passion di sini. Sedangkan untuk yang sudah berumur, mereka harus berpikir matang apakah sebanding kerja keras dengan jenjang karir ke depannya jika dibandingkan dengan kerja kantoran pada umumnya.

Menurutnya, masalah terberat berkarir di esports itu dari kekhawatiran orang tua yang pasti dibandingkan dengan pekerjaan kantoran. Baru game-game MOBA yang hadiahnya ratusan juta yang bisa membuat sejumlah orang tua terbuka dengan industri esports.

Meski begitu, Bram pun mengatakan, akhirnya memang kembali lagi ke masing-masing pemainnya. Jika dia bisa sukses dan tak bergantung orang tua, mereka bisa menyakinkan keluarga untuk bisa berkarir di sini.

AMD Esports Fight! Sumber: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Sumber: AMD

Selain 2 hal tadi, dukungan sponsor ke esports fighting tentu juga sangat berharga; misalnya seperti AMD yang sempat menggelar kompetisi untuk game fighting (AMD eSports FIGHT! Championship 2018).

“Kalau semua turnamen game bisa menyamai prize pool yang ditawarkan oleh turnamen game MOBA, tentunya dari sisi bisnis dan kesenjangan antara para pelaku esports bisa terjaga. Jadi, ekosistem esports itu perlu stabil dulu.”

Terakhir, menurut Bram, yang dibutuhkan juga oleh esports fighting adalah pengenalan game fighting itu sendiri.

“Saya melihat Indonesia masih jauh dari itu jika dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, ataupun Filipina. Setidaknya, di sana, event esports selalu ada spot untuk game fighting.

Karena itu juga, saya ingin berterima kasih pada AMD yang telah memberikan kepercayaannya kepada saya untuk menjalankan event mereka.

Harapannya, ekosistem esports fighting terus pelan-pelan berkembang dari berbagai aspek. Toh, esports fighting itu adalah salah satu esports yang punya faktor entertainment yang paling menarik dan punya banyak pemain nasional yang berprestasi di luar sana.” Tutup Bram.

Itu tadi obrolan singkat kami bersama Bram tentang seluk beluk esports fighting. Semoga saja tanah tandus yang sepenuh hati digarap Bram dan kawan-kawannya dari Advance Guard dan komunitas game fighting bisa berubah jadi taman indah yang bisa dinikmati semua orang ya!

Oh iya, jangan lupa like Facebook Fanpage Advance Guard ya untuk info-info terbaru seputar esports fighting.