Review Acer Nitro N50-110: Performa Tangguh Dengan Fitur yang Terlampau Sederhana

Selama masa pandemi, banyak perusahaan menerapkan protokol kerja dari rumah sebagai sarana mendukung usaha pemerintah untuk menanggulangi wabah COVID-19. Maka dari itu tak heran, jika kebutuhan akan komputer jadi meningkat, entah sebagai alat produktivitas maupun sebagai sarana hiburan untuk bermain game.

Saya melihat sendiri bagaimana kebanyakan teman-teman saya, yang juga gamers dan pekerja digital, belakangan terlihat menunjukkan baru saja berbelanja PC terbaru; yang tentunya bikin saya jadi iri melihatnya… Huhuhu. Jika Anda seperti saya, yang sedang terpikirkan untuk membeli PC baru untuk kebutuhan “produktivitas”, dan tidak mau kerepotan merakit, mungkin Anda bisa mempertimbangkan memilih pre-built desktop Acer Nitro N50-110.

Namun, agar Anda lebih yakin, simak dulu review Pre-built Desktop Acer Nitro N50-110 berikut ini. Oh iya, di sisi lain, jika Anda lebih butuh monitor gaming, Anda bisa membaca review BenQ Zowie XL2746s.

Performa

Ketika membeli sebuah perangkat PC, entah itu laptop maupun desktop, performa sepertinya menjadi pertanyaan pertama yang harus dijawab. Apalagi para gamers, yang mungkin akan serta-merta bertanya, “Bang, PC atau laptop spek dengan sekian-sekian-sekian kuat nggak ya untuk main game ini dan itu?”

Maka dari itu, saya sengaja meletakkan pembahasan soal performa di bagian paling depan, agar Anda tidak perlu scroll terlalu jauh untuk mengetahui seberapa tangguh Acer Nitro N50-110. Namun sebelum menuju pembahasan soal performa, mari kita lihat dulu spesifikasi hardware dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini:

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono
  • AMD Ryzen™ 7 3700X
  • 2x8GB DDR4 2666 MHz
  • X570 Chipset
  • NVIDIA® GeForce® GTX 1660Ti 6GB GDDR6
  • 512GB SSD NVMe + 1 TB HDD

Untuk menguji performa dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini saya menggunakan dua metode. Pertama adalah dengan synthetic benchmark dengan menggunakan dua program, ada 3D Mark FireStrike Ultra dan Uningine Superposition untuk menguji kemampuan pre-built desktop ini dalam memproses grafis 3d yang intensif. Lalu untuk menguji performa CPU, saya menggunakan Cinebench R20, dan menjalankan uji kemampuan CPU multi-core dan single-core.

Untuk FireStrike Ultra, konfigurasi dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini mendapatkan skor sebesar 3359. Skor tersebut bisa dibilang cukup normal untuk GeForce seri GTX 1660 Ti. Anda bisa melihat perbandingannya sendiri dengan pengujian terhadap seri 1660 Ti yang dilakukan oleh reviewer lainnya seperti guru3d atau kitguru. Lalu untuk pengujian dengan Uningine Superposition skor yang dihasilkan adalah sebesar 3260. Hasil ini juga masuk akal untuk GeForce GTX 1660 Ti jika dibandingkan dengan hasil benchmark dari legitreviews dan guru3d.

Lalu bagaimana dengan performa CPU? AMD lewat seri Ryzen memang terkenal sebagai salah satu CPU dengan performa yang baik. Bahkan seri prosesor AMD ini kerap kali dianggap sebagai “Intel Killer” karena performanya. Bagaimana dengan performa Ryzen 7 3700X yang memiliki base clock speed 3,6GHz yang bisa TurboBoost 1 core hingga 4,4 GHz, dan memiliki konfigurasi 8 core 16 threads ini?

Menggunakan Cinebench R20, skor yang didapatkan untuk performa multi-core processor ini adalah sebesar 4512. Hasil ini memang memuaskan mengingat performa procie lain yang ada di atas 3700X memang sudah sekelas workstation atau server. Lalu untuk performa single-core, Ryzen 7 3700X berhasil mendapatkan skor 478. Kali ini berhasil sedikit membalap skor Intel i7-7700K yang punya base clock speed lebih besar, yaitu 4,2GHz.

Setelah melalui synthetic benchmark dengan menggunakan beberapa tools di atas, bagian benchmark yang satu ini mungkin akan lebih menarik, terutama untuk Anda para gamers. Untuk metode kedua, saya melakukan real-world benchmark dengan menggunakan game. Saya membagi real-world benchmark ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah real-world benchmark menggunakan game AAA dengan menggunakan fitur in-game benchmark. Lalu pada bagian kedua saya melakukan real-world benchmark pada game multiplayer.

Untuk game AAA saya menggunakan Far Cry 5 (2018) dan Shadow of The Tomb Raider (2018). Jika melihat konfigurasi yang disajikan pre-built desktop Acer Nitro N50-110, harusnya pengaturan rata kanan dengan resolusi 1080p tidak menjadi masalah bagi kedua game tersebut. Benar saja, untuk Far Cry 5 hasil frame per second yang didapatkan adalah 78 min FPS, 108 max FPS, dengan 88 average FPS. Walau awalnya terlihat meyakinan, namun Far Cry ternyata bisa membuat Acer Nitro N50-110 ini jadi keteteran. Jika Anda mengatur Resolution Scale di dalam game menjadi 2 (default 1), maka torehan FPS yang didapatkan akan turun setengah jadi 29 min FPS, 40 max FPS, dengan 33 average FPS.

Sementara itu untuk Shadow of The Tomb Raider Anda juga bisa mendapatkan FPS yang terbaik dengan menggunakan pengaturan rata kanan dan resolusi 1080p. Pada game tersebut, Anda bisa mendapatkan 86 min FPS, 164 max FPS, dan 120 avg FPS. Mengingat dua game tersebut terbilang sebagai dua game yang cukup berat, bahkan sampai sekarang, maka bisa dibilang kita tidak perlu terlalu khawatir jika ingin memainkan game AAA lainnya dengan menggunakan pada Acer Nitro N50-110 ini.

Untuk skenario kedua saya menggunakan game multiplayer alat uji. Saya menggunakan dua game yang terbilang paling berat dan cukup populer belakangan ini, yaitu PlayerUnkown’s Battleground dan Apex Legends. Untuk melakukan pengujian, saya memainkan 3 kali sesi permainan, lalu merekam FPS yang didapatkan dengan menggunakan MSI Afterburner. Hasil FPS yang didapatkan (min, max, dan average) dijumlahkan, dan dibagi 3 untuk mendapatkan angka rata-rata FPS keseluruhan.

Seperti pada game AAA, dua game tersebut juga tidak memberi banyak masalah kepada Acer Nitro N50-110. Dengan menggunakan penghitungan tersebut, pengaturan rata kanan, dan resolusi 1080p, PUBG berhasil mendapatkan 61 min FPS, 95 max FPS, dengan 80 average FPS.

Rata-rata game PUBG sebenarnya masih bisa mempertahankan 60an min FPS. Tetapi sempat pada satu sesi saya mendapatkan 54 min FPS. Catatan tersebut saya dapatkan pada saat saya bermain di map Vikendi, dan berhasil mencapai peringkat 3 dengan torehan 8 kill (maaf pamer… Hehe). Mengingat pertarungan cukup intens ketika itu, mungkin banyaknya efek ledakan, serta bom asap yang dilemparkan pemain lain, jadi alasan kenapa min FPS yang saya dapatkan turun ke angka di bawah 60.

Lalu untuk Apex Legends, masih dengan pengaturan rata kanan dan resolusi 1080p, saya mendapatkan 42 min FPS, 145 max FPS, dengan 96 average FPS. Untuk min FPS, angka yang rendah tersebut saya dapatkan sepertinya karena terjadi sedikit anomali pada sesi ketiga permainan saya. Saat itu, Apex Legends mencatatkan 17 min FPS. Mungkin ini terjadi karena lag koneksi yang terjadi pada saat saya bermain di sesi ketiga. Tetapi secara keseluruhan, torehan min FPS Apex Legends memang selalu di bawah 60.

Saya sendiri sebenarnya kurang tahu apa penyebabnya. Bisa jadi karena konfigurasi Acer Nitro N50-110 yang memang kurang tangguh untuk memainkan Apex Legends, atau bisa jadi juga game tersebut yang masih kurang optimal. Namun secara keseluruhan average FPS yang didapatkan sudah lebih dari rata-rata, yang membuat pengalaman bermain jadi sangat menyenangkan.

Tampilan, Desain, dan Fitur Tambahan

Setelah kita kupas tuntas soal performa jeroan Acer Nitro N50-110, sekarang mari kita beralih ke kulit luar. Walau punya performa dan jeroan yang sangar, tampilan luar Acer Nitro N50-110 ini malah terbilang terlalu sederhana. Tidak ada kesan gamer yang berlebihan, selain warna hitam doff dengan motif brushed alumunium, ditambah aksen merah tua yang membuatnya terlihat sporty namun tetap elegan.

Anda juga tidak bisa mengharapkan lampu RGB kelap-kelip yang biasanya menjadi ciri khas bagi gaming PC. LED Backlit pada Acer Nitro N50-110 hanya ada satu, berwarna merah dan berbentuk huruf V di bagian depan casing, yang akan menyala (tapi kurang terang) pada saat PC dinyalakan.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Secara ukuran, casing Acer Nitro N50-110 terbilang cukup compact dibanding dari kebanyakan PC. Menurut saya design compact sebenarnya bisa berarti menguntungkan atau merugikan. Pada satu sisi PC ini akan mudah dibawa-bawa jika Anda harus pindah rumah dan memberi kesan minimalis serta sleek. Namun pada sisi lain design compact akan memberikan kekhawatiran tersendiri dari sisi air flow.

Terlebih dari apa yang saya lihat hanya ada dua lubang air flow dan dua fan tersedia untuk sebuah PC yang punya performa tinggi ini. Jadi, apakah design compact pada Acer Nitro N50-110 ini diterapkan dengan tanpa mengorbankan performa thermal-nya? Agak sulit sebenarnya untuk menjawab ini, sebagai gambaran Anda bisa melihat penjelasan saya saja seputar performa thermal pre-built desktop ini.

Pada saat melakukan benchmark dengan Superposition dan Cinebench, suhu maksimum CPU mencapai angka 79 derajat celsius, sementara suhu maksimum GPU mencapai angka 85 derajat celsius. Sementara itu pada saat saya menggunakan pre-built desktop ini untuk kebutuhan sehari-hari, suhu CPU-nya bisa mencapai suhu maksimum 68 derajat celsius. Untuk melakukan pekerjaan sehari-hari saya sebagai penulis, saya tidak banyak melibatkan GPU, sehingga suhunya aman di kisaran 40an. Sebagai catatan juga, suhu tersebut saya dapatkan saat melakukan pengujian di dalam kamar kos saya, tanpa menggunakan AC. Lebih detil, Anda bisa lihat sendiri galeri di bawah ini yang berisikan bentuk bagian dalam Acer Nitro N50-110, beserta catatan performa thermal yang saya dapatkan.

Seperti Anda lihat di atas, bagian dalam Nitro N50-110 ini tidak bisa dibilang bagus. Jika hanya melihat bagian casing luar, skor-nya mungkin 70/100, tapi saat melihat ke dalam saya jadi terpaksa memberi skor 40/100. Bagian dalam Acer Nitro N50-110 ini terlihat sempit. Hal ini berarti Anda akan memiliki banyak sekali keterbatasan jika ingin mengupgrade desktop ini satu hari ini, misalnya seperti menggunakan kartu grafis yang berbadan bongsor.

Konsisten seperti bagian luar, bagian dalam juga minim dekorasi. Manajemen kabel juga tidak sepenuhnya bagus, karena kabel masih menggeliat ke bagian luar, dan terlihat tidak ditata dengan rapih. Untungnya casing ini tidak transparan, yang membuat jeroan Acer Nitro N50-110 jadi bisa disembunyikan.

Untuk port colokan, bisa dibilang semua hampir semua colokan tersedia di dalam Acer Nitro N50-110. Pada bagian belakang ada 2x USB 3.1 Gen 1 Type A, 2x USB 3.1 Gen 2 Type A, 2x USB 2.0 Type A, 1x LAN Port, 1x HDMI, 1x DVI Port, 1x DisplayPort dan audio port. Sementara pada bagian depan ada optical drive, 1x USB 3.0 Type A, 1x USB 3.1 Gen 1 Type C, SD Card reader, dan audio port.

Pada bagian ini, satu yang cukup saya sayangkan mungkin adalah jumlah port USB bagian depan yang hanya satu buah saja. Selain itu, kehadiran optical drive terbilang cukup membingungkan, mengingat perangkat ini yang sudah semakin ditinggal seiring zaman. Namun optical drive yang diletakkan secara vertikal ini patut diapresiasi, membuat Acer Nitro N50-110 ini jadi terlihat sleek dan modern (walau saya tetap bingung mau digunakan untuk apa… Haha).

Selain dari port tersebut, Acer Nitro ini juga dilengkapi dengan Wi-Fi card serta Bluetooth. Jadi jika Anda adalah penganut setup wireless, tidak perlu lagi membeli dongle tambahan entah Wi-Fi atau Bluetooth. Tambahan lainnya yang ada pada bagian atas PC berupa penampang Qi Wireless Charging. Walau sebenarnya bagus, mungkin ini akan kurang berguna bagi para pengguna entry (seperti saya). Tetapi mengingat MSRP Acer Nitro N50-110 ini adalah Rp22.999.000, maka kemungkinan besar pemilik pre-built desktop ini sudah menggunakan smartphone kelas atas yang punya kemampuan wireless charging, sehingga fitur ini jadi sangat handy untuk kebutuhan produktivitas sehari-hari.

Lalu bagaimana dengan paket penjualan? Paket penjualan Acer Nitro N50-110 sendiri terbilang terlalu sederhana, namun sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Acer menyertakan mouse dan keyboard standar untuk penggunaan sehari-hari di dalam paket penjualan — bukan gaming seperti Razer Basilisk V2 atau SteelSeries Apex 7. Acer Nitro N50-110 ini juga sudah menyertakan Windows 10 Home 64-bit. Jadi Anda cukup menyediakan sebuah monitor saja, dan Acer Nitro N50-110 ini sudah siap digunakan.

Kesimpulan

Sebenarnya saya agak sedikit bingung, pasar apa yang sebenarnya ingin dikejar oleh Acer Nitro N50-110 ini. Tampilannya terlalu sederhana untuk kalangan gamers, tapi juga lumayan flashy untuk kalangan pengguna profesional.

Terlebih, dari jeroan dan konfigurasi yang disajikan, Acer Nitro N50-110 seharusnya bisa menyasar gamers atau para profesional multimedia lewat paket penjualan yang lebih menarik. Padahal jika Acer Nitro N50-110 ini menyertakan bonus berupa gaming gear, para gamers mungkin jadi lebih tertarik. Atau bisa juga menyertakan bonus software multimedia, sehingga pre-built desktop ini jadi lebih menawan bagi para profesional bidang multimedia.

Dengan MSRP seharga Rp22.999.000, Acer Nitro N50-110 terbilang terlalu sederhana dan minimalis. PC ini cuma bisa menawarkan performa yang baik di kelas mid-low, belum sampai ke high-end. Dengan jumlah uang yang dikeluarkan dan apa yang didapatkan, saya cenderung masih berpikir lebih baik sedikit repot merakit PC sendiri karena bisa dapat spesifikasi serupa dengan harga yang lebih murah. Lalu sisa uangnya bisa dialihkan untuk membeli game AAA terbaru atau software multimedia untuk kebutuhan kerja.

Jadi melihat ini, bisa jadi pre-built PC ini ditujukan untuk profesional multimedia yang suka main game di waktu luang, namun tidak mau banyak repot. Mengingat spesifikasinya yang mumpuni, software multimedia kemungkinan besar bisa dilahap juga dengan Acer Nitro N50-110. Port colokan yang lengkap, Windows Home 64-bit, serta mouse dan keyboard dalam paket penjualan, juga membuat PC ini jadi sudah serba berkecukupan. Seperti yang saya bilang tadi, Anda cukup menyediakan sebuah monitor dan Acer Nitro N50-110 sudah siap digunakan.

Review Command & Conquer Remastered Collection: Yang Menonjol Berkat Remaster Audio Visual Ciamik

Setelah cukup diantisipasi oleh para penggemar game RTS, Command & Conquer Remastered Collection resmi rilis pada 5 Juni 2020 kemarin. Anda pemain game yang datang dari generasi Z mungkin akan kebingungan mendengar nama yang satu ini. Namun, Command & Conquer sebenarnya bisa dibilang sebagai salah satu game klasik paling populer pada masanya.

Sebelum kita mengulas sajian remaster hasil buah tangan Petroglyph dan Lemon Sky Studios, mari kita bahas singkat terlebih dahulu apa itu Command & Conquer, dan bagaimana game ini berperan membentuk tren genre Real Time Strategy.

Rilis tahun 1995, Command & Conquer: Tiberian Dawn serta Command & Conquer: Red Alert adalah penantang keras dari game RTS besutan Blizzard Studios, Warcraft: Orcs & Humans. Namun alih-alih mengambil latar dunia fantasi, game besutan Westwood Studios ini mengambil tema militer yang realistis.

Tiberian Dawn menceritakan konflik antara dua fraksi yaitu sekte Brotherhood of Nod (NOD) dan pasukan militer buatan Persatuan Bangsa Bangsa yang diberi nama Global Defense Initiative (GDI). Konflik dua fraksi tersebut terjadi karena perebutan sumber daya dari planet asing bernama Tiberium, yang tercipta karena meteorit menghantam daerah sekitar sungai Tiber di tahun 1990.

Red Alert bercerita tentang dunia alternatif yang tercipta karena perjalanan waktu yang dilakukan Albert Einstein pada tahun 1946 menyebabkan Adolf Hitler muda hilang dari peradaban. Dampak dari hal tersebut adalah Uni Soviet (Soviet) berkembang menjadi negara adidaya, lalu berperang melawan pasukan sekutu (Allied Nations) yang dibentuk oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Dua game ini berhasil memberikan pengalaman dan kenangan kepada para gamers di tahun 90an. Lewat remaster yang dikerjakan Petroglyph dan Lemon Sky Studios, mampukah dua seri Command & Conquer mengulang kenangan manis yang dirasakan pemain game ini di tahun 90an? Mari simak review Command & Conquer Remastered Collection dari saya.

Remaster Audio Visual yang Ciamik

Mengingat game ini remaster dari sebuah game yang terbit di awal tahun 90an, jadi Anda jangan berharap terlalu muluk-muluk terhadap kualitas grafis atas game ini. Saya tidak bilang bahwa grafis Command & Conquer Remastered Collection jelek. Hanya saja, jika Anda berharap grafis yang realistis dengan sajian dunia imersif layaknya The Outer World, mungkin Anda salah pilih game.

Salah satu alasannya adalah karena Command & Conquer Remastered Collection memiliki genre Real Time Strategy. Seperti genre XCOM: Chimera Squad, genre RTS memang tidak menjual kecantikan grafis untuk menarik konsumen. Namun, jika kita menilai seberapa bagus grafis Command & Conquer Remastered Collection hanya dengan membandingkan versi klasik dengan versi remaster, saya mungkin bisa berikan skor 80/100 untuk game ini.

Lemon Sky Studios yang mengerjakan proses remaster ini sungguh telah mencurahkan daya upaya terbaiknya. Studio CGI asal Malaysia ini berhasil membuat sebuah game yang dulu memiliki grafis pixelated, menjadi jauh lebih jelas, dan bahkan memiliki detail yang patut diacungi jempol.

Memang Lemon Sky Studios mungkin bisa dibilang sebagai salah satu studio CGI terbaik di Asia Tenggara ini. Mereka banyak terlibat dalam pengerjaan proyek remaster/remake bersama dengan pengembang game internasional. termasuk Warcraft III Reforged dan Final Fantasy VII Remake.

Lebih lanjut membahas grafis Command & Conquer Remastered Collection Ken Foong, Chief Creative Production dari Lemon Sky Studios sempat bercerita kepada saya dalam sesi wawancara Hybrid Talk. Ia mengatakan, bahwa dalam proses melakukan remaster, mereka menggambar ulang seluruh aset yang ada di dalam game Command & Conquer.

Hasilnya? Unit Rifleman Squad yang dulu hanya kotak-kotak saja, kini tergambar dengan detail, sehingga kita bisa melihat bagaimana pakaiannya, dan bagaimana animasi gerakan unit tersebut. Bahkan kita juga bisa melihat wajah unit tersebut, walau tak sepenuhnya jelas. Unit bangunan juga tergambar dengan jelas, termasuk untuk unit building sesederhana Barracks.

Ditambah lagi Petroglyph juga menyajikan fitur tambahan berupa Camera Zoom dan Graphics Switching, yang memungkinkan Anda untuk lebih menikmati lagi hasil remaster kawan-kawan dari Lemon Sky Studios.

Jadi untuk grafis in-game, tingkat detail yang disajikan Command & Conquer Remastered Collection menurut saya sangat ciamik. Kalau harus dibandingkan dengan remaster RTS klasik besutan Blizzard, StarCraft: Remastered Collection, saya bisa bilang Command & Conquer Remastered Collection ini menang telak.

Command & Conquer Remastered Collection juga melakukan remaster terhadap elemen audio visual lainnya, termasuk Cinematic Footage yang mengantarkan Anda ke dalam misi, dan musik in-game yang direkam ulang oleh sang komposer orisinil yaitu Frank Klepacki & The Tiberian Sons.

Jujur, saya tertawa sendiri ketika melihat Cinematic Footage yang disajikan, karena membayangkan bagaimana lucunya kreativitas pengembang game zaman dulu saat disajikan ulang di zaman sekarang. Gamers zaman sekarang mungkin sudah terbiasa dengan sajian cut-scene berupa pre-rendered graphics yang membawa pemain tenggelam ke dalam latar dunia sebuah game. Pada zamannya, Command & Conquer bisa dibilang kesulitan untuk melakukan hal tersebut. Maka dari itu, pengembang original game ini, Westwood Studios mencoba sedikit kreatif dengan menampilkan cut-scene berupa aktor asli, berperan sebagai karakter dari dunia Command & Conquer.

Dalam versi remaster ini, cut-scene yang disajikan tetap berasal dari footage asli dari Command & Conquer yang rilis tahun 90, namun dengan grafis yang lebih baik dan bisa dinikmati dalam resolusi HD. Jadi ketika akan menjalankan misi, Anda akan disambut kembali oleh sosok General Sheppard yang merupakan pemandu utama dalam melakukan misi pasukan GDI dan sosok Kane sang antagonis dari fraksi NOD.

Musik in-game yang direkam kembali juga menjadi salah satu alasan Command & Conquer Remastered Collection menjadi sangat bisa untuk dinikmati di zaman ini. Ketika mendengarnya, saya merasakan sedikit perasaan campur aduk, karena perasaan nostalgia yang muncul namun sekilas membuat saya lupa kalau ini adalah game zaman dulu yang di-remaster karena kualitasnya.

Sejauh ini, saya bisa bilang bahwa audio visual Command & Conquer Remastered Collection adalah elemen terbaik dari sajian remaster ini.

Gameplay Klasik Minim Perbaikan

Setelah banyak pujian terlontar dari sisi audio visual, sayangnya Command & Conquer Remastered Collection dari sisi gameplay malah terbilang keteteran. Ini mungkin karena memang remaster audio visual adalah nilai jual utama Command & Conquer Remastered Collection. Gameplay Command & Conquer Remastered Collection tidak bisa dibilang jelek, namun hanya begitu-begitu saja, tidak beda jauh dengan versi orisinil.

Memainkan Single-Player Campaign tetap terasa menyenangkan, walau misi di awal-awal permainan cenderung terasa monoton. Kebanyakan misi di awal permainan hanyalah bangun markas dan hancurkan markas musuh. Namun karena mekanisme permainan di dalam Tiberian Dawn serta Red Alert yang cenderung cepat, kebanyakan misi ini bisa selesai dalam waktu mungkin hanya 5 sampai 15 menit saja.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Efeknya adalah, saya jadi ketagihan untuk melanjutkan misi-misi berikutnya, sambil keasyikan menonton sajian Cinematic Footage yang dihadirkan. Memainkan misi Command & Conquer ini ibarat seperti keasyikan menonton series Netflix yang sebenarnya tidak terlalu Anda suka, tetapi lama kelamaan jadi keasyikan karena pada akhirnya memiliki keseruannya tersendiri.

Walau awalnya cukup monoton, namun seiring waktu misi akan menjadi semakin rumit. Pada satu misi dari fraksi GDI contohnya. Dalam misi tersebut, Anda hanya mengendalikan satu unit saja, namun diberi tugas untuk menghancurkan seluruh markas musuh. Unit tersebut adalah unit khusus, yang bisa kalahkan Infantry dan bangunan dengan satu kali klik saja, walau akan keok jika berhadapan dengan kendaraan perang.

Maka dari itu, Anda harus cerdik menghindari kendaraan yang sedang melakukan patroli, sambil menyusup ke markas musuh sembaru menghabisi pasukan musuh satu per satu. Entah kemampuan saya melakukan misi stealth yang memang buruk atau misi ini yang memang susah. Dengan difficulty Casual, saya sampai harus mengulang misi ini lebih dari 5 kali, baru akhirnya bisa terselesaikan… Haha.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Command & Conquer Remastered Collection masih mempertahankan mekanisme gameplay klasik. Sayangnya, mempertahankan mekanisme versi klasik tidak hanya sekadar mempertahankan cara menggerakan unit yang menggunakan klik kiri, tetapi juga termasuk sistem AI serta pathfinding dari masa lalu yang masih bertahan walau sebenarnya kurang praktis di masa kini.

Anda tidak perlu terlalu mengkhawatirkan mekanisme kontrol klasik, karena Petroglyph dan Lemon Sky Studios juga menyediakan skema kontrol modern yang menggunakan klik kanan sebagai tombol utama untuk memberi komando terhadap unit. Namun sistem AI dan pathfinding jadi hal yang cukup mengganggu pengalaman bermain. Ini terjadi mungkin karena ingatan terakhir saya terhadap sistem AI dan pathfinding dari game RTS datang dari Warcraft III.

Salah satu contoh yang menurut saya paling terasa adalah behavior atau pola tingkah laku unit ketika mereka melihat musuh. Pada Warcraft III, Anda tak perlu repot memberi command kepada unit untuk melawan musuh yang menyerang mereka. Semua unit akan secara otomatis melawan unit musuh, jika mereka berada di dalam jarak serang sang unit. Tapi, jangan harapkan hal itu di Command & Conquer Remastered Collection. Jika Anda tidak menggerakan sang unit untuk menyerang, maka ia hanya akan diam tak bergeming walaupun sedang ditembaki hingga sekarat sampai akhirnya mati.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Juga jangan tanya lagi jika bicara soal pathfinding. Mungkin Command & Conquer Remastered Collection memang tidak ada pembaruan apapun dari sisi kemampuan unit mencari jalan menuju suatu titik yang diperintahkan, sehingga ini sedikit banyak akan menyulitkan pemain ketika memerintahkan unit. Satu contoh yang menggambarkan betapa kakunya sistem pathfinding Command & Conquer Remastered Collection adalah ketika unit diperintahkan untuk berjalan dengan jarak yang cukup jauh dan mengarungi medan yang rumit.

Terkadang, unit jadi terdiam di tengah jalan karena kebingungan harus lewat mana. Jadinya Anda harus menggerakan unit secara lebih rinci dengan jarak yang lebih dekat-dekat. Untungnya, Petroglyph menambahkan sistem “Shift-Queue”, yang memungkinkan pemain memasukkan antrian perintah yang akan dilakukan satu per satu setelah perintah yang lain selesai.

Skor Command & Conquer Remastered Collection dari segi gameplay mungkin bisa lebih baik lagi, jika saja remaster ini juga menyertakan perbaikan terhadap sistem AI serta pathfinding dalam permainan.

Meski begitu, sistem AI dan pathfinding tadi mungkin lebih digemari oleh Anda yang sudah jauh lebih terbiasa bermain game RTS karena memberikan tantangan lebih dan kontrol yang lebih spesifik. Sedangkan untuk mereka-mereka yang belum terlalu lama bermain RTS, Anda mungkin memang jadi merasakan kerepotan tadi karena micro-management yang terlalu kompleks.

Sajian Story Rasa Serial Televisi

Genre RTS memang cenderung punya cerita yang cenderung dangkal jika dibandingkan dengan game RPG. Walau demikian, para pengembang tetap melakukan usaha terbaiknya untuk dapat memberikan konteks cerita kepada para pemain lewat cara-cara lain. StarCraft dan Warcraft contohnya yang menyajikan cerita lewat potongan cut-scene yang pada beberapa aspek membuat game ini jadi terasa seperti RPG.

Seri Command & Conquer Remastered punya caranya tersendiri untuk menyajikan cerita tersebut. Cinematic Footage yang tampil di awal dan akhir misi, dengan diperankan aktor sungguhan menurut saya adalah  usaha terbaik EA untuk melakukan story-building dalam seri Command & Conquer; yang bahkan akhirnya menjadi ciri khas dari seri Command & Conquer.

Pada seri Command & Conquer setelahnya, EA sampai menyewa aktor kawakan hanya untuk bagian Cinematic Footage saja. Beberapa contohnya adalah sosok George Takei untuk memerankan Emperor Yoshiro dan David Hasselhoff untuk memerankan wakil presiden Amerika Serikat di Command & Conquer Red Alert 3.

Tapi mungkin sebatas itu saja penyajian cerita di Tiberian Dawn dan Red Alert. Seperti juga saya sebut saat membahas aspek visual, menikmati story di dalam game Command & Conquer Remastered Collection itu layaknya menonton serial Netflix. Yang bisa Anda lakukan hanya menonton, tanpa memiliki kontrol apapun terhadap jalannya cerita. Terlebih saat sudah memasuki game, tidak akan ada lagi cut-scene apapun. Pokoknya Anda hanya bermain saja, sampai misi Anda selesai.

Versi remaster tidak menyajikan perubahan dalam cerita. Seperti saya sebut di awal, fokus ceritanya masih sama, yaitu konflik antara GDI dengan NOD pada Command & Conquer, dan konflik antara Soviet dengan pasukan sekutu pada Command & Conquer: Red Alert. Namun, rekaman behind-the-scene dari Cinematic Footage yang sudah Anda saksikan bisa dibilang menjadi nilai tambah aspek story atas game ini.

Selain Bonus Gallery untungnya Command & Conquer Remastered Collection juga memberikan pemain akses terhadap semua Cinematic Footage atas misi yang telah diselesaikan. Semua itu bisa Anda akses lewat menu Mission Collection, yang berisi semua misi yang telah ataupun belum Anda lakukan.

Kehadiran fitur menonton ulang semua potongan Cinematic Footage dari misi yang telah dilakukan ini juga menjadi nilai tambah lain dari aspek story Command & Conquer Remastered Collection. Bagaimanapun, story game Command & Conquer tetap menjadi sesuatu yang memberikan kesan nostalgia saat disaksikan kembali.

Koleksi Lengkap yang Minim Replayability

Dari semua hal, durasi permainan mungkin bisa dibilang juga menjadi nilai jual lain dari game ini. Ini karena Remastered Collection menyertakan hampir semua seri awal dari Command & Conquer, yaitu Tiberian Dawn dan Red Alert, berserta dengan tiga Expansion Pack, yaitu The Covert Operations, Red Alert – Counterstrike, dan Red Alert – The Aftermath.

Jadi, Anda tidak perlu khawatir mengalami keadaan seperti saat Senior Editor kami memainkan The Outer World; yang masih punya hasrat ingin main namun tidak bisa melakukan apa-apa karena konten di dalam game-nya sudah habis. Jika melihat dari catatan HowLongToBeat, memang ada yang hanya mencatatkan 28 jam permainan saja untuk Command & Conquer Remastered Collection. Tetapi, itu hanya baru menyelesaikan main-story saja.

Sumber: Steam
Sumber: Steam

Jadi sebenarnya, dengan mengasumsikan pemain tersebut menyelesaikan main story dari Tiberian Dawn dan Red Alert juga, maka diperkirakan butuh tambahan 37 jam lagi untuk bisa menyelesaikan cerita dari tiga Expansion Pack yang ada dalam koleksi. Belum lagi, Command & Conquer Remastered Collection juga menyajikan permainan online, yang tentunya bisa membuat Anda jadi kembali lagi memainkan game ini.

Terlebih Command & Conquer Remastered Collection juga menambahkan beberapa hal pada fitur online, yang membuat game ini jadi bisa hidup lebih lama lagi. Pertama adalah fitur matchmaking yang memungkinkan Anda bermain dengan orang lain hanya dengan satu kali klik. Lalu ada juga fitur Leaderboard, yang membuat Anda berjiwa kompetitif tentunya akan semakin terpatri ke dalam game ini.

Lalu bagaimana dengan mod dan custom map? Jika berkaca kepada Warcraft III, dua hal tersebut adalah faktor terbesar mengapa game tersebut masih dimainkan orang-orang sampai akhir 2000an, walau game itu rilis di tahun 2002. Siapa yang tidak ingat custom-game bertema tower defense, pertarungan antar judul anime, dan tentunya Defense of the Ancient di Warcraft III. Semua itu tentu tercipta berkat dukungan komunitas modding, yang membuat para pemain tetap memainkan Warcraft III, walau sudah menyelesaikan main-story.

Jika berpatokan kepada Steam Workshop, saat ini sudah ada 3236 item terkait modifikasi ataupun custom map dari Command & Conquer Remastered Collection. Namun kebanyakan yang terlihat lebih kepada mod untuk meningkatkan Quality of Life game ini, seperti penambahan fitur Attack Move, Better Pathfinding, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan custom map yang bisa menambah panjang jangka hidup game ini layaknya DotA di Warcraft III.

Sayangnya, custom map di Command & Conquer Remastered Collection hanya terbatas untuk mengedit map untuk digunakan dalam Skirmish secara online saja. Jadi, kebanyakan custom map hanya menambah variasi tempat pertarungan saja, tanpa menambah variasi gameplay layaknya DoTA atau Element TD di dalam Warcraft III.

Kesimpulan – Game Terbaik Untuk Bernostalgia

Setelah mengulas Command & Conquer Remastered Collection panjang dan lebar, pertanyaan yang harus kita jawab di akhir artikel ini mungkin tentunya adalah apakah game ini pantas untuk dibeli? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Jika Anda adalah gamers generasi 90an yang rindu dengan game klasik ini jawabannya tentu saja IYA.

Kekurangan versi remaster ini menurut saya hanyalah tidak adanya perbaikan dari sisi AI dan pathfinding unit pasukan, yang sebenarnya masih bisa diatasi dengan menggunakan mod.

Kekurangan lain dari Command & Conquer Remastered Collection mungkin adalah ketidakhadiran mod atau custom game yang memberi variasi gameplay untuk Tiberian Dawn ataupun Red Alert. Jadi, mungkin setelah semua Single-Player Campaign selesai, saya akan meninggalkan game ini, dan hanya sesekali saja iseng bermain secara online.

Lalu, apakah game ini layak dibeli bagi Anda yang tidak kenal seri Command & Conquer sama sekali? Kalau saja Command & Conquer Remastered Collection dijual terpisah dengan harga per-game sekitar Rp100 ribuan, mungkin jawabannya adalah iya. Tapi berhubung game ini punya harga yang cukup mahal, yaitu Rp282 ribu, maka jawabannya adalah tidak.

Karena bagaimanapun, nilai jual terbesar dari Command & Conquer Remastered Collection tetaplah perasaan nostalgia yang Anda rasakan ketika melihat Cinematic Footage ataupun mendengar musik saat berada di dalam game. Memainkan Command & Conquer Remastered Collection tanpa punya ingatan atas Tiberian Dawn atau Red Alert mungkin akan membuat Anda jadi merasa biasa saja atau malah jadi kebosanan saat memainkan game ini.

[Review] BenQ Zowie XL2746s: Monitor Gaming 240 Hz DyAC+ untuk Para Pegiat Esports

Sepertinya kata esports sudah tidak lagi asing di telinga para konsumen di Indonesia. Hal ini dikarenakan esports sudah mulai diakui di mana-mana, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, banyak orang pun mulai membeli kebutuhan untuk olahraga elektronik ini. Salah satunya adalah kebutuhan monitor gaming.

Salah satu vendor yang memiliki monitor gaming yang khusus ditujukan untuk para pegiat esports adalah BenQ. BenQ memiliki lini Zowie yang mereka akuisisi pada tahun 2015 yang lalu. Hal inilah yang membuat BenQ berfokus untuk bersaing pada pasar gaming.

BenQ Zowie XL2746S

BenQ saat ini memiliki monitor yang memiliki nama Zowie XL2746S. Monitor ini merupakan versi dengan dimensi yang lebih besar dari Zowie XL2546 yang pernah saya uji. Namun BenQ meningkatkan teknologi akurasinya menjadi DyAC+ pada monitor yang satu ini.

BenQ Zowie XL2746S sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut

Dimensi layar 27″
Rasio 16:9
Resolusi 1920×1080
Tipe panel TN
Dimensi 632.5 x 558.8 x 225 mm
Berat total 8.7 KG
Port DVI- DL, HDMI x2, DP1.2, headphone jack, microphone jack‎‎‎, USB 3
Response Time 0.5 ms
Kontras 1000:1 (12M:1 Dynamic Contrast Ratio)

Unboxing

Sekarang mari kita lihat perlengkapan apa saja yang ditawarkan oleh BenQ Zowie XL2746S

BenQ Zowie XL2746S - Unboxing

Desain

Jika pada XL2546 BenQ menggunakan layar dengan jenis TN (Twisted Nematic) yang memiliki response time 1 ms, maka berbeda dengan XL2746s. Monitor ini menawarkan respons time yang lebih cepat, yaitu 0.5 ms. Selain itu, Zowie XL2746S juga menawarkan refresh rate yang tinggi pula dengan 240 Hz. 240 Hz sendiri hanya dapat dicapai dengan menggunakan kabel Display Port.

BenQ Zowie XL2746S - Ports

Oleh karena dibuat untuk para pegiat esports, monitor ini pun dapat digunakan selain untuk bermain. Zowie XL2746s memiliki kemampuan untuk dipakai secara horizontal maupun vertikal. Biasanya, online streaming juga sering kali membutuhkan sebuah monitor dengan orientasi portrait untuk membaca stream chat. Dan para editor video juga kerap memutar layar karena banyaknya layer sequence sebuah video.

Pada bagian bawahnya, Zowie XL2746s memiliki dua port HDMI, sebuah Display Port, DVI, audio jack 3.5mm, microphone, dan dua USB 3.0. Monitor ini juga dilengkapi dengan S-Switch yang dibuat untuk mempermudah navigasi seting monitor. Pada S-Switch juga tersedia tiga buah profile agar pengguna lebih mudah berpindah-pindah mode.

BenQ Zowie XL2746S - USB Ports

BenQ juga menyediakan Shield pada monitor yang satu ini. Fungsi dari shield ini selain untuk lebih fokus, juga cukup menghalangi orang lain untuk “menyontek” gerak-gerik Anda.

DyAC vs DyAC+

BenQ saat ini mengedepankan teknologi yang mereka miliki dengan nama Dynamic Accuracy. Teknologi ini sendiri mengurangi bayangan yang terjadi pada saat ada pergerakan di layar. Dengan menggunakan teknologi ini, pergerakan benda yang ada di layar akan menjadi lebih tajam.

Ternyata, BenQ sendiri sepertinya belum puas dengan hasil dari DyAC. Saat ini, mereka telah mengimplementasikan DyAC+ pada XL2746S. DyAC+ ini sendiri memiliki kecepatan yang lebih baik dari DyAC. Hal ini dapat dicapai berkat panel baru yang BenQ pasang pada XL2746S.

BenQ Zowie XL2746S - Menu Detail

DyAC dan DyAC+ sendiri memang sulit untuk dibicarakan. Fitur yang satu ini memang harus dirasakan sendiri oleh para penggunanya. Yang paling terasa adalah menggunakan fasilitas ini langsung pada game-game FPS, seperti CS:GO.

Pada saat fitur ini dimatikan, pengguna yang memakai kartu grafis AMD Radeon dapat menyalakan pilihan AMD Freesync. AMD Freesync sendiri akan membebaskan game-game yang mendukung dari tearing atau gambar terputus-putus. Sayangnya, saya belum mencoba apakah XL2746S bisa menggunakan G-Sync atau tidak.

Black eQualizer

Fitur yang satu ini juga hadir pada monitor BenQ Zowie XL2746S. Bagi para pemain game-game first person shooter tentu saja merasakan saat masuk ke dalam terowongan atau tempat-tempat gelap. Tidak jarang kita ditembak oleh para camper karena tidak terlihat. Tentu saja, hal tersebut merugikan kita saat bermain.

Fasilitas Black eQualizer pada BenQ Zowie XL2746S akan membuat bagian gelap menjadi lebih terang. Hal ini tidak berarti bahwa bagian yang terang akan menjadi lebih putih lagi. Bisa dibilang, fasilitas ini mirip dengan menaikkan nilai shadow pada saat melakukan editing gambar.

Pengalaman Bermain: Auto Tambah Jago?

Hal apa lagi yang paling menyenangkan pada saat masa PSBB seperti ini? Tentu saja bermain game. Kebetulan, saya merupakan salah satu penggemar game CS:GO yang sudah lama tidak bermain. Tentu saja, saat menguji monitor ini, saya harus melakukan pemanasan terlebih dahulu agar tidak terlihat terlalu “cupu”.

BenQ Zowie XL2746S - Auf Extra

Saya pun langsung menyalakan Black eQualizer dan juga melakukan setting DyAC+ menjadi premium. Namun yang terjadi ternyata saya tidak perlu melakukan pemanasan. Dengan DyAC+, saya dengan mudahnya melihat pergerakan musuh. Entah memang ini fungsi dari DyAC+ atau memang sugesti saya, sepertinya game CS:GO dapat dimainkan dengan lebih mudah.

Saya pun mencoba mematikan DyAC+ dan meneruskan permainan. Ternyata, menembak musuh dalam game yang satu ini memang tidak senyaman pada saat DyAC+ menyala. Bagi yang pernah melihat pergerakan dari DyAC+, tentu saja akan merasakan perbedaan yang cukup jauh. Pada saat DyAC+ dinyalakan, titik tembakan terasa lebih mudah dibidik.

Pada CS:GO, Black eQualizer sangat membantu pada saat ada di tempat gelap. Saya bermain pada map Inferno dan sedang melewati bangunan appartment. Saya pun tidak perlu bersusah payah melihat musuh yang sedang camping dan bisa langsung membalas serangan. Fungsi ini juga sangat berguna pada saat bermain map Dust II yang banyak masuk ke dalam ruangan.

BenQ Zowie XL2746S - S-Switch

Saya pun juga mencoba menggunakan Shield yang dipasangkan pada bagian kanan dan kiri. Saya juga terbiasa bermain CS:GO dengan menggunakan rasio layar 4:3. Hal ini tentu saja digunakan agar dapat bermain lebih fokus dan perhatiannya tidak terlalu teralihkan seperti menggunakan 16:9. Ternyata, penggunaan Shield lagi-lagi harus dirasakan sendiri karena memang cukup membantu fokus saat bermain.

Sayangnya, semua itu harus dicoba sendiri dan memang sulit diceritakan dengan kata-kata. Hal tersebut lah yang saya rasakan pada saat menguji monitor yang satu ini.

Verdict

Begitu banyak monitor gaming yang dijual di pasar Indonesia. Tentunya, hal tersebut membuat daftar pilihan dalam membeli sebuah monitor gaming menjadi lebih panjang. Akan tetapi, satu hal yang harus dipikirkan dalam membeli perangkat yang satu ini, yaitu feature. Dan feature yang tidak dimiliki oleh kebanyakan monitor adalah DyAC+ dan Black eQualizer dari BenQ pada Zowie XL2746S.

Feature yang dibutuhkan oleh para pegiat esports juga sudah dipenuhi pada BenQ Zowie XL2746S ini. Hal tersebut seperti DyAC+, Black eQualizer, S-Switch, Shield, serta kemampuan untuk menggunakan layar secara vertikal. Hal ini tentu saja membuat para pegiat esports dapat bermain dengan lancar serta nyaman.

Bicara mengenai kelengkapan port, BenQ Zowie XL2746S pun bisa dikatakan sebagai sebuah monitor yang lengkap. Menu yang dimilikinya juga sangat mudah untuk dioperasikan. Terlebih lagi dengan menggunakan S-Switch, membuat pengoperasiannya menjadi lebih mudah lagi.

BenQ menjual monitor ini dengan harga Rp. 12.000.000. Harga ini memang terlihat mahal untuk beberapa kalangan. Namun, dengan segala feature yang memudahkan penggunanya dalam bermain, apalagi para profesional, membuat harga tersebut cukup pantas.

Sparks

  • DyAC+ untuk akurasi lebih baik
  • Black eQualizer untuk meningkatkan bagian gelap
  • Konektivitas yang lengkap
  • Refresh rate 240 Hz
  • Mendukung AMD FreeSync
  • Posisi dapat diatur apakah menginginkan vertikal atau horizontal
  • Respons Time 0.5 ms

Slacks

  • Harga jualnya cukup tinggi, yaitu Rp. 12.000.000
  • Colokan listrik bukan standar Indonesia

Disclosure: Artikel ini didukung oleh BenQ. 

Review XCOM: Chimera Squad: XCOM 2 Versi Murah nan Sederhana

24 April 2020 yang lalu, XCOM: Chimera Squad tiba-tiba dirilis. Pasca dirilis, Chimera Squad juga tidak berhasil membangun hype yang dirasakan dari 2 game sebelumnya: XCOM: Enemy Unknown (2012) ataupun XCOM 2 (2016). Sebelum kita masuk ke review XCOM: Chimera Squad kali ini, izinkan saya bercerita sedikit tentang franchise XCOM.

Saya tahu bahwa game ber-genre Turn-Based Tactics memang nyatanya bukan buat semua gamer. Turn-Based Tactics memang mungkin lebih niche ketimbang game-game action yang jauh lebih ramah ke kalangan mainstream. Namun begitu, XCOM: Enemy Unknown sempat membuat gempar kalangan fans di luar genre strategi sekalipun karena menjadi iterasi atau reinkarnasi game klasik legendaris, UFO: Enemy Unknown (alias XCOM: UFO Defense) yang pertama dirilis tahun 1994.

Kesuksesan Enemy Unknown juga membuat XCOM 2 lebih populer lagi dari sebelumnya. Seri terakhir dari franchise XCOM adalah expansi XCOM 2, yaitu War of the Chosen (WotC) yang dirilis tahun 2017. Meski WotC mendapatkan respon positif namun, jika saya tidak salah, popularitasnya memang tak setinggi base game-nya. Mungkin ini juga yang membuat Chimera Squad tak lagi sepopuler dari 2 stand alone game sebelumnya.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Meski begitu, saya pribadi memang tidak memilih game untuk dimainkan dari popularitasnya. Saya sendiri tertarik membeli Chimera Squad karena pengalaman saya yang sangat berkesan saat memainkan Enemy Unknown ataupun XCOM 2.

Terakhir, sebelum kita masuk ke reviewnya, saya harus katakan bahwa, meski saya sangat menyukai Turn-Based Tactics; genre ini mungkin memang bukan yang paling favorit buat saya pribadi. Pasalnya, saya mencintai game-game yang tidak hanya asyik dari segi gameplay tapi juga menyuguhkan kedalaman cerita dan lore seperti Pillars of Eternity, Divinity: Original Sin, trilogi The Witcher, ataupun seri Mass Effect. Di sisi lain, Turn-Based Tactics seperti seri XCOM memang biasanya tidak berhasil mengikat saya dari segi kompleksitas cerita dan lore-nya — hanya dari sisi gameplay-nya saja yang menyenangkan untuk dipelajari.

Oh iya, inilah spesifikasi PC saya saat memainkan Chimera Squad:

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

Visualisasi Grafis dan Performa: 73/100

Nyatanya, game-game Turn-Based Strategy mungkin memang tidak menyuguhkan kecantikan grafis sebagai daya tarik utama — setidaknya jika dibanding Action RPG, FPS, ataupun genre-genre lainnya yang lebih ramah untuk kalangan gamer mainstream. 

Demikian juga Chimera Squad ini. Apalagi jika saya bandingkan dengan beberapa game yang saya mainkan sebelum Chimera Squad dalam 1 tahun terakhir ini. Assassin’s Creed Odyssey, The Outer Worlds, Doom Eternal, ataupun Borderlands 3 jauh lebih superior dalam urusan memanjakan mata Anda. Meski begitu, grafisnya juga tidak menyedihkan meski tak fantastis seperti Darksiders Genesis, Tales of Vesperia: Definitive Edition, ataupun Wolcen: Lords of Mayhem yang juga saya mainkan beberapa waktu belakangan.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Chimera Squad menawarkan environment yang bisa dihancurkan. Tembok-tembok yang digunakan untuk berlindung juga bisa dihancurkan dengan menggunakan granat. Environment yang dinamis ini tak hanya menyenangkan untuk dilihat tetapi juga menambah kompleksitas gameplay.

Di sisi lain, karena grafisnya yang tidak bombastis, Chimera Squad juga jadi cukup ramah terhadap PC kelas menengah ataupun bawah. Saya juga tidak merasakan ada masalah apapun soal performanya — mengingat game-game bergrafis sederhana juga bisa saja bermasalah dengan performanya seperti yang saya rasakan dengan PoE 2: Deadfire.

Jika berbicara soal Chimera Squad, tidak sedikit orang-orang yang membandingkannya dengan Gears Tactics — yang memang dirilis dalam waktu berdekatan dan memiliki genre yang sama. Berbicara soal grafisnya, Gears Tactics nampaknya menyuguhkan grafis yang lebih fantastis — setidaknya dari video-video yang saya lihat karena saya memang belum memainkannya. Mungkin lain kali saya akan menuliskan reviewnya jika saya sudah memainkannya nanti.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Gameplay: 70/100

Dari sisi gameplay, Chimera Squad memang faktanya lebih sederhana ketimbang XCOM 2 ataupun Enemy Unknown (EU). Namun, bukan berarti gameplay-nya menyedihkan juga. Saya bahkan menghargai upaya Firaxis dalam usahanya membuat gameplay yang berbeda dari XCOM 2 ataupun EU.

Di dua game sebelumnya, strategi dan perhitungan Anda diuji dari 2 sisi (dari sisi membangun fasilitas dan dari strategi saat pertempuran). Penyederhanaan dari Chimera Squad yang lebih terasa adalah dalam hal strategi di luar pertempuran. Meski penyederhanaan strategi di dalam pertempuran juga cukup terasa, seperti equipment yang variasinya tak sebanyak XCOM 2, Chimera Squad tetap memaksa saya memelajari gameplay dan berpikir matang di setiap turn.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Jika di dua game sebelumnya, turn Anda dibagi jadi masing-masing kubu sehingga Anda bisa memilih sendiri karakter di kubu Anda yang ingin dijalankan lebih dulu. Di Chimera Squad, turn ini dibagi jadi masing-masing karakter. Hal inilah yang pembeda terbesar yang saya rasakan antara Chimera Squad dengan game-game XCOM modern lainnya. Pasalnya, perbedaan turn ini jadi memaksa Anda untuk memerhatikan urutan jalan jadi lebih seksama dan berhati-hati.

Perbedaan turn ini juga jadi memungkinkan variasi strategi baru. Misalnya, Anda jadi bisa memilih skill untuk memundurkan turn musuh selain hanya sekadar memberikan damage.

Selain soal perbedaan turn, perbedaan lain antara Chimera Squad dengan XCOM 2 juga ada pada karakter-karakter yang Anda gunakan untuk pertempuran. Jika pada XCOM 2, Soldier yang digunakan di-generate secara acak (alias random generated), masing-masing Squad Anda di sini unik. Meski keputusan ini juga membuat strategi di luar pertempuran jadi lebih sederhana, karakter-karakter unik di Chimera Squad jadi memberikan nilai lebih dari sisi plot cerita dan karakter yang akan saya bahas di bagian berikutnya.

Berhubung jadi akan terlalu panjang jika saya jelaskan semuanya lewat tulisan, Anda bisa menonton perbedaan-perbedaan apa saja yang ditawarkan oleh Chimera Squad dibanding XCOM 2 di video buatan GameSpot di bawah ini.

Terlepas dari semua perbedaan tadi, sekali lagi saya katakan bahwa Chimera Squad memang nyatanya tak sekompleks XCOM 2. Namun begitu, dengan gameplay yang lebih sederhana, game ini juga bisa jadi pengantar buat gamer yang belum pernah bermain Turn-Based Strategy sebelumnya.

Plot Cerita dan Karakter: 67/100

Seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel, saya memang belum pernah menemukan game Turn-Based Strategy yang menyuguhkan kedalaman cerita, karakter, ataupun lore yang fantastis. Demikian juga dengan yang saya rasakan dengan Chimera Squad.

Meski begitu, ada satu perubahan soal Squad/Soldier di Chimera Squad yang berhasil memberikan nilai lebih di aspek ini. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya di aspek gameplay, masing-masing pasukan Anda di sini unik dan tak lagi randomly generated. Jadi, jika pasukan Anda sebelumnya tidak memiliki karakteristik apapun (dalam hal narasi cerita), masing-masing Squad di Chimera Squad jadi memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Torque, misalnya, adalah alien ular perempuan yang cukup jenaka. Sedangkan Cherub memiliki optimisme yang cukup menghibur. Blueblood dan Shelter juga memiliki background ceritanya masing-masing. Karakteristik-karakteristik tadi muncul dari dialog-dialog yang sebenarnya dikemas dengan cukup menarik.

Sayangnya, meski memang jadi lebih menarik dibanding XCOM 2 dari sisi karakteristik karakter-karakternya, menurut saya Firaxis melewatkan kesempatan untuk memanfaatkan peluang ini dengan lebih matang. (Tiny) Tina, Handsome Jack, atau Mr. Torgue dari seri Borderlands jauh lebih kuat dan memorable ketimbang karakter-karakter dari Chimera Squad yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya.

Sedangkan untuk plot ceritanya, Anda juga mungkin tak bisa berharap banyak dari Chimera Squad. Namun, meski memang aspek ceritanya tak bisa disejajarkan dengan game-game besutan Obsidian ataupun CD Projekt, aspek cerita dan karakteristiknya juga tidak bisa dibilang membosankan atau menyebalkan… Karena saya tahu tidak sedikit juga game-game yang bahkan tidak menawarkan aspek ini, seperti kebanyakan game-game multiplayer, kompetitif, atau yang gratisan. Saya juga bahkan beberapa kali menemukan gamegame yang cerita dan karakter-karakternya terlalu membosankan atau bahkan menyebalkan (terlalu chessy atau cringe) sehingga membuat saya langsung menjauhi game tersebut.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 65/100

Sebelum saya menutup review ini, ada beberapa aspek lagi yang mungkin cukup menarik untuk dibahas yang akan saya rangkum dalam satu bagian.

Pertama, saya menyelesaikan Single Player Campaign-nya sebanyak dua kali. Awalnya, saya bermain di mode normal dengan tingkat kesulitan Expert. Sedangkan saat kedua kalinya, saya menyelesaikannya dengan Mode Ironman plus Hardcore dengan tingkat kesulitan Impossible.

Dengan menyelesaikannya lebih dari satu kali, Chimera Squad berarti cukup menyenangkan buat saya — meski memang tidak sepanjang yang saya harapkan. Steam mencatat durasi saya bermain Chimera Squad sebanyak 49 jam. Bandingkan saja dengan saat saya bermain The Outer Worlds, saya sudah cukup puas menyelesaikan Campaign-nya satu kali (dengan catatan durasi permainan di EGS sebanyak 37 jam). Saat saya menulis ini, saya juga sedang bermain Tales of Vesperia: Definitive Edition yang sebenarnya sudah membuat saya kebosanan meski belum selesai satu kali playthrough (walaupun catatan Steam saya di game ini sudah mencapai 50 jam).

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Oh iya, selama saya bermain tadi, sayangnya saya harus merasakan dua kali gamebreaking bug yang sangat menyebalkan karena terjadi saat Ironman dan Hardcore Mode. Pertama, ada satu kali pertempuran saat musuh (Enemy Reinforcement) tidak datang-datang. Hal ini jadi membuat pertempuran tidak bisa diselesaikan. Bug ini juga dialami oleh pemain lainnya.

Bug kedua adalah saat fase Breaching yang menunjukkan “Required value not met” untuk salah satu karakter saya. Otomatis, game juga jadi tak bisa dilanjutkan jika hal ini terjadi. Salah satu solusi dari dua bug tadi adalah reload savegame sebelumnya namun hal ini tak bisa dilakukan dengan Ironman Mode. Untungnya, Chimera Squad masih memungkinkan untuk mengaktifkan fitur Console Commands. Meski memang jadi sedikit aneh, setidaknya saya tidak perlu mengulang campaign Ironman Mode saya tadi dari awal.

Selain dari fitur Console Commands yang bisa diaktifkan, Chimera Squad juga bisa di-modding. Anda juga bahkan bisa mengunduh gratis Chimera Squad Development Tools dari Steam jika tertarik untuk modding game ini. Sayangnya, jujur saja karena ukuran Development Tools-nya 70GB dan base game-nya tidak terlalu menarik, saya belum mencobanya secara langsung. Padahal, biasanya saya sangat tertarik untuk bereksperimen sendiri soal modding.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Komunitas modding Chimera Squad sendiri mungkin bisa dibilang cukup baik. Meski baru dirilis bulan April, saat saya menulis artikel ini di bulan Juni, sudah ada 93 items di Steam Workshop dari Chimera Squad. Beberapa mods di sana juga menarik sebenarnya karena ada yang memberikan karakter-karakter baru untuk dimainkan. Namun demikian, ketertarikan saya untuk modding game ini sendiri tidak sebesar yang saya rasakan saat bermain PoE 2: Deadfire, The Witcher 3, D:OS 2, ataupun Skyrim.

Average Score: 68.75/100

Akhirnya, seperti yang Anda lihat dari skor di masing-masing bagian, Chimera Squad mungkin memang tidak menyuguhkan salah satu aspek yang sangat berkesan. Namun demikian, ia juga tidak memiliki aspek yang menyedihkan.

Misalnya, dibandingkan dengan The Outer Worlds (TOW) yang saya review sebelumnya. TOW memang superior dalam hal grafis, plot, cerita, dan karakternya dibanding Chimera Squad. Namun TOW sangat menyedihkan dalam hal durasi permainan dan aspek modding — yang biasanya disuguhkan dari game-game Obsidian. Sedangkan Chimera Squad lebih rata dalam setiap aspeknya — makanya itu juga nilai rata-ratanya lebih tinggi. Meski begitu, nilai rata-rata yang lebih tinggi bukan berarti bisa jadi lebih favorit/berkesan buat saya pribadi.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Terlepas dari hal tadi, dengan kompleksitas gameplay yang lebih sederhana, dialog antar karakter yang cukup menghibur, dan harga yang sangat terjangkau (Rp210 ribu saat artikel ini ditulis) saya sungguh percaya Chimera Squad tetap layak dibeli dan dimainkan jika Anda memang fans game strategi turn-based ataupun fans XCOM.

Selain itu, bagi Anda yang ingin mencoba genre strategi turn-based pertama kali, Chimera Squad juga akan menjadi pengantar yang cukup ramah untuk pemula. Chimera Squad mungkin juga cocok bagi Anda yang tidak punya PC kelas high-end namun sedang kebingungan mencari game baru dengan harga yang cukup terjangkau.

Review Razer Basilisk V2: Tampilan Garang dengan Fitur-Fitur Matang

Jika sebelumnya saya memberikan penilaian saya untuk keyboard SteelSeries Apex 7, kali ini saya akan menuliskan review Razer Basilisk V2 yang baru saya beli bulan Mei 2020 lalu. Makanya, review ini baru keluar sekarang meski mouse ini sudah dirilis awal tahun 2020, bersamaan dengan DeathAdder V2.

Seperti biasanya, saya harus mengatakan bahwa review gaming peripheral sepenuhnya subjektif karena akan sangat bergantung pada pengalaman, kemampuan bermain, dan ukuran fisik sang reviewer. Karena itulah, saya juga merasa harus menyebutkan pengalaman saya sebagai justifikasi atas penilaian saya kali ini.

Saya sendiri memang sudah menggunakan belasan mouse dari Razer dan puluhan gaming peripheral lainnya sejak tahun 2008. Di sisi lain, saya harus mengakui bahwa kemampuan gaming saya juga memang mungkin menyedihkan kawkawkawkawk… Setidaknya jika dibandingkan dengan pro player game FPS ataupun MOBA PC yang menuntut kelincahan dan akurasi super tinggi dalam menggunakan mouse.

Saya sendiri juga sebenarnya lebih suka game-game singleplayer ataupun cooperative seperti Borderlands 3 ataupun The Outer Worlds yang mungkin tidak menuntut kelincahan dan akurasi aiming layaknya CS: GO. Namun setidaknya, karena memang lebih suka memainkan game-game singleplayer, sudah cukup banyak game-game yang saya selesaikan Single Player Campaign-nya — sekitar 2000 judul game PC dari sejak saya mengenal PC gaming di 2003.

Saya kira cukup latar belakang saya yang mungkin bisa Anda pertimbangkan juga saat membaca review Razer Basilisk V2 kali ini.

Bodi dan Fisik Razer Basilisk V2

Perbandingan ukuran dengan jam tangan yang saya gunakan. Dokumentasi: Hybrid
Perbandingan ukuran dengan jam tangan yang saya gunakan. Dokumentasi: Hybrid

Satu hal yang paling penting untuk dipertimbangkan saat ingin memilih gaming mouse untuk dibeli adalah ukurannya, apakah nyaman di tangan dan sesuai dengan gaya menggenggam mouse Anda — apakah itu palm, claw, ataupun fingertip grip. Pasalnya, jika ukuran mouse terlalu kecil untuk tangan, Anda tak mungkin juga menggunakan gaya palm jika gaya itu yang paling sering digunakan.

Saya sendiri lebih terbiasa menggunakan palm grip dengan ukuran tangan sedang (tidak besar, tidak kecil juga) untuk ukuran orang Indonesia dan saya sangat nyaman menggunakan Basilisk V2 ini. Seperti yang saya tuliskan di review sebelumnya, saya bisa bermain game 8 jam tanpa henti — kecuali mungkin ke toilet. Saya pun merasakan kenyamanan sempurna dengan mouse yang satu ini.

Basilisk V2 juga menawarkan 11 tombol yang bisa diganti fungsinya — programmable buttons. Saya memang biasanya tidak menggunakan tombol di bawah scroll, yang biasanya digunakan untuk mengganti sensitivitas — termasuk 2 tombol di bawah scroll di mouse ini. Meski begitu, Razer Naga adalah mouse favorit saya sampai hari ini karena menawarkan 12 tombol di sisi kiri badan — untuk ibu jari. Jadi, saya memang sudah terbiasa untuk memanfaatkan side buttons di gaming mouse.

side buttons di Basilisk V2 juga sangat nyaman digunakan, meski sayangnya tidak sebanyak Razer Naga. Namun, 1 tombol samping di paling depan kurang pas dengan lokasi ibu jari saya sehingga tidak secepat mengakses 2 tombol samping lainnya saat permainan sedang berjalan dengan tempo cepat. Jadi, biasanya saya memilih untuk menggunakan tombol tersebut untuk fungsi yang tidak terlalu butuh kecepatan — seperti membuka map (biasanya tombol M di keyboard). Selain itu, 2 tombol yang ada di samping sangat cepat diakses dan nyaman dipencet.

Tiga tombol di bagian kiri mouse. Dokumentasi: Hybrid
Tiga tombol di bagian kiri mouse. Dokumentasi: Hybrid

Saya juga suka melihat tampilan Basilisk V2 yang terlihat garang — tidak seperti DeathAdder V2 yang lebih subtle. Oh iya, finishing dan bodi Basilisk V2 juga terasa solid layaknya mouse premium — sepadan dengan harga yang harus Anda bayarkan.

Selain satu tombol samping yang sedikit terlalu jauh tadi, saya sungguh tidak bisa mencari kekurangan lain dari aspek bodi dan fisik yang ditawarkan oleh mouse yang satu ini.

Kecepatan, Akurasi, dan Klik Switch Razer Basilisk V2

Tentu saja, akurasi aiming dan kecepatan gliding juga akan jadi salah satu pertimbangan utama buat Anda para gamer dalam menentukan mouse yang ingin digunakan. Basilisk V2 juga sempurna dalam hal ini. Oh iya, mengingat akurasi dan kecepatan sensor juga bergantung dengan mousepad yang Anda gunakan, saya menggunakan Razer Goliathus Control dengan mouse ini.

Sensor Focus+. Sumber: Razer
Sensor Focus+. Sumber: Razer

Untuk akurasi dan kecepatan yang tak bercela, hal ini mungkin memang sudah sesuai ekspektasi. Spesifikasi yang diungkap Razer untuk Basilisk V2 ini sensornya bisa mencapai 20ribu DPI dengan teknologi Focus+ sensor optical dan akurasi 99.6%. Selain itu, ia juga menyuguhkan akselerasi sampai dengan 650 inci per detik atau 50G. Meski memang sebenarnya tidak ada gamer yang menggunakan DPI ataupun akselerasi tadi sampai mentok, saya kira teknologi sensor Focus+ dengan akurasi 99.6% tadi yang membuat mouse ini sangat nyaman untuk aiming dan gliding.

Dari pengalaman saya mencobanya di Borderlands 3 dan The Outer Worlds, mouse ini sungguh sempurna karena tidak terasa licin namun sangat responsif — beberapa mouse yang sangat responsif kadang terasa sedikit terlalu licin untuk saya.

Di bagian ini saya juga ingin membahas soal switch klik yang digunakan. Faktanya, mouse Razer itu dulu memang terkenal dengan masalah double click. Saya bahkan membeli Razer Naga generasi pertama sampai 3 kali dan ketiganya berakhir dengan masalah double click. Namun demikian, saya cukup salut dengan keputusan Razer yang mengakui masalah tersebut dengan mengganti switch yang digunakan. Dari pengalaman saya, switch klik yang biasanya berakhir double click adalah switch dari Omron yang kelas murahan — yang bahkan masih digunakan di mouse gaming beberapa merek lainnya.

Di Basilisk V2 ini, Razer menggunakan optical switch yang diklaim mampu bertahan sampai dengan 70 juta kali pencetan. Sebelum saya memutuskan membeli mouse ini, saya juga sempat googling dengan kata kunci “Razer Basilisk V2 double click” ataupun “razer optical mouse switch double click“. Hasilnya, sentimen netizen tentang mouse ataupun switch ini sangat positif. Setidaknya saya belum menemukan postingan soal double click untuk Basilisk V2 saat menulis artikel ini. Sepertinya, Razer memang berhasil menemukan desain switch yang mampu terhindar dari masalah paling menyebalkan sepanjang sejarah gaming mouse.

Optical Switch dari Razer. Sumber: Razer
Optical Switch dari Razer. Sumber: Razer

Meski begitu, saya juga tidak bisa memastikan 100% karena saya memang baru menggunakan mouse ini sekitar sebulan lebih. Selain itu, bisa jadi karena memang mouse ini baru dirilis di awal tahun, belum ada netizen yang melaporkannya. Semoga saja saya ingat untuk meng-update review ini jika terjadi masalah double click dengan mouse saya. Wkwakwakwa

Oh iya, terakhir sebelum saya menutup bagian ini, selain Basilisk V2, Razer juga menggunakan optical switch dan sensor Focus+ di DeathAdder V2, Viper Ultimate, dan Basilisk Ultimate. Nah, yang jadi pertimbangan adalah harga Razer DeathAdder V2 yang dibanderol dengan harga (kurang lebih) Rp200 ribu lebih murah.

Fitur Tambahan Razer Basilisk V2

Jika dibandingkan dengan DeathAdder V2 yang sedikit lebih murah tadi, fitur tambahan yang ada di Basilisk V2 adalah kecepatan scroll yang bisa diatur — dengan menggeser roda yang ada di bagian bawah mouse ini. Di satu sisi, saya sendiri menyukai fitur ini — karena bisa berguna buat fungsi makro yang butuh kecepatan namun tetap terukur. Namun demikian, saya juga tahu fitur ini mungkin tidak akan berguna buat gamer lainnya.

Di bagian ini saya juga ingin membahas soal Razer Synapse (versi yang saya gunakan saat menulis ini adalah 3.5.531). Saya tahu banyak orang mungkin tidak terlalu memusingkan soal software gaming peripheral namun saya memang suka bermain-main dengan fungsi makro.

Saya bisa katakan bahwa Razer Synapse menyuguhkan fungsi makro terbaik dari semua software gaming peripheral yang pernah saya gunakan. Semua fungsi makro yang bisa ditemukan di software brand lain (seperti SteelSeries Engine) bisa dilakukan di sini. Namun Razer Synapse menawarkan kelebihan lain, yaitu merekam pergerakan mouse. Dengan begitu, saya bisa menggunakan fungsi makro untuk menekan recoil di game-game FPS.

Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse
Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse. Sumber: screenshot pribadi.

Fungsi makro biasanya lebih sering digunakan di game-game RPG ataupun RTS yang butuh banyak tombol namun Razer Synapse memungkinkan fungsi makro jadi begitu bermanfaat buat game FPS.

Kesimpulan

Saat saya mencoba mouse ini, sebenarnya saya memang sengaja mencari-cari kekurangannya. Namun sampai artikel ini ditulis, saya tidak mampu menemukannya. Satu kekurangan minor mungkin adalah soal salah satu tombol di kiri mouse yang terlalu jauh tadi. Namun kekurangan tersebut sebenarnya sangat tidak signifikan karena saya juga masih menggunakannya — seperti memasukkan tombol map saat di game ataupun menyetel fungsi CTRL+I saat mengedit ataupun mengetik artikel.

Jika berbicara soal kompetitor terberat Basilisk V2, produknya juga mungkin datang dari Razer; DeathAdder V2 yang sama-sama menggunakan sensor Focus+ dan optical switch untuk kliknya. Namun demikian, jika Anda tanya saya, saya akan memilih Basilisk V2 karena selisih harganya yang tidak berarti di kisaran ini. Plus Basilisk V2 punya tampilan yang lebih garang dan scroll yang bisa disesuaikan kecepatannya.

Sumber: Razer
Sumber: Razer
Sumber: Razer
Sumber: Razer

Review SteelSeries Apex 7: Sang Adik yang Cantik Meski Tak Seseksi Kakaknya

Artikel ini saya update di 25 Januari 2021 saat saya menemukan masalah dengan keyboard ini.

Saya masih ingat betul beberapa tahun silam ketika sejumlah produsen periferal gaming berlomba-lomba merilis keyboard gaming mechanical-nya masing-masing. Razer merilis Blackwidow di tahun 2010. SteelSeries sendiri juga sudah meluncurkan keyboard gaming mechanical generasi pertama mereka lewat 7G (2008) dan 6Gv2 (2011) — koreksi saya tahun rilisnya jika salah.

Karena kebetulan kala itu saya juga sudah bekerja di sebuah majalah PC gaming, saya juga sempat mereview hampir semua keyboard gaming mechanical generasi awal — setidaknya yang masuk ke Indonesia. Saat itu, keyboard gaming mechanical sedikit membosankan karena semuanya menggunakan switch dari Cherry MX — seperti Blackwidow yang menggunakan Cherry MX Blue ataupun 7G yang menggunakan Cherry MX Black.

Namun demikian, penggunaan switch mekanikal tadi memang sungguh revolusioner buat para gamer PC. Saya masih ingat betul betapa kagum saya dengan kecepatan respon yang ditawarkan oleh SteelSeries 7G. Berhubung dari 2008 saya juga sudah jadi penulis/jurnalis, mengetik dengan menggunakan Cherry MX Blue juga menjadi sebuah nikmat yang tak dapat didustai.

Beberapa tahun berselang, produsen periferal gaming pun merilis beberapa keyboard mereka dengan mechanical switch-nya masing-masing. Salah satunya adalah SteelSeries Apex 7 ini, yang baru saya beli beberapa hari yang lalu. Maksudnya bukan hanya pamer (wkakwkakaw) tapi review ini bukan barang kiriman/pinjaman.

Sebelum kita masuk ke beberapa aspek di review SteelSeries Apex 7 kali ini, saya harus memberikan penafian bahwa semua review gaming periferal tentu saja sangat subjektif — tergantung dari reviewer-nya. Pasalnya, komponen/hardware PC punya software atau benchmark yang bisa dijadikan acuan objektif. Namun tidak demikian dengan periferal PC. Belum lagi ukuran tangan, kecepatan mengetik, kecakapan bermain game, perangkat yang biasa digunakan, dan lain sebagainya tentunya akan berbeda-beda untuk setiap orang.

Oleh karena itu, semoga pengalaman saya mereview puluhan periferal gaming dan menggunakan belasan produk SteelSeries (baik itu beli sendiri ataupun kiriman barang review) sejak 2008 bisa menjadi justifikasi untuk memberikan penilaian yang cukup fair untuk SteelSeries Apex 7 ini.

Bodi dan Fisik

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Untuk bodi Apex 7 ini, ia terlihat cukup seksi dan menawan. Ia cukup ramping meski saya membeli yang versi full size (bukan TKL). Tidak ada frame yang terlalu lebar dan juga tak ada tombol khusus makro (yang biasanya di sebelah kiri tombol CAPS LOCK dan Tab) membuatnya ideal bagi Anda yang mungkin tak punya meja berukuran besar.

SteelSeries juga menggunakan metal frame yang disebut aircraft grade aluminum alloy untuk fondasi dari keyboard yang satu ini — sama seperti yang digunakan di versi yang lebih mahal, Apex Pro. Saat saya pegang sendiri, bahannya memang terasa sangat solid dan durable. Kecuali Anda memang atlet pencak silat yang suka mematahkan batu bata, saya rasa frame dari Apex 7 ini tidak akan mudah dipatahkan. Untuk harganya yang mungkin cukup premium untuk sebagian orang (Rp2,6 jutaan), build quality Apex 7 ini saya rasa cukup sepadan.

Ia juga dilengkapi dengan wrist rest yang cukup nyaman. Sebelum menggunakan keyboard ini persis, saya menggunakan Razer Ornata yang juga memiliki bantalan pergelangan tangan. Namun bantalan Ornata tadi terbuat dari busa yang dilapisi karet kulit, yang kempes busanya dan terkelupas kulitnya sebagian saat saya gunakan lebih dari satu tahun. Wrist rest dari Apex 7 ini harusnya akan lebih awet karena memang tidak menggunakan busa dan kulit. Meski begitu, ia tetap menggunakan lapisan yang halus dan sangat nyaman digunakan untuk berlama-lama. Saya bisa mengetik dan bermain game selama 8 jam terus menerus dengan Apex 7 ini tanpa merasa pegal ataupun sakit dengan dudukannya.

Kenyamanan dan Kecepatan Tombol

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel ini, meski pilihan switch-nya adalah Red dan Blue (saya tidak menemukan opsi Brown di beberapa toko saat ingin membeli), Apex 7 tidak menggunakan Cherry MX. Keyboard ini menggunakan switch-nya sendiri (SteelSeries QX2 Mechanical RGB Switch). Hal ini mungkin bisa jadi membingungkan buat sebagian orang. Jujur saja, saya lebih suka penamaan switch mekanikal dari Razer (Green, Orange, Yellow) karena jadi tidak membingungkan dengan sistem penamaan yang sudah digunakan Cherry MX.

Saya pun membeli yang Blue Switch, yang tactile (yang berbunyi klik saat dipencet). Saat digunakan untuk bermain game, tombol-tombolnya sangat nyaman digunakan dan responnya pun cepat. Kenyamanan dan kecepatan tombolnya sungguh sempurna untuk bermain game — setidaknya saya tidak menemukan masalah apapun. Responnya jelas lebih cepat dari keyboard yang masih menggunakan membran dan sesuai ekspektasi saya atas produk SteelSeries.

Namun demikian, jika digunakan untuk mengetik, jujur saya lebih suka dengan Blue Switch dari Cherry MX karena feel-nya terasa lebih mantap. Tentunya hal ini bisa jadi pertimbangan sendiri untuk Anda. Saya tahu Apex 7 memang dibuat untuk bermain game namun saya kira kebanyakan orang tidak akan memiliki 2 keyboard, satu khusus untuk bermain dan satu lagi khusus untuk mengetik.

Mengingat ini juga bukan switch dari Cherry MX, saya pun belum bisa berbicara banyak soal durabilitasnya. Untuk keyboard yang menggunakan Blue Switch dari Cherry MX yang pernah saya miliki, saya bisa menggunakan keyboard tersebut lebih dari 3 tahun tanpa masalah — sampai saya bosan sendiri dan ingin ganti. Mungkin, jika saya tidak lupa, saya akan meng-update artikel ini satu tahun setelah saya menggunakannya atau setelah saya menemukan masalah dengan tombol-tombolnya.


View this post on Instagram

A post shared by Yabes Elia (@elia.yabes)

Update 25 Januari 2021: Switch untuk tombol Enter yang ada di keyboard ini sudah tidak berfungsi normal meski belum satu tahun saya gunakan — tanggal pembelian saya 27 Mei 2020. Memang keyboard ini diklaim menawarkan garansi 1 tahun dari tanggal pembelian, saya tidak tahu apakah masalah yang saya alami ini mencakup aturan main garansi dari SteelSeries.

Misalnya pun masih masuk garansi, jujur saja, saya sebenarnya malas mengurus hal-hal semacam ini karena membuang waktu saya. Saya lebih berharap dengan membeli keyboard premium, saya tak perlu dipusingkan dengan masalah peripheral yang rusak.

SteelSeries memberikan klaim bahwa switch Apex 7 ini bisa bertahan sampai dengan 50 juta kali pencetan. Dibandingkan dengan produsen lainnya, switch dari Razer diklaim mampu bertahan sampai dengan 80 juta kali. Sedangkan Logitech malah tidak menyebutkan berapa kali switch-nya bisa bertahan.

Ukuran SteelSeries Apex 7 relatif dengan objek-objek di sekitar. Dokumentasi: Hybrid
Ukuran SteelSeries Apex 7 relatif dengan objek-objek di sekitar. Dokumentasi: Hybrid

Jika boleh jujur, saya sebenarnya sedikit menyesal membeli Apex 7 ini. Bukan karena keyboard ini mengecewakan juga tapi karena Apex Pro dibanderol dengan harga yang tidak jauh berbeda. Saat artikel ini ditulis, Apex Pro dibanderol di kisaran harga Rp3 juta. Jadi, selisih harganya hanyalah Rp400 ribuan antara Apex 7 dan Apex Pro. Selisih harga ini mungkin saja tidak berarti buat orang-orang yang mampu membeli keyboard seharga Rp2,5 juta ke atas.

Memang salah saya juga sih yang kelewatan cek harga SteelSeries Apex Pro. Waktu saya ingin membeli Apex 7 ini, saya justru lebih membandingkan harganya dengan Razer Huntsman Elite (Rp4,5 juta) dan Corsair K95 RGB Platinum XT (Rp3,5 juta). Kedua produk tadi adalah flagship dari Razer dan Corsair. Makanya, awalnya saya kira Apex Pro yang merupakan flagship dari SteelSeries akan berada di kisaran harga yang setara dengan dua produk tadi. Saya baru menyadari setelah membelinya, ternyata saingan terberat produk ini justru datang dari saudaranya sendiri.

Dengan harga Rp400 ribu lebih mahal, Anda bisa mendapatkan Apex Pro yang super canggih karena kecepatan dan kedalaman switch tombolnya bisa disesuaikan dengan selera Anda. OmniPoint Switch yang digunakan di SteelSeries Apex Pro juga diklaim mampu bertahan sampai dengan 100 juta pencetan. Jadi, ada yang mau bayarin Apex 7 saya? Sebelum saya ganti ke Apex Pro? Wkwkwkwkkw… 

Fitur Tambahan SteelSeries Apex 7

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Ini aspek terakhir yang akan saya bahas di review kali ini. Apex 7 memiliki beberapa fitur tambahan yang cukup menarik sebenarnya. Ada USB passthrough port, ada cable routing di bagian bawah keyboard, dan ada juga beberapa tombol untuk fungsi multimedia di bagian kanan atas.

Dari 3 fitur tadi, yang berguna buat saya hanyalah tombol volume multimedianya. Saya sudah menggunakan casing dengan 4 port USB di depan dan saya sudah punya banyak cable ties dan velcro untuk merapihkan kabel. Namun demikian, mungkin saja, fitur-fitur tambahan tadi bisa berguna buat Anda.

Selain itu, Apex 7 juga menawarkan layar OLED meski sayangnya tidak secanggih yang saya bayangkan. Jika Anda bermain CS:GO ataupun Dota 2, layar OLED nya bisa digunakan untuk menampilkan beberapa informasi menarik seperti KDA. Anda bisa membaca sendiri hal-hal apa saja yang bisa dilakukan dengan layar OLED tadi di blog resmi dari SteelSeries.

Buat saya pribadi, sayangnya, saya adalah tipe gamer yang lebih suka menyelesaikan singleplayer campaign — saat ini saya sedang bermain XCOM: Chimera Squad, setelah baru saja menyelesaikan Assassin’s Creed Odyssey sampai 100%. Atau, saya juga lebih berharap layar OLED nya bisa menampilkan informasi suhu CPU, GPU atau monitoring jeroan lainnya. Jadinya, saya hanya bisa memanfaatkan layar OLED tadi untuk GIF saja.

Screenshot dari SteelSeries Engine 3.
Screenshot dari SteelSeries Engine 3.

Selain itu, di sini saya juga ingin membahas soal SteelSeries Engine. Buat sebagian besar orang, software dari gaming peripheral mungkin memang tidak diperhatikan. Namun saya suka saja iseng bermain-main dengan fungsi makro. Sayangnya, jika saya membandingkan fungsi makro antara SteelSeries Engine (versi 3.17.8) dan Razer Synapse (versi 3.5.531) — sama-sama update terbaru saat artikel ini ditulis — Razer lebih unggul.

Karena Razer Synapse bisa merekam pergerakan mouse — bukan hanya tombol-tombol yang dipencet. Karena itu, dengan Razer Synapse, saya bisa menetralisir recoil di game FPS. Di luar itu, SteelSeries Engine sebenarnya juga tidak jelek dan sangat lengkap fungsi makronya. Anda bisa merekam tombol mouse di keyboard, mengganti delay antar tombol, dan mengedit sendiri makro yang sudah di-record. Saya berani bertaruh untuk berkata bahwa SteelSeries Engine adalah salah satu yang terbaik soal fungsi makro — meski sayangnya tadi ada satu fitur dari Razer Synapse yang tak ada di sini.

Terakhir, untuk urusan RGB, Apex 7 dan SteelSeries Engine juga cukup komprehensif. Saya saja sungguh kewalahan dengan konfigurasi lampu-lampu yang ada untuk Apex 7 — mengingat juga saya sebenarnya lebih tertarik dengan memainkan fitur makro ketimbang lampu-lampu RGB.

Kesimpulan

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Jadi, apakah Apex 7 ini layak dibeli? Jika saya tidak mengalami masalah dengan keyboard ini, Apex 7 sangat menyenangkan untuk digunakan. Sayangnya, saya salah satu orang yang tidak beruntung. Saingan ketatnya justru datang dari saudaranya sendiri, Apex Pro. Jika selisih harga Rp400 ribu tidak jadi masalah untuk Anda, Apex Pro lebih menggiurkan untuk dibawa pulang. Sedangkan untuk saingannya yang punya banderol harga sedikit lebih murah, mungkin datang dari Corsair K70 RGB MK.2 yang menggunakan switch Cherry MX.

Namun demikian, sentimen di dunia maya untuk Apex 7 lebih positif ketimbang Corsair K70 RGB MK.2. Jika tidak percaya silakan googling SteelSeries Apex 7 problems” dan “Corsair K70 RGB MK.2 problems“. Meski begitu, sentimen ini mungkin juga tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur soal durabilitas.

Satu hal yang pasti, saya sangat puas menggunakan Apex 7 ini — meski memang punya beberapa kekurangan dan sedikit menyesal melewatkan Apex Pro…

Spesifikasi SteelSeries Apex 7

Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries

Review The Outer Worlds: Ketika Narasi dan Visualisasi Tak Cukup Penuhi Ekspektasi

Obsidian. Buat yang suka dengan game-game PC berbobot dari segi kekuatan dan kekayaan narasi, Anda harusnya sudah tidak asing dengan nama tadi. Star Wars: Knights of the Old Republic 2 (2004), Neverwinter Nights 2 (2006), Fallout: New Vegas (2010), South Park: Stick of Truth (2014), Pillars of Eternity (2015), Tyranny (2016), dan Pillars of Eternity 2: Deadfire (2018) adalah sejumlah game-game legendaris besutan Obsidian.

Sebelum kita masuk ke dalam review The Outer Worlds kali ini, jujur saja saya katakan di awal, saya adalah penggemar fanatik dari game-game Obsidian. 7 game yang saya sebutkan tadi, saya sudah menyelesaikannya semua. Saya bahkan sempat menuliskan review Tyranny dan PoE2: Deadfire di blog pribadi saya beberapa tahun silam. Kenapa saya suka dengan Obsidian? Ada 3 alasan besar yang membuat game-game Obsidian selalu layak dimainkan.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Pertama, kekuatan plot cerita, penyajiannya, karakteristik karakter-karakter di dalamnya dan segala macam aspek kekuatan narasi dari setiap game Obsidian adalah salah satu yang terbaik sepanjang pengalaman saya bermain game dari tahun 1997 dan bekerja di media game sejak 2008.

Kedua, tentu saja gameplay jadi elemen yang paling penting buat saya. Makanya, biasanya, saya kurang suka dengan game-game ber-genre interactive visual novel seperti game-game besutan Telltale Games. Saya memang menyukai gameplay yang memuaskan dan kompleks untuk dipelajari dan itulah yang selalu disuguhkan dari setiap game-game Obsidian.

Faktor ketiga adalah salah satu faktor terbesar yang membedakan game PC dengan game-game dari platform lainnya, yaitu game modding. Buat Anda yang tidak tahu apa itu game modding, ada tulisan dari NVIDIA yang cukup lengkap untuk menjelaskan soal game modding.

Kenapa saya menjelaskan 3 faktor ini lebih dulu sebelum saya masuk ke penilaian setiap aspek? Karena sayangnya, di game ini, Obsidian hanya bisa menyuguhkan 2 dari 3 faktor tadi…

Terakhir, sebelum kita masuk ke setiap bagian, saya memainkan game ini di PC dan berikut adalah spesifikasi PC yang saya gunakan (sekalian pamer wkwkwakwka…):

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

Visualisasi Grafis dan Audio: 94/100

Jika Anda rindu dengan game-game macam seri Fallout modern, Anda mungkin memang perlu menghindari Fallout 76. Untungnya, The Outer Worlds (TOW) bisa mengobati kerinduan Anda tadi. Visualisasi dari TOW menawarkan atmosfir yang tak jauh berbeda dengan yang biasanya disuguhkan di seri Fallout (Fallout 3, New Vegas, dan Fallout 4). Namun demikian, TOW menyajikan grafis dengan saturasi lebih tinggi ketimbang Fallout.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Selain grafisnya yang mampu menawarkan atmosfir yang immersive, faktor suara dan voice acting di TOW juga layak diacungi jempol. Bagi saya, faktor penyajian audio dan visual yang istimewa itu tak hanya sedap dipandang dan memanjakan telinga namun juga mampu mendukung kekuatan imersifitas atmosfir dunia dan cerita yang disuguhkan. Obsidian mampu menyuguhkannya dengan sempurna di game ini.

Meski memberikan visualisasi yang ciamik, game ini juga tidak berat dari sisi performanya. Dengan spesifikasi PC saya di atas, saya tidak kesulitan sama sekali untuk menyentuh kisaran 90-120 fps. Kawan saya, Glenn Kaonang yang juga penulis untuk DailySocial dan Hybrid, juga masih lancar memainkan game ini (60 fps) di setting grafis Medium meski masih menggunakan kartu grafis GeForce GTX 960.

Plot Cerita dan Karakter: 81/100

Seperti yang saya tuliskan tadi, kekuatan narasi adalah salah satu keunggulan dari setiap game-game Obsidian. Aspek ini juga masih bisa Anda dapatkan di TOW. Lore building di TOW sungguh nyaris sempurna. Sayangnya, game ini memang masih belum bisa menawarkan dunia yang sekompleks seri Pillars of Eternity (PoE). Demikian juga soal alur ceritanya. Jika dibandingkan dengan seri PoE (baik 1 dan 2), alur cerita di TOW lebih mudah ditebak — setidaknya buat saya pribadi. Untungnya, kelebihan dari aspek cerita di TOW ada di penyajiannya yang lebih menarik ketimbang seri PoE tadi.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Saya kira plus dan minus tadi karena memang genre yang berbeda antara TOW dan seri PoE. Seri PoE ber-genre cRPG yang memang bukan untuk semua orang namun, biasanya, mampu membangun dunia yang begitu komprehensif lewat banyaknya wall-of-text di game-nya. Sedangkan TOW lebih mirip dengan seri Fallout modern ataupun The Witcher (action RPG) yang lebih ramah untuk kaum mainstream karena menyajikan cerita lewat cut-scene dan dialog antar karakter.

Dari sisi karakter-karakternya, TOW juga sangat menarik. Tidak ada karakter yang serba sempurna di sini yang mampu menjalankan semua Dasa Dharma Pramuka dalam setiap langkah hidupnya. Setiap karakter Companion (NPC yang menemani dan bergabung di tim Anda) mampu memberikan impresi yang unik buat para pemainnya. Sejumlah karakter-karakter penting juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

TOW pun memiliki beberapa alur cerita tergantung dari pilihan Anda. Sayangnya, karena mudah ditebak dan dibayangkan, saya jadi malas bermain campaign baru untuk yang kedua kalinya untuk mencoba alur cerita yang berbeda. Kembali lagi, jika saya bandingkan saat bermain Deadfire, saya bahkan menamatkan game tersebut lebih dari 5 kali hanya untuk mencoba alur cerita yang berbeda-beda.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Satu hal yang pasti, jika dibandingkan dengan seri PoE, TOW memang inferior. Namun aspek ini sebenarnya juga sudah sangat baik dan superior jika dibandingkan game-game lainnya yang dirilis belakangan ini. Hanya saja, karena game ini besutan Obsidian, saya jadi punya ekspektasi yang lebih tinggi.

Gameplay 70/100

Para pemain Fallout modern pasti tahu yang namanya VATS yang mengijinkan Anda menghentikan waktu dan membidik bagian-bagian musuh yang spesifik (kepala, tangan, badan, ekor, dkk.). Fitur serupa juga bisa Anda temukan di sini. Anda bisa menggunakan kekuatan slow motion agar musuh bergerak pelan sehingga Anda bisa lebih akurat dalam membidik lawan.

Companion Anda juga punya active ability masing-masing yang bisa dikeluarkan dengan menekan tombol. Sayangnya, active ability yang dimiliki oleh karakter Anda tidak banyak — hanya ada slow motion tadi dan dodge. Untungnya, karakter Anda bisa menggunakan berbagai senjata yang cukup variatif mekanismenya meski memang jauh lebih terbatas jika dibandingkan dengan Borderlands 3. Anda juga bisa menggunakan senjata melee yang punya beberapa variasi serangan.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Di sini juga ada mekanisme stealth yang bisa Anda gunakan. Sayangnya, jika dibandingkan dengan Skyrim ataupun seri Dishonored, mekanisme stealth di sini kurang memuaskan.

Oh iya, di sini, equipment Anda juga memiliki beberapa efek pasif yang bisa mengubah gaya bermain Anda. Sayangnya, lagi-lagi, hal ini tidak dilakukan dengan optimal. Pasalnya, efek-efek dari equipment di sini sangat terbatas variasinya. Lebih banyak efek-efek pasif yang membosankan seperti menambah status (Lockpick +10, Dialog +5, atau stats lainnya). Jumlah variasi efek-efek build di sini bahkan lebih sedikit juga jika dibandingkan dengan Assassin’s Creed Odyssey.

Entahlah, menurut saya, Obsidian terlalu banyak implementasi ide gameplay di TOW namun eksekusinya seperti setengah hati. Misalnya saja jika dibandingkan dengan Borderlands 3 (BL3). BL3 memang tidak ada mekanisme stealth. Namun ia punya kekayaan variasi efek dari equipment (seperti Cooldown Reduction, Accuracy, Handling, Fire rate, AoE radius, dan lainnya) yang bahkan mencapai puluhan efek. Doom Eternal juga tidak punya sistem Companion, variasi build layaknya RPG, ataupun mekanisme Stealth namun game ini sungguh superior dalam implementasi pertempurannya.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 20/100

Jika aspek gameplay dari TOW memang kurang maksimal, masih ada lagi aspek yang menyedihkan dari game ini. Durasi permainannya yang sangat pendek buat genre RPG. Durasi saya memainkan game ini setelah menamatkannya tercatat di EGS (Epic Game Store) hanya 37 jam. Apalagi, game ini juga tidak menawarkan banyak aktivitas layaknya game-game open world macam seri Assassin’s Creed ataupun GTA. HowLongToBeat bahkan mencatat angka rata-rata durasi permainan di TOW hanya 25 jam dengan durasi Main Story saja sebesar 12 jam.

Durasi permainan sebenarnya bisa jadi penting atau tidak penting dari sebuah game. Misalnya saja, Mad Max memang menawarkan banyak aktivitas open world layaknya seri Far Cry, Just Cause, ataupun yang lainnya. Namun saya sendiri merasa bosan dan tidak memiliki keinginan untuk melakukan semuanya. Catatan waktu saya bermain Mad Max di Steam hanyalah 41 jam. Jujur saja, mungkin memang saya belum puas bermain TOW namun saya kehabisan konten yang bisa dilakukan — mengingat saya tidak mau juga menjalankan campaign baru karena sudah bisa dibayangkan ceritanya.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Selain itu, dari 3 aspek yang saya suka dari Obsidian, aspek modding tak ada di sini. Hal ini berbanding terbalik dengan PoE2: Deadfire. Jika tidak percaya, lihat saja di NexusMods. Outer Worlds hanya memiliki 46 file, itu pun sebagian besar hanyalah template ReShade. Sedangkan PoE2: Deadfire punya 348 file dengan hanya 2 file di kategori ReShade & ENB. Sungguh, TOW sangat menyedihkan dari sisi game modding, mengingat Deadfire adalah game sebelum TOW dari Obsidian. Modding di Deadfire bahkan sangat mudah dilakukan. Saya juga sebelumnya sempat menuliskan tutorialnya. Obsidian sendiri bahkan memberikan dokumentasi modding untuk Deadfire.

Saya tahu modding mungkin bukan faktor penentu buat sebagian besar game namun, buat saya pribadi, ada 3 alasan subyektif kenapa hal ini jadi penting saya bahas di review The Outer Worlds kali ini.

Pertama, ekspektasi saya atas game-game Obsidian itu memang ramah terhadap komunitas game modding. Dari 7 game yang saya sebut di bagian awal artikel ini, hanya Tyranny yang tidak ramah terhadap game modding. Bahkan Stick of Truth punya 90 files di Nexus Mods. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya atau tidak, namun penting diketahui bahwa Obsidian diakuisisi oleh Microsoft di 2018. Beritanya muncul di bulan November 2018.

Sedangkan Deadfire dirilis bulan Mei 2018 yang berarti, kemungkinan besarnya, Obsidian belum diakuisisi saat proses pembuatannya yang dimulai sejak 2016 dan mendapatkan total investasi lewat campaign crowdfunding-nya di 2017. Sekali lagi, saya juga tidak yakin apakah akuisisi tadi yang jadi penyebabnya. Apalagi mengingat Minecraft (Mojang) dan State of Decay (Undead Labs), yang juga di bawah Microsoft, cukup ramah terhadap komunitas modding. Namun satu hal yang pasti, perbedaan terbesar (setidaknya yang terlihat) dari Obsidian saat membuat TOW dan game-game sebelumnya adalah akuisisi Microsoft tadi.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Kedua, game modding membuat game singleplayer jadi bisa dimainkan dalam waktu yang sangat lama. Sebagai perbandingan, saya sudah memainkan Deadfire selama 517 jam (menurut catatan dari Steam) sedangkan untuk TOW hanya 37 jam seperti yang saya tulis tadi. Meski memang durasi bermain yang singkat ini juga dipengaruhi oleh keterbatasan konten dan ragam alur cerita yang tidak sekompleks Deadfire, saya bisa membayangkan jika saya akan bermain game ini jauh lebih lama jika akses modding-nya semudah seri Fallout modern (kecuali Fallout 76 tentunya).

Ketiga, seperti yang saya katakan tadi, alasannya memang sangat subjektif; karena saya memang suka sekali merasakan proses modding dan saya tidak bisa mendapatkan itu dari TOW — yang biasanya saya dapatkan dari game-game Obsidian. Saya sungguh merindukan saat-saat modding seperti yang dulu saya lakukan saat bermain Deadfire, Fallout New Vegas, dan Neverwinter Nights 2; dan game-game yang bukan besutan Obsidian seperti, Skyrim, The Witcher 3, GTA San Andreas, ataupun yang lain-lainnya.

Average Score: 66.25/100

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Akhirnya, jika Anda memang tidak peduli soal modding, TOW memang sangat layak dimainkan. Apalagi jika Anda tidak ada masalah dengan durasi bermain. Grafis dan cerita yang ditawarkannya sungguh layak diacungi jempol. Faktor gameplay-nya juga tidak bisa dibilang buruk meski tidak istimewa. Sayangnya, mungkin karena saya juga yang sudah punya banyak kenangan berkesan memainkan serta merasakan asyiknya modding game-game Obsidian, TOW jadi terasa tak mampu memenuhi ekspektasi.

Harga TOW saat artikel ini ditulis ada di $44.99 (sekitar Rp660 ribuan) di EGS. Apakah jadi layak dibeli? Saya sendiri merasa tidak menyesal membelinya karena Obsidian nya yang sudah sering menemani saya dan memberikan berbagai kenangan manis — meski sedikit masam dengan TOW. Saya berharap game selanjutnya dari Obsidian bisa lebih sesuai dengan ekspektasi. Plus, semoga sejarah Bioware juga tak terulang dengan Obsidian…

Review Legends of Runeterra: Game Kartu Digital yang Nyaris Sempurna?

Jelang akhir 2019, Riot Games memamerkan jajaran game terbaru yang akan mereka rilis seraya merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Setelah sepuluh tahun hanya mengembangkan satu game saja, pengembang yang berbasis di Los Angeles tersebut akhirnya melebarkan sayap, menciptakan game untuk genre lain.

Ada beberapa game yang mereka pamerkan ketika itu, FPS bernama project A yang kini dikenal dengan Valorant, game kartu Legends of Runetera, iterasi LoL di Mobile bernama Wild Rift, Teamfight Tactics untuk mobile, dan sebuah proyek game fighting. Setelah beberapa waktu berlalu, game kartu digital Legends of Runeterra yang rilis pada 1 Mei 2020 kemarin, mungkin jadi game pertama dari jajaran tersebut yang rilis secara penuh.

Walau memiliki genre Collectible Card Games (CCG) yang cenderung niche, tapi game ini ternyata mendapat antusiasme yang cukup baik dari para gamers, dengan total download mencapai 1 juta lebih di Play Store saat artikel ini ditulis. Mungkin Anda saat ini sudah terpincut untuk memainkannya, namun masih urung karena satu dan lain hal.

Mungkin Anda urung main karena belum pernah main CCG sebelumnya dan takut dihadapkan dengan permainan strategi yang ruwet? Atau urung main karena takut dihadapkan skema permainan pay-to-win yang mengharuskan Anda gacha sampai lemas demi mendapat kartu yang diidam-idamkan?

Tetapi, apakah Legends of Runeterra merupakan game kartu digital yang seperti itu? Game kartu yang akan mengintimidasi calon pemain baru karena mekanik yang rumit atau gacha kartu yang tidak ada habisnya?

Untuk memutuskan apakah Anda akan mulai menginvestasikan waktu (dan uang) terhadap game ini, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan game kartu digital besutan Riot ini. Simak review Legends of Runeterra berikut ini.

CCG Dengan Rasa MOBA

Legends of Runeterra (setelahnya disebut Runeterra) merupakan game kartu yang berbasis kepada cerita salah satu game MOBA terpopuler di dunia. Jika Anda pemain League of Legends sudah pasti Anda akan melihat wajah familiar di dalam game ini, seperti Ashe, Garen, ataupun Lux .

Jika Anda melihat trailer pertama dari Runeterra, Anda juga sudah dapat melihat bagaimana karakter Champion League of Legends berubah menjadi kartu-kartu di dalam permainan, yang disebut sebagai kartu terkuat di dalam Runeterra.

Hal ini juga yang membuat saya mengatakan bahwa game kartu Runeterra memiliki rasa MOBA di dalam mekanik permainannya. Bukan, ini bukan sekadar karena ada Champion League of Legends di dalam Runeterra, tetapi juga karena cara kerja kartu Champion di dalam game ini.

Kalau Anda juga bermain MOBA League of Legends, Anda tentu paham tugas Anda di MOBA adalah menaikkan level Champion agar punya skill yang lebih kuat, sembari mengumpulkan gold agar mendapatkan item untuk memperkuat serangan fisik atau magic. Menariknya, Runeterra juga punya mekanik permainan seperti MOBA, yaitu menaikkan level untuk membuat kartu Champion menjadi lebih kuat.

Tapi bedanya, menaikkan level Champion di Runeterra tidak sesederhana memukul Minion. Masing-masing Champion punya syarat yang berbeda agar dapat naik level. Misal, Garen harus menyerang sebanyak dua kali atau Braum bisa naik level jika sudah menahan serangan musuh. Champion yang sudah naik level akan memberi damage ataupun efek yang lebih mematikan.

Hal lain yang membuat game kartu Runeterra semakin terasa seperti MOBA adalah dari cara pemain mendapatkan kemenangan. Dalam MOBA, setelah karakter Anda jadi kuat, tugas berikutnya adalah terus menerjang, hancurkan Turret demi Turret hingga mencapai bangunan inti yang harus dihancurkan, Nexus.

Begitu juga dalam Runeterra. Masing-masing pemain punya tujuan untuk menghancurkan Nexus musuh dan ada sejumlah cara yang bisa dilakukan. Cara paling sederhana adalah dengan memanggil atau summon atau meletakkan kartu Anda di meja atau field. Lalu perintahkan kartu untuk menyerang ke arah Nexus. Hit Point (HP) Nexus ada 20, yang lebih dulu habis akan kalah.

Bagiamana mudah bukan?

Mudah atau tidak akan kita bahas pada bagian selanjutnya. Tetapi secara umum, menghancurkan Nexus di Runeterra sebenarnya tidak sesederhana itu, karena ada tiga jenis kartu dalam game ini, yaitu Champion, Follower, dan Spells.

Champion dan Follower punya power di kiri bawah kartu yang menandakan kekuatan serang, dan HP di kanan bawah kartu yang menandakan kekuatan bertahan. Dua kartu itu akan tetap berada di meja selama masih punya HP. Jika HP habis, maka kartunya akan hilang dari permainan; kecuali dipanggil lagi dengan efek khusus. Sementara di sisi lain Spell biasanya hanya bisa diaktifkan satu kali, lalu akan hilang setelah diaktifkan.

Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan.
Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Tugas Anda sebagai pemain di sini adalah memanfaatkan ketiga jenis kartu tersebut dengan maksimal agar bisa menghancurkan Nexus musuh. Champion dan Follower punya fungsi yang paling sederhana, yaitu menyerang Nexus.

Sementara fungsi Spell lebih Variatif karena ada yang bisa langsung memberi damage ke Nexus, memberi damage ke Champion atau Follower, atau memberi efek mengganggu musuh.

Secara umum, cara main Runeterra kurang lebih mirip seperti game kartu TCG Yu-Gi-Oh. Anda panggil kartu ke meja, lalu suruh monster tersebut menyerang. Kalau tidak ada monster di meja musuh, Anda bisa menyerang langsung (kalau dalam Runeterra ke arah Nexus). Anda bisa panggil Spell Card untuk menyerang atau membantu membuat kartu Anda jadi lebih kuat.

Lalu kalau di Yu-Gi-Oh ada Trap Card, bagaimana dengan di Runeterra? Hal menarik lain di Runeterra, yang juga membuatnya terasa seperti pertarungan MOBA, adalah urutan jalan yang terus berganti-gantian.

Dalam setiap turn, pemain secara bergantian memegang Attack Token sebagai tanda bahwa Anda punya hak jalan pertama dan menyerang. Lalu, setiap kali Anda melakukan sesuatu (memanggil Champion/Follower atau mengaktifkan Spell) musuh mendapat giliran untuk merespon dengan apapun yang mereka punya.

Jika menggunakan analogi Yu-Gi-Oh, maka bisa dibilang Spell di Runeterra berfungsi layaknya gabungan Trap dan Magic Card. Karena berjalan secara bergantian secara terus menerus, Spell jadi bisa diaktifkan kapan saja. Maka dari itu, Runeterra punya tiga tingkat kecepatan Spell yaitu Slow, Fast, dan Burst.

Slow Spell hanya dapat diaktifkan di luar fase pertarungan. Ketika diaktifkan, musuh dapat merespon dengan Spell yang mereka miliki. Fast Spell dapat diaktifkan sebelum ataupun pada fase pertarungan, musuh juga bisa merespon terhadap Spell ini. Terakhir Burst Spell, bisa diaktifkan kapanpun, langsung aktif saat itu juga, dan tidak dapat direspon oleh musuh.

Tindakan saling merespon tersebut berhenti ketika pemilik Attack Token memajukan pasukan (Champion/Follower) dan memasuki fase bertarung. Pada fase bertarung, pemain bertahan tidak bisa lagi memanggil pasukan apapun, hanya bisa melakukan Block dengan pasukan yang sudah ada di field, atau merespon dengan Fast Spell.

Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya.
Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Setelah pemain bertahan mengaktifkan Spell, memilih pasukan musuh yang ingin ditahan serangannya, pemilik Attack Token lalu menyerang, jumlah damage dihitung, lalu pemilik Attack Token memiliki kesempatan terakhir untuk melakukan satu aksi lagi, yang juga masih dapat direspon oleh musuh.

Pada saat menyerang, Legends of Runeterra juga menghadirkan fitur menarik bernama Oracle Eye. Fitur ini bisa berada di tengah antara dua Nexus pada fase menyerang.

Fitur ini memungkinkan Anda melihat ke masa depan, hasil dari semua pertarungan pasukan dan Spell yang diaktifkan. Jika Anda kurang pandai menghitung atau tidak yakin bagaimana efek dari Spell yang akan Anda gunakan, fitur ini sangat membantu Anda memahami hasil dari jalannya pertempuran.

Semua tindakan memanggil pasukan dan mengaktifkan Spell akan menggunakan Mana. Permainan dimulai dengan 1 Mana, dan terus bertambah 1 mana pada setiap ronde. Jika Anda tidak melakukan apapun, Mana akan tersimpan sebagai tambahan untuk mengaktifkan Spell nantinya.

Attack Token baru berpindah tangan setelah sang pemilik memilih untuk End Round atau kehabisan Mana yang membuat dirinya jadi tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

Mekanik giliran permainan yang berganti-gantian ini juga menurut saya membuat Runeterra jadi terasa seperti pertarungan MOBA. Karena dalam MOBA Anda harus lihai dalam mengelola sumber daya yang Anda miliki, Skill ataupun Mana, begitupun seperti dalam Runeterra.

Apakah Runeterra Ramah Bagi Pemula?

Soal ini jadi penting dalam pembahasan sebuah game, terutama game CCG seperti Runeterra. Kerumitan permainan biasanya akan membuat pemain jadi mengurungkan niat mencoba. Apalagi genre CCG kerap dicap sebagai “game mikir”, yang membuat banyak pemain sudah malas di awal karena tidak ingin berpikir ketika main game.

Setelah membaca penjelasan saya di atas soal mekanik umum permainan, apakah Anda sudah pusing? Oh tenang, itu belum semuanya, karena semakin lama Anda bermain, semakin Anda harus menerima kenyataan bahwa Runeterra akan membawa Anda menyelam ke dalam mekanik yang rumit nan seru.

Walau game ini rumit, tapi saya masih bisa bilang bahwa Runeterra itu ramah bagi pemula. Salah satu alasannya karena usaha Riot Games menjelaskan cara main Runeterra lewat sajian satu set tutorial yang intensif.

Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra.
Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Semua yang saya bahas di awal artikel akan diajarkan ketika Anda pertama kali login ke dalam game. Anda akan diajarkan apa itu Nexus, bagaimana cara menyerang dan bertahan, cara kerja Champion, Attack Token, apa itu Mana Point, serta cara mengaktifkan dan klasifikasi Spell.

Walau demikian, Runeterra mungkin tetap kurang menarik bagi gamers Indonesia, karena semua tutorial menggunakan bahasa Inggris (Riot pls, tambahkan opsi bahasa Indonesia jika ingin lebih banyak yang bermain Runeterra), dan mengharuskan pemain menyimak dengan seksama cara kerja permainan Runeterra.

Tetapi salut untuk Riot Games yang berusaha keras untuk mengajarkan mekanisme permainan Runeterra kepada pemainnya. Ketika Anda sudah masuk ke dalam permainan, pada menu Play, Anda bisa memilih menu Challenges yang berisikan satu kursus intensif untuk memahami cara kerja ragam kartu di Runeterra.

Pada bagian tersebut Anda akan diajari cara kerja berbagai Keywords, alias kata kunci dari efek kartu di dalam game. Misal, Challenge berjudul Overwhelming Force mengajarkan Anda cara kerja, dan efektivitas menggunakan kartu dengan kata kunci Overwhelm. Kartu dengan Overwhelm (Champion Darius contohnya) bisa memberi damage yang menembus ke arah Nexus jika punya selisih angka Power kartu penyerang dengan HP kartu bertahan.

Riot juga mendorong pemain untuk melakukan Challenge karena kita akan menerima hadiah XP untuk menaikkan progress rewards, yang nanti akan saya jelaskan pada bagian soal skema monetisasi Legends of Runeterra. Challenge baru juga akan selalu hadir, ketika Runeterra mengenalkan Keywords baru.

Contohnya pada saat update Rising Tides hadir saat perilisan resmi Runeterra mengenalkan region Bilgewater, Riot segera menghadirkan 4 Challenges baru: The Deep Dive untuk mengenalkan efek Keywords Deep, Plunder Pays untuk efek Keywords Plunder, Easy Pickings untuk mengenalkan Keywords Vulnerable, dan Barrel to Victory yang mengenalkan cara kerja mekanisme Powder Keg.

Jangan khawatir, apa yang ada di Challenges hanyalah permukaan dari keseluruhan ragam Keywords di dalam Runeterra. Karena hingga saat ini, kurang lebih ada sekitar 40 lebih Keywords di dalam Runeterra yang harus Anda pahami dan pelajari.

Sudah pening? Sama saya juga. Tapi tak usah khawatir, pada awal permainan Anda diberikan “Starter Deck” dari 6 region awal di Runeterra, untuk belajar cara main dan mengoptimalkan kartu-kartu dasar.

Mungkin satu yang kurang dari Challenges adalah ia tidak mengajarkan karakteristik dan interaksi antar-Region. Mekanisme Region merupakan cara game kartu Runeterra menceritakan dunia League of Legends. Hingga saat ini, ada 7 Region di dalam game kartu Runeterra, ada Bilgewater, Demacia, Freljord, Ionia, Noxus, dan Shadow Isle.

Masing-masing Region punya karakteristik masing-masing yang bisa dikombinasikan dengan Region lain. Contohnya jika Anda ingin buat musuh tak bisa gerak, Anda bisa kombinasikan Region Freljord yang bisa hentikan pergerakan musuh dengan Ionia yang juga punya banyak mekanik yang bikin musuh kelimpungan.

Tapi yang pasti, pengalaman bermain League of Legends juga akan membantu Anda untuk bisa memahami game ini dengan lebih cepat. Sudah bermain League of Legends sejak tahun 2012 lalu, membantu saya memahami gambaran cara kerja Champion. Jadi karena saya tahu bahwa Braum merupakan hero Tank yang hobi menahan serangan, maka saya sudah punya gambaran bagaimana memanfaatkan Braum dengan maksimal di Runeterra.

Hal lain yang membuat saya jadi lebih mudah memahami Runeterra mungkin adalah pengalaman saya main game kartu Yu-Gi-Oh di zaman PlayStation. Minimal, ketika mulai bermain saya bisa segera bergumam, “Oh ternyata game ini mirip Yu-Gi-Oh,” dan tak perlu bingung lagi.

Animasi Ciamik, Artwork Mengagumkan, dan Ragam Visual yang Memanjakan Mata

Oke Anda mungkin sudah cukup kelelahan membaca pembahasan mekanik permainan Runeterra yang awalnya sederhana, tapi menjadi semakin…membingungkan. Sedikit rehat, mari sejenak kita melihat bagaimana Riot menyajikan Legends of Runeterra secara audio dan visual.

Satu yang paling saya suka adalah bagaimana ketika Anda membuka permainan segera permainan dengan gambar Ashe berdiri di atas gunung es dengan matahari terbit di ufuk timur, sembari diiringi lagu dengan biola yang syahdu layaknya musik khas kerajaan elf di film kolosal Lord of the Ring.

Menu utama juga tak kalah nikmat dipandang. Pada satu waktu Anda akan dihadapkan dengan pemandangan Jinx di atap rumah melihat suasana kota Piltover di malam hari yang tenang. Pada waktu lain semangat Anda juga bisa dipicu dengan gambar Darius sedang meneriakkan teriakan perang kepada pasukan Noxus yang bersiap menjajah Region lain di Runeterra.

Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan.
Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Artwork dari masing-masing kartu juga menjadi aspek visual lain di dalam Runeterra yang berhasil memanjakan mata. Jadi mungkin, jika Anda jemu bermain karena terus-terusan kalah, Anda bisa berhenti sejenak, membuka menu Cards, dan melihat Artwork dari masing-masing kartu. Terlebih, Artwork kartu juga dilengkapi dengan cerita yang semakin membawa Anda menyelami dunia Runeterra.

Satu kartu yang paling saya suka secara Artwork dan cerita adalah kartu Cithria of Cloudfield dari Region Demacia. Visual dan penjelasan kartu ini berhasil menyajikan suasana dari cerita seorang anak perempuan yang bercita-cita ingin menjadi pasukan tentara Demacia, karena mendengar cerita heroik sang ibu bertarung di medan perang membela nama kerajaan Demacia.

Sayang, sajian artwork memanjakan mata di Runeterra hanya terbatas pada Champion dan Followers saja. Pada kartu Spell, walau tetap menyajikan deskripsi yang memiliki cerita, namun visual yang disajikan terbilang cukup terbatas karena tidak menyajikan Artwork layar penuh layaknya pada kartu Champion atau Follower.

Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra.
Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Hal berikut yang menurut saya tak kalah menggugah secara visual adalah animasi ciamik yang disajikan dalam Runeterra. Visual menggugah tersebut sudah juga sudah terasa sejak kita berada di menu utama. Transisi antar menu selalu dihiasi dengan animasi yang sederhana, namun sedap dipandang.

Melaju ke dalam pertarungan, menurut saya setidaknya ada dua hal dari sisi animasi yang membuat Legends of Runeterra jadi menggugah secara visual. Pertama adalah kehadiran Guardian yang interaktif menemani kita di kala duel sedang dilakukan.

Guardian sebetulnya bukan fitur yang mempengaruhi apapun di dalam permainan, melainkan hanya sekadar penyejuk mata yang menghiasi papan Anda. Lucunya, Guardian berisfat interaktif, yang akan beraksi jika Anda melakukan swipe atau tap di atasnya.

Guardian Poro yang dimiliki secara gratis misalnya, akan memberi respon mengambek atau menguap besar jika Anda tap di atas kepalanya secara cepat dan terlalu sering. Walau tidak membantu di dalam permainan, setidaknya Poro bisa menjadi pelipur lara di kala tangan Anda sedang jelek, atau musuh menunjukkan permainan yang mendominasi.

Selain dari Guardian, tambahan visual lain yang tak kalah menarik adalah Sticker dan juga skin untuk Board tempat Anda bermain. Sticker merupakan satu-satunya sarana Anda berkomunikasi dengan musuh. Biasanya ini digunakan untuk bercanda dengan musuh apabila ada momen menggemaskan di dalam permainan.

Skin Jinx's untuk Field
Skin Jinx’s Mayhem untuk Field yang tidak hanya ciamik secara visual, tapi juga diiringi dengan lagu yang menggambarkan karakter Champion Jinx. Sumber: tangakapan layar pribadi.

Skin untuk Board tempat bermain juga jadi visual lain yang memanjakan mata. Skin Board paling dasar adalah Summoner’s Riftt, namun Anda bisa membeli skin untuk Board ini, mulai dari yang bertemakan Region di Runeterra ataupun Champion tertentu. Setiap Board tak hanya memanjakan visual, tapi juga memiliki lagu khas dari masing-masing yang memanjakan telinga.

Sejauh ini Jinx’s Mayhem jadi skin Board favorit saya, karena tidak hanya nyentrik secara visual, tapi juga punya lagu tema bergenre dark-electro yang senada dengan kepribadian dari Champion Jinx.

Pay or Grind to Win?

Banyak yang beranggapan kalau game kartu biasanya pay-to-win. Anda yang sudah beberapa kali main atau punya teman yang main permainan TCG atau CCG mungkin sudah familiar dengan Booster Pack atau Loot Box, kotak gacha yang berisi kartu random. Menariknya Legends of Runeterra justru punya skema monetisasi yang cukup berbeda.

Mungkin Runeterra menjadi game kartu CCG yang tidak menggunakan sistem Booster Pack. Semua kartu di sini bisa dibeli dengan 3 pilihan mata uang, yaitu Wildcard, Shards, atau Coins (mata uang Premium). Wildcard dan Shards bisa didapatkan dengan cara bermain dengan rajin atau grinding.

Sumber utama Wildcard dan Shard datang dari Region Rewards. Region Rewards berfungsi kurang lebih seperti Battle Pass di Dota 2, yang punya banyak level, dan memiliki hadiah menarik setiap level-nya. Level Region Rewards bisa didapatkan dengan terus bermain.

Anda bisa mendapatkan XP saat Anda bermain, entah itu menang atau kalah, melakukan quest harian, atau memainkan Challenge. Namun jumlah XP yang didapatkan dalam satu hari ada batasnya. Jika sudah mencapai batas, Anda hanya akan mendapat sekitar 100 XP saja jika menang, dan tidak mendapat apapun ketika kalah.

Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan.
Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan. Sumber: tangkapan layar pribadi

Tak hanya itu, masih ada sumber lain yang memudahkan Anda untuk melengkapi koleksi kartu di dalam Runeterra. Ada Daily Login yang sudah menjadi ciri khas dari banyak game mobile, Weekly Vault yang sama-sama dikumpulkan melalui XP, dan terakhir adalah Expedition,

Expedition sendiri bisa dibilang seperti Draft Mode. Mode permainan Expedition bisa diikuti dengan menggunakan Coin, Shards, atau Expedition Token yang didapat dari Weekly Vault. Pada Expedition Mode Anda diminta membuat deck dari beberapa pilihan kartu yang disajikan oleh sistem. Setelah deck selesai, Anda akan diadu oleh pemain lain yang juga mengikuti mode ini. Semakin banyak menang, maka semakin bagus hadiah yang Anda terima. Sebaliknya, jika sudah 4 kali kalah, maka perjalanan Anda akan berhenti dan mendapat hadiah yang sedikit.

Riot Games sepertinya tidak omong kosong saat bicara ingin membuat Runeterra menjadi game kartu yang adil, baik bagi pemain free-to-play ataupun mereka yang investasi membeli kartu. Dengan sistem ini, pemain casual yang sifatnya free-to-play jadi masih punya dapat kesempatan untuk berkompetisi dengan pemain berbayar, asalkan mereka rajin bermain.

Terlebih, menjadi pemain berbayar juga tidak merugikan di dalam Runeterra. Karena pemain tidak perlu dipusingkan karena gacha di hari-hari yang kurang beruntung. Anda bisa dengan bebas membuat deck apapun dan langsung membeli kartu yang Anda butuhkan, tanpa perlu kerepotan mengais Loot Box atau Booster Pack.

Melihat mekanisme ini, sepertinya satu yang membedakan antara pemain gratis dengan pemain berbayar hanyalah waktu. Pemain gratis butuh waktu lebih lama untuk mendapat kartu yang ia inginkan, sementara pemain berbayar cukup satu kali klik (dengan bermodal Rupiah tentunya) untuk mendapat kartu.

Versi 1.0 yang Masih Banyak Kekurangan

Legends of Runeterra memasuki versi 1.0 saat dirilis pada 1 Mei 2020 kemarin. Walau sudah dirilis secara resmi, namun saya masih merasa Legends of Runeterra seperti berada dalam fase open-beta.

Kenapa? Karena memang menurut saya masih banyak fitur-fitur yang sebenarnya penting, namun belum dihadirkan dalam Legends of Runeterra. Beberapa fitur yang sempat jadi perbincangan di komunitas adalah ketidakhadiran match history, replay, statistics, dan spectate friend.

Memang 3 fitur tersebut menjadi sesuatu yang penting, apalagi jika bicara kesiapan Legends of Runeterra sebagai esports. Dalam kompetisi, terutama yang bersifat online, match history jadi satu-satunya bukti untuk melaporkan kemenangan. Walau sudah ada fitur untuk menantang teman yang ada di friend list, namun tanpa Match History kemenangan jadi tidak bisa dibuktikan.

Lalu selain itu, fitur seperti statistik, replay, atau spectate friend juga jadi fitur penting lain untuk menjadikan Runeterra sebagai game yang kompetitif. Statistik dan replay bisa membantu pemain untuk mempelajari permainannya sendiri.

Kapan ia salah langkah? Apa yang bisa diperbaiki dari kekalahan yang ia alami sebelumnya? Kartu apa yang tidak efektif dan harus diganti? Ketiganya menjadi beberapa hal yang bisa pemain lakukan dengan kehadiran fitur statistik dan replay.

Sementara spectate friend merupakan fitur penting untuk membuat pertandingan di Runeterra menjadi bisa ditonton oleh khalayak banyak. Karena jika kita bicara esports, kita tidak hanya bicara soal kompetisi saja, tetapi juga bicara soal bagaimana agar pertandingan tersebut bisa disajikan ke para penonton.

Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain.
Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Terakhir, walau mungkin tidak sebegitu penting, namun saya merasa Legends of Runeterra masih kekurangan koleksi barang-barang kosmetik entak audio atau visual yang bisa dinikmati. Salah satu contohnya seperti jenis kosmetik Board, Guardian, dan Card Back yang masih terbilang terbatas. Ini tentunya diharapkan akan semakin bertambah seiring waktu, karena selain membeli kartu, item kosmetik juga jadi hal yang tak kalah penting dalam menambah kesenangan dalam pengalaman bermain.

Hal paling terakhir mungkin adalah soal optimasi grafis. Untuk saat ini sebenarnya optimasi grafis dari Runeterra sudah cukup baik, namun masih ada hal yang sebenarnya bisa lebih diperbaiki lagi. Salah satu contohnya adalah animasi saat Champion naik level.

Pada platform mobile, beberapa kali terjadi frame-drop saat Champion naik level, karena animasinya yang memang terlihat butuh komputasi grafis yang intensif. Hal lain dari optimasi grafis frame-rate untuk platform mobile. Legends of Runeterra sendiri merupakan game yang bersifat cross-platform antara PC dengan Mobile. Namun sayangnya frame-rate 60 fps untuk saat ini hanya tersedia untuk platform PC, sementara frame-rate platform Mobile dikunci pada 30 fps.

Kesimpulan

Pada akhirnya Legends of Runeterra mungkin menjadi satu-satunya CCG yang berhasil menghasut saya untuk mencoba, bahkan jadi ketagihan untuk memainkannya. Saya merasa setidaknya ada beberapa faktor yang membuat Runeterra jadi menarik bagi saya yang sebenarnya lebih suka permainan dengan tempo cepat seperti FPS dan MOBA. Faktor tersebut adalah:

  1. Tema League of Legends yang membuat saya pemain game tersebut jadi penasaran untuk mengetahui cerita dunia Runeterra lebih dalam lagi
  2. Gameplay interaktif bertempo cepat yang memungkinkan Anda untuk tetap melakukan sesuatu meski sedang bertahan
  3. Animasi ciamik dari pertarungan, yang kadang membuat saya lupa bahwa ini adalah game kartu
  4. Sistem Daily Login, Daily Quest, dan Region Rewards yang berhasil membuat saya termotivasi untuk terus main demi mendapat kartu-kartu baru dan memperkuat deck saya.
  5. Fitur Booster Pack dan Loot Box yang dihilangkan membuat pemain berbayar jadi tidak harus dipusingkan dengan Gacha.

Tapi bukan berarti Runeterra adalah game yang tanpa celah. Saya merasa masih ada beberapa kekurangan di dalam game ini, yang meski sedikit, namun cukup terasa. Beberapa di antaranya termasuk:

  1. Pilihan kosmetik yang masih terbatas.
  2. Belum ada pilihan high frame-rate untuk mobile.
  3. Mode Challenge yang kurang menjelaskan interaksi antar Region.
  4. Absennya fitur-fitur untuk kebutuhan esports pada versi 1.0 Legends of Runeterra seperti match history, replay, statistik, ataupun spectate friend.
  5. Kurangnya bahasa yang mungkin akan membuat pemain-pemain di Indonesia jadi enggan mencoba karena kesulitan mempelajari mekanisme permainan Legends of Runeterra yang cukup rumit.
  6. Banyaknya jumlah keywords, yang mungkin akan membuat permainan akan menjadi semakin rumit lagi nantinya.

Jadi apakah Runeterra patut dicoba? Menurut saya ini menjadi game yang sayang sekali untuk dilewatkan, apalagi bagi Anda pecinta League of Legends. Jika tidak main League of Legends sekalipun, game ini tetap patut dicoba karena menawarkan konsep yang cukup segar di dalam game bergenre CCG.

[REVIEW] Lokapala, Status Beta yang Penuh Keterbatasan

Awal Februari ini khalayak gamers Indonesia disemarakan dengan rilisnya Lokapala: Saga of Six Realms. Masuk masa pra-pendaftaran sejak November 2019 lalu di Play Store, iterasi MOBA pertama pengembang Indonesia ini segera mendapat sambutan positif. Banyak yang tidak sabar untuk mencoba dan memainkannya.

Proyek ambisius ini dibesut oleh ANANTARUPA Studio, gamedev lokal yang sudah beroperasi sejak tahun 2011. Kini, walau masih menyandang status beta, Lokapala sudah dapat diakses secara terbuka di Play Store. Namun demikian, saya merasa bahwa perilisan beta terbuka Lokapala masih terlalu terburu-buru. Kenapa? Karena banyak hal di dalam game ini yang terlihat seperti masih setengah jadi. Lebih lanjut, mari simak ulasan saya terhadap MOBA lokal Indonesia yang satu ini.

MOBA Indonesia yang Kurang Indonesia

Dalam MOBA, satu hal yang konsisten selalu muncul adalah karakter yang dapat kita gunakan di dalam permainan. Ada beberapa sebutan untuk karakter ini, ada yang menyebutnya Hero ada yang menyebutnya Champion. Lokapala sendiri memilih menyebut karakter-karakter heroik yang akan bertarung bersama Anda di dalam permainan sebagai Ksatriya.

Untuk rilisan pertama, Lokapala menghadirkan 15 Ksatriya, yang semuanya bisa Anda coba dan mainkan. Namun sayang, beberapa karakter yang dihadirkan pada Lokapala mungkin belum tentu dikenal oleh orang Indonesia sendiri. MungkIn pendapat saya ini muncul karena nilai pelajaran sejarah Indonesia saya tidak terlalu baik, saat masih bersekolah dulu…hehehe.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Beberapa Ksatriya yang dihadirkan di dalam Lokapala. Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Hal ini mungkin karena beberapa Ksatriya mungkin memang bersifat orisinil atau dibuat sendiri oleh tim ANANTARUPA Studio. Tetapi saya merasa agak sayang jika tidak ada karakter-karakter populer, karena bisa jadi membuat pemain enggan mencoba game ini. Padahal Lokapala bisa saja memunculkan Ksatriya dari sejarah atau cerita rakyat populer seperti Gajah Mada sang Mahapatih Kerajaan Majapahit , atau tokoh kenamaan dalam pewayangan seperti Gatot Kaca.

Untungnya ANANTARUPA Studio sudah melakukan beberapa usaha untuk memperkenalkan cerita orisinil Lokapala kepada khalayak. Salah satunya seperti contoh di bawah ini, sebuah postingan media sosial yang bercerita asal pertarungan Lokapala. Ceritanya, pertarungan di Lokapala berdasarkan kepada konsep multiverse, yaitu penggabungan berbagai ruang dan waktu dalam satu semesta.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Mengutip dari laman resmi Lokapala, para Ksatriya yang bertarung datang dari enam Loka (alam semesta) yang tergabung di dalam Lokapala, yaitu Narakaloka, Pretaloka, Tiraccanaloka, Manusyaloka, Asuraloka, dan Svargaloka. Dari 6 Loka yang diceritakan, muncullah karakter-karakter yang ada di Lokapala. Beberapa ada yang datang dari sejarah Vijaya atau Pangeran Wijaya dan beberapa ada yang orisinil seperti Ilya yang ceritanya datang dari masa depan.

Selain soal daftar Ksatriya yang dihadirkan, ada satu hal lagi yang buat saya merasa menjadi poin penting kenapa Lokapala menjadi game Indonesia yang kurang Indonesia. Lokapala kehilangan satu hal penting yang bisa membantu game ini lebih mudah diterima oleh gamers Indonesia, yaitu in-game language Bahasa Indonesia. Ya Anda tidak salah dengar, versi beta Lokapala yang menekankan khasanah lokal Indonesia lewat latar tempat dan cerita karakter Ksatriya malah hadir menggunakan Bahasa Inggris, dan tidak ada opsi Bahasa Indonesia.

Ini sebenarnya cukup membingungkan, karena saya merasa tidak ada alasan yang tepat untuk menggunakan bahasa Inggris pada Lokapala. Jika alasannya untuk mengincar pasar global, rasa-rasanya Lokapala terbilang sudah ketinggalan cukup jauh jika dibanding beberapa pengembang lain yang sudah lebih dulu terjun di pasar MOBA untuk mobile.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Amat disayangkan, Lokapala versi beta malah tidak memiliki opsi bahasa Indonesia, Alhasil,cerita Pangeran Wijaya dari kerajaan Singhasari jadi agak sulit dipahami karena menggunakan bahasa Inggris. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika alasannya untuk mengenalkan budaya Indonesia ke khalayak global, orang Indonesia sendiri saja mungkin belum mengenal Ksatriya yang dihadirkan dalam Lokapala. Jawaban untuk semua ini sebenarnya adalah dengan menghadirkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ke dalam game. semoga saja update berikutnya dapat menghadirkan in-game language, dan mungkin juga menghadirkan voice-act bahasa Indonesia. Apalagi, menurut opini saya personal, membaca cerita legenda Indonesia dengan bahasa ibu akan terasa lebih nyaman dan mudah dimengerti.

Walau dengan segala kekurangannya, saya cukup mengapresiasi bagaimana tim pengembang ANANTARUPA membangun cerita dunia Lokapala, terutama dari cerita 6 Loka yang menjadi satu di dalam arena pertarungan Lokapala. Dalam hal lore Ksatriya, walau orisinil, namun sayangnya cerita yang disajikan masih  terlalu singkat. Hal ini membuat saya tidak bisa mengenal asal muasal sang Ksatriya secara lebih mendalam.

Sisi Indonesia lain yang menurut saya patut diapresiasi adalah musik yang disajikan oleh Inharmonics. Composer yang juga mengisi musik pada game Legrand Legacy ini berhasil memunculkan nuansa peperangan penuh semangat khas MOBA sembari tetap menonjolkan khazanah Indonesia dalam musik yang mereka sajikan pada menu utama. Dalam musik tersebut, musik orkestra yang modern melebur halus dengan aksen khas etnis lewat gamelan Jawa, yang hampir membuat saya lupa dengan pengalaman bermain Lokapala yang akan saya jelaskan pada poin berikutnya.

Esports Game Pertama Indonesia yang Belum Esports Ready

Istilah “esports ready” pertama muncul sebagai meme di tengah perbincangan komunitas ketika PUBG dijadikan esports untuk pertama kalinya. Istilah tersebut muncul karena pada awal rilis, PUBG mendukung kegiatan esports untuk game tersebut. Sementara core gameplay PUBG masih memiliki terlalu banyak kendala teknis seperti respon yang tidak sinkron, serta bug di sana dan sini.

Pada kasus PUBG, kendala tersebut terjadi karena PUBG adalah game multiplayer online pertama yang mempertemukan 100 orang sekaligus secara real-time. Kejadiannya Bluehole mungkin mirip dengan ANANTARUPA. Lokapala sudah dicap sebagai game esports pada saat perilisan beta, mungkin karena mereka memilih genre MOBA. Namun nyatanya, Lokapala belum esports ready, yang mungkin disebabkan karena ANANTARUPA belum punya banyak pengalaman membuat real-time online multiplayer yang kompleks seperti MOBA.

Memang, pada kenyataanya membuat game online bersifat real-time seperti MOBA punya kerumitan dari sisi teknis. Jika Anda belum tahu, ada dua jenis online games berdasarkan cara game tersebut terkoneksi ke server. Ada real-time online seperti MOBA, yang mana satu player bertemu dengan player lain secara langsung. Ada asynchronous online games, yang mana walau online, namun player satu dengan player tidak bertemu secara langsung seperti Clash of Clans.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Menghubungkan 10 pemain bermain di dalam satu server secara berbarengan tidak bisa dibilang mudah, terutama bagi pengembang Indonesia yang masih minim pengalaman. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Walau ini adalah MOBA pertama, tapi Anantarupa bukanlah pengembang lokal Indonesia pertama yang bisa membuat real-time online multiplayer game. Sebelumnya ada juga Minimo, pengembang yang berbasis di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang membuat game bertemakan balap off-road bernama Mini Racing Adventures.

Kembali membahas Lokapala, kesulitan teknis ini diakui sendiri oleh sang pengembang. Jika Lokapala memang belum “esports ready“, jadi sudah sampai mana sebenarnya rilisan beta Lokapala? Maafkan jika saya terlalu jujur namun saya merasa Lokapala sebenarnya belum pantas untuk dirilis secara open beta. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya karena Lokapala memiliki beberapa masalah fundamental, yang membuat core game experience menjadi tidak nyaman.

Sebelum menuju ke dalam permainan, masalah sudah muncul, yaitu ketika kita tap tombol dan ingin melakukan Find Match. Setelah masuk Lobby dan menekan tombol Start, Lokapala malah memunculkan kode error seperti yang satu ini.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Melihat error seperti ini, yang terbesit di pikiran saya adalah melakukan reset Lobby dengan menekan tombol back yang ada di pojok kiri atas. Apa yang terjadi? Ya, muncul kode error lagi yang membuat saya terjebak di dalam Lobby.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Kalau sudah begini, apa daya. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika hal ini terjadi, mau tidak mau jalan terakhir adalah tinggal melakukan reset game. Force close game tersebut lewat tombol recent apps, lalu buka kembali.

Setelah beberapa saat, saya akhirnya berhasil masuk ke dalam game. Saat berada di dalam permainan saya melihat banyak elemen lain di dalam game yang juga masih kurang sempurna. Seperti 3D model karakter yang terlihat kurang realistis, atau animasi karakternya yang terlalu kaku. Tapi itu mungkin tidak terlalu masalah karena 3D model karakter Mobile Legends pun demikian ketika baru pertama kali dirilis.

Masuk ke dalam game saya menemukan satu hal lagi yang cukup mengganggu, masalah tersebut datang dari model bush atau brush. Kalau Anda sering main MOBA, Anda tentu tahu mekanik bush, tempat berupa semak-semak yang bisa digunakan pemain untuk bersembunyi. Pada kebanyakan MOBA bush biasanya berbentuk seperti namanya, yaitu semak rumput yang tinggi dan lebat.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Edit: Akbar Priono
Perbandingan bentuk dan warna bush antara Lokapala dengan dua MOBA terpopuler di mobile. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Edit: Akbar Priono

Pada Lokapala visual bush memiliki dua hal yang menurut saya cukup mengganggu. Pertama, bentuknya bukan semak rumput, melainkan terlihat seperti tanaman berbunga dengan warna yang sangat mencolok. Kedua, warna antar bush juga tidak konsisten yang mungkin bisa membuat pemain baru kebingungan. Bush bagian tengah berwarna ungu, sementara pada bush bagian pinggir terlihat berwarna merah. Semoga saja nantinya model bush bisa diperbaiki sambil tetap menunjukan ciri khas tersendiri yang membedakan Lokapala dari MOBA lain.

Berlanjut ke dalam permainan, semua berjalan lancar, setidaknya sampai beberapa menit game berjalan. Seiring waktu, permainan jadi terasa laggy. Keadaan tersebut bisa jadi datang dari dua hal, masalah optimasi game engine dan masalah optimasi server.

Dari sisi optimasi game engine, saya saat itu mencoba bermain dengan menggunakan pengaturan grafis tertinggi rata kanan. Setelah beberapa saat bermain, semakin lama animasi karakter menjadi stutter atau patah-patah setelah beberapa saat bermain. Belum lagi animasi atau gerakan karakter ketika menyerang atau mengeluarkan skill juga terasa sangat kaku, yang juga membuat saya jadi sulit menilai apakah hal tersebut merupakan stutter atau memang animasi karakter yang kurang rapih.

Hal ini terjadi mungkin karena saya menggunakan mode High Frame Rate. Jika rumor Lokapala menggunakan game engine yang sama dengan AOV dan Mobile Legends benar, maka kejadian ini jadi cukup masuk akal. Karena pada AOV dan Mobile Legends sekalipun, mode High Frame Rate kerap kali tidak stabil.

Selain itu perasaan lag juga muncul dari sisi koneksi. Ketika itu ping permainan saya hanya 8 – 16ms saja, namun pada beberapa momen saya merasakan delay yang sangat mengganggu. Beberapa kali di dalam permainan, skill yang saya lempar malah telat keluar membuatnya jadi tidak mengenai musuh. Jika ini terus terjadi, tentunya akan menjadi sangat mengganggu bagi para pemain. Apalagi jika mengatakan Lokapala sebagai game esports, hal ini tentu akan menjadi sangat kontradiktif, karena dalam permainan esports respon adalah segalanya.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Glitch Haya menyebabkan pedangnya tidak kembali setelah dilemparkan. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Sisi gameplay berikutnya adalah dari sisi hitbox. Hitbox sendiri adalah sebutan untuk sebuah kotak tak terlihat yang mendeteksi tumbukan antar objek (contohnya hero dengan skill). Pada Lokapala hitbox bisa dibilang masih inkonsisten. Jadi jika kita melempar skillshot ke satu titik tipis tertentu di bagian tubuh Ksatriya musuh, efeknya bisa jadi kena bisa jadi tidak.

Belum lagi masih ada beberapa glitch grafis yang terasa, seperti pedang Ksatriya Haya yang tertinggal setelah dilemparkan. Lalu masalah targeting yang membuat skill terlempar entah ke mana jika kita mentargetkan skill secara otomatis. Ditambah lagi efek serangan dan angka indikator damage juga terlihat kurang jelas, yang bisa membuat bingung, apakah serangan Anda sudah kena atau belum.

Lalu bagaimana dengan balancing? Rasanya agak sulit untuk bisa menilai balancing pada Lokapala jika pengalaman bermain saja masih kurang nyaman, mulai dari awal hingga akhir permainan. Satu kali saya sempat bermain menggunakan Skar, menggunakan build tank, dan menemukan ternyata hero tersebut punya damage yang cukup lumayan besar meski mayoritas item yang saya gunakan adalah item defense.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Ksatriya Haya sedang menaiki Vahana. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Mungkin satu yang cukup berbeda adalah ketidakhadiran mekanik Recall di dalam Lokapala. Recall digantikan dengan Vahana, semacam tunggangan yang sifatnya mempercepat pergerakan Anda dari satu titik ke titik lain di area map. Vahana bisa digunakan kapanpun, namun untuk mengaktifkannya Anda harus berdiam sejenak atau chanelling selama beberapa detik. Jika Anda terkena damage saat sedang mengendarai Vahana, Anda akan terjatuh dan terkena stun untuk sesaat.

Jika Anda sudah pernah memainkan MOBA mobile lainnya, mekanisme ini mungkin terasa cukup menyulitkan. Saya pun merasa demikian, karena walau Vahana mempercepat pergerakan, tanpa mekanisme Recall Anda bisa saja tertangkap ketika darah sedang sekarat. Belum lagi mekanisme ini juga terbilang cukup boros waktu, terutama jika Anda sedang push tower terdalam musuh namun sekarat dan harus pulang, menyebabkan Anda harus berjalan dengan jarak yang sangat jauh.

Kesimpulan

Pada akhirnya saya personal merasa keputusan ANANTARUPA merilis Lokapala secara publik agaknya terlalu terburu-buru. Masih terlalu banyak kekurangan pada core gameplay Lokapala. Beberapa contohnya sudah saya jabarkan saat menceritakan pengalaman saya memainkan Lokapala, mulai dari bug untuk Find Match, masalah optimasi grafis dan server, masalah hitbox dan lain sebagainya.

Kalau soal animasi dan grafis, saya rasa hal tersebut masih bisa ditoleransi, karena MOBA lainnya pun punya grafis yang tidak sebegitu bagus pada hari pertama rilis. Namun kalau soal core gameplay, saya rasa keputusan untuk merilis Lokapala secara terbuka ini berpotensi memunculkan masalah bagi sang pengembang. Bagaimanapun, impresi pertama tetap merupakan hal penting bagi pemain. Jika impresi pertama saja sudah buruk, karena terlalu banyak masalah teknis di dalam game, pemain bisa saja enggan untuk mencoba bermain kembali meski Lokapala sudah berkembang menjadi lebih baik.

Tetapi, tetap ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari Lokapala. Beberapa di antaranya seperti story dunia Lokapala yang orisinil atau art karakter yang cukup baik. Menurut saya salah satu elemen terbaik dalam game ini adalah soundtrack menu utama. Penggabungan aksen modern lewat musik orkestra khas MOBA dengan aksen khas etnik Indonesia lewat gamelan Jawa berhasil membuat saya lupa dengan segala permasalahan teknis yang ada di dalam game ini.

Lokapala saat ini masih dalam status beta. Semoga saja seiring waktu, pengembang bisa berkomitmen untuk terus memperbaiki Lokapala dari berbagai sisi dan menjadi game yang lebih baik. Karena bagaimanapun, mengembangkan game MOBA ibarat lari marathon, yang pengembangannya akan terus berjalan selama game-nya masih dimainkan…

Review Darksiders Genesis – Gaya Baru Seri Darksiders: Top-Down-Action

Beberapa waktu silam, saya menemukan game yang satu ini dan menyelesaikannya single player campaign-nya dalam waktu 46 jam. Sama seperti review Borderlands 3 yang saya tuliskan sebelumnya, saya juga memainkan semua seri Darksiders; mulai dari Darksiders, Darksiders 2, Darksiders 3, dan Darksiders Genesis.

Buat Anda yang juga memainkan ketiga seri sebelumnya, Anda mungkin terkejut juga saat melihat video gameplay atau trailer-nya yang berubah sudut kameranya jadi top-down. Lalu pertanyaannya, apakah game ini layak dibeli? Inilah review Darksiders Genesis yang akan saya bagi jadi beberapa aspek.

Oh iya, sebelum masuk ke reviewnya, saya memainkan game ini di PC dengan spesifikasi sebagai berikut:

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: Gigabyte AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB

Graphics: 76/100

Mengingat sudut pandangnya yang berubah jadi top-down, Darksidersm Genesis memang jadinya jauh lebih sederhana ketimbang Darksiders 3 yang dirilis tahun 2018 ataupun Darksiders 2. Namun demikian, detail grafisnya masih cukup diperhatikan dengan baik.

Jujur saja, bagi saya pribadi, saya lebih suka game dengan sudut pandang top-down seperti ini namun dengan detail yang baik ketimbang game third-person (dari belakang) ataupun first-person namun dengan kualitas yang seadanya — game-game free-to-play atau game mobile misalnya… uhuk…

Selain itu, dengan grafis yang sederhana, game ini pun jadi ringan dijalankan. Dengan spek yang saya gunakan tadi, game ini bisa berjalan mulus di 165fps (di monitor 165Hz) tanpa gangguan sama sekali. Saya kira hal ini juga penting disebutkan mengingat saya juga kerap menemukan game-game yang grafisnya sederhana tapi tidak mampu berjalan mulus framerate-nya.

Di PS4, harusnya game ini juga bisa berjalan mulus — mengingat kebanyakan game rilisan modern kemarin memang sudah dioptimalisasi untuk console. Red Dead Redemption 2, misalnya, adalah salah satu game yang cukup berat di PC namun cukup mulus saat dijalankan di PS4.

Story: 61/100

Jika ingin ditilik ke belakang, seri Darksiders memang bukan game yang mengedepankan aspek ceritanya. Meski begitu, cerita di setiap Darksiders memang bukan yang sesederhana jagoan melawan penjahat dan jagoannya menang, termasuk di Darksiders Genesis ini.

Ada sedikit plot twist dan intrik politis di setiap game Darksiders. Lore seri Darksiders sendiri memang berkisar soal pertempuran antara Heaven dan Hell dengan The Council yang berperan sebagai penjaga keseimbangan. The Council pun punya 4 penjaga perdamaian yang disebut horse-riders yang ditugaskan untuk menyelesaikan konflik antara pihak-pihak tadi. Keempat horse-riders tadi adalah War (yang dimainkan di Darksiders pertama dan Genesis), Death (dimainkan di Darksiders 2), Fury (Darksiders 3), dan Strife (yang bisa dimainkan di Genesis).

Dengan plot besar tadi, cerita di Darksiders Genesis ataupun Darksiders lainnya berkisar antara intrik dan manipulasi antara ketiga pihak itu. Sekali lagi, bagi saya pribadi, cerita di seri Darksiders memang tidak pernah sekuat game-game fenomenal macam Skyrim, The Witcher, ataupun Mass Effect. Karakter-karakternya pun tidak sekuat itu membangun ketertarikan atau emosi para pemainnya seperti RDR2 yang punya Arthur Morgan atau Handsome Jack di BL2. Namun ceritanya memang tidak sedatar soal pertempuran antara kebajikan dan kebatilan… Pemikiran yang mencoba mengaburkan dikotomi moral antara hitam dan putih selalu saya temukan di setiap Darksiders, termasuk Genesis.

Terakhir dari aspek storyline, penyajian cerita di sini juga ditampilkan dengan sederhana, tanpa cutscenes. Game ini hanya menyuguhkan slideshow gambar saat jeda dari permainan. Lagi-lagi bagi saya, konsep sederhana namun digarap dengan baik itu lebih menyenangkan ketimbang ambisi tinggi yang digarap setengah hati — macam game-game yang pakai cutscenes in-game tapi animasi dan ekspresi mukanya bikin ilfil.

Screenshot from Darksiders Genesis
Screenshot from Darksiders Genesis

Gameplay: 81/100

Bagi saya, inilah aspek paling penting dari sebuah game. Cerita, grafis, audio, karakter, atau apapun itu aspek lainnya tidak akan membuat game-nya asyik dimainkan jika tidak menawarkan gameplay yang menyenangkan.

Darksiders Genesis sebenarnya bisa dibilang menawarkan dua gaya pertempuran yang berbeda tergantung karakter yang Anda gunakan. Saat Anda memainkan Strife, Genesis akan berubah jadi top-down shooter. Sedangkan jika Anda memainkan War, gameplay-nya akan berubah jadi beat ‘em-up dengan sudut pandang top-down. Anda bisa berganti-ganti karakter kapanpun yang Anda mau.

Screenshot from Darksiders Genesis
Screenshot from Darksiders Genesis

Tidak ada level karakter di game ini. Namun progression-nya bisa Anda temukan dalam bentuk Creature Core. Setiap Anda mengalahkan musuh, Anda akan memiliki kesempatan mendapatkan Creature Core dari musuh tersebut. Setiap Creature Core memiliki efek yang berbeda — ada yang sama juga sih. Semakin langka musuhnya, semakin bagus pula efeknya. Efek di sini tidak hanya yang sekadar pasif +Attack, +Defend, dkk. tapi juga ada juga yang proccing (procs). Sayangnya, tidak banyak efek-efek tersebut. Saya pribadi sebenarnya suka dengan mekanisme semacam ini.

Hal tersebut memang jadi membuat game ini terasa grinding dan mengandalkan random loot namun beberapa Creature Core benar-benar membuat permainan terasa berbeda. Sayangnya, kekurangan dari mekanisme ini adalah masih lebih banyak efek status pasif ketimbang yang berupa procs.

Selain soal pertempuran dan progresi karakter, seri Darksiders juga mengusung fitur platformer dan puzzles — meski memang tidak sesulit game-game yang menaruh perhatian ke aspek tersebut. Aspek platformer-nya misalnya tidak sesulit Super Meat Boy ataupun seri Prince of Persia. Aspek puzzle-nya juga demikian. Mungkin tujuan sang developer adalah memberikan variasi yang berbeda agar tidak jenuh selalu bertarung.

Creature Cores. Screenshot from Darksiders Genesis
Creature Cores. Screenshot from Darksiders Genesis

Namun demikian, saya sendiri malah berharap aspek ini tidak ada di seri Darksiders. Fitur pertempuran yang diusung Darksiders dari game pertamanya sudah memuaskan sehingga sebenarnya tak perlu gameplay filler seperti puzzle atau platformer.

Di Genesis, aspek puzzle-nya memang lumayan mudah namun aspek platformer-nya cukup menantang jika Anda ingin mengumpulkan semua collectibles.

Akhirnya

Pertanyaannya, apakah game ini layak dibeli? Bagi saya, mengingat harganya yang murah (sekitar Rp200 ribuan di Steam dan US$40 di PlayStation Store– tak seperti harga game AAA yang berkisar antara Rp600-800 ribu), Genesis layak dibeli buat yang suka dengan seri Darksiders, suka dengan gameplay yang sederhana, ataupun memang sedang kehabisan game untuk dimainkan. Meski mungkin game ini tidak akan jadi kandidat game of the year, Genesis bisa jadi pengisi kekosongan sembari menanti game-game besar yang akan dirilis tahun ini (Cyberpunk 2077, Dying Light 2, ataupun Final Fantasy 7 Remake misalnya).