10 Mobile Games Terbaik Tahun 2020

Sebelumnya saya sudah sempat membahas turnamen esports terpopuler sepanjang tahun 2020 ini. Dalam daftar tersebut kita melihat mobile games mendominasi daftar turnamen populer selama masa pandemi di tahun 2020 ini. Memang tahun 2020 terbilang menjadi momen kebangkitan dari game mobile.

Bukan hanya dari segi esports, tetapi banyak juga aspek kesuksesan yang ditorehkan oleh game mobile di tahun 2020 ini. Maka dari itu, kali ini saya akan membahas 10 daftar game mobile terbaik di tahun 2020 ini. Tidak semua game yang ada di dalam daftar rilis di tahun 2020. Namun demikian, saya merasa game-game tersebut masih pantas masuk ke dalam daftar karena pencapaian yang mereka torehkan di dalam satu atau beberapa aspek sekaligus.

 

PUBG Mobile

Menurut saya, versi mobile dari Playerunknown’s Battleground masih tergolong sebagai salah satu game mobile terbaik juga tersukses di tahun 2020 ini. Ada beberapa alasan kenapa PUBG Mobile masuk ke dalam daftar ini. Kesuksesan PUBG Mobile sudah hampri tak tertampik lagi apabila kita melihat dari segi jumlah download ataupun total pendapatan yang mereka dapatkan.

Catatan terakhir dari Sensor Tower mengatakan bahwa PUBG Mobile sudah mengumpulkan pendapatan sebesar US$3 miliar dengan 734 juta download di seluruh dunia. Selain dari hal tersebut, PUBG Mobile juga terbilang memiliki kesuksesannya tersendiri dari segi esports ataupun terobosan secara teknologi. Dari segi esports, PUBG Mobile terbilang menjadi salah satu game esports paling populer di tingkat global saat ini. Salah satu buktinya terlihat dari betapa beragamnya perwakilan negara yang mengikuti pertandingan PMGC 2020. Secara teknologi, PUBG Mobile juga terbilang jadi salah satu game mobile pertama di dunia yang mencetuskan mode 90 fps di dalam gamenya. Dengan segala pencapaian tersebut, hampir tak terpungkiri bahwa PUBG Mobile adalah game mobile terbaik di tahun 2020 ini.

 

Mobile Legends: Bang-Bang

Masih bicara dalam hal kesuksesan dari segi esports, MLBB mungkin bisa dibilang menjadi game lain yang kesukesannya menyandingi PUBG Mobile. Secara lingkup kompetisi, MLBB terbilang kalah luas jika dibandingkan dengan PUBG Mobile. Sepanjang tahun 2020 ini MLBB hanya memiliki kompetisi setingkat Asia Tenggara, dengan kompetisi internasional bertajuk M2 World Championship direncanakan berjalan tahun 2021 mendatang. Namun demikian, kesuksesan dari segi viewership membuat MLBB menjadi salah satu game mobile yang patut diperhitungkan dan perlu masuk ke dalam daftar ini. Terakhir kali, gelaran esports MPL Indonesia bahkan sempat mencatatkan angka views yang bersaing dengan kompetisi internasional yaitu LoL Worlds 2020.

MLBB juga mencatatkan angka yang cukup fantastis secara kesuksesan bisnis. Menurut catatan Sensor Tower bulan Januari 2020 lalu, MLBB dikatakan sudah mengumpulkan pendapatan sebesar US$500 juta dengan 281 juta download. Terlepas dari segala kesuksesan tersebut, MLBB terbilang masih punya banyak PR yang harus dikerjakan agar game mereka bisa menjadi lebih baik lagi. Namun Moonton sendiri menunjukkan komitmennya dan mulai melakukan perbaikan dari segala aspek di dalam game, mulai dari tampilan, grafis, sampai sisi teknis server.

 

Genshin Impact

Walaupun baru rilis 28 September 2020 lalu, namun Genshin Impact berhasil menjadi salah satu sensasi terbesar tahun ini berkat sajian gameplay, grafis, serta story dari Mihoyo sang pengembang. Posisi game ini sebagai game tersukses dan game terbaik hampir tak tertampikkan lagi. Apalagi Genshin Impact juga terpilih sebagai Best Game of 2020 versi Google Play. Genshin Impact jadi luar biasa berkat mekanik gameplay yang menarik nan menantang. Audio-visual Genshin Impact juga terbilang luar biasa untuk ukuran mobile karena sajian grafis, voice-over karakter, serta BG music yang menawan. Terakhir, game ini juga menyajikan storyline serta obrolan antar karakter yang menarik dan menyenangkan untuk disimak.

Walau banyak yang mencibir soal kemiripannya dengan Zelda: Breath of the Wild, namun saya merasa bisa menyajikan suatu game sekelas Breath of the Wild di platform mobile adalah suatu kehebatan tersendiri. Dari segi bisnis, game ini juga mencatatkan angka pemasukan yang sangat memukau. Dua bulan pasca rilis, Sensor Tower melaporkan keuntungan yang diciptakan Genshin Impact hampir menyentuh US$400 juta dengan  10 juta lebih downloads di Google Play Store.

Among Us

Among Us terbilang menjadi satu fenomena unik tersendiri. Game tersebut sebenarnya sudah rilis sejak tahun 2018 lalu yang entah kenapa menjadi fenomena di tahun 2020 ini. Among Us bisa sukses di tahun 2020 karena beberapa hal.  Para streamer yang memainkan game ini mungkin jadi salah satu alasannya. Tapi selain itu, Among Us juga membawa gameplay familiar yang menyerupai permainan werewolf. Ditambah lagi, masa pandemi juga membuat minat main game banyak orang jadi meningkat. Alhasil, Among Us pun berhasil mencuat sebagai game ringan yang bisa dimainkan di mana saja (Mobile/PC) dan oleh berbagai kalangan.

Karena hal tersebut, jumlah download Among Us pun jadi meningkat drastis. Mengutip laporan dari Sensor Tower bulan September 2020 lalu, Among Us berhasil mencetak 86,6 juta downloads pada platform mobile. Dalam konteks lokal Indonesia, popularitas Among Us bahkan sampai berhasil menarik perhatian salah satu sosok jurnalis ternama yaitu Najwa Shihab.

 

League of Legends: Wild Rift

Ada beberapa alasan masuknya Wild Rift ke dalam daftar. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena Riot Games yang ternyata benar-benar menciptakan Wild Rift dengan berusaha memperbaiki kekurangan-kekurangan dari MOBA di mobile sebelumnya. Alhasil Wild Rift tampil dengan gameplay utama, kontrol, serta fitu-fitur baru yang membuat pengalaman bermain MOBA di mobile jadi lebih intuitif. Namun demikian, bukan berarti Wild Rift tampil dengan tanpa masalah.

Soal server yang cenderung laggy dan optimasi grafis masih jadi salah satu masalah besar yang banyak dihadapi komunitas ketika memainkan game yang satu ini. Belum lagi Wild Rift terbilang minim fitur-fitur menarik yang memperkaya pengalaman bermain Anda, entah itu fitur streaming di dalam game, fitur share hasil permainan, ataupun in-game event yang membuat permainan yang menarik. Pembahasan lebih lanjutnya bisa Anda baca sendiri pada ulasan saya terhadap Wild Rift pada masa awal-awal perilisan di bulan September 2020 lalu. Secara angka, Wild Rift sudah mencatatkan 10 juta download lebih di Google Play Store.

 

Call of Duty Mobile

Rilis tahun 2019 lalu, kesuksesan Call of Duty Mobile di Indonesia mungkin terbilang tidak seberapa jika kita membandingkannya dengan beberapa game shooter lain seperti Free Fire ataupun PUBG Mobile. Terlepas dari itu saya tetap merasa Call of Duty Mobile adalah iterasi game shooter terbaik, bahkan di tahun 2020 sekalipun. Saya merasa tidak mudah untuk bisa membuat game dengan genre First Person Shooter bisa dimainkan dengan nyaman pada perangkat mobile. Namun, TiMi Studios berhasil menembus batas tersebut dan menciptakan COD Mobile yang terbilang sebagai salah satu game FPS di mobile terbaik. Secara internasional, COD Mobile terbilang cukup sukses secara bisnis. Catatan bulan Oktober dari Sensor Tower mengatakan bahwa COD Mobile sudah mengumpulkan US$500 juta pendapatan dengan 270 juta total download.

 

Legends of Runeterra

Legends of Runeterra adalah satu dari dua mobile games yang dirilis oleh Riot Games di tahun 2020 ini. Sebagai developer game PC, saya merasa Riot Games berhasil menciptakan mobile games dengan cukup baik. LoR jadi salah satu contohnya. Merupakan game kartu dengan tema dunia League of Legends, LoR menyajikan kesegaran di tengah pasar genre CCG yang sudah ada. Kesegaran tersebut tampil lewat mekanik yang disajikan berupa kemampuan untuk menaikan level kartu berkategori Champion dan gaya main saling merespon terhadap pergerakan musuh.

Terlebih, Runeterra juga memberikan skema yang cenderung ramah bagi free players dan terbilang menjawab kejenuhan pemain game kartu yang kadang perlu mengeluarkan sejumlah uang demi mendapatkan kartu yang cocok. Dari segi angka, LoR dengan usianya yang cukup belia juga terbilang cukup sukses dan mencatatkan 5 juta lebih total downloads di Google Play Store.

 

Mario Kart Tour

Rilis September 2019 lalu, Mario Kart Tour masuk ke dalam daftar ini karena permainannya yang super casual dan cocok untuk semua kalangan. Pada tahun 2019, game seperti ini mungkin terlihat jadi biasa saja karena gameplay-nya yang cenderung santai. Tapi di tahun 2020 ini ketika pandemi menyerang, saya merasa game seperti Mario Kart Tour menjadi salah satu yang patut Anda mainkan untuk mengisi waktu sengang di tengah kepenatan bermain game kompetitif.

Mario Kart Tour terbilang cukup lengkap dari segala aspek. Punya skema kontrol yang mudah, gaya grafis menyenangkan khas Nintendo, dan gameplay yang sama persis dengan Mario Kart yang selama ini ada menjadi 3 aspek yang membuat saya berpikir bahwa game ini masih tergolong yang terbaik di tahun 2020 sekalipun. Catatan Sensor Tower di awal Januari mengatakan bahwa Mario Kart Tour telah mengumpulkan US$76 juta dengan 147 juta total downloads.

Dragon Raja

Ketika kita tidak bisa banyak pergi keluar rumah selama masa pandemi ini, game MMORPG terbilang bisa menjadi salah satu genre pilihan untuk dimainkan karena banyaknya ragam konten yang biasanya disediakan dalam game tersebut. Maka dari itu saya memasukkan Dragon Raja ke dalam daftar ini. Sebagai game MMORPG, Dragon Raja terbilang amat sangat lengkap. Dragon Raja punya berbagai macam aktivitas yang bisa Anda lakukan di dalam game. Mulai dari kegiatan-kegiatan seperti farming, grinding, atau questing yang jadi standar di MMORPG, sampai aktivitas-aktivitas nyeleneh seperti bermain mini game balapan sampai battle royale. Aktivitas yang beragam tersebut menjadi semakin lengkap dengan balutan grafis ciamik yang disajikan oleh Archosaur Games di dalam game Dragon Raja.

 

NBA 2K20


Berbeda dengan game-game sebelumnya yang bersifat free to play, NBA 2K20 adalah game premium yang mengharuskan Anda membayar sebelum bisa dimainkan. NBA 2K20 dijual seharga Rp83.000 di Google Play Store. Namun demikian, harga tersebut terbilang sebagai harga yang patut mengingat game NBA 2K20 yang terbilang cukup solid untuk mobile. Sebagai game olahraga, NBA 2K20 punya kombinasi lengkap yang membuatnya patut untuk dibeli. Game tersebut punya grafis yang detil mulai dari sisi pemain hinggi kondisi lapangan pertandingan. NBA 2K20 juga punya kontrol intuituif, dengan ragam mode gameplay yang menarik. Memang NBA 2K20 dirilis di tahun 2019 lalu. Namun saya merasa apabila Anda penggemar olahraga basket, NBA 2K20 mungkin bisa menjadi salah satu alternatif.

Review Catalyst Black: Sensasi Keseruan Pertandingan 10 vs 10

Secara mengejutkan, Super Evil Megacorp meluncurkan versi “Geo-Beta Indonesia” untuk game terbaru yang berjudul Catalyst Black pada 7 November 2020 kemarin. Sang pengembang game Vainglory tersebut memang sudah terlihat mulai sibuk mempersiapkan sesuatu sejak dari 6 November 2019. Ketika itu, Super Evil Megacorp mengumumkan sesuatu bernama “Project Spellfire” yang akhirnya diungkap sebagai sebuah game bernama “Catalyst Black” pada tanggal 30 April 2020 kemarin.

Sebagai seorang penggemar Vainglory, rasa penasaran saya memuncak ketika Super Evil Megacorp mengumumkan akses terbuka terhadap Catalyst Black. Setelah meng-install dan mencobanya, ternyata Catalyst Black berhasil menyedot perhatian saya. Akhirnya sepanjang akhir pekan kemarin pun saya jadi keranjingan main Catalyst Black selama beberapa saat. Kenapa bisa begitu? Berikut ulasan saya terhadap game Catalyst Black.

 

Tiga Elemen Bersatu, MOBA + Battleground + Shooter

Menjadi inovatif sepertinya sudah ada di dalam nadi Super Evil Megacorp sebagai perusahaan pengembang game. Jika kita melihat ke belakang, Vainglory juga terbilang inovatif pada zamannya. Tahun 2014, ketika game bersifat real-time multiplayer untuk mobile masih seperti mitos, Super Evil Megacorp memutuskan mendobrak pintu tersebut dan menciptakan Vainglory.

Tak hanya itu, mereka juga menciptakan format 3 vs 3 di mobile. Dengan format tersebut Vainglory berhasil menyeimbangkan kesederhanaan game mobile dengan kompleksitas genre MOBA yang ada di PC. Walaupun begitu, Super Evil Megacorp terbilang tidak sepenuhnya mendobrak keadaan. Sebenarnya sudah ada juga beberapa MOBA untuk mobile pada zaman itu. Walau demikian, Vainglory terbilang menjadi salah satu MOBA pertama untuk mobile yang paling solid secara gameplay sebelum akhirnya Mobile Legends dan AOV rilis.

Dalam hal Catalyst Black, Super Evil Megacorp menyajikan konsep segar dalam bentuk genre yang disebut sebagai “Battleground Shooter”. Sebutan itu terbilang cukup asing karena nama genre Battleground Shooter terbilang belum pernah digunakan oleh developer game lain. Dibilang Shooter karena aksi peperangan Catalyst Black melibatkan tembak menembak antar pemain dengan menggunakan senjata api dari sudut pandang orang ketiga. Tapi apa maksudnya genre Battleground?

Dalam satu permainan, Catalyst Black bisa berisi sampai dengan 20 orang dengan format 10 pemain melawan 10 pemain. Walaupun begitu, jumlah dan ukuran medan pertempuran bisa bervariasi. Kadang Anda bisa bermain 5 vs 5 dengan map yang kecil atau bisa bermain di map yang besar dengan jumlah yang saya sebut di atas. Mungkin hal tersebut adalah alasan kenapa Catalyst Black dikelompokkan dalam genre “Battleground”.

Tapi jangan sampai salah kaprah antara Battleground dengan Battle Royale. Ciri khas genre Battle Royale adalah menjadi last-man standing. Sementara pada sisi lain, gameplay Catalyst Black bukan untuk menjadi last-man standing, melainkan bertarung dalam format tim vs tim dengan beberapa objektif. Jadi kalau harus dideskripsikan lebih sederhana lagi, Catalyst Black bisa dibilang punya gameplay mirip dengan Brawl Stars besutan Supercell tapi dengan tempo yang lebih cepat dan jumlah pemain yang lebih banyak di dalam satu pertandingan.

Bicara soal objektif permainan, Catalyst Black menyajikan tiga mode permainan pada fase geo-beta ini. Tiga mode tersebut adalah Capture The Flag, Flag Hunter, dan Core Rush.

Dalam mode Capture the Flag tugas Anda adalah untuk menyerang markas musuh, mencuri bendera, lalu membawanya ke markas Anda sendiri. Mode Flag Hunter agak mirip dengan mode Gem Grab di dalam game Brawl Stars. Tugas Anda sebagai pemain adalah mengalahkan monster besar yang memegang bendera. Setelah berhasil dikalahkan, ambil dan pertahankan bendera sebanyak mungkin sampai durasi permainan habis. Terakhir ada mode Core Rush. Dalam mode tersebut pemain memiliki tugas untuk mengalahkan monster besar bernama Keepers dan Alpha Keepers. Setelah sang monster dikalahkan, pertahankan area di sekitar tempat Anda mengalahkan monster selama beberapa saat. Mengalahkan Keepers memberikan 1 poin, mengalahkan Alpha Keepers memberikan 3 poin.

Sumber: Official SEMC
Sumber: Official SEMC

Menurut saya, Core Rush adalah mode yang membuat Catalyst Black unik. Mode tersebut juga menjadi salah satu mode Super Evil Megacorp menyelipkan sedikit elemen MOBA ke dalam Catalyst Black. Biasanya ada waktu tertentu Anda berebut monster besar demi mendapatkan Monster Buff di MOBA.

MLBB punya Lord, AOV punya Dark Slayer (DS), dan Wild Rift punya Baron untuk diperebutkan. Bertarung 5 vs 5 memperebutkan satu buah Lord/DS/Baron saja serunya sudah minta ampun. Sekarang coba bayangkan berebut 3 buah Lord/DS/Baron dalam format pertarungan 10 vs 10? Seperti itulah cerita saya kalau ada orang menanyakan “Catalyst Black seru atau enggak sih?” atau “seseru apa sih Catalyst Black?”.

 

Gameplay Kompetitif namun Terasa Casual Berkat Sistem Drop-In Drop-Out

Inti permainan Catalyst Black terbilang sangat kompetitif. Mode Core Rush mungkin bisa jadi contoh mode permainan yang paling kompetitif dari Catalyst Black. Dalam mode tersebut kita harus mengalahkan Keepers (Semacam Lord versi Catalyst Black) lalu mengambil Keepers Core untuk mendapat poin. Tim yang lebih dulu mencapai 15 poin (map besar) atau 10 poin (map kecil) akan menjadi pemenang.

Bayangkan apabila perolehan poin sedang sengit, 9-10 misalnya. Dalam keadaan tersebut pertarungan bisa menjadi begitu intens dan kompetitif karena ada 10 orang dari masing-masing tim saling memperebutkan satu area yang ditunjuk.

Serunya sensasi perang secara online lewat Catalyst Black. Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Serunya sensasi perang secara online lewat Catalyst Black. Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Menembak musuh adalah perkara mudah di Catalyst Black karena ada fitur auto-aim. Walau begitu Anda tetap butuh strategi yang tepat dalam memainkan Loadout yang Anda gunakan (lebih lanjut soal sistem Loadout akan kita bahas nanti). Salah langkah sedikit, Anda akan mati dan tim Anda akan kekurangan pasukan. Apabila kekurangan pasukan, maka usaha untuk memperebutkan area pun jadi jauh lebih sulit.

Meski saya menikmati Catalyst Black sebagai pemain kompetitif, saya merasa game ini membuka ruang yang cukup besar untuk para pemain casual. Mungkin ini juga terbilang sebagai pelajaran lain yang SEMC pelajari dari proses mereka mengembangkan Vainglory.

Dalam satu sesi Hybrid Talk saya sempat berbincang dengan Kevin Michael Johnson atau “Cloaken” selaku Live Design Director dari Super Evil Megacorp. Ketika itu Cloaken sempat menjelaskan bahwa salah satu yang mereka pelajari dari Vainglory adalah waktu matchmaking yang lama. Karena hal tersebut, beberapa pemain jadi merasa tidak nyaman.

Apalagi juga mengingat pola konsumsi game mobile yang cenderung ingin serba cepat. Menanggapi hal tersebut, maka Super Evil Megacorp menerapkan sistem Drop-In Drop-Out atau disingkat DIDO di dalam Catalyst Black.

Sebenarnya dalam perbincangan tersebut, Cloaken menjelaskan lebih lanjut cara sistem DIDO bekerja. Tetapi pada intinya, di dalam Catalyst Black Anda bisa keluar-masuk suatu pertandingan kapanpun Anda mau.

Saya tidak merasa terlalu takjub ketika awal mencobanya. Karena saya merasa bisa keluar pertandingan kapan saja bukan sesuatu yang spesial. Walau begitu, fitur tersebut tetap berguna terutama untuk menghindari hukuman AFK. Jadi Anda tidak perlu khawatir lagi kalau tiba-tiba disuruh mak membeli beras di warung ketika sedang main. Anda bisa keluar dari pertandingan kapanpun Anda mau dan tidak mendapat hukuman.

Tapi untuk saya yang bermental kompetitif sih, bisa keluar pertandingan kapanpun terbilang kurang terasa bermanfaat. Karena biasanya saya sudah meluangkan satu waktu untuk fokus sepenuhnya bermain game dan menyelesaikan pertandingan. Paling-paling, fitur tersebut baru berguna bagi saya apabila lagi asyik main lalu tiba-tiba ditelpon pacar… Hehe.

Istimewanya dari penerapan fitur tadi adalah kemungkinan untuk gabung pertandingan kawan kapanpun Anda mau. Ketika baru rilis, beberapa pemain sempat kelabakan karena bingung tidak ada fitur Party. Melihat keadaan tersebut, saya lalu mencoba Add Friend secara acak dari kawan-lawan yang saya temui di dalam pertandingan. Ternyata benar, fitur Party memang tidak ada. Tapi sebagai gantinya, kita bisa tahu apabila kawan sedang bermain dan mode permainan apa yang sedang ia mainkan. Apabila Anda ingin mabar, ada tombol Join di sebelah nickname yang langsung membawa Anda ke dalam pertandingan yang sedang dijalani sang teman.

Walau bisa Join kapapnpun yang kita mau, sistem DIDO tidak bisa memastikan apakah kita akan menjadi kawan atau lawan dari teman yang sedang bertanding. Fokus sistem DIDO adalah untuk terus menyeimbangkan pertandingan. Apabila ada satu orang dari fraksi biru keluar dari pertandingan, maka pemain baru yang join akan dimasukkan ke dalam fraksi tersebut demi menyeimbangkan jumlah pemain antar tim di dalam pertandingan.

Hal tersebut mungkin juga jadi alasan kenapa fitur Party jadi tidak ada. Mengapa begitu? Karena fitur Party bisa jadi membuat pertandingan tidak adil. Pemain dalam Party tentu berharap bisa disatukan di dalam satu tim tim.

Jika skenario yang saya sebut di atas terjadi, kehadiran fitur Party bisa saja membuat satu fraksi punya jumlah pemain yang lebih banyak dibanding fraksi lainnya. Kenapa begitu? Karena satu orang yang keluar jadi bisa digantikan dengan beberapa orang sekaligus dari Party. Dampak dari hal tersebut adalah jumlah anggota tim yang bertanding jadi tidak seimbang.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Game akan memberi tahu apabila teman dari Friend List bergabung ke dalam pertandingan Anda. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Selain itu, sistem Catalyst Black juga sangat informatif terhadap teman dalam Friend List yang bergabung ke dalam pertandingan. Selain diberi tahu dalam bentuk announcer, sistem juga akan membedakan warna Heatlh Bar teman di dalam Friend List yang bergabung ke dalam pertandingan kita. Berkat sistem ini, pemain jadi punya pilihan “mabar” yang menarik.

Misalkan teman tergabung ke dalam pertandingan sebagai lawan, Anda mungkin bisa cegat pergerakannya dan ajak duel adu tembak teman Anda terlepas dari kondisi yang sedang terjadi di dalam pertandingan.

Misalkan teman tergabung ke dalam pertandingan sebagai kawan, maka Anda jadi bisa koordinasi lebih mudah untuk memenangkan pertandingan. Jadi, bermain bersama kawan di Catalyst Black sebenarnya terbilang cukup mudah. Selain langsung Join dari pertandingan yang sudah berjalan, Anda mungkin juga bisa menyiasatinya dengan cara Find Match secara bersamaan agar tergabung di dalam satu pertandingan yang sama.

Selain bisa keluar dari pertandingan kapanpun Anda mau, saya juga merasa permainan Catalyst Black cenderung mudah dan sangat casual-friendly walaupun memiliki kedalaman mekanik yang bersifat kompetitif.

Berhubung format pertandingan bisa mencapai 10 vs 10, sekadar asal tembak dan membunuh lawan yang ada di hadapan juga sudah tergolong membantu memenangkan permainan. Tidak perlu repot memikirkan objektif apa yang harus direbut ataupun strategi tertentu untuk bisa memenangkan permainan.

Tapi Anda juga bisa main “mikir” dan kompetitif di dalam Catalyst Black. Penyebabnya adalah karena game ini memiliki beberapa objektif yang jelas, sistem Loadout beragam dengan gaya main yang berbeda-beda, dan mekanik permainan yang beragam layaknya sebuah game MOBA.

 

Grafis Ciamik yang Teroptimasi Berkat EVIL Engine

Catalyst Black masih mewarisi peninggalan Vainglory. Catalyst Black menggunakan EVIL Engine yang terkenal bisa memproduksi grafis ciamik serta frame mulus tanpa harus memberi beban yang terlalu berat kepada komponen hardware di dalam smartphone.

Walaupun SEMC tidak merilis kebutuhan minimum hardware smartphone untuk memainkan Catalyst Black, tetapi saya merasa bahwa game ini sangat ringan. Saya sangat jarang merasakan lagframe-drop, ataupun stutter sepanjang saya memainkan Catalyst Black. Padahal, Anda bisa bayangkan sendiri betapa hebohnya efek tembakan, ledakan, dan cabikan dari monster apabila pertarungan 10 vs 10 + monster Alpha Keepers sedang berjalan begitu intens.

Device yang saya gunakan memang tergolong kelas menengah menuju atas yaitu Pocopohone F1 dan Samsung Galaxy A31. Pengaturan grafis default pada Pocophone F1 adalah Medium Detail dan Graphic Scale sebesar 70 poin. Sementara pada Samsung Galaxy 31 saya mendapat pengaturan grafis default berupa Medium Detail dan Graphic Scale sebesar 50 poin.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Hadir dengan gaya visual baru, Catalyst Black tetap menyajikan grafis ciamik khas dari game besutan SEMC. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Contoh lain keindahan visual yang ditampilkan oleh Catalyst Black. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Dengan pengaturan default, saya dapat menikmati Catalyst Black dengan animasi 60 fps yang mulus pada dua smartphone tersebut. Frame Rate game tetap bertahan pada kisaran 60an walaupun pertarungan sedang berjalan dengan intens.

Tapi memang, pengaturan default pada Samsung Galaxy A31 membuat game jadi terlihat “burik”. Model karakter jadi bergerigi dan terlihat “8-bit” walaupun lingkungan game secara keseluruhan masih sedap dipandang. Sementara pengaturan defaut pada Pocophone F1 terbilang tidak banyak memberi masalah. Animasinya mulus dan grafis juga lebih tajam karena tingkat Graphic Scale yang lebih tinggi.

Saya lalu mencoba mengotak-atik grafis sambil mencari pengaturan paling optimal. Saya menggunakan Samsung Galaxy A31 supaya hasil percobaan saya bisa lebih mewakili para pengguna device “kentang”.

Pertama-tama saya mencoba dengan pengaturan grafis rata kanan, High Detail, Graphic Scale sebesar 100 %, dengan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures menyala. Hasilnya game jadi kurang playable walaupun grafis jadi sangat memikat. Game jadi kurang playable karena animasi menjadi sangat kasar, mungkin sekitar 10-15 fps. Karena animasinya tidak mulus, memperkirakan gerakan musuh jadi terasa sangat sulit.

Setelah itu saya lalu mencoba menjalankan game dengan Low Detail, Graphic Scale sebesar 100 poin, dengan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures menyala. Hasilnya adalah animasi game berjalan mulus 60 fps dengan mempertahankan kualitas grafis.

High Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
High Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 0. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 0. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Selain itu, saya juga merasa perbandingan kualitas grafis antara pengaturan Low Detail dengan High Quality Detail tidak berbeda jauh. Jadi sepertinya Low Detail dengan Graphic Scale 100 poin adalah pengaturan paling optimal untuk mendapatkan grafis paling ciamik dengan animasi paling mulus. Perbandingannya bisa Anda lihat sendiri pada kumpulan tangkapan gambar saya di atas paragraf ini.

Selain opsi tersebut, pengaturan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures sepertinya tidak terlalu mempengaruhi performa game. Saya jadi berpendapat demikian karena animasi game tetap kasar walaupun dua opsi tersebut dimatikan saat saya menggunakan pengaturan rata kanan. Pada sisi lain, animasi game tetap halus ketika saya menyalakan dua opsi tersebut pada pengaturan Low Detail.

 

Sistem Loadout Dengan Potensi Menjadi Game Pay to Win?

Catalyst Black menggunakan sistem Loadout yang bisa diganti-ganti sebelum Anda terjun ke dalam pertempuran. Selain jenis senjata, ada banyak komponen lain pada karakter Anda yang bisa diganti. Cloaken menjelaskan sistem Loadout dengan tingkat kustomisasi yang beragam tersebut dibuat dengan maksud agar pemain jadi bisa merasakan pengalaman membuat “Hero MOBA mereka sendiri”.

Anda mau main layaknya Assassin? Main layaknya Marksmen? Atau main seperti Tanker? Tinggal pilih saja Loadout untuk menyesuaikan gaya main Anda. Loadout memiliki 7 komponen yang dapat diganti. Ada Masks, Power, Relic, Abilty, Trinket, Primary, dan Heavy.

Primary dan Heavy adalah senapan utama dan sekunder. Senjata utama bisa berupa senapan Rifle, Sniper, Shotgun, Rocket Launcher, Flak, atau Mortar. Mirip seperti game Shooter lain, senjata Primary akan habis pelurunya setelah digunakan untuk beberapa saat. Pemain harus reload untuk mengisi ulang senjata dan bisa melanjutkan tembakkan. Heavy adalah senjata sekunder. Tipe senjatanya masih mirip dengan Primary, hanya saja punya damage yang lebih besar. Senjata Heavy baru bisa digunakan setelah Anda mengumpulkan “loot” peluru di dalam peperangan.

Tangkapan Pribadi Akbar Priono
Tangkapan Pribadi Akbar Priono

Masks ibarat seperti skill ulti di dalam game MOBA. Masks memungkinkan pemain berubah menjadi Ancient Primal, monster besar dengan kemampuan perusak yang kuat. Ketika memulai permainan, Masks akan cooldown selama beberapa ratus detik. Cooldown tersebut dapat berkurang apabila Anda mengumpulkan semacam loot energi di dalam peperangan. Hanya ada 5 jenis Masks di Catalyst Black. Masing-masing Ancient Primal punya karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai awalan Anda menggunakan Sunder, Ancient Primal dengan serangan melee berupa cakaran yang kuat.

Selanjutnya, Power, Relic, Ability, dan Trinket sebagai pelengkap pertarungan Anda. Ability dan Trinket adalah pelengkap untuk bertarung dalam wujud manusia. Ability memberikan kemampuan tambahan kepada pemain. Ability yang diberikan di awal permainan adalah Catalytic Heal yang bisa menyembuhkan kawan di dekat Anda. Trinket ibarat seperti skill pasif di dalam game MOBA. Secara default Anda akan diberikan Belt of Phasing yang akan memberi Anda Shield setelah melakukan dodge.

Pada sisi lain, Power dan Relic adalah pelengkap pertarungan dalam wujud Ancient Primal. Power adalah pilihan skill yang bisa Anda gunakan ketika dalam wujud Ancient Primal. Secara default, Power Anda adalah Leap Slam yang memungkinkan Sunder melompat dan memberi damage mematikan ke arah lawan. Terakhir ada Relic yang mirip seperti skill pasif MOBA. Namun bedanya Relic hanya aktif ketika Anda dalam wujud Ancient Primal. Secara default Anda memiliki Relic bernama Feral Inspiration yang membuat kawan di sekitarnya memberikan damage lebih besar saat Anda dalam wujud Sunder.

Masing-masing Loadout bisa di-upgrade untuk menambah damage dan bonus stats yang diberikan. Masing-masing Loadout juga bisa ditempeli Mod untuk memberi tambahan kekuatan pasif.

Selain itu, masing-masing Loadout juga memiliki beberapa variasi. Namun variasi tersebut hanya bisa dibuka melalui progress permainan atau membeli. Karena Anda bisa membeli untuk membuka variasi kemampuan tambahan, banyak yang merasa kalau Catalyst Black punya kecenderungan pay-to-win.

Walau begitu saya merasa ungkapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Mungkin akan lebih tepat kalau dikatakan sebagai pay-to-progress. Mengapa demikian? Karena kemenangan Anda tidak terjamin 100% walaupun Anda membeli bundel Luma Issia Set yang harganya hampir mencapai Rp1,5 juta di dalam game.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Tapi, kesempatan menang Anda mungkin jadi lebih besar. Penyebabnya adalah karena dalam paket tersebut Anda mendapat variasi Masks, Power, Relic, Primary dan Heavy Weapon, serta Mod yang cenderung lebih kuat dibanding persenjataan Default. Walaupun begitu, pertarungan di dalam Catalyst Black tetaplah tim melawan tim, 10 vs 10. Satu orang dengan persenjataan yang sangat kuat belum tentu bisa mengalahkan semua pemain di dalam peperangan secara sekaligus.

Mungkin bisa dibilang monetisasi yang dilakukan SEMC dalam Catalyst Black mirip seperti Supercell dalam Brawl Stars. Tanpa membeli sekalipun, kekuatan karakter Anda masih bisa meningkat. Tapi jika Anda membeli, maka kekuatan karakter Anda akan meningkat lebih cepat. Mungkin satu-satunya yang kurang menyenangkan dari sistem monetisasi ini adalah pembatasan progress yang bisa didapatkan pemain dalam satu hari.

SEMC menerapkan semacam sistem “energi” di dalam Catalyst Black. Dalam keadaan energi penuh, Anda akan mendapatkan XP perlengkapan yang lebih banyak apabila menang pertandingan.

Tapi kalau energi sudah habis, XP yang Anda dapat akan menjadi sangat dikit sekali. Selain itu SEMC juga menerapkan sistem Quest harian yang terbilang terlalu sedikit. Hanya ada dua Quest yaitu First Win of the Day dan dapatkan 3 Win dalam satu hari. Selain itu ada Quest Mingguan yang cuma satu buah dan bahkan bisa diselesaikan dalam satu hari jika Anda niat. Quest berhadiah Dust dan Quint. Dust bisa digunakan untuk menaikkan level senjata sementara Quint bisa digunakan untuk membeli variasi Loadout.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Daftar Quest harian. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Hadiah yang didapat dari Quest harian. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Bundle perkenalan seharga Rp15.000 yang isinya kurang memuaskan. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Berhubung semua kemungkinan progress sangat dibatasi, maka ada kemungkinan pemain yang bersifat kompetitif jadi terpancing untuk membeli demi bisa membuat karakter jadi lebih kuat. Saya sempat mencoba membeli Bundle “perkenalan” seharga Rp15.000.

Hasilnya saya sangat tidak puas karena bundle tersebut hanya membuka sedikit variasi Loadout yang ada di dalam permainan. Jadi… Mungkin Anda benar-benar harus membeli bundle seharga Rp1,5 juta apabila ingin punya banyak variasi Loadout di dalam peperangan.

Apakah sistem tersebut membuat Catalyst Black menjadi pay-to-win? Saya sih masih kurang setuju karena sejauh ini pertandingan masih berjalan dengan seimbang walau mungkin ada beberapa pemain punya Loadout lebih bervariasi karena uang.

Selain itu, Loadout yang lebih kuat dan bervariasi juga tidak menjamin kemenangan. Karena pada kenyataanya Anda masih tetap butuh skill, strategi, dan pemahaman terhadap permainan untuk bisa memenangkan pertandingan. Mungkin nanti pendapat saya akan berubah kalau ternyata saya terus-terusan kalah dengan pemain yang top-up Rp1,5 juta… Hehe.

 

Melihat Kemungkinan Catalyst Black Sebagai Esports

Di zaman serba esports seperti sekarang, sepertinya tidak salah untuk mempertanyakan kemungkinan dari Catalyst Black sebagai esports. Jika melihat dari sudut pandang gameplay, menurut saya jawabannya adalah sangat mungkin. Malah, Catalyst Black bisa menawarkan konsep esports yang unik karena mode pertandingannya bisa mencapai 10 vs 10. Selain itu, penyebab lainnya adalah karena bermain Catalyst Black mengharuskan para pemainnya memiliki kemampuan makro seperti taktik dan strategi, serta kemampuan mikro seperti kemampuan kalkulasi dan pemahaman mekanik menggunakan skill.

Tetap jika kita melihat dari sisi kesiapan game-nya itu sendiri, saya bisa bilang bahwa esports Catalyst Black sepertinya masih jauh dari pandangan SEMC. Bukti pernyataan saya tersebut bisa terlihat salah satunya dari mode Custom Game yang masih belum tersedia pada fase Geo-Beta Indonesia saat ini. Selain itu Cloaken juga sempat menjelaskan kepada saya bahwa fokus pihak SEMC untuk saat ini adalah menciptakan sebuah game yang solid terlebih dahulu.

Tidak heran juga apabila SEMC memilih untuk tidak terburu-buru menuju ke esports dalam prosesnya mengembangkan Catalyst Black. Hal tersebut mengingat pengalaman mereka bersama Vainglory yang justru malah jadi gagal berantakan ketika SEMC terlalu banyak berinvestasi untuk esports. Terlepas dari semua itu, saya sendiri sangat berharap suatu hari nanti bisa ada esports Catalyst Black. Gameplay-nya yang unik dan format pertandingannya yang beda, menurut saya, membuat Catalyst Black akan memiliki daya tarik baru di dalam ekosistem esports nantinya.

Impresi Awal FIFA 21, Fresh Baik di Desain atau di Pengalaman Bermain

Hybrid mendapatkan akses lebih cepat untuk seri game sejuta umat, FIFA dari EA atau Electronic Arts. Sayangnya, meski sudah mendapatkan game ini untuk dicoba sejak Jumat (selesain di unduh), kami baru bisa mempublikasikan impresi awal ini tanggal 6 Oktober, sesuai NDA yang harus kami patuhi. Lalu seperti apa pengalaman bermain awal di FIFA 21? Berikut artikelnya.

Sebagai catatan awal untuk pembuka, saya sendiri cukup lama bermain seri game olahraga baik yang dari EA atau dari Konami sejak awal WE (Winning Eleven). Namun ketika FIFA hadir dengan kerjasama dengan klub bola yang menghadirkan nama tim dan pemain yang lebih real, saya dengan berat hati harus meninggalkan WE dan bermain FIFA.

Sempat beralih ke PES lagi ketika FIFA 19 cukup menyebalkan untuk dimainkan, dan akhirnya di seri FIFA 20 saya kembali bermain FIFA, sampai akhirnya cukup keranjingan FUT dan penasaran untuk bermain FUT lagi di seri FIFA 21.

Dari sisi skill, terus terang saya hanya masuk ke kategori pemain kasual yang bertanding secara kompetitif dengan teman-teman komunitas atau kantor. Sebelumnya tidak pernah mencoba FUT karena takut dompet jebol, meski akhirnya mencobanya di FIFA 20 dan ternyata kantong masih aman karena kalau tekun sebenarnya tidak perlu juga untuk mengeluarkan uang berlebih.

Untuk platform, baik FIFA 20 dan sekarang FIFA 21 saya coba mainkan di PS4.

FIFA 21

 

Kenangan FIFA 20

Satu hal yang saya ingat dari FIFA 20 adalah, ini permainan, sulitnya bukan main. Bayangkan Anda sebagai pemain asli dan pintar menggocek layaknya bermain sepak bola beneran. Hampir semua tombol yang ada di stik PS harus Anda kuasai untuk bisa melakukan gerakan sempurna. Lalu, seperti halnya game Fighting, ada banyak kombo tombol yang harus diingat, dan terakhir, defense di game ini sulitnya sampe bikin monitor pengen dibanting.

Untuk FUT dua hal yang cukup menyebalkan dalam menyiapkan pemain adalah stamina dan fitness cards, karena selain harus memikirkan kontrak selain chemistry dan rating, pemain juga harus memikirkan stamina mereka, dan kadang keluar koin untuk beli jika tidak punya. Untungnya FIFA 21 sudah tidak ada lagi, dan kini kita sebagai player bisa fokus untuk memilih pemain terbaik, dengan chemistry dan rating tertinggi dan fokus berlatih agar bisa menang. Atau Anda juga bisa fokus untuk mendapatkan ‘hadiah’ di SBC (Squad Building Challenge).

Kenangan yang lain adalah lebih ke mekanis atau detail saat bermain game. Salah satunya adalah collision system, yang terasa kurang real, dan akhirnya diperbaiki di seri FIFA selanjutnya.

Yang lebih fresh di FIFA 21

Kalau melihat situs resmi dan juga informasi di artikel Hybrid sebelumnya, beberapa hal yang ditonjolkan EA untuk seri baru ini antara lain adalah kreativitas yang berhubungan dengan dribbling, berbagai fitur baru untuk VOLTA, lalu fitur-fitur tambahan untuk mode karir dan tentu saja peremajaan dari sisi desain dan lagu.

Tentu saja waktu beberapa hari tidak memungkinkan untuk mengeksplor secara detail semua fitur atau elemen gameplay dari FIFA 21, untuk itu artikel ini disematkan judul impresi awal. Sebenarnya mungkin saja bisa run through career mode secara mendalam, tapi saya harus merelakan Squad Building di awal dari mode FUT, dan saya lebih memilih untuk mulai menyusun tim di FUT alih-laih Career Mode. Tetapi sebagai impresi awal, dua mode yang cukup banyak dipromosikan EA, yaitu Career Mode dan Volta juga saya coba cicipi.

Untuk secara general beberapa catatan atas pengalaman penggunaan awal di game ini yang bisa saya catat adalah a very fresh new look dari sisi UI dan UX. Untuk desain, menu dan beberapa hal lain yang masuk dalam tampilan, game ini cukup memberikan penyegaran dari seri sebelumnya.

Awalnya saya agak ragu dengan desain cover yang muncul lebih dulu, karena terasa terlalu edgy, tetapi setelah masuk ke dalam game-nya, EA cukup menarik memberikan sentuhan desain modern pada franchise populer sepakbola ini. Flow akses menu juga beberapa ada yang diubah.

Misalnya saja untuk menu FUT, sekarang Anda bisa akses squad langsung dengan hanya menekan ke bawah stick L. Menu kustomisasi stadium juga dibuat lebih detail seperti mengganti warna, suara ketika menang sampai dengan elemen lain seperti badge atau hiasan stadion lain (tifo) yang memang sudah ada di game seri sebelumnya. Akses stadium juga bisa dilakukan dengan cepat di menu FUT utama dengan menekan stick L ke atas.

 

Secara desain, overall saya merasakan aura yang cukup segar dengan beberapa akses menu yang berbeda. Elemen-elemen desain juga hadir dengan menarik dan cukup pas. Warna dominan biru-ungu agak gelap juga cukup oke, meski ini bisa jadi masalah selera.

Elemen non gameplay lain yang cukup menarik dibahas adalah tentang soundtrack atau lagu. Saya ingat ketika bermain FIFA seri 2013 (iya selama itu), ketika menjelajah menu ada satu lagu yang sangat pas di telinga saya dan membuat saya akhirnya mencoba mencari band yang memainkannya dan akhirnya memasukan di playlist kesukaan.

Soundtrack di game kadang memang tidak terlalu diperhatikan. Apalagi mereka yang mencari tujuan hanya untuk bermain, misalnya setup di kantor atau mungkin di rental. Tetapi jika Anda memainkan game ini secara intens, misalnya menjelajah Career Mode atau mengatur pemain di FUT, maka lagu menjadi bagian penting karena akan menemani Anda selama berjam-jam. FIFA 21 menurut saya memberikan kombinasi yang cukup pas untuk daftar lagunya. Ini memang balik lagi ke masalah selera, tetapi kombinasi antara elemen desain, lagi serta kemudahan interaksi (UX) menjadi penting untuk game yang akan dimainkan selama setahun penuh, untuk genre olahraga, seperti FIFA 21.

Game Physics

Beralih dari sisi estetis, kita masuk ke pengalaman bermain, dribbling, shooting, defense dan crossing – heading. Seperti halnya di sisi desain, saya sendiri mendapatkan pengalaman yang bisa dirangkum dalam satu kata, yaitu fresh. Game physics yang didapatkan terasa ada yang baru, jika digabungkan dengan desain, lagi dan overall game, FIFA 21 bisa dibilang cukup terasa membawa kebaruan dari seri sebelumnya. Setidaknya itu pengalaman yang didapatkan pada impresi awal saya.

FIFA 21

FIFA akan tetap menjadi game sulit, terutama untuk seri 20 ke atas, defense dan dribbling ada dua dari sekian banyak yang harus Anda melatih untuk bisa bermain secara baik, khususnya online, lebih khususnya FUT, bertanding dengan orang lain. Di FIFA 21, dua unsur ini tetap harus dilatih secara serius.

Pengalaman bermain singkat, saya malah merasa defense di FIFA 21 semakin sulit. Gerakan pemain lebih lincah sebenarnya ketika bertahan, misalnya ketika Anda menekan R1 sambil menggerakan pemain belakang. Tetapi hal ini mengakibatkan penyerang laman jadi lebih mudah menipu pemain belakang kita jika kita tidak hati-hati menggerakan pemain belakang. Pelajaran singkat yang saya dapatkan setelah bermain FUT online beberapa jam, Anda harus secara presisi (hati-hati dan pelan-pelan) ketika menggerakan pemain belakang. DI FIFA 20 pun sebenarnya demikian, tetapi gerakan di FIFA 21 terasa lebih fluid, jadi kemungkinan Anda salah langkah ketika menjaga pemain depan lawan akan semakin besar.

Kalau diharuskan untuk merangkum, saya akan menuliskan pengalaman bermain awal ini sebagai berikut: pembaruan engine yang digunakan di FIFA 21 secara overall cukup terasa, setidaknya ada fresh feeling dari seri sebelumnya. Lalu untuk gerakan pemain juga terasa lebih lincah dan ini mendukung Agile Dribbling yang jadi salah satu fitur unggulan. Reflek pemain juga semakin baik, salah satu contoh yang sering saya dapatkan dalam permainan adalah ketika pemain belakang lawan melakukan sliding ke pemain saya, maka reflek meloncat untuk menghindar semakin lincah. Atau pantulan bola ketika pemain belakang memotong arah passing juga terasa lebih real.

FIFA 21

Dari sisi dribbling, sejujurnya yang saya lakukan adalah mengecek satu persatu update yang EA umumkan di situs mereka untuk FIFA 21, dan mencoba membandingkan dengan pengalaman sebelumnya yang saya rasakan di FIFA 20. Cukup banyak update-nya dan sebenarnya tidak semua skill bisa saya coba untuk dibandingkan pengalamannya, tetapi beberapa yang jadi unggulan sempat saya coba. Diantaranya adalah Agile Dribbling, Positioning Personality, Creative Runs, Natural Collision System, dan Fundamentals of Football.

Salah satu yang mungkin jadi perhatian adalah Agile Dribbling. Dribbling di FIFA, setidaknya di seri sebelumnya menjadi salah satu kegiatan yang sering sekali dilakukan pemain, terutama pemain Pro. Jika Anda melihat replay atau siaran pertandingan resmi profesional, maka dribbling menjadi salah satu hal yang akan sering sekali dilakukan oleh player terutama untuk menciptakan peluang ketika berada di kotak penalti. Di FIFA 21, dribbling menjadi lebih lincah dan lebih menyesuaikan versi asli dari pemain sepakbola. Saya menggambarkannya semacam game simulator sepakbola. Dengan Agile Dribbling Anda bisa berkreasi layaknya bermain bola sungguhan, membayangkan Anda yang membawa bola tersebut, disesuaikan dengan pemain yang Anda mainkan, maka skill Anda bisa jadi tak terbatas. Anda bisa dengan mudah memindahkan bola dari kaki kiri ke kanan untuk menipu pemain belakang sebelum melakukan gerakan akselerasi. Kadang-kadang fitur ini di-abuse dengan menggunakan stick L berulang kali, bisa sampai 2 atau 3 kali (meski ini beresiko untuk bola direbut), dan jika pemain dalam game-nya mendukung, Anda bisa menggocek dengan lincah.

Positioning Personality, Natural Collision System, dan Fundamentals of Football berhubungan dengan tambahan teknis dalam game yang dilakukan EA untuk memberikan pengalaman yang lebih real dalam bermain. Beberapa diantaranya akan tergantung dari skill dalam kartu pemain tertentu, semakin tinggi untuk skill tertentu akan semakin baik. Misalnya pengaturan posisi, pemain yang satu tentunya akan berbeda dengan yang skill-nya lebih rendah.

Salah satu yang saya cukup notice ketika bermain adalah Natural Collision System, seperti yang saya singgung di bagian atas artikel. Dalam pengalaman mencoba, saya merasakan bahwa efek yang ditimbulkan saat genting dimana terjadi kemelut di depan gawang, pantulan bola akan lebih real. Memberikan peluang tidak terduga yang menambah seru permainan. Layaknya permainan bola sungguhan, momen keberuntungan pantulan bola dari kaki pemain belakang terkadang menentukan apakah kemelut bisa menjadi gol atau tidak.

FIFA 21

Untuk Fundamentals of Football yang paling saya rasa adalah heading. Satu hal yang paling membuat frustasi di FIFA 20 adalah crossing dan heading. Rasanya fitur ini seperti di-nerf habis-habisan oleh EA sehingga sulit sekali untuk membuat variasi penyerangan dari samping, crossing dan menciptakan gol. Nah, pengalaman yang saya dapatkan saat bermain singkat, baik ketika saya melakukan serangan dari samping lalu crossing, maupun lawan bermain saya. Proses menciptakan gol relatif lebih dimungkinkan di FIFA 21 alih-alih di FIFA 20. Beberapa kali saya dibobol dengan kombinasi serangan sayap, crossing dan sundulan, dan saya pun beberapa kali melakukan hal yang sama ke gawang lawan. Kalau di rilisnya sih EA menyebutkan bahwa memang ada peningkatan yang dilakukan untuk heading, peluang untuk efektivitasnya semakin meningkat. EA juga menambahkan pengaturan manual heading jika Anda tertantang untuk lebih merasakan efek game simulasi sepakbola di FIFA 21.

Saya pribadi, karena memang tidak jago gocek-gocekan, lebih memperhatikan fitur Creative Runs. Cukup menggunakannya dengan sering saat menyerang di FIFA 20 (aktualisasinya mirip fitur one-two kalau dulu di WE), sekarang ada peningkatan yang dilakukan EA. Kita bisa mengatur arah orang kedua sesuai kebutuhan, Anda bisa memilih membiarkan player lari ke arah sesuai AI atau mengaturnya sesuai keinginan. Misalnya setelah passing lari ke arah agak ke kanan, atau lari mendekat teman yang Anda passing. Gunakan stick kanan dengan metode flick untuk mengarahkan arah pemain. Ada beberapa skenario lain yang bisa Anda lakukan dengan fitur ini, pastikan membaca penjelasan EA atau menonton tips FIFA 21 yang sudah mulai ramai di YouTube dan mencobanya sendiri.

Dengan segala keterbatasan waktu untuk mencoba, saya sarankan untuk membaca lebih lengkap penjelasan EA akan fitur-fitur baru di FIFA 21 sebelum Anda mempraktekannya. Link bisa diakses dari sini.

Beberapa notes tambahan tentang gameplay atau pengalaman saat bertanding (saya mencoba secara lebih lama di fitur FUT dengan tim awal saya yg seadanya, rating 79-80 dan chemistry 90-an sampai 100).

Directed Runs bisa digunakan secara detail untuk mengatur posisi pemain atau menipu defense player lawan. Namun tentu saja butuh latihan. Penjelasan EA, Anda bisa melakukan sampai dengan 5 pemain sekaligus. Skill dewa menanti Anda untuk latihan. 😀

Beberapa pengaturan untuk gameplay termasuk Agile Dribbling bisa Anda sesuaikan, jangan lupa untuk mengecek satu persatu sesuai kebutuhan permainan Anda di menu Controller Setting.

Untuk fitur Drag Back, terjadi penyesuaian. Pastikan Anda mencoba-coba dulu untuk membiasakan dengan yang terbaru. Pengalaman saya, cukup kesulitan untuk menciptakan peluang dengan move ini. Sudah terbiasa di FIFA 20, cukup mudah ketika momen pas dan player yang pas untuk menciptakan gol di depan gawang. R1 + left stick untuk mengecoh pemain belakang, tetapi di FIFA 21 agak sulit. Tergantung pemain, ada yang lambat ada yang cepat, sesuai skill move rating-nya.

FIFA 21

VOLTA dan Career Mode

Jujur, seperti halnya beberapa pemain yang fokus di FUT atau permainan friendly match bersama teman kantor, saya jarang sekali menyentuh Career Mode apalagi VOLTA. Namun saya tahu mereka yang menyukai genre simulasi olahraga mungkin akan memilih Career Mode, karena bisa menyusun pemain dari awal. Nah, EA mengakomodir para pengguna FIFA di versi terbaru mereka dengan lebih lagi.

Di Career Mode ada beberapa tambahan cukup signifikan seperti Interactive Match Sim yang memungkinkan Anda menonton pertandingan secara simulasi, tetapi ketika dibutuhkan, Anda bisa jump in untuk melakukan pengaturan. Untuk genre simulasi, peningkatan ini sepertinya akan jadi peningkatan favorit, karena menjadikan hasil akhir lebih seru dan pengalaman simulasi menjadi lebih real.

Pengaturan untuk pengembangan pemain juga diperbaharui untuk menjadikan pemain impian Anda sesuai dengan gaya permainan tim. Peningkatan AI dalam hal defense, ini bisa menjadikan pertandingan lebih seru karena AI-nya semakin pintar membaca data permainan. Dan highlight yang terakhir adalah opsi baru untuk transfer pemain. Meminjam pemain dengan opsi untuk membelinya adalah fitur lain yang bisa jadi favorit penggemar Career Mode. Lebih lengkap bisa Anda baca di sini.

Sedangkan untuk VOLTA, yang berhubungan dengan skill, Anda juga bisa menikmati peningkatan secara keseluruhan yang dilakukan EA, seperti layaknya pada pertandingan biasa. VOLTA, yang lebih ke streetball kalau di basket, maka skill dan style terkadang jadi yang utama bukan hanya kemenangan. Anda bisa berkreasi dengan lebih gila lagi di FIFA 21.

Ada pula VOLTA Squad yang memungkinkan pemain FIFA 21 untuk melihat komunitas atau suad VOLTA di seluruh dunia. Untuk style sendiri, EA menyediakan berbagai kustomisasi termasuk dengan apparel yang bekerja sama resmi seperti Adidas. salah satu fitur lain yang menjadi highlight adalah Featured Battles. Ini mirip Squad Battles di FUT. Anda bisa juga bermain dengan squad pemain terkenal seperti MBappe atau ICONS, dan membuka peluang merekrut pemain yang ada di squad para bintang ini. Lebih lengkap bisa dibaca di sini.

Well, harus dikasih catatan memang ini bukan lah tulisan lengkap untuk membahas semua update yang ada di FIFA 21. Sebagai game tahunan (yang Anda ganti dengan versi baru setiap tahun) ada banyak unsur yang memang harus dibahas dan membutuhkan jam main yang cukup lama juga. Tetapi semoga bisa merangkum beberapa hal penting yang ada di game FIFA 21. Termasuk juta link tambahan untuk info lebih lengkap.

Ulasan Career Mode dan VOLTA juga memang tidak lengkap, jujur, selama sebagai yang sudah terlanjur kecantol dengan FUT, saya lebih memilih mencoba menu-menu yang ada di mode ini, termasuk pengalaman bermain langsung baik di Squad Battle atau online di Division Rivals (sebenarnya berharap dari cards menyelesaikan ‘objective’ atau didapat setelah selesai Squad Battle yang bagus karena main lebih awal, tapi sampai sekarang belum dapet juga. :D). Sebagai penutup saya sematkan beberapa informasi tambahan seperti beberapa soundtrack yang cukup menyenangkan di FIFA 21 dan beberapa channel Youtube yang sering saya tonton untuk bahan belajar meningkatkan skill.

Jangan lupa cek halaman resmi untuk membeli game, atau cek PS dan Steam Anda. Terima kasih EA untuk akses lebih awal atas game. Semoga FUT saya tahun ini lebih bagus dari tahun kemarin. 😀

Informasi tambahan

Beberapa lagu yang cukup menyenangkan untuk menemani bermain:

O70 Shake – Morrow

Celeste – Stop This Flame

La Priest – Beginning

Larry Pink Human – Might Delete Later

Tame Impala – Is It True

Dua Lipa – Love is Religion

Beberapa channel video yang saya ikuti:

Impresi Awal Wild Rift: Terlalu Mulus Untuk Closed-Beta?

Pada tanggal 16 September 2020 kemarin League of Legends: Wild Rift (akan disebut Wild Rift sepanjang artikel ini), yang merupakan versi mobile dari LoL, rilis secara terbatas untuk pemain yang berada di Indonesia. Pada perilisan terbatas, hanya media, content-creator, dan tamu VIP yang mendapat akses saja untuk bisa bermain.

Saya, yang mewakili Hybrid.co.id, kebetulan cukup beruntung mendapatkan akses closed-beta tersebut, sehingga bisa lebih dulu mencicipi salah satu MOBA di mobile yang cukup diantisipasigamers tanah air. Jujur, saya senang sekali ketika mendapatkan akses ini. Penyebabnya ada beberapa hal, pertama karena memang saya cukup suka dengan gameplay League of Legends. Kedua karena saya merasa ada banyak fitur tambahan hadir di Wild Rift, melengkapi kekurangan pada MOBA mobile lain.

Namun demikian, mendapat akses lebih dulu sebenarnya tidak sepenuhnya menyenangkan. Saya jadi punya tanggung jawab untuk bisa menemukan, apa apa saja yang masih kurang dari Wild Rift versi closed-beta. Jadi tanpa berpanjang-panjang lagi, mari simak impresi pertama saya terhadap Wild Rift closed-beta.

 

Wild Rift Adalah League of Legends dengan Visual Serba Mini

Saya baru bermain sekitar dua sampai tiga game ketika mulai menulis artikel ini (16 September 2020). Impresi singkat saya atas Wild Rift adalah, rasanya seperti League of Legends versi mini!

Ini bukan kiasan, tapi memang benar-benar dan senyatanya saya lihat dengan mata kepala saya sendiri (lebay banget sih cil!), bahwa ukuran elemen-elemen gameplay League of Legends menyusut di Wild Rift. Mulai dari Hero… Eh, Champion maksudnya (maaf Riot Games, kebiasaan… Hehe), Monster Jungle, Turret, sampai Baron, dan Dragon, semuanya terlihat jadi kecil-kecil.

Sumber: KnowYourMeme
Ekspresi saya saat melihat Champion dan elemen visual lain Wild Rift. Sumber: KnowYourMeme

Garen yang biasanya terlihat gahar dengan baju zirah khas Demacia, rambut serta pedang dari Yasuo si Ronin asal Ionia yang biasanya megah dan menawan, sampai tombak serta pose bertarung Xin Zhao yang biasanya terlihat mematikan, jadi terlihat mini di dalam Wild Rift.

Tapi mini bukan berarti buruk kok, kebanyakan elemen visual di Wild Rift masih mirip seperti versi PC. Elemen visual tersebut termasuk detil bangunan Nexus, Turret, sampai detil-detil visual berupa tumbuh-tumbuhan yang menempel di bagian Wall Wild Rift, membuat saya tetap merasa seperti bermain League of Legends.

Pendapat ini muncul, mungkin karena saya terlalu terbiasa main League of Legends di monitor PC/Laptop, yang membuat Wild Rift jadi terasa kecil sekali di mata saya. Walaupun demikian, entah kenapa saya tetap merasa Wild Rift beda jika dibanding dengan League of Legends. Mungkin karena penggambaran Champion di Wild Rift yang cenderung lebih sederhana, dan berwarna cerah. League of Legends sendiri memang cenderung lebih dewasa secara visual, karena penggambaran Champion yang lebih detil, dan warna yang cenderung sedikit lebih gelap.

Sumber: Riot Games
Mudah dimainkan bersama teman, jadi salah satu visi Riot terhadap Wild Rift, agar game ini bisa dimainkan lebih banyak orang. Sumber: Riot Games

Namun saya jadi ingat lagi dengan penjelasan Brian Feeney atau Riot Feralphony, pada saat previewevent terhadap Wild Rift, yang dilakukan secara eksklusif kepada media dan konten kreator, termasuk saya mewakili Hybrid.co.id. Alasan beberapa perubahan tersebut salah satunya karena memang Riot Games ingin mengajak pemain baru, yang mungkin tidak pernah main game PC sebelumnya, atau mungkin pemain yang lebih muda, agar bisa mencicipi pengalaman bermain League of Legends.

 

Gameplay – Tak Beda Jauh League of Legends di PC

Setelah visual, mari kita beralih ke gameplay. Untuk urusan gameplay, baru saya bisa bilang bermain Wild Rift terasa seperti main League of Legends betulan. Kebetulan saya mencoba-coba bermain sebagai Jungle, dan sedikit banyak memahami ilmu dasar bermain Jungle. Ternyata transfer ilmu bermain Jungle dari League of Legends ke Wild Rift, sangat mudah, bahkan hampir tidak ada bedanya.

Contoh, jika ingin bergerak ke arah Dragon Lane (Bot lane versi Wild Rift), rute jungling yang dilakukan persis dengan di League of Legends. Jika berada di Blue Side, Anda mulai dari Blue Golem, lanjut Raptors, Wolf, lalu Red Brambleback, maka Anda akan berakhir di Dragon Lane. Jika Anda berada di Red Side, jalur tinggal dibalik, dan Anda akan berakhir di lane atas (Dragon Lane-nya Red Side).

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Oh iya, soal mekanik dasar, Riot Games terbilang sangat baik dalam memberi tutorial kepada pemain-pemain baru di Wild Rift. Bot Lane dan Top Lane diubah menjadi Dragon Lane dan Baron Lane, agar tidak membuat bingung pemain ketika map di-Mirror saat berada di Red Side. Pemain juga selalu diberitahukan di awal permainan ketika berada di sisi Mirror, yang bisa dinonaktifkan jika Anda merasa sudah menjadi bang jago. Pada setiap game, Anda juga akan diingatkan lane mana yang merupakan dual-lane (biasanya bawah) dan solo-lane (biasanya atas).

Soal tempo permainan, Riot Feralpony menjelaskan bahwa Wild Rift akan memiliki durasi gameplay sekitar 15 – 25 menit. Setelah mencoba untuk beberapa game, ternyata benar, memang durasi permainan ada di kisaran angka tersebut. Kalau dibandingkan dengan MOBA lain yang ada di mobile seperti MLBB atau AOV, saya merasa Wild Rift hanya sedikit lebih lambat saja.

Beda dengan MLBB, yang biasanya ada pertempuran cukup besar di area midlane sejak awal permainan, Wild Rift cenderung aman tentram di menit-menit awal. Kehadiran sistem lasthit sepertinya berhasil ‘menjinakkan’ jiwa-jiwa barbar para pemain, memaksa mereka jadi patuh dengan pembagian role, dan fokus untuk last-hit di lane tempat role yang dimainkan berada.

Sama seperti League of Legends, pertempuran kecil atau skirmish biasanya terjadi setelah sang Jungler menyelesaikan rute farming pertamanya. Dalam Wild Rift, mungkin sekitar menit 2 atau 3. Setelahnya sekitar menit 5 jumlah pertarungan akan sedikit memanas, dengan kemunculan Dragon ataupun Rift Herald yang tentunya menjadi rebutan.

Mencapai menit 10, Turret dari salah satu pihak biasanya sudah mulai runtuh satu per satu. Baron atau Elder Dragon juga sudah muncul pada kisaran menit 10, sehingga permainan sebenarnya sudah hampir selesai pada menit tersebut. Jika skenario pengambilan Baron atau Elder Dragon lancar, maka permainan harusnya bisa selesai jelang menit 15.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Tetapi memang, selama bermain, saya belum merasakan pertarungan yang benar-benar sengit. Penjelasan sebelumnya adalah gambaran durasi permainan jika Anda dapat mendominasi permainan. Jika pertandingan berjalan alot, mungkin pertandingan bisa berjalan sampai dengan 25 menit atau lebih.

Selain itu, bagi Anda yang datang dari MOBA mobile seperti MLBB atau AOV, ada beberapa catatan penting soal gameplay. Pertama, Wild Rift mengharuskan Anda untuk last-hit dan tidak keluyuran. Jika last-hit, Anda akan mendapat sekitar 60an Gold, namun jika tidak Anda cuma akan dapat sekitar 10-20 Gold saja.

Kedua, Anda harus Recall atau pulang ke base untuk membeli item. Anda kaget? Tenang, Anda tidak sendirian, saya juga sempat kaget kok. Saya pernah bermain League of Legends di PC, tapi tetap bingung sejenak ketika tidak bisa membeli item di Lane. Maklum, kebiasaan dengan MOBA mobile yang lain.

Ketiga, jangan lupa pasang Ward! Wild Rift memiliki fog of war, jadi tanpa Ward, Anda tidak bisa melihat posisi musuh yang berada di balik tembok atau semak. Untungnya ada fitur Ward Aim Assist, sehingga Anda cukup tap ikon Ward, maka sistem akan secara otomatis menempatkan Ward di tempat paling strategis.

Keempat, jangan terlalu sering mati! MOBA mobile lain mungkin terbilang lebih ramah pemula, dengan tidak menghukum kekalahan di lane secara kejam. Dalam Wild Rift, mati dua sampai tiga kali di awal permainan bisa berarti bencana. Ketinggalan Gold dan XP membuat kemungkinan Anda untuk kalah jadi semakin besar.

 

Champion – Mudah Diadaptasi Para Pemain MOBA Mobile

Saat ini ada 42 Champion di dalam Wild Rift, termasuk 6 Champion baru yang rilis khusus untuk menyambut fase closed-beta regional, yaitu Amumu, Singed, Varus, Sona, Dr. Mundo, dan Jarvan IV. Sepanjang saya bermain, saya baru mencoba 8 Champion saja, yaitu Miss Fortune, Xin Zhao, Jhin, Blitzcrank, Aurelian Sol, Malphite, Ahri, dan Jinx untuk tutorial.

Dari 8 Champion yang saya gunakan, hampir semuanya terasa begitu intuitif dikendalikan. Riot Games berhasil menyajikan Champion League of Legends, yang sebenarnya datang dari PC, terasa seperti Champion yang asli rilis di mobile. Kontrolnya sangat familiar bagi Anda yang hanya bermain MOBA di Mobile saja. Untuk skillshot, Anda cukup swipe saja seperti pada MLBB atau AOV. Sementara Skill yang ditarget ke unit datang dengan fitur tambahan berupa crosshair kecil jika tombol Skill Anda tahan. Namun demikian, salah satu yang saya cukup takjub adalah cara aktivasi ultimate Jhin, Curtain Call, yang beda namun memudahkan.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Awalnya saya berpikir, cara mengeluarkan Skill-nya mungkin akan mirip seperti Elsu di AOV, atau Granger di MLBB. Tapi ternyata tidak. Setelah Curtain Call dibuka, kamera akan menjadi lebih jauh, sama seperti di PC. Setelahnya, Anda tidak perlu swipe untuk mengarahkan Skill. Cukup sentuh ke arah Anda ingin menembak. Setelahnya peluru demi peluru dari Jhin pun akan ditembakkan. Jika Anda ingin menutup Curtain Call, ada tombol X besar di pojok kanan atas.

Selain itu, hal yang juga saya sukai adalah fitur Aim Panning, yang akan otomatis menggeser kamera sedikit untuk beberapa Skill yang jaraknya memang jauh. Skill Ultimate Miss Fortune atau Aurelian Sol misalnya, yang jaraknya memang jauh, sehingga kamera akan bergeser untuk melihat sesuatu yang ada di ujung dari jarak skill tersebut. Skill seperti Comet of Legend dari Aurelian Sol juga terasa sama dengan versi PC, otomatis zoom-out kamera ketika diaktifkan.

Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono

Sayangnya saya belum sempat mencoba Champion dengan cara aktivasi skill yang sedikit lebih rumit, seperti Camille, Yasuo, Zed, atau Twisted Fate. Bukannya tidak mau, tapi karena saya baru mencapai level 7, dan tidak punya cukup Blue Motes (seperti Blue Essence di League of Legends) untuk unlock Champion yang saya inginkan.

Selain dari Champion, Wild Rift juga sudah menyediakan 41 skin untuk kalian miliki. Ya, Anda tidak salah baca, Anda sudah bisa top-up untuk beli skin pada masa closed-beta. Anda dapat membeli Wild Core (mata uang premium di dalam game), untuk unlock skin yang Anda inginkan. Tapi tenang, di sini skin tidak menambah stat di dalam permainan kok.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Sejauh yang saya lihat, harga skin di Wild Rift adalah 525, 725, dan 990 Wild Core. Harga Wild Core adalah Rp149.000 untuk 1350 Wild Core. Lalu bagaimana dengan reset akun setelah closed-beta selesai di awal Oktober nanti? Untungnya Riot cukup berbaik hati dalam hal ini. Mereka akan mengembalikan skin yang telah Anda beli dalam bentuk Wild Core, dengan ditambah bonus 20%, setelah Wild Rift rils nanti.

 

Online Closed-Beta Experience

Pengalaman closed-beta pada Wild Rift terbilang sudah cukup mulus, walau tentunya tidak 100% mulus. Mungkin bisa dibilang, sekitar 80% mulus, tinggal sedikit optimasi lagi agar game ini jadi lebih sempurna. Jadi bagi Anda yang sudah tidak sabar dan belum kebagian akses, Anda tidak perlu khawatir. Melihat dari apa yang disajikan pada closed-beta terbatas, mungkin bisa saja Wild Rift akan rilis akhir Oktober nanti.

Matchmaking berjalan dengan cukup cepat, dan seimbang untuk awal-awal. Saking cepatnya, saya jadi ragu, lawan saya dengan orang betulan atau hanya bot AI saja ya? Beberapa kali saya dipertemukan dengan pemain yang berpengalaman, dan menggunakan ilmu League of Legends ke dalam Wild Rift. Beberapa kali juga saya bertemu dengan pemain yang masih kebingungan, bahkan sering sekali mati konyol hanya karena terlalu agresif.

Setelah sesaat main dan saya teliti lagi, ternyata memang pemain juga dipertemukan dengan bot, walaupun telah memilih Normal Matchmaking. Ketika sore tadi (17 September 2020) saya coba bermain, saya dipertemukan dengan bot pada matchmaking pertama. Baru pada matchmaking kedua, dan setelahnya saya dipertemukan dengan pemain sungguhan.

Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono

Apakah ada lag atau delay? Tentu saja, karena ini closed-beta. Saya mencoba Wild Rift pada dua device, Pocophone F1 milik saya, dan Black Shark 3 yang tempo hari saya review. Dari sisi optimasi game, saya sempat merasakan stutter dan frame drop ketika bermain menggunakan Pocophone F1 dengan menggunakan pengaturan grafis Performance dan 60 fps – on. Hal tersebut terjadi terutama pada pertarungan skala besar, ketika semua efek Skill dari kedua tim dikeluarkan.

Pada Black Shark 3 saya mencoba menggunakan pengaturan grafis Ultra High Definition dengan 60 fps – on juga tentunya. Ternyata game bisa berjalan mulus, dengan minim gangguan stutter ataupun frame drop. Dari sini, saya berkesimpulan bahwa optimasi game engine terbilang sudah cukup baik, terutama bagi device dengan spesifikasi tinggi seperti Black Shark 3.

Tapi saya belum bisa berkesimpulan apapun, terkait percobaan saya bermain Wild Rift dengan Pocophone F1. Berhubung sudah 2 tahun lebih Pocophone F1 itu saya gunakan, bisa jadi frame drop dan stutter terjadi karena masalah di device saya.

Ada juga soal optimasi server yang cukup membingungkan. Beberapa kali saya bermain dengan indikator sinyal berwarna hijau, tapi entah kenapa saya masih merasakan sedikit delay. Pergerakan karakter terasa agak sedikit telat jika saya memutar-mutar virtual joystick. Begitu juga dengan skill, yang terasa delay, walaupun sudah berkali-kali menyentuh Skill yang ingin saya keluarkan.

Sayangnya indikator sinyal di dalam pertandingan tidak memberikan informasi lebih lanjut soal berapa besaran ping koneksi saya ke server Wild Rift. Jadi misalnya batas atas indikator sinyal hijau adalah 100 ms, makan indikator tersebut akan tetap berwarna hijau jika ping saya adalah 99 ms. Jika benar demikian, maka delay yang saya alami jadi wajar.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Custom Mode berarti membuka peluang untuk mengadakan turnamen, sembari memvalidasi antusiasme khalayak esports Indonesia terhadap Wild Rift. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Pada closed-beta terbatas yang dilakukan tanggal 16-18 September 2020 kemarin, Wild Rift juga sudah merilis beberapa Mode lain selain Normal Matchmaking. Riot sudah menyediakan juga Mode Ranked yang tersedia untuk akun level 10, Leaderboard, bahkan custom game dengan mode Blind Pick dan Draft Pick.

Sayang, saya tidak sempat mencoba Ranked Mode karena saya baru level 7 saat menulis artikel ini. Saya juga tidak sempat mencoba mode custom, karena kebetulan tim editorial Hybrid yang seharusnya mendapat 4 akses tambahan closed-beta terbatas (selain saya sendiri), masih belum bisa mengakses Wild Rift juga hingga artikel ini ditulis.

Terlepas dari itu, kehadiran fitur custom game selama masa closed-beta tentu membuka kesempatan bagi komunitas yang ingin mencoba mengadakan turnamen Wild Rift semasa closed-beta. Jika mengutip dari laman resmi Riot Games, closed-beta mulai dibagikan secara acak kepada lebih banyak orang di 5 negara SEA mulai tanggal 18 September, dan akan ditutup pada awal Oktober 2020.

Jadi… Kurang lebih ada sekitar 2 pekan, jika Anda ingin mengejar Top Global di Leaderboard, atau ingin mencoba mengadakan turnamen sebagai langkah awal memvalidasi skena esports Wild Rift lokal.

 

Tampilan Antar-Muka yang Segar dengan Translasi Bahasa Indonesia yang Apik!

Setelah soal visual, gameplay, dan champion, kini kita beralih ke bagian terakhir, yaitu soal experience Wild Rift secara keseluruhan. Terkait user-interface atau tampilan antar-muka, salah satu yang saya suka dari Riot saat menyajikan game mobile adalah rancangan menu yang terasa menyegarkan. Hal tersebut sudah terasa sejak Riot pertama kali merilis game untuk mobile, yaitu Legends of Runeterra pada bulan Mei 2020 lalu.

Tetapi, walau tampilannya menyegarkan, Riot selalu terjebak pada kesalahan yang sama, yaitu menyajikan ikon tanpa ada deskripsi yang kadang bikin bingung. Pada Wild Rift, kebingungan tersebut terasa saat melihat ikon kecil yang ada di bagian bawah halaman menu utama. Menurut saya, ikon tersebut jadi membingungkan karena tidak melambangkan apa yang ada di balik ikon tersebut.

Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono

Saya sering tertukar antara ikon pedang yang berisi menu Loadout, dengan ikon buku berbintang yang berisi menu Collection. Seringkali saya malah menyentuh ikon Loadout untuk mencari nama skill Champion, karena gambarnya pedang. Padahal, menu Loadout berisi kustomisasi item build masing-masing Champion. Skill Champion sebenarnya bisa dilihat di menu Collection, yang bisa diakses dengan tap ikon buku berbintang.

Selain itu, Riot juga berhasil memberikan pengalaman bermain Wild Rift layaknya bermain League of Legends dari segi tampilan menu. Hal tersebut terasa mulai dari Anda bersiap di Lobby mencari teman main, memilih Champion, ataupun ketika loading, tentunya dengan sedikit perbedaan pada beberapa aspek. Terlepas dari itu, interface di Wild Rift terasa menyegarkan karena cenderung beda dari kebanyakan game mobile, dan animasi-animasi ciamik ketika memilih menu yang diinginkan.

Experience lain yang juga saya sukai dalam Wild Rift adalah… Bahasa Indonesia! Ya benar, Wild Rift menghadirkan bahasa Indonesia untuk menu in-game, hingga deskripsi skill, Champion, dan item. Riot memang sudah menyajikan bahasa Indonesia sejak perilisan VALORANT pada awal Juni 2020 lalu.

Menurut opini saya pribadi, kehadiran bahasa Indonesia jadi bentuk  pengakuan Riot terhadap pentingnya komunitas gamers Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia yang ada di dalam game juga tersaji dengan cukup baik. Penjelasan skill jelas dan mudah dipahami.

Malah saya jadi belajar padanan bahasa Indonesia yang tepat dari istilah game, yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh saya. Translasi “Don’t fight, I’m split pushing” menjadi “Jangan lawan, aku mau mendesak sendiri” jadi salah satu contoh translasi bahasa Indonesia yang tidak hanya baik dan benar, tapi juga sederhana dan mudah dimengerti.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Tapi, tentunya translasi tersebut tidak 100% bagus. Satu yang aneh adalah translasi bahasa Indonesia terhadap istilah, yang sebenarnya fitur dalam game. Istilah yang saya maksud adalah Wild Core, mata uang premium di dalam Wild Rift yang ditranslasi menjadi “Inti Liar” jika Anda menggunakan Bahasa Indonesia.

Sebagai seorang penulis bahasa Indonesia, saya merasa senang dengan kehadiran translasi Bahasa Indonesia yang disajikan. Selain bisa belajar padanan bahasa terhadap beberapa istilah game, saya juga berharap translasi ini bisa membantu kawan-kawan yang belum begitu mahir berbahasa Inggris, namun memiliki semangat tinggi bermain bermain Wild Rift.

 

Kesimpulan – Closed-Beta yang Justru Terlalu Mulus?

“Jadi bro, Wild Rift menurut lo gimana sih?”

Tergantung. Di sini saya mencoba memberikan pendapat dari dua sudut pandang berbeda.

Jika saya menempatkan diri sebagai seseorang yang hanya kenal MOBA di mobile saja, saya harus mengatakan bahwa Wild Rift sedikit terlalu ribet. Harus lasthit, pulang ke base untuk beli item, pembagian role yang fixed, sistem fog-of-war dan ward, memang membuat pemain dari generasi muda dipaksa lebih tekun belajar untuk beradaptasi dan bisa bermain Wild Rift dengan benar.

Sudah jelas Anda tidak bisa sembarangan lari ke mid-lane atau mencuri monster buff, ketika menggunakan Champion Marksman. Bisa-bisa Anda kena marah teman, atau malah kena report massal. Namun demikian, dengan tutorial ekstensif, kehadiran bahasa Indonesia di dalam game, dan gameplay yang secara umum mirip dengan MOBA mobile yang sudah ada, maka pemain generasi baru sekalipun harusnya bisa adaptasi main Wild Rift dengan mudah.

Durasinya permainan Wild Rift juga cenderung agak lama untuk ukuran MOBA di mobile. Gara-gara durasinya, saya kadang enggan main Wild Rift di kala istirahat kerja; takut kena tegur mas Yabes (Chief Editor Hybird) karena keasyikan main… Hehe.

AOV dan MLBB bisa selesai di bawah 10 menit, jika musuh yang Anda hadapi cenderung mudah. Wild Rift? Rasanya agak sedikit sulit. Keharusan kembali ke base untuk membeli item bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa Wild Rift jadi punya durasi permainan sedikit lebih panjang.

Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono

Lalu jika saya menempatkan diri sebagai seseorang yang pernah bermain League of Legends, entah kenapa saya justru merasa kurang puas kalau bermain Wild Rift. Bukannya game ini tidak bagus, hanya saja bermain Wild Rift justru bikin tangan gatal ingin berlaga seperti Faker di League of Legends PC; walaupun sebenarnya saya pemain rank Iron abadi.

Namun demikian, saya tetap merasa gameplay dan fitur yang disajikan Wild Rift cenderung lebih lengkap dibanding dengan MOBA mobile yang sudah-sudah. Ditambah lagi, Wild Rift juga tidak kehilangan identitasnya sebagai “adik” dari League of Legends, yang membuat saya jadi bisa main League of Legends dengan kawan yang tidak punya PC.

Terkait closed-beta, saya merasa Riot Games telah memberikan jerih payah terbaiknya untuk Wild Rift, sehingga menghasilkan produk yang sudah baik secara umum. Saya sadar betul bahwa closed-beta tidak selalu berjalan mulus. Sedikit delay, lag, stutter, atau frame-drop sih tidak terlalu masalah buat saya, toh namanya juga closed-beta.

Meski demikian, secara umum saya merasa sesi closed-beta terbatas Wild Rift seperti memainkan game yang sudah 80% selesai. Matchmaking berjalan mulus, perpindahan menu antar-muka juga berjalan mulus, pertandingan pun hampir tanpa ada halangan bug atau glitch yang mengganggu. Gara-gara itu, sejenak saya jadi lupa, bahwa Wild Rift sebenarnya masih dalam fase closed-beta.

Setelah closed-beta terbatas untuk Indonesia pada tanggal 16 dan 17 September 2020, Wild Rift akan berlanjut ke fase closed-beta regional, yang menyertakan Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand mulai tanggal 18 September 2020. Beberapa dari Anda yang sudah melakukan pre-register mungkin akan terpilih untuk bisa memainkan Wild Rift mulai tanggal 18 atau setelahnya. Selamat bermain, sampai bertemu di Wild Rift!

Review Gears Tactics: Visualisasi Grafis yang Fantastis dengan Gameplay Bombastis

Di penghujung bulan April 2020 lalu, saya cukup terkejut melihat game yang satu ini dirilis. Pasalnya, Gears Tactics adalah bentuk iterasi Turn-Based Tactics dari franchise Gears (of Wars) yang biasanya bergenre 3rd Person Shooter. Gears Tactics ini juga dibanderol dengan harga yang cukup murah, Rp250 ribu. Namun apakah pertanyaannya game ini layak dibeli meski harganya lebih murah ketimbang harga game-game AAA?

Seperti biasanya, sebelum kita masuk ke review Gears Tactics kali ini, saya harus menjabarkan beberapa hal terlebih dahulu. Pertama, bagaimanapun juga review game itu sepenuhnya subjektif alias bergantung pengalaman, selera, pengetahuan sang reviewer-nya. Kedua, karena alasan tadi, saya harus menjelaskan sedikit latar belakang saya. Saya pribadi memang lebih menyukai game-game singleplayer AAA. Karena itu, sampai hari ini, setidaknya sudah ada 2000 judul game PC yang saya selesaikan Singleplayer Campaign-nya sepanjang saya bermain game di PC sejak tahun 2003 — sebelum itu, saya menganut ‘agama’ gamer console.

Ketiga, terakhir, saya membeli Gears Tactics dari Steam (karena game ini bisa dibeli dari Steam, Microsoft Store, dan Epic Game Store) dan memainkannya di PC saya dengan spek sebagai berikut:

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz.
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

 

Visualisasi Grafis dan Performa: 87/100

Screenshot: Gears Tactics
Screenshot: Gears Tactics. Via: PC Gamer

Satu hal yang sangat menarik, Gears Tactics (dirilis tanggal 28 April 2020) dirilis dalam waktu yang berdekatan dengan XCOM: Chimera Squad (rilis tanggal 24 April 2020). Keduanya juga sama-sama bergenre Turn-Based Tactics/Strategy. Dengan begitu, Gears of Tactics memang mau tidak mau akan dibandingkan dengan Chimera Squad. Apalagi mengingat seri XCOM memang boleh dibilang game Turn-Based Tactics yang paling populer akhir-akhir ini.

Aspek pertama yang ingin saya  bahas adalah soal grafis dan performa dari Gears Tactics. Jika dibandingkan dengan Chimera Squad, yang kebetulan juga saya review bulan Juni 2020 kemarin, Gears Tactics menang telak dalam hal visualisasi grafis. Bahkan, menurut saya, Gears Tactics bisa dibilang sebagai salah satu game Turn-Based Tactics dengan visualisasi paling cantik yang pernah saya mainkan.

Ketika Anda melakukan Execute atau beberapa Skill (seperti Chainsaw Attack atau Bayonet Charge), kamera pun bergerak untuk mendekati karakter Anda untuk memperlihatkan animasi yang buas dan terasa begitu memuaskan. Meski saya berkali-kali melihatnya, saya belum bosan dengan animasi Skill tersebut karena ada beberapa variasinya.

Efek-efek ledakan, tembakan, atau apapun yang ada di sini juga jauh lebih fantastis dibanding yang saya lihat di Chimera Squad ataupun semua seri XCOM modern (mulai dari XCOM: Enemy Unknown, XCOM 2, ataupun Chimera Squad). Sungguh, saya sangat mengagumi jerih payah The Coalition dan Splash Damage (developer Gears Tactics) dalam usahanya menerjemahkan visualisasi fantastis dari Gears 5 ke Gears Tactics ini.

Biasanya, game-game Turn-Based Tactics memang tidak menyuguhkan visualisasi yang secantik genre Action, RPG, ataupun FPS. Namun, berhubung saya juga sudah menamatkan Gears 5, saya bisa merasakan atmosfir dan visualisasi fantastis yang tak jauh berbeda saat bermain Gears Tactics.

Lalu bagaimana dengan performanya? Meski grafisnya fantastis, Gears Tactics bisa dimainkan di PC murah meriah sekalipun. Berikut ini adalah System Requirements yang saya ambil dari Steam.

Sumber: Steam
Spesifikasi yang dibutuhkan Gears Tactics. Sumber: Steam

Bandingkan spek di atas dengan spek yang dibutuhkan untuk Gears 5 yang juga saya ambil dari Steam di gambar berikut ini.

Sumber: Steam
Spesifikasi yang dibutuhkan Gears 5. Sumber: Steam

Dengan spek PC saya, berikut ini adalah hasil benchmark (built-in) yang saya dapatkan:

Screenshot: Gears Tactics
Screenshot: Gears Tactics

Jika hanya melihat dari sisi grafis dan performa, saya percaya Gears Tactics harusnya bisa jadi standar baru untuk game-game Turn-Based lainnya di masa mendatang.

 

Gameplay: 81/100

Jika di aspek grafis Gears Tactics mungkin bisa dibilang revolusioner, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk aspek gameplay-nya.

Banyak mekanisme gameplay yang ada di sini mengambil komponen-komponen yang sudah ada di seri XCOM modern. Meski begitu Gears Tactics mengimplementasikan semua komponen-komponen tadi dengan sangat baik dan menambahkan beberapa komponen baru di dalamnya.

Tiga komponen gameplay yang diimplementasikan dengan baik di Gears Tactics adalah soal Loot System, Skill Tree, dan Action Point (AP).

Berbicara soal Loot System, Gears Tactics mengizinkan karakter-karakter Anda menggunakan Equipment yang bisa didapatkan dari pertempuran. Equipment yang ada di sini memiliki tingkat Rarity (dari Common sampai Legendary) dan didapatkan secara acak alias random.

Simulasi Skill Tree Gears Tactics. Sumber: Gears of War
Simulasi Skill Tree Gears Tactics. Sumber: Gears Tactics

Di Gears Tactics, ada juga 5 class berbeda (Support, Vanguard, Heavy, Scout, dan Sniper) untuk karakter-karakter Anda. Skill Tree dari masing-masing class di sini cukup menarik dan kompleks. Oh iya, asyiknya lagi, Anda bisa mengakses simulasi Skill Tree yang bisa digunakan dari situs resmi Gears Tactics (Anda juga bisa membukanya untuk melihat bagaimana Skill Tree yang ada di game ini).

Komponen gameplay terakhir yang membuat Gears Tactics jadi lebih menarik, setidaknya dibanding Chimera Squad, adalah sistem Action Point yang lebih fleksibel. Action Point ini digunakan untuk melakukan pergerakan ataupun aksi. Namun, setiap class memiliki satu skill atau lebih untuk menambahkan Action Point saat giliran mereka. Dengan begitu, jika Anda bermain cukup cerdik dan memanfaatkan skill-skill tadi, Anda bisa mendapatkan sejumlah AP untuk melakukan begitu banyak hal dalam satu kali giliran.

Misalnya saja jika kita melihat dari class yang paling saya sukai di sini, Sniper. Sniper memiliki Skill bernama Chain Shot. Di level 2, jika Chain Shot Anda mengenai lawan, Anda akan mendapatkan 2 AP. Sniper juga punya Skill bernama Fast Fingers. Fast Fingers level 2 akan membuat karakter Anda mendapatkan 1 AP sekaligus Reload gratis jika Skill tersebut berhasil membuat musuh Downed atau mati. Ada lagi Skill yang bernama Ultimate Shot (Max AP saat membunuh musuh dengan Skill ini) dan Spree (25% kesempatan untuk mendapatkan 2 AP jika membunuh musuh dengan Critical Hit).

Screenshot: Gears Tactics
Screenshot: Gears Tactics.

Itu tadi baru Skill dari satu class saja. Jika digabungkan dengan Skill yang dimiliki Support, Sniper bisa jadi menggila di medan pertempuran dan menghabisi banyak musuh hanya dalam satu turn.

Sistem AP yang fleksibel itu jadi mengubah mindset bermain Anda. Jika di Chimera Squad, mindset-nya adalah bagaimana memanfaatkan kesempatan Anda yang sangat terbatas. Mindset bermain di Gears Tactics adalah bagaimana memperpanjang turn dengan berbagai skillset yang Anda miliki.

Sayangnya, meski didukung oleh beberapa komponen gameplay yang solid tadi, Gears Tactics tidak memiliki ragam misi ataupun musuh yang membuatnya tidak membosankan untuk dimainkan berkali-kali.

 

Plot Cerita dan Karakter: 63/100

Berhubung franchise Gears of War memang sudah cukup berumur karena pertama kali dirilis tahun 2006 dan dibuat untuk 3rd Person Shooter, lore-nya memang sudah cukup panjang. Advantage ini tidak dimiliki oleh seri XCOM modern. Setidaknya, saya tak terlalu tertarik untuk mempelajari lore seri XCOM modern seperti saya mempelajari lore Gears of Wars.

Dengan begitu, Gears Tactics sebenarnya memiliki banyak materi yang bisa dikembangkan dalam aspek plot cerita dan karakter-karakternya. Di Gears Tactics, tokoh utamanya adalah Gabe Diaz — bapaknya (atau ayahanda tercinta, kalau mau flamboyan) Kate Diaz yang jadi karakter utama di Gears 5. Buat Anda yang mengikuti cerita Gears of War, tema perjuangan (sekaligus korupnya) COG melawan monster (Swarm, Locust, dkk.) juga masih kental Anda temukan di sini.

Sayangnya, mungkin karena memang dianggap sebagai spin-off, tidak banyak hal-hal baru dari cerita besar lore Gears of War yang bisa Anda temukan di sini. Karakter dan percakapan yang ada di sini juga tidak begitu menarik untuk diperhatikan. Setidaknya beberapa karakter dan percakapan dari Chimera Squad beberapa kali berhasil membuat saya tersenyum sendirian di depan layar monitor.

Sumber:
Sumber: Microsoft

Jika dibandingkan dengan Chimera Squad, satu-satunya keunggulan Gears Tactics dari aspek ini adalah soal penyajian ceritanya. Setidaknya Gears Tactics menyuguhkan ceritanya lewat cutscenes, tidak seperti Chimera Squad yang menggunakan slideshow gambar semata. Meski memang hal ini juga bisa dimasukkan dalam kategori penilaian visualisasi grafis. Namun, saya sungguh bingung mencari apa kelebihannya dari aspek ini — apalagi mengingat Gears Tactics tidak berhasil memanfaatkan lore panjang dari seri Gears of War dengan baik.

 

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 30/100

Seperti yang saya tuliskan tadi di bagian gameplay, variasi misi dan musuh yang ada di sini membuat saya tidak betah berlama-lama memainkannya.

Setelah saya menyelesaikan playthrough satu kali, saya sebenarnya sempat mencoba memainkannya kembali di tingkat kesulitan tertinggi dan Ironman Mode. Sayangnya, saya mati dan gagal menyelesaikan campaign tersebut di Act 1 Chapter 5 (Gears Tactics memiliki 3 Act dengan total 22 Chapters).

Jika dibandingkan dengan Chimera Squad yang saya mainkan selama 49 jam, saya hanya mencatatkan waktu bermain selama 24 jam di Gears Tactics.

Sebenarnya, Chimera Squad juga tidak sebagus itu namun game tersebut memiliki akses modding yang sangat baik. Anda bahkan bisa mengunduh SDK nya gratis dari Steam jika Anda membeli game-nya.

Salah satu mod yang tak bisa saya gunakan. Sumber: Nexus Gears Tactics
Salah satu mod yang tak bisa saya gunakan. Sumber: NexusMods

Sebaliknya, akses modding Gears Tactics terbilang aneh… Kita memang bisa memodifikasi beberapa file game dengan mudah. Hanya dengan menggunakan Notepad, Anda bisa mengedit file .csv untuk memodifikasi Gears Tactics. Sayangnya, cara ini sangat tidak konsisten.

Pasalnya, ada beberapa file yang sebenarnya bisa diedit dan memodifikasi game-nya namun ada juga yang akan di-overwrite begitu Anda menjalankan game tersebut. Hal ini menyebabkan modifikasi Gears Tactics jadi sangat terbatas. Di Nexus, Gears Tactics memiliki 12 mods namun parahnya kebanyakan mod tersebut tidak bisa berjalan jika Anda membeli game tersebut.

Sebagian besar mod juga hanya bisa aktif saat Anda memulai campaign baru. Hal ini semakin menyebalkan mengingat Anda tidak bisa skip tutorial mission layaknya Chimera Squad.

Tidak bisa skip tutorial ini sungguh menyebalkan di game yang menawarkan fitur Ironman Mode. Itu sebabnya juga saya malas menyelesaikan game ini untuk yang kedua kalinya. Chimera Squad mengizinkan Anda melewatkan misi tutorial setelah sekali menjalankannya.

 

Average Score: 65.25

Sumber: Microsoft
Sumber: Microsoft

Dengan harga Rp250 ribu, Gears Tactics sebenarnya sangat layak untuk dimainkan. Apalagi jika Anda ingin merasakan game Turn-Based Tactics dengan grafis yang menawan dan gameplay yang cukup solid. Sayangnya, meski seharusnya mereka bisa memanfaatkan lore Gears of War, Gears Tactics tak mampu menggunakannya dengan baik. Jika Anda tidak tertarik dengan hal-hal berbau modding, Gears Tactics juga sebenarnya akan memberikan pengalaman bermain yang sangat berkesan — asal jangan memilih Ironman Mode sebelum mereka mengimplementasi skipping tutorial mission.

Review Command & Conquer Remastered Collection: Yang Menonjol Berkat Remaster Audio Visual Ciamik

Setelah cukup diantisipasi oleh para penggemar game RTS, Command & Conquer Remastered Collection resmi rilis pada 5 Juni 2020 kemarin. Anda pemain game yang datang dari generasi Z mungkin akan kebingungan mendengar nama yang satu ini. Namun, Command & Conquer sebenarnya bisa dibilang sebagai salah satu game klasik paling populer pada masanya.

Sebelum kita mengulas sajian remaster hasil buah tangan Petroglyph dan Lemon Sky Studios, mari kita bahas singkat terlebih dahulu apa itu Command & Conquer, dan bagaimana game ini berperan membentuk tren genre Real Time Strategy.

Rilis tahun 1995, Command & Conquer: Tiberian Dawn serta Command & Conquer: Red Alert adalah penantang keras dari game RTS besutan Blizzard Studios, Warcraft: Orcs & Humans. Namun alih-alih mengambil latar dunia fantasi, game besutan Westwood Studios ini mengambil tema militer yang realistis.

Tiberian Dawn menceritakan konflik antara dua fraksi yaitu sekte Brotherhood of Nod (NOD) dan pasukan militer buatan Persatuan Bangsa Bangsa yang diberi nama Global Defense Initiative (GDI). Konflik dua fraksi tersebut terjadi karena perebutan sumber daya dari planet asing bernama Tiberium, yang tercipta karena meteorit menghantam daerah sekitar sungai Tiber di tahun 1990.

Red Alert bercerita tentang dunia alternatif yang tercipta karena perjalanan waktu yang dilakukan Albert Einstein pada tahun 1946 menyebabkan Adolf Hitler muda hilang dari peradaban. Dampak dari hal tersebut adalah Uni Soviet (Soviet) berkembang menjadi negara adidaya, lalu berperang melawan pasukan sekutu (Allied Nations) yang dibentuk oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Dua game ini berhasil memberikan pengalaman dan kenangan kepada para gamers di tahun 90an. Lewat remaster yang dikerjakan Petroglyph dan Lemon Sky Studios, mampukah dua seri Command & Conquer mengulang kenangan manis yang dirasakan pemain game ini di tahun 90an? Mari simak review Command & Conquer Remastered Collection dari saya.

Remaster Audio Visual yang Ciamik

Mengingat game ini remaster dari sebuah game yang terbit di awal tahun 90an, jadi Anda jangan berharap terlalu muluk-muluk terhadap kualitas grafis atas game ini. Saya tidak bilang bahwa grafis Command & Conquer Remastered Collection jelek. Hanya saja, jika Anda berharap grafis yang realistis dengan sajian dunia imersif layaknya The Outer World, mungkin Anda salah pilih game.

Salah satu alasannya adalah karena Command & Conquer Remastered Collection memiliki genre Real Time Strategy. Seperti genre XCOM: Chimera Squad, genre RTS memang tidak menjual kecantikan grafis untuk menarik konsumen. Namun, jika kita menilai seberapa bagus grafis Command & Conquer Remastered Collection hanya dengan membandingkan versi klasik dengan versi remaster, saya mungkin bisa berikan skor 80/100 untuk game ini.

Lemon Sky Studios yang mengerjakan proses remaster ini sungguh telah mencurahkan daya upaya terbaiknya. Studio CGI asal Malaysia ini berhasil membuat sebuah game yang dulu memiliki grafis pixelated, menjadi jauh lebih jelas, dan bahkan memiliki detail yang patut diacungi jempol.

Memang Lemon Sky Studios mungkin bisa dibilang sebagai salah satu studio CGI terbaik di Asia Tenggara ini. Mereka banyak terlibat dalam pengerjaan proyek remaster/remake bersama dengan pengembang game internasional. termasuk Warcraft III Reforged dan Final Fantasy VII Remake.

Lebih lanjut membahas grafis Command & Conquer Remastered Collection Ken Foong, Chief Creative Production dari Lemon Sky Studios sempat bercerita kepada saya dalam sesi wawancara Hybrid Talk. Ia mengatakan, bahwa dalam proses melakukan remaster, mereka menggambar ulang seluruh aset yang ada di dalam game Command & Conquer.

Hasilnya? Unit Rifleman Squad yang dulu hanya kotak-kotak saja, kini tergambar dengan detail, sehingga kita bisa melihat bagaimana pakaiannya, dan bagaimana animasi gerakan unit tersebut. Bahkan kita juga bisa melihat wajah unit tersebut, walau tak sepenuhnya jelas. Unit bangunan juga tergambar dengan jelas, termasuk untuk unit building sesederhana Barracks.

Ditambah lagi Petroglyph juga menyajikan fitur tambahan berupa Camera Zoom dan Graphics Switching, yang memungkinkan Anda untuk lebih menikmati lagi hasil remaster kawan-kawan dari Lemon Sky Studios.

Jadi untuk grafis in-game, tingkat detail yang disajikan Command & Conquer Remastered Collection menurut saya sangat ciamik. Kalau harus dibandingkan dengan remaster RTS klasik besutan Blizzard, StarCraft: Remastered Collection, saya bisa bilang Command & Conquer Remastered Collection ini menang telak.

Command & Conquer Remastered Collection juga melakukan remaster terhadap elemen audio visual lainnya, termasuk Cinematic Footage yang mengantarkan Anda ke dalam misi, dan musik in-game yang direkam ulang oleh sang komposer orisinil yaitu Frank Klepacki & The Tiberian Sons.

Jujur, saya tertawa sendiri ketika melihat Cinematic Footage yang disajikan, karena membayangkan bagaimana lucunya kreativitas pengembang game zaman dulu saat disajikan ulang di zaman sekarang. Gamers zaman sekarang mungkin sudah terbiasa dengan sajian cut-scene berupa pre-rendered graphics yang membawa pemain tenggelam ke dalam latar dunia sebuah game. Pada zamannya, Command & Conquer bisa dibilang kesulitan untuk melakukan hal tersebut. Maka dari itu, pengembang original game ini, Westwood Studios mencoba sedikit kreatif dengan menampilkan cut-scene berupa aktor asli, berperan sebagai karakter dari dunia Command & Conquer.

Dalam versi remaster ini, cut-scene yang disajikan tetap berasal dari footage asli dari Command & Conquer yang rilis tahun 90, namun dengan grafis yang lebih baik dan bisa dinikmati dalam resolusi HD. Jadi ketika akan menjalankan misi, Anda akan disambut kembali oleh sosok General Sheppard yang merupakan pemandu utama dalam melakukan misi pasukan GDI dan sosok Kane sang antagonis dari fraksi NOD.

Musik in-game yang direkam kembali juga menjadi salah satu alasan Command & Conquer Remastered Collection menjadi sangat bisa untuk dinikmati di zaman ini. Ketika mendengarnya, saya merasakan sedikit perasaan campur aduk, karena perasaan nostalgia yang muncul namun sekilas membuat saya lupa kalau ini adalah game zaman dulu yang di-remaster karena kualitasnya.

Sejauh ini, saya bisa bilang bahwa audio visual Command & Conquer Remastered Collection adalah elemen terbaik dari sajian remaster ini.

Gameplay Klasik Minim Perbaikan

Setelah banyak pujian terlontar dari sisi audio visual, sayangnya Command & Conquer Remastered Collection dari sisi gameplay malah terbilang keteteran. Ini mungkin karena memang remaster audio visual adalah nilai jual utama Command & Conquer Remastered Collection. Gameplay Command & Conquer Remastered Collection tidak bisa dibilang jelek, namun hanya begitu-begitu saja, tidak beda jauh dengan versi orisinil.

Memainkan Single-Player Campaign tetap terasa menyenangkan, walau misi di awal-awal permainan cenderung terasa monoton. Kebanyakan misi di awal permainan hanyalah bangun markas dan hancurkan markas musuh. Namun karena mekanisme permainan di dalam Tiberian Dawn serta Red Alert yang cenderung cepat, kebanyakan misi ini bisa selesai dalam waktu mungkin hanya 5 sampai 15 menit saja.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Efeknya adalah, saya jadi ketagihan untuk melanjutkan misi-misi berikutnya, sambil keasyikan menonton sajian Cinematic Footage yang dihadirkan. Memainkan misi Command & Conquer ini ibarat seperti keasyikan menonton series Netflix yang sebenarnya tidak terlalu Anda suka, tetapi lama kelamaan jadi keasyikan karena pada akhirnya memiliki keseruannya tersendiri.

Walau awalnya cukup monoton, namun seiring waktu misi akan menjadi semakin rumit. Pada satu misi dari fraksi GDI contohnya. Dalam misi tersebut, Anda hanya mengendalikan satu unit saja, namun diberi tugas untuk menghancurkan seluruh markas musuh. Unit tersebut adalah unit khusus, yang bisa kalahkan Infantry dan bangunan dengan satu kali klik saja, walau akan keok jika berhadapan dengan kendaraan perang.

Maka dari itu, Anda harus cerdik menghindari kendaraan yang sedang melakukan patroli, sambil menyusup ke markas musuh sembaru menghabisi pasukan musuh satu per satu. Entah kemampuan saya melakukan misi stealth yang memang buruk atau misi ini yang memang susah. Dengan difficulty Casual, saya sampai harus mengulang misi ini lebih dari 5 kali, baru akhirnya bisa terselesaikan… Haha.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Command & Conquer Remastered Collection masih mempertahankan mekanisme gameplay klasik. Sayangnya, mempertahankan mekanisme versi klasik tidak hanya sekadar mempertahankan cara menggerakan unit yang menggunakan klik kiri, tetapi juga termasuk sistem AI serta pathfinding dari masa lalu yang masih bertahan walau sebenarnya kurang praktis di masa kini.

Anda tidak perlu terlalu mengkhawatirkan mekanisme kontrol klasik, karena Petroglyph dan Lemon Sky Studios juga menyediakan skema kontrol modern yang menggunakan klik kanan sebagai tombol utama untuk memberi komando terhadap unit. Namun sistem AI dan pathfinding jadi hal yang cukup mengganggu pengalaman bermain. Ini terjadi mungkin karena ingatan terakhir saya terhadap sistem AI dan pathfinding dari game RTS datang dari Warcraft III.

Salah satu contoh yang menurut saya paling terasa adalah behavior atau pola tingkah laku unit ketika mereka melihat musuh. Pada Warcraft III, Anda tak perlu repot memberi command kepada unit untuk melawan musuh yang menyerang mereka. Semua unit akan secara otomatis melawan unit musuh, jika mereka berada di dalam jarak serang sang unit. Tapi, jangan harapkan hal itu di Command & Conquer Remastered Collection. Jika Anda tidak menggerakan sang unit untuk menyerang, maka ia hanya akan diam tak bergeming walaupun sedang ditembaki hingga sekarat sampai akhirnya mati.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Juga jangan tanya lagi jika bicara soal pathfinding. Mungkin Command & Conquer Remastered Collection memang tidak ada pembaruan apapun dari sisi kemampuan unit mencari jalan menuju suatu titik yang diperintahkan, sehingga ini sedikit banyak akan menyulitkan pemain ketika memerintahkan unit. Satu contoh yang menggambarkan betapa kakunya sistem pathfinding Command & Conquer Remastered Collection adalah ketika unit diperintahkan untuk berjalan dengan jarak yang cukup jauh dan mengarungi medan yang rumit.

Terkadang, unit jadi terdiam di tengah jalan karena kebingungan harus lewat mana. Jadinya Anda harus menggerakan unit secara lebih rinci dengan jarak yang lebih dekat-dekat. Untungnya, Petroglyph menambahkan sistem “Shift-Queue”, yang memungkinkan pemain memasukkan antrian perintah yang akan dilakukan satu per satu setelah perintah yang lain selesai.

Skor Command & Conquer Remastered Collection dari segi gameplay mungkin bisa lebih baik lagi, jika saja remaster ini juga menyertakan perbaikan terhadap sistem AI serta pathfinding dalam permainan.

Meski begitu, sistem AI dan pathfinding tadi mungkin lebih digemari oleh Anda yang sudah jauh lebih terbiasa bermain game RTS karena memberikan tantangan lebih dan kontrol yang lebih spesifik. Sedangkan untuk mereka-mereka yang belum terlalu lama bermain RTS, Anda mungkin memang jadi merasakan kerepotan tadi karena micro-management yang terlalu kompleks.

Sajian Story Rasa Serial Televisi

Genre RTS memang cenderung punya cerita yang cenderung dangkal jika dibandingkan dengan game RPG. Walau demikian, para pengembang tetap melakukan usaha terbaiknya untuk dapat memberikan konteks cerita kepada para pemain lewat cara-cara lain. StarCraft dan Warcraft contohnya yang menyajikan cerita lewat potongan cut-scene yang pada beberapa aspek membuat game ini jadi terasa seperti RPG.

Seri Command & Conquer Remastered punya caranya tersendiri untuk menyajikan cerita tersebut. Cinematic Footage yang tampil di awal dan akhir misi, dengan diperankan aktor sungguhan menurut saya adalah  usaha terbaik EA untuk melakukan story-building dalam seri Command & Conquer; yang bahkan akhirnya menjadi ciri khas dari seri Command & Conquer.

Pada seri Command & Conquer setelahnya, EA sampai menyewa aktor kawakan hanya untuk bagian Cinematic Footage saja. Beberapa contohnya adalah sosok George Takei untuk memerankan Emperor Yoshiro dan David Hasselhoff untuk memerankan wakil presiden Amerika Serikat di Command & Conquer Red Alert 3.

Tapi mungkin sebatas itu saja penyajian cerita di Tiberian Dawn dan Red Alert. Seperti juga saya sebut saat membahas aspek visual, menikmati story di dalam game Command & Conquer Remastered Collection itu layaknya menonton serial Netflix. Yang bisa Anda lakukan hanya menonton, tanpa memiliki kontrol apapun terhadap jalannya cerita. Terlebih saat sudah memasuki game, tidak akan ada lagi cut-scene apapun. Pokoknya Anda hanya bermain saja, sampai misi Anda selesai.

Versi remaster tidak menyajikan perubahan dalam cerita. Seperti saya sebut di awal, fokus ceritanya masih sama, yaitu konflik antara GDI dengan NOD pada Command & Conquer, dan konflik antara Soviet dengan pasukan sekutu pada Command & Conquer: Red Alert. Namun, rekaman behind-the-scene dari Cinematic Footage yang sudah Anda saksikan bisa dibilang menjadi nilai tambah aspek story atas game ini.

Selain Bonus Gallery untungnya Command & Conquer Remastered Collection juga memberikan pemain akses terhadap semua Cinematic Footage atas misi yang telah diselesaikan. Semua itu bisa Anda akses lewat menu Mission Collection, yang berisi semua misi yang telah ataupun belum Anda lakukan.

Kehadiran fitur menonton ulang semua potongan Cinematic Footage dari misi yang telah dilakukan ini juga menjadi nilai tambah lain dari aspek story Command & Conquer Remastered Collection. Bagaimanapun, story game Command & Conquer tetap menjadi sesuatu yang memberikan kesan nostalgia saat disaksikan kembali.

Koleksi Lengkap yang Minim Replayability

Dari semua hal, durasi permainan mungkin bisa dibilang juga menjadi nilai jual lain dari game ini. Ini karena Remastered Collection menyertakan hampir semua seri awal dari Command & Conquer, yaitu Tiberian Dawn dan Red Alert, berserta dengan tiga Expansion Pack, yaitu The Covert Operations, Red Alert – Counterstrike, dan Red Alert – The Aftermath.

Jadi, Anda tidak perlu khawatir mengalami keadaan seperti saat Senior Editor kami memainkan The Outer World; yang masih punya hasrat ingin main namun tidak bisa melakukan apa-apa karena konten di dalam game-nya sudah habis. Jika melihat dari catatan HowLongToBeat, memang ada yang hanya mencatatkan 28 jam permainan saja untuk Command & Conquer Remastered Collection. Tetapi, itu hanya baru menyelesaikan main-story saja.

Sumber: Steam
Sumber: Steam

Jadi sebenarnya, dengan mengasumsikan pemain tersebut menyelesaikan main story dari Tiberian Dawn dan Red Alert juga, maka diperkirakan butuh tambahan 37 jam lagi untuk bisa menyelesaikan cerita dari tiga Expansion Pack yang ada dalam koleksi. Belum lagi, Command & Conquer Remastered Collection juga menyajikan permainan online, yang tentunya bisa membuat Anda jadi kembali lagi memainkan game ini.

Terlebih Command & Conquer Remastered Collection juga menambahkan beberapa hal pada fitur online, yang membuat game ini jadi bisa hidup lebih lama lagi. Pertama adalah fitur matchmaking yang memungkinkan Anda bermain dengan orang lain hanya dengan satu kali klik. Lalu ada juga fitur Leaderboard, yang membuat Anda berjiwa kompetitif tentunya akan semakin terpatri ke dalam game ini.

Lalu bagaimana dengan mod dan custom map? Jika berkaca kepada Warcraft III, dua hal tersebut adalah faktor terbesar mengapa game tersebut masih dimainkan orang-orang sampai akhir 2000an, walau game itu rilis di tahun 2002. Siapa yang tidak ingat custom-game bertema tower defense, pertarungan antar judul anime, dan tentunya Defense of the Ancient di Warcraft III. Semua itu tentu tercipta berkat dukungan komunitas modding, yang membuat para pemain tetap memainkan Warcraft III, walau sudah menyelesaikan main-story.

Jika berpatokan kepada Steam Workshop, saat ini sudah ada 3236 item terkait modifikasi ataupun custom map dari Command & Conquer Remastered Collection. Namun kebanyakan yang terlihat lebih kepada mod untuk meningkatkan Quality of Life game ini, seperti penambahan fitur Attack Move, Better Pathfinding, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan custom map yang bisa menambah panjang jangka hidup game ini layaknya DotA di Warcraft III.

Sayangnya, custom map di Command & Conquer Remastered Collection hanya terbatas untuk mengedit map untuk digunakan dalam Skirmish secara online saja. Jadi, kebanyakan custom map hanya menambah variasi tempat pertarungan saja, tanpa menambah variasi gameplay layaknya DoTA atau Element TD di dalam Warcraft III.

Kesimpulan – Game Terbaik Untuk Bernostalgia

Setelah mengulas Command & Conquer Remastered Collection panjang dan lebar, pertanyaan yang harus kita jawab di akhir artikel ini mungkin tentunya adalah apakah game ini pantas untuk dibeli? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Jika Anda adalah gamers generasi 90an yang rindu dengan game klasik ini jawabannya tentu saja IYA.

Kekurangan versi remaster ini menurut saya hanyalah tidak adanya perbaikan dari sisi AI dan pathfinding unit pasukan, yang sebenarnya masih bisa diatasi dengan menggunakan mod.

Kekurangan lain dari Command & Conquer Remastered Collection mungkin adalah ketidakhadiran mod atau custom game yang memberi variasi gameplay untuk Tiberian Dawn ataupun Red Alert. Jadi, mungkin setelah semua Single-Player Campaign selesai, saya akan meninggalkan game ini, dan hanya sesekali saja iseng bermain secara online.

Lalu, apakah game ini layak dibeli bagi Anda yang tidak kenal seri Command & Conquer sama sekali? Kalau saja Command & Conquer Remastered Collection dijual terpisah dengan harga per-game sekitar Rp100 ribuan, mungkin jawabannya adalah iya. Tapi berhubung game ini punya harga yang cukup mahal, yaitu Rp282 ribu, maka jawabannya adalah tidak.

Karena bagaimanapun, nilai jual terbesar dari Command & Conquer Remastered Collection tetaplah perasaan nostalgia yang Anda rasakan ketika melihat Cinematic Footage ataupun mendengar musik saat berada di dalam game. Memainkan Command & Conquer Remastered Collection tanpa punya ingatan atas Tiberian Dawn atau Red Alert mungkin akan membuat Anda jadi merasa biasa saja atau malah jadi kebosanan saat memainkan game ini.

Review XCOM: Chimera Squad: XCOM 2 Versi Murah nan Sederhana

24 April 2020 yang lalu, XCOM: Chimera Squad tiba-tiba dirilis. Pasca dirilis, Chimera Squad juga tidak berhasil membangun hype yang dirasakan dari 2 game sebelumnya: XCOM: Enemy Unknown (2012) ataupun XCOM 2 (2016). Sebelum kita masuk ke review XCOM: Chimera Squad kali ini, izinkan saya bercerita sedikit tentang franchise XCOM.

Saya tahu bahwa game ber-genre Turn-Based Tactics memang nyatanya bukan buat semua gamer. Turn-Based Tactics memang mungkin lebih niche ketimbang game-game action yang jauh lebih ramah ke kalangan mainstream. Namun begitu, XCOM: Enemy Unknown sempat membuat gempar kalangan fans di luar genre strategi sekalipun karena menjadi iterasi atau reinkarnasi game klasik legendaris, UFO: Enemy Unknown (alias XCOM: UFO Defense) yang pertama dirilis tahun 1994.

Kesuksesan Enemy Unknown juga membuat XCOM 2 lebih populer lagi dari sebelumnya. Seri terakhir dari franchise XCOM adalah expansi XCOM 2, yaitu War of the Chosen (WotC) yang dirilis tahun 2017. Meski WotC mendapatkan respon positif namun, jika saya tidak salah, popularitasnya memang tak setinggi base game-nya. Mungkin ini juga yang membuat Chimera Squad tak lagi sepopuler dari 2 stand alone game sebelumnya.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Meski begitu, saya pribadi memang tidak memilih game untuk dimainkan dari popularitasnya. Saya sendiri tertarik membeli Chimera Squad karena pengalaman saya yang sangat berkesan saat memainkan Enemy Unknown ataupun XCOM 2.

Terakhir, sebelum kita masuk ke reviewnya, saya harus katakan bahwa, meski saya sangat menyukai Turn-Based Tactics; genre ini mungkin memang bukan yang paling favorit buat saya pribadi. Pasalnya, saya mencintai game-game yang tidak hanya asyik dari segi gameplay tapi juga menyuguhkan kedalaman cerita dan lore seperti Pillars of Eternity, Divinity: Original Sin, trilogi The Witcher, ataupun seri Mass Effect. Di sisi lain, Turn-Based Tactics seperti seri XCOM memang biasanya tidak berhasil mengikat saya dari segi kompleksitas cerita dan lore-nya — hanya dari sisi gameplay-nya saja yang menyenangkan untuk dipelajari.

Oh iya, inilah spesifikasi PC saya saat memainkan Chimera Squad:

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

Visualisasi Grafis dan Performa: 73/100

Nyatanya, game-game Turn-Based Strategy mungkin memang tidak menyuguhkan kecantikan grafis sebagai daya tarik utama — setidaknya jika dibanding Action RPG, FPS, ataupun genre-genre lainnya yang lebih ramah untuk kalangan gamer mainstream. 

Demikian juga Chimera Squad ini. Apalagi jika saya bandingkan dengan beberapa game yang saya mainkan sebelum Chimera Squad dalam 1 tahun terakhir ini. Assassin’s Creed Odyssey, The Outer Worlds, Doom Eternal, ataupun Borderlands 3 jauh lebih superior dalam urusan memanjakan mata Anda. Meski begitu, grafisnya juga tidak menyedihkan meski tak fantastis seperti Darksiders Genesis, Tales of Vesperia: Definitive Edition, ataupun Wolcen: Lords of Mayhem yang juga saya mainkan beberapa waktu belakangan.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Chimera Squad menawarkan environment yang bisa dihancurkan. Tembok-tembok yang digunakan untuk berlindung juga bisa dihancurkan dengan menggunakan granat. Environment yang dinamis ini tak hanya menyenangkan untuk dilihat tetapi juga menambah kompleksitas gameplay.

Di sisi lain, karena grafisnya yang tidak bombastis, Chimera Squad juga jadi cukup ramah terhadap PC kelas menengah ataupun bawah. Saya juga tidak merasakan ada masalah apapun soal performanya — mengingat game-game bergrafis sederhana juga bisa saja bermasalah dengan performanya seperti yang saya rasakan dengan PoE 2: Deadfire.

Jika berbicara soal Chimera Squad, tidak sedikit orang-orang yang membandingkannya dengan Gears Tactics — yang memang dirilis dalam waktu berdekatan dan memiliki genre yang sama. Berbicara soal grafisnya, Gears Tactics nampaknya menyuguhkan grafis yang lebih fantastis — setidaknya dari video-video yang saya lihat karena saya memang belum memainkannya. Mungkin lain kali saya akan menuliskan reviewnya jika saya sudah memainkannya nanti.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Gameplay: 70/100

Dari sisi gameplay, Chimera Squad memang faktanya lebih sederhana ketimbang XCOM 2 ataupun Enemy Unknown (EU). Namun, bukan berarti gameplay-nya menyedihkan juga. Saya bahkan menghargai upaya Firaxis dalam usahanya membuat gameplay yang berbeda dari XCOM 2 ataupun EU.

Di dua game sebelumnya, strategi dan perhitungan Anda diuji dari 2 sisi (dari sisi membangun fasilitas dan dari strategi saat pertempuran). Penyederhanaan dari Chimera Squad yang lebih terasa adalah dalam hal strategi di luar pertempuran. Meski penyederhanaan strategi di dalam pertempuran juga cukup terasa, seperti equipment yang variasinya tak sebanyak XCOM 2, Chimera Squad tetap memaksa saya memelajari gameplay dan berpikir matang di setiap turn.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Jika di dua game sebelumnya, turn Anda dibagi jadi masing-masing kubu sehingga Anda bisa memilih sendiri karakter di kubu Anda yang ingin dijalankan lebih dulu. Di Chimera Squad, turn ini dibagi jadi masing-masing karakter. Hal inilah yang pembeda terbesar yang saya rasakan antara Chimera Squad dengan game-game XCOM modern lainnya. Pasalnya, perbedaan turn ini jadi memaksa Anda untuk memerhatikan urutan jalan jadi lebih seksama dan berhati-hati.

Perbedaan turn ini juga jadi memungkinkan variasi strategi baru. Misalnya, Anda jadi bisa memilih skill untuk memundurkan turn musuh selain hanya sekadar memberikan damage.

Selain soal perbedaan turn, perbedaan lain antara Chimera Squad dengan XCOM 2 juga ada pada karakter-karakter yang Anda gunakan untuk pertempuran. Jika pada XCOM 2, Soldier yang digunakan di-generate secara acak (alias random generated), masing-masing Squad Anda di sini unik. Meski keputusan ini juga membuat strategi di luar pertempuran jadi lebih sederhana, karakter-karakter unik di Chimera Squad jadi memberikan nilai lebih dari sisi plot cerita dan karakter yang akan saya bahas di bagian berikutnya.

Berhubung jadi akan terlalu panjang jika saya jelaskan semuanya lewat tulisan, Anda bisa menonton perbedaan-perbedaan apa saja yang ditawarkan oleh Chimera Squad dibanding XCOM 2 di video buatan GameSpot di bawah ini.

Terlepas dari semua perbedaan tadi, sekali lagi saya katakan bahwa Chimera Squad memang nyatanya tak sekompleks XCOM 2. Namun begitu, dengan gameplay yang lebih sederhana, game ini juga bisa jadi pengantar buat gamer yang belum pernah bermain Turn-Based Strategy sebelumnya.

Plot Cerita dan Karakter: 67/100

Seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel, saya memang belum pernah menemukan game Turn-Based Strategy yang menyuguhkan kedalaman cerita, karakter, ataupun lore yang fantastis. Demikian juga dengan yang saya rasakan dengan Chimera Squad.

Meski begitu, ada satu perubahan soal Squad/Soldier di Chimera Squad yang berhasil memberikan nilai lebih di aspek ini. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya di aspek gameplay, masing-masing pasukan Anda di sini unik dan tak lagi randomly generated. Jadi, jika pasukan Anda sebelumnya tidak memiliki karakteristik apapun (dalam hal narasi cerita), masing-masing Squad di Chimera Squad jadi memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Torque, misalnya, adalah alien ular perempuan yang cukup jenaka. Sedangkan Cherub memiliki optimisme yang cukup menghibur. Blueblood dan Shelter juga memiliki background ceritanya masing-masing. Karakteristik-karakteristik tadi muncul dari dialog-dialog yang sebenarnya dikemas dengan cukup menarik.

Sayangnya, meski memang jadi lebih menarik dibanding XCOM 2 dari sisi karakteristik karakter-karakternya, menurut saya Firaxis melewatkan kesempatan untuk memanfaatkan peluang ini dengan lebih matang. (Tiny) Tina, Handsome Jack, atau Mr. Torgue dari seri Borderlands jauh lebih kuat dan memorable ketimbang karakter-karakter dari Chimera Squad yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya.

Sedangkan untuk plot ceritanya, Anda juga mungkin tak bisa berharap banyak dari Chimera Squad. Namun, meski memang aspek ceritanya tak bisa disejajarkan dengan game-game besutan Obsidian ataupun CD Projekt, aspek cerita dan karakteristiknya juga tidak bisa dibilang membosankan atau menyebalkan… Karena saya tahu tidak sedikit juga game-game yang bahkan tidak menawarkan aspek ini, seperti kebanyakan game-game multiplayer, kompetitif, atau yang gratisan. Saya juga bahkan beberapa kali menemukan gamegame yang cerita dan karakter-karakternya terlalu membosankan atau bahkan menyebalkan (terlalu chessy atau cringe) sehingga membuat saya langsung menjauhi game tersebut.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 65/100

Sebelum saya menutup review ini, ada beberapa aspek lagi yang mungkin cukup menarik untuk dibahas yang akan saya rangkum dalam satu bagian.

Pertama, saya menyelesaikan Single Player Campaign-nya sebanyak dua kali. Awalnya, saya bermain di mode normal dengan tingkat kesulitan Expert. Sedangkan saat kedua kalinya, saya menyelesaikannya dengan Mode Ironman plus Hardcore dengan tingkat kesulitan Impossible.

Dengan menyelesaikannya lebih dari satu kali, Chimera Squad berarti cukup menyenangkan buat saya — meski memang tidak sepanjang yang saya harapkan. Steam mencatat durasi saya bermain Chimera Squad sebanyak 49 jam. Bandingkan saja dengan saat saya bermain The Outer Worlds, saya sudah cukup puas menyelesaikan Campaign-nya satu kali (dengan catatan durasi permainan di EGS sebanyak 37 jam). Saat saya menulis ini, saya juga sedang bermain Tales of Vesperia: Definitive Edition yang sebenarnya sudah membuat saya kebosanan meski belum selesai satu kali playthrough (walaupun catatan Steam saya di game ini sudah mencapai 50 jam).

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Oh iya, selama saya bermain tadi, sayangnya saya harus merasakan dua kali gamebreaking bug yang sangat menyebalkan karena terjadi saat Ironman dan Hardcore Mode. Pertama, ada satu kali pertempuran saat musuh (Enemy Reinforcement) tidak datang-datang. Hal ini jadi membuat pertempuran tidak bisa diselesaikan. Bug ini juga dialami oleh pemain lainnya.

Bug kedua adalah saat fase Breaching yang menunjukkan “Required value not met” untuk salah satu karakter saya. Otomatis, game juga jadi tak bisa dilanjutkan jika hal ini terjadi. Salah satu solusi dari dua bug tadi adalah reload savegame sebelumnya namun hal ini tak bisa dilakukan dengan Ironman Mode. Untungnya, Chimera Squad masih memungkinkan untuk mengaktifkan fitur Console Commands. Meski memang jadi sedikit aneh, setidaknya saya tidak perlu mengulang campaign Ironman Mode saya tadi dari awal.

Selain dari fitur Console Commands yang bisa diaktifkan, Chimera Squad juga bisa di-modding. Anda juga bahkan bisa mengunduh gratis Chimera Squad Development Tools dari Steam jika tertarik untuk modding game ini. Sayangnya, jujur saja karena ukuran Development Tools-nya 70GB dan base game-nya tidak terlalu menarik, saya belum mencobanya secara langsung. Padahal, biasanya saya sangat tertarik untuk bereksperimen sendiri soal modding.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Komunitas modding Chimera Squad sendiri mungkin bisa dibilang cukup baik. Meski baru dirilis bulan April, saat saya menulis artikel ini di bulan Juni, sudah ada 93 items di Steam Workshop dari Chimera Squad. Beberapa mods di sana juga menarik sebenarnya karena ada yang memberikan karakter-karakter baru untuk dimainkan. Namun demikian, ketertarikan saya untuk modding game ini sendiri tidak sebesar yang saya rasakan saat bermain PoE 2: Deadfire, The Witcher 3, D:OS 2, ataupun Skyrim.

Average Score: 68.75/100

Akhirnya, seperti yang Anda lihat dari skor di masing-masing bagian, Chimera Squad mungkin memang tidak menyuguhkan salah satu aspek yang sangat berkesan. Namun demikian, ia juga tidak memiliki aspek yang menyedihkan.

Misalnya, dibandingkan dengan The Outer Worlds (TOW) yang saya review sebelumnya. TOW memang superior dalam hal grafis, plot, cerita, dan karakternya dibanding Chimera Squad. Namun TOW sangat menyedihkan dalam hal durasi permainan dan aspek modding — yang biasanya disuguhkan dari game-game Obsidian. Sedangkan Chimera Squad lebih rata dalam setiap aspeknya — makanya itu juga nilai rata-ratanya lebih tinggi. Meski begitu, nilai rata-rata yang lebih tinggi bukan berarti bisa jadi lebih favorit/berkesan buat saya pribadi.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Terlepas dari hal tadi, dengan kompleksitas gameplay yang lebih sederhana, dialog antar karakter yang cukup menghibur, dan harga yang sangat terjangkau (Rp210 ribu saat artikel ini ditulis) saya sungguh percaya Chimera Squad tetap layak dibeli dan dimainkan jika Anda memang fans game strategi turn-based ataupun fans XCOM.

Selain itu, bagi Anda yang ingin mencoba genre strategi turn-based pertama kali, Chimera Squad juga akan menjadi pengantar yang cukup ramah untuk pemula. Chimera Squad mungkin juga cocok bagi Anda yang tidak punya PC kelas high-end namun sedang kebingungan mencari game baru dengan harga yang cukup terjangkau.

Review The Outer Worlds: Ketika Narasi dan Visualisasi Tak Cukup Penuhi Ekspektasi

Obsidian. Buat yang suka dengan game-game PC berbobot dari segi kekuatan dan kekayaan narasi, Anda harusnya sudah tidak asing dengan nama tadi. Star Wars: Knights of the Old Republic 2 (2004), Neverwinter Nights 2 (2006), Fallout: New Vegas (2010), South Park: Stick of Truth (2014), Pillars of Eternity (2015), Tyranny (2016), dan Pillars of Eternity 2: Deadfire (2018) adalah sejumlah game-game legendaris besutan Obsidian.

Sebelum kita masuk ke dalam review The Outer Worlds kali ini, jujur saja saya katakan di awal, saya adalah penggemar fanatik dari game-game Obsidian. 7 game yang saya sebutkan tadi, saya sudah menyelesaikannya semua. Saya bahkan sempat menuliskan review Tyranny dan PoE2: Deadfire di blog pribadi saya beberapa tahun silam. Kenapa saya suka dengan Obsidian? Ada 3 alasan besar yang membuat game-game Obsidian selalu layak dimainkan.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Pertama, kekuatan plot cerita, penyajiannya, karakteristik karakter-karakter di dalamnya dan segala macam aspek kekuatan narasi dari setiap game Obsidian adalah salah satu yang terbaik sepanjang pengalaman saya bermain game dari tahun 1997 dan bekerja di media game sejak 2008.

Kedua, tentu saja gameplay jadi elemen yang paling penting buat saya. Makanya, biasanya, saya kurang suka dengan game-game ber-genre interactive visual novel seperti game-game besutan Telltale Games. Saya memang menyukai gameplay yang memuaskan dan kompleks untuk dipelajari dan itulah yang selalu disuguhkan dari setiap game-game Obsidian.

Faktor ketiga adalah salah satu faktor terbesar yang membedakan game PC dengan game-game dari platform lainnya, yaitu game modding. Buat Anda yang tidak tahu apa itu game modding, ada tulisan dari NVIDIA yang cukup lengkap untuk menjelaskan soal game modding.

Kenapa saya menjelaskan 3 faktor ini lebih dulu sebelum saya masuk ke penilaian setiap aspek? Karena sayangnya, di game ini, Obsidian hanya bisa menyuguhkan 2 dari 3 faktor tadi…

Terakhir, sebelum kita masuk ke setiap bagian, saya memainkan game ini di PC dan berikut adalah spesifikasi PC yang saya gunakan (sekalian pamer wkwkwakwka…):

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

Visualisasi Grafis dan Audio: 94/100

Jika Anda rindu dengan game-game macam seri Fallout modern, Anda mungkin memang perlu menghindari Fallout 76. Untungnya, The Outer Worlds (TOW) bisa mengobati kerinduan Anda tadi. Visualisasi dari TOW menawarkan atmosfir yang tak jauh berbeda dengan yang biasanya disuguhkan di seri Fallout (Fallout 3, New Vegas, dan Fallout 4). Namun demikian, TOW menyajikan grafis dengan saturasi lebih tinggi ketimbang Fallout.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Selain grafisnya yang mampu menawarkan atmosfir yang immersive, faktor suara dan voice acting di TOW juga layak diacungi jempol. Bagi saya, faktor penyajian audio dan visual yang istimewa itu tak hanya sedap dipandang dan memanjakan telinga namun juga mampu mendukung kekuatan imersifitas atmosfir dunia dan cerita yang disuguhkan. Obsidian mampu menyuguhkannya dengan sempurna di game ini.

Meski memberikan visualisasi yang ciamik, game ini juga tidak berat dari sisi performanya. Dengan spesifikasi PC saya di atas, saya tidak kesulitan sama sekali untuk menyentuh kisaran 90-120 fps. Kawan saya, Glenn Kaonang yang juga penulis untuk DailySocial dan Hybrid, juga masih lancar memainkan game ini (60 fps) di setting grafis Medium meski masih menggunakan kartu grafis GeForce GTX 960.

Plot Cerita dan Karakter: 81/100

Seperti yang saya tuliskan tadi, kekuatan narasi adalah salah satu keunggulan dari setiap game-game Obsidian. Aspek ini juga masih bisa Anda dapatkan di TOW. Lore building di TOW sungguh nyaris sempurna. Sayangnya, game ini memang masih belum bisa menawarkan dunia yang sekompleks seri Pillars of Eternity (PoE). Demikian juga soal alur ceritanya. Jika dibandingkan dengan seri PoE (baik 1 dan 2), alur cerita di TOW lebih mudah ditebak — setidaknya buat saya pribadi. Untungnya, kelebihan dari aspek cerita di TOW ada di penyajiannya yang lebih menarik ketimbang seri PoE tadi.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Saya kira plus dan minus tadi karena memang genre yang berbeda antara TOW dan seri PoE. Seri PoE ber-genre cRPG yang memang bukan untuk semua orang namun, biasanya, mampu membangun dunia yang begitu komprehensif lewat banyaknya wall-of-text di game-nya. Sedangkan TOW lebih mirip dengan seri Fallout modern ataupun The Witcher (action RPG) yang lebih ramah untuk kaum mainstream karena menyajikan cerita lewat cut-scene dan dialog antar karakter.

Dari sisi karakter-karakternya, TOW juga sangat menarik. Tidak ada karakter yang serba sempurna di sini yang mampu menjalankan semua Dasa Dharma Pramuka dalam setiap langkah hidupnya. Setiap karakter Companion (NPC yang menemani dan bergabung di tim Anda) mampu memberikan impresi yang unik buat para pemainnya. Sejumlah karakter-karakter penting juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

TOW pun memiliki beberapa alur cerita tergantung dari pilihan Anda. Sayangnya, karena mudah ditebak dan dibayangkan, saya jadi malas bermain campaign baru untuk yang kedua kalinya untuk mencoba alur cerita yang berbeda. Kembali lagi, jika saya bandingkan saat bermain Deadfire, saya bahkan menamatkan game tersebut lebih dari 5 kali hanya untuk mencoba alur cerita yang berbeda-beda.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Satu hal yang pasti, jika dibandingkan dengan seri PoE, TOW memang inferior. Namun aspek ini sebenarnya juga sudah sangat baik dan superior jika dibandingkan game-game lainnya yang dirilis belakangan ini. Hanya saja, karena game ini besutan Obsidian, saya jadi punya ekspektasi yang lebih tinggi.

Gameplay 70/100

Para pemain Fallout modern pasti tahu yang namanya VATS yang mengijinkan Anda menghentikan waktu dan membidik bagian-bagian musuh yang spesifik (kepala, tangan, badan, ekor, dkk.). Fitur serupa juga bisa Anda temukan di sini. Anda bisa menggunakan kekuatan slow motion agar musuh bergerak pelan sehingga Anda bisa lebih akurat dalam membidik lawan.

Companion Anda juga punya active ability masing-masing yang bisa dikeluarkan dengan menekan tombol. Sayangnya, active ability yang dimiliki oleh karakter Anda tidak banyak — hanya ada slow motion tadi dan dodge. Untungnya, karakter Anda bisa menggunakan berbagai senjata yang cukup variatif mekanismenya meski memang jauh lebih terbatas jika dibandingkan dengan Borderlands 3. Anda juga bisa menggunakan senjata melee yang punya beberapa variasi serangan.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Di sini juga ada mekanisme stealth yang bisa Anda gunakan. Sayangnya, jika dibandingkan dengan Skyrim ataupun seri Dishonored, mekanisme stealth di sini kurang memuaskan.

Oh iya, di sini, equipment Anda juga memiliki beberapa efek pasif yang bisa mengubah gaya bermain Anda. Sayangnya, lagi-lagi, hal ini tidak dilakukan dengan optimal. Pasalnya, efek-efek dari equipment di sini sangat terbatas variasinya. Lebih banyak efek-efek pasif yang membosankan seperti menambah status (Lockpick +10, Dialog +5, atau stats lainnya). Jumlah variasi efek-efek build di sini bahkan lebih sedikit juga jika dibandingkan dengan Assassin’s Creed Odyssey.

Entahlah, menurut saya, Obsidian terlalu banyak implementasi ide gameplay di TOW namun eksekusinya seperti setengah hati. Misalnya saja jika dibandingkan dengan Borderlands 3 (BL3). BL3 memang tidak ada mekanisme stealth. Namun ia punya kekayaan variasi efek dari equipment (seperti Cooldown Reduction, Accuracy, Handling, Fire rate, AoE radius, dan lainnya) yang bahkan mencapai puluhan efek. Doom Eternal juga tidak punya sistem Companion, variasi build layaknya RPG, ataupun mekanisme Stealth namun game ini sungguh superior dalam implementasi pertempurannya.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 20/100

Jika aspek gameplay dari TOW memang kurang maksimal, masih ada lagi aspek yang menyedihkan dari game ini. Durasi permainannya yang sangat pendek buat genre RPG. Durasi saya memainkan game ini setelah menamatkannya tercatat di EGS (Epic Game Store) hanya 37 jam. Apalagi, game ini juga tidak menawarkan banyak aktivitas layaknya game-game open world macam seri Assassin’s Creed ataupun GTA. HowLongToBeat bahkan mencatat angka rata-rata durasi permainan di TOW hanya 25 jam dengan durasi Main Story saja sebesar 12 jam.

Durasi permainan sebenarnya bisa jadi penting atau tidak penting dari sebuah game. Misalnya saja, Mad Max memang menawarkan banyak aktivitas open world layaknya seri Far Cry, Just Cause, ataupun yang lainnya. Namun saya sendiri merasa bosan dan tidak memiliki keinginan untuk melakukan semuanya. Catatan waktu saya bermain Mad Max di Steam hanyalah 41 jam. Jujur saja, mungkin memang saya belum puas bermain TOW namun saya kehabisan konten yang bisa dilakukan — mengingat saya tidak mau juga menjalankan campaign baru karena sudah bisa dibayangkan ceritanya.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Selain itu, dari 3 aspek yang saya suka dari Obsidian, aspek modding tak ada di sini. Hal ini berbanding terbalik dengan PoE2: Deadfire. Jika tidak percaya, lihat saja di NexusMods. Outer Worlds hanya memiliki 46 file, itu pun sebagian besar hanyalah template ReShade. Sedangkan PoE2: Deadfire punya 348 file dengan hanya 2 file di kategori ReShade & ENB. Sungguh, TOW sangat menyedihkan dari sisi game modding, mengingat Deadfire adalah game sebelum TOW dari Obsidian. Modding di Deadfire bahkan sangat mudah dilakukan. Saya juga sebelumnya sempat menuliskan tutorialnya. Obsidian sendiri bahkan memberikan dokumentasi modding untuk Deadfire.

Saya tahu modding mungkin bukan faktor penentu buat sebagian besar game namun, buat saya pribadi, ada 3 alasan subyektif kenapa hal ini jadi penting saya bahas di review The Outer Worlds kali ini.

Pertama, ekspektasi saya atas game-game Obsidian itu memang ramah terhadap komunitas game modding. Dari 7 game yang saya sebut di bagian awal artikel ini, hanya Tyranny yang tidak ramah terhadap game modding. Bahkan Stick of Truth punya 90 files di Nexus Mods. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya atau tidak, namun penting diketahui bahwa Obsidian diakuisisi oleh Microsoft di 2018. Beritanya muncul di bulan November 2018.

Sedangkan Deadfire dirilis bulan Mei 2018 yang berarti, kemungkinan besarnya, Obsidian belum diakuisisi saat proses pembuatannya yang dimulai sejak 2016 dan mendapatkan total investasi lewat campaign crowdfunding-nya di 2017. Sekali lagi, saya juga tidak yakin apakah akuisisi tadi yang jadi penyebabnya. Apalagi mengingat Minecraft (Mojang) dan State of Decay (Undead Labs), yang juga di bawah Microsoft, cukup ramah terhadap komunitas modding. Namun satu hal yang pasti, perbedaan terbesar (setidaknya yang terlihat) dari Obsidian saat membuat TOW dan game-game sebelumnya adalah akuisisi Microsoft tadi.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Kedua, game modding membuat game singleplayer jadi bisa dimainkan dalam waktu yang sangat lama. Sebagai perbandingan, saya sudah memainkan Deadfire selama 517 jam (menurut catatan dari Steam) sedangkan untuk TOW hanya 37 jam seperti yang saya tulis tadi. Meski memang durasi bermain yang singkat ini juga dipengaruhi oleh keterbatasan konten dan ragam alur cerita yang tidak sekompleks Deadfire, saya bisa membayangkan jika saya akan bermain game ini jauh lebih lama jika akses modding-nya semudah seri Fallout modern (kecuali Fallout 76 tentunya).

Ketiga, seperti yang saya katakan tadi, alasannya memang sangat subjektif; karena saya memang suka sekali merasakan proses modding dan saya tidak bisa mendapatkan itu dari TOW — yang biasanya saya dapatkan dari game-game Obsidian. Saya sungguh merindukan saat-saat modding seperti yang dulu saya lakukan saat bermain Deadfire, Fallout New Vegas, dan Neverwinter Nights 2; dan game-game yang bukan besutan Obsidian seperti, Skyrim, The Witcher 3, GTA San Andreas, ataupun yang lain-lainnya.

Average Score: 66.25/100

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Akhirnya, jika Anda memang tidak peduli soal modding, TOW memang sangat layak dimainkan. Apalagi jika Anda tidak ada masalah dengan durasi bermain. Grafis dan cerita yang ditawarkannya sungguh layak diacungi jempol. Faktor gameplay-nya juga tidak bisa dibilang buruk meski tidak istimewa. Sayangnya, mungkin karena saya juga yang sudah punya banyak kenangan berkesan memainkan serta merasakan asyiknya modding game-game Obsidian, TOW jadi terasa tak mampu memenuhi ekspektasi.

Harga TOW saat artikel ini ditulis ada di $44.99 (sekitar Rp660 ribuan) di EGS. Apakah jadi layak dibeli? Saya sendiri merasa tidak menyesal membelinya karena Obsidian nya yang sudah sering menemani saya dan memberikan berbagai kenangan manis — meski sedikit masam dengan TOW. Saya berharap game selanjutnya dari Obsidian bisa lebih sesuai dengan ekspektasi. Plus, semoga sejarah Bioware juga tak terulang dengan Obsidian…

Review Legends of Runeterra: Game Kartu Digital yang Nyaris Sempurna?

Jelang akhir 2019, Riot Games memamerkan jajaran game terbaru yang akan mereka rilis seraya merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Setelah sepuluh tahun hanya mengembangkan satu game saja, pengembang yang berbasis di Los Angeles tersebut akhirnya melebarkan sayap, menciptakan game untuk genre lain.

Ada beberapa game yang mereka pamerkan ketika itu, FPS bernama project A yang kini dikenal dengan Valorant, game kartu Legends of Runetera, iterasi LoL di Mobile bernama Wild Rift, Teamfight Tactics untuk mobile, dan sebuah proyek game fighting. Setelah beberapa waktu berlalu, game kartu digital Legends of Runeterra yang rilis pada 1 Mei 2020 kemarin, mungkin jadi game pertama dari jajaran tersebut yang rilis secara penuh.

Walau memiliki genre Collectible Card Games (CCG) yang cenderung niche, tapi game ini ternyata mendapat antusiasme yang cukup baik dari para gamers, dengan total download mencapai 1 juta lebih di Play Store saat artikel ini ditulis. Mungkin Anda saat ini sudah terpincut untuk memainkannya, namun masih urung karena satu dan lain hal.

Mungkin Anda urung main karena belum pernah main CCG sebelumnya dan takut dihadapkan dengan permainan strategi yang ruwet? Atau urung main karena takut dihadapkan skema permainan pay-to-win yang mengharuskan Anda gacha sampai lemas demi mendapat kartu yang diidam-idamkan?

Tetapi, apakah Legends of Runeterra merupakan game kartu digital yang seperti itu? Game kartu yang akan mengintimidasi calon pemain baru karena mekanik yang rumit atau gacha kartu yang tidak ada habisnya?

Untuk memutuskan apakah Anda akan mulai menginvestasikan waktu (dan uang) terhadap game ini, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan game kartu digital besutan Riot ini. Simak review Legends of Runeterra berikut ini.

CCG Dengan Rasa MOBA

Legends of Runeterra (setelahnya disebut Runeterra) merupakan game kartu yang berbasis kepada cerita salah satu game MOBA terpopuler di dunia. Jika Anda pemain League of Legends sudah pasti Anda akan melihat wajah familiar di dalam game ini, seperti Ashe, Garen, ataupun Lux .

Jika Anda melihat trailer pertama dari Runeterra, Anda juga sudah dapat melihat bagaimana karakter Champion League of Legends berubah menjadi kartu-kartu di dalam permainan, yang disebut sebagai kartu terkuat di dalam Runeterra.

Hal ini juga yang membuat saya mengatakan bahwa game kartu Runeterra memiliki rasa MOBA di dalam mekanik permainannya. Bukan, ini bukan sekadar karena ada Champion League of Legends di dalam Runeterra, tetapi juga karena cara kerja kartu Champion di dalam game ini.

Kalau Anda juga bermain MOBA League of Legends, Anda tentu paham tugas Anda di MOBA adalah menaikkan level Champion agar punya skill yang lebih kuat, sembari mengumpulkan gold agar mendapatkan item untuk memperkuat serangan fisik atau magic. Menariknya, Runeterra juga punya mekanik permainan seperti MOBA, yaitu menaikkan level untuk membuat kartu Champion menjadi lebih kuat.

Tapi bedanya, menaikkan level Champion di Runeterra tidak sesederhana memukul Minion. Masing-masing Champion punya syarat yang berbeda agar dapat naik level. Misal, Garen harus menyerang sebanyak dua kali atau Braum bisa naik level jika sudah menahan serangan musuh. Champion yang sudah naik level akan memberi damage ataupun efek yang lebih mematikan.

Hal lain yang membuat game kartu Runeterra semakin terasa seperti MOBA adalah dari cara pemain mendapatkan kemenangan. Dalam MOBA, setelah karakter Anda jadi kuat, tugas berikutnya adalah terus menerjang, hancurkan Turret demi Turret hingga mencapai bangunan inti yang harus dihancurkan, Nexus.

Begitu juga dalam Runeterra. Masing-masing pemain punya tujuan untuk menghancurkan Nexus musuh dan ada sejumlah cara yang bisa dilakukan. Cara paling sederhana adalah dengan memanggil atau summon atau meletakkan kartu Anda di meja atau field. Lalu perintahkan kartu untuk menyerang ke arah Nexus. Hit Point (HP) Nexus ada 20, yang lebih dulu habis akan kalah.

Bagiamana mudah bukan?

Mudah atau tidak akan kita bahas pada bagian selanjutnya. Tetapi secara umum, menghancurkan Nexus di Runeterra sebenarnya tidak sesederhana itu, karena ada tiga jenis kartu dalam game ini, yaitu Champion, Follower, dan Spells.

Champion dan Follower punya power di kiri bawah kartu yang menandakan kekuatan serang, dan HP di kanan bawah kartu yang menandakan kekuatan bertahan. Dua kartu itu akan tetap berada di meja selama masih punya HP. Jika HP habis, maka kartunya akan hilang dari permainan; kecuali dipanggil lagi dengan efek khusus. Sementara di sisi lain Spell biasanya hanya bisa diaktifkan satu kali, lalu akan hilang setelah diaktifkan.

Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan.
Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Tugas Anda sebagai pemain di sini adalah memanfaatkan ketiga jenis kartu tersebut dengan maksimal agar bisa menghancurkan Nexus musuh. Champion dan Follower punya fungsi yang paling sederhana, yaitu menyerang Nexus.

Sementara fungsi Spell lebih Variatif karena ada yang bisa langsung memberi damage ke Nexus, memberi damage ke Champion atau Follower, atau memberi efek mengganggu musuh.

Secara umum, cara main Runeterra kurang lebih mirip seperti game kartu TCG Yu-Gi-Oh. Anda panggil kartu ke meja, lalu suruh monster tersebut menyerang. Kalau tidak ada monster di meja musuh, Anda bisa menyerang langsung (kalau dalam Runeterra ke arah Nexus). Anda bisa panggil Spell Card untuk menyerang atau membantu membuat kartu Anda jadi lebih kuat.

Lalu kalau di Yu-Gi-Oh ada Trap Card, bagaimana dengan di Runeterra? Hal menarik lain di Runeterra, yang juga membuatnya terasa seperti pertarungan MOBA, adalah urutan jalan yang terus berganti-gantian.

Dalam setiap turn, pemain secara bergantian memegang Attack Token sebagai tanda bahwa Anda punya hak jalan pertama dan menyerang. Lalu, setiap kali Anda melakukan sesuatu (memanggil Champion/Follower atau mengaktifkan Spell) musuh mendapat giliran untuk merespon dengan apapun yang mereka punya.

Jika menggunakan analogi Yu-Gi-Oh, maka bisa dibilang Spell di Runeterra berfungsi layaknya gabungan Trap dan Magic Card. Karena berjalan secara bergantian secara terus menerus, Spell jadi bisa diaktifkan kapan saja. Maka dari itu, Runeterra punya tiga tingkat kecepatan Spell yaitu Slow, Fast, dan Burst.

Slow Spell hanya dapat diaktifkan di luar fase pertarungan. Ketika diaktifkan, musuh dapat merespon dengan Spell yang mereka miliki. Fast Spell dapat diaktifkan sebelum ataupun pada fase pertarungan, musuh juga bisa merespon terhadap Spell ini. Terakhir Burst Spell, bisa diaktifkan kapanpun, langsung aktif saat itu juga, dan tidak dapat direspon oleh musuh.

Tindakan saling merespon tersebut berhenti ketika pemilik Attack Token memajukan pasukan (Champion/Follower) dan memasuki fase bertarung. Pada fase bertarung, pemain bertahan tidak bisa lagi memanggil pasukan apapun, hanya bisa melakukan Block dengan pasukan yang sudah ada di field, atau merespon dengan Fast Spell.

Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya.
Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Setelah pemain bertahan mengaktifkan Spell, memilih pasukan musuh yang ingin ditahan serangannya, pemilik Attack Token lalu menyerang, jumlah damage dihitung, lalu pemilik Attack Token memiliki kesempatan terakhir untuk melakukan satu aksi lagi, yang juga masih dapat direspon oleh musuh.

Pada saat menyerang, Legends of Runeterra juga menghadirkan fitur menarik bernama Oracle Eye. Fitur ini bisa berada di tengah antara dua Nexus pada fase menyerang.

Fitur ini memungkinkan Anda melihat ke masa depan, hasil dari semua pertarungan pasukan dan Spell yang diaktifkan. Jika Anda kurang pandai menghitung atau tidak yakin bagaimana efek dari Spell yang akan Anda gunakan, fitur ini sangat membantu Anda memahami hasil dari jalannya pertempuran.

Semua tindakan memanggil pasukan dan mengaktifkan Spell akan menggunakan Mana. Permainan dimulai dengan 1 Mana, dan terus bertambah 1 mana pada setiap ronde. Jika Anda tidak melakukan apapun, Mana akan tersimpan sebagai tambahan untuk mengaktifkan Spell nantinya.

Attack Token baru berpindah tangan setelah sang pemilik memilih untuk End Round atau kehabisan Mana yang membuat dirinya jadi tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

Mekanik giliran permainan yang berganti-gantian ini juga menurut saya membuat Runeterra jadi terasa seperti pertarungan MOBA. Karena dalam MOBA Anda harus lihai dalam mengelola sumber daya yang Anda miliki, Skill ataupun Mana, begitupun seperti dalam Runeterra.

Apakah Runeterra Ramah Bagi Pemula?

Soal ini jadi penting dalam pembahasan sebuah game, terutama game CCG seperti Runeterra. Kerumitan permainan biasanya akan membuat pemain jadi mengurungkan niat mencoba. Apalagi genre CCG kerap dicap sebagai “game mikir”, yang membuat banyak pemain sudah malas di awal karena tidak ingin berpikir ketika main game.

Setelah membaca penjelasan saya di atas soal mekanik umum permainan, apakah Anda sudah pusing? Oh tenang, itu belum semuanya, karena semakin lama Anda bermain, semakin Anda harus menerima kenyataan bahwa Runeterra akan membawa Anda menyelam ke dalam mekanik yang rumit nan seru.

Walau game ini rumit, tapi saya masih bisa bilang bahwa Runeterra itu ramah bagi pemula. Salah satu alasannya karena usaha Riot Games menjelaskan cara main Runeterra lewat sajian satu set tutorial yang intensif.

Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra.
Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Semua yang saya bahas di awal artikel akan diajarkan ketika Anda pertama kali login ke dalam game. Anda akan diajarkan apa itu Nexus, bagaimana cara menyerang dan bertahan, cara kerja Champion, Attack Token, apa itu Mana Point, serta cara mengaktifkan dan klasifikasi Spell.

Walau demikian, Runeterra mungkin tetap kurang menarik bagi gamers Indonesia, karena semua tutorial menggunakan bahasa Inggris (Riot pls, tambahkan opsi bahasa Indonesia jika ingin lebih banyak yang bermain Runeterra), dan mengharuskan pemain menyimak dengan seksama cara kerja permainan Runeterra.

Tetapi salut untuk Riot Games yang berusaha keras untuk mengajarkan mekanisme permainan Runeterra kepada pemainnya. Ketika Anda sudah masuk ke dalam permainan, pada menu Play, Anda bisa memilih menu Challenges yang berisikan satu kursus intensif untuk memahami cara kerja ragam kartu di Runeterra.

Pada bagian tersebut Anda akan diajari cara kerja berbagai Keywords, alias kata kunci dari efek kartu di dalam game. Misal, Challenge berjudul Overwhelming Force mengajarkan Anda cara kerja, dan efektivitas menggunakan kartu dengan kata kunci Overwhelm. Kartu dengan Overwhelm (Champion Darius contohnya) bisa memberi damage yang menembus ke arah Nexus jika punya selisih angka Power kartu penyerang dengan HP kartu bertahan.

Riot juga mendorong pemain untuk melakukan Challenge karena kita akan menerima hadiah XP untuk menaikkan progress rewards, yang nanti akan saya jelaskan pada bagian soal skema monetisasi Legends of Runeterra. Challenge baru juga akan selalu hadir, ketika Runeterra mengenalkan Keywords baru.

Contohnya pada saat update Rising Tides hadir saat perilisan resmi Runeterra mengenalkan region Bilgewater, Riot segera menghadirkan 4 Challenges baru: The Deep Dive untuk mengenalkan efek Keywords Deep, Plunder Pays untuk efek Keywords Plunder, Easy Pickings untuk mengenalkan Keywords Vulnerable, dan Barrel to Victory yang mengenalkan cara kerja mekanisme Powder Keg.

Jangan khawatir, apa yang ada di Challenges hanyalah permukaan dari keseluruhan ragam Keywords di dalam Runeterra. Karena hingga saat ini, kurang lebih ada sekitar 40 lebih Keywords di dalam Runeterra yang harus Anda pahami dan pelajari.

Sudah pening? Sama saya juga. Tapi tak usah khawatir, pada awal permainan Anda diberikan “Starter Deck” dari 6 region awal di Runeterra, untuk belajar cara main dan mengoptimalkan kartu-kartu dasar.

Mungkin satu yang kurang dari Challenges adalah ia tidak mengajarkan karakteristik dan interaksi antar-Region. Mekanisme Region merupakan cara game kartu Runeterra menceritakan dunia League of Legends. Hingga saat ini, ada 7 Region di dalam game kartu Runeterra, ada Bilgewater, Demacia, Freljord, Ionia, Noxus, dan Shadow Isle.

Masing-masing Region punya karakteristik masing-masing yang bisa dikombinasikan dengan Region lain. Contohnya jika Anda ingin buat musuh tak bisa gerak, Anda bisa kombinasikan Region Freljord yang bisa hentikan pergerakan musuh dengan Ionia yang juga punya banyak mekanik yang bikin musuh kelimpungan.

Tapi yang pasti, pengalaman bermain League of Legends juga akan membantu Anda untuk bisa memahami game ini dengan lebih cepat. Sudah bermain League of Legends sejak tahun 2012 lalu, membantu saya memahami gambaran cara kerja Champion. Jadi karena saya tahu bahwa Braum merupakan hero Tank yang hobi menahan serangan, maka saya sudah punya gambaran bagaimana memanfaatkan Braum dengan maksimal di Runeterra.

Hal lain yang membuat saya jadi lebih mudah memahami Runeterra mungkin adalah pengalaman saya main game kartu Yu-Gi-Oh di zaman PlayStation. Minimal, ketika mulai bermain saya bisa segera bergumam, “Oh ternyata game ini mirip Yu-Gi-Oh,” dan tak perlu bingung lagi.

Animasi Ciamik, Artwork Mengagumkan, dan Ragam Visual yang Memanjakan Mata

Oke Anda mungkin sudah cukup kelelahan membaca pembahasan mekanik permainan Runeterra yang awalnya sederhana, tapi menjadi semakin…membingungkan. Sedikit rehat, mari sejenak kita melihat bagaimana Riot menyajikan Legends of Runeterra secara audio dan visual.

Satu yang paling saya suka adalah bagaimana ketika Anda membuka permainan segera permainan dengan gambar Ashe berdiri di atas gunung es dengan matahari terbit di ufuk timur, sembari diiringi lagu dengan biola yang syahdu layaknya musik khas kerajaan elf di film kolosal Lord of the Ring.

Menu utama juga tak kalah nikmat dipandang. Pada satu waktu Anda akan dihadapkan dengan pemandangan Jinx di atap rumah melihat suasana kota Piltover di malam hari yang tenang. Pada waktu lain semangat Anda juga bisa dipicu dengan gambar Darius sedang meneriakkan teriakan perang kepada pasukan Noxus yang bersiap menjajah Region lain di Runeterra.

Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan.
Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Artwork dari masing-masing kartu juga menjadi aspek visual lain di dalam Runeterra yang berhasil memanjakan mata. Jadi mungkin, jika Anda jemu bermain karena terus-terusan kalah, Anda bisa berhenti sejenak, membuka menu Cards, dan melihat Artwork dari masing-masing kartu. Terlebih, Artwork kartu juga dilengkapi dengan cerita yang semakin membawa Anda menyelami dunia Runeterra.

Satu kartu yang paling saya suka secara Artwork dan cerita adalah kartu Cithria of Cloudfield dari Region Demacia. Visual dan penjelasan kartu ini berhasil menyajikan suasana dari cerita seorang anak perempuan yang bercita-cita ingin menjadi pasukan tentara Demacia, karena mendengar cerita heroik sang ibu bertarung di medan perang membela nama kerajaan Demacia.

Sayang, sajian artwork memanjakan mata di Runeterra hanya terbatas pada Champion dan Followers saja. Pada kartu Spell, walau tetap menyajikan deskripsi yang memiliki cerita, namun visual yang disajikan terbilang cukup terbatas karena tidak menyajikan Artwork layar penuh layaknya pada kartu Champion atau Follower.

Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra.
Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Hal berikut yang menurut saya tak kalah menggugah secara visual adalah animasi ciamik yang disajikan dalam Runeterra. Visual menggugah tersebut sudah juga sudah terasa sejak kita berada di menu utama. Transisi antar menu selalu dihiasi dengan animasi yang sederhana, namun sedap dipandang.

Melaju ke dalam pertarungan, menurut saya setidaknya ada dua hal dari sisi animasi yang membuat Legends of Runeterra jadi menggugah secara visual. Pertama adalah kehadiran Guardian yang interaktif menemani kita di kala duel sedang dilakukan.

Guardian sebetulnya bukan fitur yang mempengaruhi apapun di dalam permainan, melainkan hanya sekadar penyejuk mata yang menghiasi papan Anda. Lucunya, Guardian berisfat interaktif, yang akan beraksi jika Anda melakukan swipe atau tap di atasnya.

Guardian Poro yang dimiliki secara gratis misalnya, akan memberi respon mengambek atau menguap besar jika Anda tap di atas kepalanya secara cepat dan terlalu sering. Walau tidak membantu di dalam permainan, setidaknya Poro bisa menjadi pelipur lara di kala tangan Anda sedang jelek, atau musuh menunjukkan permainan yang mendominasi.

Selain dari Guardian, tambahan visual lain yang tak kalah menarik adalah Sticker dan juga skin untuk Board tempat Anda bermain. Sticker merupakan satu-satunya sarana Anda berkomunikasi dengan musuh. Biasanya ini digunakan untuk bercanda dengan musuh apabila ada momen menggemaskan di dalam permainan.

Skin Jinx's untuk Field
Skin Jinx’s Mayhem untuk Field yang tidak hanya ciamik secara visual, tapi juga diiringi dengan lagu yang menggambarkan karakter Champion Jinx. Sumber: tangakapan layar pribadi.

Skin untuk Board tempat bermain juga jadi visual lain yang memanjakan mata. Skin Board paling dasar adalah Summoner’s Riftt, namun Anda bisa membeli skin untuk Board ini, mulai dari yang bertemakan Region di Runeterra ataupun Champion tertentu. Setiap Board tak hanya memanjakan visual, tapi juga memiliki lagu khas dari masing-masing yang memanjakan telinga.

Sejauh ini Jinx’s Mayhem jadi skin Board favorit saya, karena tidak hanya nyentrik secara visual, tapi juga punya lagu tema bergenre dark-electro yang senada dengan kepribadian dari Champion Jinx.

Pay or Grind to Win?

Banyak yang beranggapan kalau game kartu biasanya pay-to-win. Anda yang sudah beberapa kali main atau punya teman yang main permainan TCG atau CCG mungkin sudah familiar dengan Booster Pack atau Loot Box, kotak gacha yang berisi kartu random. Menariknya Legends of Runeterra justru punya skema monetisasi yang cukup berbeda.

Mungkin Runeterra menjadi game kartu CCG yang tidak menggunakan sistem Booster Pack. Semua kartu di sini bisa dibeli dengan 3 pilihan mata uang, yaitu Wildcard, Shards, atau Coins (mata uang Premium). Wildcard dan Shards bisa didapatkan dengan cara bermain dengan rajin atau grinding.

Sumber utama Wildcard dan Shard datang dari Region Rewards. Region Rewards berfungsi kurang lebih seperti Battle Pass di Dota 2, yang punya banyak level, dan memiliki hadiah menarik setiap level-nya. Level Region Rewards bisa didapatkan dengan terus bermain.

Anda bisa mendapatkan XP saat Anda bermain, entah itu menang atau kalah, melakukan quest harian, atau memainkan Challenge. Namun jumlah XP yang didapatkan dalam satu hari ada batasnya. Jika sudah mencapai batas, Anda hanya akan mendapat sekitar 100 XP saja jika menang, dan tidak mendapat apapun ketika kalah.

Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan.
Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan. Sumber: tangkapan layar pribadi

Tak hanya itu, masih ada sumber lain yang memudahkan Anda untuk melengkapi koleksi kartu di dalam Runeterra. Ada Daily Login yang sudah menjadi ciri khas dari banyak game mobile, Weekly Vault yang sama-sama dikumpulkan melalui XP, dan terakhir adalah Expedition,

Expedition sendiri bisa dibilang seperti Draft Mode. Mode permainan Expedition bisa diikuti dengan menggunakan Coin, Shards, atau Expedition Token yang didapat dari Weekly Vault. Pada Expedition Mode Anda diminta membuat deck dari beberapa pilihan kartu yang disajikan oleh sistem. Setelah deck selesai, Anda akan diadu oleh pemain lain yang juga mengikuti mode ini. Semakin banyak menang, maka semakin bagus hadiah yang Anda terima. Sebaliknya, jika sudah 4 kali kalah, maka perjalanan Anda akan berhenti dan mendapat hadiah yang sedikit.

Riot Games sepertinya tidak omong kosong saat bicara ingin membuat Runeterra menjadi game kartu yang adil, baik bagi pemain free-to-play ataupun mereka yang investasi membeli kartu. Dengan sistem ini, pemain casual yang sifatnya free-to-play jadi masih punya dapat kesempatan untuk berkompetisi dengan pemain berbayar, asalkan mereka rajin bermain.

Terlebih, menjadi pemain berbayar juga tidak merugikan di dalam Runeterra. Karena pemain tidak perlu dipusingkan karena gacha di hari-hari yang kurang beruntung. Anda bisa dengan bebas membuat deck apapun dan langsung membeli kartu yang Anda butuhkan, tanpa perlu kerepotan mengais Loot Box atau Booster Pack.

Melihat mekanisme ini, sepertinya satu yang membedakan antara pemain gratis dengan pemain berbayar hanyalah waktu. Pemain gratis butuh waktu lebih lama untuk mendapat kartu yang ia inginkan, sementara pemain berbayar cukup satu kali klik (dengan bermodal Rupiah tentunya) untuk mendapat kartu.

Versi 1.0 yang Masih Banyak Kekurangan

Legends of Runeterra memasuki versi 1.0 saat dirilis pada 1 Mei 2020 kemarin. Walau sudah dirilis secara resmi, namun saya masih merasa Legends of Runeterra seperti berada dalam fase open-beta.

Kenapa? Karena memang menurut saya masih banyak fitur-fitur yang sebenarnya penting, namun belum dihadirkan dalam Legends of Runeterra. Beberapa fitur yang sempat jadi perbincangan di komunitas adalah ketidakhadiran match history, replay, statistics, dan spectate friend.

Memang 3 fitur tersebut menjadi sesuatu yang penting, apalagi jika bicara kesiapan Legends of Runeterra sebagai esports. Dalam kompetisi, terutama yang bersifat online, match history jadi satu-satunya bukti untuk melaporkan kemenangan. Walau sudah ada fitur untuk menantang teman yang ada di friend list, namun tanpa Match History kemenangan jadi tidak bisa dibuktikan.

Lalu selain itu, fitur seperti statistik, replay, atau spectate friend juga jadi fitur penting lain untuk menjadikan Runeterra sebagai game yang kompetitif. Statistik dan replay bisa membantu pemain untuk mempelajari permainannya sendiri.

Kapan ia salah langkah? Apa yang bisa diperbaiki dari kekalahan yang ia alami sebelumnya? Kartu apa yang tidak efektif dan harus diganti? Ketiganya menjadi beberapa hal yang bisa pemain lakukan dengan kehadiran fitur statistik dan replay.

Sementara spectate friend merupakan fitur penting untuk membuat pertandingan di Runeterra menjadi bisa ditonton oleh khalayak banyak. Karena jika kita bicara esports, kita tidak hanya bicara soal kompetisi saja, tetapi juga bicara soal bagaimana agar pertandingan tersebut bisa disajikan ke para penonton.

Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain.
Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Terakhir, walau mungkin tidak sebegitu penting, namun saya merasa Legends of Runeterra masih kekurangan koleksi barang-barang kosmetik entak audio atau visual yang bisa dinikmati. Salah satu contohnya seperti jenis kosmetik Board, Guardian, dan Card Back yang masih terbilang terbatas. Ini tentunya diharapkan akan semakin bertambah seiring waktu, karena selain membeli kartu, item kosmetik juga jadi hal yang tak kalah penting dalam menambah kesenangan dalam pengalaman bermain.

Hal paling terakhir mungkin adalah soal optimasi grafis. Untuk saat ini sebenarnya optimasi grafis dari Runeterra sudah cukup baik, namun masih ada hal yang sebenarnya bisa lebih diperbaiki lagi. Salah satu contohnya adalah animasi saat Champion naik level.

Pada platform mobile, beberapa kali terjadi frame-drop saat Champion naik level, karena animasinya yang memang terlihat butuh komputasi grafis yang intensif. Hal lain dari optimasi grafis frame-rate untuk platform mobile. Legends of Runeterra sendiri merupakan game yang bersifat cross-platform antara PC dengan Mobile. Namun sayangnya frame-rate 60 fps untuk saat ini hanya tersedia untuk platform PC, sementara frame-rate platform Mobile dikunci pada 30 fps.

Kesimpulan

Pada akhirnya Legends of Runeterra mungkin menjadi satu-satunya CCG yang berhasil menghasut saya untuk mencoba, bahkan jadi ketagihan untuk memainkannya. Saya merasa setidaknya ada beberapa faktor yang membuat Runeterra jadi menarik bagi saya yang sebenarnya lebih suka permainan dengan tempo cepat seperti FPS dan MOBA. Faktor tersebut adalah:

  1. Tema League of Legends yang membuat saya pemain game tersebut jadi penasaran untuk mengetahui cerita dunia Runeterra lebih dalam lagi
  2. Gameplay interaktif bertempo cepat yang memungkinkan Anda untuk tetap melakukan sesuatu meski sedang bertahan
  3. Animasi ciamik dari pertarungan, yang kadang membuat saya lupa bahwa ini adalah game kartu
  4. Sistem Daily Login, Daily Quest, dan Region Rewards yang berhasil membuat saya termotivasi untuk terus main demi mendapat kartu-kartu baru dan memperkuat deck saya.
  5. Fitur Booster Pack dan Loot Box yang dihilangkan membuat pemain berbayar jadi tidak harus dipusingkan dengan Gacha.

Tapi bukan berarti Runeterra adalah game yang tanpa celah. Saya merasa masih ada beberapa kekurangan di dalam game ini, yang meski sedikit, namun cukup terasa. Beberapa di antaranya termasuk:

  1. Pilihan kosmetik yang masih terbatas.
  2. Belum ada pilihan high frame-rate untuk mobile.
  3. Mode Challenge yang kurang menjelaskan interaksi antar Region.
  4. Absennya fitur-fitur untuk kebutuhan esports pada versi 1.0 Legends of Runeterra seperti match history, replay, statistik, ataupun spectate friend.
  5. Kurangnya bahasa yang mungkin akan membuat pemain-pemain di Indonesia jadi enggan mencoba karena kesulitan mempelajari mekanisme permainan Legends of Runeterra yang cukup rumit.
  6. Banyaknya jumlah keywords, yang mungkin akan membuat permainan akan menjadi semakin rumit lagi nantinya.

Jadi apakah Runeterra patut dicoba? Menurut saya ini menjadi game yang sayang sekali untuk dilewatkan, apalagi bagi Anda pecinta League of Legends. Jika tidak main League of Legends sekalipun, game ini tetap patut dicoba karena menawarkan konsep yang cukup segar di dalam game bergenre CCG.

[REVIEW] Lokapala, Status Beta yang Penuh Keterbatasan

Awal Februari ini khalayak gamers Indonesia disemarakan dengan rilisnya Lokapala: Saga of Six Realms. Masuk masa pra-pendaftaran sejak November 2019 lalu di Play Store, iterasi MOBA pertama pengembang Indonesia ini segera mendapat sambutan positif. Banyak yang tidak sabar untuk mencoba dan memainkannya.

Proyek ambisius ini dibesut oleh ANANTARUPA Studio, gamedev lokal yang sudah beroperasi sejak tahun 2011. Kini, walau masih menyandang status beta, Lokapala sudah dapat diakses secara terbuka di Play Store. Namun demikian, saya merasa bahwa perilisan beta terbuka Lokapala masih terlalu terburu-buru. Kenapa? Karena banyak hal di dalam game ini yang terlihat seperti masih setengah jadi. Lebih lanjut, mari simak ulasan saya terhadap MOBA lokal Indonesia yang satu ini.

MOBA Indonesia yang Kurang Indonesia

Dalam MOBA, satu hal yang konsisten selalu muncul adalah karakter yang dapat kita gunakan di dalam permainan. Ada beberapa sebutan untuk karakter ini, ada yang menyebutnya Hero ada yang menyebutnya Champion. Lokapala sendiri memilih menyebut karakter-karakter heroik yang akan bertarung bersama Anda di dalam permainan sebagai Ksatriya.

Untuk rilisan pertama, Lokapala menghadirkan 15 Ksatriya, yang semuanya bisa Anda coba dan mainkan. Namun sayang, beberapa karakter yang dihadirkan pada Lokapala mungkin belum tentu dikenal oleh orang Indonesia sendiri. MungkIn pendapat saya ini muncul karena nilai pelajaran sejarah Indonesia saya tidak terlalu baik, saat masih bersekolah dulu…hehehe.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Beberapa Ksatriya yang dihadirkan di dalam Lokapala. Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Hal ini mungkin karena beberapa Ksatriya mungkin memang bersifat orisinil atau dibuat sendiri oleh tim ANANTARUPA Studio. Tetapi saya merasa agak sayang jika tidak ada karakter-karakter populer, karena bisa jadi membuat pemain enggan mencoba game ini. Padahal Lokapala bisa saja memunculkan Ksatriya dari sejarah atau cerita rakyat populer seperti Gajah Mada sang Mahapatih Kerajaan Majapahit , atau tokoh kenamaan dalam pewayangan seperti Gatot Kaca.

Untungnya ANANTARUPA Studio sudah melakukan beberapa usaha untuk memperkenalkan cerita orisinil Lokapala kepada khalayak. Salah satunya seperti contoh di bawah ini, sebuah postingan media sosial yang bercerita asal pertarungan Lokapala. Ceritanya, pertarungan di Lokapala berdasarkan kepada konsep multiverse, yaitu penggabungan berbagai ruang dan waktu dalam satu semesta.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Mengutip dari laman resmi Lokapala, para Ksatriya yang bertarung datang dari enam Loka (alam semesta) yang tergabung di dalam Lokapala, yaitu Narakaloka, Pretaloka, Tiraccanaloka, Manusyaloka, Asuraloka, dan Svargaloka. Dari 6 Loka yang diceritakan, muncullah karakter-karakter yang ada di Lokapala. Beberapa ada yang datang dari sejarah Vijaya atau Pangeran Wijaya dan beberapa ada yang orisinil seperti Ilya yang ceritanya datang dari masa depan.

Selain soal daftar Ksatriya yang dihadirkan, ada satu hal lagi yang buat saya merasa menjadi poin penting kenapa Lokapala menjadi game Indonesia yang kurang Indonesia. Lokapala kehilangan satu hal penting yang bisa membantu game ini lebih mudah diterima oleh gamers Indonesia, yaitu in-game language Bahasa Indonesia. Ya Anda tidak salah dengar, versi beta Lokapala yang menekankan khasanah lokal Indonesia lewat latar tempat dan cerita karakter Ksatriya malah hadir menggunakan Bahasa Inggris, dan tidak ada opsi Bahasa Indonesia.

Ini sebenarnya cukup membingungkan, karena saya merasa tidak ada alasan yang tepat untuk menggunakan bahasa Inggris pada Lokapala. Jika alasannya untuk mengincar pasar global, rasa-rasanya Lokapala terbilang sudah ketinggalan cukup jauh jika dibanding beberapa pengembang lain yang sudah lebih dulu terjun di pasar MOBA untuk mobile.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Amat disayangkan, Lokapala versi beta malah tidak memiliki opsi bahasa Indonesia, Alhasil,cerita Pangeran Wijaya dari kerajaan Singhasari jadi agak sulit dipahami karena menggunakan bahasa Inggris. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika alasannya untuk mengenalkan budaya Indonesia ke khalayak global, orang Indonesia sendiri saja mungkin belum mengenal Ksatriya yang dihadirkan dalam Lokapala. Jawaban untuk semua ini sebenarnya adalah dengan menghadirkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ke dalam game. semoga saja update berikutnya dapat menghadirkan in-game language, dan mungkin juga menghadirkan voice-act bahasa Indonesia. Apalagi, menurut opini saya personal, membaca cerita legenda Indonesia dengan bahasa ibu akan terasa lebih nyaman dan mudah dimengerti.

Walau dengan segala kekurangannya, saya cukup mengapresiasi bagaimana tim pengembang ANANTARUPA membangun cerita dunia Lokapala, terutama dari cerita 6 Loka yang menjadi satu di dalam arena pertarungan Lokapala. Dalam hal lore Ksatriya, walau orisinil, namun sayangnya cerita yang disajikan masih  terlalu singkat. Hal ini membuat saya tidak bisa mengenal asal muasal sang Ksatriya secara lebih mendalam.

Sisi Indonesia lain yang menurut saya patut diapresiasi adalah musik yang disajikan oleh Inharmonics. Composer yang juga mengisi musik pada game Legrand Legacy ini berhasil memunculkan nuansa peperangan penuh semangat khas MOBA sembari tetap menonjolkan khazanah Indonesia dalam musik yang mereka sajikan pada menu utama. Dalam musik tersebut, musik orkestra yang modern melebur halus dengan aksen khas etnis lewat gamelan Jawa, yang hampir membuat saya lupa dengan pengalaman bermain Lokapala yang akan saya jelaskan pada poin berikutnya.

Esports Game Pertama Indonesia yang Belum Esports Ready

Istilah “esports ready” pertama muncul sebagai meme di tengah perbincangan komunitas ketika PUBG dijadikan esports untuk pertama kalinya. Istilah tersebut muncul karena pada awal rilis, PUBG mendukung kegiatan esports untuk game tersebut. Sementara core gameplay PUBG masih memiliki terlalu banyak kendala teknis seperti respon yang tidak sinkron, serta bug di sana dan sini.

Pada kasus PUBG, kendala tersebut terjadi karena PUBG adalah game multiplayer online pertama yang mempertemukan 100 orang sekaligus secara real-time. Kejadiannya Bluehole mungkin mirip dengan ANANTARUPA. Lokapala sudah dicap sebagai game esports pada saat perilisan beta, mungkin karena mereka memilih genre MOBA. Namun nyatanya, Lokapala belum esports ready, yang mungkin disebabkan karena ANANTARUPA belum punya banyak pengalaman membuat real-time online multiplayer yang kompleks seperti MOBA.

Memang, pada kenyataanya membuat game online bersifat real-time seperti MOBA punya kerumitan dari sisi teknis. Jika Anda belum tahu, ada dua jenis online games berdasarkan cara game tersebut terkoneksi ke server. Ada real-time online seperti MOBA, yang mana satu player bertemu dengan player lain secara langsung. Ada asynchronous online games, yang mana walau online, namun player satu dengan player tidak bertemu secara langsung seperti Clash of Clans.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Menghubungkan 10 pemain bermain di dalam satu server secara berbarengan tidak bisa dibilang mudah, terutama bagi pengembang Indonesia yang masih minim pengalaman. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Walau ini adalah MOBA pertama, tapi Anantarupa bukanlah pengembang lokal Indonesia pertama yang bisa membuat real-time online multiplayer game. Sebelumnya ada juga Minimo, pengembang yang berbasis di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang membuat game bertemakan balap off-road bernama Mini Racing Adventures.

Kembali membahas Lokapala, kesulitan teknis ini diakui sendiri oleh sang pengembang. Jika Lokapala memang belum “esports ready“, jadi sudah sampai mana sebenarnya rilisan beta Lokapala? Maafkan jika saya terlalu jujur namun saya merasa Lokapala sebenarnya belum pantas untuk dirilis secara open beta. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya karena Lokapala memiliki beberapa masalah fundamental, yang membuat core game experience menjadi tidak nyaman.

Sebelum menuju ke dalam permainan, masalah sudah muncul, yaitu ketika kita tap tombol dan ingin melakukan Find Match. Setelah masuk Lobby dan menekan tombol Start, Lokapala malah memunculkan kode error seperti yang satu ini.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Melihat error seperti ini, yang terbesit di pikiran saya adalah melakukan reset Lobby dengan menekan tombol back yang ada di pojok kiri atas. Apa yang terjadi? Ya, muncul kode error lagi yang membuat saya terjebak di dalam Lobby.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Kalau sudah begini, apa daya. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika hal ini terjadi, mau tidak mau jalan terakhir adalah tinggal melakukan reset game. Force close game tersebut lewat tombol recent apps, lalu buka kembali.

Setelah beberapa saat, saya akhirnya berhasil masuk ke dalam game. Saat berada di dalam permainan saya melihat banyak elemen lain di dalam game yang juga masih kurang sempurna. Seperti 3D model karakter yang terlihat kurang realistis, atau animasi karakternya yang terlalu kaku. Tapi itu mungkin tidak terlalu masalah karena 3D model karakter Mobile Legends pun demikian ketika baru pertama kali dirilis.

Masuk ke dalam game saya menemukan satu hal lagi yang cukup mengganggu, masalah tersebut datang dari model bush atau brush. Kalau Anda sering main MOBA, Anda tentu tahu mekanik bush, tempat berupa semak-semak yang bisa digunakan pemain untuk bersembunyi. Pada kebanyakan MOBA bush biasanya berbentuk seperti namanya, yaitu semak rumput yang tinggi dan lebat.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Edit: Akbar Priono
Perbandingan bentuk dan warna bush antara Lokapala dengan dua MOBA terpopuler di mobile. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Edit: Akbar Priono

Pada Lokapala visual bush memiliki dua hal yang menurut saya cukup mengganggu. Pertama, bentuknya bukan semak rumput, melainkan terlihat seperti tanaman berbunga dengan warna yang sangat mencolok. Kedua, warna antar bush juga tidak konsisten yang mungkin bisa membuat pemain baru kebingungan. Bush bagian tengah berwarna ungu, sementara pada bush bagian pinggir terlihat berwarna merah. Semoga saja nantinya model bush bisa diperbaiki sambil tetap menunjukan ciri khas tersendiri yang membedakan Lokapala dari MOBA lain.

Berlanjut ke dalam permainan, semua berjalan lancar, setidaknya sampai beberapa menit game berjalan. Seiring waktu, permainan jadi terasa laggy. Keadaan tersebut bisa jadi datang dari dua hal, masalah optimasi game engine dan masalah optimasi server.

Dari sisi optimasi game engine, saya saat itu mencoba bermain dengan menggunakan pengaturan grafis tertinggi rata kanan. Setelah beberapa saat bermain, semakin lama animasi karakter menjadi stutter atau patah-patah setelah beberapa saat bermain. Belum lagi animasi atau gerakan karakter ketika menyerang atau mengeluarkan skill juga terasa sangat kaku, yang juga membuat saya jadi sulit menilai apakah hal tersebut merupakan stutter atau memang animasi karakter yang kurang rapih.

Hal ini terjadi mungkin karena saya menggunakan mode High Frame Rate. Jika rumor Lokapala menggunakan game engine yang sama dengan AOV dan Mobile Legends benar, maka kejadian ini jadi cukup masuk akal. Karena pada AOV dan Mobile Legends sekalipun, mode High Frame Rate kerap kali tidak stabil.

Selain itu perasaan lag juga muncul dari sisi koneksi. Ketika itu ping permainan saya hanya 8 – 16ms saja, namun pada beberapa momen saya merasakan delay yang sangat mengganggu. Beberapa kali di dalam permainan, skill yang saya lempar malah telat keluar membuatnya jadi tidak mengenai musuh. Jika ini terus terjadi, tentunya akan menjadi sangat mengganggu bagi para pemain. Apalagi jika mengatakan Lokapala sebagai game esports, hal ini tentu akan menjadi sangat kontradiktif, karena dalam permainan esports respon adalah segalanya.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Glitch Haya menyebabkan pedangnya tidak kembali setelah dilemparkan. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Sisi gameplay berikutnya adalah dari sisi hitbox. Hitbox sendiri adalah sebutan untuk sebuah kotak tak terlihat yang mendeteksi tumbukan antar objek (contohnya hero dengan skill). Pada Lokapala hitbox bisa dibilang masih inkonsisten. Jadi jika kita melempar skillshot ke satu titik tipis tertentu di bagian tubuh Ksatriya musuh, efeknya bisa jadi kena bisa jadi tidak.

Belum lagi masih ada beberapa glitch grafis yang terasa, seperti pedang Ksatriya Haya yang tertinggal setelah dilemparkan. Lalu masalah targeting yang membuat skill terlempar entah ke mana jika kita mentargetkan skill secara otomatis. Ditambah lagi efek serangan dan angka indikator damage juga terlihat kurang jelas, yang bisa membuat bingung, apakah serangan Anda sudah kena atau belum.

Lalu bagaimana dengan balancing? Rasanya agak sulit untuk bisa menilai balancing pada Lokapala jika pengalaman bermain saja masih kurang nyaman, mulai dari awal hingga akhir permainan. Satu kali saya sempat bermain menggunakan Skar, menggunakan build tank, dan menemukan ternyata hero tersebut punya damage yang cukup lumayan besar meski mayoritas item yang saya gunakan adalah item defense.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Ksatriya Haya sedang menaiki Vahana. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Mungkin satu yang cukup berbeda adalah ketidakhadiran mekanik Recall di dalam Lokapala. Recall digantikan dengan Vahana, semacam tunggangan yang sifatnya mempercepat pergerakan Anda dari satu titik ke titik lain di area map. Vahana bisa digunakan kapanpun, namun untuk mengaktifkannya Anda harus berdiam sejenak atau chanelling selama beberapa detik. Jika Anda terkena damage saat sedang mengendarai Vahana, Anda akan terjatuh dan terkena stun untuk sesaat.

Jika Anda sudah pernah memainkan MOBA mobile lainnya, mekanisme ini mungkin terasa cukup menyulitkan. Saya pun merasa demikian, karena walau Vahana mempercepat pergerakan, tanpa mekanisme Recall Anda bisa saja tertangkap ketika darah sedang sekarat. Belum lagi mekanisme ini juga terbilang cukup boros waktu, terutama jika Anda sedang push tower terdalam musuh namun sekarat dan harus pulang, menyebabkan Anda harus berjalan dengan jarak yang sangat jauh.

Kesimpulan

Pada akhirnya saya personal merasa keputusan ANANTARUPA merilis Lokapala secara publik agaknya terlalu terburu-buru. Masih terlalu banyak kekurangan pada core gameplay Lokapala. Beberapa contohnya sudah saya jabarkan saat menceritakan pengalaman saya memainkan Lokapala, mulai dari bug untuk Find Match, masalah optimasi grafis dan server, masalah hitbox dan lain sebagainya.

Kalau soal animasi dan grafis, saya rasa hal tersebut masih bisa ditoleransi, karena MOBA lainnya pun punya grafis yang tidak sebegitu bagus pada hari pertama rilis. Namun kalau soal core gameplay, saya rasa keputusan untuk merilis Lokapala secara terbuka ini berpotensi memunculkan masalah bagi sang pengembang. Bagaimanapun, impresi pertama tetap merupakan hal penting bagi pemain. Jika impresi pertama saja sudah buruk, karena terlalu banyak masalah teknis di dalam game, pemain bisa saja enggan untuk mencoba bermain kembali meski Lokapala sudah berkembang menjadi lebih baik.

Tetapi, tetap ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari Lokapala. Beberapa di antaranya seperti story dunia Lokapala yang orisinil atau art karakter yang cukup baik. Menurut saya salah satu elemen terbaik dalam game ini adalah soundtrack menu utama. Penggabungan aksen modern lewat musik orkestra khas MOBA dengan aksen khas etnik Indonesia lewat gamelan Jawa berhasil membuat saya lupa dengan segala permasalahan teknis yang ada di dalam game ini.

Lokapala saat ini masih dalam status beta. Semoga saja seiring waktu, pengembang bisa berkomitmen untuk terus memperbaiki Lokapala dari berbagai sisi dan menjadi game yang lebih baik. Karena bagaimanapun, mengembangkan game MOBA ibarat lari marathon, yang pengembangannya akan terus berjalan selama game-nya masih dimainkan…