RedDoorz Perkenalkan Vertikal Layanan Pesan Makanan “RedFood”

RedDoorz merilis layanan pesan makanan “RedFood” sebagai vertikal bisnis baru di luar penginapan budget. Sementara ini baru tersedia di 10 lokasi RedDoorz di Jakarta, seperti Cilandak, Kemayoran, Plaza Blok M, Mangga Dua, dan Panglima Polim.

Menurut penjelasannya, RedFood dihadirkan untuk mempermudah pengguna yang ingin memesan makanan sesampai di kamar, sehingga mereka tidak perlu khawatir kelaparan. Kebiasaan pengguna yang demikian, bisa dikatakan menginsipirasi RedDoorz untuk merilis vertikal bisnis ini.

RedFood menyediakan menu makanan dengan harga terjangkau, seperti spaghetti meatball, beef rendang, chicken curry noodle, chicken teriyaki rice, dan beef bulgogi rice.

Dari penjelasannya, solusi ini belum menyerupai konsep cloud kitchen. Tidak ada dapur pusat yang dibuat RedDoorz di sekitar propertinya.

Kemungkinan ada kerja sama dengan pihak ketiga untuk menyediakan makanan beku yang bisa langsung dihangatkan mitra properti RedDoorz. Bila benar, maka konsep ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh convenience store seperti Indomaret, Watson, Family Mart, dan sebagainya.

Ke depannya RedDoorz bakal memperluas perluas baik untuk menu dan jumlah properti yang bakal menyediakan RedFood.

Mengingat masih dalam tahap pengembangan, RedFood baru bisa dipesan secara offline melalui resepsionis, bisa saat check-in atau setiba di tempat penginapan.

Rilis vertikal hunian baru

Salah satu properti dari produk Residences by RedDoorz / RedDoorz
Salah satu properti dari produk Residences by RedDoorz / RedDoorz

Tak hanya RedFood, sebenarnya RedDoorz juga mulai memperkenalkan unit bisnisnya di luar penginapan harian yakni Co-Living. Ada tiga layanan yang diperkenalkan, Residences by RedDoorz, Residences by RedDoorz Apartment, dan Kool Kost.

Ketiganya sudah tersedia, namun belum dirilis secara resmi. Tiga layanan ini menyasar pengguna yang berbeda, menyesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Residences by RedDoorz untuk pengguna yang mencari tempat tinggal strategis dengan banyak fasilitas seperti games, common area, Netflix, common kitchen, sarapan gratis, dan kegiatan mingguan. Pilihan huniannya mulai dari seminggu, sebulan, bahkan setahun. Harga sewanya mulai dari Rp3,2 juta sampai Rp5,7 juta.

Berikutnya Residences by RedDoorz Apartment untuk pengguna yang mencari hunian dari bulanan sampai tahunan. Harga sewanya per bulan mulai dari Rp5 juta sampai Rp12 juta.

Terakhir adalah Kool Kost untuk penginapan bulanan dengan harga terjangkau, mulai Rp1,2 juta sampai Rp2,8 juta per bulan. Seluruh biaya yang diberikan ini sudah termasuk fasilitas wi-fi, jaminan kebersihan, dan listrik.

Vertikal baru ini merupakan hasil pengembangan produk yang dilakukan RedDoorz pasca mengantongi pendanaan Seri C senilai $70 juta (hampir Rp1 triliun) dipimpin oleh Asia Partners dengan dua partisipasi dua investor baru, Rakuten Capital dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund.

Diklaim bisnis keseluruhan RedDoorz tumbuh lima kali lipat dengan jangkauan 52 kota di empat negara di Asia Tenggara (Singapura, Indonesia, Vietnam, dan Filipina). Adapun total kamar tersedia lebih dari 17 ribu kamar. Diharapkan perusahaan dapat membukukan satu juta pemesanan sampai akhir tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

JustCo Coworking Space Plans Business Expansion to Indonesia

After opening two locations in Jakarta, a Singapore-based coworking space, JustCo, opens its third branch in Sequis Tower SCBD, South Jakarta. JustCo is to launch another two in Jakarta.

In the launching, JustCo’s Co-Founder and COO, Liu Lu said, Indonesia and Jakarta in particular has been quite a market for coworking space. It was marked by the rise of local and global coworking space.

“JustCo sees Indonesia as a digital nomads and mature market, with the VC and global startups running business in Indonesia. The opportunity is relevant for us to follow the lead in Southeast Asia, particularly Indonesia.”

Currently, JustCo has 17 thousand active users distributed in 30 locations, 8 cities, from Singapore, China, Thailand, South Korea, Australia, and Taiwan. The more branches they got should facilitate the members while having cross-country business travel.

JustCo also has mentoring session for startups to develop business, making use of partners and professionals to help business development.

“Supported by our partners, Gunung Sewu, JustCo aims to facilitate the culture of interaction. In the program involving community, we offer opportunity to members in using professional networks for collaboration, business synergy, insight sharing, or just expanding networks. It also create a better job for everyone,” Liu said.

Using data analytics

Established in Singapore, JustCo aims to give more recommendation and offering to the members using big data analytics. Through the current IoT technology by Wi-Fi, JustCo will observe room efficiency, peak office hours, up to facility usage, such as lamp, AC, and others through smart home. It was to be implemented at all locations, including those in Indonesia.

In the future, Lu sees coworking space business will be the most favorite place for entrepreneur and corporate to work. Therefore, they offer various innovations, from co-living, flexible time and space for reservation, and affordable prices. It’s supported by people’s mindset where working shouldn’t have to be at the conventional building, but dynamic and cozy atmosphere with open space and flexibility, includes networking and collaboration.

“In particular, I didn’t see much difference of each country, but the current demand of coworking space aren’t for entrepreneurs only, but corporate also need temporary space for their business,” she added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Rencana Ekspansi Bisnis JustCo Coworking Space di Indonesia

Setelah membuka dua lokasi coworking space di Jakarta, JustCo, coworking space asal Singapura, kembali membuka cabang ketiga di Sequis Tower, SCBD, Jakarta Selatan. Rencananya JustCo bakal menambah dua lokasi baru di Jakarta.

Dalam acara peresmian, Co-Founder dan COO JustCo Liu Lu menyebutkan, Indonesia dan kota Jakarta pada khususnya sudah menjadi pasar yang menarik untuk bisnis coworking space. Hal tersebut ditandai dengan makin banyaknya coworking space lokal dan asing yang hadir.

“JustCo sendiri melihat Indonesia memiliki pasar yang sudah mature dan digital nomads ditambah dengan masuknya VC hingga startup asing yang melebarkan bisnis di Indonesia. Kesempatan tersebut sangat relevan bagi kami untuk melancarkan bisnis di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.”

Saat ini JustCo telah memiliki sekitar 17 ribu pengguna aktif yang tersebar di 30 lokasi di 8 kota, mulai dari Singapura, Tiongkok, Thailand, Korea Selatan, Australia, dan Taiwan. Makin bertambahnya cabang JustCo seharusnya memudahkan para anggota untuk memanfaatkan lokasi di beberapa negara, terutama saat sedang melakukan perjalanan bisnis.

JustCo juga memiliki kegiatan mentoring untuk startup yang ingin mengembangkan bisnis, memanfaatkan mitra dan profesional yang bisa membantu pengembangan perusahaan.

“Didukung dengan partner kita yaitu Gunung Sewu, JustCo dirancang untuk memfasilitasi budaya interaksi. Dengan program yang melibatkan komunitas, kami menawarkan kesempatan kepada anggota untuk memanfaatkan jaringan profesional untuk berkolaborasi, bersinergi dalam bisnis, berbagi wawasan atau sekadar memperluas jangkauan profesional mereka. Upaya ini juga membantu membuat pekerjaan lebih baik untuk semua orang,” kata Liu.

Memanfaatkan analitik data

Dimulai di Singapura, JustCo ingin memberikan rekomendasi hingga penawaran yang lebih kepada anggota memanfaatkan big data analytics. Memanfaatkan teknologi IoT yang disematkan dalam jaringan Wi-Fi, JustCo akan melihat efisiensi ruangan, jam kerja yang paling banyak dipilih pengguna hingga penggunaan utilitas seperti lampu, AC, dan lainnya melalui smart home. Nantinya teknologi tersebut akan diterapkan di cabang JustCo di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ke depannya Liu melihat, coworking space akan menjadi pilihan bekerja favorit bagi pengusaha dan korporasi. Untuk itu inovasi yang ditawarkan pun akan beragam, mulai dari menawarkan co-living, penyewaan waktu dan tempat yang makin fleksibel, hingga harga yang terjangkau. Hal tersebut didukung dengan mindset orang bekerja tidak lagi hanya di kantor biasa, tapi juga kantor nyaman dan dinamis dengan open space dan fleksibilitas sekaligus melakukan networking dan kolaborasi.

“Secara khusus saya tidak melihat perbedaan yang cukup besar di masing-masing negara, namun kami melihat saat ini demand coworking space bukan hanya untuk kalangan pengusaha saja, namun juga perusahaan besar yang membutuhkan temporary space untuk keperluan bisnis mereka,” kata Liu.

Application Information Will Show Up Here

Cocowork Renames to CoHive, Aims Not Only as Coworking Space

Recently rebranding on last June, Cocowork got renamed again. It’s now become CoHive. Besides coworking space, it also aims for new segments, co-living and new retail.

Co-Hive is currently running more than 32,000 sqm coworking space in 22 different locations around Jakarta and Medan, with more than 5,500 communities from corporate, SME, and startups renting monthly or annual working space.

Cocowork, previously named EV Hive, was considered successful in managing and providing working spaces which aim for collaboration, good concept, and strategic locations. It makes Cocowork continuously developing more workspaces and to target 100,000 sqm space in various locations the next year.

The new concept of CoHive is the reason behind its rebranding due to some new services. There is no further information on us regarding the new concept implementation by CoHive, however, the name proposed for these new products are CoHive Co-Living and Residences, CoHive Marts, and CoHiveX.

“Through the sharing economy concept, young entrepreneurs can access the necessary resources and community support to start and develop their business. With a series of comprehensive solutions in CoHive, our community members can work, live, and have fun in within the same ecosystem,” Carlson Lau, CoHive’s CEO, said.

He explained further that they currently have the tower network of offices and companies to be used for integrated services and activities development of community building, and planned to be launched in 2019.

In making this plan and strategy happened, CoHive is supported by some investors, such as East Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), Insignia Ventures, Softbank Ventures Korea, H&CK Partners, Tigris Investment, and Intudo Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Cocowork Ganti Nama Jadi CoHive, Tak Hanya Kejar Pasar Ruang Kerja

Baru saja rebranding di akhir Juni lalu, Cocowork kembali berganti nama. Kini namanya menjadi menjadi CoHive. Selain ruang kerja bersama (coworking space) CoHive juga menyasar segmen baru, yaitu co-living dan new retail.

CoHive saat ini sudah mengoperasikan lebih dari 32.000 meter persegi coworking space di 22 lokasi yang tersebar di Jakarta dan Medan, dengan lebih dari 5.500 komunitas perusahaan, UKM, dan startup yang menyewa ruang kerja dengan sistem per bulan atau tahunan.

Cocowork, sebelumnya bernama EV Hive, dinilai berhasil mengelola banyak coworking space dan menyediakan ruang kerja yang mengedepankan kolaborasi, memiliki konsep yang baik, dan terletak di lokasi-lokasi strategis. Kondisi ini membuat Cocowork terus ingin berkembang dengan lebih banyak ruang kerja yang ditargetkan mencapai 100.000 meter persegi di berbagai lokasi pada tahun mendatang.

Konsep baru yang diusung CoHive menjadi alasan perubahan nama karena membawa sejumlah layanan baru terkait pemanfaatan ruang. Belum ada informasi lebih jauh yang kami peroleh mengenai implementasi konsep baru yang diusung CoHive ini, tapi disebut nama yang diusung untuk produk baru ini adalah CoHive Co-Living and Residences, CoHive Marts, dan CoHiveX.

“Melalui konsep sharing economy, generasi pengusaha muda dapat mengakses sumber daya dan dukungan komunitas yang mereka butuhkan untuk memulai dan mengembangkan bisnis mereka. Dengan serangkaian solusi komprehensif yang ada di dalam platform CoHive, komunitas pengusaha yang tergabung bersama kami dapat bekerja, hidup, dan bersenang-senang di dalam ekosistem kami,” terang CEO CoHive Carlson Lau.

Lebih jauh Carlson menjelaskan bahwa saat ini mereka sudah memiliki jaringan menara kantor dan perusahaan yang rencananya akan digunakan untuk membangun seluruh layanan jasa dan aktivitas community building yang terintegrasi dan rencananya akan diluncurkan pada tahun 2019.

Dalam mewujudkan rencana dan strateginya ini, CoHive didukung sejumlah investor, seperti East Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), Insignia Ventures, SoftBank Ventures Korea, H&CK Partner, Tigris Invesment, dan Intudo Ventures.

Membawa Konsep Co-Living ke Indonesia

Konsep penyewaan ruang kosong di era digital menjadi salah satu peluang bisnis yang mulai digeluti banyak pihak. Ruangan-ruangan kosong tersebut biasanya ditawarkan sebagai tempat untuk bekerja hingga hunian. Di kota-kota besar mungkin model ini bekerja dengan baik karena tingginya harga sewa dan keterbatasan ruangan, namun jika diterapkan di Indonesia akankah popularitasnya bisa merata di semua kota.

Konsep penyewaan yang saya maksud adalah co-working space dan juga co-living. Konsep pertama sudah cukup sukses untuk hadir di banyak kota di Indonesia. Selain untuk kantor, co-working space acap kali menjadi tempat para freelancer bekerja. Konsep kedua, co-living terbilang cukup baru di Indonesia.  Startup co-living asal Singapura, Hmlet, berencana berekspansi di Indonesia tahun ini. Yang menjadi pertanyaan apakah konsep co-living benar-benar bisa diterima di Indonesia?

Masih baru di Indonesia

Startup yang mencoba menjajaki konsep co-living di Indonesia memiliki dua tugas penting. Pertama mengenalkan konsep co-living dan yang kedua mengenalkan brand mereka sendiri. Kondisi ini bisa menjadi suatu kelebihan, artinya brand mereka bisa dieratkan dengan konsep co-living. Di sisi lain hal ini memerlukan banyak energi (dan mungkin biaya).

Di Indonesia, yang sudah menyediakan layanan co-living adalah Freeware Spaces Group. CEO Freeware Spaces Aryo Ariotedjo dalam wawancara terdahulu dengan DailySocial mengungkapkan, konsep co-living mirip dengan konsep kos-kosan di Indonesia. Karena di luar negeri konsep tidak mengenal kos-kosan, dari situ lahir konsep co-living. Hanya saja co-living terlihat lebih lengkap karena fasilitas-fasilitas umum yang ditawarkan.

Kebutuhan, budaya, dan harga

Jika melihat tren layanan startup yang ada di Indonesia, kebutuhan, budaya, dan harga sangat menentukan popularitas dan adopsi masyarakat. Memiliki ketiganya bukan perkara yang mudah.

Ditinjau dari segi kebutuhan, demand-nya mungkin paling cocok untuk karyawan fresh graduate yang sudah memiliki pendapatan lumayan tapi belum memiliki properti sendiri. Di sini ia membutuhkan lingkungan tempat tinggal yang mendukung kariernya.

Dari segi budaya, konsep co-living cenderung masih “asing”, meski di Indonesia juga mengenal konsep kos-kosan. Membudayakan gaya hidup co-living masih butuh waktu.

Faktor terakhir dan biasanya menjadi faktor penentu di Indonesia adalah soal harga. Melihat fasilitas dan harga yang ditawarkan, kecenderunganya konsep co-living menyasar kalangan tertentu yang mampu menjangkaunya. Melihat adaptasi di masyarakat yang akhirnya melahirkan paket-paket harga “sachet”, untuk menjangkau khalayak yang lebih luas diperlukan inovasi di sisi pricing.

Co-living bukan tanpa peluang di Indonesia. Di Bali lebih mudah memadukan konsep co-living dan co-working dalam satu tempat. Konsep yang sama lebih sulit diimplementasikan di daerah urban seperti Jabodetabek. Meskipun demikian, co-living bisa menjadi pilihan bagi mereka yang ingin menjaga suasana kolaboratif namun masih membutuhkan ruang privat.