Apa Itu Momen Clutch di Esports dan Bagaimana Bisa Terjadi

Anda yang hobi mengkonsumsi konten gaming mungkin sudah sering mendengar atau melihat istilah “Clutch Moment“. Kalau diartikan secara kasar, momen clutch adalah kejadian luar biasa yang tidak disangka bisa terjadi di dalam permainan. Dalam game FPS misalnya, momen 1vs5 yang malah dimenangkan oleh dia yang seorang diri. Atau kalau dalam game MOBA, mencuri monster objektif besar seperti Lord, Roshan/Aegis, atau Baron seorang diri, bisa disebut sebagai momen clutch.

Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Ada yang bilang, momen clutch hanya “hoki” atau beruntung belaka. Pendapat itu mungkin tidak salah, tapi juga tidak berarti sepenuhnya benar. Walau istilah momen clutch sering beredar dalam komunitas gaming, namun fenomena dan istilah ini sebenarnya dimulai dari kompetisi olahraga. Karena konsep clutch sudah beredar cukup lama, jadi banyak peneliti yang berusaha menjelaskan, mengapa seorang atlet kadang bisa melakukan gerakan atau reaksi melebihi manusia normal, dalam keadaan terjepit.

Jadi mari kita bahas lebih dalam soal momen clutch, mulai dari arti kata, bagaimana fenomena ini terjadi di olahraga dan esports, sampai perdebatan dalam menentukan momen clutch.

 

Apa Itu Momen Clutch

Dari segi bahasa, kamus Merriam-Webster mengartikan kata “clutch” dalam beberapa makna. Arti paling utama adalah memegang sesuatu dengan tangan, atau dengan menjepit secara kuat, rapat, atau tiba-tiba. Tapi tentu bukan itu yang kita cari. Kamus Merriam-Webster juga mendefinisikan clutch sebagai berhasil melakukan sesuatu dalam situasi krusial.

Dalam olahraga, istilah ini kadang disebut sebagai clutch play. Dalam esports istilah ini kadang disebut Shoutcaster lewat ungkapan “what a clutch!” Dalam esports, satu momen paling familiar bagi penonton esports Indonesia mungkin adalah momen-momen gemilang di Dota 2. Apa Anda ingat asal muasal ucapan patience from Zhou”? Momen ini memang cukup lawas karena terjadi pada Dota 2 The International 2012, dalam pertandingan Navi melawan IG.

Apakah lemparan 3-poin yang masuk di akhir quarter 4 selalu bisa dikatakan sebagai Clutch? Sumber: Twitter NBA
Apakah lemparan 3-poin yang masuk di akhir quarter 4 selalu bisa dikatakan sebagai clutch? Sumber: Twitter @NBAcom

Pada menit 17, IG mencoba melakukan smoke gank ke arah Dendi dan kawan-kawan yang sedang beramai-ramai di Lane Bawah. Zhou, pemain IG, berhasil menangkap lima pemain Navi. Mereka dibuat tidak berkutik, semua Hero tim Navi tidak bisa gerak, tertidur karena terkena Song of the Siren. Normalnya, pertarungan ini harusnya dimenangkan oleh IG bukan? Mereka tinggal mempersiapkan posisi dan menggunakan semua Skill untuk menumpas Hero dari tim Navi.

Sayangnya tidak. Dalam keadaan penuh kemelut, Faith terlalu terburu-buru melepas Ravage. Dendi dan LightofHeaven tanggap situasi. Dendi dengan Rubick kabur menggunakan Force Staff, LightofHeaven dengan Enigma menggunakan BKB dan mengeluarkan Black Hole untuk menangkap 3 orang pemain IG. Dendi yang lepas dari kemelut mencuri Ravage dan menggunakannya untuk menumpas hero tim IG. Alhasil, kawan-kawan Navi selamat, sementara IG rata dengan tanah.

Apakah fenomena tadi adalah momen clutch? Atau keberuntungan belaka? Satu yang pasti, jangan samakan panggung The International dengan pengalaman Anda main MMR. Dalam situasi tersebut tekanan datang dari berbagai sisi, entah itu rasa takut akan kekalahan, rasa gugup bertanding di panggung megah, suara riuh penonton, dan berbagai faktor lainnya terjadi, mempengaruhi pikiran sang pemain.

Walaupun, kalau dipikir dengan logika, apa yang dilakukan Dendi dan LightofHeaven sebenarnya mudah saja. Cukup tekan BKB cepat-cepat, lalu tekan Dark Hole. Dendi juga sudah menghadap ke luar saat kemelut terjadi. Jadi dia cukup buru-buru tekan Force Staff, gunakan Spell Steal ke arah Tidehunter, lalu Ravage.

Tapi dalam keadaan penuh tekanan seperti itu, logika seakan jadi tidak berlaku, membuat tugas mudah seperti apa yang saya jelaskan jadi tidak terpikirkan. Tidak percaya? Lihat saja tim IG. Sebagai pemain profesional, seharusnya mereka tanggap akan informasi sekecil apapun itu. Tapi nyatanya IG bisa-bisanya lupa bahwa ada BKB, Force Staff, serta posisi mereka terlalu rapat yang membuatnya jadi sasaran empuk Dark Hole.

Beralih ke skena fighting games, satu momen clutch paling ikonik sepanjang masa adalah Evo Moment #37, yang juga disebut momen Daigo parry. Momen itu terjadi pada babak Semi-Final turnamen Street Fighter III: 3rd Strike di EVO 2004. Pertandingan mempertemukan Daigo Umehara dengan Justin Wong, dua pemain yang kerap dianggap rival oleh komunitas, karena punya sudut pandang berbeda dalam memahami Street Fighter.

Di saat momen penentu kemenangan, Daigo sedang sangat terdesak. Jumlah HP karakter Ken yang ia mainkan hanya sebesar pixel saja. Sementara di lain sisi Justin Wong masih punya banyak HP, dan Gauge Meter yang penuh. Kehabisan akal, Chun Li dari Justin lalu mengeluarkan “Super Art” untuk menghabisi Ken dari Daigo. Seharusnya, Ken dari Daigo kalah dong? HP Daigo sisa satu pixel, kalaupun menangkis, damage serangan Chun-Li tetap tembus, dan Daigo jadi kalah.

Tetapi tidak, Daigo yang masih berusia 23 tahun melakukan tindakan melebihi manusia normal. Daigo menahan serangan dengan Parry, yang yang membuat damage serangan musuh jadi tidak masuk.

Melakukan satu kali Parry di dalam Street Fighter itu susah, karena Parry bukan sekadar menahan arah belakang seperti menangkis. Tapi, dalam keadaan yang sangat terdesak, Daigo melakukan LIMA BELAS KALI Parry terhadap gerakan Justin Wong dengan sempurna, membuat seluruh damage kombinasi serangan Super Art milik Justin Wong jadi tidak masuk.

Tak hanya itu, setelah Parry, Daigo membalas serangan dengan kombinasi gerakan yang juga sempurna. Chun-Li dari Justin Wong pun akhirnya berhasil dibuat K.O. Berkat momen tersebut, Daigo Umehara lolos ke babak Final EVO 2004 cabang Street Fighter III: 3rd Strike.

Kalau dari sisi olahraga, berhubung saya tidak terlalu mengikuti sepak bola, jadi satu-satunya clutch play yang paling saya ingat datang dari olahraga American Football. Momen ini terjadi pada musim pertandingan tahun 2014. Seorang pemain rookie bernama Odell Beckham Jr. (OBJ) dari tim New York Giants, berhasil mengejutkan penonton berkat tangkapan dengan satu tangan yang ia lakukan. Padahal keadaannya ia sedang dijaga ketat, bahkan bajunya ditarik, yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran bagi pemain bertahan di dalam olahraga American Football.

Sumber: Al Bello - Getty Images
Sumber: Al Bello – Getty Images

Jadi apakah itu sebuah momen clutch? Agak keterlaluan jika Anda masih meragukan momen tangkapan satu tangan tersebut. Kenapa? Pertama, menangkap bola Football sambil berdiri diam itu sudah cukup sulit, terutama jika lemparannya keras.

Kedua, menangkap bola sambil berlari tanpa dijaga juga susah. Nah, Anda tinggal membayangkan, bagaimana sulitnya menangkap menangkap bola dengan dua tangan, dalam penjagaan yang sangat ketat seperti momen itu. Tapi menariknya, dalam keadaan tertekan, OBJ melakukan tindakan di luar nalar manusia biasa, menjangkau bola dengan satu tangan, berhasil menangkapnya, dan menghasilkan skor Touchdown. Tapi cukup disayangkan, dalam pertandingan tersebut tim New York Giants malah kalah di akhir pertandingan.

Bagaimana Momen Clutch di Esports Bisa Terjadi

Sebelum kita perdebatkan dari faktor eksternal (entah itu lawan lengah karena kena santet, atau lengah gara-gara bad mood karena putus cinta), kita harus melihat bagaimana sebuah momen clutch bisa terjadi berdasarkan dari faktor internal sang atlet.

Membahas ini saya juga berdiskusi dengan Yohannes Paraloan Siagian, sosok yang dulu sempat mengisi posisi Kepala Sekolah SMA 1 PSKD, dan juga sempat mengisi posisi sebagai Vice President EVOS Esports.

Sebelum artikel ini, saya juga sudah pernah berbincang dengan “Mas Joey” saat membahas perjuangan atlet dari sudut pandang psikologi esports. Ketika membahas soal clutch play, Joey mengatakan bahwa memang ada banyak faktor untuk menentukan sebuah momen itu clutch atau bukan. Namun, kebanyakan faktor lain-lain tersebut datang dari eksternal, yang akan kita bahas pada sub-bagian terakhir.

Namun satu yang pasti, setidaknya ada tiga faktor internal dari seorang atlet/pemain yang memungkinkan hal ini terjadi. Tiga faktor tersebut adalah, kepercayaan diri dan ketangguhan mental, skill si pemain, dan pengalaman si pemain.

Pengalaman dan skill, bisa dibilang berasal dari kemampuan kognitif (membaca situasi, nalar, logika, dan memproses informasi) dan motorik (menggerakan otot tangan, kaki, jari, ataupun tubuh secara keseluruhan) seorang pemain. Sementara faktor ketangguhan mental datang dari kemampuan psikologis seorang pemain.

“Walaupun suatu momen clutch bisa diperdebatkan dari sisi eksternal, namun komponen utama dari Clutch menurut saya adalah confidence dan knowledge of self. Jadi yang pertama dia percaya diri bahwa dia bisa menang dalam situasi tertekan. Kedua, rasa percaya diri itu datang dari pengetahuan akan level kemampuan dia, dan kesadaran atas apa saja yang dapat ia lakukan dalam situasi tersebut. Jadi dalam konsep clutch, seringkali yang bisa menunjukan performance clutch adalah yang merasa bahwa dia sedang memegang kendali pada suatu keadaan di dalam pertandingan.” Joey menjelaskan soal konsep clutch.

Dari sisi skill, satu teori yang bisa menjelaskan fenomena clutch mungkin adalah konsep Muscle Memory. Konsep ini sempat saya jelaskan saat membahas tips aiming pada game FPS, yang intinya adalah semakin lama dan sering Anda melakukan repetisi atas suatu kegiatan, maka akan semakin luwes pula motorik atau gerak tubuh Anda terhadap kegiatan tersebut.

Ada satu fenomena menarik yang sempat dijelaskan oleh seorang neuroscientist dari Universitas Oxford bernama Ainslie Johnstone pada sebuah artikel yang dipublikasikan lewat Medium.

Ia menceritakan soal fenomena seorang pasien bernama H.M, yang menderita amnesia, dan kehilangan kemampuan untuk belajar, serta menciptakan memori baru. Menariknya, H.M ternyata masih memiliki kemampuan dan mahir menggambar, walaupun ia memiliki kondisi tersebut. Namun karena kondisinya, H.M tidak bisa ingat bahwa ia pernah berlatih menggambar, bahkan tidak bisa ingat perlengkapan apa saja yang diperlukan untuk menggambar. Tetapi ketika ia diminta untuk menggambar dengan alat gambar yang sudah dipegang di tangannya, ia dapat menggambar hampir secara tanpa sadar dan otomatis.

Dari penjelasan Joey dan fenomena Muscle Memory, jadi semakin jelas bagaimana momen Clutch bisa terjadi. Saat mengatakan soal skill serta pengalaman, Joey juga menegaskan bahwa dua hal itu tercipta berkat repetisi atau pengulangan terhadap satu kegiatan secara terus menerus.

Hal ini jadi alasan kenapa latihan seorang atlet atau pemain esports berbentuk pengulangan. Seorang pemain esports bisa bermain selama 8 jam dalam sehari, hanya untuk mengulang-ulang hal yang sama. Pemain Dota 2 mungkin sudah menghabiskan ratusan, ribuan, mungkin ratusan ribu jam hanya untuk bermain pada map yang sama, dan menghadapi berbagai macam ragam kombinasi hero. Begitu juga dengan pemain CS:GO, yang mungkin sudah ratusan ribu kali menghadapi lorong panjang yang sama di De_Dust2. Begitu juga dengan pemain Street Fighter seperti Daigo Umehara, yang sudah ratusan ribu kali mengeluarkan command hadouken.

Repetisi ini membuat momen clutch kadang tidak terjelaskan oleh si pemain itu sendiri. Kolega saya sesama jurnalis esports mungkin yang paling paham dengan kondisi pemain esports seperti di atas. Biasanya ketika kami melontarkan pertanyaan soal apa yang ada di pikiran pemain saat momen clutch, para pemain esports kadang cuma bisa menjawab dengan satu kata… Reflek.

Jika kita mendasarkan pada konsep Muscle Memory, jawaban tersebut tidak kita bilang salah. Setelah ratusan, ribuan, bahkan jutaan repetisi, momen clutch yang kita kita anggap rumit, jadi dapat dilakukan hampir secara otomatis oleh sang pemain, bahkan terasa seperti reflek saja.

Kembali ke soal Olahraga, ini juga jadi menjelaskan kenapa OBJ si pemain rookie tim New York Giants, dapat menangkap dengan satu tangan dalam keadaan terdesak.

Ia sempat bercerita, bahwa dirinya ternyata memang dengan sengaja menyertakan tangkapan satu tangan ke dalam latihan, serta pemanasan yang ia lakukan. Padahal, tangkapan satu tangan diperdebatkan oleh para pelatih tim American Football, karena dianggap terlalu pamer dan tidak berguna. Jadi, OBJ bisa melakukan Clutch tangkapan satu tangan karena ia berlatih. Jika OBJ tidak pernah satu kali pun berlatih menangkap bola dengan satu tangan, niscaya momen Catch of the Year tersebut tidak akan pernah terjadi.

Oke, itu tadi soal Muscle Memory, skill, dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang pemain atau atlet. Faktor kedua datang dari faktor psikologis, yaitu ketangguhan mental sang pemain. Perkara mental memang dalam kompetisi memang penting, termasuk esports. Ellavie Ichlasa Amalia, Senior Writer Hybrid sempat membahas soal beban mental seorang atlet esports, dan berbagai cara untuk menanggulanginya. Dengan mengutip pernyataan dari Mia Stellberg, psikolog tim Australis dan OG, artikel tersebut menjelaskan bagaimana stres bisa berdampak negatif kepada performa pemain esports.

Menariknya, pada sisi lain stres ternyata bisa memberi dampak positif kepada performa pemain. Mengaitkan antara stres, ketahanan mental, serta fenomena Clutch, ada satu teori yang sudah cukup tua untuk menjelaskan hal tersebut. Teori tersebut bernama Yerkes-Dodson Law yang dicetuskan dua orang psikologis, Robert Yerkes dan John Dillingham Dodson, lewat sebuah penelitian yang ia lakukan pada tahun 1908.

Dalam teori tersebut ia menguji bagaimana dampak tekanan terhadap kemampuan tikus menciptakan sebuah habit atau kebiasaan. Mereka mengobservasi 40 tikus percobaan yang diperintahkan untuk memilih antara box hitam atau putih. Tikus yang memilih box hitam akan disetrum, sementara yang memilih box putih akan baik-baik saja. Tikus percobaan akan dianggap berhasil melalui tes apabila ia berhasil memilih box putih secara berturut-turut sebanyak 10 kali tes selama 3 hari.

Dari percobaan tersebut ditemukan, jika level setrum box hitam dinaikan sampai level tertentu, maka akan semakin banyak tikus yang jadi lebih mahir memilih box putih. Namun, jika level setrum terlalu tinggi atau terlalu rendah, jumlah tikus yang memilih box putih jadi semakin sedikit.

Penelitian tersebut kerap kali menjadi dasar penjelasan bahwa performa kerja seseorang bisa meningkat jika sedang mengalami tekanan mental pada tingkat tertentu. Maka, dengan menggunakan dasar teori tersebut, sedikit banyak terjelaskan kenapa dalam keadaan tertekan, seorang atlet atau pemain esports kadang tampil lebih cemerlang.

Pada skena esports, sosok terbaik untuk jadi contoh atas teori tersebut mungkin adalah Andreas Hojsleth, pemain tim CS:GO Astralis yang lebih dikenal dengan nickname Xyp9x. Pemain ini mungkin bukan tipe pemain bintang layaknya Coldzera, namun beberapa tahun ke belakangan ia jadi dijuluki sebagai Clutch Minister oleh komunitas. Julukan ini diberikan karena performa Xyp9x yang secara konsisten meningkat saat keadaannya sedang terdesak.

Andres Bulme salah satu Shoutcaster ternama di skena CS:GO sempat memberikan komentarnya terhadap Xyp9x. “Kami kadang memanggil dia dengan sebutan robot. Ini karena dia seperti selalu bisa memberikan solusi dalam keadaan penuh tekanan, ketika waktu tersisa sangat sedikit, namun banyak pilihan tersedia yang dapat dilakukan.” Ucap Andres.

Fenomena Xyp9x sedikit banyak menjelaskan bagaimana Yerkes-Dodson Law bekerja. Menjelaskan bahwa ternyata memang ada beberapa pemain esports yang justru jadi cemerlang, saat sedang berada dalam tekanan.

Saya juga berdiskusi dengan Joey terkait soal Yerkes-Dodson Law ini.

Joey lalu menjelaskan. “Benar adanya konsep YD (Yerkes-Dodson) menjelaskan semakin naik tekanan, semakin naik performa seseorang. Namun bisa dibilang itu adalah hal yang normal, karena hukum YD berlaku untuk semua orang. Jujur saja, mayoritas orang baru perform atau kerja, ketika ada pressure. Dikejar deadline misalnya, atau seperti kamu yang lagi ditagih artikel oleh Mas Yabes… Haha.” Ucapnya seraya berkelakar.

“Tapi kalau dalam melatih atlet, aku percaya bahwa YD ada benarnya, tetapi ada tambahan. Semakin kita kembangkan kemampuan atlet mengatasi mengatasi tekanan (mental), maka semakin besar tekanan eksternal yang bisa dia terima. Semakin tahan mental, semakin ia bisa perform di atas optimal saat tertekan, sehingga dia akan bisa lebih sering Clutch.” Perjelas Joey, yang punya pengalaman 20 tahun menjadi praktisi pelatihan olahraga dengan latar belakang psikologi, serta pengalaman dalam membina dan melatih atlet remaja sampai menjadi wakil Indonesia di tingkat tim nasional.

Perdebatan soal Momen Clutch

Seperti sempat saya senggol sebelumnya, bahwa momen clutch memang kerap kali diperdebatkan, terutama oleh para analis olahraga. Rob Goldberg, jurnalis olahraga BleacherReport, yang merupakan salah satu media olahraga ternama di Amerika Serikat, memberikan pernyataan berani bahwa clutch sebenarnya adalah produk memori jangka pendek otak manusia di antara para fans dan analis.

Kenapa demikian? Rob Goldberg memang mempertanyakan clutch dari sudut pandang analis olahraga, dan berusaha menggali lebih dalam bagaimana dampak dari satu momen, terhadap hasil yang diperoleh tim secara keseluruhan.

“Misalnya kita bicara momen 1vs5 di game VALORANT. Kalau terjadi di ronde 1 saat skor masih 0-0, apakah itu clutch? Kalau terjadi saat skor 12-12, apakah itu clutch? Kalau skor tim yang tinggal satu orang adalah 0, lalu tim musuh yang masih sisa 5 skornya 8, apakah itu sebuah clutch? Banyak situasi, kondisi, dan timing juga.” Joey menjelaskan dari sudut pandangnya soal melihat apa itu momen clutch dari sudut pandang yang lebih luas.

Sumber: Riot Games
Jika pemain ini bisa menghabisi dua lawannya, apakah itu Clutch, atau hanya beruntung belaka? Sumber: Riot Games

Mungkin ada benarnya juga. Kalau kita bicara game FPS, pemain yang tinggal sendiri akan sangat kesulitan jika menghadapi situasi 1vs5 dengan keadaan musuh datang dari sudut berlawanan secara berbarengan. Pemain yang tinggal sendiri dengan senjata AR juga bisa menang 1vs5 dengan mudah jika musuhnya sedang eco, dan hanya memiliki pistol saja. Pemain dengan Rank Global Elite, juga bisa menang situasi 1vs5 dengan mudah kalau lawannya hanya Rank Silver saja.

Tapi bukan berarti kita harus secara serta merta melupakan faktor internal si pemain itu sendiri. Penonton mungkin bisa merasa suatu momen clutch game FPS 1vs5 itu terjadi karena hoki, gara-gara pemain yang sendirian menghadapi musuhnya secara satu per satu dari sudut yang dapat ia menangkan.

Padahal, bisa jadi pemain yang sendirian itu, jadi menghadapi musuh secara satu per satu karena ia paham betul map yang dimainkan. Dengan pengalaman dan repetisi terhadap suatu map selama bertahun-tahun, ia jadi tahu, dalam suatu momen, sudut mana saja yang memungkinkan dirinya lebih unggul terhadap satu musuh.

Belum lagi soal ketahanan mental dan kemampuan membidik. Jika tidak kuat mental, tangan pemain mungkin sudah gemetar atau lemas, membuat bidikannya jadi tidak stabil. Belum lagi soal komitmen latihan membidik yang ia lakukan selama bertahun-tahun, sehingga membidik area kepala musuh jadi semudah seperti bersiul atau mengendarai sepeda.

Saya sendiri berpendapat bahwa memang kita bisa melihat momen clutch dalam dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah sudut pandang mikro yang lebih sempit.

Hoki bisa jadi sebenarnya datang dari level kemampuan, serta pengalaman sang atlet esports menghadapi suatu skenario pertandingan. Sumber: Liquidpedia CS:GO. Sumber: Liquidpedia CS:GO
Hoki bisa jadi sebenarnya datang dari level kemampuan, serta pengalaman sang atlet esports menghadapi suatu skenario pertandingan. Sumber: Liquidpedia CS:GO. Sumber: Liquidpedia CS:GO

Dalam sudut pandang mikro, kita mengerucutkan momen clutch pada satu pertandingan saat itu saja, dan pada momen itu saja. Terlepas dari bagaimana dampak momen tersebut terhadap tim, dalam sudut pandang mikro, saya tetap merasa momen cemerlang seorang atlet esports tetap bisa disebut clutch. Mengapa? Karena momen tersebut menunjukkan kualitas faktor internal dari seorang atlet. Momen cemerlang tersebut jadi bukti latihan, repetisi, dan ketahanan mental sang atlet esports terhadap tekanan, sehingga ia bisa tampil luar biasa saat berada di bawah tekanan.

Sudut pandang kedua adalah dari sudut pandang makro. Dalam sudut pandang ini, baru kita mempertanyakan momen clutch dari aspek-aspek eksternal. Seperti yang dibahas oleh Joey, kalau ternyata Anda bisa menang 1vs5 tapi tim Anda kalah, momen itu mungkin belum bisa disebut clutch karena kurang memberi dampak terhadap tim secara keseluruhan

Pada akhirnya faktor keberuntungan sebenarnya juga punya peranaan di dalam sebuah pertandingan. Namun jika sudah beruntung, faktor internal si pemain esports tetap menjadi kunci untuk membuka gerbang momen clutch. Bagaimanapun momen clutch tidak akan terjadi, jika sang pemain tidak siap.

Pada saat berdiskusi, Joey menutup obrolan dengan satu kutipan dari aktor Samuel Goldywyn yang mengatakan “The harder i work, the luckier i get.”

Daigo Juara CPT Online Asia East #1, Tarung Sengit lawan Fuudo

Akhir pekan lalu (25 Juli 2020) menjadi puncak dari gelaran Capcom Pro Tour Online Asia East #1. Kompetisi ini diikuti oleh pemain dari negara-negara Asia Timur, dengan Korea Selatan dan Jepang sebagai dua negara yang paling mendominasi. Setelah rangkaian pertandingan yang sengit, Daigo Umehara “The Beast” akhirnya muncul sebagai juara.

Walau Daigo bisa dibilang sebagai salah satu yang terbaik di Asia, namun bukan berarti ia menang mudah dalam gelaran ini. Lawan Daigo di babak final adalah Fuudo. Daigo sendiri masuk babak final melalui Upper Bracket, sementara Fuudo datang dari Lower Bracket. Beban mental Fuudo seharusnya lebih berat, namun pertandingan berjalan dengan sengit sekali, bahkan Daigo sempat beberapa kali terdesak.

Sepanjang pertandingan Final Daigo menggunakan Guile dan Fuudo menggunakan Poison. Pada fase Reset Bracket, Daigo melakukan permainan agresif yang mungkin akan membuat pemain lain menjadi gentar. Namun demikian Fuudo tetap tenang dan fokus pada pertandingan. Alhasil, Daigo dengan sendirinya melakukan kesalahan-kesalahan.

Setidaknya dua kesalahan besar yang paling terlihat dalam babak Reset Bracket adalah Daigo yang tidak bisa menghabisi Fuudo setelah melakukan Combo sebanyak 22 Hits, dan tendangan Low Kick Sweep yang berkali-kali berhasil dibaca yang langsung di-punish oleh Fuudo. Alhasil, setelah pertarungan yang menegangkan, Fuudo berhasil menang dan melakukan reset terhadap bracket. Kini skor jadi 0-0 lagi.

Setelah Bracket Reset, Daigo kembali melakukan serangan-serangan Sonic Boom yang agresif. Namun pada beberapa kesempatan Fuudo berhasil membaca gerakan-gerakan Guilde milik Daigo dan memanfaatkan celah tersebut. Namun, sebutan “The Beast” pada Daigo bukan berasal dari omong kosong belaka. Pembuktian sempat terlihat pada saat Daigo sedang akan mengejar poin. Ketika HP Daigo tinggal setitik, namun ia sangat sabar menahan pergerakan yang berbuah pada Whiff yang dilakukan oleh Fuudo.

Pada saat skor menjadi 2-2, Fuudo malah terlihat lengah. Padahal, ia adalah pemenang dari set pertandingan sebelumnya. Melihat keadaan ini, tentu saja Daigo segera memanfaatkan keadaan, dan kembali melakukan serangan-serangan agresif. Benar saja, pada set terakhir, Fuudo tidak berdaya, dilibas 2-0 oleh Daigo.

Dengan ini, maka berikut hasil dari CPT Online Asia East #1.

Babak final CPT Online Asia East #1 benar-benar menyajikan pertandingan yang sangat menghibur bagi para penggemar esports Street Fighter V. Juga tak kalah seru, sebelumnya ada CPT Online SEA, yang mana pemain Indonesia seperti Aron Manurung berhasil mendapat prestasi yang luar biasa. Gelaran CPT Online masih akan berlanjut, dan yang patut ditunggu tentunya sepak terjang pemain Indonesia di CPT Online SEA berikutnya yang menurut Aron akan hadir September mendatang.

EVO Rancang Aturan Baru yang Melegalkan Penggunaan Controller Hitbox

Dunia fighting game beberapa waktu lalu sempat dilanda diskusi yang hangat perihal legalitas controller. Ketika Daigo Umehara—yang merupakan sosok terkenal di komunitas fighting game—menunjukkan berbagai keunggulan controller yang disebut hitbox, banyak pihak merasa bahwa fitur-fitur dalam controller tersebut terlalu bagus sehingga dapat disebut curang. Terutama hitbox merk Gafrobox yang digunakan oleh Daigo.

Meskipun hitbox itu sebenarnya sudah cukup lama beredar di pasaran, penggunaannya oleh Daigo membuat diskusi seputar controller jenis ini. Menanggapi isu tersebut, Capcom akhirnya memutuskan untuk melarang hitbox karena dinilai dapat memberikan keuntungan kompetitif. Akan tetapi mereka masih membuka ruang diskusi, dan menyatakan bahwa peraturan Capcom Pro Tour (CPT) bisa saja berubah di masa depan.

Panitia Evolution Championship Series (EVO) kini tengah menggodok aturan baru yang mengatur legalitas controller, terutama hitbox. Mereka merilis rancangan aturan tersebut di Google Docs agar dapat dilihat oleh semua orang, dan terbuka terhadap masukan sebelum aturan ini diimplementasikan. Rencananya, panitia EVO akan menetapkan aturan versi finalnya pada tanggal 31 Oktober 2019.

Anda dapat membaca aturan tersebut lewat tautan ini, tapi ada beberapa poin penting yang perlu kita perhatikan secara cermat. Berikut beberapa di antaranya:

  • Sebuah controller tidak boleh memberikan hasil input ganda dari satu mekanisme input. Input ganda dari setting di dalam game diperbolehkan, tapi pemain dilarang memodifikasi controller untuk bisa menekan lebih dari satu input bersamaan, atau menekan lebih dari satu input secara sekuensial (macro).
  • Sebuah controller tidak boleh memberikan input dua arah berlawanan secara sekaligus. Input dua arah berlawanan ini dikenal dengan istilah simultaneous opposite cardinal direction (SOCD), dan merupakan salah satu alasan mengapa Gafrobox dilarang.
  • Sebuah controller boleh memberikan input analog, asalkan hasil inputnya tidak berupa input ganda/sekuensial. Input analog ini misalnya tombol yang memberi input berbeda tergantung dari seberapa dalam tombol itu ditekan.

Khusus untuk aturan mengenai SOCD, panitia EVO berkata bahwa aturan ini akan dihapus pada tanggal 30 April 2021. Artinya controller dengan fitur SOCD boleh digunakan setelah periode tersebut. Akan tetapi pihak EVO memberi masukan supaya para developer fighting game menerapkan cara mereka sendiri untuk mengatasi input SOCD. Misalnya apabila pemain menekan tombol kiri dan kanan sekaligus, maka game akan menganggap input itu invalid atau menghasilkan input netral.

Panitia EVO juga memberi catatan khusus untuk tiga controller yang saat ini ada di pasaran, yaitu Gafrobox, Hit Box Smash Box, dan Hit Box Cross|Up. Singkatnya, ketiga controller ini dianggap legal digunakan dalam turnamen. Alasannya adalah karena ketiga controller tersebut sama-sama tidak melanggar aturan tentang input ganda/sekuensial maupun SOCD. Firmware yang digunakan para pembuat controller pun sudah memfasilitasi penyaringan input (cleaning) sehingga tidak terjadi SOCD.

Satu kasus khusus adalah controller PS4 (DualShock 4), yang ternyata memfasilitasi input SOCD. Akan tetapi pihak EVO memberi pengecualian pada controller ini, karena DualShock 4 adalah “stock controller” yang memang disediakan oleh Sony. Lagi pula kalau kita pikir-pikir, meskipun DualShock 4 bisa melakukan SOCD, menekan dua arah berlawanan sekaligus di controller tersebut sangatlah sulit dan tidak memberi keuntungan dalam turnamen.

Aturan yang dirancang oleh EVO ini bisa menjadi referensi bagi para penyelenggara turnamen, termasuk juga di Indonesia. Akan tetapi aturan ini masih belum final, dan bisa saja berubah sebelum tanggal 31 Oktober. Anda juga bisa memberi masukan langsung terhadap aturan ini dengan mengirim email ke alamat [email protected] dengan judul “Evo Controller Ruleset Feedback”. Bila aturan ini jadi diterapkan, tampaknya ada kemungkinan kita akan melihat lebih banyak pemain fighting game profesional menggunakan hitbox dan berbagai variasinya dalam turnamen EVO 2020 nanti.

Sumber: EventHubs

Daigo Umehara dan Kreator Street Fighter II Ungkap Rahasia Sukses Game ini

Perkembangan dunia fighting game tak bisa lepas dari game legendaris yang berjudul Street Fighter II. Pertama kali dirilis untuk mesin-mesin arcade di tahun 1991, Street Fighter II hingga kini masih dipuja sebagai pelopor berbagai mekanisme fighting game yang terus bertahan. Meski fighting game sekarang sudah semakin modern dan banyak sekali macamnya, gameplay Street Fighter II tetap terasa solid dan menyenangkan untuk dimainkan, bukti kehebatan para kreator yang ada di Capcom pada masa itu.

Daigo Umehara di tahun 2016 pernah mewawancarai salah seorang developer Street Fighter II yang bernama Akira Nishitani. Ia adalah game designer yang merancang sistem permainan berbagai judul ternama Capcom, termasuk Final Fight, Street Fighter II, dan X-Men: Children of the Atom. Setelah meninggalkan Capcom di tahun 1995, Nishitani kemudian mendirikan perusahaan sendiri, yaitu Arika yang kini dikenal sebagai developer di balik seri Street Fighter EX dan kini Fighting EX Layer.

Wawancara tersebut belum lama ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh channel YouTube FGC Translated. Di dalamnya, Daigo dan Nishitani bersama-sama membedah aspek-aspek yang membuat Street Fighter II begitu sukses di pasaran. Apa saja isi obrolannya? Simak di bawah.

Mengapa Street Fighter II memiliki 12 karakter

Ketika Street Fighter pertama dirilis pada tahun 1987, game tersebut hanya memiliki dua karakter yaitu Ryu dan Ken. Itu pun keduanya sebetulnya hanya pallette swap, jurus yang mereka miliki sama persis. Akan tetapi, mengikuti perkembangan hardware di kabinet arcade, Capcom ingin memberikan permainan yang lebih canggih.

Sebetulnya Nishitani ingin memasukkan karakter sebanyak-banyaknya di Street Fighter II, tapi tentu saja ada keterbatasan waktu dan biaya. Oleh karena itu ia mencoba untuk merancang karakter-karakter berdasarkan konsep “peran” tertentu. Contohnya, Zangief menempati konsep “karakter berbadan besar dan kuat”. Proses desain ini pada akhirnya menghasilkan 8 karakter playable dengan latar belakang berbagai negara:

  • Ryu (Jepang)
  • Ken (Amerika)
  • Honda (Jepang)
  • Guile (Amerika)
  • Chun-Li (Tiongkok)
  • Blanka (Brasil)
  • Zangief (Uni Soviet)
  • Dhalsim (India)

Akan tetapi selain 8 karakter itu, Street Fighter II juga menyediakan 4 karakter “boss” yang hanya dikendalikan oleh komputer. Mereka adalah Balrog, Vega, Sagat, dan M. Bison. Mengapa sebuah fighting game perlu ada karakter boss? Salah satunya adalah karena menurut Nishitani akan lebih seru bila ada karakter-karakter yang bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan pemain.

Alasan lainnya adalah karena di era itu fighting game masih belum begitu populer. Tidak banyak orang yang bermain melawan pemain lainnya. Jadi Nishitani ingin Street Fighter II bisa dinikmati secara single-player, layaknya sebuah game action biasa. Keempat karakter boss ini kemudian dibuat playable di Street Fighter II: Champion Edition yang terbit tahun 1992. Tentunya dengan penyesuaian agar mereka tidak terlalu overpowered.

Pengaruh harga komponen terhadap kreativitas

Sebelum mengerjakan Street Fighter II, Nishitani bekerja untuk tim yang menciptakan Final Fight. Saat itu sebetulnya ada sedikit masalah di dunia arcade. Kabinet arcade Capcom menggunakan motherboard yang disebut CPS-1, namun harga CPS1 di seluruh dunia sedang mengalami kenaikan. ROM sangat mahal karena permintaan pasar terlalu tinggi sementara suplai menipis. Karena itu Final Fight dirancang untuk menggunakan volume data yang tidak terlalu besar.

Saat waktunya menggarap Street Fighter II, harga ROM untuk CPS-1 telah menurun, sehingga tim Nishitani bisa bebas menciptakan game dengan data besar. Tim developer Street Fighter II bisa merancang karakter dengan sprite besar di layar, namun tetap memiliki jumlah animasi yang sangat banyak. Ini beda dengan Final Fight yang hanya memiliki sedikit variasi animasi.

Nishitani berperan sebagai desainer konsep setiap karakter, sementara wujud akhirnya dikerjakan oleh desainer lain yaitu Akira Yasuda (alias “Akiman”). Lucunya, beberapa desain karakter pada akhirnya berubah jauh dari konsep yang dibuat Nishitani karena tim developer terlalu bersemangat sehingga mereka menambahkan hal-hal baru sendiri supaya lebih keren dan kuat. Tak hanya tampilan visual, mereka juga menciptakan jurus-jurus sendiri!

Nishitani tidak bisa menolak perubahan-perubahan itu karena semua orang di tim developer sudah sangat menyukainya. Salah satu contoh yang hingga sekarang sangat ikonik adalah gerakan “Upside Down Kick” milik Guile. Sebetulnya sprite gerakan itu dibuat untuk gerakan menjegal kaki (sweep), tapi kru yang menangani Guile memutar balik sprite itu dan menjadikannya serangan baru.

Gerakan Upside Down Kick mungkin sebetulnya mustahil dilakukan di dunia nyata, tapi dibiarkan saja karena keren. Begitu pula dengan Dhalsim. Pada awalnya ia tidak bisa memanjangkan kaki dan tangan begitu jauh seperti sekarang, tapi kru yang menangani menciptakan sprite dan gerakan tersebut tanpa disuruh.

Guile - Upside Down Kick
Upside Down Kick di Street Fighter V | Sumber: Street Fighter Wiki

Hal-hal seperti ini terjadi di hampir semua karakter. Blanka pada awalnya tidak memiliki kulit hijau. E. Honda pada awalnya berpenampilan seperti pesumo biasa. Guile tidak memiliki “rambut sapu” seperti sekarang. Tapi kru Street Fighter II semuanya begitu senang menambahkan hal-hal aneh yang menurut mereka keren. Karena itulah Street Fighter II punya desain begitu unik dan ikonik.

Aspek-aspek gameplay eksperimental

Saat ini Street Fighter sudah memiliki pakem gameplay yang khas, tapi di era Street Fighter II mereka belum punya “blueprint” yang pasti. Karena itu Capcom sempat melakukan banyak hal eksperimental di Street Fighter II. Mulai dari percobaan sistem air combo, membagi serangan ke dalam tiga jenis (high, mid, low), hingga adanya “titik lemah” di tiap karakter.

Banyak ide seperti ini yang kemudian batal diimplementasikan, karena mereka khawatir Street Fighter II akan jadi terlalu rumit dan sulit dimainkan. Saat itu, kemunculan fighting game dengan kualitas visual sebaik Street Fighter II saja sudah menghebohkan. Nishitani ingin game ini tidak terlalu rumit, dan ide-ide tadi disimpan untuk sekuel di masa depan.

Salah satu unsur gameplay yang cukup revolusioner adalah adanya batasan arena pertarungan di ujung kanan dan kiri layar. Alih-alih membuat arena dengan latar belakang “infinite scrolling”, Street Fighter II memiliki pembatas karena dua alasan. Pertama karena keterbatasan aset visual, dan yang kedua adalah karena mereka ingin menerapkan konsep “corner” ke dalam fighting game.

Mirip pertarungan di atas ring tinju, memojokkan lawan ke sudut akan membuat kita memiliki keunggulan. Street Fighter II dirancang supaya memojokkan lawan adalah strategi yang kuat. Pada akhirnya ada hal-hal teknis yang agak rumit diterapkan karena adanya sistem corner, seperti gerakan karakter ketika terpukul atau efek slow motion dari serangan tertentu. Tapi pada akhirnya konsep ini dipertahankan dan membuat Street Fighter II lebih seru.

Wawancara Daigo dengan Nishitani di video asli channel Daigo the BeasTV memiliki durasi satu jam lebih, dan sejauh ini FGC Translated baru menerjemahkan sebagian saja. Tapi dari sini kita sudah bisa melihat betapa kreatifnya kru di balik Street Fighter dan bagaimana proses berpikir mereka dapat menghasilkan sebuah produk yang mengubah sejarah fighting game.

Bila Anda penggemar genre ini, saya sangat merekomendasikan Anda untuk mengikuti channel FGC Translated karena mereka banyak menyampaikan wawasan dan pendapat dari tokoh-tokoh besar dunia fighting game Jepang. Di tengah komunitas fighting game yang masih terus tumbuh, FGC Translated bisa menjadi pusat pengetahuan yang akan memicu berbagai diskusi. Check it out!

Sumber: FGC Translated

Daigo Umehara Ingin Unsur “Gambling” Dihilangkan dari Street Fighter

Dengan jumlah penjualan mencapai 3,1 juta kopi serta iklim kompetitif yang masih ramai hingga sekarang, Street Fighter V dapat dibilang termasuk judul yang cukup sukses bagi Capcom. Tapi game ini juga diselimuti oleh segudang kontroversi. Mulai dari praktik DLC yang dirasa terlalu banyak, masalah teknis seperti waktu loading yang lama, hingga unsur gameplay yang dirasa terlalu memanjakan pemula, keluhan penggemar seolah jadi menu sehari-hari media sosial Street Fighter dalam 3 tahun terakhir.

Di tengah diamnya Capcom terhadap konten Street Fighter V Season 4, gosip tentang dikembangkannya Street Fighter VI pun muncul. Apakah Street Fighter VI dapat memperbaiki semua kekurangan yang ada di Street Fighter V, saat ini kita belum bisa memastikan. Tapi para penggemar berat seri fighting game ini tentu punya ekspektasi tertentu. Termasuk Daigo Umehara, sang atlet esports dan ikon Street Fighter yang melegenda.

Daigo Umehara - NorCal 2019
Daigo melawan Tokido di turnamen NorCal Regionals 2019 | Sumber: Daigo Umehara

Daigo menyampaikan beberapa harapannya terhadap Street Fighter VI dalam siaran live streaming yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh channel YouTube FGC Translated. Hal utama yang disebutkannya adalah bahwa jika kita ingin Street Fighter VI menjadi sebuah esports, maka fitur yang memungkinkan “comeback” secara mudah haruslah dihilangkan.

Bukan berarti Street Fighter VI tidak boleh memiliki faktor comeback sama sekali. Menurut Daigo, bila faktor comeback itu hanya berpengaruh sedikit maka tidak apa-apa. Tapi faktor comeback yang besar membuat Street Fighter jadi memiliki unsur keberuntungan (gambling), dan ini menjadikannya bukan sebuah “olahraga” sungguhan. Contohnya adalah sistem meter Revenge Gauge (Ultra Combo) di Street Fighter IV. Meter seperti ini tidak terisi ketika kita menyerang, tapi justru terisi ketika kita diserang lawan.

Ultra Street Fighter IV
Ultra Street Fighter IV | Sumber: Steam

“Anda mengisi faktor comeback terus-menerus dengan cara terpukul. Ini kan, tidak masuk akal. Ini kebalikan dari olahraga pertarungan pada umumnya,” demikian ujar Daigo. Ia merasa bahwa meter super seperti Critical Art atau V-Trigger seharusnya terisi ketika kita menyerang, sehingga pemain akan mendapat imbalan dari permainan ofensif. Fighting game zaman dulu sudah menggunakan konsep seperti ini, jadi penerapan konsep serupa seharusnya tidak mustahil.

Daigo berkata bahwa fitur-fitur comeback dikembangkan untuk membuat Street Fighter lebih mudah diterima oleh pemain baru. Hal ini wajar, karena ada masa di mana fighting game kurang diminati dan jumlah pemainnya menurun drastis. Tapi sekarang fitur tersebut sudah tidak diperlukan lagi. “Sekarang, banyak pemain muda yang kuat. Dulu mungkin sulit bagi pemain-pemain muda untuk masuk ke dalam komunitas fighting game. Tapi saya rasa sekarang sudah tidak demikian,” kata pria yang dijuluki “The Beast” ini.

Rumor yang beredar di GameFAQs mengatakan bahwa Street Fighter VI dan Marvel vs. Capcom 4 sedang dalam pengembangan untuk console generasi berikutnya. Itu artinya mungkin kita tidak akan mendengar kabar resmi tentang dua game tersebut dalam waktu dekat. Akan tetapi usulan yang diberikan Daigo terdengar bagus dan cocok untuk membuat Street Fighter VI jadi game yang seru untuk dinikmati secara kompetitif. Semoga saja Capcom mengabulkan harapan-harapan tersebut.

Sumber: EventHubs, FGC Translated

Fighting Game Esports – Sejarah, Tokoh, dan Perkembangannya

Fighting game adalah genre yang cukup unik dibanding cabang-cabang esports lainnya. Sebelum ada tipe-tipe game canggih seperti first-person shooter, MOBA, atau bahkan battle royale, fighting game sudah terlebih dahulu menanamkan akar kompetitifnya di kalangan masyarakat. Hingga kini pun, fighting game terus menjadi salah satu genre game yang sangat populer dan punya banyak penggemar setia.

Dunia fighting game berutang besar kepada Capcom, developer game asal Jepang yang merupakan pencipta seri Street Fighter. Akan tetapi dalam perjalanannya, iklim kompetitif dalam genre ini justru lebih banyak digerakkan oleh penggemar-penggemar di level akar rumput. Turnamen fighting game internasional paling bergengsi pun, yaitu Evolution Championship Series (EVO), bermula dari aktivitas penggemar yang makin lama makin membesar.

Ekosistem fighting game adalah ekosistem yang niche namun subur, kecil namun menggigit, dan tak akan pernah lekang dimakan zaman. Seperti apa perkembangan fighting game serta iklim esports di sekitarnya? Mari simak di bawah.

Pionir itu bernama Street Fighter II

Berbicara tentang sejarah fighting game, kita tak akan bisa lepas dari game legendaris yang merupakan “nenek moyang” fighting game, Street Fighter II. Dilihat dari judulnya saja kita sudah bisa menebak bahwa Street Fighter II bukan fighting game pertama di dunia. Akan tetapi game inilah yang membuat genre fighting meledak di pasaran, terutama secara kompetitif.

Ultra Street Fighter II: The Final Challengers
Ultra Street Fighter II: The Final Challengers | Sumber: Nintendo

Ada beberapa hal yang membuat Street Fighter II diminati masyarakat luas. Salah satunya yaitu jumlah karakter yang cukup banyak, penuh variasi, dan mewakili kebudayaan berbagai negara di dunia. Ada Ryu dan Ken dari Jepang, Guile dari Amerika Serikat, Zangief dari Rusia, hingga Dhalsim dari India, ragam yang begitu luas membuat Street Fighter II punya daya tarik tersendiri bagi para gamer. Apalagi setiap karakter punya gaya bertarung yang jauh berbeda.

Street Fighter II juga revolusioner dalam menciptakan berbagai pakem fighting game yang populer hingga saat ini. Mulai dari sistem special move yang bisa dieksekusi dengan kombinasi arah dan tombol, sistem combo yang memungkinkan karakter melancarkan serangan bertubi-tubi, hingga tren pertarungan satu-lawan-satu itu sendiri. Sebelum Street Fighter II, umumnya fighting game hanya berisi pertarungan melawan komputer. Tapi Capcom mengubah itu semua dengan fitur pertarungan player versus player.

Begitu populernya Street Fighter II, hingga Capcom sendiri kesulitan menyediakan arcade cabinet untuk pasar seluruh dunia. Menurut situs GameRevolution, Street Fighter II diperkirakan telah mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar! Tak hanya salah satu game tersukses, game ini juga dihormati sebagai salah satu game paling berpengaruh sepanjang masa.

Setiap orang punya pertaruhan

Street Fighter II (juga fighting game pada umumnya) punya sifat sangat kompetitif bukan hanya karena game ini bertema pertarungan antara dua pemain. Lebih dari itu, fighting game sangat kompetitif karena dalam genre ini semua orang selalu mempertaruhkan sesuatu. Demikian diungkapkan Tom Cannon, co-founder Evolution Championship Series, dilansir dari Inven Global.

Menurut Cannon, ada tiga hal yang dipertaruhkan dalam fighting game, terutama di arcade. Tiga hal itu adalah:

  • Waktu. Pergi ke arcade sendiri sudah makan waktu, dan sesampainya di arcade, berapa lama kita bisa bermain ditentukan oleh seberapa ahli kita memainkannya. Bila kita mampu bertarung tanpa kalah, kita dapat memainkan game untuk waktu lama, tapi bila kita payah, kita akan cepat game over.
  • Uang. Bermain di arcade butuh koin, dan ketika seseorang datang sebagai penantang, koin kita turut dipertaruhkan. Kalah darinya maka kita harus memasukkan koin kembali untuk terus bermain, tapi bila menang, koin kita selamat.
  • Harga diri. Karena fighting game adalah pertarungan satu lawan satu, apa yang kita lakukan benar-benar merupakan cerminan dari kemampuan kita. Bayangkan Anda berbadan besar dan bertampang sangar, tapi kalah main Street Fighter II melawan seorang siswa SD. Pasti rasanya salty sekali. Apalagi penantang Anda duduk (atau berdiri) tepat di sebelah Anda.
Street Fighter II SNES
Sampul Street Fighter II versi SNES | Sumber: IMDb

Pertaruhan ketiga hal ini, ditambah kenyataan bahwa arcade selalu ramai dan pertandingan Anda pasti ditonton banyak orang, memancing jiwa kompetitif yang tinggi di kalangan penggemar fighting game. Hanya masalah waktu sebelum kompetisi tersebut membesar, menjadi turnamen tingkat arcade center, kota, nasional, dan akhirnya turnamen dunia.

Raja dari barat dan timur

Tom Cannon adalah salah satu pionir dari turnamen dunia tersebut. Bersama dengan Tony Cannon, Joey Cuellar, dan Seth Killian, mereka mencetuskan sebuah kompetisi bernama Battle By the Bay pada tahun 1996. Dalam video dokumenter yang dibuat oleh theScore Esports, mereka mengatakan bahwa Battle By the Bay awalnya diciptakan sebagai sarana untuk menyelesaikan perseteruan antara komunitas-komunitas fighting game di California. Akan tetapi pada tahun 1998 terjadi momen penting yang mengubah iklim kompetitif fighting game di seluruh dunia.

Pada tahun 1998, Capcom merilis sebuah game berjudul Street Fighter Alpha 3 (Street Fighter Zero 3 di Jepang). Demi mempromosikannya di pasar global, Capcom menggelar kompetisi akbar tingkat nasional di Jepang dan Amerika Serikat. Kemudian, juara masing-masing negara akan bertemu untuk menentukan siapakah petarung terkuat di dunia yang sebenarnya.

Juara dari Amerika Serikat adalah Alex Valle, jawara Battle By the Bay yang dikenal sebagai pencipta teknik legendaris Street Fighter Alpha 2, “Valle Custom Combo”. Sementara itu, Jepang diwakili oleh Daigo Umehara, pemuda 17 tahun yang sudah menjadi juara nasional Jepang sejak dua tahun sebelumnya. Ini adalah turnamen Street Fighter tingkat dunia pertama yang resmi diadakan oleh Capcom.

Dalam pertarungan berformat best-of-three, Alex Valle (Ryu) mencuri poin terlebih dahulu dari Daigo Umehara (Akuma). Akan tetapi Daigo, seolah sudah “men-download” isi kepala Valle, ternyata mampu beradaptasi dan mematahkan strategi lawannya itu. Daigo membalikkan keadaan, dan dinobatkan sebagai juara dunia Street Fighter pertama setelah menang dengan skor 2-1.

Seorang pemain Street Fighter dari Jepang telah berhasil menjadi juara dunia. Lalu selanjutnya apa? Ternyata tidak banyak. Pertarungan antara kedua raja dari barat dan timur itu terjadi di tahun 1998, saat internet masih belum menyebar luas dan esports belum merupakan sesuatu yang besar. Bagi komunitas pecinta fighting game, momen tersebut mungkin sangat berkesan, tapi tidak bagi masyarakat luas. Malah mungkin tidak banyak gamer yang tahu, sebab informasi masih sulit didapat.

Popularitas fighting game secara umum tidak banyak berubah. Akan tetapi di kalangan mereka yang bermain pada level tertinggi, mulai muncul bibit-bibit tantangan baru. Mereka yang tinggal di Amerika Serikat jadi tahu bahwa Jepang punya pemain-pemain tangguh, begitu pula sebaliknya para pemain Jepang sadar bahwa Street Fighter tidak hanya “besar” di tanah kelahirannya.

Efek dari paradigma baru ini paling terasa di kompetisi Battle By the Bay. Pada tahun 2001, untuk pertama kalinya, Battle By the Bay kedatangan pemain-pemain dari negara Jepang. Mereka sengaja terbang jauh-jauh ke San Fransisco, California, untuk bertarung melawan pemain-pemain hebat dari belahan negara lain. Tidak hanya itu, dua pemain Jepang (Ryo Yoshida dan Tomo Taguchi) bahkan meraih gelar juara untuk game Street Fighter Alpha 3 dan Capcom vs. SNK.

Street Fighter Alpha 3
Street Fighter Alpha 3 telah dirilis ulang dalam Street Fighter 30th Anniversary Collection | Sumber: Steam

Menurut keterangan dari James Chen dalam film dokumenter The Story of EVO, sejak Battle By the Bay tahun 1996 pun sudah ada pemain dari luar negeri, yaitu dari Kuwait. Tapi tahun 2001 inilah momen yang mendefinisikan Battle By the Bay sebagai puncak kompetisi fighting game, tujuan pengembaraan untuk membuktikan siapa petarung terkuat di dunia.

EVO Moment #37

Walau antusiasme penggemar fighting game kompetitif semakin meningkat, periode 2000-an sebenarnya merupakan masa yang cukup sulit bagi fighting game. Banyak fighting game berkualitas tinggi beredar di pasaran, antara lain Street Fighter III: 3rd Strike, Marvel vs. Capcom 2: New Age of Heroes, Tekken 4, hingga Guilty Gear XX. Namun akibat tingginya popularitas console rumahan seperti PlayStation 2 dan Dreamcast, arcade center mulai turun peminat.

Penurunan ini terasa hampir di seluruh dunia, kecuali Jepang di mana pasar arcade masih sangat kuat. Bila dulu penggemar fighting game harus mengeluarkan banyak koin di arcade, sekarang mereka bisa bermain di console dengan credit tak terbatas. Memang lebih hemat dari sudut pandang konsumen, tapi dampaknya adalah aktivitas komunitas fighting game jadi menurun. Orang-orang tak lagi berkumpul di arcade center, hanya mendekam di rumah masing-masing.

Di seluruh penjuru Amerika Serikat, pasar arcade sedang sekarat. Komunitas fighting game, yang banyak bergantung pada arcade, juga sama sekaratnya. Pada tahun 2002, Southern Hills Golfland yang biasanya digunakan sebagai arena pertarungan Battle By the Bay pun gulung tikar. Tapi Tom Cannon dan kawan-kawan tidak menyerah. Mereka ingin agar semangat kompetitif itu terus terjaga meski arcade center sudah punah. Sebagai penerus Battle By the Bay, mereka akhirnya mendirikan Evolution Championship Series (EVO).

Satu unsur penting dari EVO yang membedakan dari turnamen lain saat itu adalah adanya hari khusus untuk pertarungan delapan besar, alias “Top 8”. Setelah semua orang bertanding di pool/grup masing-masing, delapan petarung terkuat akan berkumpul di babak final, dengan pertandingan yang diyangkan pada layar besar atau proyektor. Semua hadirin bisa menonton pertandingan, menjadikan EVO acara yang jauh lebih menarik dari turnamen di arcade center dahulu kala. Pakem acara ini akhirnya menjadi standar yang digunakan banyak turnamen esports profesional hingga sekarang.

EVO di tahun 2002 tetap menggunakan mesin-mesin arcade cabinet sebagai platform kompetisi, tapi cara ini jelas memiliki keterbatasan. Selain masalah logistik (memindahkan begitu banyak cabinet butuh truk-truk besar), ketersediaan cabinet itu sendiri sudah semakin menipis. Akhirnya pada tahun 2004, EVO mengubah platform turnamen menjadi console, sebuah keputusan yang mendapat tentangan dari banyak pihak.

Memang masih ada game yang dipertandingkan dengan arcade cabinet asli, yaitu Street Fighter III: 3rd Strike karena versi console game ini dianggap tidak layak dimainkan secara kompetitif. Namun pada akhirnya perubahan tak bisa dihindari. Setinggi apa pun gairah kompetitif di akar rumput, komunitas fighting game pada akhirnya akan mati bila tidak ada gebrakan yang membuat popularitas genre ini meningkat kembali. Untungnya, dan tanpa disangka-sangka, pada EVO 2004 gebrakan itu terjadi.

Justin Wong dari Amerika. Daigo Umehara dari Jepang. Dua jagoan Street Fighter III: 3rd Strike, dari dua negara berbeda, dengan gaya permainan yang berbeda pula. Ketika mereka bertemu di final Losers’ Bracket EVO 2004, semua tahu mereka akan menyajikan pertandingan yang dahsyat. Tapi tidak ada yang menyangka, bahwa pertandingan ini kemudian menjadi salah satu momen paling ikonik dalam sejarah esports.

Daigo yang saat itu menjagokan Ken, sedang terdesak karena permainan Chun-Li milik Justin Wong yang ciamik. Nyawa miliknya sudah begitu sedikit sehingga satu special move apa pun akan membunuhnya meski ia bertahan, karena adanya sistem chip damage. Merasa di atas angin, Justin Wong melancarkan super combo bernama Houyokusen. Super combo yang terdiri dari 15 tendangan itu sudah pasti akan mengeliminasi Daigo, kecuali jika Daigo bisa melakukan parry 15 kali berturut-turut dan, entah bagaimana caranya, membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyat.

Daigo “The Beast” Umehara berhasil melakukannya.

Street Fighter IV, awal era renaisans

Momen comeback yang dilakukan Daigo Umehara pada tahun 2004 kemudian dikenal sebagai “EVO Moment #37”, dan menjadi viral di YouTube yang saat itu masih baru diluncurkan. Lucunya, nomor 37 dalam judul video tersebut sebetulnya tidak punya makna apa-apa. Ben Cureton, pencipta video tersebut, hanya asal menempelkan nomor untuk menunjukkan pada penonton bahwa momen heboh seperti itu tidak hanya ada satu, tapi banyak terjadi di EVO.

Popularitas EVO Moment #37 berhasil membuat komunitas fighting game bergairah kembali. EVO kemudian terus berjalan sebagai turnamen tahunan, bahkan menarik kontrak kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Capcom dan Toyota. Sayangnya, ada satu hal krusial yang membuat EVO terasa stagnan di pertengahan tahun 2000-an. Tidak ada game baru dari Capcom.

Menuju tahun 2008, orang-orang sudah bosan menonton game lawas seperti Street Fighter III: 3rd Strike atau Marvel vs. Capcom 2. EVO memang sempat memasukkan beberapa game lain, misalnya Tekken 5, Super Smash Bros. Melee, bahkan Mario Kart. Tapi sejak awal pendiriannya, menu utama EVO selalu Street Fighter. Untungnya, Capcom paham akan “rasa lapar” para penggemar. Di EVO 2008, Capcom akhirnya memamerkan fighting game terbaru mereka, Street Fighter IV.

Street Fighter IV sangat signifikan di dunia fighting game, karena inilah sekuel sejati Street Fighter yang dinanti-nanti oleh para penggemar setelah sembilan tahun lamanya (Street Fighter III: 3rd Strike dirilis tahun 1999). Capcom juga merancang game ini agar mudah dimainkan, dengan menghilangkan mekanisme-mekanisme rumit yang dulu muncul di seri Street Fighter Alpha. Gameplay yang newbie-friendly ditambah kualitas visual 3D yang keren membuat Street Fighter IV sangat populer.

Street Fighter IV
Street Fighter IV memiliki gaya visual 3D yang unik | Sumber: Sony

Street Fighter IV menjadi angin segar yang ditunggu-tunggu komunitas fighting game. Suasana EVO kembali memanas. Dari tadinya hanya beberapa ratus orang di tahun 2008, jumlah kontestan EVO 2009 membludak hingga seribu orang lebih. Ingat, ini kontestan, bukan pengunjung. Seribu orang itu, semuanya datang sebagai peserta. Semuanya bertarung. Semuanya pecinta Street Fighter IV. Dan yang paling penting, seperti akar kompetitif fighting game di arcade center masa lampau, semuanya punya peluang untuk jadi juara.

Sejak meledaknya EVO dan Street Fighter IV, perusahaan-perusahaan penerbit fighting game seolah menyadari bahwa ternyata ada pasar yang besar di luar sana. Ada ribuan penggemar yang mencintai genre ini, dan rela berkumpul di satu tempat setiap tahun untuk merayakannya secara besar-besaran. Capcom, Nintendo, Arc System Works, dan Bandai Namco kini menjadi sponsor setia EVO, bahkan menjadikan EVO sebagai panggung untuk mengumumkan game baru atau konten baru untuk game yang sudah ada. Rekor terbesar EVO dipegang oleh Street Fighter V di tahun 2016, di mana game tersebut berhasil mendatangkan lebih dari 5.000 kontestan untuk memperebutkan gelar juara.

EVO telah mendorong dunia fighting game menjadi sebuah cabang esports profesional yang sustainable, tidak lagi dipandang sebelah mata. Bukan hanya Street Fighter, EVO terus melakukan rotasi game setiap tahunnya, sehingga tidak menutup kemungkinan game apa pun bisa mendapat exposure besar-besaran. Contoh terbaik adalah Super Smash Bros. Melee, meski usianya sudah 17 tahun tapi game ini masih menjadi salah satu turnamen dengan kontestan terbanyak di EVO 2018.

Developer game butuh penggemar, dan gamer butuh hiburan. Atlet esports butuh penghasilan, sementara sponsor butuh panggung. Semua aspek dari fighting game bertemu dalam EVO, mulai dari penonton, pemain, hingga korporat, menjadikan turnamen internasional tersebut sebuah simbiosis yang sangat kuat antara seluruh insan yang berkiprah di dunia fighting game. Kini EVO adalah “Mekkah-nya fighting game”. Siapa pun yang mencintai fighting game harus merasakan sendiri datang ke turnamen ini, paling tidak sekali seumur hidup.

Ada apa di luar EVO?

Seiring dengan tumbuhnya EVO, ekosistem fighting game di seluruh dunia juga ikut berkembang. Capcom, misalnya, mendirikan sendiri turnamen dunia bertajuk Capcom Cup pada tahun 2013, dilanjutkan dengan sirkuit global bernama Capcom Pro Tour mulai tahun 2014. Arc System Works juga mengusung game buatan mereka, yaitu seri Guilty Gear dan BlazBlue, dalam kompetisi global ArcRevo World Tour. Bandai Namco malah memiliki dua sirkuit global, yaitu Tekken World Tour dan Dragon Ball FighterZ World Tour Saga.

Menariknya, walau kini esports sudah berkembang pesat dan banyak turnamen di seluruh dunia, dunia kompetisi fighting game tetap tidak lepas dari ekosistem akar rumput. Semangat kompetisi terbuka seperti era arcade dulu, di mana siapa saja bisa bertarung dan keluar sebagai juara, hingga kini tetap dipertahankan. Karena itulah kompetisi fighting game global biasanya juga memiliki babak kualifikasi regional. Misalnya Abuget Cup di Indonesia yang merupakan bagian dari Capcom Pro Tour Asia, atau Dragon Radar Tournament di C3 AFA Jakarta yang merupakan bagian dari Dragon Ball FighterZ World Tour Saga.

Kazunoko - SEA Major
SEA Major 2018 adalah bagian dari Dragon Ball FighterZ World Tour Saga | Sumber: Bandai Namco

Seperti rumput yang tetap berdiri walau diinjak, komunitas fighting game adalah komunitas yang pantang menyerah. Mungkin kelebihan komunitas fighting game dibanding komunitas game lainnya, yaitu mereka adalah komunitas yang mau susah. Ketika tidak ada turnamen resmi, mereka mau mengadakan turnamen sendiri. Walau tidak populer, mereka tetap setia kepada game yang mereka sukai. Dan mereka dengan senang hati mau merogoh kocek untuk mewujudkan kecintaan mereka terhadap fighting game dalam wujud yang nyata.

Wajah-wajah dunia fighting game esports

Fighting game di tahun 2018 memang belum bisa dibilang mainstream, tapi keberadaannya sudah sangat kuat dan tampak masih akan terus tumbuh sehat. Indonesia pun, perlahan tapi pasti, mulai menunjukkan sejumlah prestasi di tingkat global. Siapa tahu dalam beberapa tahun ke depan akan muncul juara EVO dari Indonesia.

Berbicara tentang fighting game, tak lengkap rasanya bila kita tidak berkenalan dengan para tokoh yang berpengaruh besar di ekosistem ini. Tidak hanya atlet, fighting game juga banyak didukung oleh tokoh dari berbagai peran lain. Tanpa mereka, mungkin dunia fighting game tidak akan sebesar dan seseru sekarang. Berikut ini beberapa di antaranya.

Daigo Umehara

Daigo Umehara
Daigo Umehara | Sumber: Red Bull

Dikenal dengan julukan “The Beast”, Daigo Umehara meraih gelar juara nasional Street Fighter di Jepang pada usia 15 tahun, kemudian menjadi juara dunia dua tahun setelahnya. Daigo Umehara mungkin merupakan tokoh paling legendaris di komunitas fighting game. Selain sebagai pemain profesional, ia juga telah menulis berbagai buku, mendirikan clothing line bernama BEAST, dan tercatat di Guinness World Records sebagai atlet Street Fighter tersukses sepanjang sejarah.

Justin Wong

Justin Wong
Justin Wong | Sumber: Yahoo! Sports

Dalam EVO Moment #37, Justin Wong memang memainkan Street Fighter. Tetapi sebetulnya “wilayah kekuasaan” Justin Wong adalah Marvel vs. Capcom. Di era Marvel vs. Capcom 2, Justin Wong berhasil menjadi juara EVO sebanyak tujuh kali. Sempat terpuruk di era Marvel vs. Capcom 3, ia akhirnya mengklaim kembali takhtanya di EVO 2014, dan hingga kini tetap dihormati sebagai salah satu pemain fighting game terbaik dunia.

Knee

Knee
Knee | Sumber: ESPN

Atlet asal Korea Selatan ini telah memainkan Tekken sejak seri pertama di tahun 1994 dulu. Kini, Knee dikenal sebagai pemain Tekken terbaik di dunia, namun karier profesionalnya sendiri baru dimulai sejak era Tekken 5. Uniknya, nama “Knee” ia pilih karena dua karakter andalannya yaitu Bryan dan Bruce punya banyak serangan yang menggunakan lutut. Nama asli Knee sendiri adalah Bae Jae Min.

SonicFox

SonicFox
SonicFox | Sumber: XGames

Pemuda berbakat yang selalu tampil mengenakan topi serta buntut rubah berwarna biru. Dominique McLean alias SonicFox adalah raja fighting game bikinan NetherRealm Studios, yaitu seri Mortal Kombat dan Injustice. Tapi SonicFox juga memainkan game lain seperti Street Fighter V atau Skullgirls, dan selalu memberikan permainan level tinggi di game apa pun yang dipilihnya. Beberapa waktu lalu, SonicFox meraih gelar juara EVO 2018 untuk game Dragon Ball FighterZ.

Tom & Tony Cannon

Tom & Tony Cannon
Tom & Tony Cannon | Sumber: US Gamer

Dua bersaudara pencetus pembentukan EVO, mereka adalah pilar komunitas fighting game dari balik layar. Selain mendirikan kompetisi tahunan fighting game terbesar di dunia, mereka juga mendirikan situs Shoryuken.com, serta menciptakan middleware bernama GGPO yang berfungsi sebagai penyedia fitur online match dalam fighting game. GGPO sekarang telah digunakan di berbagai fighting game komersial, termasuk Skullgirls, Killer Instinct, dan Street Fighter III: 3rd Strike Online Edition.

James Chen

James Chen
James Chen | Sumber: Red Bull

Bukan atlet profesional, James Chen adalah seorang komentator dan shoutcaster yang berperan besar dalam membesarkan komunitas fighting game di Amerika Serikat, termasuk ikut berperan membesarkan EVO. Bila Anda menonton EVO, besar kemungkinan Anda akan mendengar suara James Chen di dalam narasinya. Di luar kegiatannya sebagai shoutcaster, James Chen juga banyak membuat tutorial di situs Shoryuken.com ataupun di channel YouTube miliknya sendiri.

Maximilian Dood

Maximilian Dood
Maximilian Dood | Sumber: Heightline

YouTuber yang juga bermain secara kompetitif, Maximilian Dood terkenal sebagai kreator konten seputar fighting game yang sangat lengkap. Mulai dari tutorial, info game terbaru, hingga sejarah genre ini. Maximilian telah bekerja sama dengan Square Enix untuk membuat tutorial Dissidia Final Fantasy NT, dengan Bandai Namco untuk membuat tutorial Dragon Ball FighterZ, dan lain-lain.

Komunitas fighting game adalah kendaraan lapis baja berbahan bakar passion. Di tengah beragam kontroversi, praktik bisnis yang penuh DLC, bahkan tanpa adanya dukungan dari penerbit resmi, komunitas ini tetap menolak untuk mati. Itulah yang membuat dunia fighting game punya keindahan tersendiri. Anda pun, jika sudah “tercebur” ke dalamnya, pasti tidak bisa dan tidak mau pergi keluar. Tertarik untuk masuk ke komunitas ini?