Mampukah Esports Berkembang Tanpa Dukungan Langsung dari Sang Publisher?

Perkembangan esports sedang begitu digembar-gemborkan belakangan ini, terutama ketika pandemi menyerang. Banyak publikasi ataupun lembaga riset yang memproyeksikan masa depan esports. Newzoo misalnya, memproyeksikan angka pemasukan esports akan mencapai US$1,084 miliar pada tahun 2021 ini dengan perkiraan jumlah penonton mencapai 474 juta orang.

Memang benar esports sedang berkembang pesat. Tetapi ada satu pola dalam perkembangan esports yang mungkin bisa jadi masalah. Hal tersebut adalah bentuk ketergantungan dengan pihak pertama alias developer atau publisher game esports terkait.

Bermula dari hal tersebut, muncul tanda tanya tersendiri. Apakah esports bisa berkembang tanpa dukungan developer ataupun publisher game? Dalam artikel ini tim redaksi Hybrid mencoba mengupasnya dari sudut pandang global yang lalu dikerucutkan ke sudut pandang lokal.

 

Alkisah Sebuah Game Bernama Heroes of The Storm

Video milik Akshon Esports menjadi pengantar saya dalam membahas topik ini. Pada salah satu videonya, Akshon Esports membahas Heroes of the Storm, sebuah game MOBA yang di-develop dan di-publish oleh Blizzard Entertainment.

Kisah Heroes of the Storm menarik untuk diulas karena beberapa hal. Pertama, Heroes of the Storm sendiri yang memang punya konsep baru nan segar di ranah MOBA dengan menghilangkan sistem item dan sistem level individual.

Kedua, Heroes of the Storm sempat jaya sebagai esports sampai akhirnya Blizzard melepas dukungannya sehingga skena esports game tersebut jadi hampir hancur luluh lantah.

Sekarang, mari saya ceritakan bagaimana Heroes of the Storm hadir ke pasaran. Walaupun Warcraft III (besutan Blizzard) bisa dibilang moyangnya game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends, namun uniknya Blizzard malah ketinggalan masuk ke pasar MOBA.

League of Legends rilis di tahun 2009. Dota 2 rilis di tahun 2013. Heroes of the Storm baru dirilis Blizzard tahun 2015 ketika sudah ada banyak iterasi genre MOBA yang datang dan pergi. Walau terlambat muncul, Heroes of the Storm membawa konsep yang segar.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, Heroes of the Storm tidak memiliki item. Sebagai gantinya, Blizzard membuat sistem Talent yang bisa diambil pada level tertentu dan bersifat memperkuat atau menambah skill tertentu. Sistem talent menjadi inovasi yang besar bagi genre MOBA, bahkan sampai ditiru oleh Dota 2.

Heroes of the Storm juga tidak memiliki level individual. Pada MOBA, masing-masing pemain biasanya punya level karakter masing-masing saat bertanding. HoTS tidak, level karakter dikumpulkan secara kolektif oleh tim. Semakin sering sebuah tim memenangkan peperangan, maka semakin cepat juga naik levelnya.

Keunikan terakhir yang ditawarkan oleh HoTS adalah variasi map dengan objektif memenangkan pertandingan yang juga beragam. Dalam MOBA umumnya, objektif permainan cuma satu: mendesak musuh, menghancurkan tower demi tower sampai salah satu tim bisa menghancurkan bangunan inti milik musuh. HoTS berbeda.

Tujuan utamanya tetap menghancurkan bangunan inti. Namun, cara untuk mencapainya berbeda-beda. Pada satu map Anda harus merebut area tertentu agar bisa berubah menjadi naga; yang bisa membantu menghancurkan bangunan inti.

Pada map lain, Anda harus mengumpulkan biji tanaman untuk berubah menjadi monster; yang juga akan membantu Anda menghancurkan bangunan inti. Bahkan, Anda bisa juga tidak perlu menghancurkan tower demi tower untuk bisa hancurkan bangunan inti.

Berkat keunikan yang ditawarkan, Heroes of the Storm muncul menjadi MOBA yang punya penggemarnya tersendiri. Terlebih, Heroes of the Storm juga menawarkan karakter-karakter dari semesta Blizzard yang memang sudah banyak dikenal pemain, seperti Arthas dari World of Warcraft, Sarah Kerrigan dari StarCraft, Tyrael dari Diablo, Genji dari Overwatch, bahkan trio viking dari game jadul The Lost Vikings.

Perkembangan tersebut disambut positif juga oleh Blizzard dengan menghadirkan skena esports profesional yang menjanjikan karir. Pada masanya, esports Heroes of the Storm juga menjadi salah satu pionir.

Kala itu tepatnya tahun 2015, Blizzard menghadirkan turnamen bertajuk Heroes of the Dorm. Turnamen tersebut merupakan turnamen antar universitas yang berhadiah beasiswa bagi para pemenangnya. Heroes of the Dorm juga terbilang menjadi salah satu tayangan esports pertama yang hadir di saluran televisi ESPN pada masa itu.

Setelah Heroes of the Dorm hadir dan cukup sukses, Blizzard pun mencoba meningkatkan skala kompetisi game Heroes of the Storm dengan menghadirkan Heroes Global Championship (HGC). HGC merupakan sebuah sirkuit turnamen yang hadir di beberapa negara seperti Australia/New Zealand, China, Europe, Korea, Latin America, North America, dan Southeast Asia.

Kehadiran HGC memberikan menjadi angin segar bagi para pemain kompetitif karena memberi janji karir di masa depan. Kehadiran HGC juga berhasil menarik minat tim-tim esports profesional seperti Dignitas, Fnatic, Tempo Storm, dan Gen.G.

HGC berjalan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2016, membuat tim dan para pemain merasa cukup percaya diri untuk terus melanjutkan perjuangannya di skena Heroes of the Storm. Namun pada 2018, satu berita mengejutkan datang dari Blizzard.

Melalui sebuah blog post yang terbit tanggal 13 Desember 2018, Blizzard mengumumkan penarikan mundur semua dukungan terhadap esports Heroes of the Storm. Blizzard tidak akan melanjutkan seri kompetisi HoTS yang artinya tidak akan ada Heroes of the Dorm dan Heroes Global Championship di tahun 2019.

Walaupun Blizzard tak lagi mendukung esports HoTS, mereka masih terus mengembangkan, memberikan update, perbaikan, serta konten baru untuk Heroes of the Storm.

Tanpa dukungan investasi dari Blizzard, esports Heroes of the Storm menjadi penuh ketidakpastian. Para pemain bisa saja ikut turnamen-turnamen pihak ketiga. Namun, turnamen pihak ketiga cenderung terbatas jumlah hadiahnya. Tanpa hadiah ataupun jaminan finansial yang pasti, pemain jadi tak punya alasan lagi untuk terus berkompetisi di Heroes of the Storm.

Beberapa pemain mulai pindah game agar dapat menyambung hidup. Rich, pemain tim Gen.G divisi Heroes of the Storm contohnya. Ia pindah ke League of Legends pasca kejadian tersebut. Ada juga Psalm, mantan pemain Tempo Storm yang sempat transisi ke skena Fortnite dan mendapat posisi runner-up di Fortnite World Cup 2019.

Lalu bagaimana kabar pemain yang tidak memutuskan untuk pindah? Dalam keadaan mati suri, inisiatif komunitas ternyata menjadi fenomena yang patut diacungi jempol dalam skena Heroes of the Storm, terutama di Amerika Serikat. Pihak ketiga bernama HeroesHearth muncul menjadi “pahlawan” bagi skena kompetitif HoTS di Amerika Serikat.

HeroesHearth mengawali perjuangannya menjaga esports HoTS terus berdenyut lewat turnamen invitational berhadiah US$5000. Setelahnya mereka juga menghadirkan turnamen bertajuk Fight Night, pertandingan kecil-kecilan dengan hadiah ratusan US$ saja. Skena bentukan komunitas tersebut terus berkembang sampai akhirnya kini menjadi Community Clash League (CCL).

Community Clash League tergolong berjalan cukup rapih dan terstruktur, walaupun sebenarnya hanya dijalankan oleh komunitas. Hadiah yang ditawarkan pun juga cukup menarik.

Lewat donasi dari komunitas, CCL Season 2 tahun 2020 kemarin berhasil menyajikan US$33.600 sebagai prize pool. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar, apalagi mengingat CCL adalah turnamen tingkat komunitas.

Kisah hubungan Blizzard, Heroes of the Storm, dan komunitasnya menunjukkan bagaimana perkembangan esports bisa hancur dalam satu jentikkan jari. Pesta esports yang dinikmati oleh pemain-pemainnya habis begitu saja setelah Blizzard Entertainment memutuskan menarik dukungannya.

Esports Heroes of the Storm mungkin masih bertahan untuk sementara waktu berkat dukungan dari komunitas. Namun, apakah mereka masih bisa terus berjalan sampai beberapa tahun ke depan?

Setelah melihat kasus relasi esports dan publisher di ranah Heroes of the Storm luar negeri, sekarang mari kita mencoba melihat kasus seperti demikian di ranah lokal.

 

Kisah Serupa Dari Ranah League of Legends Indonesia

Dari ranah lokal, satu game yang punya cerita mirip sekali dengan kisah Heroes of the Storm di atas mungkin adalah League of Legends di Indonesia. Riot Games boleh bangga dengan esports League of Legends yang ditonton jutaan orang dan mencatatkan puluhan juta jam total watch hours di seluruh dunia. Terlepas jutaan orang penonton yang dicatatkan, League of Legends sendiri terbilang kurang punya nama di Indonesia

Esports League of Legends sempat mekar merona ketika Garena Indonesia masih menjalankan tugasnya sebagai publisher lokal. Tahun 2013 silam, League of Legends baru saja rilis di Indonesia lewat Garena. Pada masa awal perilisan tersebut, komunitas mendapat perhatian yang istimewa lewat bebagai inisiatif yang dilakukan.

Ada liga komunitas bertajuk Teemo Cup, inisiatif kompetisi tingkat kampus, sampai liga tingkat profesional bertajuk Leauge of Legends Garuda Series (LGS). Cerita lebih lengkapnya bisa Anda baca pada artikel saya yang membahas potensi Wild Rift yang juga sedikit menyenggol cerita perkembangan League of Legends di Indonesia.

Sumber: Flickr LoL Esports Indonesia

Lewat inisiatif yang dilakukan Garena, League of Legends sempat mendapat status pionir dalam beberapa hal di esports Indonesia. LGS bisa dibilang sebagai salah satu kompetisi esports pertama yang berformat liga di Indonesia. Tak hanya berformat liga, LGS juga berjalan secara profesional dan dikabarkan memberi kompensasi mingguan bagi tim dan pemain. Selain itu saya juga ingat betul betapa megahnya LGS 2016 yang diselenggarakan di Balai Sarbini, yang merupakan salah satu event esports offline pertama yang saya liput kala itu.

Tetapi layaknya apa yang terjadi pada Heroes of the Storm, pesta esports League of Legends di Indonesia langsung usai saat Garena Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2019. Sudah inisiatif esports-nya hilang, server lokal Indonesia game League of Legends pun hilang. Walaupun begitu, server dan esports League of Legends kini sebetulnya masih ada, walau lingkupnya jadi melebar ke tingkat Asia Tenggara.

Pasca kehilangan Garena, League of Legends di Indonesia menolak untuk tergeletak dengan segala dukungan dari komunitas. Puncak kegetolan komunitas terlihat di tahun 2019 lalu, ketika komunitas berhasil mengadakan acara nobar Worlds secara mandiri dengan sedikit/minim bantuan dari pihak Garena.

Kini esports League of Legends terbilang mati suri. Apalagi game penggantinya juga sudah hadir, yaitu Wild Rift yang tersaji di mobile device. Namun Edi Kusuma atau Edel selaku founder Hasagi, media yang mengayomi komunitas League of Legends di Indonesia, merasa bahwa esports sebenarnya tetap bisa berkembang walau tanpa bantuan dari publisher.

“Kalau ditanya bisa berkembang atau tidak, jawabannya bisa saja. Bagaimanapun esports sendiri tumbuh dari komunitas. Tapi lebih baik jika ada publisher yang ikut campur tangan dalam hal ini. Bantuan publisher, terutama dari sisi finansial, akan membantu memperkenalkan esports secara lebih luas serta menjangkau lebih banyak orang. Karenanya menurut saya publisher dan komunitas adalah dua aspek terpenting dalam pertumbuhan esports sebuah game.”

Setelahnya Edel juga menjelaskan kenapa publisher memang teramat penting bagi pertumbuhan esports sebuah game. Menurutnya peran terbesar publisher adalah mendukung dari segi finansial. “Ada banyak dukungan yang bisa diberikan publisher tapi yang pertama dan paling utama tentu adalah dalam hal finansial.” Ucapnya.

“Kita bisa lihat Overwatch sebagai contoh. Sebelum AKG Games ada, semua aktivitas seputar Overwatch itu digagas oleh komunitas. Inisiatif tersebut bagus, tapi masih jauh dari kata sempurna. Komunitas terbatas dari banyak hal, terutama dalam hal menyediakan panggung kompetitif bergengsi.” Lanjut Edel menjelaskan.

Menutup obrolan, saya juga menanyakan pendapat Edel soal pihak yang berperan menjaga kehidupan sebuah game tanpa kehadiran publisher dan pendapatnya soal bisnis esports yang berisiko apabila semuanya digantungkan kepada publisher.

Dalam soal pihak yang berperan, Edel berpendapat bahwa satu-satunya yang berperan adalah pemainnya sendiri.

“Dota 2 adalah contoh nyata yang bisa kita ambil. Dulu sempat ramai turnamen, tapi sekarang sudah nyaris tidak ada. Tetapi apakah esports Dota 2 berarti mati? Jelas tidak. Dota 2 masih hidup sampai sekarang walau jarang ada turnamen. Pemain Dota 2 di Indonesia juga masih getol menjadi pendukung sebagai fans. Namun saya yakin kalau ada yang bisa mengadakan turnamen Dota 2 pasti akan banyak yang ikut serta.” Tuturnya.

Sumber: HASAGI

Terkait pertanyaan kedua, Edel pun menjawab.

“Bagi kita, game/esports itu mungkin adalah passion. Tapi sejujurnya, esports tetaplah bisnis. Kalau ditanya berisiko atau tidak, menurut saya memang bisnis di esports masih sangat berisiko. Seperti yang kita lihat, kebanyakan investor atau sponsor di esports sekarang berasal dari perusahaan besar. Perusahaan kecil yang dananya terbatas tentu harus berpikir dua kali ketika ingin berinvestasi di esports. Bagaimanapun, esports adalah bisnis yang mahal menurut saya.” Ucap Edel.

Saat ini, sudah banyak pemain profesional League of Legends memilh pindah ke ranah Wild Rift karena adanya dukungan dari Riot Games yang mengadakan kompetisi resmi bertajuk Wild Rift Icon Series.

Bagiamana dengan esports League of Legends di PC? Entahlah. Indonesia sebenarnya masih punya kesempatan bersaing di laga Pacific Championship Series (PCS) apabila ingin menembus tingkat dunia. Tetapi saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Edel, modal untuk berjuang di esports itu tidak murah.

Sebagai pemain, Anda mungkin harus rela tidak digaji sampai beberapa tahun, setidaknya sampai bisa tembus PCS. Ditambah, persaingannya juga amatlah ketat, bahkan pada level Asia Tenggara dan Asia Pasifik saja.

 

Serupa Tapi Tak Sama, Kisah Rainbow Six Siege di Indonesia

Rainbow Six Siege mungkin memang tidak pernah mendapatkan dukungan penuh yang bersifat langsung dari sang publisher yaitu Ubisoft sendiri. Namun perubahan sistem kompetisi Rainbow Six Siege secara internasional bisa dibilang sebagai bentuk perubahan dukungan Ubisoft terhadap komunitas.

Pada awalnya, esports Rainbow Six Siege dibuat menggunakan sistem terbuka. Siapapun bisa berkompetisi untuk mendaki hingga ke puncak kejayaan di esports Rainbow Six Siege lewat gelaran Rainbow Six Pro League yang diadakan oleh ESL.

Berkat sistem terbuka tersebut, Indonesia juga sempat kebagian sorotan bertanding di tingkat Rainbow Six Pro League. Pada masanya, Team Scrypt adalah tim Indonesia yang berhasil mencapai ke tingkat yang cukup tinggi di skena kompetisi Rainbow Six Siege. Team Scrypt sempat menembus ke main event dari ESL Pro League Season 7 APAC yang diadakan di Sydney, Australia.

Tetapi semua kesempatan tersebut hilang setelah Ubisoft memutuskan untuk mengubah sistem kompetisi Rainbow Six pada bulan Mei 2020 lalu. Liga kasta utama Rainbow Six yang dahulu ramah bagi tim komunitas, kini menjadi lebih tertutup. Pro League yang dahulu menjadi wadah berlatih dan berkompetisi bagi tim untuk dapat naik tingkat pun hilang dan digantikan dengan kualifikasi yang hanya terlaksana sesekali saja.

Lebih lanjut, Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 resmi di Indonesia pun menceritakan.

“Kalau bicara dukungan publisher bagi Rainbow Six di Indonesia, sejauh ini gue melihat memang Ubisoft tetap menjalin hubungan yang baik kepada komunitas. Contohnya dari komunitas R6 IDN terhadap aktivitas R6 di regional APAC. Ubisoft menunjuk beberapa key opinion leader dari negara dengan peminat game R6S terbesar di kawasan APAC untuk memberi feedback atas planning mereka untuk menjalankan event di asia.” Jawab Bobby membuka pembahasan.

“Selain itu, Ubisoft juga memberikan beberapa freebies seperti in-game codes dan special merch atau bahkan cash reward kepada leader/influencer di negara tersebut. Sebagai timbal baliknya, sosok-sosok penting tersebut akan dimintai data, opini, kritik, keluah, serta situasi dan kondisi perkembangan esports serta komunitas game R6 di negara-negara terkait.” Tambah Bobby.

Selain dari sisi komunitas secara umum, saya juga bertanya kepada Bobby soal dukungan Ubisoft terhadap esports R6 di Indonesia atau di Asia Tenggara. Walaupun ada R6 APAC League, namun liga tersebut tetap tergolong liga kawasan besar yang biasanya menjadi tingkat lanjutan bagi beberapa skena esports lain.

“Memang kalau dari segi esports, saat ini Ubisoft belum memberi dukungan secara langsung. Sebagai gantinya Ubisoft menghadirkan liga Rainbow Six Siege regional atau di negara tertentu yang memang sudah terlihat potensi besarnya, misalnya seperti di Korea Selatan dan Jepang. Untuk negara seperti Indonesia yang belum terlihat jelas potensinya masih akan melalui komunitas seperti R6 IDN terlebih dahulu.” Tutur Bobby.

Sumber: Ubisoft

“Namun ada alasan tersendiri kenapa Ubisoft melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena Ubisoft mengembangkan esports R6S di seluruh dunia. Maka dari itu sejauh ini gue melihat Ubisoft memang mengembangkan secara perlahan agar terkelola dengan baik dan berkembang dengan jelas.” Bobby menambahkan.

Sampai saat ini, komunitas R6S di Indonesia sendiri sebenarnya masih cukup aktif, terutama di dalam server chat Discord. Komunitas masih secara aktif berinteraksi dan bermain bersama pada beberapa waktu. Namun turnamen esports R6S di lokal Indonesia terbilang mati suri, walau masih ada turnamen-turnamen tingkat regional.

 

Hearthstone Indonesia yang Kini diasuh Publisher Pihak Ketiga

Game berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah Hearthstone. Secara umum, esports Hearthstone sebenarnya berjalan cukup aktif terutama di negara-negara barat.

Di Indonesia, walau pemainnya mungkin tidak banyak, tetapi pemain profesional dari Indonesia bisa bersaing di tingkat nternasional. Salah satunya ada Hendry “Jothree” Handisurya. Pemain tersebut merupakan salah satu atlet Hearthstone andalan Indonesia. Ia bahkan sempat mendapat medali perak pada esports sebagai cabang eksibisi di Asian Games 2018.

Hearthstone pada awalnya tidak mendapatkan dukungan apapun dari sang publisher di Indonesia. Namun pada tahun 2019, AKG Games hadir menjadi rekan Blizzard untuk pasar Indonesia.

Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook

Jothree pun sedikit menjelaskan bagaimana AKG Games sejauh ini ternyata sudah cukup mendukung perkembangan esports Hearthstone di Indonesia.

“Sejauh ini mereka cukup berusaha dengan baik. Beberapa contohnya terlihat dari turnamen AKG Elite Series, Fireside Gathering, SEA Showmatch, yang sebetulnya secara konsep sudah lebih bagus ketimbang sebelumnya. Namun karena mereka statusnya adalah third party, maka mereka jadi enggak punya kuasa untuk menyediakan apa yang betul-betul dibutuhin oleh komunitas. Misal contohnya adalah menyediaan in-game tournament, platform bahasa Indonesia, kemudahan pembayaran untuk Battle Net Balance, ataupun membuat game-nya jadi lebih low-spec untuk mobile.” Jawab Jothree secara lengkap.

Selain itu, Jothree juga bercerita soal perjuangan komunitas Hearthstone sebelum kehadiran AKG Games di Indonesia.

“Kalau ditanya siapa yang menjaga keberlangsungan esports tanpa kehadiran publisher, jelas jawabannya adalah pemain game tersebut yang benar-benar suka dengan game-nya. Dalam kasus Hearthstone, gue merasakan komunitas kami sangat solid sebelum AKG Games ada. Kami juga mati-matian menjaga kehidupan komunitas bahkan kadang sampai keluar uang dari kantong sendiri.” Tuturnya.

Setelah kisah perkembangan esports Hearthstone, mari kita berlanjut ke kasus berikutnya yaitu cerita perkembangan esports game fighting di Indonesia.

 

Nasib Fighting Game Community di Indonesia dari Sudut Pandang Tekken 7

League of Legends dan Rainbow Six Siege tergolong cukup beruntung karena masih sempat mengecap dukungan dari publisher terhadap komunitas dan esports, walau sifatnya sementara atau sedikit saja dampaknya.

Tetapi di luar dari itu, ada beberapa game kompetitif di Indonesia yang justru lebih nahas lagi. Salah satunya adalah komunitas game fighting. Komunitas tersebut sebenarnya punya cukup banyak penggemar, namun posisi mereka hampir tidak tersentuh oleh sang developer/publisher. Tekken 7 adalah salah satu bagian dari game fighting.

Pada tahun 2018 lalu, Yabes Elia selaku Chief Editor Hybrid.co.id sempat ngobrol banyak dengan Bram Arman membahas soal perkembangan game fighting di Indonesia.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Dalam pembahasan tersebut Bram menjelaskan keunikkan komunitas game fighting. Pada game genre lain, kita bisa melihat bagaimaan esports game tersebut berkembang berkat peran aktif dari sang developer atau publisher. Namun perkembangan esports game fighting justru berbeda, komunitas justru lebih berperan aktif di sini.

Salah satu contoh nyata atas hal tersebut adalah Evolution Championship Series. EVO yang merupakan turnamen game fighting tingkat dunia tersebut sebenarnya merupakan turnamen yang digagas oleh komunitas.

Publisher justru cenderung tidak mengambil peran yang begitu besar dalam mengembangkan esports game fighting. Walaupun memang, Capcom punya Capcom Pro Tour (CPT) sebagai turnamen resmi. Bandai Namco juga punya Tekken World Tour (TWT) sebagai turnamen resmi.

Namun tetap saja komunitas cenderung lebih mengakui legitimasi EVO ketimbang turnamen lainnya. Ibaratnya, pro player fighting game belum bisa dianggap juara dunia kalau belum menang EVO walaupun dia memenangkan CPT atau TWT.

Lebih lanjut saya juga mencoba berbicang dengan Ronald Rivaldo untuk mengetahui soal perkembangan skena Tekken 7. Ronald Rivaldo sendiri merupakan ketua dari tim Tekken 7 bernama DRivals. Selain sebagai tim, DRivals belakangan juga tergolong cukup aktif dalam menjaga denyut komunitas game fighting lewat berbagai aktivitas yang mereka lakukan.

Dalam hal dukungan publisher terhadap komunitas, Aldo pun menceritakan.

“Dukungan publisher Tekken yaitu Bandai Namco di skena lokal hampir enggak ada, apalagi semenjak pandemi seperti sekarang. Dulu kala pada tahun 2017 dan 2018 masih sempat ada turnamen bagian dari Tekken World Tour di Indonesia. Pada tahun 2020 ini, turnamen bagian dari TWT juga seharusnya hadir kembali di Indonesia. Tetapi berhubung ada pandemi maka event pun terpaksa dibatalkan.”

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dari sisi Tekken, Bandai Namco selaku developer dan publisher memang memberi lisensi kepada turnamen lokal sebagai bagian dari TWT. Pada tahun 2020 lalu, turnamen IFGC MAX yang rencananya diselenggarakan di Indonesia seharusnya menjadi bagian dari rangkaian TWT sebagai Challenger Event.

Tapi apa mau dikata. Pandemi COVID-19 menyeruak, larangan berkumpul pun diberlakukan sehingga membuat turnamen offline dibatalkan.

Walaupun Bandai Namco memberi lisensi untuk turnamen-turnamen lokal, namun seperti yang dikatakan oleh Rivaldo, Bandai Namco terbilang tidak pernah memberi dukungan secara langsung ke skena lokal dalam hal esports.

Menariknya, terlepas dari adanya dukungan publisher atau tidak, esports fighting game tetap hadir di skena lokal walaupun tingkat penyelenggaraannya masih tingkat komunitas. Seperti yang ditulis oleh Yabes Elia, Fighting Game bisa dibilang terkucilkan namun menolak untuk tergeletak.

Hybrid.co.id juga termasuk menjadi salah satu yang berusaha untuk mendorong komunitas fighting game agar tetap hidup bara api semangat kompetisinya. Hybrid Cup Series: Play on PC Fighting Game yang terselenggara awal tahun 2020 lalu jadi salah satu bukti bahwa bara semangat kompetisi di antara pemain fighting game masih tetap ada walau tanpa dukungan publisher sekalipun.

Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya juga mempertanyakan soal posisi esports sebagai bisnis yang berisiko karena terlalu tergantung dengan satu pihak. Menjawab soal hal tersebut, Rivaldo juga sedikit menceritakan apa yang jadi tujuannya bersama Drivals.

“Kalau bicaranya bisnis, jujur kami belum memikirkan hal tersebut karena sadar bahwa market fighting game masih sangat kecil di Indonesia. Saat ini yang kami lakukan adalah mencoba meningkatkan pamor fighting games, terutama Tekken, agar lebih dikenal masyarakat awam di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, kami menccoba mengadakan turnamen-turnamen baik offline atau online, melakukan streaming di YouTube ataupun melakukan pertandingan persahabatan antar daerah atau antar negara. Harapannya adalah suatu hari nanti komunitas fighting game terutama Tekken bisa menjadi daya tarik bagi sponsor.” Tutur Rivaldo.

Perjuangan komunitas game fighting memang menjadi keunikan tersendiri karena kegigihan dari para anggotanya. Dalam kasus Drivals, kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka bahkan tetap gigih menyiarkan keseruan fighting game ke khalayak luas walaupun Bandai Namco hampir tak sedikitpun meliriknya.

 

Pro Evolution Soccer yang Berkembang Lewat Dukungan Asosiasi Sepak Bola

Pada saat membahas alasan kenapa suatu game tidak selalu sukses berkembang sebagai esports, saya juga menggunakan fighting game dan Pro Evolution Soccer sebagai contoh. Kala itu dua narasumber saya yaitu Bram Arman dan Valentinus Sanusi setuju, bahwa alasan kurang berkembangnya esports game mereka adalah karena publisher Jepang yang cenderung lambat geraknya dalam mengembangkan esports.

Menariknya, kedua game tersebut juga sama-sama punya penggemar yang gigih di ranah lokal. Dalam Pro Evolution Soccer, contoh kasus kegigihan yang berbuah manis bagi perkembangan esports-nya mungkin adalah kisah Indonesia Football e-League.

Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Posisi PES dan IFel sendiri memang cukup unik. Liga IFel bukan sekadar turnamen game PES biasa. Pertandingan di dalam liga IFel menggunakan jersey, pemain-pemain, bahkan stadion dari tim Liga 1 Indonesia di dalam game Pro Evolution Soccer yang dipertandingkan.

Tapi bagaimana bisa IFeL menyediakan semua aset digital tersebut ketika Konami sendiri sebenarnya belum menyediakan player pack/stadion pack dari tim Liga1 Indonesia? Jawabannya adalah modifikasi. Dalam artikel saya yang menggali lebih dalam seputar IFeL pada saat peluncurannya, Putra Sutopo selaku Head of IFeL mengatakan bahwa Konami selaku developer/publisher game PES tidak memberlakukan larangan terhadap penggunaan custom mod.

Sumber: Instagram @ifel.id

Tetapi sebagai gantinya, IFeL menggandeng tim Liga 1 Indonesia untuk mendapatkan izin penggunaan kekayaan intelektual milik tim (logo, jersey, serta stadion) ke dalam custom mod pada pertandingan game PES di liga IFeL.

Maka dari itu Putra menjelaskan berdasarkan pandangannya, bahwa campur tangan developer/publisher tidak selamanya selalu bisa membawa skena esports suatu game maju.

“Tergantung kebijakan dan peraturan dari publisher. Dalam kasus IFeL, memang kami belum dapat dukungan official dari Konami, tetapi Konami tidak memiliki peraturan mengenai hak cipta yang rumit dalam hal penggunaan unofficial patch. Berbeda dengan EA dalam mengurus FIFA. Mereka cenderung punya peraturan yang lebih ketat perihal hak cipta.” Tutur Putra.

Dalam kasus IFeL, kebebasan mengotak atik aset game Pro Evolution Soccer memang bisa dibilang jadi faktor yang membuat skena esports-nya jadi maju. Dalam kata lain, Konami yang tidak secara aktif memberi dukungan serta mengurusi game-nya di berbagai wilayah di dunia justru membuka peluang tersendiri.

Lebih lanjut, Putra Sutopo pun menceritakan bagaimana Liga 1 Indonesia dan PSSI menjadi motor penggerak terbesar bagi perkembangan esports PES dari sisi IFeL.

“Kalau dalam kasus IFeL, sosok yang berperan untuk membuat liga tetap berjalan tentunya adalah PSSI. Bagaimanapun, kami juga menggunakan identitas klub Liga 1 dan Liga 2 Indonesia yang penggunaannya diatur oleh PSSI. Tetapi di luar itu, tentunya juga adalah investor eksternal yang memungkinkan kami menjalankan semua rangkaian acara IFeL, tim IT yang telah membuat patch Liga 1 dan Liga 2, juga pastinya dukungan dari manajemen klub serta fans sepak bola di Indonesia.”

IFeL yang merupakan liga esports pihak ketiga terbilang sudah berkembang dengan cukup pesat sejak dari pertama kali diluncurkan tahun 2020 lalu. Musim 2020 lalu IFeL hanya mempertandingkan 10 tim yang berasal dari klub sepak bola Liga 1 Indonesia. Musim ini, IFeL menambahkan 12 tim lagi untuk turut bertanding di IFeL Liga 2.

Kisah perkembangan skena esports PES lewat liga IFeL sebagai contoh memberi cerita yang berbeda lagi. IFeL menunjukkan bagaimana skena esports suatu game masih bisa tetap berkembang walau tanpa dukungan publisher sekalipun. Dalam kasus IFeL, Putra Sutopo dan bagian komunitas bergerak aktif untuk terus memajukan esports PES.

Tetapi pada sisi lain, IFeL juga jadi menarik karena di belakangnya ada juga dukungan dari asosiasi sepak bola Indonesia yang memungkinkan kehadiran liga sepak bola virtual di Indonesia.

 

Dota 2 yang Tetap Penuh Dengan Para Penggemar Esports

Dalam kasus perkembangan esports tanpa dukungan publisher, kisah Dota 2 di Indonesia juga cukup unik untuk dibahas. Secara dukungan, sang developer/publisher yaitu Valve sebenarnya tidak pernah sedikitpun memberi dukungan dari segi esports untuk ranah lokal. Valve hanya memberikan dukungan esports secara internasional lewat gelaran The International ataupun rangkaian turnamen Major yang diadakan.

Walaupun demikian, Dota 2 tetap tumbuh subur secara organik di tanah air Indonesia. Pada masanya, mungkin sekitar 2016 – 2018, Dota 2 adalah game pilihan bagi para pelaku esports di Indonesia.

Jumlah pemain bejibun, banyak pemain terinspirasi kisah Dendi yang membuatnya juga jadi ingin menjadi pemain profesional Dota 2. Turnamen pun banyak jumlahnya. Tim esports profesional pun hampir semuanya punya divisi Dota 2.

Pada masanya, salah satu yang juga mendorong perkembangan esports Dota 2 di Indonesia adalah investasi pihak ketiga. Salah satu investasi pihak ketiga terbesar terhadap esports Dota 2 mungkin adalah Telkomsel lewat turnamen Indonesia Games Championship di tahun 2017. Pada zaman itu, mungkin hanya IGC 2017 yang bisa mengumpulkan semua talenta esports Dota 2 terbaik ke dalam satu panggung.

BOOM Esports Dota 2 di IGC 2017. Sumber: IGC

Namun semua dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 berubah ketika game mobile menyerbu pasar. Tahun 2017 mungkin bisa dibilang adalah titik baliknya, ketika Mobile Legends Bang-Bang pertama kali menghadirkan esports di Indonesia lewat gelaran MSC.

Setelah Mobile Legends bersinar, pihak ketiga yang tadinya mencoba berinvestasi di Dota 2 pun mulai pindah ke MOBA di mobile tersebut. Alasannya sederhana, karena MLBB kala itu berhasil memukau khalayak Indonesia dengan banyaknya jumlah penonton dan pengunjung turnamennya.

Perubahan dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 cukup terasa dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari sisi IGC sebagai contohnya, jumlah hadiah untuk turnamen Dota 2 menurun dari Rp500 juta di tahun 2017 menjadi Rp150 juta di tahun 2018, bahkan sampai akhirnya IGC tak lagi mempertandingkan Dota 2 di tahun 2020. Seiringan dengan hal tersebut, turnamen Dota 2 juga berangsur menurun jumlahnya sampai akhirnya kini menjadi hampir mati suri.

Namun patut dicatat bahwa Dota 2 sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati total di Indonesia. Komunitasnya sebenarnya masih cukup hidup membincangkan soal esports ataupun seputar gamenya itu sendiri.

Penikmat esports-nya juga masih ada dan terbilang tetap setia mengikuti perkembangannya. Salah satu bukti atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari channel YouTube WxC Indonesia yang secara rutin menayangkan pertandingan Dota 2 yang berjalan secara internasional dengan komentar bahasa Indonesia.

Hingga saat ini, channel WxC Indonesia sendiri bahkan sudah mencatatkan 70 ribu lebih subscriber. Jumlah penikmat pertandingan esports Dota 2 bahkan tergolong masih cukup bayak orangnya. Dalam satu kesempatan, pertandingan DPC Europe yang mempertandingkan OG bahkan mencatatkan 153 ribu lebih total views. Sebuah angka yang sebenarnya cukup lumayan walaupun keadaan komunitasnya seperti demikian.

Kisah perkembangan Dota 2 di Indonesia memang teramat unik. Kisahnya menjadi unik karena Dota 2 bisa tumbuh menjadi cukup besar walau sebenarnya berkembang secara organik.

Posisi Dota 2 yang dianggap sebagai pionir MOBA oleh gamer Indonesia mungkin jadi salah satu alasannya. Karena bagaimanapun, pada masa itu kehadiran Dota 2 tergolong lebih duluan kalau kita bandingkan dengan kehadiran League of Legends di Indonesia.

Posisi Dota 2 di zaman sekarang juga jadi tambah unik lagi. Pada satu sisi, esports game-nya di kancah lokal terbilang sudah mati suri. Tapi pada sisi lain, para penggemar esports serta komunitasnya tergolong masih hidup dan masih cukup keras menggemari esports Dota 2.

Jadi dalam kasus ini, Valve sebenarnya punya andil juga atas hidupnya komunitas dan penggemar esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut saya katakan karena Valve sebenarnya masih menyokong perkembangan esports Dota, walau skalanya hanya regional (SEA dan sebagainya) dan internasional saja.

 

CS:GO yang Tak Sempat Berkembang Karena Game Berbayar

Counter-Strike merupakan game lain yang di-develop serta dirilis oleh Valve. Karena sama-sama game besutan Valve, maka perlakuannya pun kurang lebih serupa dengan Dota 2. Sepanjang perkembangannya, Counter Strike juga berkembang seperti Dota 2, berkembang secara organik tanpa ada bantuan Valve di ranah lokal.

Popularitas Counter-Strike di Indonesia malah terjadi jauh sebelum Counter-Strike: Global Offensive ada. Masa kejayaan bisa dibilang terjadi di awal tahun 2000an. Pada masa itu, CS berkembang lewat warnet-warnet. Dari warnet, CS berkembang ke berbagai lini di esports yang bahkan masih langgeng sampai sekarang di Indonesia.

NXL contohnya, yang bermula dari tim warnet menurut cerita Richard Permana sang CEO. Lalu ada juga Liga Jakarta, salah satu kompetisi perdana yang membuat tercetusnya kehadirann WCG yang merupakan salah satu event esports terbesar di zaman itu menurut kisah dari Eddy Lim selaku CEO dari Liga Game.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Pada masa keemasannya, tim-tim asal Indonesia juga tercatat mencetakkan prestasi yang luar biasa di tingkat Internasional. Pada tahun 2003 misalnya, ada tim XCN yang berhasil mencapai babak utama WCG 2003 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun setelahnya baru NXL yang mencuat, menjadi wakil Indonesia untuk gelaran WCG tahun 2008. Pembahasan lebih lengkap atas hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel seputar sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.

Tetapi menariknya, perkembangan esports CS:GO justru terbilang melambat ketika CS:GO rilis di pasaran. Namun memang ada satu perbedaan fundamental antara CS 1.6 dengan CS:GO. Perbedaannya adalah CS 1.6 yang bersifat free to play sementara CS:GO yang mengharuskan pemainnya untuk membayar sejumlah uang untuk bisa main. Soal kausalitas antara game gratis dengan kesuksesannya sebagai esports juga sudah sempat saya bahas dalam kesempatan yang berbeda.

Karena game-nya berbayar, banyak gamer yang tidak terlalu tahu dengan CS:GO sehingga membuat game CS:GO sendiri cenderung kurang berkembang di pasar Indonesia. Richard Permana yang sudah kurang lebih 15 tahun menekuni CS 1.6 dan CS:GO juga mengakui, bahwa memang esports suatu game akan sulit berkembang apabila tanpa dukungan dari sang publihser.

“Dari sudut pandang sebagai pemain, game esports yang tak ada dukungan publisher akan sulit sekali berkembang. Saya sebagai pemain juga jadi harus usaha ekstra keras untuk bisa mencapai prestasi yang jauh sekali.” Tuturnnya.

Sumber: NXL

Richard lalu menjelaskan maksud dukungan publisher yang ia maksud. “Dukungan publisher itu penting sekali menurut saya. Seperti yang kita saksikan pada game seperti PUBG Mobile, MLBB, dan Free Fire yang berkembang begitu masif. Banyak perkembangan terjadi di ekosistem esports game tersebut berkat dari apa yang dikerjakan oleh publiher-nya di Indonesia. Selain itu, menurut saya beberapa bentuk dukungan publisher yang diperlukan dari sisi player sendiri adalah sirkuit nasional yang terstruktur, serta jalur ke tingkat internasional yang juga jelas.”

Apa yang dikatakan Richard ada benarnya juga. Tanpa sirkuit kompetisi lokal yang jelas, pemain akan kesulitan mencari lawan bertandingnya. Tanpa lawan tanding, pemain akan jadi sulit berkembang untuk bisa bertanding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Bukti dukungan publisher ke skena lokal yang berbuah prestasi bisa kita lihat sendiri pada tiga game yang disebut Richard tadi. Pada MLBB, Indonesia menjadi kekuatan yang dominan di tingkat Asia Tenggara bahkan sampai jadi juara dunia pada M1 2019. Pada PUBG Mobile, juga ada Bigetron RA yang berkembang pesat berkat turnamen rutin yang diadakan oleh Tencent selaku sang publisher. Begitu juga dengan Free Fire lewat liga esports yang mereka adakan demi mengembangkan talenta esports Indonesia.

Sementara itu bagaimana dengan CS:GO sendiri? Turnamennya saja sangat minim sekali di Indonesia. Ditambah lagi, kesempatan untuk bisa tembus ke tingkat internasional juga sangat kecil sekali karena jumlah seeding yang sangat sedikit dari di tingkat internasional.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Jadi tanpa wadah tanding di kancah lokal, kesempatan yang kecil sekali bagi tim asal Asia, jadi beberapa faktor alasan kenapa esports CS:GO tidak berkembang di skena lokal. Belum lagi lawannya di tingkat internasional nanti adalah tim-tim asal Eropa, Amerika, CIS, dan Amerika Latin yang nafasnya adalah game CS:GO itu sendiri.

Kisah CS:GO di Indonesia mungkin bisa dibilang sebagai kisah paling nahas dari perkembangan esports yang tidak didukung oleh sang publisher. Walaupun sempat berjaya pada CS 1.6 karena free-to-play, tetapi CS:GO yang terlambat mengubahnya jadi game gratis kehilangan momentumnya untuk para pemain di Indonesia.

 

Penutup

Setelah melihat cerita berbagai game esports di Indonesia yang bergulir tanpa dukungan langsung sang publisher, memang komunitas yang gigih bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa suatu game masih bisa bertahan di Indonesia ataupun negara lainnya.

Hal tersebut bisa kita lihat di hampir semua cerita. Cuma memang, tidak semua kegigihan komunitas tersalurkan ke dalam bentuk turnamen mandiri.

Pada Dota 2, bentuk dukungan komunitas terhadap esports Dota 2 bisa terlihat dari bagaimana mereka lebih memilih menonton pertandingan di channel berbahasa Indonesia ketimbang channel internasional. Dalam kasus R6 misalnya, bentuk kegigihan mereka terlihat dengan usaha Bobby menjaga R6 IDN untuk tetap aktif.

Lalu pada sisi lain, investasi pihak ketiga dan dukungan badan pemerintahan ternyata jadi faktor yang diluar dugaan melihat dari perkembangan esports PES dan hadirnya liga IFeL di Indonesia.

Menutup pembahasan ini, jadi mampukah esports berkembang tanpa dukungan langsung dari sang publisher di ranah lokal?

Jawabannya bisa jadi selalu iya.

Tapi kalau ditanya lagi sampai mana perkembangannya? jawabannya akan selalu terbatas dengan jumlah massa-nya, kegigihan, serta modal yang mau dikeluarkan untuk terus menjaga agar komunitas suatu game tetap aktif terutama dari sisi esports.

DRivals RTM Jadi Wakil Indonesia Untuk Cabang Tekken 7 IESF World Championship 2020

Akhir pekan lalu, menjadi puncak dari kualifikasi Indonesia untuk gelaran IESF World Championship 2020 cabang Tekken 7. Setelah melalui kualifikasi yang panjang, DRivals|RTM akhirnya keluar sebagai jawara yang akan mewakili Indonesia, setelah mengalahkan Grizz 3-0 di babak final.

Perjalanan RTM menuju kemenangan tentunya tidak mudah. Ia harus bertarung dengan 37 peserta lainnya yang datang dari berbagai daerah dengan tujuan yang sama, merebut kesempatan untuk mewakili Indonesia di kancah dunia. Berkat permainan yang solid, RTM dapat melibas musuh-musuhnya 2-0 di fase awal kompetisi.

Sumber: DRivals
Sumber: DRivals

Ada Pokpok, MLC|Hands, Myth|Derulans, dan DRivals|Pricefield, dilibas 2-0 oleh RTM. Pertarungan menjadi sengit ketika memasuki babak Winners Finals. RTM harus menghadapi Grizz yang bermain apik menggunakan Heihachi. Alhasil, RTM sempat kalah di 2 ronde awal dari pertandingan best-of-5 ketika menggunakan Zafina. Namun keadaan berubah ketika RTM berganti karakter menjadi Leroy.

Pertarungan tetap berjalan dengan sangat sengit, mengingat Grizz juga bermain begitu cermat menghadapi RTM. Satu per satu ronde didapatkan, sampai akhirnya RTM menyamakan kedudukan jadi 2-2. Awalnya RTM bisa menang dengan cukup mudah dan memenangkan 2 ronde. Namun, setelahnya Grizz bangkit lagi dan membalas kekalahannya. Grizz berhasil memukau penonton dengan gerakan balasan yang bersifat technical, dan menyamakan kedudukan. Sayang, akhirnya Grizz tertekuk dengan skor 3-2, dan turun ke Lower Bracket.

Pada Lower Bracket, Grizz kembali menghadapi pertarungan sengit melawan Sunopan asal Sumatera Utara. Grizz kembali harus bertanding 5 ronde dalam best-of-5. Namun perjuangan tersebut berbuah manis, karena Grizz bisa lolos ke Final, dan membalas kekalahannya terhadap RTM di pertandingan sebelumnya.

Babak penentuan, Grizz kini berganti karakter jadi Kazuya, sementara RTM menggunakan Fahkumram. Karakter yang baru rilis Maret 2020 lalu tersebut sepertinya terbukti masih agak terlalu kuat, sehingga Grizz tak mampu bicara banyak di pertandingan tersebut. RTM pun menjadi juara dengan skor 3-0.

“Proses kualifikasi ini terbilang cukup panjang, karena harus kualifikasi tingkat provinsi dulu. Kebetulan saya masuk region Jakarta, dan prosesnya sangat berat karena yang ikut adalah pemain-pemain top. Untungnya saya berhasil lolos setelah mengalahkan Cobus… Hehe.” cerita Artama Ciptajaya atau RTM, membahas proses kualifikasi dari tingkat provinsi hingga tingkat nasional.

“Pada saat kualifikasi saya merasa ada 3 match yang spesial. Pertama ketika berhasil mengalahkan Cobus di Loser Finals kualifikasi DKI. Kedua tentunya ketika comeback melawan Grizz di top 4. Padahal ketika itu saya pikir bakal kalah, karena sudah hilang 2 game. Tetapi saya coba pakai Leroy, ternyata berhasil reverse sweep jadi 3-2. Terakhir adalah lawan MYTH | Derulands. Turnamen sebelumnya Derulands berhasil mengalahkan saya di awal bracket. Gara-gara itu, saya mempelajari karakter Lee yang jadi andalan Derulands. Puji tuhan, hasil pelajaran saya ternyata berhasil, sehingga bisa menang 2-0.” lanjut Artaman menceritakan proses kualifikasi.

Sumber: DRivals
Sumber: DRivals

Menutup obrolan singkat kami, Artaman juga menceritakan persiapan yang akan ia lakukan untuk menghadapi IESF World Championship 2020. “Kalau menghadapi regional SEA, sudah tentu Thailand dan Filipina bakal jadi lawan yang berat. Dua negara tersebut punya pemain kaliber dunia, walau memang karakter yang digunakan tergolong umum, yaitu Lars, Shaheen, serta Jin, yang sering saya hadapi ketika sparring. Mungkin batu sandungannya adalah kalau pemain-pemain dari negara tersebut pakai Akuma. Saya merasa pemain Indonesia belum ada yang main Akuma mirip seperti mereka, jadi mau tidak mau saya cuma bisa mengamati dari replay saja. Pastinya saya akan mempersiapkan diri dengan matang, agar bisa membawa nama komunitas Tekken Indonesia di tingkat internasional.” tutup Artaman.

Pertandingan IESF World Championship 2020 akan berlanjut ke fase kualifikasi regional SEA yang akan diselenggarakan mulai Oktober 2020 mendatang. Mari kita doakan agar RTM bisa mendapatkan prestasi terbaiknya dalam gelaran tersebut!

Philippine Esports Organization Berjuang untuk Dapatkan Akreditasi

Tim-tim esports asal Filipina telah bergabung untuk membentuk Philippine Esports Organization (PeSO). Dalam pernyataan rilis, PeSO mengatakan bahwa mereka telah mendaftarkan diri untuk mendapatkan akreditasi oleh Philippine Olympic Committee. Jika PeSO mendapatkan akreditasi tersebut, mereka akan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengembangkan esports di Filipina.

Beberapa tim dan organisasi esports yang masuk dalam PeSO antara lain Bren Esports, Gariath Concepts, Mineski Philippines, The Nationals, PlayBook Esports, Tier One Entertainment, RV5, dan TNC Holdings. Beberapa tim esports yang tergabung dalam PeSO juga pernah mewakili Filipina di SEA Games 2019. Misalnya, TNC Predator di Dota 2 dan Team Sibol di Mobile Legends. PeSO juga didukung oleh Smart Communications, operator telekomunikasi asal Filipina.

“Dengan dukungan dari Smart Communications. kami yakin bahwa kami kini memiliki kesempatan lebih besar untuk memenangkan IESF World Championships,” kata President PeSO, Brian Lim, seperti dikutip dari ABS CBN. “Kami sangat menghargai komitmen Smart untuk mendukung dan menumbuhkan industri esports dan tim nasional Sibol.”

Philippines Esports Organization
IESF World Championships merupakan turnamen esports layaknya Olimpiade.

PeSO berharap, tim-tim esports yang menjadi anggotanya akan bisa lolos babak kualifikasi nasional dan pergi mewakili Filipina dalam IESF World Championships. Turnamen yang akan diadakan di Eliat, Israel tersebut akan mengadu tiga game, yaitu Dota 2, Tekken 7, dan eFootball PES. Pada Agustus 2020, Indonesia Esports Association (IESPA) juga mengumumkan bahwa mereka akan ikut serta dalam IESF World Championships.

“Tujuan kami adalah mengembangkan industri esports di Filipina,” kata Jane Jimenez Basas, SVP dan Head of Consumer Wireless Business, Smart Communications. “Setelah mendukung Team Sibol di SEA Games 2019, Smart mengukuhkan komitmen perusahaan di industri esports dengan mencari anggota baru Team Sibol untuk merepresentasikan Filipina dalam IESF World Championship.” Proses perekrutan anggota baru dari Team Sibol akan dimulai pada September 2019.

Memang, esports kini tengah menjadi perhatian banyak orang. Tak terkecuali di Indonesia. Minggu lalu, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) baru saja menjadikan esports sebagai cabang olahraga prestasi di Indonesia.

Bandai Namco akan Menghelat Tekken 7 dan SoulCalibur VI Online Challenge

Merebaknya pandemi sejak permulaan tahun 2020 sudah memberhentikan banyak gelaran turnamen di tahun ini, termasuk juga turnamen bagi komunitas fighting game. Turnamen sekelas Evo di tahun ini juga urung digelar karena satu dan lain hal yang mengikutinya.

Sebagai pelepas dahaga di tengah keringnya skena kompetitif fighting game, Bandai Namco dalam waktu dekat akan menghelat turnamen online. Di waktu bersamaan Bandai Namco memberikan keterangan dari laman resminya bahwa di tahun ini tidak hanya satu, melainkan akan ada dua turnamen game fighting yang diselenggarakan secara online. Tekken 7 dan SoulCalibur VI adalah dua judul game yang terpilih untuk menggelar turnamen dengan format regional dan dilakukan secara online.

Keseruan dan seluruh atmosfer turnamen offline tentu saja tidak dapat dinikmati pun digantikan selama pandemi masih terus berlangsung. Setidaknya dengan adanya turnamen Online Challenge dari Bandai Namco bisa mengobati kerinduan untuk saling berduel disaksikan ratusan pasang mata hanya saja dengan setting yang berbeda. Dalam rangka beradpatasi dengan situasis pandemi, Bandai Namco menjadikan kestabilan fitur Online Matches sebagai prioritas pengembangan melalui update terbaru kedua game di atas.

Teruntuk game SoulCalibur VI, Online Challenge akan dipertandingkan di tiga region berbeda, yaitu: 3 Oktober 2020 di region Jepang, 31 Oktober 2020 untuk region Amerika Serikat bagian timur, dan terakhir di tanggal 28 November 2020 bagi region Eropa bagian barat.

Di sisi lain Tekken 7 akan mencakup region yang lebih luas daripada SoulCalibur VI. Sepanjang bulan September hingga November tahun ini kita akan disuguhkan 3 region berbeda setiap bulannya. Tekken 7 Online Challenge akan dimulai di region Eropa bagian barat, Korea, dan Amerika Serikat bagian timur di bulan September. Selanjutnya turnamen akan berlanjut di region Eropa bagian utara, region Australia, dan region Amerika Serikat bagian tengah.

Sebelum kembali ke region Jepang di bulan Desember, perlu dicatat juga bahwa Filipina tercatat dalam peta gelaran Online Challenge yang dihelat oleh Bandai Namco. Sedangkan Pakistan yang sempat mengundang rasa penasaran dari komunitas gamers Tekken, belum menjadi tempat yang terpilih.

Masih dalam kesempatan yang sama bandai namco juga menyampaikan bahwa Bud Light dan Astro Gaming akan mendukung jalannya turnamen online yang dihelat oleh Bandai Namco. Astro Gaming akan memberikan dukungan dalam bentuk peripheral yang akan digunakan oleh shoutcaster yang nantinya memandu jalannya pertandingan di gelaran turnamen Online Challenge,

Cerita Tim UwU Gaming: Dari Andai-Andai Menjadi Nyata

Fighting game bisa dibilang sebagai salah satu esports tertua dalam ekosistem esports, selain dari Counter-Strike yang tak pernah mati sejak tahun 1999. Jika berpatok pada turnamen Evolution Championship Series saja, artinya komunitas fighting game sudah ada sejak dari tahun 1996. Kalau ditarik lebih jauh lagi, bibit skena ini malah mungkin sudah hadir sejak Street Fighter 2 versi arcade rilis pada tahun 1991.

Banyak yang bilang bahwa ciri khas ekosistem ini adalah hubungan emosional komunitas yang begitu erat. Itu juga yang mungkin membuat pecinta fighting game, walau berbeda permainan, tetap bersatu di bawah bendera fighting game community atau FGC.

Skena Indonesia punya ceritanya sendiri. Advanced Guard bisa dibilang adalah salah satu sosok besar dalam perkembangan FGC Indonesia. Seiring waktu, FGC Indonesia terus berkembang. Berawal dari satu komunitas, kini FGC Indonesia jadi punya ragam komunitas dengan tujuannya masing-masing.

Beberapa waktu lalu kita sudah sempat menyorot DRivals, komunitas Tekken yang berkembang pesat secara prestasi di skena kompetitif Jabodetabek dan sekitarnya. Tetapi selain dari mereka, ada juga komunitas lain yang juga bergeliat lincah di skena Tekken Jabodetabek, yaitu UwU Gaming.

Siapa mereka? Apa yang ingin mereka capai? Saya berbincang dengan Simeon Handi Kurniadi, Co-Founder UwU Gaming mencoba mengetahui cerita di balik komunitas ini, dan perjalanannya menjadi tim esports. Simak hasil perbincangan saya berikut

Terbentuk dari Kelakar Pertemanan

Anda penggemar pop culture Jepang mungkin akan memandang kata ‘UwU’ dengan cara berbeda. Ini karena ‘UwU’ kerap kali digunakan di dalam lingkungan pergaulan, terutama pop culutre Jepang, sebagai emoticon. Pertama kali muncul di forum, UwU biasanya digunakan untuk mengekspresikan perasaan senang atau kebanggaan dengan wajah gemas ala anime.

Simeon Handi Kurniadi, Co-Founder UwU Gaming juga mengatakan bahwa emoticon tersebut menjadi inspirasi dari nama komunitas ini. Tetapi selain itu, nama UwU Gaming sebenarnya juga berasal dari plesetan organisasi esports yang bergeliat di FGC internasional yaitu UYU.

“Dulu alasan memberi nama UwU karena teringat emoticon yang lucu, terus juga karena ada tim profesional bernama UYU. Akhirnya nama UwU dipilih karena niat awal bikin tim ini sebetulnya hanya untuk iseng dan tidak berniat menjadi serius.” Ucap sosok yang kerap dipanggil Handikurr di dalam komunitas.

Menariknya, meski UwU punya konotasi yang imut, tim mereka menggunakan Serigala yang garang sebagai logo tim. Handikurr lalu menceritakan selayang pandang asal usul logo tersebut.

“Kalau ditanya kenapa logonya serigala, awalnya juga karena kelakar teman-teman saja. Pertama, emoticon wajah UwU kadang ditempatkan pada wajah serigala. Kedua, karena ‘uwu’ terdengar seperti suara auman serigala. Dari situ kami lalu membahas lebih jauh lagi alasan kenapa logonya harus serigala. Saya dan kawan-kawan terpikir bahwa Serigala adalah simbol keberanian bagi orang romawi dan mesir kuno. Jadi serigala dipilih jadi simbol komunitas kami sebagai doa, agar komunitas kami memiliki jiwa keberanian.” Tuturnya.

Sumber: UwU Gaming
Sumber: UwU Gaming

Orang tua kita kerap berkata bahwa nama adalah doa. Doa UwU Gaming menjadi komunitas yang berani pada akhirnya benar terpancar kepada mental anggota komunitas UwU Gaming. Mereka selalu dengan berani menantang siapapun di skena Tekken 7 Jabodetabek dan sekitarnya.

Bahkan, waktu itu tiga orang anggota mereka juga dengan berani mengadu nasib di Last Chance Qualifier Tekken World Tour Finals 2019, walau mungkin hasilnya hanya pengalaman berharga saja.

Dengan umurnya yang masih muda belia, UwU Gaming bergeliat begitu lincah di tengah komunitas FGC Jabodetabek. Namun, itu mungkin tidak tercapai jika Handikurr tidak pernah mengenal Tekken ataupun komunitas fighting game sebelumnya.

Handikurr lalu menceritakan awal ia mengenal Tekken dan FGC saat masih tinggal di Yogyakarta.

“Dulu saya pertama kali kenal FGC di Jogja, karena suka berkumpul dengan komunitas pop culture Jepang, yang kebetulan banyak pemain Tekken. Saya akhirnya ikut main dan buat komunitas fighting game di sana. Dulu komunitasnya bernama FAIJO (Fighting Games Jogja). Dari situ mulai kenal teman-teman yang sudah berkecimpung di FGC.” Cerita Handikur.

“Lalu setelah itu saya pindah ke BSD karena pekerjaan. Semenjak di sana, akses turnamen lebih dekat, jadi saya lebih sering berusaha untuk kumpul dengan teman-teman FGC yang ada di Jakarta. Sampai suatu hari saya ikut turnamen tag team DRivals di suatu kafe di Jakarta Barat pada tahun 2018. Pada saat itulah saya bertemu dengan Zul (V4NZER), Faris (JUST_FRS) dan Roku (Mitsuky). Mereka bisa dibilang pencetus lebih awal dari saya, karena ikut turnamen dengan nama tim uwu.” Handikurr menjelaskan awal alasan ia membentuk UwU.

Nama UwU sebenarnya sudah terlebih dahulu digunakan oleh tiga pemain tersebut. Tetapi Handikurr bisa dibilang menjadi sosok yang membuat UwU Gaming menjadi lebih serius, bukan hanya tim untuk kelakar, tapi menjadi komunitas dan rumah bagi para pemain Tekken 7 ataupun FGC secara keseluruhan.

“Waktu itu gara-gara saya lawan mereka di turnamen tersebut. Saat melawan mereka, saya tidak merasakan tekanan, malah enjoy dan merasa fun. Dari sana saya muncul ide, dan ajak mereka obrol-obrol. Dari obrolan tersebut, muncul angan-angan membuat tim esports, bikin jersey, konten-konten menarik, dan lain sebagainya. Lucunya adalah ternyata semua andai-andai saya dan kawan-kawan yang dipikirkan saat itu ternyata sudah hampir tercapai semua.. Hahaha.” Ucap Handikurr menceritakan pengalamannya membentuk UwU.

Sumber: UwU Gaming
Sumber: UwU Gaming

Mulai serius di tahun 2019, perkembangan UwU Gaming sebagai komunitas terbilang cukup cepat. Konten menjadi sarana mereka memperkenalkan FGC ke khalayak umum. Walau belum belum punya ribuan follower, tapi saya akui kanal media sosial UwU Gaming yang aktif dan punya desain grafis mumpuni jadi nilai jual tersendiri bagi komunitas mereka.

Selain media sosial, modal berikutnya UwU Gaming adalah markas yang jadi pusat aktivitas mereka. Markas ini juga tercipta secara tidak sengaja, karena salah satu anggota mereka dengan baik hati menawarkan menggunakan rumahnya yang sudah lama tidak dihuni, sebagai gaming house UwU Gaming.

“Markas atau gaming house kami sebenarnya adalah rumah kosong milik salah satu anggota kami, Hanifrexxx, yang berlokasi di Gaharu, Cipete, Jakarta Selatan. Kebetulan dia bersedia meminjamkan tempat tersebut untuk jadi tempat kumpul-kumpul. Akhirnya tempat itu kami resmikan menjadi markas komunitas UwU Gaming. Sebelumnya GH kami gunakan untuk main bareng dan membuat konten. Namun saat ini segala aktivitas kami hentikan lebih dulu, karena mengikuti anjuran pemerintah untuk mengisolasi diri selagi wabah COVID-19 sedang menyeruak.”

Handikurr mengaku merasa tidak sangka dengan semua pencapaian yang mereka capai lewat komunitas ini dalam waktu yang singkat. “Karena ini semua berawal sebagai bercandaan dan ide iseng saja, jadi saya dan teman-teman kadang kaget kenapa UwU Gaming tiba-tiba sudah sampai di titik ini.” Ucapnya.

Perjalanan UwU Gaming Sampai Saat Ini

Walau masih seumur jagung, UwU Gaming terbilang aktif secara kompetitif dan giat berjibaku dalam berbagai ajang adu jotos Tekken 7 di Jabodetabek. Pengalaman bertanding para anggota UwU Gaming mungkin tidak gahar seperti para anggota DRivals, yang salah satunya sempat bertanding di Rev Major. Juga tidak galak seperti Muhammad Adriansyah Jusuf (MEAT), yang sudah dipercaya mewakili Indonesia untuk cabang esports Tekken 7 di SEA Games 2019.

Akan tetapi, passion mereka terhadap Tekken memunculkan sikap berani yang patut diacungi jempol. Seperti sempat saya sebut di awal artikel, ada tiga pemain UwU Gaming yang nekat adu nasib ikut Last Chance Qualifier TWT Finals 2019 di Bangkok, Thailand. Mereka adalah Clice.L, Nafilo, dan Ar’Fear. Hasilnya tentu bukan kemenangan karena yang dicari memang pengalaman saja.

Nafilo yang punya nama lengkap Olifan Okto Pradana sempat bercerita soal pertandingannya di LCQ TWT Finals 2019. Ia mengaku mendapat banyak sekali pengalaman selama bertanding di sana, terutama saat menghadapi pemain-pemain Pakistan yang tanggap merespon kesalahan gerakan yang ia lakukan.

Sumber: Instagram UWU Gaming
Sumber: Instagram UWU Gaming

“Selama perjalanan di sana, gue belajar bahwa ada kesalahan dari metode permainan gue selama ini, seperti memilih gerakan yang berisiko ketimbang gerakan yang lebih pasti. Walau cuma bermain selama 6 menit, tetapi gue mendapat pengalaman berharga yang bisa mengubah cara pandang gue terhadap cara main Tekken.” Ucapnya.

Untuk saat ini UwU Gaming tercatat sudah memiliki 16 anggota, dengan 2 di antaranya berdomisili di Yogyakarta. Prestasi yang anggota mereka kumpulkan juga lumayan banyak. Eka Widarma (Lazt) misalnya, sudah memenangkan beberapa turnamen di skena lokal Yogyakarta. Salah satu yang paling bergengsi adalah ketika ia menjuarai kompetisi Tekken di acara KAI Esports Exhibition pada tahun 2019 lalu.

UwU Gaming juga sempat beberapa kali mengikuti gelaran Hybrid Cup. Saat Hybrid Cup hadir dengan format tim, UwU Gaming turut bertanding dan mengirimkan dua timnya. Ketika itu ada UwU Sunflower yang berisikan Ar’Fear, Nafilo, dan JUST_FRS, dan UwU Melancholy yang berisikan Davai, Astha, dan Dipicu_Ikan. Tapi UwU Gaming sayangnya mendapat hasil yang kurang memuaskan dalam turnamen yang dimenangkan oleh DRivals on Air tersebut.

UwU Gaming juga mengikuti Hybrid Cup Series – Tekken 7 Rookie. Diwakili oleh Dipicu_Ikan, UwU Gaming mendapat pencapaian yang cukup baik, berhasil mencapai peringkat top 8, walau akhirnya kalah oleh DRivals.Downfall.

Sumber: UwU Gaming
Sumber: UwU Gaming

Tak hanya aktif berkompetisi, UwU Gaming juga kerap kali mengadakan beberapa kegiatan komunitas. Layaknya Hybrid IDN yang memiliki dojo, UwU Gaming juga sempat sempat mengadakan dojo mereka sendiri. Ketika itu mereka baru sempat mengadakan dua kali dojo yang ternyata disambut antusias oleh FGC Jakarta.

Handikur mengatakan bahwa open dojo pertama dihadiri oleh 25 orang, sementara yang kedua dihadiri oleh 32 orang. Tak hanya itu, open dojo yang dilakukan oleh UwU Gaming juga dihadiri oleh berbagai sosok, termasuk cosplayer yang cukup ternama dalam komunitas pop culture Jepang, yaitu MamaBear.

“Kejadian mengundang MamaBear itu karena dulu saya pernah ketemu dia di event pop culture Jepang. Ketika itu dia cosplay sambil turnamen Tekken. Terus setelah itu saya ajak obrol-obrol. Sudah gitu kebetulan PapaBear juga kenalan saya dan keduanya main Tekken. Akhirnya saya ajak untuk hadir, dan mereka pun setuju untuk ikut meramaikan gejolak perjalanan UwU Gaming… Hehe.” Handikurr menceritakan asal usul kehadiran sosok cosplayer pada open dojo yang mereka selenggarakan.

Angan-Angan UwU Gaming Menjadi Organisasi Esports

Walau Handikurr mengaku hampir membuat semua ide gila yang ia bayangkan jadi nyata, tetapi ia masih punya mimpi lebih besar untuk UwU Gaming. Untuk saat ini, UwU Gaming sebenarnya bisa dibilang sudah berstatus sebagai tim esports, walau belum sebesar para raksasa seperti EVOS ataupun RRQ.

“Bersamaan dengan peresmian GH beberapa waktu lalu kami juga membagikan perubahan UwU dari komunitas menjadi tim esport. Hal ini kami ambil supaya kami bisa fokus dengan target kami di dunia bisnis. Seperti beberapa bisnis startup lain, kami memulai dengan ‘bakar duit’ dulu. Walaupun belum bisa menggaji para anggota, namun kami mulai membuka peluang bisnis di bidang esport, seperti menjadi caster game atau tawaran kontrak livestreaming.” Tukas Handikurr membeberkan status UwU Gaming saat ini.

Untuk masa depan Handikurr bercita-cita untuk membuat UwU Gaming jadi lebih berkembang. Tak hanya jadi wadah berkegiatan saja, tapi juga menjadi wadah agar para gamers bisa bekerja profesional dari hobi yang mereka suka. “Lebih jauh, saya ingin UwU Gaming tidak hanya menjadi tim saja tapi juga manajemen esports. Tujuannya adalah untuk memberi peluang gamers bisa berkarir secara profesional.”

“Makanya, apa yang ada di bayangan saya, nantinya para gamers yang berada di UwU Gaming tidak hanya mendapat peluang untuk menjadi pemain kompetitif saja, tetapi juga memberi peluang untuk menjadi talenta seperti caster, content creator, streamer, ataupun bidang-bidang lain yang bisa menyokong ekosistem esports, sesuai dengan passion dari masing-masing.” Handikurr menceritakan mimpinya.

Sumber: stuff.co.nz
Ekosistem esports bukan hanya soal menjadi pro player saja. Ada ragam pekerjaan lain, termasuk menjadi game streamer. UwU Gaming bercita-cita untuk hadir dan memfasilitasi hal tersebut. Sumber: stuff.co.nz

Mimpi tersebut mungkin terdengar sederhana, tetapi terasa seperti bukan sesuatu yang mudah untuk dicapai. Apalagi mengingat persaingan ranah gaming dan esports Indonesia yang jadi semakin ketat belakangan ini. Jika bicara soal bisnis tim esports, sepanjang 2020 yang baru berjalan 4 bulan, kita sudah melihat 5 tim esports baru, hadir dan meramaikan persaingan dalam ekosistem.

Maka untuk memuluskan mimpinya, Handikurr berusaha memulai dari sesuatu yang dekat dengan dirinya, FGC dan konten. “Itu memang bukan hal mudah, tapi bukan tidak mungkin. Maka untuk tahun ini kamu mulai dengan langkah kecil berani dengan menghadirkan konten lebih dahulu. Topiknya juga dimulai dari sesuatu yang dekat dengan kami, yaitu fighting game dan komunitasnya.”

“Nanti kalau sudah ada modal, saya ingin investasi alat multimedia lebih dulu, supaya proses pembuatan konten bisa berjalan dengan baik dan menciptakan konten yang lebih bagus. Hal lain mungkin yang terpikir di kepala saya berikutnya mungkin adalah untuk aktivasi event online ataupun melakukan promosi, agar UwU Gaming bisa dikenal lebih banyak orang.” Tuturnya.

Sumber: UwU Gaming
Sumber: UwU Gaming

Lalu, dengan mimpi yang besar, tentu UwU Gaming harus punya visi, agar komunitas ini bisa naik tingkat dan menjadi apa yang diimpikan Handikurr dan para anggotanya. Terkait ini, Pria asal Yogya tersebut memberikan pandangannya. “Untuk jangka pendek di tahun 2020, dengan fokus kepada konten, kami punya target mencapai 50 ribu follower terlebih dahulu di Instagram. Bagaimanapun, menurut saya, angka adalah sesuatu yang penting di dunia digital. Karena dunia digital tanpa digit (angka) hanya akan menjadi ‘al’ saja nantinya… Hehehe.” Ucapnya seraya berkelakar.

“Untuk jangka panjang, seperti yang tadi saya bilang, kami ingin UwU Gaming bisa menjadi manajemen talenta di bidang esports. Saya ingin UwU Gaming nantinya bisa memberi gaji dan kesempatan karir yang sesuai passion para gamers. Selain itu, karena saya memulai ini dari dunia fighting game, saya ingin UwU Gaming menjadi manajemen esports top-of-mind di dalam skena. Realistisnya tentu terbaik di Indonesia, tapi kalau mau muluk saya juga ingin UwU Gaming bisa jadi yang terbaik di dunia.” Handikurr menjelaskan mimpi dan cita-citanya.

Bagaimanapun, skena game apapun mungkin bisa jadi mati suri tanpa kehadiran tim seperti UwU Gaming. Nyatanya gamers datang dengan berbagai latar belakang dan tujuan. Mungkin ada yang hanya main game untuk mengisi waktu sengan, atau mencari hiburan, atau mencari teman, atau berkompetisi, atau mungkin mencari karir.

Kehadiran entitas seperti UwU Gaming sedikit banyak bisa mewadahi kegiatan bagi para gamers, terutama pecinta fighting game, untuk mencapai tujuan mereka, apapun itu. Semoga cita-cita yang diinginkan sang founder terhadap UwU Gaming bisa tercapai sehingga FGC Indonesia bisa dikenal dunia!

Katsuhiro Harada Protes Pemerintah Jepang Batasi Durasi Main Game Anak

Konsumsi game bagi anak sepertinya memang sedang menjadi satu perhatian tersendiri bagi pemerintah di beberapa negara. Salah satu negara yang pertama kali memunculkan perhatian ini adalah Tiongkok. Pada November 2019 lalu, pemerintah Tiongkok sudah mengeluarkan regulasi baru untuk meminimalisir dampak buruk bermain game. Regulasi tersebut termasuk membatasi durasi main game dan serta membuat jam malam untuk gamers usia muda.

Walhasil regulasi tersebut berdampak kepada beberapa game, seperti Epic Games yang batasi waktu main Fortnite di Tiongkok, sertai Arena of Valor yang menyiapkan fitur Face Recognition untuk mengetahui usia pemain. Tak hanya di Tiongkok, Jepang juga kini kabarnya sudah menerapkan regulasi serupa, lewat sebuah peraturan daerah.

Peraturan ini diberi nama Net Game Addiction Measure Ordinance, yang diterapkan di prefektur Kagawa, Shikoku, Jepang. Peraturan ini akan membatasi waktu main warga yang berusia di bawah 18 tahun jadi hanya satu jam per hari saja. Melihat regulasi ini, Katsuhiro Harada, produser dan direktur seri game Tekken, lalu memberikan tanggapan yang cukup keras.

Twit tersebut jika diterjemahkan secara kasar berarti. “Para orang tua yang tumbuh dewasa dengan tidak bijak menjadikan game sebagai kambing hitam atas ketidakmampuan mereka untuk mendidik anak mereka secara bijak.” Mengutip Siliconera, peraturan daerah ini tidak hanya sekadar membatasi durasi main game anak-anak di bawah 18 tahun jadi 60 menit saja per hari (akhir pekan 90 menit), namun juga menerapkan jam malam yang melarang anak-anak untuk menggunakan telepon genggam di atas pukul 22:00.

Memang tidak seperti Tiongkok, yang memaksa pengembang untuk mengubah bagian dalam game untuk pembatasan durasi pemain, peraturan daerah yang diterapkan di Jepang ini bisa dibilang hanya bersifat sebagai arahan dari pemerintah kepada para orang tua dalam mengatur konsumsi game anak. Masih dari Siliconera, kebijakan ini sendiri sebenarnya masih menjadi perdebatan bagi kalangan umum di Jepang, karena cara menegakkan peraturannya yang masih jadi tanda tanya.

Lebih lanjut, Harada secara vokal menentang hal ini lewat beberapa seri twit lainnya. Ia mengatakan bahwa orang-orang yang membuat kebijakan ini adalah “orang orang dengan pikiran membosankan yang tidak dapat memberikan anak anak ide dan inspirasi.”

Terakhir, Harada kembali menegaskan bahwa bentuk perlawanan yang ia lakukan lewat opini pribadinya sendiri ini tidak ada hubungannya dengan penjualan game Tekken sendiri. Ia menjabarkan bahwa penjualan game Tekken 7 yang sudah mencapai jutaan unit, lebih banyak terjual di pasar barat (Eropa dan AS), ketimbang pasar Jepang yang hanya menyumbang 4 persen dari total penjualan dengan hanya 5 juta kopi saja terjual. “Jadi peraturan daerah ini tidak ada urusannya dengan penjualan Tekken 7. Namun, saya merasa ini akan memberikan dampak negatif kepada budaya gaming di Jepang.”. Ucap Harada.

Pada akhirnya, regulasi pembatasan waktu bermain game memang seakan menjadi pedang bermata dua bagi masyarakat. Pada satu sisi, pembatasan ini mungkin baik bagi tumbuh kembang anak, seraya memberi pedoman kepada orang tua terhadap cara konsumsi game terbaik bagi anak. Namun pada sisi lain, kebijakan seperti ini sedikit banyak juga akan mempengaruhi industri game itu sendiri. Walau mungkin tidak terasa untuk saat ini, pergeseran budaya seperti yang disebut Harada bisa jadi akan memberi dampak besar terhadap bisnis game di masa depan.

Sumber Header: Red Bull Esports

Karakter Tekken 7 Fahkumram Akan Rilis Bulan Maret Ini

Pada gelaran TWT Finals 2019 lalu, tak hanya kemenangan Chikurin ataupun pengalaman komunitas Indonesia mengikuti pertandingan Last Chance Qualifiers saja yang menarik untuk dibahas. Pada gelaran tersebut Bandai Namco juga merilis trailer karakter-karakter terbaru yang akan muncul di Tekken 7 untuk tahun 2020. Ketika itu, ada Leroy, Ganryu, dan yang terakhir adalah karakter orisinil baru bernama Fahkumram.

Leroy dan Ganryu sudah rilis terlebih dahulu, yang bahkan sempat bikin komunitas sakit kepala karena Leroy terlalu kuat digunakan di dalam pertandingan. Setelah sekian lama ditunggu, tanggal rilis Fahkumram kini akhirnya diumumkan. Mengutip dari akun twitter resmi @TEKKEN_Project, diumumkan bahwa Fahkumram akan rilis pada tanggal 24 Maret 2020 mendatang. Tak hanya itu, perilisan ini juga dilakukan dengan sebuah video trailer gameplay dari Fahkumram.

Pada saat TWT Finals 2019, meski sudah ada trailer yang menunjukkan bentuk dan gerakan karakter Fahkumram di Tekken 7, namun apa yang ditunjukkan masih mini sehingga belum bisa menggambarkan bagamiana cara kerja karakter ini secara keseluruhan. Pada trailer terbaru ini lebih banyak gerakan ditampilkan, sehingga bisa memberikan gambaran kepada pemain terhadap cara main dan level kekuatan karakter ini.

Merupakan karakter bertubuh besar yang menggunakan bela diri Muay Thai, Fahkumram diperlihatkan banyak menggunakan kakinya untuk gerakan-gerakan yang memberi dirinya momentum kemenangan. Pada salah satu bagian ketika ia melawan Bryan, diperlihatkan bagaimana tendangannya bahkan bisa membuka pertahanan musuh, yang dapat dilanjut dengna rangkaian gerakan lain.

Trailer ini juga menunjukkan kemampuan-kemampuan lain milik Fahkumram, seperti gerakan Counter Hit yang akan menghantam musuh dengan tendangan keras, serta ragam pilihan gerakan Fahkumram yang bisa membuat musuh terjatuh.

Dalam perilisan ini, Fahkumram juga mendapatkan dua buah kostum. Satu kostum menggunakan pakaian tradisional Thailand, dan satunya sebuah kostum bernama Victor Set yang mengubah penampilan Fahkumram menjadi seperti jawara tarung Muay Thai. DLC 15 juga hadir pada perilisan tanggal 24 Maret 2020 tersebut, yang berisikan Stage baru bernama Cave of Enlightment yang merupakan Stage milik Fahkumram.

Sumber: Twitter @TEKKEN_Project
Sumber: Twitter @TEKKEN_Project

Pada saat memamerkan Cave of Enlightment kita juga bisa melihat bagaimana Stage tersebut memiliki tembok dan lantai yang bisa dihancurkan. Ini artinya, pemain harus lebih cermat dalam memanfaatkan stage tersebut. Contohnya seperti, menggunakan serangan bawah atau serangan depan dengan properti Wall Splat agar bisa menghancurkan lantai atau tembok.

Rilis 24 Maret 2020 mendatang kira-kira bagamana penerimaan komunitas terhadap karakter ini? Mengingat dua sebelumnya muncul dengan sangat timpang, Ganryu tampil terlalu biasa saja, sementara Leroy terlalu istimewa sampai bikin komunitas geram. Semoga saja Fahkumram bisa hadir dengan lebih seimbang dan bisa menjadi karakter favorit bagi para pemani Tekken 7.

TWT 2020 Diumumkan! Indonesia Tuan Rumah Challenger Event

Pagi ini (21 Februari 2020), Bandai Namco mengumumkan daftar kompetisi yang masuk ke dalam rangkaian Tekken World Tour 2020 (TWT 2020). Menariknya, dari jajaran kompetisi yang ada di dalamnya, terselip satu kompetisi di Indonesia. Gelaran tersebut adalah IFGC MAX (Indonesia Fighting Game Championship), sebuah kompetisi Fighting Game yang dibesut oleh salah satu dedengkot tournament organizer Fighting Game di Indonesia, Advanced Guard.

Gelaran tersebut termasuk ke dalam Challengger Tournaments, yang artinya gelaran ini merupakan salah satu gelaran besar di dalam rangkaian Tekken World Tour. Dalam Challengger Tournaments ada juga gelaran besar seperti Thaiger Uppercut atau TGU yang diadakan di Thailand, atau Summer Jam yang diadakan di Amerika Serikat.

Satu hal menarik lainnya, gelaran Challenger Tournament tidak hanya diadakan di Indonesia, tapi juga di beberapa negara yang jarang terdengar menjadi lokasi gelaran esports. Contohnya seperti Cape Town Showdown yang diadakan di Afrika Selatan, Clash of the Olympians yang diadakan di Yunani, Takra Cup yang diadakan di Pakistan, atau Tekken Round Pro yang diadakan di Columbia.

Menurut pengumuman, IFGC MAX akan diadakan pada 4 – 5 Juli 2020 mendatang di Indonesia. Terkait ini, Bram Arman co-founder Advanced Guard memberikan komentarnya. “Saya sangat excited bisa kembali menjadi bagian dari TWT 2020. Saya berharap bisa memberikan yang terbaik, dan semoga gelaran ini akan menjadi persembahan terbaik bagi komunitas Tekken di Indonesia.”.

Sumber: Youtube Bandai Namco Fight Channel
Sumber: Youtube Bandai Namco Fight Channel

Memang, gelaran IFGC MAX tergolong sebagai “Returning Location” di dalam pengumuman ini. Hal ini mengingat, IFGC Indonesia memang sudah pernah diadakan sebelumnya, tepatnya delapan tahun yang lalu, pada tahun 2012. “EVO memang kiblat kita sedari dulu. Pada mulanya niatan bikin EVO lokal saat tahun 2012 dan akhirnya terciptalah IFGC. Setelah IFGC 2012 selesai, Advanced Guard baru dibuat yang berisikan teman-teman dengan visi yang sama untuk mengembangkan FGC di Indonesia.”. Bram menceritakan.

Tak hanya itu, sejak dulu, IFGC juga bisa dibilang sudah memahat namanya menjadi turnamen Fighting Game bergengsi di Indonesia. “Pada tahun itu, ada semacam Road to EVO, kita apply dan dapet. Berkat itu, IFGC jadi kompetisi bergengsi. Ada player Malaysia datang. Belum lagi kita dari komunitas juga mengundang 5 pemain dari Singapura ketika itu.”. Bram melanjutkan ceritanya.

IFGC lalu terselenggara secara konsisten sejak itu, dan kerap menjadi bagian dari sirkuit kompetisi Fighting Game seperti sirkuit Capcom Pro Tour untuk Street Fighter, atau sirkuit Tekken World Tour untuk Tekken 7.

Selain itu, Bandai Namco juga mengumumkan bahwa TWT Finals 2020 akan diadakan 12 – 13 Desember 2020 mendatang di New Orleans Amerika Serikat.

Kehadiran kembali IFGC tentu akan menjadi angin segar bagi para petarung Tekken 7 di Indonesia. Apalagi dengan pesatnya pertumbuhan ekosistem esports kini, IFGC bisa menjadi ajang unjuk gigi FGC Indonesia kepada para pegiat esports ataupun khalayak umum.

AKG Games Series, Kompetisi Overwatch dan Tekken 7 dengan Total Hadiah Ratusan Juta

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan esports di Indonesia, tak heran jika kita juga melihat perkembangan dari segi pasar. Beberapa waktu lalu mungkin kita hanya bisa melihat kompetisi besar untuk game-game mobile saja. Tetapi kini, kita jadi bisa melihat kompetisi untuk berbagai game lainnya, seperti apa yang dilaksanakan oleh AKG Games.

Sebelumnya kita sudah melihat Hearthstone Elite Series, sebuah kompetisi online yang diselenggarakan untuk mewadahi semangat kompetitif pemain Hearthstone di seluruh penjuru Indonesia. Selain dari itu, AKG Games baru-baru ini sedang melaksanakan kompetisi yang bertajuk AKG Games Series!

Memperebutkan total hadiah sebesar Rp225 juta, kompetisi ini mempertandingkan tiga game yaitu Overwatch, Tekken 7, dan satu game lagi yang masih belum diungkap. Total hadiah berbeda-beda tergantung game yang dipertandingkan. Pertandingan Overwatch memperebutkan total hadiah senilai Rp12 juta yang didistribusi ke dalam 4 online qualifier. Pertandingan Tekken 7 memperebutkan total hadiah sebesar Rp6 juta yang juga didistribusi ke dalam 4 online qualifier.

Sumber: Instagram @akggames
Sumber: Instagram @akggames.id

Karena pertandingan dibagi menjadi 4 kali online qualifier, jadi para peserta yang kurang beruntung pada kualifikasi sebelumnya, bisa mengikuti kualifikasi selanjutnya untuk mencoba mengadu nasib. Babak kualifikasi sudah dimulai sejak 13 Februari lalu dan akan berlangsung sampai 14 Maret 2020 mendatang. Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran, Anda bisa klik tautan bit.ly/daftarakgseries.

Selain dua game tersebut, masih ada satu game lagi yang dirahasiakan oleh AKG Games. Mengingat posisi AKG Games sebagai rekan bisnis Blizzard Entertainment di Indonesia, maka kemungkinan besar game yang dipertandingkan tersebut adalah salah satu dari jajaran seri game besutan Blizzard.

Sejauh ini, Hearthstone sudah punya kompetisinya sendiri, dan Overwatch sudah menjadi bagian dari AKG Games Series. Maka kemungkinan terbesar akan tertuju ke StarCraft II. Sejauh ini usaha AKG Games cukup terlihat dalam mengembangkan StarCraft II di Indonesia. Terakhir kali, mereka mengirimkan kontingen StarCraft II Indonesia ke Korea Selatan untuk melakukan latihan intensif.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Felix Huray (tengah) General Manager AKG Games. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Pada kesempatan yang sama, Felix Huray General Manager AKG Games juga mengatakan. “Kami AKG Games berusaha sebisa mungkin mendengar komunitas dalam membantu mengembangkan game besutan Blizzard, termasuk StarCraft. Apa yang diinginkan dari komunitas, kami akan fasilitasi sebisa mungkin, contohnya juga seperti program pelatihan ini.”

Namun mungkin saja AKG Games Series mempertandingkan serial Warcraft. Apalagi mengingat Warcraft III Reforged yang baru rilis, ditambah Blizzard juga baru mengumumkan perubahan terhadap esports World of Warcraft.

Jadi, apa Anda sudah siap untuk unjuk kemampuan dan menjadi yang terbaik di AKG Games Series?

Sumber header: Blizzard Press Center

Kolaborasi dengan Sulut Iron Fist, Hybrid Cup Hadir di Manado

Selama perjalanannya, Hybrid Cup berhasil menjadi salah satu brand kompetisi ternama di kalangan komunitas Fighting Game. Satu puncaknya adalah pada akhir pekan minggu lalu (8 Februari 2020), ketika gelaran Hybrid Cup Fighting Game Tournament berhasil membuat Hybrid Dojo jadi penuh sesak dan berhasil mencetak rekor jumlah peserta. Tidak berhenti sampai situ, Hybrid Cup kini juga mulai melebarkan sayap ke berbagai daerah lewat kerja sama dengan rekan komunitas lokal.

Setelah hadir di komunitas Surabaya lewat kerja sama dengan komunitas Drop the Cap, kali ini Hybrid Cup akan hadir di Sulawesi Utara, Kota Manado, lewat komunitas Sulut Iron Fist (SIF)! Gelaran SIF x Hybrid Cup menjadi turnamen pertama dari Hybrid yang hadir di luar pulau jawa, sekaligus menjadi penanda usaha Hybrid untuk mengembangkan komunitas Fighting Game di luar Jakarta.

Sumber: SIF Official Page
Sumber: SIF Official Page

Komunitas Sulut Iron Fist sendiri berdiri sejak 28 Januari 2018 lalu. Mengawali perjalanan dengan nama Tekken Center Sulut, komunitas ini hadir untuk memajukkan skena Tekken 7, terutama untuk daerah Sulawesi Utara dan sekitarnya.

“Dulu kita terbentuk karena sering main Tekken bareng aja. Terus akhirnya muncul inisiatif untuk membuat komunitas karena kita punya hobi yang sama. Awalnya ini berjalan hanya untuk have fun saja. Mulai 208 kita mulai lebih aktif dan serius di komunitas ini, sampai akhirnya berubah nama menjadi Sulut Iron Fist di pertengahan tahun 2019.” Cerita Vincentius Vinky Fransiscus Ong Ketua Komunitas Sulut Iron Fist.

“Antusiasme Fighting Game di Sulut terbilang cukup tinggi dan memang pemainnya paling banyak adalah Tekken 7. Sejauh pengalaman saya mengadakan beberapa turnamen, antusiasme FGC di Sulut terbilang cukup lumayan dengan jumlah peserta di kisaran 11 sampai 20 orang.” Lanjut Vincent.

Memperebutkan total hadiah sebesar Rp2.000.000, SIF x Hybrid Cup akan diselenggarakan pada tanggal 8 Maret 2020 mendatang. Kompetisi akan diadakan di IT Center Lt.5, Sparta Rental, kota Manado. Untuk mendaftar, Anda bisa melaju ke tautan di bawah ini, dengan biaya registrasi sebesar Rp50.000.

Link Pendaftaran: bit.ly/sifhybrid

Sumber: SIF Official Page
Sumber: SIF Official Page

“Terkait kerja sama ini, kami sangat senang sekali, dan komunitas menyambut dengan baik, karena ini adalah pertama kalinya Hybrid Cup ada di Sulut. Alhasil banyak pemain hebat di Sulut yang turut mendaftarkan diri, salah satunya adalah Umaumalele pemenang SIF TWT Dojo Tournament tahun lalu. Harapannya ini bisa memperkuat hubungan kerja sama antara SIF dengan Hybrid, dan dengan kerja sama ini bisa membuat skena kompetitif Tekken 7 semakin maju terutama untuk di daera luar Jabodetabek.” tutup Vincent.

Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat mengunjungi official Facebook Page Sulut Iron Fist atau memantau situs Hybrid.co.id serta akun media sosial Hybrid di InstagramTwitterFacebook, dan YouTube.