Survei Literasi Digital 2022: “Digital Culture” Meningkat, Namun “Digital Safety” Masih Rendah

Kementerian Kominfo bersama Katadata Insight Center meluncurkan Hasil Survei Status Literasi Digital 2022. Dalam laporan tersebut terungkap beberapa fakta menarik, di antaranya Indeks Literasi Digital Nasional mendapatkan skor 3,54. Pilar Digital Culture secara umum mendapatkan skor indeks tertinggi (3,84), sedangkan pilar Digital Safety mendapatkan skor indeks terendah (3,12).

Pengukuran Indeks Literasi Digital dilakukan melalui survei tatap muka yang dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2022. Survei Status Literasi Digital Indonesia melibatkan 10.000 di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota responden dengan metode multistage random sampling.

Menurut Direktur Pemberdayaan Informatika Bonifasius W. Pudjianto, hasil survei ini yang menghasilkan data berupa indeks, menjadi acuan bagi pemerintah untuk melihat kesuksesan kinerja dan melakukan perbaikan di area yang masih kurang. Dengan demikian bisa meningkatkan kolaborasi dengan kementrian lainnya hingga pihak terkait untuk meningkatkan literasi digital masyarakat Indonesia.

“Indeks ini penting untuk mengukur apa yang sudah kita hasilkan selama beberapa tahun terakhir. Literasi digital sebagai program nasional yang kita lancarkan sampai tahun 2024 mendatang, kami memiliki target bisa menjangkau sekitar 50 juta masyarakat Indonesia diberikan literasi digital. Dan semua bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan semua pihak terkait.”

Pengukuran Indeks Literasi Digital Indonesia 2022 mengacu kepada kerangka kerja dalam Road Map Literasi Digital 2020-2024. Kerangka kerja ini digunakan sebagai basis untuk merancang program dan kurikulum Program Gerakan Nasional Literasi Digital Indonesia 2020-2024.

Akses penggunaan internet

Dalam laporan tersebut terungkap, kebanyakan responden (85%) mengakses internet melalui handphone, sehingga mereka bisa mengakses internet di mana saja. Responden paling sering mengakses internet pada waktu petang di pukul 19.01 s/d 21.00 waktu setempat setelah mereka melakukan aktivitas sehari-hari. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, intensitas penggunaan internet cenderung menurun, khususnya setelah pukul 07.00.

Tercatat Gen-Y dan Z cenderung mengakses internet lebih lama dibandingkan kelompok usia lainnya. Pada kelompok muda ini, lebih banyak responden yang mengakses internet lebih dari 6 jam per harinya, sedangkan kebanyakan GEN-X dan Boomers mengakses selama 1 s/d 4 jam.

Dalam laporan juga terungkap media sosial merupakan sumber informasi terbesar bagi 72,6% responden. Begitu juga dengan televisi dan berita online yang secara konsisten menempati posisi sumber informasi kedua dan ketiga, dengan persentase 60% dan 27,5% di tahun ini.

Media sosial secara konsisten menjadi sumber informasi terpercaya kedua selama tiga tahun terakhir. Persentase responden yang mempercayai media ini secara signifikan meningkat. WhatsApp, Facebook, dan YouTube adalah tiga media sosial yang digunakan oleh lebih dari 70% responden selama tiga tahun terakhir.

Menurut Ketua Umum Siberkreasi Donny Budi Utoyo, besarnya kepercayaan masyarakat Indonesia kepada media sosial dalam hal pencarian informasi patut dicermati secara khusus. Hal ini memungkinkan besarnya penyebaran berita yang tidak benar atau disinformasi, dilihat dari cara kerja media sosial yang bukan hanya memberikan informasi yang benar namun juga berita yang tidak benar atau Hoax.

“Media sosial menjadi sumber informasi yang dipercaya nomor dua setelah televisi patut diperhatikan. Hal ini tentunya menjadi tidak masalah jika informasi yang dicari adalah benar atau konten positif, namun akan berbahaya jika berita tersebut adalah hoax,” kata Donny.

Menurut Donny penting bagi instansi pemerintah hingga pihak terkait seperti pemberitaan televisi lainnya memperhatikan hasil laporan ini. Meskipun ada kecenderungan penurunan jumlah responden yang mempercayai televisi sebagai sumber informasi di tahun 2022, namun media ini masih menjadi media yang paling banyak diakses oleh 43% responden.

Pentingnya digital safety

Hal menarik yang kemudian terungkap dalam laporan tersebut adalah, Digital Safety merupakan salah satu pilar yang mengalami kenaikan paling sedikit. Pada
pilar ini, sebagian besar dikontribusikan pada indikator terbiasa membuat password yang aman dengan kombinasi angka, huruf, dan tanda baca. Sedangkan indikator kemampuan membedakan e-mail berisi spam/virus/malware berkontribusi paling kecil.

Persoalan tentang data pribadi juga menjadi salah satu poin yang dibahas dalam laporan tersebut. Makin maraknya kasus kebocoran data-data pribadi yang terjadi saat ini, menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan terhadap data pribadi mereka. UU No. 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang disahkan pada Oktober 2022 diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kebocoran dan penyalahgunaan data dan risiko kejahatan siber lainnya.

Survei terhadap 10.000 responden secara nasional ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk tidak mengunggah data pribadi ke media sosial sudah relatif baik. Namun masyarakat masih perlu lebih berhati-hati agar terhindar dari berbagai kemungkinan serangan siber.

Menurut Donny menjadi penting bagi pihak terkait untuk memberikan dukungan dan panduan secara hands-on atau secara langsung kepada masyarakat Indonesia terkait dengan perlindungan data dan membagikannya secara online. Dengan demikian bisa meningkatkan kesadaran mereka terkait dengan pentinganya digital safety.

“Penerapan digital safety harus hands-on. Artinya akan lihat bagaimana menyesuaikan program yang terkait dengan digital security, bukan sekadar cara menggunakan Zoom saja, tapi untuk praktik harus hands-on, mulai dari cara install terkait dengan digital safety,” kata Donny.

Fenomena Tik Tok dan Literasi Digital yang Luput

Untuk sekian kalinya Kemenkominfo memberlakukan pemblokiran terhadap platform berbasis konten lalu membuka kembali dalam waktu yang relatif singkat. Saat ini blokir terhadap aplikasi video-musik Tik Tok, Selasa siang (10/7) resmi dibuka. Sebelumnya “gertakan” serupa juga pernah dilayangkan kepada Bigo Live.

Pada prinsipnya, saya tidak setuju dengan model pencegahan melalui mekanisme pemblokiran. Terlebih dalihnya adalah adanya konten negatif di platform tersebut, seperti yang terjadi pada Tumblr dan Reddit. Konten negatif akan selalu ada, kalau dicari-cari. Pun demikian platform WordPress.com, Blogger.com, Facebook, atau Twitter sekalipun.

Sering kali yang diisukan pemerintah adalah fitur dan jalur khusus untuk pelaporan. Demi pangsa pasar besar, penyedia platform biasanya langsung mencoba menuruti kemauan pemerintah. Hal senada dilakukan manajemen Tik Tok di Indonesia beberapa hari terakhir.

Untuk Tik Tok, solusi represif pemblokiran tampaknya menjadi jalan yang paling masuk akal. Tentu saya mempertaruhkan konsistensi penolakan terhadap pemblokiran dalam kasus ini, karena ada urgensi lain yang patut dipertimbangkan.

Melihat kondisi yang ada

Diungkapkan Menkominfo Rudiantara, alasan mendasar pemblokiran Tik Tok adalah adanya konten (yang cenderung) negatif dan banyak dikonsumsi anak-anak. Meskipun tidak ada data statistik yang bisa dipaparkan, namun jika melihat secara kasat mata, konsumen anak-anak memang mendominasi. Kemenkominfo mengaku juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

“Situs Tik Tok kami blokir. Banyak kontennya yang negatif terutama bagi anak-anak,” ujar Rudiantara dalam keterangan tertulisnya.

Dalih masyarakat yang menyayangkan pemblokiran Tik Tok umumnya mengungkapkan bahwa platform tersebut tidak salah, bahkan harusnya bisa digunakan untuk media kreatif. Benar demikian, saya pun setuju dan melayangkan hal yang sama saat Kemenkominfo memblokir Medium. Sayangnya permasalahan yang terjadi pada Tik Tok sudah menjadi fenomena. Kesan pertama pengguna Tik Tok adalah membuat postingan dengan kadar alay semaksimal mungkin, demi meraih viral.

Banyak kasus yang bisa dibuat contoh dan saya rasa semua juga sudah tahu. Sebagai platform Tik Tok tidak salah, karena keluaran dari sebuah alat bergantung pada penggunanya. Masalahnya pengguna yang kali ini ingin coba “diselamatkan” adalah kalangan anak. Secara teori (awalnya) aplikasi tersebut memang sudah dibatasi untuk pengguna berusia 12 tahun ke atas, tapi fakta di lapangan kan tidak semerdu itu.

Justifikasi lain mempertanyakan peran orang tua yang tidak bisa mengontrol anaknya saat menggunakan ponsel pintar. Menurut saya, hal ini adalah sebuah keniscayaan yang membutuhkan waktu lama untuk berproses.

Dalam istilah teknologi ada yang disebut dengan “digital native”, sederhananya digunakan untuk menyebut orang-orang yang sejak belia sudah dihidangkan ragam alat teknologi. Ada juga “digital immigrant”, yakni golongan tua yang sedang berusaha beradaptasi dengan teknologi. Keduanya memiliki kecepatan yang berbeda saat mengadopsi dan menggunakan teknologi, termasuk memahami perkembangan aplikasi di ponsel pintar.

Untuk kalangan digital immigrant, jangankan memahami keberadaan aplikasi Tik Tok. Untuk memahami operasi dasar di ponsel pintar saja membutuhkan waktu yang lama. Mereka merasa cukup saat bisa memanfaatkan untuk keperluan komunikasi, tidak semua, tapi saya yakin Anda juga mudah menemukan yang demikian. Dalam kondisi tersebut, dengan pemahaman yang tidak banyak soal teknologi dan aplikasi, lantas bagaimana mereka bisa memberikan literasi digital ke anaknya?

Saya pun tidak yakin orang tua anak pemain Tik Tok itu tahu apa yang dilakukan buah hatinya di aplikasi. Bahkan tentang apa yang mereka unggah pun saya kurang yakin mereka mengawasi. Maka di sini pemangku kebijakan dapat berperan melalui sistem. Saya menilai pemblokiran Tik Tok memiliki urgensi untuk mengubah persepsi penggunaan aplikasi kreatif, penghentian sementara dilakukan agar virus alay tadi tidak kunjung mendarah daging ke kalangan anak-anak.

Sepakat untuk hal baik, kenapa tidak? Dengan pemblokiran dan pemberitaan yang luas sedikit-demi sedikit turut memberikan informasi relevan kepada orang tua tentang fenomena yang sebenarnya terjadi. Ini adalah sebuah pembelajaran mahal.

Pasca pemblokiran Tik Tok berbenah

Sejak blokir dilepaskan, manajemen Tik Tok di Indonesia berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah dan institusi terkait dalam program pengembangan dunia digital, pemberdayaan wanita, perlindungan anak dan kejahatan siber. Melalui gagasan ini, Tik Tok akan merancang lebih banyak program dan kesempatan bagi pembuat konten untuk mengembangkan kreativitas mereka yang dapat memberikan dampak kepada komunitas dan mendistribusi lebih banyak konten edukasi digital.

Tik Tok juga berkolaborasi dengan ICT Watch dan jaringan Gerakan Nasional Literasi Digital dalam pengadaan beberapa seri program online dan offline untuk advokasi literasi digital dan mempromosikan konten edukasi penggunaan internet secara aman dan bijak, terutama di kalangan anak muda. Tik Tok juga sedang membicarakan kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk membuat program-program yang memastikan generasi muda memiliki pengalaman online yang aman, sehat dan edukatif.

Lantas, bukankah itu yang kita semua harapkan untuk masyarakat digital Indonesia yang lebih baik? Proses bisnis digital sangat bergantung pada sistem. Jadi idealnya sistem digital (termasuk aplikasi) harus didesain untuk meminimalisir hal negatif.