Yuneec Luncurkan Tiga Drone Baru di CES 2018

Tidak ada drone baru dari DJI di ajang CES tahun ini, hanya stabilizer Osmo Mobile 2 saja. Kedengarannya seperti kesempatan emas bagi para pesaingnya untuk mencuri perhatian? Anggap saja begitu, sebab Yuneec baru saja mengumumkan bukan satu, tapi tiga drone anyar sekaligus di CES 2018.

Drone yang pertama adalah Yuneec Typhoon H Plus, suksesor dari Typhoon H yang diperkenalkan tepat dua tahun silam. Sama seperti sebelumnya, fitur unggulannya adalah kemampuan mendeteksi dan menghindari rintangan dengan sendirinya berkat teknologi Intel RealSense.

Yuneec Typhoon H Plus

Lalu apa yang membuatnya pantas menyandang titel “Plus”? Navigasi dan kualitas kamera yang lebih baik jawabannya. Keenam rotornya berukuran lebih besar, tapi di saat yang sama dapat beroperasi hingga 40% lebih senyap. Lebih lanjut, Yuneec juga mengklaim Typhoon H Plus bisa tetap stabil mengudara meski angin bertiup sekencang 48 km/jam.

Untuk kameranya, Typhoon H Plus mengandalkan sensor berukuran 1 inci, dengan resolusi 20 megapixel untuk foto still. Video tak hanya bisa direkam dalam resolusi 4K, tapi juga dalam kecepatan 60 fps. Di samping itu, Typhoon H Plus juga menjanjikan hasil rekaman di kondisi minim cahaya yang lebih baik.

Yuneec juga bilang bahwa mereka telah mendesain ulang controller uniknya yang berbasis Android dan mengemas layar 7 inci untuk menampilkan hasil rekaman secara real-time dalam resolusi 720p. Soal daya baterai, Typhoon H Plus diyakini mampu mengudara selama 25 menit nonstop dalam cuaca normal.

Sama seperti sebelumnya, Yuneec menarget kalangan profesional untuk Typhoon H Plus. Pemasarannya akan dimulai pada babak pertama 2018, dengan harga $1.800, sama persis seperti pendahulunya.

Yuneec HD Racer / Yuneec
Yuneec HD Racer / Yuneec

Drone yang kedua adalah HD Racer, sebuah quadcopter mini yang, sesuai namanya, ditujukan untuk penggemar balap drone. Dibekali mode yang berbeda untuk pengguna pemula atau yang sudah berpengalaman, HD Racer juga siap mengudara di ‘sirkuit’ indoor berkat konstruksinya yang tahan banting serta baling-baling yang terlindungi.

Sesi balapan bakal diabadikan dalam resolusi 1080p 60 fps, dan tentu saja sang pilot bisa memonitornya secara live dengan latency yang minimal. Yang cukup unik, drone ini bisa ‘bangun’ dengan sendirinya saat menabrak objek dan terbalik

Harganya? $180 saja, akan tetapi konsumen masih harus menunggu sampai babak kedua tahun 2018.

Yuneec Firebird FPV / Yuneec
Yuneec Firebird FPV / Yuneec

Terakhir, ada Firebird FPV yang merupakan drone tipe fixed-wing pertama dari Yuneec. Berbekal satu baling-baling di belakang, pengoperasiannya lebih mirip pesawat ketimbang helikopter. Di ujung hidungnya tertanam sebuah kamera untuk merekam dalam sudut pandang pertama.

Yuneec tak lupa menyematkan sejumlah fitur canggih seperti kemampuan untuk pulang dan mendarat di titik lepas landasnya secara otomatis, plus fitur geofencing dan fitur pengaman yang mencegah drone terbang terlalu rendah. Baterainya sendiri diperkirakan bisa bertahan selama 30 menit waktu mengudara.

Yang sedikit mengejutkan adalah banderol harganya, yakni $700. Yuneec berencana menjualnya di babak pertama tahun ini.

Sumber: The Verge dan Yuneec.

Belum Dua Tahun, GoPro Resmi Mundur dari Bisnis Drone

Sungguh malang nasib GoPro. Belum dua tahun menekuni bisnis drone, produsen action cam nomor satu itu sudah menyerah dan memutuskan untuk mundur sepenuhnya. Karma, drone perdananya yang diperkenalkan pada bulan September 2016, sudah berhenti diproduksi, dan GoPro akan meninggalkan area kekuasaan DJI ini sesaat setelah stok Karma habis.

Keputusan ini didasari oleh beratnya persaingan di segmen drone, ditambah lagi dengan tidak mendukungnya regulasi seputar drone di berbagai negara. Meski demikian, GoPro masih akan terus memberikan layanan purna jual bagi konsumen yang sudah terlanjur membeli Karma.

Apakah ini berarti GoPro juga akan berhenti memasarkan aksesori Karma Grip. Sayangnya sejauh ini belum ada informasi sama sekali mengenai hal tersebut. Andai ada demand yang cukup besar dari konsumen, saya yakin GoPro masih akan lanjut memproduksinya, akan tetapi lain ceritanya apabila GoPro benar-benar ingin melupakan kenangan pahitnya selama menggeluti segmen drone.

Kenangan pahit? Ya, sebab peluncuran Karma bukanlah tanpa masalah. Tidak sampai dua bulan setelah dipasarkan, semua unit Karma langsung ditarik oleh GoPro akibat masalah teknis. Tiga bulan setelahnya, barulah GoPro kembali memasarkan Karma setelah menginvestigasi penyebab masalahnya, yang ternyata cuma sesepele mekanisme pengunci baterai yang tidak optimal.

GoPro Karma

Problem lain yang juga mempengaruhi pengambilan keputusan yang mengejutkan ini adalah masalah finansial yang GoPro alami. Per akhir September kemarin, GoPro sudah merumahkan 254 karyawannya, yang sebagian besar berasal dari divisi drone. Bukti lainnya, GoPro memangkas harga jual Hero6 Black sebesar $100 meski action cam tersebut belum ada enam bulan terjun ke pasaran.

Isu keuangan ini sejatinya cukup serius. CNBC melaporkan bahwa beberapa bulan lalu GoPro sudah meminta bantuan institusi finansial kenamaan, J.P. Morgan, untuk mencari perusahaan yang tertarik mengakuisisi GoPro, atau sebatas kemitraan dengan perusahaan lain.

CEO GoPro, Nick Woodman, menjelaskan bahwa mereka mempertimbangkan peluang GoPro untuk menjadi anak usaha dari perusahaan yang lebih besar, dengan maksud supaya GoPro bisa bertumbuh dengan skala yang lebih besar lagi. Meski begitu, GoPro berharap bisa tetap beroperasi secara mandiri andaikata wacana ini bisa terwujudkan.

Sumber: Ars Technica dan GoPro.

Fat Shark 101 Adalah Paket Lengkap untuk Memulai Hobi Balap Drone

Merebaknya tren drone seakan menghidupkan kembali hobi para penggemar mobil R/C (remote control), yaitu balapan. Namun kalau dulu balapannya berlangsung di daratan, sekarang ajang adu cepatnya melibatkan robot terbang alias drone.

Balap drone memang masih tergolong baru, akan tetapi trennya terus melambung, dan organisasi sekelas ESPN pun sempat mengutarakan harapannya agar drone racing bisa sepopuler Formula 1. Singkat cerita, balap drone tak bisa lagi dipandang sebelah mata, bahkan DJI pun belum lama ini merilis semacam headset yang dikhususkan untuk hobi baru ini.

Di tempat lain, ada pabrikan bernama Fat Shark yang mengawali kiprahnya di bidang mobil R/C, namun belakangan menjadi populer di kalangan pembalap drone berkat deretan FPV (first person view) headset-nya. Menjelang pergantian tahun, Fat Shark memutuskan untuk memulai babak baru dengan merilis racing drone-nya sendiri.

Fat Shark 101

Dijuluki Fat Shark 101, ini merupakan paket lengkap seharga $249 untuk memulai hobi balap drone. Pada bundelnya, konsumen akan mendapatkan sebuah drone, FPV headset dan remote controller, yang semuanya siap untuk dijadikan gaco balapan sesaat setelah dikeluarkan dari dalam boks, tanpa perlu merakit apa-apa.

Drone-nya sendiri cukup imut, dengan wujud menyerupai seekor ikan hiu. Untuk headset-nya, meski terkesan simpel namun Fat Shark cukup yakin akan kemampuannya menyajikan live feed dari kamera drone tanpa mengalami lag atau stuttering.

Meski Fat Shark mendeskripsikannya sebagai “Drone Training System”, 101 sebenarnya merupakan sebuah platform yang dapat di-upgrade. Artinya, sejumlah komponennya bisa dilepas dan diganti dengan yang baru atau yang lebih superior, semuanya tinggal menyesuaikan dengan bakat pengguna yang semakin terasah.

Sumber: The Verge.

Pitta Ialah Drone Selfie 4K yang Bisa Berubah Jadi Action Cam

Meski berbeda kegunaan serta cara pengoperasian, drone dan action cam punya satu karak-teristik serupa. Umumnya, mereka didesain agar tahan banting serta sanggup menahan elemen alam yang berpeluang merusak komponen elektroniknya. Tim Eyedea punya ide menarik dalam mengembangkan produk barunya: mereka menggabungkan dua konsep distingtif itu jadi satu perangkat unik.

Lewat Kickstarter, Eyedea memperkenalkan Pitta, sebuah drone selfie yang juga bisa berubah menjadi kamera action serta kamera pengawas. Selain mampu terbang, kita dapat memanfaatkannya sebagai device wearable ataupun mountable. Untuk mendukung mode pemakaian berbeda itu, Pitta mengusung tubuh berukuran mungil serta konstruksi semi modular.

Pitta 3

Pitta mempunyai penampilan seperti bola. Diameternya sebesar 170-milimeter dan bobot hanya 200-gram – kurang lebih seberat smartphone. Di mode ini, ia dapat bekerja layaknya kamera action biasa serta ditaruh di docking charge agar selalu aktif dan bisa dimanfaatkan jadi kamera pengawas rumah. Pitta juga mempunyai tiga lubang mount universal, sehingga mudah untuk dipasangkan ke tripod, sepeda, atau aksesori lain.

Pitta 1

Untuk mengubahnya jadi drone, Anda hanya perlu melepas bagian atasnya (bisa dipasang via gerakan ‘twist-to-lock‘), dan menyambungkan modul rotor-nya. Pitta terbang menggunakan empat baling-baling, dan sesudah memasang rotor, Anda dapat mengendalikan drone melalui aplikasi mobile atau memerintahkannya mengikuti operator. Eyedea membekalinya bersama banyak fitur: auto-follow, mengambil foto panorama, hingga kemampuan mengorbit.

Pitta 4

Proses pengendalian Pitta dijanjikan sangat mudah, bahkan jika Anda belum pernah menerbangkan drone sekalipun. Contohnya saja ketika ingin menggunakan auto-follow, Anda hanya tinggal mengunci target dengan menggambar (drag-and-draw) di app. Setelah itu, Pitta akan mengikuti sasaran dan merekam secara otomatis.

Pitta 3

Sebagai drone, Pitta mengetahui kondisi medan di sekitarnya, bisa Anda suruh melayang di satu area, mendarat secara otomatis, hingga pulang ke lokasi awal berkat dukungan GPS. Pitta mampu merekam video di resolusi 4K atau slow motion dengan 60fps, mengambil foto burst serta time lapse, dan Anda juga dapat melakukan live stream. Berbekal baterai internalnya, Pitta bisa terbang selama 15 menit. Jika daya baterai mulai menipis, app segera memberikan peringatan.

Pitta 2

Pitta sudah bisa Anda pesan sekarang di situs crowdfunding Kickstarter. Versi basic-nya (kamera, modul drone, cradle, adaptor, gift box dan manual) dijajakan seharga mulai dari US$ 270, sedangkan bundel lengkap (plus pelindung baling-baling) dibaderol mulai dari US$ 300.

DJI Goggles RE Bantu Anda Rasakan Pengalaman Balap Drone dari Sudut Pandang Orang Pertama

Masih ingat dengan DJI Goggles, perangkat mirip VR headset yang memungkinkan penggunanya untuk mengendalikan drone hanya dengan menggerak-gerakkan kepalanya sekaligus melihat apapun yang ditangkap kamera drone dari sudut pandang orang pertama? DJI baru saja merilis varian barunya yang bernama DJI Goggles RE (Racing Edition).

Seperti yang sudah bisa diduga, perangkat ini dimaksudkan bagi para penggemar balap drone. Desainnya sama persis, hanya saja balutan warna putihnya telah diganti dengan hitam matte, diikuti oleh bantalan kulit berwarna merah yang mengitari kepala pengguna.

Hampir semua fitur DJI Goggles versi standar masih dipertahankan, dan versi ini juga kompatibel dengan banyak model sekaligus, tepatnya Spark, Mavic Pro, Phantom 4 dan Inspire 2. Lebih menarik lagi, Goggles RE rupanya juga kompatibel dengan sejumlah racing drone dengan memanfaatkan sambungan ke controller-nya.

DJI Goggles RE (Racing Edition)

Tidak cuma drone, Anda bahkan bisa menggunakannya bersama mobil R/C kalau mau. Rahasianya terletak pada dua modul pelengkap Goggles RE, yakni DJI OcuSync Air Unit dan OcuSync Camera, yang dapat dipasangkan ke mobil R/C, maupun beragam kendaraan lain yang dikendalikan dengan remote control.

OcuSync Air Unit pada dasarnya merupakan modul pemancar sinyal yang memanfaatkan frekuensi 2,4 atau 5,8 GHz untuk meneruskan video dari drone atau mobil R/C ke Goggles RE, dengan latency yang sangat rendah di kisaran 50 ms. Kalau pengguna memilih resolusi preview video 480p, OcuSync Air Unit bahkan bisa menyuguhkan koneksi yang stabil hingga sejauh 7 kilometer.

OcuSync Camera di sisi lain mengandalkan sensor berukuran 1/3 inci untuk merekam video beresolusi maksimum 1280 x 960 pixel. Lensanya memiliki sudut pandang yang cukup luas di angka 148 derajat, dan yang lebih menarik lagi, modul kamera ini mengandalkan global shutter agar efek rolling shutter yang kerap muncul dalam aksi-aksi cepat bisa tereliminasi.

DJI Goggles RE (Racing Edition)

Selebihnya, fitur yang ditawarkan Goggles RE identik dengan Goggles versi standar. Baterainya diperkirakan bisa bertahan selama enam jam sebelum perlu diisi ulang.

DJI bakal memasarkan Goggles RE mulai akhir November ini seharga $549. OcuSync Air Unit dan OcuSync Camera dibundel bersama Goggles RE, dan dibanderol seharga $859.

Sumber: DJI.

Parrot Luncurkan Drone untuk Regu Penyelamat dan Petani

Dominasi DJI di segmen drone untuk konsumen umum sungguh tidak terbendung. Bahkan produsen sekelas Parrot pun sudah merasakan dampaknya, yakni menurunnya angka penjualan sampai-sampai mereka dengan terpaksa harus memecat hampir 300 karyawan di bulan Januari lalu.

Dari situ Parrot memutuskan untuk mengubah strategi dan mengalihkan fokusnya ke segmen drone komersial. DJI memang juga ‘bermain’ di segmen ini, tapi setidaknya dominasinya tidak sebesar di segmen drone untuk konsumen umum.

Parrot Bebop-Pro Thermal

Peralihan fokus ini melahirkan dua drone baru sekaligus: Parrot Bebop-Pro Thermal dan Parrot Bluegrass. Keduanya ditargetkan untuk pasar yang berbeda; Bebop-Pro Thermal untuk pemadam kebakaran dan regu penyelamat berkat kamera pendeteksi panasnya, sedangkan Bluegrass untuk bidang agrikultur berkat sensor multispectral-nya.

Bebop-Pro Thermal pada dasarnya memiliki desain yang sama persis seperti Bebop standar, hanya saja di belakangnya telah dipasangi kamera thermal Flir One Pro yang sanggup mendeteksi panas sampai suhu 400 derajat Celsius. Di tangan regu penyelamat misalnya, drone ini bisa membantu menemukan korban yang tertimbun reruntuhan.

Parrot Bluegrass

Lain halnya dengan Parrot Bluegrass. Berbekal modul sensor multispectral Parrot Sequoia, quadcopter yang satu ini dimaksudkan untuk membantu para petani memonitor lahannya secara efisien. Dalam satu kali charge, Bluegrass diklaim sanggup memantau lahan hingga seluas 30 hektar.

Mengingat yang menjadi target Parrot kali ini adalah kalangan profesional, wajar apabila harga kedua drone ini cukup premium. Bebop-Pro Thermal dibanderol $1.500, sedangkan Bluegrass lebih mahal lagi di angka $5.000.

Sumber: Parrot dan Engadget.

WiBotic PowerPad Adalah Wireless Charger untuk Drone

Kehadiran kamera, GPS beserta segudang sensor lainnya merupakan alasan mengapa mayoritas drone hanya bisa mengudara selama beberapa menit saja. Baterai yang dapat diganti dengan modul lain merupakan salah satu solusi, tapi dengan semakin populernya penggunaan drone di sektor komersial, solusi lain yang lebih efektif menurut perusahaan bernama WiBotic adalah wireless charging.

Dari situ lahirlah WiBotic PowerPad, sejenis platform berukuran 90 x 90 cm yang berfungsi sebagai wireless charger ketika sebuah drone mendarat di atasnya. Juga merupakan bagian dari PowerPad adalah sebuah modul kecil dan antena yang bisa dipasangkan dengan mudah ke berbagai macam drone, termasuk yang berukuran besar dan biasa digunakan di kawasan industri.

PowerPad terbuat dari perpaduan bahan aluminium dan plastik, serta diklaim tahan terhadap cuaca yang tidak bersahabat. Ia bisa ditempatkan di atas atap gedung untuk, misalnya, drone yang bertugas menginspeksi ketika alarm peringatan berbunyi di sebuah pabrik atau tambang, atau di dalam ruangan untuk drone yang bertugas memanajemen inventaris gudang.

WiBotic PowerPad

Charging menggunakan PowerPad memerlukan waktu satu sampai dua jam untuk drone seukuran DJI Inspire, sedangkan drone industrial yang lebih besar lagi membutuhkan waktu tiga sampai lima jam. Ke depannya, WiBotic berencana merilis versi lain PowerPad yang memiliki kapasitas charging lebih cepat.

Proses charging-nya sendiri berjalan secara otomatis sesaat setelah drone mendarat di atas PowerPad. Operator bisa mengatur kinerja charging-nya dari kejauhan; bisa pelan untuk charging semalaman demi memperpanjang umur baterai, bisa juga cepat untuk di jam-jam kerja.

WiBotic saat ini sudah memasarkan PowerPad, namun seperti yang saya singgung di awal, target pasar utamanya adalah sektor komersial. Harganya ada di kisaran ribuan dolar, tergantung seberapa weatherproof fisik PowerPad yang dibutuhkan.

Sumber: WiBotic dan GeekWire.

Kejutan! Polaroid Luncurkan Beragam Jenis Drone Baru

Karena terobosan yang ditawarkan founder Edwin H. Land di ranah fotografi, nama Polaroid kini sinonim dengan pemanfaatan kamera instan berbekal filter polarizer. Kamera instan tetap punya penggemarnya sendiri meski mayoritas produsen sudah menawarkan solusi digital yang lebih simpel dan murah. Dan tentu saja, kesuksesan itu tak membuat Polaroid terjebak dalam kenangan masa lalu.

Bahkan sebelum diakuisisi keluarga Smolokowski dan memperkenalkan OneStep 2, Polaroid lama telah bermain di segmen action camera melalui line-up Cube. Dan kali ini, mereka mengungkap sejumlah produk spesialis fotografi dan perekaman video udara secara mendadak dan tidak tanggung-tanggung.

 

Polaroid PL2900

Polaroid drone 1

Mengusung desain quad-copter, PL2900 sepertinya merupakan varian drone paling high-end Polaroid, walaupun spesifikasi dan fiturnya tak secanggih tipe  premium dari DJI atau Parrot. Ia dapat merekam di resolusi 720p sembari men-stream video langsung ke smartphone, terbang selama 10 menit, bisa melesat di kecepatan maksimal 26km per jam dengan tiga mode laju, dan menjangkau jarak 304-meter. Selain itu, drone turut dibekali sistem penstabil enam-poros dan remote control 2,4GHz.

Aspek paling menarik dari PL2900 ialah harganya. Produk ini hanya dibanderol US$ 300.

 

Polaroid PL3000

Polaroid drone 2

PL3000 memiliki kemampuan yang kurang lebih serupa PL2900, baik pada jangkauan, daya tahan baterai, kamera HD, fitur streaming Wi-Fi dan juga dukungan remote 2,4GHz serta stabilizer gyroscope enam-poros. Perbedaannya terletak pada wujud dan kecepatan. PL3000 dapat melesat hingga 32km per jam dengan dua level percepatan, dan memiliki penampilan tubuh seperti cakram plus empat lengan baling-baling. Harganya US$ 50 lebih rendah dari PL2900.

 

Polaroid 

Polaroid drone 3

Jika Anda sedang berhemat tapi ingin sekali mencoba ‘bermain’ drone, PL1300 adalah jawabannya. Perangkat quad-copter ini merupakan salah satu drone budget Polaroid, dijajakan hanya US$ 40. PL1300 menyimpan kamera built-in 480p, mampu merekam sembari terbang selama enam menit, dengan jarak jangkauan 30-meter. Tak seperti dua model sebelumnya, PL1300 tidak dilengkapi Wi-Fi.

Ada cukup banyak varian drone lain yang telah diperkenalkan Polaroid di situs resmi mereka, di antaranya PL600, PL800, PL1000, PL2000, PL2300, PL2500, hingga PL2600. Dan dari pengamatan sementara, harganya belum ada yang melampaui US$ 300. Ada kemungkinan produk-produk ini merupakan hasil kolaborasi Polaroid dengan perusahaan lain, tidak murni dikembangkan oleh mereka sendiri.

Tiga drone di atas sudah mulai dipasarkan, bisa dibeli di Amazon.

Aevena Aire Adalah Robot Terbang Indoor Sekaligus Kamera Keamanan

Ada banyak kamera pengawas yang bisa kita gunakan di rumah atau kantor untuk meningkatkan keamanan. Harganya beragam, tergantung dari kecanggihan serta kelengkapan fiturnya. Namun kelemahan terbesar kamera CCTV standar terletak pada ‘titik buta’ karena perangkat ini terpaut di satu posisi. Solusinya, Anda harus memakai lebih dari satu unit.

Sebuah solusi inovatif ditawarkan oleh tim Aevena, dengan ide yang diadopsi dari perangkat spesialis videography udara: drone. Buat membantu mengamankan tempat tinggal Anda, mereka memperkenalkan Aire, drone sekaligus kamera pengawas, dirancang agar dapat terbang serta bermanuver di kondisi indoor secara efektif. Aire dijanjikan siap menjaga properti serta anggota keluarga Anda.

Berbeda dari drone spesialis fotografi umumnya, Aire tidak mengusung rancangan standar. Tubuhnya mempunyai penampilan seperti tabung, menyimpan baling-baling pendorong di bagian dalam casing yang kuat namun empuk. Dengan begini, bahkan jika ada insiden tak terduga, Aire tidak merusak furnitor, menyakiti hewan peliharaan atau buah hati Anda. Saat terbang, bunyi putaran rotor-nya juga tidak sebising drone biasa.

Aevena Aire 2

Aire dibekali kamera 4K dan mampu memutar arahnya dengan mudah. Ia juga menyimpan sensor 360 derajat, memungkinkannya mendeteksi dan menghindari rintangan. Robot terbang ini juga sanggup mensimulasi perspektif natural manusia, layaknya saat Anda berjalan di dalam rumah. Proses kendali dan pengawasan bisa dilakukan sepenuhnya melalui app smartphone secara real-time.

Aevena Aire 3

Developer mengembangkan Aire sebagai solusi keamanan dan pemantauan all-in-one 24 jam. Dalam mode standby (disebut Watchdog Mode), segala sensor penerbangan dan microphone digunakan untuk mengawasi gerakan serta suara-suara mencurigakan. Jika Aire mendeteksinya, sistem akan menotifikasi Anda, dan Anda dapat meluncurkan drone dari docking buat segera memeriksanya.

Aevena Aire 1

Drone juga memperoleh perlindungan dari upaya peretasan, dengan memanfaatkan sistem terenkripsi untuk berkomunikasi – antara Aire, Aevena Cloud dan smartphone Anda. Dan hebatnya lagi, Aire bisa berfungsi sebagai platform telepresence dan turut dilengkapi kemampuan updating over-the-air, membuka potensi penggunaannya lebih luas lagi: sanggup memetakan rumah, mengukur luas ruang, melakukan navigasi secara otomatis, berpatroli, kemudian kembali ke docking saat baterai mulai menipis.

Kemampuan Aire telah disaksikan langsung oleh sejumlah media ternama seperti Digital Trends serta Geek. Dan via situs crowdfunding  Kickstarter, Anda sudah dipersilakan untuk memesannya. Versi beta drone Aevena Aire ditawarkan di harga mulai dari US$ 750 – separuh dari harga retail.

Kecil tapi Gesit, Drone Parrot Mambo FPV Diciptakan untuk Balapan

Parrot baru saja memperkenalkan sebuah drone mini yang cukup menarik. Bernama Mambo FPV, ia sebenarnya merupakan kurir rayuan gombal yang sama seperti yang diluncurkan tahun lalu, namun yang telah beralih fungsi menjadi drone balap dengan bantuan sebuah kamera 720p dan headset ala Samsung Gear VR.

Mambo FPV dapat terbang hingga setinggi 100 meter dan dalam kecepatan maksimum 29 km/jam. Untuk memudahkan pengguna, Parrot telah melengkapinya dengan tiga mode penerbangan: Easy, Racing dan Drift, yang dapat dipilih sesuai dengan tingkat penguasaan pengguna.

Selain untuk memotret dan merekam video, kamera HD-nya juga mendukung fungsi live streaming. Namun yang lebih penting justru adalah perannya sebagai mata sang pilot dalam ajang balap drone. Sudut pandang orang pertama ini dimungkinkan berkat aksesori pendamping berupa headset yang dapat diselipi smartphone hingga yang berlayar 6-inci.

Parrot Mambo FPV

Untuk mengendalikan drone, pengguna bebas memilih untuk menggunakan controller bawaannya atau smartphone dengan bantuan aplikasi pendamping. Mambo diestimasikan dapat mengudara selama 10 menit nonstop sebelum baterainya perlu dicas kembali selama sekitar 25 menit menggunakan adapter fast-charging 2,6 ampere.

Parrot Mambo FPV dijadwalkan masuk ke pasaran mulai bulan ini juga seharga $180, lebih mahal $60 dari versi standarnya yang dijuluki “mesin guyonan” oleh CEO Parrot sendiri.

Sumber: Engadget.