Amerika Serikat Akan Regulasi Loot Box, Apa Artinya Untuk Ekosistem Esports?

Perkara microtransaction dan loot box atau sistem gacha sudah beberapa waktu lalu menjadi perdebatan badan legislatif pemerintahan di Barat sana. Setelah beberapa negara di Eropa angkat bicara soal hal ini, Amerika Serikat kini akhirnya turut bicara soal permasalahan ini.

Masalah ini terangkat ke permukaan setelah senator Amerika Serikat, Josh Hawley, mencanangkan sebuah peraturan untuk meregulasi microtransaction di dalam game. Proposal regulasi tersebut diberi nama sebagai The Protecting Children from Abusive Games Act. Mengutip rilisan pers sang senator, sesuai dengan namanya, kebijakan ini dibuat dengan fokus untuk melindungi anak dari praktek monetisasi eksploitatif lewat sistem pay to win dan loot box yang umum ada di dalam game.

Maka dari itu, jika regulasi ini berhasil diterima oleh pemerintahan, badan legislatif Amerika Serikat akan melarang penjualan loot box pada game yang dirancang untuk pemain berusia di bawah 18 tahun. Jadi, hanya game dengan rating 18+ yang bisa memiliki sistem loot box di dalamnya.

Sumber:
Senator Josh Hawley, sosok yang mencanangkan kebijakan regulasi loot box di Amerika Serikat. Sumber: News-Leader

Entertainment Software Association (ESA), yang merupakan regulator dari sistem rating ESRB langsung angkat bicara soal hal ini. Mengutip Esports Insider, berikut apa yang dikatakan ESA: “beberapa negara termasuk Irlandia, Jerman, Denmark, Australia, New Zealand, dan Britania Raya sudah menyatakan bahwa loot box bukan perjudian.”

“Kami ingin berbagi kepada pak Senator soal perangkat dan informasi yang disediakan oleh pihak industri game. Perangkat tersebut memungkinkan para orang tua untuk mengendalikan pengeluaran mata uang nyata di dalam game. Alat tersebut memungkinkan para orang tua kini dapat membatasi atau bahkan melarang pembelian di dalam game dengan menggunakan perangkat parental control yang mudah digunakan”.

Perdebatan soal microtransaction dan loot box sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu. Tiongkok dan Korea Selatan sudah terlebih dahulu meregulasi sistem loot box. Pada dua negara tersebut, pengembang game harus mengungkap besaran kesempatan untuk mendapatkan berbagai item yang ada di dalam sebuah loot box.

Australia juga sempat memperdebatkan soal hal ini. Mereka juga merupakan negara pertama yang melakukan riset dan mengatakan bahwa loot box punya sifat mirip seperti judi secara psikologis. Pada akhirnya, Australia mencoba menerapkan regulasi yang mirip seperti apa yang diajukan oleh senator Amerika Serikat tersebut, membatasi penjualan loot box pada game dengan rating 18+ saja. Sayangnya regulasi tersebut belum diterima oleh pihak legislatif Australia.

Apa Arti Regulasi Microtransaction Terhadap Ekosistem Esports?

Sumber: Dota 2 Official Blog
Sumber: Dota 2 Official Blog

Pada akhirnya, kita tidak bisa melepaskan antara regulasi microtransaction di dalam game dengan ekosistem esports. Hal ini mengingat beberapa game esports yang sifatnya kompetitif juga turut menggunakan sistem ini. Game-game tersebut menggunakan sistem dalam bentuk loot box, untuk memberikan berbagai macam skin yang bisa mempercantik penampilan karakter di dalam game. Contoh nyatanya adalah game seperti CS:GO, Overwatch, atau Dota 2.

Lalu bagaimana dampak regulasi loot box dan microtransaction terhadap ekosistem esports? Hal tersebut sebenarnya tergantung bagaimana bentuk regulasinya, dan bagaimana hubungan antara sistem microtransaction yang diterapkan di dalam game, dengan ekosistem esports yang sudah berjalan.

Mari kita berandai-andai ada regulasi yang isinya melarang sepenuhnya microtransaction yang bersifat pay to win serta loot box. Kalau regulasi ini berlaku secara internasional, mungkin hype dan hadiah Dota 2 The International mungkin tidak akan sebesar seperti sekarang. Kenapa? Sistem Battle Pass di Dota 2 merupakan sebuah bentuk microtransaction yang menggunakan sistem loot box, dan terintegrasi dengan kompetisi Dota 2 The International.

Jadi kalau regulasi tersebut melarang sistem loot box, maka Battle Pass mungkin jadi terbatas hanya pembelian Battle Pass Level 1 saja. Anda jadi tidak dapat membeli level untuk membuka skin yang menggunakan sistem loot box. Tidak bisa membeli level, berarti tidak ada kontribusi hadiah untuk Dota 2 The International. Artinya hadiah TI akan jadi lebih kecil, yang membuat hype Dota 2 The International menurun.

Scene CS:GO juga bisa jadi scene esports lain yang turut terkena dampaknya. Hype ekosistem esports CS:GO dijaga lewat item in-game yang sifatnya loot box. Memang ekosistem esports CS:GO tidak seperti Dota, yang mana pemain dapat menggunakan microtransaction untuk menyumbang total hadiah turnamen. Namun tanpa kehadiran item in-game berupa sticker yang dijual lewat sistem loot box, ekosistem esports CS:GO mungkin tidak akan hype seperti sekarang.

Soal microtransaction dan loot box sebenarnya memang lebih esensial untuk diperdebatkan, dibanding soal dampak konten game terhadap perilaku kekerasan. Sebab sistem ini seperti buah simalakama, satu sisi memberi keuntungan dan berfungsi menjaga game tetap hidup. Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri sistem ini punya dampak tersendiri di dalam masyarakat.

Pemerintah Indonesia sebenarnya harus mulai sadar soal masalah ini. Apalagi setelah kasus anak membeli item in-game tanpa pengawasan orang tua yang sempat merebak waktu itu.

Dota 2 MDL Paris Major 2019 Sejauh Ini, Barat Mendominasi, Tiongkok Kembali Lesu?

Saat ini sedang berjalan kompetisi Major dari Dota 2 Pro Circuit musim 2018-2019. Kompetisi tersebut adalah Mars Dota 2 League Disneyland Paris Major. Kompetisi yang jadi unik karena bertanding di taman hiburan Disneyland ini, memperebutkan total hadiah sebesar US$1 juta dan poin DPC sebesar 15.000 poin.

Saat ini, turnamen yang berlangsung sampai 12 Mei 2019 mendatang ini sudah memasuki fase bracket. Apa saja yang sudah terjadi? Berikut rekap singkat dari Hybrid.co.id

Tim Barat yang Masih Dominan

Sumber: Twitter @MarsMedia
Sumber: Twitter @MarsMedia

Kalau mengikuti TI Curse, tahun ganjil memang tahun milik tim-tim asal Barat di kancah kompetisi Dota 2. Ternyata, kutukan tersebut masih belum terpatahkan sampai sekarang. Tim Barat masih mendominasi di tahun ganjil, setidaknya jika berdasarkan bracket MDL Paris Major. Sekarang tersisa empat tim di upper bracket, dan semuanya adalah tim Barat, Team Secret, EG, NiP, dan OG.

Belakangan, tim asal Barat memang cenderung sedang dominan. Dari 5 besar peringkat DPC saja, ada tiga tim asal Barat yaitu Virtus Pro, Team Secret, dan Evil Geniuses. Apalagi Team Secret yang belakangan sempat menang beruntun di dua turnamen, Chongqing Major 2019 dan ESL One Katowice.

Membahas soal tim Barat, memang menarik membahas Team Secret pada musim ini. Selain performa mereka yang mendadak jadi sangat kuat, sosok wonderkid Michat “Nisha” Jankowski juga jadi hal lain yang menarik untuk di simak. Selama MDL Team Secret kembali menunjukkan permainannya dengan sangat baik.

Tercatat mereka berhasil sapu bersih fase grup. Mereka sempat tersandung satu kali saat melawan PSG.LGD di babak bracket, namun tetap berhasil memenangkan permainan berkat draft Pudge yang unik yang dimainkan oleh Ludwig “Zai” Wahlberg. Menariknya, walau bicara soal dominasi Barat, Virtus Pro malah terjungkal pada awal-awal bracket.

Mereka melawan juara TI tahun lalu, OG. Pertandingan sebenarnya berjalan cukup sengit di awal-awal, tapi entah kenapa VP malah goyah setelah rentetan kesalahan yang dilakukan. Pertandingan selesai dengan cukup cepat, VP tergelincir ke lower bracket setelah kalah 2-0 dari OG. Padahal performa VP terbilang sedang cukup konsisten belakangan. Berhasil menangkan satu major dan menjadi runner-up di dua major lainnya.

Pada sisi lain, Ninja in Pyjamas, juga menjadi tim Barat lain yang menjadi algojo tim Dota Tiongkok selain dari Team Secret. Melawan Vici Gaming, dua game berjalan dengan cukup cepat, kedua tim saling bertukar poin dengan sttrategi permainan agresif. Game terakhir, Phantom Lancer dari Marcus “Ace” Hoelgaard berhasil meng-carry tim dengan sangat baik. Mendominasi sepanjang permainan, amankan 10 ribu net-worth dalam 16 menit, Ace membuat VG jadi kelimpungan. Tak terhentikan, permainan selesai dalam 32 menit, kemenangan bagi NiP.

Performa Tim Tiongkok yang Masih Dipertanyakan

Sumber: Twitter @MarsMedia
Sumber: Twitter @MarsMedia

Kerangka narasi kancah kompetitif Dota internasional secara umum berkutat di sekitar tim Dota Barat melawan tim Dota Tiongkok. Sayangnya beberapa musim belakangan bukanlah musim yang baik bagi tim Dota asal Tiongkok. Bermula dari kegagalan PSG.LGD merengkuh tahta juara dunia di tahun genap, The International 2018, kini performa permainan Tiongkok di kancah Dota internasional semakin berangsur menurun.

Pada MDL Paris Major 2019, Tiongkok diwakili oleh tiga tim, PSG.LGD, Keen Gaming, dan Vici Gaming. Ketiganya bisa dibilang cukup kuat, masih masuk 10 besar peringkat DPC 2019. Terakhir kali Vici Gaming yang jadi ujung tombak kebanggaan Tiongkok, berhasil jadi juara di DreamLeague Stockholm Major setelah mengalahkan Virtus Pro.

Namun demikian, kini keadaan benar-benar sedang sangat tidak baik bagi wakil-wakil Tiongkok dalam kompetisi MDL Paris Major 2019. Entah apa yang terjadi pada tim-tim Tiongkok, ketiganya kini terhempas ke lower bracket setelah kalah melawan tim-tim Barat.

Padahal kalau bicara roster, ketiga tim tersebut sebenarnya punya pemain-pemain yang berkualitas. PSG.LGD masih dengan roster yang sama dengan TI 2018 lalu. Vici Gaming juga tidak banyak melakukan perubahan secara roster, masih dengan Zhang “Paparazi” Chengzun sebagai ujung tombak dan kawan-kawan. Keen Gaming juga punya roster yang cukup lumayan, ada Hu “Kaka” Liangzhi yang memandu kawan-kawannya.

Berada di lower bracket, ketiga tim Tiongkok ini tinggal punya satu kesempatan lagi untuk bertahan di MDL Paris Major. PSG.LGD bertemu di Complexity Gaming, sementara Vici Gaming harus perang saudara dengan sesama tim Tiongkok, Keen Gaming.

Akankah tim Tiongkok bisa merebut gelar juara TI di tahun genap dari tim Barat? Kalau bicara MDL Paris Major, harapan terbesar mungkin terletak pada Vici Gaming. Mengingat PSG.LGD yang terbilang inkonsisten belakangan, saya personal tak terlalu berharap banyak pada Lu “Somnus” Yao dan kawan-kawan, walau sebenarnya mendukung PSG.LGD. Terlebih, ada Virtus Pro yang mungkin akan dihadapi PSG.LGD pada bracket selanjutnya.

MDL Paris Major 2019 akan berlanjut lagi sore ini. Kompetisi ini akan melanjutkan pertarungan hidup dan mati bagi para tim yang sudah terhempas di babak lower bracket. Anda dapat menyaksikan pertandingan tersebut secara langsung di kanal Twitch.tv @MDLDisney. Jadi, apakah Anda pendukung tim Barat atau tim Tiongkok di esports Dota 2?

Valve Rilis Dota 2 Battle Pass 2019, Apa Implikasinya Terhadap Scene Esports?

Kita kini telah kembali lagi ke masa-masa tersebut. Masa-masa ketika bermain Dota 2 jadi lebih menyenangkan dari sebelumnya, karena kehadiran The International Battle Pass! Kalau Anda juga main MOBA di mobile Anda tentu sudah kenal fitur seperti ini. Battle Pass kurang lebih seperti Starlight Member di Mobile Legends atau Codex di Arena of Valor.

Lalu apa bedanya The International Battle Pass dengan sistem membership di MOBA lainnya? Seperti namanya, Battle Pass ini dibuat untuk mengumpulkan hype menuju ke Dota 2 The International 2019 (TI 2019). Tahun ini Dota 2 The International kembali pada bulan Agustus. Bedanya, kalau tahun-tahun sebelumnya TI hanya diselenggarakan di Seattle Amerika Serikat, tahun ini TI hadir di Shanghai, China.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sebagian dari hasil penjualan Battle Pass akan disumbangkan ke dalam total hadiah Dota 2 The International 2019. Menyambut perilisan Battle Pass ini, mari kita sedikit membahas sesuatu yang sedikit esensial. Apa implikasi Dota 2 Battle Pass bagi esports Dota 2? Sebelum membahas hal tersebut, mari kita bahas singkat seputar asal usul Battle Pass terlebih dahulu.

Sumber: Dota 2 Official Media
Dota 2 The International selalu penuh sesak seperti ini. Apakah hal ini disebabkan oleh Battle Pass? Sumber: Dota 2 Official Media

Sistem seperti ini pertama kali muncul di tahun 2013 dalam bentuk The International Compendium. Dalam Compendium, pemain bisa menebak berbagai hal seputar TI, mulai dari pemain dengan jumlah kill terbanyak, hero yang paling sering digunakan, bahkan sampai menebak pemenang TI. Pemain akan mendapat token setiap tebakan yang benar, dan token mata uang tersebut bisa digunakan untuk membeli item kosmetik di dalam game.

Sistem tersebut ternyata berhasil membuat membuat para pemain menjadi penonton esports Dota 2. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak mau mendapat macam-macam item in-game gratis dengan bermodalkan US$2.50 saja (Sekitar Rp35 ribu dengan nilai tukar uang terkini). Lalu, kalau sudah membeli Compendium, Anda tentu mau tak mau harus menonton esports Dota 2 bukan? Setidaknya, supaya tebakan Anda tidak hanya berdasarkan asumsi buta saja.

Compendium ternyata sukses berat. Pada tahun 2014, Dota 2 mengantungi rekor dunia sebagai turnamen esports dengan total hadiah terbesar, yaitu sebesar US$11 juta (Sekitar Rp157 miliar). Baru pada 2015, sistem ini diubah menjadi Battle Pass. Sistem Battle Pass menawarkan lebih banyak konten menarik bagi para pemain, lebih banyak sumbangan hadiah untuk TI, dan tentunya lebih banyak keuntungan bagi Valve.

Sumber: Dota 2 Official Blog
Sumber: Dota 2 Official Blog

Kalau dalam Compendium pemain harus menebak untuk mendapat poin, dalam Battle Pass pemain cukup menjalankan misi saja. Setiap misi selesai, Anda mendapat level, hadiah item dan kosmetik lainnya akan Anda dapatkan setelah mencapai level tertentu. Sistem tebakan juga tidak hilang. Seperti pada Compendium, Anda bisa menebak berbagai hal seputar TI untuk mendapatkan EXP Battle Pass. Tak mau repot? Anda juga bisa beli level. Untuk tahun ini setiap US$9.99 (sekitar Rp147 ribu) Anda akan mendapat 24 level.

Sistem tersebut berhasil kumpulkan US$18 juta (sekitar Rp257 miliar) total hadiah untuk The International 2015. Dengan tema konten yang berganti-ganti dan konten yang semakin menarik tentunya, Battle Pass berhasil menarik perhatian pemain Dota 2 setiap tahunnya. Alhasil jumlah hadiah tersebut terus meningkat setiap tahunnya. Mengutip Unikrn, berikut total hadiah yang dikumpulkan sistem Battle Pass dari tahun ke tahun.

  • The International 2014: US$10,931,105 (Sekitar Rp157 miliar)
  • The International 2015: US$18,429,613 (Sekitar Rp257 miliar)
  • The International 2016: US$20,770,460 (Sekitar Rp297 miliar)
  • The International 2017: US$24,787,916 (Sekitar Rp357 miliar)
  • The International 2018: US$25,532,177 (Sekitar Rp365 miliar)

Lalu apa arti Battle Pass yang laku keras ini bagi esports Dota 2 secara internasional? Apa benar langgengnya esports Dota 2 secara internasional disebabkan karena Dota 2 The International Battle Pass laku keras? Agar lebih jelas, mari kita mengintip dari data milik salah satu website pencatat jumlah penonton online andalan tim Hybrid, Esports Charts.

Dalam sebuah data komparasi, Esports Charts mencoba membandingkan jumlah penonton TI 7 dan TI 8. Menariknya ada kenaikan jumlah penonton secara global. Jumlah penonton rata-rata pada tahun 2018 ada sebanyak 523.562, meningkat dibandingkan tahun 2017 yang hanya ditonton oleh 406.198 penonton saja. Jumlah penonton terbanyak di saat bersamaan juga meningkat drastis. Pada TI 8 jumlah penonton online mencapai 14.960.473 penonton, meningkat jika dibandingkan dengan TI 2017 yang hanya ditonton oleh 10.935.350 penonton saja.

Sumber: Esports Charts
Komparasi jumlah penonton TI 7 dengan TI 8 yang dirangkum oleh ESC. Sumber: Esports Charts

Jika melihat data ini, kita mungkin bisa saja menyimpulkan, bahwa semakin laku penjualan Battle Pass semakin banyak juga penonton The International. Sebab secara angka, keduanya meningkat berbarengan. Tetapi langsung lompat kepada kesimpulan tersebut akan membuat pembahasan ini jadi seperti artikel cocoklogi.

Walaupun jumlah penonton esports Dota meningkat berbarengan dengan peningkatan jumlah penjualan Battle Pass, nyatanya ada banyak faktor alasan seseorang menonton esports Dota. Contohnya, jumlah penonton tayangan berbahasa Russia yang meningkat. Mungkin hal tersebut terjadi karena performa Virtus Pro yang sedang bagus pada musim tersebut, walau akhirnya harus kalah di oleh EG di lower bracket.

Tetapi, satu hal yang bisa diasumsikan adalah, para pembeli Battle Pass tersebut mungkin adalah penonton Dota 2 The International. Apalagi bagi mereka yang membeli Battle Pass level 1, mereka mungkin akan berjuang sekuat tenaga demi bisa meningkatkan level Battle Pass setinggi-tingginya, agar bisa mendapat hadiah item kosmetik. Jadi, mereka mungkin jadi nonton esports Dota 2, agar dapat menebak berbagai trivia seputar TI dengan tepat, dan mendapat poin XP Battle Pass.

Lalu apakah kehadiran Battle Pass juga berarti menjadi kesuksesan bagi game Dota 2 itu sendiri? Kalau sukses secara materi, mungkin jawabannya iya. Valve mungkin sudah bergelimang harta hanya dari penjualan Battle Pass saja. Tapi kalau maksud sukses di sini adalah banyak orang yang bermain Dota karena Battle Pass, hal ini sepertinya masih jadi hal yang patut dipertanyakan.

Mengutip Steamcharts, jumlah pemain Dota belakangan tidak pernah menyentuh angka satu juta pemain. Rekor jumlah pemain Dota adalah pada Maret 2016, ketika itu mereka mencapai angka 1,2 juta pemain. Sejak saat itu, jumlah pemain Dota 2 berada pada rata-rata 500 ribu pemain. Bahkan pada bulan-bulan ketika Battle Pass rilis, jumlah pemain Dota 2 tetap bertahan di kisaran angka tersebut. Salah satu contoh kongkritnya adalah pada bulan Mei 2018, ketika Battle Pass 2018 rilis. Jumlah pemain Dota 2 yang dicatatkan oleh Steamcharts ketika itu adalah sebanyak 474.325 pemain. Ada peningkatan, namun hanya meningkat sebanyak 43.984 pemain saja jika dibandingkan dengan bulan April 2018.

Tak bisa dipungkiri, jumlah pemain Dota kini segitu-segitu saja. Namun, The Internationals tetap menjadi salah satu program esports paling ditonton oleh gamers. Sumber: Dota 2 Official Media
Tak bisa dipungkiri, jumlah pemain Dota kini segitu-segitu saja. Namun, The Internationals tetap menjadi salah satu program esports paling ditonton oleh gamers. Sumber: Dota 2 Official Media

Jika melihat dari data-data tersebut, satu yang bisa disimpulkan adalah Battle Pass tidak banyak berpengaruh kepada peningkatan jumlah pemain Dota 2. Namun dampaknya kepada esports tidak bisa langsung disimpulkan, karena ada ragam faktor alasan seseorang menonton esports Dota, bukan sesederhana karena ada Battle Pass saja.

Jadi bagaimana? Apakah Anda membeli Dota 2 The International Battle Pass tahun ini?

DA Arena Kembali Hadir! Menjadi Sarana Hidupkan Kembali Jagat Kompetitif Dota Indonesia

Invasi mobile esports yang semakin agresif di Indonesia, mau tak mau membuat esports game PC kini jadi semakin terpojok. Apalagi juga mengingat perhatian pengembang game esports PC cenderung minim terhadap pasar Asia Tenggara, yang beda jauh jika dibandingkan dengan Moonton, yang sangat mendukung perkembangan scene esports Mobile Legends di Indonesia.

Kendati kancah lokal esports game PC yang kini sedang meredup, namun game seperti Dota tetap memiliki khalayaknya tersendiri kancah internasional. Berangkat dari hal tersebut, Digital Alliance bersama dengan INDOESPORTS menyelenggarakan Dota 2 INDOESPORTS League x DA Arena.

Sumber: INDOESPORTS Official Media
Sumber: INDOESPORTS Official Media

Memperebutkan total hadiah sebesar Rp20 juta, kompetisi ini diselenggarakan dengan maksud untuk mencari talenta baru di kancah Dota Indonesia yang kini sudah semakin sedikit. Soal regenerasi pemain Dota 2 di Indonesia ini memang menjadi satu masalah yang sudah mencapai tingkat meresahkan.

Rex Regum Qeon dan The Prime NND, dua organisasi esports yang tumbuh besar berkat Dota 2, baru-baru ini malah membubarkan divisi Dota 2 milik mereka. Keduanya punya alasan yang sama, kesulitan mencari pemain baru untuk mengisi kekosongan bangku roster mereka. Anton, General Manager ThePrime Esports juga turut menceritakan hal tersebut. Ia mengatakan, kalaupun ada, pemain berbakat tersebut biasanya masih sedang sekolah atau kuliah di daerah masing-masing.

Hybrid juga sempat membahas soal regenerasi pemain, yang memang sudah cukup lama menjadi masalah. Dalam pembahasan tersebut, Yabes Elia, Senior Editor Hybrid, berbincang dengan Yohannes Siagian, VP EVOS Esports. Kalau bicara soal pemain, salah satu yang jadi sorotan adalah soal para atlet yang matang dikarbit. Masalah tersebut muncul karena tidak adanya jalur ataupun wadah yang jelas untuk bertanding, sehingga banyak pemain yang mendadak langsung naik ke level profesional.

Terkait kompetisi ini Bambang Tri Utomo selaku Chief Operation Officer dari INDOESPORTS turut memberikan komentarnya. “Alasan kami mengadakan kompetisi ini, karena kami yakin esports PC masih menjadi salah komoditi utama di kancah internasional. Kenapa Dota 2? karena kami merasa peminatnya masih cukup banyak di Indonesia dan juga masih punya nilai kompetitif yang tinggi di tingkat internasional.”

Bambang Tri Utomo juga bicara lebih lanjut soal regenerasi pemain Dota 2 di Indonesia. “Saya melihat organisasi tim esports mengalami kendala di Dota karena dua hal, minimnya kompetisi dan regenerasi pemain. Maka dari itu kami berharap kompetisi ini bisa menjadi wadah bertanding bagi siapapun yang masih punya semangat berkompetisi di kancah Dota.” Lalu untuk jangka panjang, Bambang juga mengatakan rencananya untuk menghadirkan kompetisi ini satu kali di setiap kuartal tahun 2019.

Sumber: Facebook Dimas Surya Rizki
Sumber: Facebook Dimas Surya Rizki

Tak cuma memperebutkan total hadiah yang cukup besar, kompetisi ini juga akan menghadirkan para shoutcaster ternama di jagat kompetisi Dota. Mereka sendiri adalah Dimas “Dejet” Rizky, Feraldo “Feraldoto” Vadriansyah, Achmad “CaptRigel” Ichsan dan Resha “ARS” Ariasena.

Sebagai salah satu penggemar esports Dota, saya sendiri tentu berharap banyak pihak yang memperhatikan jagat kompetitif Dota, dan juga peran komunitas untuk menjaga game ini tetap hidup di Indonesia. Semoga saja kehadiran kompetisi seperti ini, bisa kembali menghidupkan jagat kompetisi Dota 2 di Indonesia.

Resmi Sudah, Kenny “Xepher” Deo Bergabung dengan Tim GeekFam

Baru-baru ini muncul kabar terbaru soal tim yang akan menjadi naungan bagi salah satu pemain Dota Indonesia yang go internasional, Kenny “Xepher” Deo. Setelah kurang lebih tujuh bulan bersama Tigers, kini muncul sebuah kabar bahwa Xepher pindah ke tim Geek Fam. Sebelumnya, pada 23 April lalu, tim Tigers mengumumkan perpisahan dengan pemain posisi Support 4 asal Indonesia tersebut.

Kepergian Xepher ketika itu berbarengan dengan kepergian dari Danil “Dendi” Ishutin, salah satu pemain midlaner yang masih menjadi panutan banyak pemain Dota sampai saat ini. Dalam perpisahan tersebut, Dawei “Xero” Teng sempat sedikit memberikan komentar singkatnya soal Xepher.

Sumber: Facebook @TigersDota2
Sumber: Facebook @TigersDota2

“Ketika baru bergabung Kenny adalah bocah pemalu yang kesulitan berkomunikasi dengan anggota tim lain menggunakan bahasa inggris. Namun, kecintaannya terhadap Dota telah mendorong dirinya sampai batas. Kini ia telah berkembang pesat, baik secara player Dota ataupun individu.” Dawei Teng lewat media sosial Tigers Dota.

Meski bersama dalam waktu yang cukup singkat, Xepher sempat mengalami masa kejayaannya tersendiri ketika bersama Tigers. Puncaknya adalah ketika Xepher, InYourDream dan kawan-kawan berhasil memenangkan DreamLeague Season 10, mengalahkan Navi 3-2 dalam seri best-of-5.

Kini bersama GeekFam, masa depan apa yang bakal menunggu Xepher di sana? Terakhir kali, tim asal Malaysia ini baru saja memindahkan roster utama mereka menjadi sub-roster. Para pemain yang diturunkan menjadi sub-roster tersebut adalah Justine “Tino” Ryan, Vincent “AlaCrity” Yoong, Lee “kYxY” Kong Yang, Mark “Shanks’ Jubert Redira, dan Pang “BrayaNt” Jian Zhe.

Durasi roster GeekFam tersebut terbilang cukup dini. Baru bergabung sekitar bulan Januari 2019 lalu, GeekFam mendadak menurunkan roster tersebut pada dua hari lalu (3 Mei 2019). Terakhir kali, mereka harus puas berada di peringkat ketiga pada gelaran Asia Pasific Predator League 2019, setelah kalah 2-0 dari BOOM.ID pada babak loser bracket finals.

Sumber: Instagram @teamgeekfam
Sumber: Instagram @teamgeekfam

Xepher di dalam tim GeekFam berarti akan membangun roster baru lagi, mengumpulkan pemain-pemain terbaik di Asia Tenggara. Melihat keputusan Xepher kali ini, sebenarnya bisa dibilang cukup masuk akal. Mengapa? Hal ini mengingat scene Dota 2 di Indonesia yang belakangan sedang melesu. Berbagai organisasi esports yang lahir dari Dota malah melepas divisi Dota 2, seperti The Prime dan juga Rex Regum Qeon.

Akankah nantinya Xepher mengajak pemain asal Indonesia lain untuk membangun roster GeekFam? Yang pasti adalah, mari kita doakan semoga GeekFam bisa menjadi rumah bagi Xepher untuk berkembang menjadi lebih baik lagi ke depannya!

 

Bicara Soal Kemenangan Team Liquid di IEM XIV – Sydney 2019 Bersama Wooswaa

Kalau khalayak Indonesia sedang heboh dengan gelaran Mobile Legends Professional League, perhatian khalayak esports internasional, terutama CS:GO, sedang tertuju ke IEM Sydney 2019 pada akhir pekan kemarin. 5 Mei 2019 lalu adalah puncak dari salah satu helatan kompetisi CS:GO besar dengan titel premiere tersebut.

Babak final kompetisi ini mempertemukan Team Liquid dengan Fnatic. Kedua tim punya sejarahnya masing-masing. Team Liquid salah satunya, yang selama ini dianggap terkena “Big Event Curse”, karena berkali-kali gagal meraih gelar juara di dalam kompetisi besar.

Bertanding dalam seri best-of-5, pertarungan antara Jake “Stewie2k” Yip dan kawan-kawan melawan Ludvig “Brollan” Brolin dan kawan-kawan berlangsung dengan sangat sengit. Pertarungan dibuka dengan map Cache, Fnatic bermain sebagai CT sementara Team Liquid sebagai T-Side.

Sumber: Twitter @IEM
Sumber: Twitter @IEM

Babak-babak awal, pertandingan seakan membuat penonton sudah bisa menebak siapa pemenang dari gelaran ini. Fnatic dengan pertahanan yang agresif berhasil membuat Team Liquid kelimpungan mencari sudut menyerang yang baik. Belum lagi ditambah dengan permainan menawan dari Jesper “JW” Wecksell di ronde ini, yang berkali-kali mendapatkan kill AWP secara over the smoke dan over the wall, yang tentunya semakin menekan mental Team Liquid.

Namun walaupun Fnatic terlihat cukup sangar di awal-awal, Antonius “Wooswaa” Wilson, yang menjadi caster dalam Indonesian Broadcast IEM Sydney dari ESL Indonesia, punya pendapatnya tersendiri soal pertandingan ini. “Sebetulnya pertandingan Fnatic lawan Liquid kemarin sudah cukup expected kalau Liquid yang bakal menang” sebut Wooswa. Salah satu penyebab hal ini menurut Wooswaa adalah soal inkonsistensi performa dari Fnatic.

Selama ini Fnatic, walaupun bisa dibilang sebagai salah satu tim legendaris di kancah CS:GO internasional, namun performa mereka kerap naik turun di beberapa kompetisi. “Mereka suka kehilangan ronde karena kesalahan konyol dan membuat mereka kehilangan ronde-ronde berikutnya di dalam pertadingan tersebut” sebut Wooswaa menjelaskan inkonsistensi performa Fnatic.

Hal tersebut sebenarnya sudah cukup terlihat pada game pertama, namun semakin terlihat lagi pada map-map selanjutnya. Beberapa kali Fnatic sebenarnya mendapat keunggulan di awal-awal, namun permainan mereka menurun ketika Team Liquid mulai bangkit di tengah permainan.

“Permainan di map Mirage adalah salah satu contoh konkrit inkonsistensi Fnatic. Mereka sebenarnya sudah menang di map tersebut. Tapi karena force-buy round dari Team Liquid, ronde yang seharusnya mudah, malah gagal didapatkan oleh Fnatic. Entah berapa kali mereka kalah karena pistol pada map tersebut.” Wooswaa menjelaskan kepada tim Hybrid.

Tetapi selain karena inkonsistensi Fnatic, kemenangan Team Liquid dalam kompetisi ini memang sudah menjadi hal yang sepatutnya menurut Wooswa. “Liquid di atas kertas memang jauh lebih kuat daripada Fnatic. Kenapa? Aim power mereka lebih bagus, map pool mereka juga lebih meyakinkan. Satu hal yang terpenting, mereka jauh lebih konsisten. Juga pastinya mereka nggak akan mati konyol melawan pistol di masa force buy.”

Berikut hasil keseluruhan ronde dari pertandingan antara Team Liquid melawan Fnatic:

  • Cache: Liquid 10-16 Fnatic
  • Overpass: Liquid 16-14 Fnatic
  • Mirage: Liquid 16-8 Fnatic
  • Dust2: Liquid 6-16 Fnatic
  • Inferno: Liquid 16-9 Fnatic
Sumber: Twitter @IEM
Sumber: Twitter @IEM

Walaupun permainan Fnatic inkonsisten, harus diakui Freddy “Krimz” Johannson dan Richard “Xizt” Landstrom adalah dua key player di dalam kompetisi ini kata Wooswa. “Krimz dan Xizt mampu memberikan tontonan menarik di pertandingan ini. Krimz bisa dibilang satu-satunya pemain yang konsisten di Fnatic. Xizt juga mampu memberikan permainan yang luar biasa di pertandingan ini, di luar ekspektasi.”

Lalu siapa pemain kunci Team Liquid dalam pertandingan final ini? Wooswaa menjawab, dia adalah Nichollas “nitr0” Cannella. “Menurut gue key player Team Liquid adalah Nitro sebagai In-Game Leader. Performanya di Overpass nggak ada obat, dia bahkan bisa carry timnya ketika sedang bermain dengan buruk. Kalau saja Nitro nggak step up di map tersebut, saya cukup yakin keadaannya tidak akan sama, Fnatic yang malah jadi juara.”

Team Liquid akhirnya berhasil memecahkan kutukan rentetan kegagalan kemenangan mereka. Sebagai juara, mereka berhasil mendapatkan hadiah sebesar US$100.000 (Sekitar Rp1,4 miliar).

24 Pemain Siap Bertanding di Indonesia Gaming League FIFA 19 FUT Big League.

Setelah kualifikasi panjang FIFA 19 FUT Indonesia Gaming League (IGL), kini terpilih sudah 24 pemain terbaik dari berbagai daerah. Kualifikasi IGL sudah berjalan selama 8 pekan lamanya, yang memilih 3 pemain terbaik setiap pekannya. Kalau Anda mengikuti perjalanan kualifikasi, Anda tentu tahu bagaimana sengitnya kualifikasi dari pekan ke pekan. Belum lagi  pemain-pemain asal Sukabumi yang getol unjuk gigi di kualifikasi IGL ini, tak mau kalah dari pemain-pemain asal Jakarta.

Fase kualifikasi selesai, kini IGL akan memasuki fase Big League, fase kompetisi yang menjadi santapan utama dari gelaran ini. Pada fase ini, 24 pemain yang sudah lolos akan dibagi ke dalam dua grup, BIG EAST dan BIG WEST. Pertandingan dengan format liga akan berjalan selama 11 pekan, mulai dari 11 Mei 2019 mendatang.

Dari 24 peserta, nantinya akan disaring ke fase berikutnya yaitu fase 16 besar. Pada fase 16 besar, seluruh pertandingan akan digelar secara offline di High Grounds, Pantai Indah Kapuk, pada 24-25 Agustus 2019.

Ketua umum Indonesia Gaming League berfoto bersama piala yang akan diperebutkan pemain FIFA 19 FUT terbaik di Indonesia. Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Ketua umum Indonesia Gaming League, Frans Silalahi, bersama piala yang akan diperebutkan pemain FIFA 19 FUT terbaik di Indonesia. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Sejauh ini, komunitas FIFA cukup antusias dengan kompetisi IGL. Tercatat, ada kurang lebih sekitar 1500 peserta yang mendaftar ke dalam kualifikasi online Indonesia Gaming League. Pada pekan terakhir saja, ada 400 orang yang berpartisipasi untuk memperebutkan tiga slot terakhir Big League IGL 2019.

Indonesia Gaming League bisa dibilang sebagai salah satu program esports yang cukup berani. Kalau Anda mengikuti sepak terjang ekosistem esports Indonesia, Anda kemungkinan besar tahu bagaimana belakangan mata penyelenggara event esports tertuju kepada Mobile Legends karena popularitas game tersebut. Namun, IGL mengambil langkah berani menyelenggarakan sebuah kompetisi yang cukup besar, dengan format liga, untuk game FIFA 19 mode FUT; yang secara popularitas tentu kalah jauh dengan Mobile Legends.

Bicara soal ini, Frans Silalahi selaku ketua umum Indonesia Gaming League FIFA 19 FUT, sempat mengutarakan alasannya mengadakan IGL 2019. “Industri esports sudah sangat maju 5 tahun belakangan, tapi ekosistem jarang sekali melirik esports game konsol. Berangkat dari keresahan tersebut, akhirnya kami mencoba menggagas Indonesia Gaming League. Hal ini juga mengingat komunitas FIFA yang cukup besar, berprestasi di kancah internasional, dan kebetulan juga tim penggagas IGL ini juga memang suka dan main game sepakbola FIFA.” jawab Frans.

 

Lebih lanjut bicara soal kancah internasional Frans Silalahi mengaku sudah mulai membuka obrolan dengan pihak-pihak penyelenggara kompetisi Internasional. “Kami sudah mencoba buka obrolan dengan ESWC, menanyakan apakah ada cabang FIFA? Kalau ada, kami mengusahakan agar Indonesia bisa dapat satu atau dua slot, dan bertanding di Paris. Kalau soal integrasi dengan EA Sports, dulu IESPL sudah sempat mencoba kontak, namun belum ada feedback. Tetapi menurut informasi yang saya dengar, nantinya akan ada kompetisi virtual Liga 1 yang masuk dalam sirkuit kompetisi FIFA pada tahun 2020.”

Memperebutkan total hadiah sebesar Rp250 juta, berikut 24 pemain yang akan bertanding dalam Big League Indonesia Gaming League FIFA 19 FUT:

  1. Andika Putra Sanjaya (Makassar)
  2. Egi Ilyas Fauzi (Sukabumi)
  3. Pugu Mujahit Mantang (Jakarta)
  4. Arlan Paranti (Sukabumi)
  5. Abdul Rozak R (Jakarta)
  6. Dedy Tami H (Bogor)
  7. Aditra Gusnar (Denpasar)
  8. Ghea Ananta A (Samarinda)
  9. Nyoman Tri Laksana P (Bali) 
  10. Rudi Julio (Surabaya)
  11. Ardy Diptayana (Tangerang)
  12. Apri Hantoro (Sleman)
  13. Muhammad Ikhsan (Jakarta)
  14. Mohammad Ega (Jakarta)
  15. Rakel Ramadhan (Sukabumi)
  16. Windy Hendro (Pontianak)
  17. Kenny Prasetyo (Jakarta)
  18. Yoga Harahap (Medan)
  19. Rama Anggara (Madiun)
  20. Brian Hadianto (Jakarta)
  21. Kevin Naufal (Depok)
  22. Immanuel Mangasi Fernando (Jakarta)
  23. Andersen Tjoeng (Jakarta)
  24. Andri Luhut (Jakarta)

Indonesia Gaming League FIFA 19 FUT nantinya akan ditayangkan lewat kanal Youtube setiap hari Jumat. Bagi Anda yang ingin menyaksikan permainan dari pemain FIFA 19 FUT terbaik, Anda dapat mengunjungi kanal Youtube Indonesia Gaming League.

ThePrime Esports Jadi Organisasi Berikutnya yang Melepas Divisi Dota 2

Beberapa hari belakangan bisa dibilang sebagai hari yang kelam bagi para penggemar Dota 2 di Indonesia. Hal ini dimulai saat Rex Regum Qeon, organisasi esports yang lahir dari game Dota, pada akhirnya membubarkan divisi paling ikonik dari organisasi tersebut. Ternyata berita dari RRQ baru merupakan permulaan saja.

Sumber: ThePrime official Media
Sumber: ThePrime Esports official Media

Setelah RRQ, kini ThePrime Esports ternyata turut melakukan keputusan berat tersebut. Seperti RRQ, ThePrime Esports juga bermula dari Dota 2. Namun dengan berat hati, mereka kini harus merelakan divisi Dota 2 miliknya yang terakhir kali beranggotakan: Azam “Nafari” Aljabar, Ario “Panda” Susilo Putra, Rizki “Varizh”, dan Baringin “BFL” Ferdinan Liberti.

Terkait pembubaran ini, Hybrid mencoba menghubungi Anton Sarwono selaku General Manager ThePrime Esports. Soal alasan pembubaran, jawaban Anton ternyata senada dengan apa yang terjadi pada RRQ. “Alasannya kurang lebih sama dengan teman-teman dari tim lain. Kami kesulitan mencari pemain untuk menggantikan kekosongan di roster kami. Kami sudah mencoba trial beberapa pemain muda. Ada yang bagus, tapi sayangnya mereka masih sibuk sekolah atau kuliah di daerah masing-masing.” Jawab Anton kepada Hybrid.

Soal regenerasi atlet dalam ekosistem esports, bisa dibilang sebagai salah satu isu yang selama ini jarang diungkit ataupun mencoba dicari solusinya. Senior editor Hybrid, Yabes Elia, sempat membicarakan hal ini bersama Yohannes Siagian, VP EVOS Esports. Dalam bahasan tersebut, Joey (Sapaan akrab Yohannes Siagian) mengatakan bahwa ada beberapa faktor penyebab fenomena ini. Salah satu pendapat yang patut dicatat adalah, kebanyakan investasi terhadap ekosistem esports yang bersifat jangka pendek.

 

Lebih lanjut, saya lalu mempertanyakan soal masa depan organisasi ThePrime Esports setelah meninggalkan divisi Dota 2. Divis apa yang akan jadi divisi andalan ThePrime Esports selanjutnya? Akankah ThePrime comeback ke kancah kompetitif Dota. Bicara soal divisi andalan, Anton mengatakan bahwa kini fokus mereka kepada beberapa game FPS, yang memang ThePrime Esports cukup unggul di sana. “Karena divisi Dota kini saya bilang ‘vakum’, maka kita bakal fokus kepada beberapa divisi unggulan kami, seperti Point Blank, PUBG PC, dan PUBG Mobile.

Anton menggunakan kata vakum untuk bicara soal divisi Dota 2. Hal ini sebenarnya terkait dengan jawaban berikut darinya. “Kalau soal comeback, jawabannya adalah tentu saja. Identitas organisasi kami adalah Dota 2 dan kami sangat cinta dengan game Dota 2.” jawab Anton.

Sumber: ThePrime Official Media
Sumber: ThePrime Esports Official Media

Seperti yang Anton sudah sebutkan, identitas ThePrime Esports selama ini memang divisi Dota 2. Selama ini divisi Dota 2 ThePrime Esports terkenal sebagai pencetak pemain-pemain Dota 2 terbaik pada masanya. Pemain seperti Muhammad “InYourDream” Rizky, atau “Rusman” Hadi adalah beberapa pemain Dota 2 berbakat yang dibibit dari ThePrime itu sendiri.

Lagi-lagi, seperti apa yang saya sebut saat membahas RRQ, apa mau dikata. Mengingat jumlah kompetisi Dota 2 lokal yang sudah semakin jarang, saya berpikir, ini adalah langkah yang masuk akal bagi beberapa organisasi esports di Indonesia. Harapannya adalah, semoga ekosistem Dota 2 bisa membaik di masa depan nantinya. Saya cukup yakin, kalau ekosistem Dota 2 lokal membaik, nama-nama seperti ThePrime Esports atau RRQ pasti akan membangun ulang divisi Dota 2 miliknya.

 

OPi Gaming Menjadi Juara Mobile Legends Smartfren 4G Battle

Kemarin sore (26 April 2019) adalah momentum puncak bagi gelaran Smartfren 4G Battle. Setelah kualifikasi panjang, kompetisi ini akhirnya menemukan dua tim terbaik untuk bertarung di babak Grand Final Mobile Legends Smartfren 4G Battle.

Diselenggarakan di Highgrounds Indonesia, Pantai Indah Kapuk, pagelaran puncak Smartfren 4G Battle mempertemukan OPi Gaming dan Power Danger Esports. Jalan yang harus dilewati kedua tim ini cukup panjang. Pasalnya, Kompetisi ini diikuti oleh 29.560 peserta dari seluruh penjuru Indonesia.

Mulai digelar sejak 8 Desember 2018 lalu, Smartfren 4G Battle terbagi menjadi tiga musim. Dari 3 musim, ada 5912 tim peserta yang bertarung memperebutkan total hadiah sebesar Rp185 juta. OPi Gaming dan PowerDanger Esports sendiri berhasil lolos ke babak Grand Final setelah menyisihkan para pesaingnya di babak playoff, yang digelar pada 6-7 April 2019 lalu.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Bertanding dalam format best-of-5, OPi Gaming sempat kalah satu kali. Dalam posisi ketinggalan skor, punggawa dari OPi Gaming justru bermain dengan sangat tenang. Mereka tetap berusaha meminimalisir kerugian sambil tetap mencari keuntungan yang bisa mereka dapatkan dari keadaan tersebut. Akhirnya mereka bangkit di game selanjutnya, dan langsung membalikkan keadaan jadi 3-1.

Terkait kompetisi ini, Febrian Anas, selaku Head of Content Smartfren, sempat berbincang-bincang dengan awak media pada gelaran konfrensi pers. Ia menceritakan, bahwa salah satu alasan diadakannya Smartfren 4G Battle adalah untuk merangkul komunitas Mobile Legends di Indonesia. Lebih lanjut Febrian Anas juga bercerita soal keinginan Smartfren, untuk memunculkan bakat-bakat baru di kancah Mobile Legends, mengingat kancah esports game ini yang sedang berkembang pesat.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Febrian Anas (Tengah) bersama perwakilan tim dari OPi Gaming dan Power Danger Esports. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Kendati Smartfren 4G Battle cukup menarik perhatian komunitas pemain Mobile Legends, lebih lanjut Febrian memberikan komentarnya soal investasi Smartfren di ekosistem esports Indonesia. “Kalau bicara investasi, pastinya kita terus berusaha menyediakan infrastruktur yang mapan, agar para gamers semakin nyaman bermain dengan menggunakan jaringan Smartfren. Tapi kalau bicara soal investasi dalam menyediakan wadah kompetisi yang lebih besar, sejauh ini kami masih belum ada rencana ke arah sana.”

OPi Gaming selaku tim juara berhak mendapatkan hadiah sebesar Rp20 juta, dilanjut dengan Power Danger Esports selaku runner-up berhak mendapatkan Rp15 juta. Terakhir ada tim Ex-Sultan yang berhak menerima hadiah sebesar Rp10 juta sebagai peringkat ketiga.

Selamat bagi para tim juara! Semoga prestasi kalian bisa terus berlanjut sampai ke tingkat nasional maupun internasional!

 

Tak Terduga, Rex Regum Qeon Membubarkan Divisi Dota 2

Sore ini, (25 April 2019) berita mengejutkan datang dari salah satu pionir organisasi esports di Indonesia. Tim Rex Regum Qeon, baru-baru ini mengumumkan melepas divisi Dota 2 lewat kanal media sosial instagram. Dalam postingan tersebut, sama sekali tak ada sedikitpun penjelasan soal alasan pelepasan divisi tersebut.

Dalam caption hanya tertulis bentuk terima kasih manajemen Rex Regum Qeon, atas semua perjuangan yang telah diberikan divisi Dota 2 selama ini. Terakhir kali, tim Dota 2 Rex Regum Qeon ini beranggotakan “Rusman” Hadi, Yusuf “Yabyoo” Kurniawan, Rivaldi “R7” Fatah, dan Adi Syofian “Acil” Asyauri.

RRQ bubar Dota #1
Sumber: Instagram @teamrrq

Berita pembubaran ini jadi mengejutkan, karena mengingat tim Rex Regum Qeon yang lahir dan berkembang bersama dengan scene Dota 2 di Indonesia. Sebelum BOOM.ID menjadi buah bibir di kalangan penikmat esports Dota 2, Rex Regum Qeon bisa dibilang adalah raja pertama yang menduduki tahta tim terkuat di kancah kompetitif Dota 2 Indonesia.

Mengutip Dota 2 Liquidpedia, awal mula sejarah panjang organisasi Rex Regum Qeon adalah kompetisi Asian Cyber Games 2013. Dalam kompetisi tingkat Asia tersebut, salah satu roster terkuat Dota 2 Indonesia bertanding, yang menjadi cikal bakal dari Rex Regum Qeon. Jajaran pemain mengikuti kompetisi tersebut adalah, Farand “Koala” Kowara, Azam “Nafari” Aljabar, Ritter, Rene “Minerva” Michael Halim, dan Gehenna.

Walau meraih hasil yang kurang maksimal, namun momen tersebut menjadi momen yang patut diingat dari sejarah esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut mengingat turnamen tersebut yang melahirkan RRQ. Sejak saat itu, kancah Dota 2 jadi melekat dengan organisasi esports yang punya arti nama King of Kings ini. Namun sejak tahun 2017, prestasi RRQ Dota 2 mulai berangsur menurun.

Berkali-kali mereka harus puas berhenti di posisi 10 besar, walau masih sempat menjadi runner-up dan peringkat ketiga di beberapa turnamen. Terakhir kali mereka harus puas berada di peringkat 6 dalam gelaran ESL Indonesia Championship 2019, yang dimenangkan oleh BOOM.ID.

Terkait pelepasan divisi Dota 2 ini, redaksi Hybrid.co.id mencoba menghubungi Wilbert Marco selaku Head of Team Manager Rex Regum Qeon. “Mungkin berita ini agak mengejutkan bagi para penggemar esports di Indonesia ya, tapi keputusan ini sebetulnya sudah dipikirkan masak-masak oleh pihak manajemen dari sebelum-sebelumnya.” jawab Marco menjelaskan.

Sumber: Dokumentasi RRQ - Wilbert Marco
RRQ saat GESC Indonesia Dota 2 Minor 2018. Sumber: Dokumentasi RRQ – Wilbert Marco

“Kalau soal alasan, salah satunya alasannya adalah karena manajemen kami kesulitan mencari pemain yang cocok, untuk melengkapi line-up agar dapat bersaing dengan tim-tim lain. Hal ini juga mengingat pemain Dota 2 di Indonesia yang kini sudah semakin sedikit.” Marco melanjutkan soal alasan pembubaran divisi Dota 2 Rex Regum Qeon.

Kalau permasalahaannya adalah soal talent pool Dota 2 di Indonesia, bagaimana dengan mencoba menarik pemain dari luar negeri? Marco menjawab seraya mencoba mengingatkan, bahwa RRQ sebelumnya pernah mendatangkan Bokerino dan Xrag dari Filipina. Namun percobaan tersebut ternyata tidak berbuah baik. “Sayangnya kehadiran mereka memunculkan beberapa kendala, seperti bahasa, visa, dan lain sebagainya” Jawab Marco lebih lanjut.

Pembubaran ini mungkin bisa dibilang sebagai kekecewaan terbesar bagi fans esports di Indonesia, setidaknya bagi saya sendiri yang masih menganggap RRQ sebagai salah satu pionir dalam scene esports Dota 2 Indonesia. Tapi apa mau dikata jika itu memang jalannya. Good luck bagi Yabyoo dan kawan-kawan, good luck juga untuk RRQ. Semoga ini menjadi keputusan terbaik bagi kedua belah pihak, #VivaRRQ!