Perjuangan Perempuan di Esports: Tak Hanya Sekadar Pemanis [Bagian 2]

Esports kini tengah menjadi fenomena global. Menurut Newzoo, industri esports akan bernilai lebih dari US$1 miliar pada 2020. Tiongkok akan menjadi pasar esports terbesar pada 2020 dengan nilai pasar US$385,1 juta. Dengan semakin populernya esports, semakin banyak pula orang di Tiongkok yang menerima esports sebagai olahraga dan tak lagi heran ketika seseorang memutuskan untuk meniti karir sebagai atlet esports.

Sayangnya, diskriminasi gender masih terjadi di dunia esports. Li “VKLiooon” Xiaomeng, pemain perempuan pertama yang memenangkan Hearthstone World Championship, berbagi cerita tentang diskriminasi yang dialami. Dia bercerita, kehadirannya dalam sebuah turnamen Major pernah dipertanyakan oleh seorang pemain laki-laki, yang menganggap bahwa pemain perempuan seharusnya tidak ikut turnamen esports.

Xiaomeng Li. | Sumber: Blizzard Entertainment via Washington Post
Xiaomeng Li. | Sumber: Blizzard Entertainment via Washington Post

Melalui Zhihu, situs serupa Quora di Tiongkok, Li juga menceritakan masalah lain yang dia hadapi sebagai pemain profesional perempuan. Dia mengatakan, kemampuannya pernah dipertanyakan oleh pemain laki-laki yang telah dia kalahkan. Tak hanya itu, dia juga terkadang mendapatkan ejekan tentang tubuhnya. Di dunia online, sejumlah penonton mengejeknya gendut. Sayangnya, Li bukanlah satu-satunya pemain esports perempuan di Tiongkok yang menghadapi berbagai masalah ini.

Ketika membuat kesalahan, para pemain perempuan juga cenderung mendapatkan kritik yang lebih pedas. “Misalnya, Anda adalah pemain perempuan yang ikut serta dalam turnamen. Jika Anda bermain dengan baik, itu bukan masalah. Tapi, ketika Anda membuat satu kesalahan kecil, para fans akan membesar-besarkan kesalahan tersebut,” kata Zhou Jie, COO Killing Angel, tim esports khusus perempuan pada Abascus News.

Jika sebelumnya, kami pernah membahas soal bagaimana eksplorasi tubuh menjadi komoditas para perempuan yang jadi selebriti gaming, kali ini kami akan menunjukkan bahwa ruang berkarier di esports dan game buat perempuan juga bisa dilakukan tanpa perlu jadi eye-candy — selama memiliki kemampuan yang mumpuni di bidangnya.

Diskriminasi di Indonesia

Di Indonesia, masalah diskriminasi gender juga masih terjadi. Caster Veronica “Velajave” Fortuna bercerita, dia pernah mengalami diskriminasi pada awal 2015 sampai 2017. “Kayak, perempuan itu bisa apa sih di esports. Perempuan itu cuma pemanis, nggak pantas untuk main, nggak lebih jago dari laki-laki. Nggak jago kayak caster laki-laki lain,” ceritanya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. “Tapi, belakangan diskriminasi sudah mulai menurun. Cuma hate speech saja yang semakin banyak, bukannya berkurang.”

Perempuan yang akrab dengan panggilan Vela ini mengatakan, hate speech adalah masalah yang biasa terjadi di dunia online. “Hate speech itu biasanya online. Aku juga belum pernah lihat yang langsung di depan muka. Mungkin, yang pernah aku alami di depan muka, cuma orang orang yang memandang rendah kita yang belum siapa-siapa,” ujarnya.

“Kalau di media sosial, entah itu saat sedang live, direct message, atau komentar di foto, hate speech itu sudah sangat biasa terjadi. Banyak yang tidak suka karena kita tidak secantik atau mungkin badannya tidak sekecil yang lain. Mostly body shaming,” jawab Vela ketika ditanya bentuk ujaran kebencian yang pernah dia hadapi. “Tapi, banyak juga yang benci cara kita nge-cast, cara menyampaikan kata-kata.” Dia mengaku, biasanya, dia berusaha untuk mengacuhkan hate speech yang dia terima. “Tapi, kalau lagi mau meledak banget, baru aku tanggapin ke pribadi mereka.”

Veronica "Velajave" Fortuna. | Sumber: Instagram
Veronica “Velajave” Fortuna. | Sumber: Instagram

Vela, yang telah menjadi caster selama lima tahun (saat artikel ini ditulis), mengaku tidak sengaja masuk ke dunia esports. “Dulu aku nggak kepikiran kerja di esports. Aku tuh awalnya cuma senang main game, dulu mainnya Dota 2. Terus iseng ikut turnamen perempuan. Lama kelamaan, EO tahu. Dan mereka minta aku untuk nge-cast di turnamennya,” ungkap Vela. Walau awalnya dia tidak tahu apa tugas caster, dia pada akhirnya merasa tertarik dengan tugas seorang caster. “Aku merasa itu menarik banget.”

Mengenai perlakuan atas caster perempuan dan laki-laki, Vela mengatakan, biasanya, penampilan caster perempuan akan lebih dipedulikan dari caster laki-laki. Jika caster laki-laki bisa menggunakan pakaian yang sama dalam beberapa acara, caster perempuan biasanya harus mengganti penampilan mereka. “Kalau laki-laki kan ya pakai itu-itu saja. Jasnya sama, tapi dalemannya berbeda, kaos atau kemeja. Terkadang, kalau kita perhatikan, mereka juga tidak mengganti pakaian untuk beberapa event. Kalau perempuan tidak bisa begitu. Nanti dikira tidak punya baju,” akunya sambil tertawa. “Ditambah makeup kita lebih lama, urusan rambut juga. Kalau caster laki-laki, mau pakai bedak saja sudah untung.”

Ini memunculkan pertanyaan apakah peran perempuan di dunia esports tak lebih dari eye candy atau pemanis.

Para Perempuan yang Bekerja di Belakang Layar Dalam Dunia Esports

Di dunia esports, para atlet profesional memang menjadi bintang utama yang selalu disorot oleh media. Namun, sebenarnya, ada pekerjaan lain dalam industri esports yang tak kalah penting untuk memastikan ekosistem esports tetap bertahan, mulai dari manager dan analis dalam sebuah organisasi esports sampai penyelenggara turnamen. Dan posisi tersebut bisa diisi oleh siapa saja yang memang mumpuni, tak peduli gender mereka. Buktinya, Fathia Alisha Dwikemala berhasil menjadi Head of Events di RevivalTV dan Nadya Sulastri bisa menjadi Head of Finance and Accounting di Mineski Indonesia.

Sebagai Head of Events, tugas Fathia adalah melakukan koordinasi antara tim, sponsor, klien, dan semua pihak terkait untuk memastikan sebuah acara berjalan dengan lancar. Dia bercerita, dia tidak pernah mengalami diskriminasi gender di tempatnya bekerja sekarang. “So far, nggak bermasalah dengan gender sih. Semuanya sama saja karena memang memiliki passion di esports,” akunya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dengan apa yang aku jalani saat ini, kesempatan untuk bekerja di belakang layar untuk laki-laki dan perempuan sama, karena mostly, kita memang bekerja sebagai tim. Jadi, tidak membedakan gender sama sekali.”

Mobile Legends Pro League. | Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha
Mobile Legends Pro League. | Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha

Sementara itu, menurut Nadya dari Mineski Indonesia, dalam industri esports, perempuan memang memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja di belakang layar. Tidak tertutup kemungkinan, seorang perempuan juga menduduki jabatan penting. Dia berkata, seorang perempuan bisa saja menjadi project manager yang bertanggung jawab atas turnamen sebesar Mobile Legends Pro League. “Asal orangnya memang memiliki dedikasi tinggi, berkomitmen, dan don’t crack under pressure. Bekerja di event organizer, pressure-nya memang tinggi. Karena kita tidak melakukan tugas yang sama setiap harinya. Ada banyak hal yang tidak terduga terjadi secara mendadak dan kita harus bisa mengambil keputusan, menyelesaikan masalah dengan cepat. Ini bukan masalah gender, tapi lebih ke personality,” jelas Nadya ketika dihubungi melalui telepon.

Nadya memberikan contoh, saat ini, Mineski bertanggung jawab atas dua liga besar, yaitu MPL dan PUBG Mobile Pro League. Kedua turnamen itu biasanya diadakan secara offline di hadapan para penonton. Namun, ketika virus corona memasuki Indonesia dan pemerintah menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah, mau tidak mau, Mineski harus mencari cara agar turnamen tersebut tetap berjalan walau tidak diadakan secara offline. Akhirnya, untuk memastikan agar turnamen tetap dapat diselenggarakan dan para penonton tetap bisa menikmati pertandingan, Mineski Indonesia mengirimkan 16 orang ke masing-masing gaming house dari tim yang bertanding. Enam belas orang tersebut bertugas untuk merekam jalannya pertandingan. Selain itu, mereka juga akan mewawancara tim pemenang, sama seperti jika pertandingan diadakan secara offline. Hanya saja, wawancara pemenang ini dilakukan melalui video call.

Meskipun begitu, Nadya mengatakan, tidak semua posisi di belakang layar cocok untuk perempuan. “Tergantung departemennya. Kalau departemen yang banyak mengutamakan fisik, biasanya memang diisi oleh banyak laki-laki. Tapi, untuk departemen seperti finansial, marketing, media sosial, lebih banyak perempuan,” ujarnya. Dia tidak memungkiri, di dunia esports, peran sebagai atlet esports tetap “lebih menarik”. Meskipun begitu, tanpa keberadaan orang-orang di belakang layar — pihak penyelenggara turnamen, pihak yang menyiarkan pertandingan sehingga bisa menjadi hiburan untuk menarik sponsor — maka industri esports tidak akan berkembang.

Sementara itu, menurut Fathia, bagi perempuan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports memang senang bekerja di belakang layar, mereka bisa mengambil pekerjaan terkait manajemen. Menurutnya, itu karena perempuan biasanya memang lebih rapi dan teliti akan detail. “Saran aku untuk perempuan yang mau masuk ke dunia esports, jangan mundur sebelum mencoba. Karena sesuatu yang keren datangnya nggak pernah dari comfort zone,” ujarnya.

Bekerja di Industri Esports Sebagai Perempuan

“Aku enjoy banget sih jalanin pekerjaan di industri ini, karena banyak tantangannya dan aku memulai benar-benar dari nol, jadi ada banyak ilmu yang aku dapatkan,” jawab Fathia ketika ditanya bagaimana pengalamannya bekerja di dunia esports selama ini. Jika dibandingkan dengan industri lain, industri esports relatif muda. Meskipun begitu, Fathia tetap memilih untuk bekerja di dunia esports. Dia berkata, “Sejauh ini, aku percaya, industri esports akan menjadi besar nantinya, karena pelaku industri juga semakin banyak.”

Sebelum masuk ke dunia esports, Fathia pernah bekerja di industri pulp & paper. Dia mengaku, meskipun industri esports/game terlihat lebih santai, sebenarnya pekerjaan yang dia lakukan lebih keras. Hal yang sama juga dikatakan oleh Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV.

Soal budaya perusahaan, biasanya, budaya perusahaan yang bergerak di industri esports lebih menyerupai budaya startup, ungkap Nadya. “Kita seperti startup, tidak mau kaku. Kita menganut paham yang penting produktif, tidak terlalu formal, tapi, ya juga masih dalam batas wajar,” ujarnya. Sama seperti kebanyakan startup, Mineski Indonesia juga penuh dengan pekerja muda. “Pekerja yang berumur di atas 30 tahun di perusahaan kita cuma 10-20 persen. Sisanya, di bawah umur 30 tahun.”

Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk menyiarkan konten esports. | Sumber: MPL Official
Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk menyiarkan konten esports. | Sumber: MPL Official

Salah satu peraturan fleksibel yang diterapkan oleh Mineski adalah terkait jam kerja. Walau jam kerja untuk departemen yang tidak terkait dengan penyelenggaraan acara — seperti HRD dan keuangan — tetap ketat, tapi divisi broadcast biasanya memiliki jam kerja yang sangat fleksibel. Alasannya, karena tim tersebut biasanya sangat sibuk menjelang penyelenggaraan turnamen. “Ketika kita menyelenggarakan event, tim broadcast bisa baru selesai setup pada pukul 2-3 pagi, sementara pada pukul 7 pagi, acara sudah dimulai,” jelas Nadya. Mineski Indonesia lalu memutuskan untuk menghargai kerja keras divisi broadcast dengan memberikan jam kerja yang fleksibel.

Saat ditanya tentang kriteria orang yang cocok untuk bekerja di dunia esports, Nadya menjawab, “Orang yang mau belajar. Karena kita tidak punya perusahaan yang bisa dijadikan contoh.” Dia menjelaskan, orang yang pernah bekerja di event organizer sekalipun, belum tentu bisa mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam menyelenggarakan turnamen esports. Tugas Mineski sebagai penyelenggara turnamen esports berbeda dari EO konvensional. Ada beberapa hal yang membedakan penyelenggaraan turnamen esports dengan acara lain, seperti prize pool. “Hampir setiap event ada prize pool, yang harus dipotong pajak. Jadi, kita harus mengumpulkan NPWP para peserta,” ungkapnya.

“Kriteria lainnya adalah harus mengerti game,” kata Nadya. Khususnya untuk orang-orang yang bekerja untuk tim broadcast. “Mereka harus tahu konten apa yang cocok untuk ditampilkan agar pertandingan terlihat seru. Karena, apa yang mau ditampilkan itu tergantung game-nya. Game MOBA atau FPS beda.” Dia menjelaskan, konten siaran turnamen esports berbeda dari acara non-esports, seperti konser musik misalnya. Dalam sebuah konser, kamera cukup menyorot sang musisi atau penyanyi. Sementara dalam pertandingan esports, konten harus dipilih sedemikian rupa sehingga penonton dapat merasakan keseruan pertandingan yang berlangsung.

Tak hanya tim broadcast, divisi lain yang tak terlibat langsung dalam penyelenggaraan acara juga harus memahami game, seperti departemen finansial. Dengan begitu, diharapkan, mereka tidak akan tertipu ketika mereka menyediakan biaya akomodasi untuk tim yang berlaga dalam turnamen.

Kesimpulan

Di industri esports, pemain profesional memang masih menjadi bintang utama. Sayangnya, pemain profesional perempuan masih mengalami diskriminasi. Dalam merekrut pemain, organisasi esports juga biasanya memilih pemain laki-laki. Meskipun begitu, itu bukan berarti perempuan tidak bisa meniti karir di esports.

Dunia esports tidak melulu soal para pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa diisi, seperti manager, penyelenggara turnamen, sampai penyiar konten. Jika tertarik dengan esports dan tidak keberatan untuk bekerja di belakang layar, ini bisa jadi kesempatan bagi perempuan. Memang, untuk mereka-mereka yang masih muda, bekerja di belakang layar seolah tidak memberikan prestise yang sama seperti menjadi atlet esports profesional, meskipun begitu, posisi tersebut tetap memiliki peran penting dalam mendukung keberlangsungan ekosistem esports. Ditambah lagi, di belakang layar, perempuan tak perlu khawatir dengan diskriminasi karena memang berbasis pada keahlian dan perannya masing-masing alias meritokrasi.

Esports diperkirakan akan menjadi industri besar karena ia dianggap sebagai hiburan di masa depan. Dan untuk mengemas pertandingan esports menjadi konten hiburan yang layak tonton, diperlukan orang-orang yang bersedia bekerja di belakang layar.

Sumber header: Mineski Infinity Indonesia

Facebook Gaming Rilis Fitur Baru, Tournaments

Facebook Gaming meluncurkan fitur baru, yaitu Tournaments. Seperti namanya, fitur ini memungkinkan pengguna untuk membuat turnamen esports, mulai dari proses registrasi, seeding, pengaturan bracket, sampai penghitungan skor. Melalui fitur Tournaments, seseorang juga bisa mengikuti kompetisi yang diadakan oleh pengguna lain. Fitur Tournaments mengakomodasi berbagai format pertandingan, seperti single-elimination, double-elimination, dan round-robin.

Tournaments terintegrasi langsung ke Facebook Gaming, lapor The Verge. Jadi, seseorang bisa mengadakan turnamen dan langsung menyiarkan jalannya pertandingan ke platform streaming game tersebut. Jika mereka ingin menggalang dana, mereka juga bisa menggunakan berbagai tool yang telah disediakan oleh Facebook. Menariknya, Tournaments bisa digunakan oleh semua orang untuk membuat berbagai jenis turnamen esports, mulai dari tingkat amatir sampai profesional.

Facebook Gaming mengatakan, mereka telah mengembangkan fitur Tournaments selama beberapa waktu. Mereka memutuskan untuk meluncurkan fitur tersebut lebih cepat agar orang-orang yang tidak bisa keluar rumah karena pandemi virus corona tetap bisa bersosialisasi dengan teman dan keluarga mereka, ungkap Mina Abouseif, Head Engineer dari Facebook Gaming Tournaments.

Facebook gaming tournaments
Facebook Gaming Tournaments bisa digunakan oleh siapa saja. | Sumber: Facebook Gaming

“Facebook Gaming bertujuan untuk membesarkan komunitas gaming di dunia,” kata Abouseif pada GamesBeat. “Dan turnamen, mulai dari amatir sampai profesional, selalu menjadi bagian penting dari ekosistem gaming. Baik turnamen kasual yang hanya diikuti oleh teman dan keluarga seseorang, turnamen yang diadakan oleh kreator konten untuk penonton mereka, sampai turnamen yang diikuti oleh organisasi esports profesional, semua ini adalah bagian penting dari ekosistem gaming.”

Sebelum pandemi virus corona, Abouseif sendiri sering bermain game sepak bola FIFA dengan teman-temannya. Mereka bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam untuk bermain. Sayangnya, kini mereka tidak lagi bisa melakukan itu. Melalui Tournaments, Abouseif berharap dia bisa kembali terhubung dengan teman-temannya, walau hanya melalui dunia digital.

“Kami sadar bahwa ada banyak penyelenggara turnamen yang menggunakan Facebook Events dan Pages serta Group untuk mempromosikan kompetisi yang mereka adakan,” ujar Abouseif. “Biasanya, para penyelenggara turnamen membutuhkan beberapa tools yang berbeda untuk menentukan bracket dan menghubungi para peserta. Dengan Tournaments, kami ingin memudahkan para penyelenggara turnamen untuk menggelar kompetisi esports.”

Abouseif menjelaskan, pada awalnya, Facebook Gaming mengembangkan Tournaments untuk pertandingan esports offline. Mereka bahkan sempat menguji fitur ini ke sejumlah kampus. Namun, pandemi COVID-19 membuat turnamen esports hanya bisa diselenggarakan secara online.

Saat ini, persaingan antara platform streaming game semakin memanas. Meskipun Twitch masih menjadi platform streaming game nomor satu, Facebook Gaming mengalami pertumbuhan yang sangat pesat pada tahun lalu. Ini memunculkan dugaan bahwa Facebook Gaming akan mendisrupsi pasar pada tahun 2020.

Bos Esports Capcom Bicarakan Masa Depan Street Fighter V

Selama ini, perkembangan Fighting Game sebagai esports besar salah satunya berkat komunitasnya. Namun demikian, peran developer tetap menjadi penting untuk agar komunitas tidak kehilangan semangatnya untuk terus mengembangkan semangat kompetisi dari para pemain game tersebut.

Dalam beberapa kasus, beberapa pengembang terbilang “lepas tangan” terhadap apa yang dilakukan komunitas. Salah satunya mungkin seperti perilaku Nintendo terhadap komunitas Super Smash Brawl. Meski mereka sudah mencoba menjelaskan alasannya tidak sokong esports, namun hal ini tetap sulit untuk diterima komunitas. Mereka juga sempat diprotes oleh salah seorang pemain Smash profesional, Juan DeBiedma (HungryBox).

Tapi dalam kasus lain, ada juga Capcom yang semangat terus mendukung gerakan esports di dalam komunitas pada salah satu game fighting terpopuler besutannya, Street Fighter V.

Dalam sebuah wawancara resmi dari Capcom, Nobuhiko Shimizu, Head of Esports Business Division sempat berbagi pandangannya terhadap FGC Street Fighter V. Wawancara tersebut dibuka dengan pengakuan Shimizu soal keterlambatan Capcom untuk terjun ke dalam esports.

Sumber: Capcom
Sumber: Capcom

Namun itu semua terjadi karena hukum di Jepang yang sempat menganggap kompetisi game sebagai perjudian. “Jepang mungkin terbilang terlambat dalam esports. Namun kami di Capcom berkomitmen sangat tinggi untuk membuat sebuah lingkungan yang sehat untuk para atlit (pro player) dan juga sponsor potensial.”

Lebih lanjut Capcom lalu membahas soal sistem kompetisi terbuka dan peran komunitas. Anda pembaca setia Hybrid mungkin sadar akan perkembangan tren sistem kompetisi tertutup atau Franchise Model. Model ini sudah diadaptasi banyak penyelenggara karena dianggap akan jadi tren masa depan. Yang terbaru ada Liga LoL Korea yang akan mengadaptasi model ini di tahun 2021.

Namun demikian Shimizu mengaku bahwa mereka menyokong penuh ide soal kompetisi terbuka. “Menciptakan lingkungan yang jadi tempat berkembang bagi semua elemen mulai dari atlit, penonton, developer, sponsor, dan penyelenggara, adalah hal yang vital untuk mencapai kesuksesan.” ucap Shimizu.

Membawa analogi ibarat laut pasang akan membawa naik semua kapal, Shimizu menjelaskan bahwa memiliki ekosistem yang memberikan kesempatan bagi semua orang, baik pelaku bisnis atau penonton adalah hal yang vital bagi Capcom.

Shimizu juga berbagi soal Capcom Pro League yang menyajikan pertarungan 3v3. Ia menjelaskan salah satu tujuan liga tersebut adalah untuk memberi kesempatan anggota tim untuk berkembang bersama. Makanya iterasi pertama Capcom Pro League menyajikan pertarungan dengan tim yang berisikan pemain pro, pemain amatir tingkat tinggi, dan pemain biasa. Hal ini juga, yang mungkin bisa dibilang sebagai bentuk dukungan Capcom terhadap para pemain dalam ekosistem esports ideal yang dibayangkan oleh mereka.

Menutup bincang-bincang tersebut, Shimizu juga memberikan pandangan masa depannya. “Satu hal yang dipercaya oleh presiden Capcom, Haruhiro Tsujimoto juga, bahwa esports punya potensi untuk menjadi lebih dari sekadar kompetisi saja.” Ucapnya.

“Capcom telah menyelenggarakan turnamen Street Fighter selama 30 tahun, sejak turnamen di Ryogoku Kokugikan di tahun 1992 sampai sekarang. Kami merasa memiliki kewajiban yang kuat untuk terus membantu perkembangan esports, baik sebagai komoditas ekonomi atau budaya.”

“Kami paham, masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Namun semua dari kami, termasuk manajemen atas sangat bersemangat melihat masa depan. Kami bekerja keras untuk membawa esports kepada kalian semua, baik itu Amerika Utara, Eropa, Jepang, ataupun Asia.” tutup Shimizu dalam sesi tanya jawab tersebut.

Pandemi COVID-19 memang masih menjadi masalah yang berat bagi semua pihak, termasuk bagi esports. Dalam kasus FGC, awal April lalu kita menemukan kompetisi Combo Breaker 2020 akhirnya terpaksa digagalkan.

Namun ini bukan berarti kita harus pesimis dengan masa depan. Melihat apa yang disampaikan Capcom, mari kita berharap semoga esports Street Fighter V bisa terus berkembang, dan bertahan di masa depan.

Organisasi Esports Sponsori Pembalap Betulan Untuk Kompetisi Sim-Racing

Esports Sim-Racing segera kebanjiran perhatian setelah pandemi COVID-19 terjadi dan memaksa banyak ajang balapan motorsport jadi tidak bisa dilaksanakan. Akhirnya, banyak cabang motorsport beralih ke Sim-Racing, seperti Formula 1, MotoGP, ataupun balap NASCAR. Bahkan televisi nasional Amerika Serikat juga jadi menayangkan balapan Sim-Racing yang diikuti oleh para pembalap motorsport NASCAR.

Tak hanya itu, kejadian ini juga membuat disrupsi tersendiri dalam hal kerja sama dan sponsorship. Dalam keadaan normal, kita biasanya melihat entitas dari olahraga tradisional mensponsori atau membuka peluang di ekosistem esports, seperti Barcelona yang punya tim Rocket League, atau Juventus yang kerja sama dengan Astralis untuk berkompetisi di kancah eFootball PES 2020.

Namun dalam keadaan seperti sekarang, malah tim esports yang menjadi sponsor bagi entitas olahraga tradisional. Baru-baru ini organisasi esports yang membawa divisi Rainbow Six: Siege mereka menjadi juara dunia di Six Invitational, Spacestation Gaming, mengumumkan bahwa mereka mensponsori pembalap motorsport NASCAR, Will Rodgers.

https://twitter.com/SpacestationGG/status/1246487228630499330

Lewat sponsorship ini, kita akan melihat Will Rodgers mewakili Spacestation Gaming dalam balapan eNASCAR Coca-Cola iRacing Series, sebuah balapan Sim-Racing resmi yang dibuat oleh promotor balap motorsport NASCAR. Tak hanya itu, nantinya Will Rodgers juga akan melakukan balapan dalam mobil dengan rancangan tampilan muka spesifik untuk Spacestation Gaming.

Mengutip dari Esports Insider, Shaun McBride (Shonduras), Owner Spacestation Gaming mengatakan. “Olahraga tradisional dengan esports memiliki kemiripan, dan eNASCAR menjadi bukti yang sangat sempurna! Spacestation Gaming sangat bersemangat untuk membangun komunitas baru ini dan menjadi penyokong jangka panjang terhadap skena yang sedang berkembang cepat ini!”

Will Rodgers juga menambahkan. “Saya sangat senang sekali bisa bekerja sama dengan Spacestation Gaming, dan memulai tim eNASCAR baru. Dengan semua kesuksesan torehan prestasi Spacestation pada platform gaming lainnya, saya yakin bahwa kami telah membuat kombinasi juara baik untuk di dalam atau luar trek balap.”

https://twitter.com/willrodgers65/status/1246486733539233792

Belakangan balapan Sim-Racing NASCAR yang diselenggarakan oleh promotor motorsport NASCAR itu sendiri memang sedang menjadi buah bibir dan memunculkan kesempatan baru bagi ekosistem esports. Apalagi tayangan balap virtual ini terbukti disukai oleh khalayak umum setelah FOX Sports mencatatkan ada 1,3 juta orang penonton yang menonton gelaran eNASCAR iRacing Pro Series Invitational.

Melihat keadaan seperti ini, rasanya keputusan Spacestation Gaming mensponsori pembalap seperti Will Rodgers yang sudah beberapa kali memenangkan kejuaraan motorsport NASCAR untuk berkompetisi dalam balap Sim-Racing, adalah sesuatu yang tepat.

Sempat Ditunda Karena Corona, Call of Duty League Kembali Diadakan Pada 10 April 2020

Setelah sempat tertunda akibat pandemik virus corona, Call of Duty League (CDL) akan kembali digelar secara online pada 10-12 April 2020. Liga yang merupakan bagian dari Home Series ini akan berlangsung selama tiga hari. Pada hari pertama, akan diadakan group stage. Sementara babak knockout dan semifinal akan diadakan pada hari kedua, Sabtu, 11 April 2020. Pada hari terakhir, Minggu, 12 April 2020, akan digelar pertandingan final.

“Saya memiliki pengalaman bekerja di NFL selama bertahun-tahun. Saya tahu bagaimana olahraga bisa membuat orang-orang menjadi kembali bersemangat,” kata Johanna Faries, Commissioner, Call of Duty Esports, Activision Blizzard, seperti dikutip dari GamesBeat. “Tidak ada seorang pun yang senang dengan keadaan sekarang. Tapi, inilah kondisi yang harus kita hadapi. Kami bersukur karena Call of Duty League tetap bisa diselenggarakan dan menawarkan pertandingan yang menarik bagi fans yang kini sangat memerlukan hiburan.”

Activision Blizzard baru mulai mengadakan Call of Duty League pada tahun ini. Menggunakan model franchise, CDL diikuti oleh 12 tim dari 4 negara. Sama seperti Overwatch League, CDL menggunakan sistem kandang-tandang. Pada akhir pekan, sebuah tim CDL seharusnya menyelenggarakan turnamen Home Series. Kali ini, Dallas Empire seharusnya menjadi tuan rumah, lapor The Esports Observer. Namun, karena pandemik virus corona, maka Activision Blizzard memutuskan untuk mengadakan semua pertandingan CDL secara online. Mereka juga telah menyesuaikan jadwal dari CDL Home Series tahun ini.

call of duty league corona
Jadwal pertandingan Home Series dari Call of Duty League. | Sumber: Activision Blizzard

Dalam setiap turnamen Home Series, hanya 8 dari 12 tim yang akan berlaga. Kali ini, 8 tim yang ikut serta antara lain Chicago Huntsmen, Dallas Empire, Florida Mutineers, Los Angeles Guerrillas, Minnesota Rokkr, Paris Legion, Seattle Surge dan Toronto Ultra. Di setiap turnamen Home Series, semua tim akan mendapatkan poin berdasarkan performa mereka sepanjang kompetisi. Pada akhir musim, poin yang didapatkan masing-masing tim akan diakumulasikan. Poin ini akan digunakan untuk menentukan tim-tim yang lolos ke CDL Championship.

Meskipun Call of Duty League akhirnya dapat kembali diselenggarakan, ada kekhawatiran bahwa pertandingan tidak akan berjalan lancar. Salah satu masalah yang mungkin terjadi adalah latensi server atau para pemain yang terputus dari server. Masalah ini sempat terjadi dalam pertandingan eksibisi antara London Royal Ravens dan Florida Mutineers serta Paris Legion dan Los Angeles Guerrilas. Untuk mengantisipasi hal ini, Call of Duty League mengatakan bahwa mereka tengah menguji beberapa server baru di Amerika Serikat.

Selain Call of Duty League, Call of Duty Challengers dan City Circuits juga akan digelar secara online. Menurut laporan ESPN, Activision Blizzard juga berencana untuk mengadakan lima turnamen Challengers tambahan. Masing-masing dari turnamen itu akan menawarkan total hadiah sebesar US$50 ribu.

Ghost Gaming Dikabarkan Gulung Tikar, Dampak Ekonomi Pandemi COVID-19?

Bagi Anda yang mengikuti skena kompetitif PUBG (Steam), Anda mungkin sudah cukup familiar dengan nama Ghost Gaming. Sang CEO, Matt Dillon sempat menjadi sorotan saat ia memberikan alasan Ghost Gaming meninggalkan liga PUBG Amerika Serikat, NPL, yang adalah karena hanya mendapat US$173,49 (sekitar Rp2,8 juta) dari sistem bagi hasil penjualan skin.

Setelah meninggalkan PUBG, Ghost Gaming masih tetap beroperasi, dan memiliki tim di beberapa skena esports besar seperti CS:GO, Call of Duty, Gears of War, Fortnite, Smite, dan Rocket League. Namun demikian, mengutip dari Esports Observer, sang CEO Matt Dillon mengatakan bahwa ada indikasi Ghost Gaming akan gulung tikar dalam waktu dekat.

Sumber: Twitter @MattDillonGG
Sumber: Twitter @MattDillonGG

Ia mengatakan mengatakan “Kemungkinan besar, organisasi ini (Ghost Gaming) akan gulung tikar, namun kami mencoba mencari opsi lain, termasuk menjualnya.” Esports Observer mengatakan, bahwa spekulasi yang beredar soal alasan gulung tikar tersebut adalah karena dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 kepada ekosistem esports dan pasar investor.

Beberapa waktu belakangan, terlihat juga banyak pemain yang sebelumnya membela Ghost Gaming mulai meninggalkan organisasi satu persatu. Salah satunya adalah duet Fortnite andalan Ghost Gaming yaitu Timothy Miller (Bizzle) dan Aydan Conrad (Aydan). Mereka mengumumkan bahwa mereka meninggalkan Ghost Gaming, namun tidak memberikan alasan, kenapa mereka memilih meninggalkan tim tersebut.

Namun demikian banyak informasi yang masih bersifat simpang siur terkait hal ini. Pada kompetisi Smite Pro League misalnya, mereka sempat mengumumkan bahwa pemain Ghost Gaming meninggalkan organisasi dan akan bermain untuk tim Radiance. Hi-Rez Studios selaku pengembang dan regulator liga ini juga tidak memberikan komentar apapun terkait kepindahan pemain tersebut.

Lalu selanjutnya pada Rocket League Championship Series. Ghost Gaming sampai saat ini masih memiliki slot bertanding di dalam liga utama Rocket League tersebut. Namun demikian ada rumor lain yang berkata bahwa Nick Costello (mist) dan Massimo Franceshchi (Atomic) sia pmencari kesempatan lain setelah kontrak mereka dengan Ghost Gaming habis.

Ini tentu menjadi satu berita yang cukup mengagetkan bagi skena esports, terutama di Amerika Serikat. Memang sejauh ini pandemi COVID-19 memiliki dampak ekonomi yang besar, termasuk bagi ekossitem esports. Salah satu yang cukup terasa adalah banyaknya turnamen offline yang batal terselenggara seperti PBWC 2020 ataupun Combo Breaker 2020. Mari kita berdoa agar krisis ini cepat berlalu agar kita dapat kembali beraktivitas seperti biasa.

Sumber: Esports Observer

Bigetron RA Juara PMPL ID 2020 Season 1, Berhak Melaju ke PMWL 2020

Setelah satu bulan pertandingan babak Regular Season, PMPL ID 2020 Season 1 kini akhirnya sudah mencapai puncak. Pada gelaran Grand Final yang diadakan pada tanggal 3-5 April 2020 lalu, Bigetron RA berhasil memuncaki klasemen, dan menjuarai PMPL ID 2020 Season 1. Namun demikian, perjuangan Bigetron RA, MORPH Team, dan ONIC Esports tidak mudah untuk bisa mendapatkan top 3, dan merengkuh kesempatan mewakili Indonesia di PMPL SEA Finals 2020 nanti.

PMPL ID 2020 Season 1 memang berjalan dengan sengit. Selama babak regular season, penonton seakan diajak menonton aksi tanpa henti saat pertandingan liga yang berjalan selama satu bulan itu. Week 1 para tim debut mendobrak permainan, week 2 Bigetron RA baru terbangkit dan mulai mendominasi permainan, week 3 pertandingan papan tengah jadi memanas sementara Bigetron RA tidak terhentikan, yang lalu ditutup dengan week 4 yang jadi pertarungan penuh peluh antara 5 tim untuk memperebutkan slot 16 besar menuju ke babak Grand Finals.

Sumber: Instagram @pubgmobile.esports.id
Sumber: Instagram @pubgmobile.esports.id

Begitu juga pertandingan babak Grand final, yang menyajikan pertandingan sengit dengan sajian kompetisi tingkat tinggi. Hari pertama The Pillars Slayer mengamuk dan memuncaki klasemen. Dengan total perolehan sebesar 79 poin, 2 Chicken Dinner dan 29 kill. Tetapi The Pillars Slayer tidak bisa hidup tenang karena Bigetron RA mengikuti tepat di belakangnya.

Hari kedua Bigetron RA membayar lunas performa melempem yang mereka alami pada hari sebelumnya. Mereka mendapat 2 Chicken Dinner sehingga mereka kini memperoleh 146 poin dengan 52 kill.

Kini gantian, The Pillars yang mengintil di belakangnya, ditambah setidaknya 6 tim lainnya yang juga siap menyergap mereka ketika lengah.

Lalu pada hari ketiga, kejutan datang dari ONIC Esports yang memanfaatkan momen-momen krusial, membuat peringkat 3 diperebutkan dengan panas. The Pillars Slayer yang beberapa kali lengah pada akhirnya tertendang dari posisi top 3, sehingga harapan mereka pun pupus untuk dapat melaju ke PMPL SEA Finals 2020. ONIC Esports menusuk, dan mengamankan peringkat 3.

Sementara itu di sisi lain, permainan solid dari Zuxxy, Luxxy, Ryzen dan Microboy menundukkan MORPH Team yang berkali-kali menantang keras sang Red Aliens. Alhasil Jeixy dan kawan-kawan harus puas berada di peringkat 2, sementara Bigetron RA melenggang membawa trofi PMPL ID 2020 Season 1. Dengan ini berikut top 3 PMPL ID 2020 Season 1:

  1. Bigetron RA – 233 poin/4 Chicken Dinner/87 Kill – US$20.000 (sekitar Rp330,5 juta) – Berhak melaju ke PMWL 2020 dan PMPL SEA Finals 2020
  2. MORPH Team – 192 poin/2 Chicken Dinner/73 Kill – US$14.000 (sekitar Rp231 juta) – Berhak melaju ke PMPL SEA Finals 2020
  3. ONIC Esports – 173poin/2 Chicken Dinner/75 Kill – US$7.0000 (sekitar Rp115 juta) – Berhak melaju ke PMPL SEA Finals 2020

“Selamat kepada Tim Bigetron Red Aliens yang berhasil menjadi juara PUBG Mobile Pro League 2020. Kami punya harapan tinggi atas kualitas talenta yang sangat baik dari perwakilan Indonesia. Hal ini menjadi bukti semakin kuatnya perkembangan industri maupun talenta esports di Indonesia.” ucap Gaga Li, Direktur Esports PUBG Mobile untuk Asia Tenggara.

Sumber: Instagram @pubgmobile.esports.id
Sumber: Instagram @pubgmobile.esports.id

“PUBG Mobile ingin dapat turut serta membantu, mengantar, serta menyorot nama Indonesia di kancah esports internasional. Kami juga mengucapkan terima kasih banyak kepada 15 tim lainnya yang telah menyajikan pertandingan PUBG Mobile terbaik kepada para penggemar setia. Kesempatan masih terbuka lebar bagi tim di posisi 1, 2, dan 3 untuk kembali berjuang di PUBG Mobile Southeast Asia Final 2020 Season 1. Persiapkan dan manfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya sebab persaingan tidak semakin mudah melainkan semakin ketat dengan tim-tim terbaik dari seluruh wilayah Asia Tenggara.” tutup Gaga Li.

Dengan kemenangan ini Bigetron RA otomatis mendapat kesempatan bertanding di PUBG Mobile World League 2020. Namun, mereka masih harus tetap turut bertanding di dalam gelaran PMPL SEA Finals untuk menunjukkan kualitasnya sebagai tim terbaik di tingkat regional. Sementara itu MORPH Team dan ONIC Esports juga masih punya kesempatan untuk melaju ke PMWL, namun mereka harus berjuang lebih keras, karena hanya 2 tim saja dari PMPL SEA Finals 2020 yang bisa melaju ke tingkat dunia.

Mari kita dukung dan doakan agar perwakilan Indonesia bisa mendapatkan hasil terbaik di dalam persaingan kancah kompetitif PUBG Mobile, baik regional SEA ataupun tingkat dunia!

League of Legends Champions Korea Berubah Jadi Franchise Model di Tahun 2021

Tak bisa dipungkiri, bahwa sampai sekarang League of Legends adalah, tak hanya menjadi salah satu game terpopuler tapi juga salah satu game dengan bisnis esports paling sukses. Bagaimana tidak, tahun 2019 lalu saja, League of Legends masih menyandang status sebagai salah satu game dengan dampak terbesar kepada ekosistem esports, yang hanya bisa disaingi oleh Counter-Strike Global Offensive. Fakta kesuksesan tersebut diperkuat dengan langkah Riot Games, yang dengan percaya diri menyatakan esports sebagai pilar bisnis pengembang asal Los Angeles, Amerika Serikat tersebut.

Salah satu alasan kesuksesan tersebut mungkin datang dari strategi lokal yang diterapkan League of Legends. Tercatat League of Legends memiliki 13 liga yang tersebar di berbagai kawasan, dan bahkan baru menambah liga nasional untuk Belanda dan Belgia di akhir tahun 2019 lalu. Beberapa di antaranya telah menerapkan sistem liga franchise yang fokus untuk jangka panjang, dan kini League of Legends Champions Korea (LCK) akan menjadi liga berikutnya yang turut menggunakan sistem yang digadang-gadang akan menjadi tren masa depan di esports.

Sumber: Riot Official Media
Sumber: Riot Official Media

Riot Korea mengumumkan hal ini pada hari minggu kemarin. Dari empat liga terbesar dalam skena kompetitif League of Legends, liga domestik Korea Selatan ini menjadi yang paling terakhir dalam mengadaptasi sistem liga franchise, . Amerika Serikat dan Tiongkok telah beralih menjadi liga franchise sejak 2018, Eropa mengadopsi sistem ini di tahun 2019 yang disertai dengan rebranding menjadi League of Legends European Championship.

Maka dari itu LCK akan menghentikan pertandingan promosi/relegasi pada akhir LCK Spring Split 2020, sebagai momentum perubahan sistem. “Kami telah menyimpulkan bahwa LCK harus menjadi panggung bagi pemain, tim, serta fans yang ingin mencapai mimpi mereka secara lintas generasi, bukan dalam jangka pendek saja. Kami akan mengadaptasi model partnership jangka panjang untuk LCK 2021, dan kami akan membawa kembali kejayaan kami.” tulis Riot Korea lewat pernyataan tertulis.

Saat ini, LCK sedang membuka lowongan bagi siapapun yang ingin menjadi bagian sistem liga franchise dari salah satu liga League of Legends terbesar di dunia. LCK membuka lowongan sampai 19 Juni 2020, yang mana aplikasi tersebut harus menyertakan rencana bisnis, strategi operasi tim, serta rencana penggalangan dana dari sebuah organisasi esports. Semua proses serat kriteria untuk bergabung ke dalam LCK dijabarkan oleh Riot Korea lewat laman resmi mereka yaitu thefutureoflck.com.

LCK kembali diadakan.
Regional Korea Selatan meredup seiring dengan Faker yang kini sedang kesulitan menemukan permainan terbaiknya. Sumber: Riot Official Media

LCK pertama kali diselenggarakan sebagai kompetisi invitational berbentuk turnamen yang diselenggarakan oleh OnGameNet pada tahun 2012. Pada 2015, turnamen berubah menjadi LoL Champions Korea, dengan bentuk liga yang diikuti oleh 8 tim pada Spring Split dan meningkat jadi 10 tim pada Summer Split 2015.

Secara historis, Korea Selatan berhasil memproduksi tim League of Legends terbaik di dunia. Dari tahun 2013 sampai 2017, Korea selatan memenangkan League of Legends World Championship dan Mid-Season Invitational pada 2016-2017. Namun demikian, dua tahun belakangan Korea Selatan seakan tertinggal sementara tim Tiongkok dan Eropa sedang berada dalam performa terbaiknya.

Akankah perubahan sistem dapat kembali membawa Korea Selatan ke masa keemasannya di peta persaingan kompetisi League of Legends internasional?

Industri Esports Juga Bakal Dirugikan oleh Virus Corona

Selama beberapa tahun belakangan, esports telah berkembang menjadi industri yang besar. Para pengusaha dan atlet olahraga ternama ikut terjun dalam industri esports. Beberapa klub sepak bola pun membuat tim esports sendiri. Belakangan, esports semakin diminati. Alasannya, karena pertandingan esports dianggap bisa menggantikan berbagai kegiatan olahraga yang dibatalkan akibat pandemi virus corona.

Memang, berbeda dengan kegiatan olahraga tradisional, pertandingan esports bisa diadakan secara online. Jadi, keputusan pemerintah untuk melakukan lockdown tidak membuat pertandingan esports terhenti sepenuhnya. Meskipun begitu, para pelaku industri esports tetap percaya, industri ini akan terkena dampak buruk dari pandemi virus corona.

CEO dan co-founder Team Vitality, Nicolas Maurer mengatakan, walau industri esports akan dapat melalui krisis akibat virus corona, sejumlah para pelakunya akan tetap mengalami masalah. Sebelum ini, tim asal Kanada mengumumkan bahwa mereka harus merumahkan semua karyawannya demi bisa bertahan di tengah krisis ekonomi akibat pandemi virus corona.

CEO Vitality, Nicolas Maurer. | Sumber: Yahoo Sports UK
CEO Vitality, Nicolas Maurer. | Sumber: Yahoo Sports UK

“Salah satu kesalahpahaman tentang esports, masyarakat berpikir semua pertandingan esports diadakan secara online,” kata Maurer pada Press Association, seperti yang dikutip dari Evening Standard. “Tidak semua pertandingan esports diadakan secara online. Ada banyak turnamen offline yang diadakan setiap akhir pekan. Para pemain esports profesional bisa aktif bermain sekitar 30-36 minggu dalam setahun. Namun, salah satu kelebihan esports memang pertandingan bisa diadakan secara online.”

Maurer juga percaya, merek-merek besar yang telah memutuskan untuk menjadi sponsor masih akan bertahan. Meskipun begitu, dia mengaku, para pelaku esports mungkin akan kesulitan untuk mendapatkan sponsor baru. “Sebagian besar pendapatan kami datang dari sponsorship — tapi Anda harus membedakan sponsor lama dan sponsor baru… Akan sulit bagi kami untuk mendapatkan kontrak sponsorship baru. Namun, sponosr lama kami — adidas, Renault, Red Bull — kami punya hubungan dekat dengan mereka dan terus menjalin komunikasi dengan mereka,” ujarnya. “Mereka melihat potensi industri esports dan tidak keberatan dengan masalah yang muncul sekarang. Lain halnya dengan sponsor baru — dan ini akan memberikan dampak besar ke industri esports.”

Sementara itu, CEO Excel Eports Wouter Sleijffers mengatakan bahwa virus corona akan menyebabkan dampak buruk dalam jangka pendek untuk industri esports. Dia menjelaskan, “Kami akan kembali mengadakan pertandingan secara online, yang merupakan hal yang baik. Namun, akan ada sejumlah tantangan yang harus kami hadapi, seperti memastikan jaringan internet stabil.” Selain itu, masalah lain yang mungkin muncul ketika pertandingan esports diadakan secara online adalah kecurangan yang mungkin dilakukan oleh pemain. Meskipun begitu, Sleijffers percaya, para pelaku industri esports akan bisa beradaptasi dengan itu.

Sumber header: Facebook

Sejarah Counter-Strike: Yang Tak Pernah Mati Sejak 1999

Tak bisa dipungkiri bahwa CS:GO adalah salah satu fenomena budaya yang besar di kalangan gamers. Seakan hidup abadi, game ini sudah hadir selama 21 tahun lamanya, sejak 1999 lalu hingga tahun 2020 ini. Sepanjang perjalanannya, game ini juga sudah banyak memberi dampak kepada ekosistem gaming, seperti menjadi salah satu game yang mendefinisikan genre FPS, juga menjadi salah satu game yang mendefinisikan ekosistem esports sejak zaman dahulu kala dan bahkan masih jadi salah satu gelaran esports tersukses di tahun 2019 lalu.

Namun demikian semua itu tidak ada artinya jika Counter-Strike tidak pernah dibuat. Kali ini kita akan menyusuri masa lalu, melihat sejarah Counter-Strike, salah satu game yang telah mendefinisikan genre FPS dan juga esports sejak 21 tahun lalu.

Berawal dari Custom Game Half-Life

Nyatanya, tidak sedikit game yang sukses memulai perjalanannya dari custom game. Sudah banyak game jadi bukti akan hal tersebut, seperti Dota 2 dari custom game Warcraft III, PUBG dari custom game ARMA III, bahkan Dota 2 menelurkan game populer lain lewat custom game, yaitu Auto Chess.

Begitu juga dengan Counter Strike (CS), yang lahir dari custom game Half Life. Ketika itu Counter-Strike digagas oleh dua orang gamers yang memiliki ide dan mencoba menerapkan hal tersebut ke dalam Half Life. Dua orang tersebut adalah Minh Le (Gooseman) dan Jess Cliffe (Cliffe).

Pada masa itu, Minh Le dan Jess Cliffe bukanlah developer profesional, melainkan hanya mahasiswa yang menyukai video game dan ingin mencoba membuat sebuah karya dari hal yang ia sukai. Permainan yang bertema “polisi-polisian” ini juga tercetus karena kesukaan Gooseman terhadap hal tersebut.

Le sempat menceritakan ini dalam dokumenter singkat dari Valve. “Ketika itu saya sangat tertarik sekali dengan pasukan anti-teror. Saya merasa pekerjaan mereka memiliki kerumitannya tersendiri dari segi persenjataan ataupun taktik yang mereka gunakan. Saya pun berpikir bahwa hal tersebut akan menjadi tema yang keren untuk sebuah game.” ucap Gooseman dalam video tersebut.

Half-Life yang digunakan Gooseman dan Cliffe sebagai basis pengembangan CS juga berdasarkan dari tema yang ingin mereka bawa ke dalamnya. Padahal, Half-Life bukan satu-satunya game FPS yang bisa dibongkar ulang dan dijadikan game baru. Pada masa tersebut, ada juga Unreal Tournament serta Quake, dua game yang punya pengaruh terhadap perkembangan genre FPS, yang bahkan salah satunya adalah game pencipta tren kontrol WASD pada game FPS.

Half-Life pun dipilih meski Minh Le mengakui kesulitan dalam merombak engine Half-Life. “Saya mengerjakan proyek ini sekitar 30 sampai 40 jam per-minggu, sembari saya menyelesaikan studi di universitas.” Ucapnya kepada GameSpot.

Sembari pengembangan dilakukan, hal lain yang tak kalah penting untuk dipikirkan adalah nama game tersebut. Salah satu pengguna Reddit menemukan tangkapan gambar diskusi antara Gooseman dengan Cliffe saat mereka ingin menentukan nama game-nya. Gooseman sempat memberi ide nama Counter-Terrorist Forces. Namun Cliffe datang dengan ide nama yang juga disukai oleh Gooseman, yaitu Counter-Strike. Gooseman bahkan bercerita, sebelumnya mereka berdua sempat memikirkan nama lain seperti International World Soldiers dan Frag Forces.

Counter-Strike, Komunitas dan Dust2

Cerita sejarah CS adalah bentuk nyata dari kesuksesan pengembangan terbuka, atau yang biasa disebut Open-Source. Mengembangkan CS sambil menyelesaikan kuliah, Gooseman dan Cliffe mengaku tidak punya banyak waktu dalam memikirkan dan membuat semua elemen dari permainan Counter-Strike. Maka dari itu, pengembangan game multiplayer ini dilakukan sepenuhnya secara terbuka, dengan Gooseman dan Cliffe memberikan komunitas kebebasan untuk membuat apapun yang mereka inginkan.

“Kami sebenarnya tidak membuat satu pun map di dalam Counter-Strike. Semua map dibuat oleh komunitas. Mereka akan membuat sebuah map, lalu mengirimkannya kepada kami dan kami akan meninjau map tersebut. Selanjutnya kami akan memilih mana yang kami suka dan memasukkannya ke dalam versi CS yang akan dirilis berikutnya. Jadi pada dasarnya, begitulah game ini dikembangkan. Ketika itu ya saya, rekan saya Cliffe, dan komunitas. Bisa dibilang CS seperti game yang dikembangkan bersama.” Cerita Minh Le kepada Gamespot.

Sumber: GameReactor
Gooseman saat diwawancara oleh salah satu media game asal Eropa. Sumber: GameReactor

Cara pengembangan ini membuat komunitas jadi sangat bersemangat. Kebanyakan dari mereka bahkan menjadi bagian dari perkembangan Counter-Strike itu sendiri. “Padahal pada awalnya, kami berjuang setengah mati, memohon-mohon kepada orang orang-orang mau mencoba versi play-test dari Counter-Strike. Dahulu saya mencoba meminta pada kolega kuliah saya, dan mereka merespon dengan ‘tidak, terima kasih.” Ucap Cliffe dalam dokumenter dari Valve.

“Pada awal pengembangan, komentar dari komunitas menjadi warna bagi versi beta Counter-Strike berikutnya yang akan kami rilis. Kami merasakan energi positif yang sangat besar dari komunitas waktu itu,” cerita Clfife. “Orang-orang mengirimkan banyak sekali konten kepada kami. Mungkin kami pernah menerima ratusan map buatan komunitas dalam satu hari ketika itu.” Ucap Minh Le.

Sumber: Official CS:GO Blog
Sumber: Official CS:GO Blog

Metode ini juga yang membuat CS punya satu map yang paling legendaris, yaitu de_dust2. Seperti map lainnya, de_dust2 juga diciptakan oleh komunitas. Penciptanya adalah Dave Johnston, yang pertama kali membuat map ini pada Counter-Strike 1.0 pada tahun 2000 lalu. De_Dust2 menjadi map yang mendefinisikan Counter-Strike sejak lama.

Sebenarnya CS:GO punya ragam map yang mungkin tak kalah ikonik. Sebut saja tempat seperti cs_office, de_aztec, atau bahkan map pertama buatan Minh Le dan Cliffe yaitu cs_mansion yang selanjutnya diubah menjadi cs_estate. Namun de_dust2 seperti tak tergantikan dan bertahan sampai saat ini.

Joab Gilroy menulis di Red Bull Esports soal pengalamannya tumbuh besar bersama Counter-Strike. Pada masanya, ketika CS masuk versi beta 6.5, map Dust dan Dust 2 adalah dua map yang paling banyak dimainkan oleh para pemain. Walau ada map lain seperti, cs_office, cs_italy, atau de_aztec, namun para pemain seakan tutup mata dan hanya ingin memainkan de_dust saja.

“Mungkin karena Dust2 adalah map yang sederhana namun mendalam. Tetapi memang, popularitasnya juga terbantu karena map Dust yang sudah lebih dulu populer. Map ini jadi populer hingga kini juga mungkin karena Dust 2 adalah satu hal konstan yang membuat pemain CS dari berbagai generasi berkumpul dan menganggap map tersebut sebagai zona nyaman, walaupun map tersebut mungkin bukan yang paling seru dan mengasyikkan.” Ujar Dave Johnston dalam wawancara singkat bersama RockPaperShotgun.

Seiring pengembangan, Counter-Strike dan Dust2 mendapatkan perhatian yang sangat besar dari para gamers. Doug Lombardi dari Valve bercerita bahwa pada sekitar awal 2000an, CS sudah dimainkan 8000 orang. “Tak lama, sepekan kemudian jumlahnya meningkat jadi 12 ribu, lalu satu bulan kemudian jadi 16 ribu. Melihat keadaan ini, artinya pasti ada sesuatu di dalam komunitas. Makanya ketika itu kami dari Valve penasaran dan ingin sekali mengajak kerja sama pengembang Counter-Strike.

Sumber: Dokumenter Valve
Sumber: Dokumenter Valve

Berkat hal tersebut, Gooseman dan Cliffe direkrut oleh Valve untuk mengerjakan Counter-Strike. “Sungguh mengagumkan bisa bicara bersama Valve ketika itu. Kami mengidolakan mereka. Kami suka Half-Life dan kami juga menyukai Valve.” Sejak saat itu, popularitas Counter-Strike meledak, digunakan untuk berkompetisi, bahkan menggusur popularitas Quake sebagai game FPS kompetitif terpopuler di awal tahun 2000an. Popularitas ini membawa Counter-Strike ke tahap berikutnya.

Rilisnya Steam dan Eksperimen Valve terhadap Counter-Strike

Tahun 2003 Valve merilis Steam (Anda bisa membaca sejarah Valve di artikel yang kami tuliskan sebelumnya). Hal ini tentu berdampak langsung kepada Counter-Strike itu sendiri. Salah satunya adalah dari sisi distribusi update versi gameplay yang jadi lebih mudah. Duncan Shield (Thorin) sempat bercerita dalam dokumenter resmi Valve soal ini.

“Dahulu sebelum ada Steam, kehadiran patch terasa sangat menyedihkan karena artinya kami bakal tidak akan main CS selama 2 hari. Karena internet ketika itu masih sangat lambat. Dan tanpa Steam, semua orang di seluruh dunia terpaksa mengunduh update tersebut hanya dari satu server saja yang membuatnya terbebani dengan sangat berat.” Namun kehadiran Steam di tahun 2003 seakan menjadi penyelamat bagi komunitas. Dengan fitur auto-update dan server dari Valve, membuat update versi CS jadi lebih mudah dan cepat.

Sumber: PCGamer
Penampilan Steam saat pertama kali rilis di tahun 2003. Sumber: PCGamer

Tetapi, pasca Steam rilis pada tahun 2003, tahun berikutnya malah seperti menjadi masa kegelapan CS. Setelah sukses dengan Counter-Strike, Valve mulai bereksperimen dengan berbagai macam hal, dan mencoba menciptakan produk baru dari brand game populer ini. Satu percobaan yang pertama adalah merilis Counter-Strike untuk Xbox.

Game yang diberi nama Counter-Strike Xbox Edition pertama kali diumumkan pada Mei 2002 di gelaran E3. Berbasis kepada Counter-Strike: Condition Zero, game ini dikembangkan bersama dengan pengembang yang kini terkenal lewat seri Borderlands, yaitu Gearbox Software. Namun proses pengembangan tidak berjalan lancar, Gearbox Software meninggalkan Valve pada Juli 2002 seraya mengakhiri pengembangan terhadap Counter-Strike: Condition Zero.

Walau mengalami perjalanan pengembangan yang cukup berat akhirnya game ini rilis 18 November 2003, yang juga menjadi percobaan pertama Counter-Strike bersaing di ranah konsol. Walau berbasis pada Condition Zero, namun Counter-Strike Xbox Edition tidak menghadirkan Single-Player Campaign. Alhasil banyak komentar miring menanggapi hal tersebut. IGN, misalnya, yang mengatakan bahwa membeli Counter-Strike Xbox Edition tanpa berlangganan Xbox Live untuk kebutuhan bermain online akan jadi sia-sia.

Memang Counter-Strike Xbox Edition hanya menyertakan permainan Single-Player berupa gameplay yang serupa seperti Multiplayer, namun melawan bot atau AI. Walau mungkin Counter-Strike versi ini tidak terlalu banyak diketahui orang-orang, namun Counter-Strike Xbox Edition ternyata cukup sukses. Pada tahun 2008, game ini sudah terjual sebanyak 1,5 juta kopi di pasaran.

Sejarah Counter-Strike CS: Xbox Edition
Sumber: Official Valve

Lalu setelahnya ada juga Counter-Strike: Condition Zero. Versi Counter-Strike ini menjadi percobaan Valve menyajikan Single-Player Campaign ke dalam custom game buatan Gooseman dan Cliffe. Namun pengembangan CS:CZ mengalami jalan berliku berbarengan dengan perilisan CS: Xbox Edition.

Awal pengembangan game ini dimulai dari tahun 2001 dikembangkan bersama dengan Rogue Entertainment. Lalu melihat ketidakstabilan finansial dari pengembang tersebut, pengembangan lalu dipindah ke Gearbox Software. Namun setelah satu tahun pengembangan, Gearbox juga meninggalkan Valve sesaat Counter-Strike: Xbox Edition diumumkan. Pertengahan 2002, Ritual Entertainment mengambil alih pengembangan, sampai akhirnya Turtle Rock Studios mengambil pengembangan di pertengahan 2003 sampai akhirnya game ini selesai.

Setelah terseok-seok dan berkali-kali pindah tangan pengembangan, Counter-Strike: Condition Zero akhirnya rilis 23 Maret 2004 untuk Windows. Saat rilis, CS:CZ mendapatkan penilaian yang bercampur aduk dari media dan mendapat skor 65/100 dari Metacritic. Beberapa fitur yang dihadirkan seperti mode melawan bot dengan misi yang diberi nama Tour of Duty, mendapat ulasan yang cukup baik. PCZone bahkan mengatakan bahwa bot yang dihadirkan begitu pintar, sampai-sampai membuat “rata-rata pemain online terlihat seperti babon yang baru dilahirkan”.

Tetapi satu kritik yang senada dari game ini adalah engine game yang ketinggalan zaman. Banyak ulasan media mengatakan bahwa CS:CZ hadir terlambat, membuat game ini kalah saing secara visual jika dibandingkan dengan game shooter lain yang rilis pada masa tersebut. Namun lagi-lagi, game ini memiliki performa penjualan yang cukup lumayan, dengan total penjualan sebanyak 2,9 juta kopi terjual via retail menurut data tahun 2008.

Terakhir, pada masa yang tidak begitu jauh dari CS: Xbox Ediiton dan CS: Condition Zero, Valve juga merilis Counter-Strike: Source. Beda dengan dua versi sebelumnya yang bisa dibilang eksperimen, CS: Source mungkin dibuat untuk menjadi suksesor custom game orisinil buatan Gooseman dan Cliffe; atau mungkin bisa disebut sebagai CS 2.0?

Rilis pada November 2004, CS: Source punya gameplay yang serupa seperti versi orisinil, fokus pada multiplayer dengan membawa map-map ikonik khas Counter-Strike. Satu perbedaan yang cukup terasa adalah penggunaan engine berbeda, membuat grafis Counter-Strike jadi lebih baik. Pengembangan game ini terbilang cukup lancar-lancar saja namun yang jadi masalah bagi CS: Source adalah respon para pemain Counter-Strike generasi lama.

Menggunakan engine yang berbeda membuat beberapa mekanisme permainan jadi terasa berbeda di dalam CS:Source. Beberapa hal di antaranya seperti asap dari Smoke Grenade menyebar lebih lambat jika dibandingkan dengan CS 1.6. Efek Flashbang juga jadi lebih jelas, ditambah pantulan dalam CS:Source juga lebih terasa jika dibandingkan dengan CS 1.6.

Sejarah Counter-Strike CS: Source
Sumber: Official Valve

Recoil senjata juga jadi hal lain yang berubah di CS:Source. Recoil senjata kini jadi lebih menyebar, membuat pemain jadi kesulitan untuk menembak dengan akurat. Hal terakhir, detil yang mungkin terasa kurang penting dalam permainan kompetitif adalah kehadiran benda-benda yang akan terlempar jika terkena tembakan seperti tong besi ataupun benda-benda kecil lainnya.

Banyaknya perubahan ini banyak membuat pemain lama Counter-Strike jadi tidak nyaman dengan Counter-Strike Source. Akhirnya, game ini mengalami respon yang kurang baik, terutama dari sisi skena kompetitif. Hal ini berdampak kepada kehadiran dua kubu di dunia kompetitif. Seseorang dari forum Team Liquid dengan username SaveYourSavior menganalogikan CS:Source layaknya StarCraft 2 vs StarCraft: BroodWar atau seperti Super Smash Bros: Brawl vs Super Smash Bros: Melee. CS:Source ketika itu dianggap hanya memperbaiki Counter-Strike dari sisi grafis, namun malah memiliki banyak sekali kekurangan dari segi gameplay.

Beberapa orang dalam forum tersebut malah mengatakan bahwa CS:Source terasa lebih mudah dibanding dengan CS 1.6 karena recoil yang random, serta hitbox kepala yang terasa lebih besar sehingga headshot jadi lebih mudah. Alhasil, seakan terjadi perang sipil di antara komunitas pemain CS 1.6 melawan pemain CS: Source, layaknya perang antara pemain Dota 2 dengan pemain Custom Game Warcraft Defense of the Ancient dulu kala.

Sumber: Official Valve
Bagi Anda yang sudah main warnet sejak awal tahun 2000an mungkin akan merasakan nostalgia jika melihat gambar ini. Sumber: Official Valve

Dampak perang sipil Counter-Strike ini bahkan mencapai tingkat dunia kompetitif. Ketika istilah esports belum banyak digaungkan, penyelenggara turnamen kadang terpaksa mengadakan kompetisi untuk kedua game (Source dan 1.6). Mengutip dari Kotaku, salah satu brand kompetisi terbesar pada masa itu yaitu World Cyber Games (WCG), bahkan menerima reaksi yang sangat buruk dari komunitas ketika mereka hanya menghadirkan kompetisi Counter-Strike: Source saja. Akhirnya setelah itu WCG kembali menggunakan CS 1.6 sebagai game yang dipertandingkan dan terus dipertahankan.

Hal ini juga berdampak kepada penjualan Counter-Strike: Source. Tercatat, Counter-Strike: Source hanya terjual 2,1 juta kopi saja sampai akhir tahun 2008 lalu. Walau itu bukan angka yang kecil, namun penjualannya kalah dibanding dengan Counter-Strike: Condition Zero yang terbilang eksperimental dan tentunya Counter-Strike yang orisinil.

Counter-Strike:Global Offensive Penyelamat Counter-Strike di Masa Modern

Setelah kurang lebih delapan tahun perang sipil antara pemain Counter-Strike 1.6 dengan Counter-Strike: Source terjadi, 12 Agustus 2012 Counter-Strike:Global Offensive (CS:GO) resmi dirilis; seri terbaru Counter-Strike yang nantinya akan menjadi pemersatu komunitas. CS:GO merupakan penerus langsung dari CS 1.6 dan juga CS:Source dengan ciri khas berupa permainan yang fokus pada online multiplayer.

Namun demikian CS:GO tidak serta-merta langsung bagus dan diterima secara baik oleh komunitas saat pertama rilis. Pemain Astralis, Andreas Hojsleth (Xyp9x) sempat mengatakan dalam dokumenter TheScoreEsports bahwa dahulu ada banyak hal yang membuat CS:GO kurang menyenangkan saat pertama kali rilis. Salah satu contoh yang ia sebut adalah utility Molotov yang overpowered, membuat pergerakan jadi lambat jika terjebak di dalamnya, dan tidak bisa dipadamkan dengan smoke.

Belum lagi bug dan glitch di sana dan sini, yang membuat permainan jadi terasa kurang intuitif. Belajar dari masa gelap yang dialami Valve selama kurang lebih 8 tahun saat mereka membuat Counter-Strike: Condition Zero, Xbox Edition, dan Source, kini Counter-Strike: Global Offensive jadi lebih disukai karena respon Valve yang begitu cepat dalam menanggapi berbagai kekurangan dalam game tersebut.

Daniel Kapadia (DDK) salah satu shoutcaster di skena kompetitif CS:GO mengatakan bahwa game tersebut seakan menjadi harapan terakhir bagi Valve terhadap seri Counter-Strike. “Dan satu hal yang mengejutkan adalah game tersebut ternyata menjadi lebih baik hanya dalam 6 sampai 12 bulan saja. Perbaikan tersebut terjadi dengan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari pada yang diharapkan oleh kebanyakan para gamers.” ucapnya.

Selain dari itu, penambahan fitur juga jadi alasan CS:GO memiliki penerimaan yang sangat baik di kalangan gamers. CS:GO menjadi seri Counter-Strike pertama yang memperkenalkan fitur matchmaking.

Minh Le menyebutkan, bahwa sebelum kehadiran matchmaking, Anda harus masuk ke dalam sebuah room yang tidak Anda ketahui seberapa jago musuh yang akan Anda hadapi. Ini mungkin mirip seperti custom game Defense of the Ancient pada Warcraft III, saat Anda harus memasuki room bernama “55 APNP Kuburan Para Dewa”. Tanpa tahu siapa yang akan Anda lawan, dengan kemungkinan bertemu pemain profesional seperti Farand Kowara (Koala).

Tetapi fitur matchmaking membuat CS:GO jadi lebih user-friendly. Anda yang baru mulai main akan dipertemukan pemain lain, yang secara algoritma dianggap memiliki kemampuan main yang setara. Tak hanya itu, CS:GO juga menghadirkan Competitive Matchmaking, yang punya aturan main lebih kompetitif (menyalakan Friendly Fire contohnya), dan dilengkapi dengan rank untuk menentukan level kemampuan sang pemain.

Sumber: Steam Community Workshop
Seri Hyper Beast, salah satu skin senjata CS:GO yang cukup populer. Sumber: Steam Community Workshop

Hal lain yang juga membuat CS:GO mendapat respons yang positif dari komunitas adalah kehadiran skin di dalam game. Skin atau yang disebut sebagai “finishes” merupakan in-game items yang tergolong sebagai kosmetik di dalam CS:GO. Disebut sebagai kosmetik karena skin tidak menambah elemen apapun di dalam permainan kecuali menjadi pemanis mata bagi para pemainnya. Fitur ini sendiri bukan fitur bawaan dari CS:GO, melainkan fitur yang baru ditambahkan pada 13 Agustus 2013 lalu yang hadir lewat Arms Deal Update.

Elemen skin seakan menjadi perekat bagi komunitas, membawa pemain CS:GO bernostalgia ke zaman Counter-Strike dahulu karena memberi kesempatan bagi para pemain untuk berkontribusi terhadap game yang mereka cintai. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena skin dalam CS:GO mendukung fitur Steam Workshop, yang memungkinkan para pemain, siapapun Anda, bisa berkontribusi memberikan skin buatan Anda sendiri ke dalam game.

Nantinya ragam skin yang sudah diberikan para kontributor akan dimasukkan ke dalam peti yang bisa didapatkan para pemain. Peti bisa didapatkan secara gratis hanya dengan bermain namun kunci peti tadi hanya bisa dibeli dengan menggunakan sistem microtransaction. Tak hanya itu, skin yang Anda dapatkan nantinya juga bisa diperjual-belikan dengan pemain lainnya lewat Steam Community Market. Sistem ini membuat banyak pemain bertahan di CS:GO, karena game tersebut membuat ekonomi virtual tersendiri di dalam permainanya.

Sumber: Intelextremesmaster.com
IEM Katowice menjadi bukti bahwa CS:GO masih hidup dan sangat aktif meski sudah 8 tahun berlalu sejak game tersebut pertama kali dirilis. Sumber: Intelextrememasters.com

Berkat hal tersebut, CS:GO menjadi game yang membuat para pemainnya tetap kembali lagi, meski sudah mencoba yang lainnya. Terakhir kali, walau sudah 8 tahun beredar di pasaran, namun CS:GO masih bisa mencetak rekor dengan 1 juta pemain online secara bersamaan pada 14 Maret 2020 lalu. Apalagi sejak berubah menjadi Free to Play pada 2018 lalu, game ini menjadi semakin mudah diakses oleh pemain, termasuk para pemain CS 1.6 atau pemain yang baru mengenal game ini.

Kesuksesan ini akhirnya menurun kepada skena esports CS:GO. Membuat CS:GO berkali-kali mencetak rekor sebagai salah satu turnamen terpopuler. Kompetisi IEM Katowice yang mempertemukan Natus Vincere dengan G2 Esports masih ditonton oleh satu juta penonton secara bersamaan. Bahkan selama bulan Maret kemarin, liga CS:GO ESL Pro League Season 11 menjadi tontonan stream paling ramai di Twitch yang sudah ditonton selama 12,9 juta jam dan sempat ditonton oleh 331 ribu orang secara bersamaan.

Walau ada cerita dari organisasi esports seperti SK Gaming, yang memutuskan meninggalkan skena CS:GO untuk beberapa saat, namun CS:GO mungkin masih akan tetap bertahan setidaknya sampai beberapa tahun ke depan. Melihat game ini masih aktif menjadi esports dan dimainkan, mungkin hanya Tuhan yang tahu apakah game ini akan mati dan hilang bak ditelan bumi di masa depan, atau malah abadi sepanjang masa.