Mastercard Kerja Sama Dengan DreamHack Untuk Gelaran NLC 2020

Mastercard, perusahaan layanan finansial asal Amerika Serikat, merupakan salah satu brand yang banyak terlibat dalam ekosistem esports, terutama League of Legends. Terakhir kali, brand ini menjadi salah satu brand pertama yang mengambil spot sponsor in-game, yang baru diterapkan oleh Riot Games pada bulan Mei 2020 lalu.

Kini, keterlibatan mereka di ekosistem esports League of Legends jadi semakin menjalar, lewat pengumuman kerja sama dengan DreamHack untuk Northern League of Legends Championship (NLC). Dengan kerja sama ini, maka Mastercard akan melayani sebagai official payment partner untuk kompetisi tersebut selama musim 2020.

https://twitter.com/NLClol/status/1277912630058012674

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa kerja sama ini juga akan menawarkan hal lainnya. Salah satunya adalah sebuah aktivitas marketing bernama “Priceless Play of the Match”, yang merupakan hadiah yang diberikan kepada penonton setia tayangan NLC dan menyaksikan pertandingannya sepanjang musim selama satu tahun.

Mengutip dari Esports Insider, Roger Lodewick Co-CEO of DreamHack memberi komentarnya seputar kerja sama ini. “Esports terus bertumbuh dan berkemnbang, maka dari itu kami sangat bahagia sekali untuk menyambut kedatangan Mastercard ke dalam keluarga DreamHack dan dukungan yang mereka berikan kepada industri ini. Kami sangat menghargai kerja sama ini, dan tidak sabar untuk menawarkan lebih banyak konten lagi kepada penggemar tayangan NLC.

Agnes Woolrich Vice President of Marketing dari Mastercard UK, Ireland and the Nordics menambahkan. “League of Legends merupakan pusat dari dukungan kami terhadap esports di berbagai belahan dunia, maka dari itu kami dengan senang hati kami mengumumkan kerja sama dengan DreamHack dalam gelaran Northern League of Legends Championship. Kami merasa terhormat bisa berperan dalam membawa komunitas game di kawasan Eropa Utara untuk berkumpul menjadi satu, terutama dalam masa krisis ini. Kami tidak sabar untuk merayakan permainan terbaik di League of Legends, dan juga membantu para penggemar untuk bisa lebih dekat dengan passion mereka melalui hadiah dan pengalaman unik yang berharga.”

NLC sendiri merupakan brand baru dalam ekosistem esports League of Legends. Liga ini merupakan gabungan dari dua liga lokal di Eropa, yaitu liga untuk Britaina Raya (UKLC), dan negara-negara nordik (Nordic Championship). Karena beberapa pertimbangan, dua liga tersebut akhirnya bernasib seperti liga Taiwan, Hong Kong, dan Macau (LMS) dan liga Asia Tenggara (LST) yang disatukan jadi Pacific Championship Series (PCS). Dua liga yang berada di kawasan Eropa Utara tersebut disatukan menjadi NLC dengan DreamHack sebagai penyelenggara utama. Dapatkah kerja sama semakin mengembangkan ekosistem lokal Eropa Utara, dan semakin melebarkan sayap ekosistem esports League of Legends di dunia?

Pensiunnya Uzi Adalah Tanda Pelaku Esports Harus Jaga Kesehatan Pemain

Beberapa hari lalu kabar mengejutkan datang dari liga LoL Tiongkok. Pemain Attack Damage Carry (ADC) tim Royal Never Give Up, Jian Zi-Hao (Uzi) mengumumkan bahwa dirinya pensiun sepenuhnya dari skena kompetitif League of Legends.

Lewat akun Weibo personal, Uzi menjelaskan alasannya pensiun adalah karena masalah kesehatan yang memang sudah menghantui dirinya sejak lama. “Karena stres kronis, diet tidak teratur, begadang semalaman, dan alasan lainnya, saya telah didiagnosa dengan diabtetes tipe II pada saat melakukan medical check-up pada tahun lalu.” tukas Uzi lewat Weibo personal miliknya.

https://twitter.com/ran_lpl/status/1268063047890792448

Pensiunnya seorang pemain ikonik layaknya Uzi sontak mengundang simpati dari berbagai pihak, terutama para pemain yang banyak bersinggungan dengan dirinya selama pertandingan. Yang terbaru, Lee Sang-Hyeok (Faker), lewat sebuah video menyatakan perasaannya soal pensiunnya Uzi.

“Saya sesungguhnya hampir tidak mau mempercayai berita tersebut, ketika mendengar soal Uzi pensiun. Terasa sangat menyedihkan mendengar dia pensiun, karena saya tahu Uzi selalu bekerja dengan sangat keras.” ucap Faker dalam sebuah video yang sudah ditranslasi ke dalam bahasa Inggris pada akun Twitter bernama iCrystalization.

https://twitter.com/iCrystalization/status/1269230945074384897

Bukan hanya dari sosok pemain, pensiunnya Uzi juga sampai membuat organisasi esports asal Tiongkok lainnya, Edward Gaming (EDG) menunjukkan kepedulian dengan membuat fasilitas Esports Health Management Center.

Mengutip dari Esports Observer, dikatakan bahwa fasilitas ini akan digunakan untuk menjaga empat aspek kesehatan bagi para pemain esports: diet makanan sehari-hari, latihan fisik, rehabilitasi cedera, dan pencegahan penyakit. “Pada tahun 2020, esports telah berkembang dengan sangat cepat, dan menjadi lebih profesional layaknya olahraga tradisional. Ini adalah alasan kenapa kami ingin memperbarui sistem perawatan kesehatan kami, dengan membuat sebuah pusat manajemen kesehatan.” ucap EDG dalam rilis.

Masalah kesehatan memang sudah menghantui Uzi sejak lama. Dalam video dokumenter Nike yang diterbitkan September 2019 lalu, Uzi bahkan sudah mengatakan, bahwa kemampuan tangan pemain ADC ini layaknya seseorang berusia 40-50 tahun walau dia sebenarnya baru berusia 23 tahun.

Soal kesehatan para pemain esports juga memang menjadi satu isu yang sejak lama menjadi perhatian di antara para pengamat. Karena pola hidup yang hanya duduk dan bermain game selama berjam-jam, para atlet esports menghadapi ragam risiko penyakit seperti kemungkinan terkena penyakit kardiovaskular, obesitas, gangguan tidur, dan lain sebagainya.

Pensiunnya Uzi tentu jadi momen berkabung, terutama bagi para penggemar esports League of Legends di Tiongkok. Saya sendiri berharap kejadian ini bisa meningkatkan kesadaran manajemen esports untuk tidak hanya “memaksa” para pemain bermain game demi “latihan”, tapi juga seraya memikirkan untuk menjaga kebugaran serta kesehatan jasmani dan rohani para atlet esports.

ESPN akan Tayangkan LCS Spring Split 2020 di Televisi

Selain Counter-Strike, League of Legends mungkin jadi game lain yang juga punya kisah sukses jangka panjang. Rilis sejak 27 Oktober 2009 lalu, MOBA besutan Riot Games masih menjadi salah satu game terpopuler, dengan perkiraan jumlah pemain mencapai 100 juta. Tak hanya sebagai game, League of Legends juga berhasil menjadi ekosistem esports tersukses, membuat Riot percaya diri menjadikannya sebagai pilar bisnis.

Salah satu alasan suksesnya ekosistem tersebut adalah League of Legends Championship Series. Merupakan pertandingan liga kasta utama skena League of Legends Amerika Serikat, LCS terbukti menjadi satu komoditas menarik bagi sponsor. Buktinya LCS bisa mendapat sponsor dari perusahaan layanan finansial Mastercard, ataupun perusahaan otomotif Honda.

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Baru-baru ini, Riot Games juga berhasil mengamankan kesepakatan penayangan dengan dengan jaringan televisi swasta khusus olahraga di Amerika Serikat, ESPN. Dalam kesepakatan ini, ESPN akan pertandingan League of Legends Championship Series (LCS) pada saluran televisi mereka.

Mengutip dari Esports Observer, ESPN akan segera menayangkan tiga ronde pertandingan babak Playoff LCS Spring Split 2020, lewat saluran televisi ESPN2 dan saluran digital lewat aplikasi ESPN.

Tayangan perdana menampilkan pertandingan 100 Thieves vs Team SoloMid pada pukul 16:00 ET (10 April 03:00 WIB) di aplikasi ESPN. Kerja sama penayangan ini tidak bersifat eksklusif, sehingga pertandingan LCS akan tetap tayang juga di Twitch.

Terkait kerja sama ini, John Lasker, ESPN VP/Digital Programming mengatakan, “Kami sangat bersemangat untuk dapat bekerja dengan Riot Games dalam kesempatan untuk menciptakan konten yang inovatif di dalam sistem franchise yang luar biasa ini. Dengan menayangkan salah satu esports terpopuler di dunia, memungkinkan ESPN untuk merangkul penonton baru.”

Chris Greeley, Komisaris LCS menambahkan. “Ini adalah saat-saat, ketika menonton dan menikmati pertandingan para elit memiliki kekuatan untuk menyatukan kita sebagai komunitas. Lewat kerja sama ini, kami sudah tidak sabar untuk menyajikan pertandingan terbaik LCS kepada khalayak baru ataupun para penggemar setia. Nantikan pertandingan League dengan skill tingkat tinggi, seraya kami memahkotai tim terbaik di LCS Spring Split 2020.”

Babak Playoff LCS sudah dimulai sejak pekan lalu, dengan format pertandingan online. Kulminasi pertandingan ini adalah babak Grand Final yang diselenggarakan Minggu, 19 April, di saluran ESPN2. Juara LCS Spring Split akan melaju ke tingkat selanjutnya, Mid-Season Invitational, yang mempertemukan jawara-jawara liga kasta utama regional lain.

Seiring dengan perkembangannya, media tradisional jadi menunjukkan ketertarikan terhadap ekosistem esports. Dalam konteks Indonesia, Mobile Legends Professional League musim kelima jadi liga esports yang mendapatkan kerja sama penayangan. Mereka mendapatkan kerja sama penayangan dengan Elshinta TV dan RCTI.

Melihat hal ini, mungkin di masa depan, televisi akan dibanjiri oleh tayangan esports. Jika hal ini terjadi, mungkin esports akan menjadi bentuk hiburan baru dan norma yang umum bagi masyarakat.

League of Legends Champions Korea Berubah Jadi Franchise Model di Tahun 2021

Tak bisa dipungkiri, bahwa sampai sekarang League of Legends adalah, tak hanya menjadi salah satu game terpopuler tapi juga salah satu game dengan bisnis esports paling sukses. Bagaimana tidak, tahun 2019 lalu saja, League of Legends masih menyandang status sebagai salah satu game dengan dampak terbesar kepada ekosistem esports, yang hanya bisa disaingi oleh Counter-Strike Global Offensive. Fakta kesuksesan tersebut diperkuat dengan langkah Riot Games, yang dengan percaya diri menyatakan esports sebagai pilar bisnis pengembang asal Los Angeles, Amerika Serikat tersebut.

Salah satu alasan kesuksesan tersebut mungkin datang dari strategi lokal yang diterapkan League of Legends. Tercatat League of Legends memiliki 13 liga yang tersebar di berbagai kawasan, dan bahkan baru menambah liga nasional untuk Belanda dan Belgia di akhir tahun 2019 lalu. Beberapa di antaranya telah menerapkan sistem liga franchise yang fokus untuk jangka panjang, dan kini League of Legends Champions Korea (LCK) akan menjadi liga berikutnya yang turut menggunakan sistem yang digadang-gadang akan menjadi tren masa depan di esports.

Sumber: Riot Official Media
Sumber: Riot Official Media

Riot Korea mengumumkan hal ini pada hari minggu kemarin. Dari empat liga terbesar dalam skena kompetitif League of Legends, liga domestik Korea Selatan ini menjadi yang paling terakhir dalam mengadaptasi sistem liga franchise, . Amerika Serikat dan Tiongkok telah beralih menjadi liga franchise sejak 2018, Eropa mengadopsi sistem ini di tahun 2019 yang disertai dengan rebranding menjadi League of Legends European Championship.

Maka dari itu LCK akan menghentikan pertandingan promosi/relegasi pada akhir LCK Spring Split 2020, sebagai momentum perubahan sistem. “Kami telah menyimpulkan bahwa LCK harus menjadi panggung bagi pemain, tim, serta fans yang ingin mencapai mimpi mereka secara lintas generasi, bukan dalam jangka pendek saja. Kami akan mengadaptasi model partnership jangka panjang untuk LCK 2021, dan kami akan membawa kembali kejayaan kami.” tulis Riot Korea lewat pernyataan tertulis.

Saat ini, LCK sedang membuka lowongan bagi siapapun yang ingin menjadi bagian sistem liga franchise dari salah satu liga League of Legends terbesar di dunia. LCK membuka lowongan sampai 19 Juni 2020, yang mana aplikasi tersebut harus menyertakan rencana bisnis, strategi operasi tim, serta rencana penggalangan dana dari sebuah organisasi esports. Semua proses serat kriteria untuk bergabung ke dalam LCK dijabarkan oleh Riot Korea lewat laman resmi mereka yaitu thefutureoflck.com.

LCK kembali diadakan.
Regional Korea Selatan meredup seiring dengan Faker yang kini sedang kesulitan menemukan permainan terbaiknya. Sumber: Riot Official Media

LCK pertama kali diselenggarakan sebagai kompetisi invitational berbentuk turnamen yang diselenggarakan oleh OnGameNet pada tahun 2012. Pada 2015, turnamen berubah menjadi LoL Champions Korea, dengan bentuk liga yang diikuti oleh 8 tim pada Spring Split dan meningkat jadi 10 tim pada Summer Split 2015.

Secara historis, Korea Selatan berhasil memproduksi tim League of Legends terbaik di dunia. Dari tahun 2013 sampai 2017, Korea selatan memenangkan League of Legends World Championship dan Mid-Season Invitational pada 2016-2017. Namun demikian, dua tahun belakangan Korea Selatan seakan tertinggal sementara tim Tiongkok dan Eropa sedang berada dalam performa terbaiknya.

Akankah perubahan sistem dapat kembali membawa Korea Selatan ke masa keemasannya di peta persaingan kompetisi League of Legends internasional?

Perbarui Kontrak dengan T1, Faker Juga Dapatkan Hak Kepemilikan

Lee “Faker” Sang-hyeok, pemain yang dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik di dunia, baru saja memperbarui kontraknya dengan T1. Kontrak ini berlaku selama tiga tahun, dimulai sejak tahun 2020. Memang, Riot Games, developer League of Legends, menentukan bahwa sebuah kontrak pemain dengan tim profesional dapat berlaku paling lama selama tiga tahun. Dengan tanda tangan kontrak baru ini, Faker juga akan mendapatkan hak kepemilikan atas T1 Entertainment & Sports. Setelah dia mengundurkan diri sebagai pemain profesional, dia akan masuk menjadi bagian dari tim eksekutif dalam perusahaan.

“Saya senang karena dapat kembali bermain untuk T1 dan saya berterima kasih pada semua fans di seluruh dunia yang telah mendukung saya selama ini,” kata Faker pada ESPN. “Saya bangga memiliki hak kepemilikan atas T1 dan saya tidak sabar untuk bekerja bersama dengan para pemimpin perusahaan di luar kapasitas saya sebagai pemain. Saya cinta tim ini dan saya bangga karena saya bisa ikut menentukan masa depan dari organisasi T1.”

Nama Faker memang sangat dikenal oleh fans League of Legends, salah satu game esports dengan dampak terbesar pada ekosistem. Pada 2013, di awal karirnya sebagai pemain profesional, Faker berhasil memenangkan liga League of Legends di Korea Selatan. Setelah itu, dia ikut serta dalam World Championship dan membawa pulang gelar juara. Ketika itu, dia masih berumur 17 tahun. Sejak saat itu, dia telah memenangkan berbagai gelar, baik sebagai individu atau sebagai tim. Sampai sekarang, dia telah memenangkan World Championship tiga kali dan liga Korea Selatan tujuh kali.

Menariknya, sepanjang karirnya sebagai pemain profesional, Faker tetap setia dengan T1. Padahal, ada banyak tim yang berani menawarkan gaji besar. Dia mengaku, ada tim League of Legends asal Amerika Utara yang berani menawarkan cek kosong untuknya. Meskipun begitu, dia menolak semua tawaran yang ada. Alasannya, karena dia ingin membuat bangga para fansnya di Korea Selatan.

Di negara asalnya, Faker telah menjadi kebanggaan nasional. Dia sering muncul di televisi dan juga menjadi bintang iklan. Popularitasnya tak hanya terbatas di Korea Selatan. Fans asal Tiongkok bahkan rela menunggu di luar hotel tempat T1 dan Faker menginap dengan harapan mereka akan bisa bertemu dan mendapatkan tanda tangan salah satu pemain esports terbaik dunia tersebut.

Sementara itu, T1, tim tempat Faker bernaung, pertama kali didirikan pada 2003 dengan nama SK Telecom T1. Pada awalnya, perusahaan telekomunikasi Korea Selatan, SK Telecom mendirikan T1 hanya sebagai bagian dari divisi marketing mereka. Namun, pada akhir 2019, SK Telecom mengumumkan bahwa mereka akan membuat perusahaan joint venture dengan perusahaan telekomunikasi Amerika Serikat, Comcast. Sejak saat itu, T1 menjadi perusahaan mandiri dan tidak lagi bergantung pada SK Telecom. Karena itu, salah satu rencana utama T1 pada 2020 adalah memulai program komersial. Tujuannya agar mereka tetap bisa mandiri secara finansial.

Bukan untuk Marketing, Esports Jadi Pilar Bisnis Riot Games

Riot Games mulai mengembangkan esports dari League of Legends pada sembilan tahun lalu. Sejak saat itu, esports scene dari game MOBA itu telah berkembang pesat. League of Legends kini memiliki 13 liga yang tersebar di berbagai kawasan. Dua liga terbaru adalah liga nasional di Belanda dan Belgia. Beberapa liga seperti di Korea Selatan dan Tiongkok tidak hanya sudah balik modal, tapi juga sudah menghasilkan keuntungan. Karena itu, tidak heran jika Riot tidak segan untuk mengeluarkan US$100 juta setiap tahun untuk mengembangkan esports League of Legends.

Faktanya, esports kini menjadi salah satu pilar bisnis utama bagi Riot. “Anda tidak bisa melihat esports sebagai bagian dari marketing,” kata CEO Riot Games, Nicolo Laurent pada The Esports Observer. “Kami melihat esports sebagai bisnis. Kami ingin memastikan setiap orang mendapatkan sesuatu dari ini.”

Esports League of Legends terbukti sukses. Ribuan orang datang untuk menonton babak final dari League of Legends yang diadakan di Paris, Prancis sementara jutaan orang menonton pertandingan tersebut secara online. Meskipun begitu, Laurent mengaku, mereka tidak selalu percaya diri bahwa esports akan berkembang menjadi sebesar sekarang. “Kami tidak yakin esports bisa tumbuh seperti sekarang, pada awalnya,” ujar Laurent. Korea Selatan menjadi negara yang esports scene-nya berkembang. Namun, Riot tak yakin apakah itu merupakan bukti potensi esports ataukah esports hanya dapat diterima di Korea Selatan.

League of Legends World Championship 2017. | Sumber: Dot Esports
League of Legends World Championship 2017. | Sumber: Dot Esports

Riot mengadakan League of Legends World Championship (LWC) pertama kali di DreamHack Summer 2011. Ketika itu, tidak ada satupun tim Korea Selatan yang bertanding. Menariknya, jumlah penonton turnamen tersebut tetap melebihi ekspektasi. “Ini membuat kami percaya bahwa esports tidak hanya menarik untuk warga Korea Selatan saja,” ujarnya. “Sekarang, kami memiliki 13 liga dan 3 turnamen internasional, dan di masa depan, kami mungkin akan menambah beberapa liga baru.”

Salah satu perubahan terbesar yang Riot Games lakukan dalam mengembangkan esports League of Legends adalah mengubah sistem terbuka — membiarkan tim manapun untuk bertanding dalam liga selama mereka memang lolos babak kualifikasi — menjadi sistem tertutup, yang mengharuskan tim yang hendak berlaga untuk membayar sejumlah uang. Slot untuk satu tim bernilai setidaknya US$13 juta, tergantung pada lokasi sebuah tim. Dengan model ini, tim-tim yang ikut bertanding dalam liga juga akan mendapatkan sebagian keuntungan yang didapatkan dari liga.

Di Indonesia, satu-satunya kompetisi esports yang menggunakan sistem franchise atau tertutup adalah Mobile Legends Professional League Season 4. Keputusan Moonton untuk menggunakan model tersebut sempat menuai pro dan kontra. Namun, masih belum diketahui apakah investasi awal yang ditanamkan oleh para organisasi esports untuk ikut dalam MPL Season 4 akan berbuah manis.

Dari segi hadiah, turnamen esports tak kalah dari kompetisi olahraga tradisional. Sebagian liga esports, seperti liga League of Legends, juga sudah menggunakan model franchise, membuatnya semakin menyerupai liga olahraga tradisional. Meskipun begitu, tim esports yang berlaga di dalamnya tidak memiliki saham dari liga itu sendiri, berbeda dengan sistem yang digunakan liga olahraga tradisional. Terkait hal ini, Laurent mengatakan, tak tertutup kemungkinan, mereka akan mengadopsi model serupa di masa depan. “Masalahnya, jika Anda ingin melakukan ini, Anda harus punya rencana yang jelas tentang cara memonetisasi liga itu sendiri, atau melakukan IPO. Jika tidak, Anda hanya akan membuat struktur dengan insentif yang buruk,” ujarnya.

Sumber header: Hotspawn

Bilibili Bayar Rp1,6 Triliun untuk Dapatkan Hak Siar Eksklusif Atas League of Legends World Championship

Perusahaan streaming asal Tiongkok, Bilibili bersedia membayar 800 juta yuan (sekitar Rp1,6 triliun) pada TJ Sport — perusahaan joint venture dari Riot Games dan Tencent — untuk mendapatkan hak siar eksklusif atas League of Legends World Championship di negara asalnya. Kontrak ini berlaku selama tiga tahun, yaitu mulai 2020 sampai 2022.

Menurut laporan The Beijing News, ini adalah pertama kalinya hak siar eksklusif atas turnamen esports dilelang. Bilibili berhasil menang, mengalahkan beberapa perusahaan streaming lainnya, seperti Huya, Douyu, dan Kuaishou. Meskipun begitu, para ahli menganggap, nilai yang dibayarkan oleh Bilibili ini terlalu tinggi. Menurut mereka, harga yang pantas untuk hak siar atas LWC selama tiga tahun adalah 500 juta yuan (sekitar Rp1 triliun).

Walaupun begitu, Bilibli tetap dapat mendapatkan untung. League of Legends World Championship adalah salah satu turnamen esports paling populer dengan jumlah penonton paling banyak. LWC 2019 memecahkan beberapa rekor. Salah satunya adalah pertandingan esports yang paling banyak ditonton. Dalam babak semifinal — yang mempertemukan SK Telecom T1 dan G2 Esports — jumlah penonton sempat mencapai 3,9 juta orang.

League of Legends - Worlds 2018
Tim Tiongkok juga memenangkan LWC 2018.

Tidak hanya itu, ada banyak fans League of Legends di Tiongkok. Hal ini terlihat dari fakta bahwa League of Legends Pro League (LPL), liga LoL di Tiongkok, merupakan liga LoL terbesar dengan jumlah tim peserta terbanyak di dunia. Tak hanya itu, pada tahun depan, LWC akan diadakan di Shanghai, Tiongkok, yang akan meningkatkan jumlah penonton aktif. Tak hanya itu, dua tahun belakangan, tim asal Tiongkok juga sukses memenangkan LWC. Tahun ini, FunPlus Phoenix berhasil membawa pulang Summoner’s Cup meskipun mereka tidak dijagokan sementara pada tahun lalu, Invictus Gaming keluar sebagai juara.

Didirikan pada sembilan tahun lalu, Bilibili telah berkembang menjadi perusahaan streaming yang cukup besar sekarang. Pada 2017, Bilibili dikabarkan telah memiliki 31,6 juta pengguna. Namun, mereka mendapatkan sebagian besar keuntungan dari game mobile. Dikabarkan, game mobile menyumbangkan 80 persen dari total laba pada pertengahan 2018. Ketika esports mulai populer, mereka membuat Bilibili Gaming, organisasi esports yang membawahi dua tim profesional yang berlaga di League of Legends dan Overwatch.

Sumber: The Esports Observer, VP Esports, Dot Esports

Demi Kembangkan Esports League of Legends, Riot Keluarkan Rp1,4 Triliun per Tahun

Riot Games selalu berusaha untuk membuat acara pembukaan League of Legends World Championship (LWC) yang megah, seperti menggunakan teknologi Augmented Reality untuk membuat seekor naga raksasa mengitari stadion pada 2017. Global Manager Riot Games, Derric Asiedu mengatakan bahwa setiap tahun, mereka menghabiskan US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk mengembangkan esports League of Legends dan mereka tidak akan mendapatkan untung dalam waktu dekat. Meskipun begitu, Global Head of Esports, Riot Games John Needham tetap optimistis tentang prospek esports di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena semakin banyak perusahaan yang mendukung LWC dalam jangka panjang, seperti OPPO dan Axe.

“Pendapatan kami tumbuh 50 persen pada tahun ini, dan kemungkinan, akan kembali tumbuh 50 persen pada tahun depan,” kata Needham pada The Esports Observer. “Kami menargetkan esports bisa menjadi sustainable pada tahun ke-10. Saya tidak tahu apakah hal ini sudah pernah dilakukan di olahraga tradisional, tapi saya sangat percaya diri tentang bisnis esports di masa depan.” Satu hal yang Needham tonjolkan adalah fakta bahwa pemain dan penonton League of Legends masih sangat muda. Kebanyakan penonton esports memang memiliki umur di bawah 35 tahun. Inilah yang membuat semakin banyak perusahaan non-endemik tertarik untuk menjadi sponsor liga atau tim esports.

Dari pengalaman Riot dalam mengadakan, LWC, tampaknya, tak hanya perusahaan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tapi juga pemerintah. Tahun ini, babak final LWC diadakan di Paris, Prancis, dan Riot mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah kota Paris. Konferensi pers dari LWC diadakan di Eiffel Tower dan sejumlah politikus penting hadir dalam acara tersebut. Dan ini tak hanya terjadi pada turnamen League of Legends, tapi juga turnamen esports lain seperti Rainbow Six. Mengingat turnamen esports bisa menumbuhkan perekonomian lokal sebuah kota, tak heran jika pemerintah juga berlomba-lomba untuk mengadakan turnamen esports di kotanya.

John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer
John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer

Menurut data dari Esports Charts, babak final dari LWC, yang mempertemukan FunPlus Phoenix dari Tiongkok dan G2 Esports dari Eropa ditonton oleh 104 juta orang di Tiongkok dan 3,7 juta orang di dunia. Walau jumlah penonton ini terdengar banyak, tapi jumlah penonton babak final kali ini hanya mencapai setengah dari jumlah penonton babak final LWC pada tahun lalu, seperti disebutkan oleh Abascus News. Tahun lalu, penonton dari Tiongkok mencapai 200 juta. Tidak heran, karena tahun lalu adalah kali pertama tim dari Tiongkok — Invictus Gaming — lolos babak kualifikasi LWC dan bahkan membawa pulang Summoner’s Cup. Menariknya, pertandingan antara FunPlus Phoenix dan G2 Esports lebih populer secara global. Tahun lalu, jumlah penonton di dunia hanya mencapai 2 juta, sementara tahun ini angka itu naik hampir dua kali lipatnya.

Needham percaya, dukungan akan esports akan terus tumbuh. Tahun depan, babak final LWC akan diadakan di Shanghai, Tiongkok. Sebelum memutuskan untuk memilih Shanghai, Needham berkata bahwa ada sejumlah kota yang menawarkan diri untuk menyelenggarakan LWC. “Kami telah melakukan proses bidding. Memang, proses ini tidak seperti proses bidding Olimpiade, tapi kami sedang menuju ke tingkat itu,” ujarnya. Sayangnya, Riot biasanya hanya mengadakan babak final LWC di empat kawasan: Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Utara, dan Eropa. Keempat kawasan ini memang kawasan dengan tim tim League of Legends terkuat.

Inilah yang mendorong Riot melakukan konsolidasi turnamen di sejumlah kawasan, seperti di Asia Tenggara. Mulai tahun depan, League of Legends Master Series untuk kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau akan digabungkan dengan League of Legends Southeast Asia Tour menjadi Pacific League Championship Series. Diharapkan, dengan melakukan konsolidasi liga, ini akan mendorong terciptanya tim-tim yang lebih tangguh, seperti yang terjadi di Eropa dengan League of Legends European Championship (LEC).

Sumber header: Dexerto

Pelajaran Singkat yang Bisa Didapat dari Sisi Bisnis LPL, Liga League of Legends Terbesar di Dunia

Menurut data dari Newzoo, 70 persen dari total populasi China, atau sekitar 560 juta orang, bermain game. Tidak hanya bermain game, warga China juga gemar menonton pertandingan esports.

Data dari IHS Markit menyebutkan bahwa China memberikan kontribusi sebesar 57 persen dari total penonton esports di dunia. Tidak heran, mengingat lebih dari 30,4 persen orang China percaya, esports adalah sebuah olahraga, berdasarkan data Penguin Intelligence Database.

Hanya 5,6 persen warga China yang menganggap bahwa esports bukanlah olahraga. Kebanyakan dari orang-orang itu memiliki umur di atas 40 tahun dan memang tidak pernah bermain game atau tahu tentang esports.

“Menonton turnamen dan kompetisi esports adalah hiburan untuk saya,” kata Yan Han, pria 28 tahun yang bekerja dan tinggal di Beijing, dikutip dari South China Morning Post.

Sejak mulai bermain League of Legends dua tahun lalu, dia telah menghabiskan uang hampir 1.000 yuan (sekitar Rp2 juta) untuk membeli item dalam game. Setiap hari, dia bermain League of Legends sekitar dua sampai tiga jam. Dia juga tidak pernah absen untuk menonton turnamen LoL tahunan.

Sumber: SCMP
Sumber: SCMP

“Menarik bagi saya untuk menonton pemain-pemain terbaik dunia saling beradu. Tingkat kemampuan yang mereka tunjukkan dan strategi yang mereka gunakan tidak banyak digunakan di kalangan pemain LoL biasa.”

Pada bulan Juni lalu, TJ Sports sempat membahas tentang jumlah penonton League of Legends Pro League (LPL). Secara total, jumlah view LPL mencapai 30 miliar, menurut data dari Esports Insider.

TJ Sports adalah perusahaan hasil kerja sama Tencent dan Riot Games yang bertanggung jawab atas LPL. Saat ini, LPL adalah turnamen LoL dengan jumlah peserta terbanyak.

Kompetisi di China itu memiliki 16 tim peserta. Sebagai perbandingan, kompetisi LEC dan LCS di Eropa dan Amerika Utara hanya memiliki 10 tim peserta per kompetisi.

Jumlah viewership inilah yang membuat media value dari LPL meroket. Berdasarkan white paper yang dirilis oleh TJ Sports, total media value yang didapatkan oleh enam sponsor LPL Summer Split 2017 mencapai 3 miliar yuan (sekitar Rp6 triliun).

Sementara media value yang didapatkan oleh Mercedes-Benz yang menjadi rekan resmi League of Legends World Championship mencapai 600 juta yuan (sekitar Rp1,2 triliun).

Sistem Turnamen dan Sumber Pendapatan LPL

Pada dasarnya, ada dua tipe turnamen esports, yaitu terbuka dan tertutup. Turnamen tertutup menggunakan sistem franchise, mengharuskan sebuah tim untuk membayar sejumlah uang sebelum mereka bisa bertanding dalam sebuah kompetisi.

LPL termasuk turnamen tertutup. Menurut laporan Esports Observer, jika sebuah tim ingin masuk ke LPL, dia harus menyediakan setidaknya 80 juta yuan (sekitar Rp161,1 miliar). Tidak hanya itu, tim itu juga harus memiliki sokongan bisnis yang kuat dan reputasi yang bagus.

Saat ini, tim di LPL telah mendapatkan investasi rata-rata sebesar 1,25 miliar yuan (sekitar Rp2,5 triliun). Menariknya, nilai tim tidak didasarkan pada performa tim atau luas jangkauan brand sebuah tim.

Menurut laporan Newzoo, dari total pendapatan US$1,1 miliar di industri esports, sponsorship memberikan kontribusi terbesar dengan total US$456,7 juta atau 41,5 persen dari total pendapatan.

Sumber: Newzoo
Sumber: Newzoo

Kontribusi terbesar kedua berasal dari hak siaran media. Dengan kontribusi sebesar US$251,3 juta, hak siaran media memberikan kontribusi sebesar 22,8 persen.

Menariknya, sumber pendapatan terbesar LPL bukanlah sponsorship, tapi hak siaran media. Beberapa perusahaan yang mendapatkan hak penyiaran LPL antara lain Huya, DouYu, Penguin Esports, BiliBili, WeChat Live, Weibo, Tencent Video, dan Tencent Sports.

Stasiun siaran televisi lokal seperti Great Sports dan Guangdong Sports juga mendapatkan hak untuk menyiarkan turnamen LoL tersebut.

Industri Esports Semakin Menyerupai Industri Olahraga Tradisional

Menurut CEO Immortals Gaming Club (IGC), Ari Segal, dua sumber pendapatan utama IGC adalah sponsorship dan hak siaran media, sama seperti LPL. Namun, mereka juga tertarik untuk mencari sumber pendapatan baru, dengan mengadakan turnamen sendiri.

“Tidak hanya kita akan mendapatkan untung dari penjualan tiket, ada juga beberapa sumber pendapatan lain, seperti penjualan merchandise, parkir, makanan dan minuman, dan juga akses ke data,” kata Segal, seperti dikutip dari Yahoo Finance.

Menurut Segal, ke depan, sistem monetisasi di industri esports akan semakin menyerupai industri olahraga tradisional. Hal ini juga tercermin dari mulai digunakannya model bisnis kandang-tandang (home-away) di industri esports.

Saat ini, ada enam tim esports di China yang memiliki markas, yaitu Royal Never Give-Up (RNG) dan JDG di Beijing, Team WE di Xi’an, LGD Gaming di Hangzhou, LNG di Chongqing, dan OMG di Chengdu.

Sayangnya, biaya operasional markas ini masih lebih mahal jika dibandingkan dengan uang yang didapatkan dari penggunaan fasilitas tersebut. TJ Sports dan Tencent membuat beberapa rencana untuk mengatasi masalah ini.

Dalam jangka pendek, TJ Sports dan Tencent akan menanggung biaya marketing dan finansial untuk mengurangi beban yang ditanggung tim yang memiliki markas sendiri. Sementara dalam jangka menengah, TJ Sports akan berusaha mengurangi biaya operasional dengan menggunakan Esports Streaming Center di Shangai Jingan District untuk menyiarkan siaran pertandingan LPL.

TJ Sports juga akan berusaha untuk menyediakan lebih banyak kegiatan offline untuk menggunakan stadium yang jadi markas sebuah tim esports, seperti festival musik.

Sumber: Esports Observer, South China Morning Post, Yahoo Finance, Esports Insider

Nike Sponsori Liga League of Legends Tiongkok Selama Empat Tahun

Produk pakaian olahraga ternama, Nike, mengumumkan kerjasama dengan TJ Sports untuk sponsori League of Legends Pro League (LPL). Kerjasama ini berjalan mulai dari 2019 sampai 2022. Dalam perjanjian ini, nantinya semua bagian dari LPL termasuk pemain, pelatih, wasit, dan manajer tim, akan secara eksklusif menggunakan pakaian dan sepatu dari Nike.

Liga LoL Esports regional Tiongkok, LPL, bisa dibilang sebagai salah satu liga kasta utama paling kompetitif, selain dari League of Legends Champions Korea (LCK). Dua regional ini bahkan terkenal selalu menjadi rival dalam jagat kompetitif League of Legends internasional. 

Sumber:
Sumber: Dot Esports

Sampai League of Legends World Championship tahun 2017, rivalitas tersebut masih terjadi cukup sengit, walau tim Tiongkok yang diwakili Royal Never Give Up berakhir gagal masuk babak final.

Bukan cuma dalam soal branding saja, tapi dalam kerjasama ini, Nike juga akan menciptakan program latihan fisik untuk tim dan pemain peserta LPL . Hal ini dilakukan demi meningkatkan kesehatan fisik dan stamina para atlet esports yang bermain di LPL.

Mengutip dari Esports Observer, Nike dan LPL dikabarkan juga akan merancang sebuah lini pakaian bertema “Nike & LPL”. Namun hal ini baru akan tersedia bagi publik setelah gelaran Mid-Season Invitational, yang akan diadakan di Taiwan dan Vietnam pada Mei 2019 mendatang.

Finalis dan juara Worlds 2018, Invictus Gaming, berasal dari liga regional Tiongkok, LPL. Sumber
Finalis dan juara Worlds 2018, Invictus Gaming, berasal dari liga regional Tiongkok, LPL. Sumber: LoL Esports Official Media

Terkait kerjasama ini, Lin “Leo” Song sebagai Co-CEO dari TJ Sports mengatakan “Kerjasama antara Nike dengan LPL ini merupakan kerjasama yang sangat signifikan. Kami sangat tak sabar melihat dukungan Nike kepada atlet esports maupun tim peserta LPL”

Awalnya, kerjasama antara TJ Sports dengan Nike akan berlangsung selama lima tahun dengan nilai sebesar US$144 juta (sekitar Rp2 triliun). Namun hal itu tak terjadi dan perjanjian antara Nike dengan LPL hanya berlangsung untuk 4 tahun. Nilai kerjasama ini ditaksir bernilai US$29 juta (sekitar Rp400 miliar), termasuk investasi uang serta berbagai benefit yang diterima oleh LPL.

TJ Sports merupakan perusahaan joint venture antara Tencent dengan pengembang League of Legends, Riot Games, yang dibuat pada Januari 2019 lalu. Fokus TJ Sports adalah pada sisi bisnis dari jagat kompetitif League of Legends seperti: menggelar turnamen, berkolaborasi dengan esports venue, merekrut serta mengelola para talent.

Kendati Esports jarang menampilkan sang pemain, nyatanya sneakers culture juga melekat di kalangan komunitas gamers terutama para atlet esports. Jadi bukan tidak mungkin kerjasama dengan LPL dengan Nike akan semakin meningkatkan brand imaging mereka di komunitas gamers. Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Kerjasama antara produk pakaian olahraga dengan bagian dari ekosistem esports ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sebelumnya juga ada brand Puma yang jalin kerjasama dengan salah satu organisasi esports terbesar di Amerika Serikat, Cloud9.

Namun ini adalah kali pertama ada brand pakaian olahraga mensponsori badan liga esports. Hal ini jadi terdengar cukup janggal, mengingat proporsi tayangan esports terbilang lebih berat dari sisi in-game, dengan hanya sesekali menampilkan para pemainnya. Tetapi siapa yang tahu, bisa jadi kerjasama Nike dengan LPL ini berhasil meningkatkan brand imaging mereka di kalangan komunitas gamers.