Tim Ilmuwan Swiss Ciptakan Robot Origami Super-Mungil Buat Dimasukkan ke Pembuluh Darah

Ada bermacam-macam penjelmaan robot, namun berkat film-film sci-fi populer, jenis yang segera muncul di pikiran kita adalah tipe humanoid. Nyatanya, inkarnasi robot sangat beragam. Dan beberapa dari mereka dikembangkan sebagai wujud dari eksplorasi ilmu pengetahuan, dari mulai untuk mempelajari kehidupan hewan di alam liar hingga pendalaman ranah medis.

Ada banyak varian robot pernah DailySocial bahas, namun mungkin belum ada yang seunik kreasi kolaboratif dari ilmuwan di École polytechnique fédérale de Lausanne (EPFL) dan Swiss Federal Institute of Technology Zurich (ETH Zurich). Belum lama ini para peneliti mengungkap proyek pembuatan robot super-mungil berstruktur ala origami elastis yang memperkenankannya mengubah bentuk tubuh sesuai keadaan di sekitarnya.

Seperti pada upaya pengembangan robot sebelumnya, alam kembali menjadi sumber inspirasi para ilmuwan asal Swiss itu. Makhluk mekanis berukuran kecil ini dirancang menyerupai bakteri, dan disiapkan agar bisa masuk serta melakukan navigasi di dalam tubuh atau pembuluh darah. Tugas mereka adalah untuk mendistribusikan obat secara tepat di area yang betul-betul membutuhkan.

Ranah ‘targeted drug delivery‘ belakangan memang menjadi sorotan, dan gagasan mirip microbot kreasi garapan EPFL dan ETH Zurich ini pernah mengemuka sebelumnya. Saat itu konsepnya diungkap oleh Polytechnique Montréal, Université de Montréal serta McGill University, namun mereka memilih bakteri sungguhan sebagai agen buat mengirimkan obat – bukan robot.

Microbot mempunyai tubuh yang sangat fleksibel, mampu berenang dalam cairan secara efektif serta mengubah wujud badan, memperkenankannya melewati lorong-lorong pembuluh darah yang sempit dan tetap bisa bermanuver lincah. Robot-robot tersebut terbuat dari bahan hydrogel nanocomposite (berarti sebagian besar tubuhnya ialah cairan), dengan elemen nanoparticle magnetik di tengahnya sehingga robot dapat dikendalikan menggunakan medan elektromagnetik. Lalu, struktur origaminya sangat esensial bagi masing-masing robot buat meregang atau memadatkan diri.

Tantangan terbesar dari pembuatan robot ini adalah mencari cara untuk memprogram bentuk tubuh sehingga mereka dapat melewati lingkungan berbeda. Kabar baiknya, tim berhasil menemukan cara buat menanamkan ‘kecerdasan’ agar robot bisa beradaptasi – tanpa memanfaatkan metode pemrograman tradisional.

“Robot-robot kami mempunyai komposisi dan konstruksi yang istimewa, memungkinkan mereka beradaptasi sesuai jenis cairan di sekitarnya. Misalnya, jika robot mendeteksi perubahan kekentalan, ia segera memodifikasi bentuk tubuh demi menjaga kecepatan laju serta keleluasaan manuver,” jelas Selman Sakar yang ditunjuk sebagai salah satu pimpinan proyek ini.

Sumber: EPFL.

Ilmuwan Ciptakan AI untuk Mengubah Hasil Foto Smartphone Jadi Sekelas DSLR

Hampir semua review Google Pixel 2 yang beredar memuji kualitas kameranya. Yang lebih mengesankan lagi, pencapaian tersebut diraih tanpa mengandalkan konfigurasi kamera ganda seperti kebanyakan smartphone kelas flagship lainnya.

Hardware memang memegang peranan terbesar dalam menentukan kualitas gambar yang bisa dihasilkan kamera smartphone, akan tetapi bagi Google software dan AI (artificial intelligence) juga tidak kalah penting. Pixel 2 membuktikan bahwa anggapan mereka ini benar, dan kini sejumlah cendekiawan asal Swiss mencoba membuktikan anggapan tersebut lebih lanjut.

Ilmuwan asal universitas ETH Zurich ini menciptakan sistem berbasis AI yang digadang-gadang dapat menyulap hasil jepretan kamera smartphone menjadi sekelas DSLR. Istilah “sekelas DSLR” memang terkesan sangat ambigu, tapi yang pasti tujuannya adalah menyempurnakan kualitas foto yang dihasilkan kamera smartphone.

Fokusnya di sini bukanlah memperkuat efek bokeh, melainkan memperbaiki exposure secara keseluruhan. Area shadow yang sebelumnya hanya tampak hitam tanpa ada detail dibuat jadi lebih cerah selagi masih mempertahankan area highlight agar tidak terlampau terang.

Perbandingan hasil foto sesudah (kiri) dan sebelum (kanan) diproses AI / ETH Zurich
Perbandingan hasil foto sesudah (kiri) dan sebelum (kanan) diproses AI / ETH Zurich

Rahasianya terletak pada sistem deep learning yang pada awalnya diajari dengan cara mengamati dua foto yang sama yang diambil menggunakan smartphone dan DSLR. Dari situ versi lebih barunya telah disempurnakan supaya dapat melihat dua foto dari kamera yang berbeda, lalu menerapkan peningkatan kualitas dari yang satu ke lainnya.

Tentu saja sistem ini masih memiliki sejumlah kekurangan. Yang paling utama, sistem tak akan bisa menambahkan detail pada foto yang diambil, sebab ini sama saja dengan menambahkan informasi yang sebelumnya tidak ada. Dalam beberapa kasus, meski foto yang telah diproses tampak lebih terang dan lebih akurat warnanya, terkadang detailnya malah bisa berkurang.

Ke depannya, para pengembangnya berharap bisa menyempurnakan sistemnya agar dapat digunakan untuk mengubah kondisi foto ketimbang kualitasnya. Jadi semisal foto diambil dalam posisi hujan lebat, sistem ini nantinya bisa mengubahnya jadi terlihat cerah.

Kalau Anda tertarik mencoba dan penasaran dengan efektivitasnya, silakan langsung kunjungi situs resminya di phancer.com.

Sumber: Engadget dan DPReview.

Ilmuwan Cambridge Ciptakan Robot yang Bisa ‘Berkembang Biak’?

Berbicara soal robot, bayangan kita tentang era modern hingga futuristis memang tidak bisa dihindari. Padahal robot pertama berbentuk manusia sudah diperkenalkan lebih dari 75 tahun silam, Elektro namanya. Salah satu faktor utama yang memisahkan robot dan makhluk hidup ialah kemampuan berkembang biak. Tapi tak lama lagi pandangan ini akan segera berubah. Continue reading Ilmuwan Cambridge Ciptakan Robot yang Bisa ‘Berkembang Biak’?